Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TENTANG

IJTIHAD

Oleh :
Nama : Muhammad Fauzan Ramadhan
M. Ichwan Siregar
Ananda Meylanie Putri
Aura Azzahra
Reva Refilia Arvika
Tri Putri Handayani
Kelompok :V
Kelas : XII-MIPA2

MAN 1 DELI SERDANG


TA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang "IJTIHAD".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat
dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata
bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk
pembaca.

Tanjung Morawa, 13 September 2023


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2
BAB I .........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................4
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................5
2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Ijtihad ...............................................................................5
2.1.1 Pengertian Ijtihad ........................................................................................................5
2.1.2 Sumber Hukum Ijtihad ................................................................................................5
2.2 Hukum, Fungsi, dan Kedudukan Ijtihad .............................................................................6
2.3 Unsur Pokok dalam Ijtihad .................................................................................................9
BAB III .................................................................................................................................... 13
PENUTUP ............................................................................................................................... 13
3.3 Kesimpulan ................................................................................................................. 13
BAB IV .................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ijtihad diperlukan sebagai sumber ajaran Islam dalam upaya memahami Al-Qur’an dan hadis. Dalam
Islam, ijtihad diartikan dengan mengerahkan (mencurahkan) segala kemampuan (tenaga dan pikiran)
secara sungguh-sungguh, untuk mengetahui (menetapkan) suatu hukum syar'i dari dalil-dalil syariatnya.
Ijtihad dilakukan untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa
mengalami perubahan yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang
mengikuti peredaran zaman.
Hasil ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid dalam berijtihad. Oleh
sebab itu, dimungkinkan hasil ijtihad berbeda antara satu ulama dengan alama yang lain karena tidak
semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Ijtihad banyak dilakukan
dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak
bertemu dengan Nabi Muhammad saw.).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?


2. Apa saja Hukum, Fungsi, dan Kedudukan Ijtihad?
3. Unsur pokok dalam Ijtihad?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa itu Ijtihad


2. Untuk mengetahui Hukum, Fungsi, dan Kedudukan apa saja yang ada didalam Ijtihad
3. Untuk mengetahui Unsur pokok dalam Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Ijtihad


2.1.1 Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata َ ‫ َج َه َد‬yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh, atau menurut istilah
Ijtihad merupakan proses interpretasi hukum Islam yang dilakukan oleh seorang mujtahid (ahli hukum
Islam) untuk memecahkan masalah hukum yang tidak terdapat jawaban langsung dalam Al-Quran atau
hadis. Proses ini melibatkan analisis tekun terhadap sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran, hadis
(tradisi Nabi Muhammad), ijma (kesepakatan para ulama), dan qiyas (analogi hukum).. Di bidang fikih,
ijtihad diartikan sebagai berikut.
ْ ‫ش ْرع‬
ِ ‫ِيَالعَ َملِيَمِ ْنَدَلِي ِلهَِالت َ ْف‬
‫صيلي‬ ْ َ‫َُال ُج ْهدَِلِلت َّ َوقُ ِلَإِل‬
َّ ‫ىَال ُح ْك ِمَال‬ ْ ‫بَدل‬

Artinya:
Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari
dalil-dalil-Nya yang tafsili.
Menurut para ahli usul fikih, ijtihad berarti mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak yang
bersifat operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Imam as-Syaukani dalam bukunya
Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi mengenai ijtihad sebagai berikut.

ِْ ‫ق‬
َِ‫َاْل ْستِ ْنبَاط‬ َ ِ‫ع َمليَب‬
ِ ‫ط ِري‬ ْ ‫بَ ْذل‬
َ َ‫َُال ُوسْعَفِيَنَي ِْلَ ُح ْك ِمَش َْرعِي‬

Artinya:
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbat.

