DAN SEJARAH
KEMUNCULAN PERSOALAN-
PERSOALAN KALAM
A .NAMA DAN PENGERTIAN ILMU KALAM
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan
kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang
yakin.
Ada pula, pengertian atau defenisi ilmu kalam yang dikemukakan oleh para
ahli, antara lain:
Dr. Nuzaffaruddin Nadvi, dalam bukunya Muslim Thought and It’s source
ia mengatakan bahwa ilmu kalam tiada lain adalah”Ilmu berpikir, yang lahir
pada saat terjadinya percekcokan antara penganut islam ortodoks dengan
penganut islam baru.” Penganut islam baru adalah orang orang yang baru
memeluk agama islam, yang pemikirannya masih bercampur dengan ide ide
keagamaan lama dan pemikiran leluhur mereka, seperti yahudi, hindu, budha
dan isme-isme lainnya.
ْ َ سأ
ل ْ ن فَا
ُ م
َ ح
ْ الر
َّ ش ْ َ
ِ وى عَلى العَ ْر
َ َ ست
ْ ما
َ
َّ ُ ستَّةِ أيَّام ٍ ث
ِ ما فِي
َ ُما بَيْنَه
َ ض َو
َ
َ ات وَاأْل ْر
ِ و
َ م َّ الَّذِي خَلَقَ ال
َ س
)59: يرا ( الفرقان ً ِ خَب ِبِه
“ Artinya : Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha
Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui
(Muhammad) tentang Dia.”
َ َ
َ ِ ب من أ ْوفَى
ما َ َه و ِ ْث ع َلَى نَف
ِ س ُ ُ ما يَنْك َ َ ن نَك
َ َّ ث فَإِن َ َم ف
ْ م ِ َّ ه يَد ُ الل
ِ ِ ه فَوْقَ أيْد
ْ يه َ َّ ن الل
َ ما يُبَايِعُو َ َّ ك إِن َ ِ الَّذ
َ َ ين يُبَايِعُون
َ
)10: ما (الفتح ً ج ًرا عَظِي َ َه ف
ْ سيُؤ ْتِيهِ أ َ َّ ه الل
ُ ْ ع َاهَد َ عَلَي
“Artinya : Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang besar.”
a. Q.S. Al-Ikhlas (112): 3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakan,
serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
b. Q.S. Asy-Syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan (25): 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas
“Arsy”. Ia Pencipta langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya
d. Q.S. Al-Fath (48): 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada di atas
tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
e. Q.S. Thaha (20): 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan
untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
f. Q.S. Ar-Rahman (55): 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan
rusak selama-lamanya.
g. Q.S. An-Nisa’ (4): 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama.
Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas
karena Allah.
h. Q.S. Luqman (31): 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinya kepada
Allah disebut sebagai orang muhsin.
i. Q.S. Ali Imran (3): 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala sesuatu,
baik secara terpaksa maupun secara sadar.
j. Q.S. Ali Imran (3): 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan petunjuk jalan
kepada para nabi.
k. Q.S. Al-Anbiya (21): 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku, ras, atau etnis,
dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi
apapun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya.
l. Q.S. Al-Hajj (22): 78. Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan
yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya hanya karena Allah SWT
semata.
2. Hadits
Hadis Nabi SAW. pun banyak yang menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan, diantaranya:
laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah
engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari
kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam
adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan
zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”.
Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat
Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu
bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya
tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang
tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para
penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal
yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat : له عنده علم eن الeِ َّإ
ساعة e ال sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat:
“Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata:
“Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
3. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam.
Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam
sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-
hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas
maksudnya (al-mutayabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio
ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Quran, di antaranya:
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya
Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad
mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama di kalangan orang-
orang primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya kehidupan
pada benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun
Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang
merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme
dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua
terhadap Tuhan yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap
manusia yang suka mengalami mimpi.
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemu, bercakap-cakap, bercengkrama, dan
sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun.
Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula.
Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk
meyakini bahwa apa yang telah dilakukannnya dalam mimpi adalah perbuatan
roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap
roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada
pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan
terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap
benda-benda alam berkembang secara beraga,. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme.
Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa (semacam anjing
hutan), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi percaya adanya
keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif,
telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar
kalau William L. Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan
ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia
bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos (thelogia was originally
viewed as concerned with myth). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi
“theology natural” (teologi alam) dan “revealed theology” (teologi wahyu).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber
pada Al-Qur’an, hadis, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah
ilmu yang mempunyai objek tersendiri tersistematisasikan, dan mempunyai
metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Mushthafa Abd A-Raziq bahwa ilmu ini
bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya imam Al-Hasan
bin Muhammad bin Hanafiyah. Adapun orang yang pertama membentangkan
pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh
ahli sunnah wa al-jamaah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat,
dan Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.