Ajaran Islam Konsep Keadilan dalam Ajaran Islam 1. Tidak mudah menghakimi orang 2. Mengedepankan asas praduga tak bersalah 3. Penuduh wajib menghadirkan bukti 4. Tertuduh membela diri dengan sumpah ،َّاس بِ َد ْع َو ُاه ْمنال ىط َ ع ي و ل َ « : ال َ َق ِ هللا ول َ س ر َّ َن أ ،ا م ه ن ْ ع هللا ي ضِ ر ٍ اس ب َّ ع ِ ن اب ِ ن ع ُ ْ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ْي َعلَى َم ْن مِ والي،َّعيِ ولَ ِك ِن البيِنَةُ علَى املد،ال أَمو َال قَوٍم وِدماءهم ٌ ج رِ ى ع د َّ َلَ ُْ َ َ ُ َ َِّ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ِ ِ ِ ِ ِ .الصحْي َح ْْيَّ ِف ُ ُ ْ َ َ َ ُّ َ ْ َ ُ َ َ ٌ َ َ ٌ ْ أَنْ َكَر» َح ه ض ع ب ،اذ ك َ ه ي ق ه ي الب اهور ن س ح ث يد Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya setiap manusia dipenuhi tuntutannya, niscaya orang-orang akan menuntut harta dan darah suatu kaum. Namun, penuntut wajib datangkan bukti dan yang mengingkari dituntut bersumpah.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi seperti ini dan sebagiannya ada dalam Bukhari dan Muslim) Penjelasan hadits “Para ulama bersepakat bahwa yang menuduh diperintahkan mendatangkan bukti. Sedangkan, yang dituduh cukup bersumpah.” da’waahum: tuntutan bahwa dia yang benar bayyinah: hujjah, dalil, atau bukti mudda’i: yang mengklaim bahwa dia itu benar, ia harus datangkan bukti mudda’a ‘alaihi: yang dituduh, dia disuruh mengingkari dengan sumpah jika tidak benar Pelajaran yang terdapat dalam hadits الفوائد من احلديث 1. Tidak boleh menghukumi orang lain dengan sekadar tuduhan karena bisa jadi kita mengambil harta dan darah orang lain tanpa jalan yang benar. 2. Syariat melindungi harta dan darah dari tuntutan yang dusta, di mana syariat menyuruh untuk mendatangkan bukti bagi yang menuduh dan sumpah bagi yang mengingkari 2. Di antara bayyinaat (bukti) adalah adanya saksi, atau adanya indikasi, atau yang dituduh mengaku. 3. Jika tidak ada bukti, yang tertuduh bersumpah agar terlepas dari hukuman. Jika yang tertuduh enggan bersumpah, ia berarti penakut dan ingin menghindarkan diri sehingga ia dihukum. 4. Hadits ini bermanfaat sekali untuk masalah qadha’ (pemutusan hukum) dan untuk mendamaikan dua orang yang berselisih. 3. Manusia dikenal begitu tamak terhadap harta dan berbagai kesenangan di kehidupan dunia. Kebanyakan manusia sangat kikir untuk mengeluarkan hartanya dan enggan untuk berbagi. Padahal Allah Ta’ala berfirman, ِ ِ ًاْسَعُوا َوأَطيعُوا َوأَنف ُقوا َخ ْْيا ْ استَطَ ْعتُ ْم َو ام اَّلل َّ اوقُ َّ فَات ْ ََ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ُه ُم الْ ُم ْفل ُحو َنَ َِوق ُش َّح نَ ْفسه فَ ُْول َ ُِِّلَن ُفس ُك ْم َوَمن ي “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At- Taghaabun: 16) 4. Para sahabat sangat bersemangat melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kecintaann Allah dan manusia. 5. Dalam hadits di atas terdapat dalil adanya sifat mahabbah (kecintaan) bagi Allah ‘azza wa jalla yang dapat diperoleh dengan zuhud pada dunia, dan sSesungguhnya kebaikan bagi hamba adalah jika Allah mencintainya. 6. Sesungguhnya jika seseorang zuhud terhadap apa yang ada pada manusia, hal itu merupakan sebab baginya untuk mendapatkan kecintaan mereka. Zuhud seperti ini akan membuatnya memperoleh kebaikan dan keselamatan dari berbagai kejelekan manusia. Bahan Bacaan
http://quran.ksu.edu.sa/ Al Wafi - Syarah Kitab Arba’in An Nawawiyah, Cetakan ke tiga puluh, Tahun 2019, Musthafa Dieb Al Bugha Muhyiddin Mistu, Pustaka I’tishom, Jakarta