Anda di halaman 1dari 7

Pengenalan Hukum Islam

Oleh : H. Fakhry Emil Habib, Lc. Dipl. MH.1

Hukum Islam terdiri dari dua kata, hukum dan Islam. Dalam hal ini, penulis akan
menjelaskan dahulu makna hukum sebelum dikaitkan dengan Islam.

Hukum berasal dari Bahasa Arab, (ٌ‫ ) ُح ْكم‬artinya adalah keputusan. Bentuk lainnya adalah
hukûmah.2

Pakar mantik mendefinisikan hukum sebagai pemahaman nisbat dengan metode


pengikutan. Contohnya adalah “Muhammad duduk” yang disebut dengan kalimat (qadhiyyah).
Kalimat ini terdiri dari dua kata, “Muhammad” sebagai yang diterangkan, dan “duduk” sebagai
keterangan. Mengetahui kaitan (nisbat) antara Muhammad dan duduk, serta mengetahui
terjadinya nisbat tersebut antar keduanya, itulah yang disebut dengan hukum, terlepas dari
perbedaan pakar logika dalam hal ini.3

Saat kata hukum disandingkan dengan kata Islam, maka yang dimaksud adalah hukum
syariat, term Arabnya adalah (‫)الحكمٌ الشرعي‬. Makna hukum dalam pandangan pakar fikih
disimpulkan oleh Ali Jumah dengan efek dari penyampaian Allah yang berkaitan dengan
perbuatan mukalaf, baik penyampaian itu bersifat tuntutan maupun pilihan. Contohnya adalah
salat hukumnya wajib, yang merupakan efek dari firman Allah di dalam QS. al-Baqarah : 43.4
Dalam hal ini, penyampaian Allah bisa saja Dia sampaikan secara langsung di dalam Alquran,
di dalam hadis qudsi ataupun melalui lisan Rasul-Nya. (QS. An-Najm : 4)

Jika memang hukum Islam adalah efek dari penyampaian Allah, maka ia terbagi
berdasarkan level tuntutan, status kebaikan serta kaitan antara ada dan tiadanya hukum tersebut.5
Muhammad al-Zuhaili bahkan kemudian memperluas pembagian hukum syariat, mencakup

1
Researcher Usul Fikih, Universitas al-Azhar, Kairo
2
Al-Fairuzabadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 2009), Hal. 1095.
3
Ali Jum’ah, Al-Hukm al-Syar’i ‘inda al-Ushûliyyîn, (Kairo : Dar al-Salam, 2013), Hal 40
4
Ali Jum’ah, Al-Hukm al-Syar’i ‘inda al-Ushûliyyîn, (Kairo : Dar al-Salam, 2013), Hal. 50.
5
Jamaluddin al-Isnawi, Nihâyat al-Sûl Syarh Minhâj al-Wushul, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 1999), Hal. 43-58.
fardu, wajib, fardu ain, fardu kifayah, mandub, mubah, makruh, haram, adâ`, kada, i’âdah,
rukun, syarat, sebab, mâni’, ‘azîmah, rukhsah, sahih, dan batal.6

Fardu dan wajib, adalah segala perintah Allah yang bersifat jâzim (pasti), sehingga jika
dilaksanakan maka berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Sunah atau mandûb adalah perintah
Allah yang tidak bersifat jâzim, sehingga jika dikerjakan maka berpahala, namun jika
ditinggalkan tidak berdosa. Haram adalah segala larangan Allah yang bersifat jâzim sehingga
jika dikerjakan berdosa, dan jika ditinggalkan berpahala. Makruh adalah segala larangan Allah
yang tidak bersifat jâzim, sehingga jika dikerjakan tidak berdosa, namun jika ditinggalkan maka
berpahala. Mubah adalah perkara yang boleh, tidak diperintahkan tidak pula dilarang.

