Konsep Set
Untuk menganalisis interaksi sosial, Thibaut dan Kelly menggunakan matriks dengan
menggunakan konsep “ set “. Suatu set adalah serangkaian aktivitas (tingkah laku) baik
verbal maupun motorik untuk mencapai tujuan tertentu. ( Sarwono, 2008 : 34 )
Dalam hubungan yang kooperatif, kedua pihak berusaha memaksimalkan hasil positif
yang dapat diberikan pada pasangan masing-masing. Dalam hubungan yang kompetitif
setiap peserta berusaha mempertahankan set yang memberi hasil maksimal pada dirinya
sendiri. Untuk mengetahui posisi matriks masing-masing, harus terjadi interaksi terlebih
dahulu. Sehingga mereka membuat prediksi-prediksi tentang bentuk selanjutnya dan
memperkirakan tingkah laku apa yang akan timbul selanjutnya. Semakin lama interaksi itu
berlangsung, semakin stabil tingkah laku masing-masing. (Sarwono, 2008 : 35)
Interaksi sosial akan dihayati oleh seseorang atas dasar dua kriteria yaitu : tingkat
perbandingan dan tingkat perbandingan pilihan. Tingkat perbandingan adalah hasil
minimum yang dapat diharapkan dari suatu interaksi. Jika hasil yang secara nyata diperoleh
dari suatu interaksi lebih tinggi dari pada tingkat perbandingan, maka interaksi itu akan
menarik dan cenderung dipertahankan, dan sebaliknya. (Sarwono, 2008 :35)
Ada atau tidaknya pilihan interaksi lain ditentukan oleh tingkat perbandingan pilihan,
yaitu hasil minimum yang dapat diharapkan dari beberapa kemungkinan interaksi. Jika ada
interaksi lain yang hasilnya lebih tinggi daripada hasil sekarang, maka orang bersangkutan
akan menghentikan interaksi sekarang dan pindah ke interaksi lainnya. Akan tetapi, kalau
interaksi lain semua memberikan hasil yang lebih rendah dari pada hasil yang sekarang,
maka interaksi yang sekarang akan dipertahankan walaupun hasilnya lebih rendah daripada
tingkat perbandingan yang diharapkan. (Sarwono, 2008:36)
Dalam interaksi permanen seperti perkawinan dan hubungan kerja, funsi ekslorasi matrik
suatu tingkah laku sangatlah penting. Walau demikian, ada hal-hal yang dapat mengurangi
kemungkinan eksplorasi matrik (Sarwono, 2008:36) , yaitu :
1. Keasingan. Jika ada dua orang yang berjumpa dan belum saling mengenal, maka
masing-masing akan berusaha bersikap menahan diri sehingga menyulitkan
eksplorasi dari pihak pasangan.
2. Perbedaan norma.
3. Otistik kebencian. Adanya perasaan benci menyebabkan seseorang menutup diri
( otistik ) sehingga menyulitkan eksplorasi.
4. Otistik persahabatan. Dalam persahabatan segi kurang baik dari seseorang dicoba
untuk ditutupi ( reaksi otistik ) sehingga sulit juga dilakukan eksplorasi matriks.
Pada kontrol nasib, atasan mampu mengendalikan hasil bawahan dengan mengubah-ubah
tingkah lakunya. Akan tetapi, dalam praktik yang sering terjadi bahwa bawahan juga mampu
memberi ganjaran-ganjaran tertentu kepada atasan sehingga akhirnya keduanya saling
tergantung untuk mengharapkan ganjaran dari pasangan. Hubungan tersebtu adalah
hubungan saling tergantung. (Sarwono, 2008: 38 )
B. Teori Fungsional Interaksi Otoriter
Dalam teori ini Adams dan Romney dalam Sarwono (2008: 39) menggunakan prinsip-
prinsip kelaziman operan untuk menganalisis interaksi otoritas, yaitu interaksi dimana salah
satu pihak mempunyai kontrol terhadap tingkah laku pihak lain. Mereka menyatakan bahwa
interaksi otoritas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ;
1. Hubungan otoritas adalah simetris, salah satu pihak mempunyai kekuatan yang lebih
besar.
2. Hubungan otoritas adalah stabil, dalam arti bahwa pihak atasan maupun bawahan
akan menduduki posisinya untuk waktu yang cukup lama.
3. Meskipun dalam masyarakat ada tata cara yang mengatur hubungan otoritas, namun
hubungan otoritas itu sendiri terjadi terlepas dari ada atau tidak adanya tata cara
masyarakat tersebut.
Pada interaksi otoritas yang lebih dari dua orang, prinsip saling memberi ganjaran ini
juga berlaku dan tetaplah pihak atasan lebih berkuasa untuk memberikan ganjaran dari pada
bawahan. (Sarwono, 2008:40)