2.1.2 Sumber Hukum Ijtihad


Di antara sumber Hukum yang menetapkan bahwa Ijtihad merupakan dasar sumber hukum (tasyr’i)
adalah Al-Qur’an, as-Sunnah, al-ijma’.
a. Al-Qur’an

ََ‫ط ْونَهٗ َمِ ْن ُه ْم‬ُ ِ‫َم ِرَمِ ْن ُه َْمَلَعَ ِل َمهَُال َّ ِذيْنَ َيَ ْست َ ْنب‬ ْ ‫َوا َِٰۤلىَاُوَِل‬
ْ َ‫ىَاْل‬ َ ‫ىَالرس ُْو ِل‬
َّ َ‫َرد ُّْوهَُاِل‬
َ ‫ََولَ ْو‬ ْ ‫َم ِنَا َ ِو‬
َ ‫َالخ َْـوفِ َاَذَاَع ُْواَبِ ٖه‬ ْ ‫َم‬
ْ َ‫نََاْل‬ ِ ‫اَِذَاَ َجا ٓ َءهُ ْمَا َ ْم ٌر‬
َ ً ‫شيْطنََا َِّْلَق َ ِلي‬
‫ْل‬ َّ ‫َو َرحْ َمتُهٗ ََْلَتَّبَ ْعت ُ ُمَال‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم‬
َ َ‫َُّٰللا‬
ِ ‫ضل ه‬ ْ َ‫َولَ ْو َْلَف‬

"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
(langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan
rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara
kamu)."(QS. An-Nisa' 4: Ayat 83)

b. As-Sunnah
Dalam sebuah hadis, diriwayatkan sebagai berikut.

ٌ َ ‫انَ َوإِذَاَ َحك ََمَفَاجْ ت َ َهدََث ُ َّمَأ َ ْخطَأََفَلَهَُأ‬


َ‫جْر‬ َ َ ‫ابَفَلَهَُأ‬
ِ ‫جْر‬ َ ‫ص‬ ْ ‫إِذَاَ َحك ََم‬
َ َ ‫َال َحا ِك ُمَفَاجْ ت َ َهدََث ُ َّمَأ‬

Artinya:

Apabila seorang hakim berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, tetapi apabila berijtihad lalu keliru
maka baginya satu pahala. (H.R. al-Bukhari: 6805, Muslim: 3240)

Hadis lainnya dapat dijadikan sebagai sumber untuk melakukan ijtihad adalah dialog Nabi Muhammad
saw. dengan Muaz bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi Muhammad saw.
bertanya kepada Muaz bin Jabal tentang cara menetapkan hukum apabila ada kasus yang dihadapkan
kepadanya. Muaz bin Jabal mengatakan bahwa "Apabila saya mendapati dalam Al-Qur'an hukum yang
terkait dengan kasus itu maka saya terapkan ayat itu; apabila tidak ada dalam Al-Qur'an, saya mencari
dalam sunah Rasulullah saw., dan apabila dalam sunah Rasulullah saw. juga tidak ada hukumnya maka
saya akan berijtihad." (H.R. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan ad-Darimi).

c. Ijma’
Umat Islam dari berbagai mazhab telah bersepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah
dipraktikkan sejak zaman Rasulullah saw. Ijtihad yang dilakukan para ulama sebagai alternatif
yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan yang timbul dan permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad di Sinai hanya dilakukan
terhadap masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara pasti dalam Al-Qur'an dan sunah.

2.2 Hukum, Fungsi, dan Kedudukan Ijtihad


1. Hukum ijtihad

Menurut Prof Dr. H. Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh, diterangkan bahwa secara umum
hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan
merumuskan hukum syara' (hukum Islam) dalam hal-hal syara' sendiri tidak menetapkannya secara jelas
dan pasti. Dalil mengenai kewajiban untuk berijtihad ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam Surah
al-Hasyr Ayat 2 berikut.

َ ‫فَا ْعتَبِ ُرواَياَوليَاأل َ ْب‬


٢:٥٩َ/َ‫ص ِارَالحشر‬

Artinya:

Wahai orang-orang yang mempunyai pandangan! (QS. Al-Hasyr/59:2)

Pada masa kini, para ulama faqih semakin dituntut untuk melakukan ijtihad, mengingat semakin
banyak permasalahan yang sering dihadapi umat, sebagai akibat dari pengaruh perubahan yang begitu
pesat. Mengingat pentingnya ijtihad itu dilakukan, para ahli usul fikih menetapkan tiga hukum ijtihad,
yaitu fardu ain (wajib bagi setiap orang), fardu kifayah (cukup dilakukan sebagian orang), dan mandub
(sunah).