A. Kata Hukum di dalam Alquran dan Hadis

Kata hukm serta bentuk lainnya disebutkan di dalam banyak ayat dalam Alquran. Di antara
ayat yang menyebut hukm adalah QS. Ali Imran : 7, QS. Al-Baqarah : 129, QS. al-Maidah : 41.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Thabari menukilkan sebab turunnya ayat, dimana beberapa
orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬mengenai hukuman bagi pezina, padahal hukuman
rajam bagi pezina telah ada di dalam kitab Taurat, namun mulai ditinggalkan karena ada kerabat
raja yang melakukan perbuatan keji tersebut. Lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda

ٌ 7‫فإنيٌأقضيٌبماٌفيٌالتوراٌة‬

Artinya : “Maka aku memberikan keputusan sesuai dengan apa yang ada di dalam Taurat.”
Kata hukm dalam bentuk kata kerja yang paling masyhur terdapat dalam hadis yang
menjadi landasan dasar pelajaran ijtihad, yaitu :

ٌ ‫ٌفَلَهٌُأَجْ ٌر‬،َ‫طأ‬
َ ‫ٌوإِذَاٌ َحك ََمٌفَاجْ تَ َهدٌَث ُ َّمٌأ َ ْخ‬،
َ ‫ان‬ِ ‫ٌفَلَهٌُأَجْ َر‬،‫اب‬
َ ‫ص‬ ْ ‫إِذَاٌ َحك ََم‬
َ َ ‫ٌال َحا ِك ُمٌفَا ْجت َ َهدٌَث ُ َّمٌأ‬

Artinya : “Apabila hakim menghukum, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar, maka


baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukum, lalu ia berijtihad, kemudian ia salah, maka
bagina satu pahala.”

6
Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syâfi’i, (Damaskus : Dar al-Qalam, 2011), Jil. I, Hal.
16-22.
7
Ibnu Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qurân, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 2000), Jil. 10,
Hal. 306.
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari8, Muslim9.

Al-Nawawi menukilkan ijmak bahwa hakim yang dimaksud di dalam hadis ini adalah
hakim yang alim dan ahli hukum. Jika hasil ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan pahala
karena usaha yang telah ia tempuh dan karena kebenaran yang ia dapatkan. Akan tetapi orang
yang bukan ahli hukum, melakukan ijtihad, maka ia tidak mendapatkan pahala, justru
mendapatkan dosa. Hasil hukum yang ia dapatkan pun tidak berlaku, tanpa dilihat sesuai atau
tidaknya dengan kebenaran, karena proses yang ia lakukan tidak diakui syariat. Justru ia
berdosa.10 Standar kebenaran ijtihad dalam hal ini menurut al-Shan’ani adalah kesesuaiannya
dengan ilmu Allah.11

Untuk menegaskan hal ini, al-Nawawi menukilkan sebuah hadis penjelas :

ْ ‫ٌو َواحِ دٌف‬,ٌ


ٌ:ِ‫ِيٌال َجنَّة‬ َ ‫ار‬ ِ ‫ٌاثْن‬:‫ضاةٌُث َ ََلثَة‬
ِ َّ‫َانٌفِيٌالن‬ ْ
َ ُ‫ٌ"ٌالق‬:‫سلَّ َم‬ َ ٌُ‫صلَّىٌهللا‬
َ ‫علَ ْيه‬
َ ‫ٌِو‬ َ ٌِ‫سولٌُهللا‬ َ ‫ٌقَال‬:َ‫ٌقَال‬,ٌِ‫ع ْنٌأَبِيه‬
ُ ‫ٌَر‬ َ ٌ,ٌَ‫عنٌا ْبنٌُب َُر ْيدَة‬
ٌ‫ارٌفَ ُه َوٌفِي‬
َ ‫قٌفَ َج‬ ْ ‫ف‬
ٌَّ ‫ٌال َح‬ َ ‫ع َر‬ ِ َّ‫اسٌبِ ْال َج ْه ِلٌفَ ُه َوٌفِيٌالن‬
َ ٌ‫ٌ َو َر ُجل‬,ٌ‫ار‬ ِ َّ‫ضىٌبَيْنَ ٌالن‬
َ َ‫ٌو َر ُجلٌق‬,ٌِ ْ ‫ضىٌبِهٌِفَ ُه َوٌف‬
َ ‫ِيٌال َجنَّة‬ ْ ‫ف‬
َ َ‫ٌال َح َّقٌفَق‬ َ ‫ع َر‬
َ ٌ‫َر ُجل‬
ٌِ َّ‫الن‬
"12‫ار‬

