Anda di halaman 1dari 17

musyawarah dalam pandangan islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mampu mengambil keputusan dengan baik adalah pembebasan diri yang sangat tepat di
dalam kehidupan ini, tidak dapat di pungkiri bahwa manusia hidup tidak terhindar dari masalah dan
mereka di tuntut untuk menyelesaikannya. Pada sisi lain, adanya kesulitan dalam mengambil
keputusan merupakan hal yang wajar bahkan bisa menimbulkan kesukaran-kesukaran terhadap
keputusan itu sendiri yang menyangkut seluruh aspek kehidupan khususnya di bidang manajemen
karena dalam suatu lingkup manajemen tidak dapat terlepas dari suatu permasalahan.

Merupakan sifat kodrati manusia jika seseorang tidak dapat hidup secara individual karena
manusia adalah zon politicon yaitu makhluk social yang saling membutuhkan antara satu dengan
yang lainnya. Dalam agama islam telah diajarkan bahwa menyelesaikan permasalahan tidak harus
dengan emosi atau atas kehendak sendiri melainkan dengan jalan musyawarah. Begitupun dalam
manajemen seorang pemimpin harus mampu bertanggung jawab dalam menyelasaikan persoalan di
dalam perusahaannya, dengan bermusyawarah manusia akan dapat bertukar fikiran dan saling
berargumen untuk mencari solusi yang tepat dan membawa maslahat bagi semua orang. Dalam
makalah ini akan di bahas bagaimana seharusnya menyelesaikan persoalan dengan jalan
musyawarah, dengan dalil dari ayat Al-Qur’an dan Hadist.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian dari Musyawarah?

2. Bagaimana musyawarah dalam menyelesaikan persoalan ?

3. Tujuan dari musyawarah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teks hadist

1) Hadist dari Al Adabun Nabawi :

)‫ (روا ه التر مذ ي و ابو داوود‬.‫ اَ ْل ُم ْستَشَا ُر ُم ْؤ تَ َم ٌن‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ قَا ّل َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ع َْن اَبِ ْي ه َُري َْر ةَ َر‬.

Artinya :
Dari Abu Hurairah ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “ Musyawarah adalah dapat di percaya.”
(HR. At tirmidzi dan Abu daud)

2) Hadist dari Shahih Bukhari :

َ‫بن َوقَاصُ َو ُعبَ ْيدِهِللا ع َْن عَائِ َشة‬ ِ ‫ب َوع َْلقَ َمةَ ْا‬ ِ َّ‫اب َح َّدثَنِ ْي عُرْ َوةَ َواِ ْب ِن ْال ُم َسي‬ ;ُ َ‫ح ع َْن اِب ِْن ِشه‬ ِ ِ‫صال‬ َ ‫َح َد ثَنَا ااْل ُوْ ِس ِي َح َدثَنَا ِإب َْرا ِه ْي َم بِ ْن َس ِع ْد ع َْن‬
ْ
َ‫ض َي هللاُ َعنهُ َما ِح ْين‬ ْ
ِ ‫ب َوا َسا َمة اب ِن زَ ْي ِد َر‬ ُ َ َ
ِ ِ‫ َعلِ ُي ابْنُ ابِي طال‬.‫م‬.‫ َو َدعَا َرسُوْ ُل هللاِ ص‬: ‫ك قَالت‬ ْ َ ِ ‫ض َي ا هللاُ َع ْنهَا ِح ْينَ َحوْ لَهَا أَ ْه ُل اإْل ِ ْف‬ ِ ‫َر‬
‫ك‬َ ‫ِّق هللاَ َعلَ ْي‬ ‫ي‬ ‫ض‬ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ : ‫ل‬َ ‫ا‬َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ل‬‫ع‬َ ‫ا‬ ‫م‬َ ‫ا‬‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫ه‬ْ َ ‫ا‬ ‫ة‬‫ء‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ْ
‫ع‬ ‫ي‬ ْ‫ي‬ ‫ذ‬ ‫ل‬ َّ ‫ا‬ ‫ا‬‫ب‬ ‫َار‬
; ‫ش‬ َ ‫أ‬َ ‫ف‬ َ ‫ة‬‫م‬ ‫ا‬‫س‬ُ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ ‫ا‬َ ‫ف‬ ‫ه‬‫ل‬‫ه‬ْ َ ‫أ‬ ‫اق‬ ‫ر‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫َا‬ ‫ه‬ ‫ْر‬‫ي‬ ‫ش‬ َ ‫ت‬ ْ
‫س‬ ‫ي‬ ‫ُو‬ ‫ه‬ ‫و‬ ;
‫ا‬ ‫م‬ُ ‫ه‬َ ‫ل‬َ ‫ْأ‬
‫س‬ ْ‫ح‬
َ َ َ ‫ث‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫و‬ ْ
‫ال‬ َ َ‫ا ْست َْلب‬
ِ َ ِ ْ ِ َّ َ ِ ِ ِ َ َ َ ِ ُ َ ِ ِ َ َ َ َّ ِ ِ ِ َ ِ ِ َ ِ َ َ َ َ
ُ‫ْت أَ ْمرًا أَ ْكثَ ُر ِم ْن اَنَّهَا َجاِريَةُ َح ِد ْيثَةُ السِّنِّ تَنَام‬ َ
ُ ‫ َما ّرأي‬: ‫ت‬ ْ َ‫ك قَال‬ِ ُ‫َي ٍء يَ ِر ْيب‬ْ ‫ت ِم ْن ش‬ ِ ‫هَلْ َراَ ْي‬: ‫ال‬ َ َ‫ك فَق‬ ْ
َ ‫اريَةَ تَصْ ُدق‬ ِ ‫َوالّنِ َسا َء ِس َواهَا َكثِ ْي ٌر َو َس ِل ال َج‬
ْ
‫ت‬ ُ ‫ يَا َم ْعش ََر ْال ُم ْسلِمْينَ َم ْن يُ ْع ِذ َرنِي ِم ْن َر ُج ٍل بَلَ َغنِ ْي أَ َذاهُ فِي أَ ْهلِي َوهللاُ َما َعلِ ْم‬: ‫َاجنُ فَتَأْ ُكلُهُ فَقَا َم َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر فَقَا َل‬ ِ ‫ع َْن َع ِجيْنُ أَهٌلِهَا فَتَأْتِ ْي الد‬
‫ال أَبُوْ أُ َسا َمةَ ع َْن ِهش َِام‬ َ َ‫اِلَى أَ ْهلِي إِاَّل َخ ْيرًا فَ َذك ََر بَ َرا َءةُ عَائِشَة ََوق‬.

Artinya :

“Telah menceritakan kepada kami Al Uwaisi, telah bercerita Ibrahim bin Su’aid, dari sholeh,
dari Ibnu Shihab telah bercerita kepadaku ‘Urwah dan ibnu Musayyab dan Alqomah ibn Waqas, dan
Ubaidillah dari Aisyah r.a. ketika berkata kepadanya orang yang suka berbohong dan ia berkata : dan
Rasulullah mengajak Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a. ketika memakai wahyu dan
menannyakan kepada mereka, dan dia bermusyawarah dengan mereka atas perbedaan di dalam
keluarganya, maka Usamah bermusyawarah dengan yang di pelajari dari kebebasan keluarganya.
Maka Ali berkata : Allah tidak mempersempit bagimu dan perempuan melainkan wanita yang
banyak, dan beramal jariyah maka Dia akan mempercayaimu. Usamah berkata : Apakah kamu tidak
melihat sesuatu yang membuat kamu ragu? Aisyah menjawab : aku tidak pernah melihat suatu
perkara yang lebih dari pembantu yang berusia muda tidur di samping adonan roti keluarganya
maka datang seorang yang bersikap jinak dan memakannya. Maka Rasul berdiri di atas mimbar
seraya bersabda : Wahai golongan orang muslim barang siapa yang memberi alasan yang berlebih-
lebihan kepadaku dari laki-laki maka datang celaan dalam keluargaku dan Allah tidak mengetahui
dari keluargaku melainkan hanya kebaikannya. Maka Aisyah mengingat kebebasan itu, dan Abu
Usamah berkata dari Hisyam.

B.Penjelasan Hadits

1. pengertian musyawarah

Secara bahasa syûrâ bisa berarti mengambil, melatih, menyodorkan diri, dan meminta pendapat
atau nasihat; atau secara umum, asy-syûrâ artinya meminta sesuatu. Kata ( ‫ ) شور‬Syûrâ terambil dari
kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ‫ ) ) شورى‬Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambil dan
mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain. Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya Kata ini terambil dari
kalimat (‫ )شرلت العس‬saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti mempersamakan pendapat
yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia
ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan
siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai
suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran.
Perundingan itu juga disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai
atau diharapkan mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang dibicarakan dalam
perundingan itu.

Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukaan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani:

ِ ‫ْض إِلَى ْالبَع‬


‫ْض‬ ِ ‫ اِ ْستِ ْخ َرا ُج الر َّْأ‬:ُ‫َو ْال ُمشَا َو َرة‬
ِ ‫ى بِ ُم َرا َج َع ِة ْالبَع‬
(۲۷۰ : ‫)الراغب‬

Dari pengertian itu dapat disimpulkan, syura artinya memusyawarahkan perbedaan-perbedaan


pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan dan kebenaran yang ada di dalamnya.

Sedangkan dalam KBBI musyawarah berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai
keputusan atas penyelesaian masalah (KBBI:768).

Makna hadist di atas adalah bahwa musyawarah dapat di percaya bagi orang yang ikut serta dalam
musyawarah tersebut, maka jika musyawarah itu tidak murni dan terdapat ketidak ikhlasan dalam
mengikuti musyawarah itu hanyalah sebuah penghianatan atau ketidak jujuran. Dalam menghadapi
permasalahan perlu adanya pertimbangan yang matang, dan hati yang ikhlas maka sesungguhnya
mereka yang melakukan musyawarah adalah orang-orang yang mengharap kebaikan dan mengambil
manfaat dari musyawarah tersebut.[1]

2.Dalil Al-Qur’an dan Al Hadist yang menjelaskan tentang musyawarah

1) Surat Al-Baqarah ayat 233:

) ٢٣٣ :‫اض ِم ْنهُ َما َوتَشَا ُو ٍر فَال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما (البقرة‬ َ ِ‫فَإِ ْن أَ َرادَا ف‬
ٍ ‫صاال ع َْن ت ََر‬

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas
dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-
Baqarah: 233)

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil
keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari
menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus
mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah,
seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini
menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, Alquran memberi petunjuk
agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan
antara suami istri.

3) Surat Ali ‘Imran ayat 159 :

ِ ‫ك فَاعْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َوش‬


َ‫َاورْ هُ ْم فِي األ ْم ِر فَإِ َذا َع َز ْمت‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْالقَ ْل‬
َ ِ‫ب ال ْنفَضُّ وا ِم ْن حَوْ ل‬
) ١٥٩ :‫فَت ََو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِينَ (ال عمران‬

Artinya:
“Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya
engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali
‘Imran: 159)

4) Hadist dari Hasan ra

َ ‫ َوع َْن النَّبِ ِّى‬.‫ َولَ ِكنَّهُ أَ َرا َد أَ ْن يُ ْستَنَ ِب ِه ِم ْن بَ ْع ِده‬,ُ‫اجة‬


‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ( ما‬ َ ‫ قَ ْد َعلَ َم هللاُ أَنَّهُ َما بِ ِه إِلَ ْي ِه ْم َح‬:ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬
ِ ‫ع َِن ْال َح َس ِن َر‬
) ‫)تشا ور قوم قط إال هدوا ألرشد أمرهم‬

“Hadtis yang diriwayatkan dari hasan semoga ridha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui
apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu
kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus
untuk urusan mereka).”

5) Hadits dari Imam Ahmad

ْ ‫ لَ ِواجْ تَ َم ْعنَ َما; فِى َم ُشوْ َر ِة َم‬:‫صل ّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم آِل بِى بَ ْك ِر َو ُع َم َر‬
)‫ أحمد‬.‫ااختَلَ ْفتُ ُك َما (ر‬ َ َ‫ق‬
َ َ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬

Telah bersabda Rasulullah SAW. Kepada Abu Bakar dan Umar : “Apabila kalian berdua sepakat
dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu berdua.” (HR. Ahmad)

6) Hadist dari Ibnu Majjah

)‫إِ َذا ا ْستَشَا أَ َح ُد ُك ْم أَخَاهُ فَ ْليَ َس َّر َعلَ ْي ِه (ابن ماجه‬

Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah.
(HR. Ibnu Majah)

3. musyawarah dalam manajemen

Kewajiban para pemimpin untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah adalah hal yang
sangat urgen. Karena keputusan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi stabilitas wilayah
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus meniru ratu Bilqis, yang mana ia tidak pernah
mengeluarkan kebijakan tanpa adanya pertemuan untuk melakukan musyawarah terlebih dahulu.
Seperti dalam firman Allah SWT Q.S. an-Naml: 32

Dalam Al-Qur’an telah di sebutkan bahwa perintah untuk bermusyawarah tertuju kepada Rasulullah
dalam surat Ali ‘imran ayat 159, namun para ahli mufassirin sepakat bahwa orang yang di minta
untuk bermusyawarah adalah semua orang. Dengan alasan bila Nabi saja di minta untuk
bermusyawarah apalagi ummatnya. Nabi adalah orang yang ma’sum yaitu terpelihara dari dosa dan
kesalahan tetapi masih di perintah untuk bermusyawarah tentu saja sebagai ummat beliau sudah
sepatutnya untuk melaksanakan musyawarah ketika menemui suatu permasalahan.[2]
Di kaitkan dengan masalah manajemen, bila dalam suatu perusahaan atau sebuah manajemen
terjadi permasalahan maka sebagai seorang pemimipin harus mmampu menyimpulkan jenis
permasalahan yang terjadi itu dengan cepat, dan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut
tanpa adanya kesimpang siuran antara manajer dengan karyawannya atau dengan anggota. Dengan
mengadakan rapat sebagai jalan untuk menemukan ujung permasalahan yang di hadapi dan di
musyawarahkan sesuai dengan ketentuan agama. Manusia tidak bisa hidup menyendiri tanpa
interaksi dengan orang lain dalam berbagai peristiwa dan waktu. Interaksi manusia seperti ini selalu
akan mempengaruhi sikap seorang dalam menyelesaikan masalah, seorang dalam menyelesaikan
konflik memiliki tiga jenis sikap sesuai dengan pengaruh-pengaruh eksternal dan sikap manusia itu
sendiri.[3] ketiga sifat tersebut adalah :

§ Sikap tegas (afirmatif), yaitu mengungkapkan segala ide, perasaan dan kebutuhan secara jujur dan
amnah serta memakai cara langsung tanpa melanggar hak-hak orang lain dan sikap ini di nilai positif

§ Sikap lembek, yaitu ketidak mampuan untuk mengungkapkan segala ide, perasaan dan kebutuhan
secara jujur dan amanah serta memakai cara langsung

§ Sikap agitatif, yaitu sikap yang tidak memperhatikan ide, perasaan dan kebutuhan orang lain
sehingga seting melkai pihak lain baik secara fisik, emosi maupun kata-kata. Sikap ini adalah sikap
yang paling negative di bandingkan sikap sebelumnya

Suksesnya suatu keputusan berasal dari dasar pihan kita sebenarnya, ini akan menimbulkan
kepuasan karena berasaldari keinginan kita sendiri. Sebaliknya jika hasil keputusan karena terpaksa
misalnya karena balas dendam, kecewa, hilangnya perasaan, semua ini tidak akan membawa
kepuasan tersendiri.[4] Dalam mengambil keputusan tahap pertama adalah mencapai keputusan
yang di kehendaki baru melaksanakan dalam kenyatan yang sebenarnya, hal yang penting dalam
mengambil keputusan adalah menerima apa adanya dan pengenalan terhadap diri sendiri dan
kepentingan bersama.