a. Fardu ‘ain
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara' sendiri tidak
menetapkannya secara jelas dan pasti.
Hukum berijtihad menjadi fardu ain apabila timbul suatu permasalahan yang sangat mendesak
untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat.
Misalnya, seseorang ditanya tentang suatu peristiwa, sedangkan peristiwa tersebut akan hilang
(habis) sebelum diketahui hukumnya.
b. Fardu kifayah
Hukum berijtihad menjadi fardu kifayah apabila munculnya permasalahan yang diajukan
kepada beberapa ulama untuk dijawab. Kemudian, kewajiban mereka itu gugur ketika salah
seorang di antara mereka memberikan jawaban atas permasalahan tersebut.
c. Mandub
Hukum berijtihad menjadi mandub apabila masalah yang akan dicarikan kepastian hukumnya
adalah masalah yang belum mendesak, seperti persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di
masyarakat.
Menurut Wahbah Al Juhaili, para ulama menyatakan pendapatnya bahwa jika seorang muslim
dihadapkan pada suatu peristiwa atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan
hukum syara, hukum ijtihad bagi orang itu dapat wajib ain, wajib kifayah, sunah, atau haram,
tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas
suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, hukum ijtihad baginya menjadi wajib ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas
suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang
lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan atau kejadian yang tidak
atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qat'i, baik dalam Al-Qur'an maupun as-sunah, atau ijtihad atas peristiwa yang
hukumnya telah ditetapkan secara ijmă’.
2. Fungsi Ijtihad

Di antara fungsi utama ijtihad, antara lain sebagai berikut.

a. Memberikan kebebasan berpikir kepada manusia untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi
dengan akal pikiran yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

b. Memberikan kebebasan berpikir kepada umat Islam untuk kembali mengkaji hukum- hukum Islam
yang telah lalu sehingga hukum tersebut tetap dapat digunakan untuk masa kini.

C. Agar tidak terjadi kemandekan cara berpikir umat Islam dan menghindari segala ben- tuk taklid
(mengikuti dengan cara apa adanya).

d. Untuk memberi kejelasan hukum terhadap persoalan-persoalan yang tidak ada ketentuan hukum
sebelumnya.

3. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam

Terdapat dua kelompok dalam memandang kedudukan ijtihad dalam hukum Islam. Kelompok pertama,
menyatakan bahwa kedudukan ijtihad adalah sebagai sumber hukum Islam. Kelompok ini berdalil dengan
hadis Mu'az bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Dalam hadis tersebut, terdapat pertanyaan Rasul tentang
cara Mu'az menghukum sesuatu jika tidak dapat menentukan hukumnya dalam Al-Qur'an dan hadis
Rasul. Mu'az menjawab bahwa ia akan berijtihad. Jawaban ini dibenarkan oleh Rasulullah saw.

Islam sebagai agama yang adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber ajaran Islam adalah
Al-Qur'an dan as-sunah yang sangat lengkap. Timbul sebuah pertanyaan “Mengapa ijtihad dijadikan
sebagai sumber hukum atas sumber ajaran agama Islam, padahal Al-Qur'an dan as-sunah sudah cukup
lengkap”?

Seperti diketahui bahwa Al-Qur'an merupakan sumber ajaran (pedoman) yang bersifat pokok dan
global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh as-Sunah, mengingat
berkembangnya zaman banyak masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan as-sunah.

Sebagai contoh akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul masalah bayi
tabung, pemindahan kornea mata, pencangkokan ginjal orang lain, dan lain sebagainya. Semua itu
memerlukan jawaban apakah dibolehkan atau tidak, bagaimana sebenarnya menurut konsep ajaran agama
Islam (syariat Islam). Jawabannya, bagaimana dan sejauh mana Islam secara tegas menetapkan dan
menyelesaikan persoalan. Dengan demikian, ijtihad dibutuhkan sebagai metode menerangkan suatu
persoalan yang tidak ada atau secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan as-sunah.