Artinya : “Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : Telah berkata Rasulullah ‫ ﷺ‬:
“Kadi ada tiga, dua di dalam neraka dan satu di dalam surga. Laki-laki yang mengetahui
kebenaran, dan berhukum dengan kebenaran itu, maka ia di dalam surga. Laki-laki berhukum
di tengah-tengah manusia dengan kebodohan, maka ia di dalam neraka. Laki-laki mengetahui
kebenaran, maka ia berani (menentang kebenaran itu) maka dia di dalam neraka.”
Saat al-Nawawi menggunakan hadis ini sebagai penjelas hadis sebelumnya, berarti ia
memaknai hakama di dalam hadis pertama dengan qadhâ di dalam hadis kedua. Pendeknya,
menghukumi berarti memberi keputusan untuk suatu perkara.

B. Macam-macam Hukum Selain Hukum Syariat

Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang hukum syariat. Maksud hukum syariat
adalah bahwa hukum tersebut tidak dapat diketahui kecuali melalui jalur-jalur syarak, yaitu

8
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut : Dar Tauq al-Najah, 1422), Jil. IX, Hal 108.
9
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, (Beirut : Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi), Jilid 3 hal 1342.
10
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhâj syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj, (Beirut : Dar Ihya al-Turats
al-Arabi, 1392), Jil. 12, Hal. 14.
11
Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Kairo : Dar al-Hadits), Jil. II, Hal. 568.
12
Abu Bakar al-Baihaqi,ٌAl-Sunan al-Kubra, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), Jil. 10, Hal. 199.
Alquran, sunah serta dalil-dalil turunan selanjutnya. Namun secara umum, ternyata istilah
hukum tidak hanya dipakai dalam ilmu syariat. Maka disini, penulis akan menjelaskan beberapa
hukum lain selain hukum syariat.

1. Hukum Akal

Yaitu hukum yang didapat dari penalaran logis. Ia terbagi menjadi tiga : pasti, mustahil,
dan mungkin. Contohnya adalah jika ada rumah, pasti ada pendirinya, mustahil ada
dengan sendirinya, mungkin saja penghuninya ada, mungkin juga tidak. Hukum akal
bersifat absolut dan unversal, yang tidak mengakuinya akan dianggap tidak waras.

2. Hukum Alam

Yaitu hukum yang didapatkan melalui eksperimen fenomena yang terjadi pada alam. Ia
juga terbagi menjadi tiga : pasti, mustahil dan mungkin. Contohnya adalah api pasti
panas, mustahil dingin dan mungkin ada asap, mungkin juga tidak. Perlu digarisbawahi,
hukum alam ini tidak sekuat hukum akal. Ada kalanya hukum alam tidak berlaku, karena
hukum alam tunduk pada hukum pencipta alam. Misalnya, api tidak membakar Nabi
Ibrahim .

3. Hukum Wadh’iy

Yaitu hukum buatan, yang boleh jadi didapat dari penalaran praktek yang telah ada, bisa
jadi juga dirumuskan berdasarkan maslahat yang ingin diwujudkan. Hukum buatan ini
bisa saja berbeda-beda sesuai dengan kondisi. Berikut penulis cantumkan beberapa
contoh hukum wadh’iy :

a. Hukum Bahasa. Misalnya mubtada dan khabar di dalam Bahasa Arab hukumnya
marfû’.
b. Hukum Tajwid. Misalnya nun mati bertemu kaf hukumnya ikhfâ.
c. Hukum Hadis. Misalnya hadis jika memenuhi lima syarat, maka hukumnya sahih.
d. Hukum adat,ٌٌ yang lahir dari kebiasaan, bisa saja berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, misalnya jempol ke atas menunjukkan hukum baik.
e. Hukum lalu lintas, misalnya lampu merah menunjukkan hukum berhenti.
Hukum-hukum ini sifatnya lebih lapang dari hukum sebelumnya. Bisa saja satu orang
menyebut khafadh, yang lain menyebut jar. Ini hanya contoh, maka sudah seharusnya sebelum
menjatuhkan klaim, penggunaan istilah harus disesuaikan dengan dasar ilmunya.