Bermusyawarah berarti berhubungsn dengan orang lain dan ada pesan didalamnya, maka kedua hal
ini saling berhubungan dan berkaitan. Komunikasi membantu proses berjalannya suatu
musyawarah. Ada sumber, pesan, media, serta penerima pesan yang sudah bersiap juga untuk
memberikan feedback.[5]

Dalam menyelesaikan persoalan di perlukan komunikasi yang baik di dalam permusyawarahan,


karena keputusan yang baik akan di dapat setelah meleksanakan musyawarah. Namun ada beberapa
aspek yang mempengaruhi komunikasi, suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik dan mencapai
tujuan dari komunikasi bergantung pada aspek berikut ini[6] :

1. Aspek bahasa

· Bahasa yang di pakai harus sesuai dengan kondisi komunikan baik dalam hal karakter, sifat,
pengalaman dan skill mereka

· Bahasa yang di pakai harus mudah, sederhana, dan tidak mengandung istilah yang sulit di
pahami

· Baha ynag digunakan harus jelas sehingga tidak mengandung banyak penafsiran
· Setiap individu harus menggunkan bahasa yang tepat baik secara formal maupun informal,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis

2. Aspek intelektual dan social

· Menghindari bahasa yang tidak pada tempatnya

· Mencermati aspek adat dan tradisi yang berkembang dalam suatu lingkup kehidupan

3. Aspek kemanusiaan

· Harus bersikap jujur dan ikhlas dalam berkomunikasi

· Memerhatikan amanah ketika mendapatkan pesan dengan tidak menambahi atau


menguranginya

· Cermat menganalisis segala masslah yang timbul dari penerapan penerapan teknologi
terutama penggunaan visual dan audio vsual dalam meyampaikan informasi

Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitan dalam dunia politik dan demokrasi. Bahkan hal tersebut
tidak dapat dipisahkan, pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari demokrasi, dalam
demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dan jika terjadi
kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan votting, jadi demokrasi tidak sama dengan
votting. Cara votting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis,
menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit, itulah sebabnya
votting cenderung identik dengan dengan demokrasi padahal votting sebenarnya adalah salah satu
cara dalam mekanisme penentuan pendapat dalam sistem demokrasi.[7]

4. Subyek musyawarah dan Musyawarah di zaman Nabi

Dalam tafsir Almaraghi telah di sebutkan bahwa orang yang berhak untuk mengikuti
musyawarah adalah orang yang berlaku adil dan mempunyai ilmu. Mampu menguasai materi dan
memilki peran serta dalam musyawarah tersebut. di masa Rasulullah, beliau pernah melaksanakan
musyawarah di saat terjadiya perang uhud.

Dalam surat Ali Imran ayat 160 disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf
secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat
perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan
kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.

Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf.
Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-
kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan
mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah
kandungan pesan fa’fu anhum

Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam
perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan
masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin
Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar
memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan
membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja.
Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang
itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam
perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini
Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan
ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka
tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Ayat ini diturunkan sebagai
dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin
Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah
kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya
ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.

Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar
dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam
ide tersebut disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya
Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami
lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada
Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini.
Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk
mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.

5. tujuan dan manfaat musyawarah

Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut [8]:

1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan
terhadap kemaslahatan umum

2. Sesungguhnya akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan nalarnyapun berbeda-beda. Oleh
karena itu, di antara mereka pasti mempunyai suatu kelebihan pandangan disbanding yang lain (dan
sebaliknya), sekalipun di kalangan para pembesar.

3. Sesungguhnya pendapat-pendapat dalam musyawarah diuji keakuratannya, . Setelah itu,


dipilihlah pendapat yang sesuai (baik dan benar)

4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan
kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah
yang sedang dihadapi.

Dalam bukunya djoko sutopo pun berpendapat sama atas manfaat atau faedah dari
musyawarah yaitu untuk bertukar fikiran serta menguji suatu pendapat yang layak dan patut untuk
di ambil sebagai keputusan. Dalam musyawarah berupaya untuk menyatukan gagasan yang
keluardari pemikiran banyak orang.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, syura artinya memusyawarahkan perbedaan-perbedaan


pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan dan kebenaran yang ada di dalamnya. Nabi juga
pernah melaksanakan musyawarah pada saat akan perang uhud melawan kafir Quraisy, beliau
merundingkan bagaimana strategi untuk melawan kafir Quraisy.

Musyawarah mengandung banyak faedah antara lain :

1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan
terhadap kemaslahatan umum

2. Sesungguhnya akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan nalarnyapun berbeda-beda. Oleh
karena itu, di antara mereka pasti mempunyai suatu kelebihan pandangan disbanding yang lain (dan
sebaliknya), sekalipun di kalangan para pembesar.

3. Sesungguhnya pendapat-pendapat dalam musyawarah diuji keakuratannya, . Setelah itu,


dipilihlah pendapat yang sesuai (baik dan benar)

4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan
kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah
yang sedang dihadapi. B. Saran

Dalam melaksanakan musyawarah di anjurkan untuk dapat menahan amarah dan nafsu
dalam menghadapi berbagai argument yang mungkin tidak sependapat dengan argument yang kita
keluarkan, seperti telah di jelaskan dalam surat Ali imran bahwa kita harus saling memaafkan dalam
musyawarah dan saling menghargai pendapat orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djoko Soetopo. 1987. faedah musyawarah, yogyakarta: pustaka pelajar.

Habermas Jurgen. 2009. Demokrasi komunikasi. Yogyakarta. Kanisius.

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Musyawarah1.html

Muhamad fathi. 2006. Menjadi manajer sukses. Bandung : Syamil Cipta Media.

Tafsir Al Maraghi juz. 3


Theodore Isaac Rubin, MD. 1993. Delapan strategi keputusan yang efektif. Semarang : Dahara
Prize.

http://ulya-qisty.blogspot.co.id/2012/06/musyawarah-dalam-pandangan-islam.html

isyari’atkannya Musyawarah

Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT
berfirman:

َ‫َاورْ هُ ْم فِي اأْل َ ْم ِر فَإِ َذا َع َز ْمت‬ ِ ‫ك فَاعْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َوش‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ ِل ْنتَ لَهُ ْم َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْالقَ ْل‬
َ ِ‫ب اَل ْنفَضُّ وا ِم ْن حَوْ ل‬
َ‫فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِين‬

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]:
159)

Ini seluruhnya dari Rasul untuk seluruh kaum Muslim. Dan ayat yang kedua berbunyi:

َ‫صاَل ةَ َوأَ ْم ُرهُ ْم ُشو َرى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُون‬


َّ ‫َوالَّ ِذينَ ا ْستَ َجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوأَقَا ُموا ال‬

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)

Sifat-sifat itu hanya ada pada kaum Muslim.

Abu Hurairah ra berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya
dari pada Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.

Hasan ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar
urusan mereka mendapatkan bimbingan.
Adapun penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum Muslim maupun non muslim, karena
Rasul telah mentaqrirkan suatu pendapat yang ada pada hilf al-fudlul. Beliau bersabda: ‘Jika aku
dipanggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi (panggilannya), dan aku tidak ingin
melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal itu bagiku (lebih baik dari pada) unta merah’. Padahal
pendapat tersebut adalah pendapat orang-orang musyrik.

Landasan Musyawarah

Yang kini samar dalam benak kebanyakan kaum Muslim adalah perkara-perkara apa yang diputuskan
melalui musyawarah? apakah wajib mengambil pendapat mayoritas tanpa melihat lagi benar atau
salahnya? atau wajib mengambil pendapat yang benar tanpa memandang lagi mayoritas atau
minoritas?

Untuk mengetahui jawaban perkara-perkara tadi diperlukan pemahaman terhadap realita tentang
pendapat, dilihat dari sisi keberadaannya sebagai pendapat. Apa sebenarnya pendapat itu?
Kemudian diperlukan pemahaman tentang dalil-dalil syara’ yang rinci, yang mengupas tentang
pengambilan pendapat. Selanjutnya penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang
pendapat dengan penerapan yang bersifat tasyri’iy.

Realita Pendapat

Pendapat yang ada di dunia ini bisa digolongkan dalam empat jenis, yakni:

1. Hukum syara.

2. Definisi (terminologi) suatu perkara dari sekian banyak perkara. Baik definisi syar’i atau definisi
tentang suatu fakta/realita.

3. Pemikiran mengenai suatu topik, atau perkara yang bersifat seni/teknik, yang dipahami orang
yang ahli dan spesialis (pakarnya).

4. Pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan.
Syuro Berlaku Untuk Semua Jenis Pendapat

Nash al-Quran menunjukkan bahwa syura itu terkait dengan seluruh pendapat yang ada.

Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)

Kalimatnya disini berbentuk umum, kata amruhum berarti perkara kaum Muslim, mencakup seluruh
perkara. Sedangkan kata al-amru, alif lam disini untuk jenis, maksudnya jenis perkara. Bentuk umum
tetap berlaku umum selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil
yang mengkhususkan syura dalam perkara apapun, sehingga syura bersifat umum mencakup seluruh
pendapat.

Landasan Pengambilan Keputusan

Pendapat jenis pertama landasan pengambilan keputusannya adalah kekuatan dalil.

Dalam kasus perjanjian hudaybiyah Rasulullah justru mengambil pendapat yang bertentangan
dengan pendapat semua sahabat, ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu berkata: ‘Maka aku
menemui Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu aku bertanya: “Bukankah Anda ini benar-benar
Nabi Allah?” Beliau menjawab: “Ya benar”. Aku katakan: “Bukankah kita berada diatas kebenaran
sedangkan musuh-musuh kita di atas kebatilan”. Beliau menjawab: “Ya benar”. Aku katakan: “Lalu
kenapa kita terima penghinaan ini kepada agama kita?” Beliau berkata:

ِ ‫ْت أَ ْع‬
ِ ‫صي ِه َوهُ َو نَا‬
‫ص ِري‬ ُ ‫إِنِّي َرسُو ُل هَّللا ِ َولَس‬

““Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR
Bukhari)

Pendapat jenis kedua dan ketiga landasan pengambilan keputusannya adalah ketepatan atau
kesesuaian dengan fakta yg didefinisikan.
Dalam perang Badar, ketika Nabi dan kaum Muslim sama-sama singgah di sebuah tempat yang
berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubab bin al-Munzhir keberatan singgah (dan
mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul, ‘‘Wahai Rasulullah, apakah engkau
telah menganggap bahwa tempat singgah ini telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak
ada hak bagi kami untuk mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat,
peperangan dan tipu daya saja? Kemudian Rasul menjawab: ‘Ia merupakan pendapat, peperangan
dan tipu daya’. Maka Hubab bin al-Munzhir berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukanlah
tempat singgah yang layak’. Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam
diri langsung berdiri bergegas bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al-
Munzhir.’ (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 598)

Dalam kasus ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat para
jama’ah (mayoritas), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga cukup pengambilan dari
satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan Rasul: Ia merupakan pendapat, peperangan
dan tipu daya.

Dalam perang Ahzab (Khandaq/parit) Rasulullah saw bermusyawarah dengan Pemimpin Aus dan
khazraj (Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah) tentang perdamaian yang akan Beliau lakukan
dengan Bani Ghathafan untuk memecahkan kekuatan pasukan sekutu kafir Quraisy. Kedua sahabat
itu berkata: ”Wahai Rasulullah, jika usulan itu datangnya dari langit (wahyu) maka laksanakanlah!
Namun apabila usulan itu masih bisa di ubah dengan apa yang anda perintahkan, maka keputusan
kami serahkan sepenuhnya kepada anda. Kami hanya bisa patuh dan melaksanakannya. Akan tetapi
jika usulan tersebut hanya sekedar usulan yang masih mungkin untuk dimusyawarahkan lagi, maka
pilihan kami hanyalah pedang (berperang)” Rasulullah bersabda: ”Jika memang Allah
memerintahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak akan mengajak kalian berdua untuk
bermusyawarah” (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 190)

Pendapat jenis keempat landasan pengambilan keputusannya adalah suara mayoritas.

Rasulullah bersabda kepada Abu Bakr dan Umar:

‫ور ٍة َما خَالَ ْفتُ ُك َما‬


َ ‫لَوْ اجْ تَ َم ْعتُ َما فِي َم ُش‬

Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (masyurah), maka aku tidak akan
bertentangan dengan kalian berdua. (HR Ahmad)

Dalam kasus perang uhud, Rasulullah saw telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari kaum
Muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak ke-Islamannya (munafik-pen) dan mereka
bermusyawarah. Lalu Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik mereka berjaga-jaga (bertahan) di
kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada diluar Madinah. Pimpinan kaum munafik,
Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga
dianut para pemuka sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang
memiliki semangat pembelaan yang kuat yang tidak hadir pada perang Badar dan juga yang telah
ikut perang badar dan menang, yang berpendapat lebih baik keluar (Madinah) untuk menyongsong
dan melawan musuh. Maka muncullah mayoritas dukungan terhadap pendapat para pemuda tadi
sehingga Rasul menyetujui pendapat mereka dan mengikuti pendapat mayoritas. Peristiwa ini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw menyetujui pendapat mayoritas dan beramal sesuai dengan
pendapat tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat, karena
mereka berada pada posisi minoritas, hingga orang-orang menyesal (karena tidak sependapat dg
Rasulullah) lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan berkata: “Rasulullah, bukan maksud kami
hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa
tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.” Nabi tetap menolak permintaan mereka : Tidak
layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan
menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya.
Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu,
kemenangan akan berada di tanganmu.”

Penentuan Jenis Pendapat

Kadangkala penerapan dalil-dalil terhadap berbagai pendapat yang ada di dunia terdapat kesamaran
mengenai perbedaan antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Kadang orang mengatakan
bahwa di dalam pembahasan realita tentang pendapat tidak terdapat perbedaan antara pendapat
yang menghantarkan kepada suatu aktivitas dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu
pemikiran, karena pada akhirnya semua itu kembali kepada suatu aktivitas. Lalu dari mana
datangnya perbedaan diantara keduanya?

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide hanya
membahas topiknya saja tanpa melihat kepada aktivitas. Jadi, fokus pembahasannya adalah
topiknya bukan aktivitas. Lagi pula yang diinginkan dari pemahaman tersebut adalah tercapainya
fikrah/pemikiran tentang topik yang dibahas tanpa memperhatikan lagi aktivitas, atau tanpa
memperhatikan lagi aktivitas yang akan dihasilkan fikrah tersebut. Misalnya, kaum Muslim keluar
untuk memerangi riddah (orang-orang murtad) yang dianjurkan oleh Abu Bakr, dengan alasan
bahwa hal itu adalah pemberontakan sekelompok masyarakat dalam rangka menghindari
pelaksanaan hukum-hukum Islam. Sementara yang dianjurkan Umar beralasan bahwa hal itu adalah
perang kelompok yang kuat dalam menentang negara, dan kadangkala negara tidak berdaya
memerangi mereka. Oleh karena itu Abu Bakr berkata: ‘Demi Allah, kalau saja mereka enggan (tidak
membayar zakat meskipun berupa-pen) (tali) kekang unta, dimana mereka pernah menunaikannya
(zakat) kepada Rasulullah, maka sungguh aku akan perangi mereka’. Ketika topik pembahasan sudah
menjadi jelas bagi Umar, beliau menarik kembali pendapatnya dan mengikuti pendapat yang tepat
(benar), yaitu pendapat Abu Bakr. Karena topiknya benar-benar merupakan perkara perlawanan
sekelompok masyarakat dan bukan perkara tentang peperangan sekelompok besar (kuat) yang
menentang negara. Pembahasan sebenarnya adalah bukan pada keluar atau tidaknya untuk
berperang sebagaimana yang pernah terjadi di Uhud, melainkan apakah enggannya orang-orang
Arab menunaikan zakat setelah wafatnya Rasul dan sikap perlawanan mereka kepada negara
merupakan pemberontakan terhadap pelaksanaan hukum syara’, atau hanya perlawanan
sekelompok besar (masyarakat) terhadap negara? Inilah yang menjadi topik pembahasan. Oleh
karena itu maka pembahasannya adalah tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu
pemikiran. Prosesnya dikembalikan kepada pendapat yang paling tepat. Dalam kasus tersebut
adalah pendapat yang menyatakan bahwa hal itu merupakan pemberontakan dari sekelompok
rakyat terhadap pelaksaan hukum-hukum syara’.

Dalam contoh tersebut jelas bahwa fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Meski
ketiga contoh tersebut menghasilkan berbagai aktivitas, akan tetapi pembahasannya tidak masuk
pada aktivitasnya melainkan kepada fikrah (ide). Terungkapnya fikrah tersebut akan menghantarkan
pada dilaksanakan atau tidaknya suatu aktivitas, atau akan dilaksanakan sesuai dengan bentuk yang
dikehendaki oleh fikrah yang telah dibahas. Jadi, pembahasannya adalah agar tercapainya suatu
pendapat tentang sebuah topik, atau sampainya pada suatu ide tentang topik tersebut. Apabila
suatu ide telah tercapai, barulah ditentukan aktivitasnya berdasarkan ide yang telah dicapai dalam
pembahasan tadi. Dengan demikian pendapat yang telah dibahas ini tidak menghantarkan pada
suatu aktivitas secara langsung, melainkan menghantarkan kepada suatu ide. Kadangkala ide yang
telah tercapai menghasilkan pelaksanaan aktivitas. Terkadang juga tidak menghasilkan pelaksanaan
aktivitas.

Adapun pendapat yang menghantarkan kepada aktivitas, topik pembahasan didalamnya adalah
pelaksanaan suatu aktivitas tanpa memandang lagi pada topik yang bisa menghasilkan aktivitas
tersebut. Contohnya ketika Abu Bakr berkonsultasi dengan kaum Muslim tentang siapa yang akan
menjadi Khalifah setelah beliau. Ini adalah pembahasan mengenai pemilihan seorang Khalifah, yaitu
apakah mereka memilih sifulan atau sifulan. Pembahasannya sama sekali bukan mengenai
kekhilafahan. Pembahasannya tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas.

Adapun yang berkaitan dengan kesamaran yang terdapat dalam perbedaan antara peristiwa Badar
dan peristiwa Uhud, maka kadangkala orang mengatakan tidak ada bedanya antara peristiwa Badar
dengan peristiwa Uhud. Lalu mengapa peristiwa Badar dianggap bagian dari pendapat yang
menghantarkan kepada suatu ide, sedangkan peristiwa Uhud dianggap sebagai bagian dari pendapat
yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, sementara masing-masing dari peristiwa tersebut
adalah sama-sama pergi ke medan (perang), tidak terdapat perbedaan antara keduanya? Jawaban
terhadap hal ini adalah, bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara dua peristiwa tersebut.
Peristiwa Uhud adalah (membahas) apakah mereka keluar (kota Madinah) atau bertahan? Dalam
peristiwa itu terdapat semangat dan rasionalitas, bukan (membahas) tentang tempat peperangan.
Oleh karena itu kita jumpai bahwa Rasul saw lah yang mengatur (taktik) militer ditempat yang
strategis diatas gunung Uhud. Beliau sendiri yang mengaturnya dan menempatkan para pemanah
berada dibelakang dan menyuruh mereka agar tidak turut (turun ke bawah untuk) menyerang.
Dalam hal ini beliau tidak mengikuti pada pendapat kelompok. Sedangkan fakta tentang peristiwa
Badar, pembahasannya adalah pengaturan militer pada tempat yang strategis. Dalam hal ini
Rasulullah kembali pada pendapat yang tepat (benar). Ini dari satu sisi. Dari sisi lain dalil mengenai
hal ini bukan perbuatan Rasul saja, melainkan perbuatan dan perkataan beliau, yaitu sabda Rasul
saw: Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.

Pengambil Keputusan

Tinggal satu masalah lagi yaitu, siapa yang berhak menjelaskan hal yang lebih tepat (benar) sehingga
pendapatnya adalah pendapat yang kuat? Jawaban atas hal ini bahwa yang mentarjih pendapat yang
benar adalah orang yang memiliki wewenang dalam masalah tersebut, yakni Amir al-qaum, maksud-
nya pemimpin suatu kaum. Dialah yang bermusyawarah dengan jama’ah. Dalilnya adalah ayat:

ِ ‫َاورْ هُ ْم فِي اأْل َ ْم ِر فَإِ َذا َعزَ ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا‬
ِ ‫َوش‬

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 159)

Syura pernah terjadi pada masa Rasul, dan beliau bertindak selaku pemimpin kaum Muslim. Allah
telah menetapkan perkara tersebut pada beliau setelah melakukan musyawarah, melaksanakan apa
yang diputuskannya, dan apa yang dipandangnya sebagai pendapat yang benar. Maka
keberadaannya adalah sebagai murajjih (orang yang mengutamakan) pendapat yang benar.
Demikian juga halnya dengan seluruh pemimpin suatu kaum. Sebab, musyawarah ini bukan
dikhususkan bagi Rasul saja, melainkan berlaku umum bagi seluruh kaum Muslim. Karena seruan
(khithab bagi) Rasul adalah seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkanya.
Dalam perkara ini tidak ada dalil yang mengkhususkannya hanya untuk Rasul. Jadi, keberadaannya
berbentuk umum.

Yang harus menentukan aspek yang benar (tepat) itu hanya satu orang saja, sebabnya:

Allah menjadikan pengambil keputusan hanya untuk satu orang dengan mengatakan َ‫( فَإِ َذا َع َز ْمت‬jika
kamu telah membulatkan tekad) bukan ‫( فَإِ َذا َعزَ ْمتُم‬jika kalian telah membulatkan tekad)

Bahwa realita aspek yang benar wajib menjadikan pentarjih hanya satu orang saja, karena jika
dibiarkan pentarjihan itu dilakukan oleh dua orang, tiga atau lebih, memungkinkan terjadi
perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat mereka akan memaksa untuk kembali pada masalah
tahkim. Apabila mereka bertahkim kepada dua orang, maka tetap saja masih terjadi silang pendapat
diantara mereka sehingga proses tahkim kembali kepada salah satu dari keduanya. Dengan demikian
tahkim akhirnya tetap kembali kepada satu orang.

Sesungguhnya perkara yang sangat besar dikalangan kaum Muslim adalah pusat Khilafah (markaz al-
khilafah). Syari’at Islam telah memberikan hanya kepada (seorang) Khalifah saja seluruh wewenang
pentarjihan suatu hukum atas hukum lainnya dalam rangka pengadopsian berbagai hukum.
Penentuan kebijakannya berdasarkan kekuatan dalil, dan telah diberikan baginya hak dalam
pentarjihan aspek yang benar. Hanya dia (Khalifah) yang memiliki hak mengumumkan perang,
perjanjian damai, pembatasan hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir, dan lain-lain yang
termasuk ke dalam wewenang seorang Khalifah.

Khatimah

Jelaslah bahwa dalam Islam suara mayoritas hanya menjadi rujukan dalam kasus pendapat yang
mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan, tidak bernilai sama
sekali jika dikaitkan dengan hukum atas suatu perbuatan maupun definisi atas suatu fakta atau
perkara yang membutuhkan keahlian khusus.

Tidak pernah para sahabat mengajak Rasulullah saw untuk musyawawarah ketika turun perintah
(wahyu) dari Allah swt, mereka tidak mengatakan: ”Rasulullah saw sebaiknya kita mengundurkan
dulu kewajiban menutup aurat ini karena secara mental masyarakat Madinah belum siap, disamping
itu mereka belum punya uang membeli pakaian untuk menutup aurat mereka” Tetapi para sahabat
segera melaksanakan kewajiban segera setelah ayat turun, hal ini sebagai wujud keta’atan mereka
kepada Allah swt dan rasul-Nya (taqwa).

Aisyah berkata : Semoga Allah merahmati kaum Wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah
menurunkan firman-Nya:

‫َو ْليَضْ ِر ْبنَ بِ ُخ ُم ِر ِه َّن َعلَى ُجيُوبِ ِه َّن‬

Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka (TQS.
An-Nur [24]: 31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung)
dan menutup kepala mereka dengannya. (HR Bukhari)

Adapun musyawarah sekarang yang dilakukan menghasilkan hukum-hukum yang bertentangan


dengan ketentuan Allah SWT. Riba dihalalkan melalui bunga bank, khamr dihalalkan dan hanya
dibatasi distribusinya, zina dibolehkan dan hanya dilokalisir, kepemilikan umum di berikan kepada
asing, dll, kemudian penguasa menerapkan hasil musyawarah tersebut.
Sayyid Quthb memberikan istilah penguasa seperti ini adalah pencuri kekuasaan Allah swt, mereka
mencabut kekuasaan Allah swt dengan memerintah manusia berdasarkan syari’at buatan mereka.
Seolah-olah mereka ini adalah Tuhan dan rakyat adalah hamba mereka. (Petunjuk Jalan (ma’alim
fith-thariiq) hal 66)

Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mereka yang meyakini undang-undang buatan manusia
tanpa berlandaskan syari’at Allah swt, maka mereka telah menyekutukan (syirik) Allah swt. (4 Istilah
dalam al-Quran (al-mushthalahat al-arba’atu fi al-Quran) hal 36, 53, 105). Pandangan yang sama
dikemukakan oleh Salman al-Audah, bahwa termasuk syirik membuat UU dan sistem yang
bertentangan dengan syari’at Allah. (Doktrin Syahadat Nabi (hakadza allamad anbiya laa ilaaha
illallaah) hal 39).

Muhammad Quthb menegaskan kewajiban berhukum secara total kepada syari’at Allah swt, bukan
hukum yang lain (buatan manusia). Hukum hanya dua; hukum Allah swt atau hukum jahiliyah, tidak
ada hukum ketiga atau pertengahan (Koreksi Atas Pemahaman Ibadah (mafahim yanbaghi an
tushabah), hal 47). Jadi, hukum-hukum hasil musyawarah manusia, sementara Allah swt telah
menetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah maka termasuk hukum jahiliyah. Allahu A’lam. [M.
Taufik N.T]

https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/01/19/musyawarah-dalam-pandangan-islam/

Anda mungkin juga menyukai