Kelompok kedua, berpendapat bahwa ijtihad bukan merupakan sumber hukum Islam melainkan
metode (cara) yang digunakan untuk menetapkan hukum Islam. Dalil yang diajukan kelompok ini sama
dengan kelompok pertama. Hanya saja kelompok ini memahami bahwa hadis Mu'az mengisyaratkan
bahwa Al-Qur'an dan Hadis adalah sumber utama hukum Islam. Jika hukum tidak terdapat pada kedua
sumber tersebut, barulah berijtihad dengan tetap merujuk kepada keduanya. Kelompok ini memandang
bahwa mujtahid adalah pengungkap hukum (kusyif al-hukni) yang bersumber kepada nas (Al-Qur'an dan

Hadis).
Hasil ijtihad bersifat relatif, bisa benar bisa salah. Hasil ijtihad tidak, seperti hukum yang ditetapkan oleh
Al-Qur'an dan Hadis yang bersifat mutlak.

Kelompok kedua adalah mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan Asy'ariyah Hanafiyah, dan Syiah.
Mereka berpendapat bahwa ijtihad hanyalah berfungsi sebagai pengungkap hukum dari hukum yang tidak
diungkap secara jelas dalam Al-Quran dan hadis. Di samping itu, hasil ijtihad bersifat relatif sehingga
tidak mungkin menjadikan sesuatu yang relatif sebagai sumber hukum. Dengan demikian, pendapat kedua
inilah yang lebih kuat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa objek ijtihad itu ada dua macam, yaitu sesuatu yang nasnya tapi masih
zan dan sesuatu yang hukumnya tidak ada dalam nas.

2.3 Unsur Pokok dalam Ijtihad


Ada beberapa unsur pokok dalam ijtihad diantaranya adalah syarat menjadi mujtahid, pembagian
ijtihad, tingkatan mujtahid, dan cara melakukan ijtihad.

1. Syarat menjadi Mujtahid


Mujtahid adalah mereka yang melakukan ijtihad atau ulama yang ahli dalam bidang fikih. Seorang
mujtahid agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat harus mempunyai beberapa persyaratan,
sebagai berikut.
a. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dan segala seginya sehingga memungkinkan menguasai
susunan katanya (uslub) dan rasa bahasanya (zauq)
b. Mengetahui dengan baik isi kandungan Al-Qur'an, terutama isi kandungan ayat-ayat amali
c. Mengetahui dengan baik sunah Rasul yang berhubungan dengan hukum
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma' para ulama sebelumnya
e. Mengetahui ilmu usul fiqh dan harus kuat dalam ilmu ini karena ilmu tersebut menjadi dasar dan
pokok ijtihad
f. Mengetahui qaidah fiqhiyyah, maksud dan rahasia syara', serta memiliki niat yang suci dan benar.
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlaq yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam
segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang,
syarat-syarat tersebut tentu belumlah cukup. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman
terhadap ilmu pengetahuan secara umum dengan segala cabangnya. Akan tetapi, hal itu bukanlah suatu
yang mudah. Namun, memerlukan kerja keras dan usaha serius. Oleh sebab itu, ijtihad secara kolektif
sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.
Menurut Yusuf al-Qardawi (ahli usul dan fikih) dalam bukunya al-Ijtihad fi asy-Syari'ah
al-Islamiyyah terdapat delapan syarat untuk menjadi seorang mujtahid.
a. Memahami Al-Qur'an dengan asba an-nuzul (sebab turunnya ayat Al-Qur'an) dan ayat-ayat nasikh
dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan)
b. Memahai hadis, ilmu hadis dirayahnya, hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab wurud (sebab
munculnya hadis)
c. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab
d. Mengetahui tempat ijma'
e. Mengetahui usul fikih
f. Mengetahui maksud syariat
g. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya
h. Memiliki sifat adil dan takwa
Selain kedelapan syarat tersebut, beberapa ulama lain menambahkan tiga syarat lagi, yaitu
mendalami ilmu usuluddin. memahami ilmu mantik (logika), dan menguasai cabang fikih.
Abu Zahrah dan Wahbah Al Juhaili mengajukan syarat-syarat menjadi seorang mujtahid sebagai
berikut.
a. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat di alam Al-Qur'an, baik secara bahasa maupun
secara istilah
b. Mengetahui makna hadis-hadis hukum secara bahasa maupun istilah
c. Mengetahui näsikh-mansukh, baik dari Al-Qur'an maupun as-sunah
d. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma' ter- dahulu
e. Mengetahui qiyas dan syarat-syarat yang disepakati karena qiyās merupakan salah satu metode
ijtihad dan rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut
f. Mengetahui ilmu bahasa Arab (seperti nahwu, saraf, ma'ani, dan bayan) karena Al-Qur'an dan as-
Sunah disusun dalam bahasa Arab
g. Mengetahui ilmu Usul Fiqh karena di dalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad
h. Mengetahui maqaşid as-syari'ati dalam penerapan hukum karena mujtahid wajib me- ngetahui
rahasia-rahasia hukum, di samping penunjukan makna-makna lafal.