C. Menyikapi Permasalahan yang Tidak Memiliki Penjelasan Hukum Gamblang di Dalam


Alquran dan Sunah

Sebagaimana yang sudah diketahui, syariat telah berhenti turun, akan tetapi persoalan
yang dihadapi umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
Lalu bagaimana syariat bisa menjadi rahmat bagi alam semesta hingga hari kiamat jika syariat
tidak lagi turun melalui wahyu? Ini adalah masalah penting, karena banyak orang yang tidak
memahami mekanisme aplikasi syariat terhadap permasalahan-permasalahan baru, sehingga
jalan pintas pun diambil, dan terdapat dua kecenderungan jalan pintas yang penulis lihat terjadi
:

1. Semua yang tidak ada dalilnya berarti halal, karena yang disuruh untuk ditinggalkan
olah Allah hanyalah perkara-perkara yang dilarang, bukan perkara yang didiamkan.
Ini berdasarkan QS. al-Hasyr : 7 :

ٌ ٌ‫وماٌنهاكمٌعنهٌفانتهوا‬

Artinya : “Dan apa yang (Nabi) larang, maka hentikanlah!”

2. Ada pula yang menganggap bahwa semua yang tidak ada dalilnya berarti haram,
karena kalau memang boleh, tentu generasi terdahulu telah melakukannya. Ini
berdasarkan HR. Muslim : 1718 :

ٌَ ‫ثٌفِيٌأ َ ْم ِرنَاٌ َهذَاٌ َماٌلَي‬


ٌ‫ْسٌمِ ْن ٌهٌُفَ ُه ٌَوٌ َرد‬ ٌَ َ‫نٌأ َ ْحد‬
ٌْ ‫َم‬

Artinya : “Siapa yang membuat-buat dalam agama kami, apa yang bukan bagian
darinya (agama kami), maka dia tertolak.”
Baik metode pertama maupun kedua, sama-sama adalah bentuk ketergesa-gesaan dalam
penarikan hukum. Padahal, jika dalil-dalil dikaji secara komprehensif, akan ditemukan proses
yang harus dilakukan oleh seorang muslim yang memiliki kemampuan, saat ia menemukan
perkara yang tidak ditemukan dalilnya dari sumber syariat utama. Yaitu hadis masyhur tentang
Muadz bin Jabal, saat beliau diutus oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬ke Yaman :
ٌ)‫ٌ(كيفٌتقضيٌإذاٌعرضٌلكٌقضاءٌ؟‬:ٌ‫ٌقال‬،ٌ‫أنٌرسولٌهللاٌصلىٌهللاٌعليهٌوسلمٌلماٌأرادٌأنٌيبعثٌمعاذاٌإلىٌاليمن‬
ٌ‫ٌ(فإنٌلمٌتجد‬:ٌ‫ٌقال‬.ٌ‫ٌفبسنةٌرسولٌهللاٌصلىٌهللاٌعليهٌوسلم‬:ٌ‫ٌ(فإنٌلمٌتجدٌفيٌكتابٌهللاٌ؟)ٌقال‬:ٌ‫ٌقال‬.ٌ‫ٌأقضيٌبكتابٌهللا‬:ٌ‫قال‬
ٌ:ٌ‫ٌفضربٌرسولٌهللاٌصلىٌهللاٌعليهٌوسلمٌصدرهٌوقال‬.ٌ‫ٌأجتهدٌرأييٌوالٌآلو‬:ٌ‫فيٌسنةٌرسولٌهللاٌصلىٌهللاٌعليهٌوسلمٌ؟)ٌقال‬
. )‫(الحمدٌهللٌالذيٌوفقٌرسولٌرسولٌهللاٌلماٌيرضيٌرسولٌهللا‬