2. Pembagian Ijtihad
Para ahli usul fikih berpendapat mengenai pembagian ijtihad, di antaranya Mahdi Fadhl Allah dan
Muhammad Abu Zahrah.
a. Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian sebagai berikut.
1) Ijtihad mutlaq, yakni ijtihad yang tercakup di dalamnya semua masalah hukum, tidak dipilah-
pilah dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Ulama yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad mutlaq ini disebut mujtahid mutlaq. Mujtahid mutlaq ini memiliki kemampuan meng-
istinbat-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya (sumber-sumber hukum) yang diakui secara
syar'i dan 'aqli. Adapun yang termasuk dalam kelompok mujtahid mutlaq ini adalah Imam Malik,
Imam Syafi 'i, Imam Hanbali, dan Imam Ahmad)
2) Ijtihad juz'i, yakni ijtihad yang mendalam mengenai bagian tertentu dari hukum dan tidak
mendalami bagian yang lain. Ulama yang berkemampuan dalam hal ini disebut mujtahid juz 'i.
Mujtahid juz'i ini berkemampuan meng-istinbat-kan sebagian tertentu dari hukum syara' dari
sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng- istinbat-kan semua hukum. Selain keempat
mujtahid mutlaq tersebut termasuk mujtahid juz'i.
b. Muhammad Abu Zahrah membagi ijtihad menjadi dua bagian sebagai berikut.
1) Ijtihad istinbăți, yakni kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari
dalili-dalil yang telah ditentukan.
2) Ijtihad Tatbiqi, yakni kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum,
tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu pada kejadian yang muncul
kemudian.
3. Tingkatan Mujtahid
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan.
Tingkatan mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) sangat tergantung pada aktivitas dan sifat
mujtahid itu sendiri. Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan
mujtahid terdiri atas mujtahid fisy-syar'i, mujtahid fil-masa'il, mujtahid fil-mazhab, dan mujtahid
muqayyad.

a. Mujtahid fisy-syar’i
Mujtahid fisy-syar'i adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah
syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup
berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan itu
semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mencangkok dari pendapat orang lain. Oleh sebab itu,
mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy-
syar'i, antara lain Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal (pendiri
mazhab empat), Imam al-Auza'i, dan Ja'far as-Siddiq.
b. Mujtahid fil-Masa’il
Mujtahid fil-masa'il adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada ma- salah tertentu
dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya at-Tahawi
adalah mujtahid dari mazhab Hanafi, Imam al-Ghazali adalah mujtahid dari mazhab Syafi'i, al-
Khiraqi adalah mujtahid dari mazhab Hambali.
c. Mujtahid fil-Mazhab
Mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak membentuk sekte tersendiri. Namun mereka hanya
mengikuti salah satu imam sekte yang ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa
masalah pokok maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya Imam Abu Yusuf dan
Muhammad Ibnul Hasan adalah mujtahid mazhab Hanafi dan Imam al-Muzani adalah mujtahid
mazhab Syafi'i.
d. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan berpegang pada pendapat para
ulama salaf dengan mengetahui sumber hukum dan asas-asasnya. Mereka mampu menentukan
mana yang paling penting di antara berbagai pendapat dalam suatu aliran dan dapat membedakan
mana narasi yang kuat dan mana yang lemah. Mereka antara lain mujtahid al-Karakhi dari mazhab
Hanafi dan mujtahid ar-Rafi'i dan an-Nawawi dari mazhab Syafi'i.
4. Cara Melakukan Ijtihad
Para fukaha menempuh beberapa cara dalam melakukan ijtihad. Cara yang umum di- pakai adalah
qiyās, istiḥsān, al-maşlaḥah al-mursalah, dan 'urf.
a. Qiyas, yakni menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang ada nas
hukumnya karena adanya persamaan sebab (illat) hukum. Contoh: pada masa Nabi saw. belum ada
permasalahan padi. Dengan demikian, diperlukan ijtihad dengan jalan qiyās dalam menentukan
zakat.
b. Ijma' atau konsensus. Kata ijma' berasal dari kata jam'un yang berarti menghimpun atau
mengumpulkan. Ijma' mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang
tidak teratur. Oleh sebab itu, ijma berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara. Berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan hasil ijma' ini
contohnya mengenai masalah kelurga berencana.
c. Istiḥsan, yakni beralih dari satu hukum mengenai satu masalah yang ditetapkan oleh dalil-dalil
syara' pada hukum lain (dalam memutuskan masalah itu) karena adanya dalil syara' yang
menghendaki demikian. Contoh metode ini adalah peristiwa Umar bin Khattab yang tidak
melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa peceklik.
d. Al-maşlaḥah al-mursalah, yakni menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya atau
tidak ada ijma' terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara' tidak
dijelaskan ataupun dilarang). Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dalam ketentuan
nas, dikatakan bahwa khamar dan judi itu ada manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar
daripada manfaatnya. Dari sebuah nas dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung
masalahat dan manfaat, didahulukan menolak mafsadat. Untuk itu, terdapat kaidah, "Menolak
kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara
mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat".
e. 'Urf, yakni segala sesuatu yang sudah dikenal manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan
tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.3 Kesimpulan

Kata ijtihad berasal dari kata َ ‫ َج َهد‬yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh, atau menurut
istilah Ijtihad merupakan proses interpretasi hukum Islam yang dilakukan oleh seorang mujtahid
(ahli hukum Islam) untuk memecahkan masalah hukum yang tidak terdapat jawaban langsung
dalam Al-Quran atau hadis.

Sebelum kita menjadi mujtahid dan menentukan ijtihad ada beberapa syarat, yaitu :
a. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dan segala seginya sehingga memungkinkan menguasai
susunan katanya (uslub) dan rasa bahasanya (zauq)
b. Mengetahui dengan baik isi kandungan Al-Qur'an, terutama isi kandungan ayat-ayat amali
c. Mengetahui dengan baik sunah Rasul yang berhubungan dengan hukum
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma' para ulama sebelumnya
e. Mengetahui ilmu usul fiqh dan harus kuat dalam ilmu ini karena ilmu tersebut menjadi dasar
dan pokok ijtihad
f. Mengetahui qaidah fiqhiyyah, maksud dan rahasia syara', serta memiliki niat yang suci dan
benar.

Ada delapan syarat untuk menjadi seorang mujtahid :


a. Memahami Al-Qur'an dengan asba an-nuzul (sebab turunnya ayat Al-Qur'an) dan ayat-ayat
nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapuskan)
b. Memahai hadis, ilmu hadis dirayahnya, hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab wurud
(sebab munculnya hadis)
c. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab
d. Mengetahui tempat ijma'
e. Mengetahui usul fikih
f. Mengetahui maksud syariat
g. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya
h. Memiliki sifat adil dan takwa Selain kedelapan syarat tersebut, beberapa ulama lain
menambahkan tiga syarat lagi, yaitu mendalami ilmu usuluddin.
Adapun yang termasuk dalam kelompok mujtahid mutlaq ini adalah Imam Malik, Imam Syafi 'i,
Imam Hanbali, dan Imam Ahmad)
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
https://an-nur.ac.id/ijtihad-pengertian-hukum-syarat-metode-dan-kehujjahan/
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6592361/mengenal-arti-ijtihad-beserta-fungsi-
rukun-dan-metodenya
https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
https://ejournal.uit-lirboyo.ac.id/index.php/tribakti/article/download/173/140/
https://mediaindonesia.com/humaniora/508237/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-serta-
fungsi-dan-contoh
https://www.neliti.com/id/publications/22796/kajian-ijtihad-dan-tadjid-dalam-kontek-indonesia
https://www.youtube.com/watch?v=Gr3xsQF4Ugo

Anda mungkin juga menyukai