Artinya : “Bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika ingin mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda,
“Bagaimana engkau akan berhukum jika engkau diminta untuk menghukumi?”. Muadz
menjawab, “Aku berhukum dengan Kitabullah.” Rasulullah kemudian bersabda, “Maka jika
engkau tidak menemukan (jawabannya) di Kitabullah?” Muadz menjawab, “Maka dengan
sunah Rasulullah ‫ﷺ‬.” Rasulullah kemudian bersabda, “Maka jika engkau tidak menemukan
(jawabannya) di dalam sunah Rasulullah ‫ ”?ﷺ‬Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
pikiranku dan aku tidak akan abai.” Rasulullah ‫ ﷺ‬kemudian menepuk dada Muadz dan
bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang
diredai oleh Rasulullah.”13
Berdasarkan hadis ini, tampak jelas bahwa yang harus dilakukan saat menemukan
permasalahan yang tidak jelas dalilnya, adalah berijtihad. Maksudnya, mencari garis besar
aturan syariat (ushul), kemudian ushûl tersebut digunakan untuk mengukur perkara-perkara
yang baru, apakah ia sesuai dengan syariat, atau tidak. Jika sesuai, maka ia termasuk ke dalam
kategori halal. Jika tidak, maka ia masuk ke dalam kategori haram. Ijtihad bisa saja dilakukan
pada perkara ibadah, seperti salat tarawih berjamaah, azan jumat dua kali, zakat beras dan
jagung, bisa pula dilakukan pada perkara muamalah, seperti jual-beli online, talak dengan ta’lîq,
dan seterusnya.

D. Penutup

Syariat diturunkan Allah untuk mewujudkan maslahat bagi umat manusia, yang terwujud
dengan taklif, dan masuknya mukalaf ke dalam tuntutan taklif tersebut. Namun permasalahan
yang terus berkembang tidak lagi diimbangi dengan nas-nas syariat yang secara gamblang
menjelaskan permasalahan tersebut. Disini ijtihad memegang peranan penting, agar taklif tetap
ada kapanpun, dimanapun.

Namun bukan berarti ijtihad itu bisa dilakukan asal-asalan. Ia memerlukan kecakapan
tingkat tinggi, dimulai dari pemahaman permasalahan asal, penetapan hukumnya, meneliti
‘illahnya, meneliti permasalahan-permasalahan baru, apakah ia memang memiliki ‘illah yang

13
Abu Daud, Sunan Abî Dâwûd, (Dar al-Risalah al-Alamiyyah, 2009), Jilid V, Hal. 444
sama dengan permasalahan asal atau tidak, apakah sejalan dengan syariat atau tidak. Untuk bisa
melakukan prosedur ini, syarat-syarat ijtihad yang luar biasa susah harus terpenuhi.

Memang, karena ini adalah perbuatan mujtahid, ia rentan khilâfiah. Bagi awam, ia hanya
wajib menyandarkan amalannya kepada hasil penelitian mujtahid yang ia percayai. Namun dari
sisi kacamata mujtahid, hasil penelitiannya lah yang benar (meskipun ada kemungkinan salah),
sedangkan hasil penelitian mujtahid lain adalah salah (meskipun ada kemungkinan benar). Maka
adalah wajar, jika masing-masing mujtahid bertanggung jawab atas ijtihadnya, dan wajar pula,
jika hasil ijtihadnya tersebut dikritik oleh mujtahid lainnya, yang juga memahami metode
istinbâth hukum.

Tulisan ini jauh dari kata sempurna, namun setidaknya pembaca bisa sedikit banyak memahami
bahwa ijtihad bukan perkara enteng. Jangankan melaksanakan prosedur kias, istilah dalam kias
seperti tanqîh al-manâth, munâsabah dan mundhabith saja barangkali masih tidak familiar bagi
banyak pelajar agama. Maka terus belajar adalah sebuah keharusan, agar tanggung jawab
sebagai penerus perjuangan Rasulullah ‫ ﷺ‬benar-benar dapat dilaksanakan. Wallâhu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai