Anda di halaman 1dari 35

Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey

(Oleh: Koko Istya Temorubun, ss)

Pendahuluan

Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John
Dewey seputar manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John
Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu
sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu kami
menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya tentang filsafat
pendidikan.

Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam
proses mengajar dan peranan siswa dalam proses belajar.

I. Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey

1. John Locke

1.1. Pokok Pikiran Filosofis John Locke

Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural
alam dan manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis
pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks
pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.

Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu
berisi kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia.
Tanpa sustratum material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya
kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi.
Tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi
sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung
pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam
kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya,
obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak
adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.

Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang
mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat
menghasilkan pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih
yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh Allah, tak ada ide
tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan
bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia sadar bahwa ia
tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk
mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan
sekitarnya dan membentuk dalam dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang
dihadapinya. Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.

Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk
mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4]Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau
bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik.[5]Dengan
demikian, Locke menampilkan karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan
moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi
alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak
miliknya tanpa tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut,
manusia harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana seluruh anggotanya
memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa semua manusia sama.
Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan kepada penguasa dengan
syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan
untuk mencapai kebahagiaan hidup.

1.2. Pandangan John Locke Tentang Pendidikan

A. Tujuan Pendidikan

Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa
tujuan dari pendidikan, yaknipertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan,
pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan
kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap
individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu,
Locke melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup
masyarakat.[10]Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi
yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan
manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini,
pengetahuan dilihat oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi
yang bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia
yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan.Keempat, pendidikan menjadi
\psarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]

B. Hakekat Pendidikan

Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita
ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri,
melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human
Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu
pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini
saling menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang
menwderima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui
pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu jaringan
pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita
menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh Locke, gagasan-
gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan
majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman,
tanpa pengolahan secara logis sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan
gagasan-gagasan tunggal.

C. Metode Pendidikan

Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya,
tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan
demikian metode yang ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus
membawa para murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka
menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan,
baru kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.

D. Kurikulum Inti

John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan
keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa
diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya
difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada
kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud
bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]

Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan,
kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung,
bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga
menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.

2. John Dewey

2.1. Pandangan Filosofis John Dewey[20]

Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia
itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk
akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang
menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan
segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat
yang ada disekitarnya.

Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati
tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak
bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya
tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya
ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung
kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan
kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi
kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus
tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.

2.2. Pandangan John Dewey Tentang Pendidikan

A. Hakekat Pendidikan

Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandangannya tentang filfsafat pendidikan.


Pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan
modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia
mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini,
pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak negara lain di seluruh dunia.[21]

Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia
pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide
pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari
setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia
menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus
dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan
dengan hal tersebut maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan
pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan
guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerja
sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir
kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk
merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus
mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.

B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.

Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu
masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk
peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula
diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling
fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud
dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk
mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk
menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.
C. Kurikulum Inti

Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang
tertib.[23] Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran,
antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas
pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar
dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses
ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan
pemikiran.

Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan
masukan-masukan dari bawah.

D. Metode Pendidikan

Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah
yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan
yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa
dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-
doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.

Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba


menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan
pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan
menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam
diskusi dan pemecahan masalah.[24]

II. Relevansi bagi Peranan Guru dan Siswa

A. Peranan Guru

A.1. Guru sebagai mediator dan fasilitator

Menurut Locke dan Dewey, yang penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk
memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-
formulasi, teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang
terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan demikian
hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey memprotes cara
belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Yang penting yakni guru
mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.

Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu
proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:

1. Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan


belajar. Seorang guru memungkinkan siswanya untuk menjalankan proses belajar atau
membentuk pengertiannya sendiri. Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru
menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah
bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
2. Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan
membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan
ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk
berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik.
Pengalaman konflik yang dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau
persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut. Guru harus menyemangati
siswa.
3. Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara
mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan
siswa cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi.
Sangatlah penting bahwa seorang guru tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya
merupakan kebenaran tunggal. Selalu terbuka kemungkinan terhadap perembangan baru. Guru
yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu
persoalan. Artinya menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban
alternatif.

Mengajar bukan dimaksudkan memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa.
Mengajar merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri.
Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian siswa. Dengan
kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses belajar. Mengajar yang baik
hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir dengan baik. Berpikir yang baik merupakan
syarat mutlak yakni mempunyai pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur.
Belajar dalam pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara
konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha untuk mendapatkan
jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk mencari jawaban sendiri.

A.2. Penguasaan bahan

Peran guru sangat menentukan penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu
mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan
diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan
model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.

Guru yang berperan sebagai “diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau
pemikirannya satu-satunya yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para
siswa. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks bahan
itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam
sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu pengatahuan dalam konteks yang lebih
mudah dipahami dari pada bila terlepas begitu saja.

A.3. Strategi mengajar

Mengajar adalah suatu seni yang dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi.
Beberapa ciri mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:

1. Orientasi. Murid diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam


memperlajari suatu topik. Murid diberikan kesempatan untuk mengadakan observasi
terhadap topik yang hendak dipelajari.
2. Elicitasi. Siswa dibanu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi,
menulis dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diamatinya
dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.
3. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh
siswa perlu diaplikasikan dalam bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan
membuat pengetahuan siswa lebih lengkap.
4. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya
pada siatuasi yang dihadapi sehari-hari, seorang perlu merevisi gagasannya, entah
menambah keterangan atau mengubahnya.

A. 4. Evaluasi proses belajar

Dalam mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang
dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada
siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi.
Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu usaha/operasi. Tidak ada gunanya
mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.

Kepada siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati
bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih
penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang
dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka.
A. 5. Hubungan guru dan siswa

Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena
itu harus diberitahu. Dalam proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk
pengetahuannya, guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa
bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang bersama-
sama membangun pengetahuan.

B. Peranan Siswa:

Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri
pengetahuannya. Pelajar membentuk pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya.
Hal itu berarti seorang siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang
menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.

Belajar oleh seorang siswa merupakan suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses
organik dalam arti suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana
seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda dengan proses
mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta, definisi. Ciri proses mekanik adalah
statis.

Sungguh penting setiap siswa dalam proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang
menyusun hipotesis dan menguji hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa
mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran
melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat
dikembangkan melalui dua hal, pertamakarya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa
diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Proses
pelaksanaannya dibuat secara idividual.

Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan
pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain
untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog diharapakan mendengarkan pembicaraan
orang lain. Yang penting bukanlah pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya
mendengar dan mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang
lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam bingkai
pemikiran atau pengalaman orang lain.

III. Kesimpulan

Telah disadari bahwa sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik
untuk mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta didik.
Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau “larangan” sehingga pendidikan
yang semestinya membebaskan dan mendewasakan ratio manusia, malah menjadi ruang yang
mengurung ratio manusia dalam kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John
Dewey. Menurut Locke, dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya
refleksinya, sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama, serta
komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan ketrampilan-ketrampilan khusus.
Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni
dengan mengubah sistem pendidikan yang kompleks tersebut.

Mengajar merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri.


Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang
belum tahu (siswa) atau kebiasaan menghafal, melainkan membantu seseorang agar dapat
membentuk sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap suatu obyek yang ingin
diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis
harus dikembangkan.

Dalam proses ini seorang guru bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya.
Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai bahan
secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan pendapat siswa
yang berbeda.

Demikianlah untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang
memiliki profesionalitas dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.

Daftar Pustaka

Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).

Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)

J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989)

J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari


Pineleng, 2003)

J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968)

Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia BritannicaSeventeen Edition


(Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002).

James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy,edited by Paul Edwards (ed.),
Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996).

L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan
Company and The Free Press, 1971)

M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.

N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969)

Paul Suoarno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Dunia Pendidikan(Yogyakarta: Kanisius, 1997).

Richard J. Berstein, Dewey John,

William Bayd, The History of Western Education.

Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 2001)

[1] Innatisme ditolak karena dinilai kebenarannya sulit dipastikan; prinsipnya didasarkan pada
kebenaran yang belum dibuktikan oleh pengalaman (lih. J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta”
(Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989), hlm. 89.

[2] Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.

[3] J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968), p.
26-27.

[4] N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), p.
83.

[5] M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.

[6] Lih. Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 26-27.
[7] J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari
Pineleng, 2003), hlm. 77.

[8] Cranston, John Locke, p. 12-13.

[9] James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy,edited by Paul Edwards
(ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996),
hlm. 501. terkutip dalam N. Tarcov, p. 198.

[10] Trcov, Locke’s Education for Liberty, p. 198.

[11] Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 16.

[12] Ibid., p. 26-27.

[13] L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan
Company and The Free Press, 1971), p. 20.

[14] Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition
(Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002), p. 35.

[15] William Bayd, The History of Western Education, p. 287.

[16] M. Cranston, John Locke, p. 16.

[17] Daighton (ed.), The Encyclopedia of Education, p. 22.

[18] Ibid., p. 20.

[19] Ibid., p. 21-22.

[20] Richard J. Berstein, Dewey John, hlm. 384-385. Bdk. J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat
Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 76-79.

[21] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951),
hlm. 548.

[22] Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 2001), hlm. 30-31.

[23] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer(Traktat Kuliah SFT-SP),
hlm. 79.

[24] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951),
hlm. 535.

REPORT THIS AD

REPORT THIS AD

7 Tanggapan to “Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan


John Dewey”
\
Falsafah Pendidikan Vivekananda
Swami Vivekananda (1863-1902) adalah seorang ahli falsafah dan pemikir hebat kurun ke-19.
Pada tahun 1897, beliau telah menubuhkan Ramakrishna Mission. Idea-idea Swami Vivekananda
telah memberikan inspirasi kepada ramai pemikir Barat dan Timur pada zamannya dan masih
menjadi inspirasi kini. Dalam satu kenyataan pada tahun 1993, Federico Mayor, Pengarah-Am
UNESCO ketika itu, berkata:

“Saya memang terkejut melihat persamaan dalam piagam Ramakrishna Mission yang
Vivekananda tubuhkan seawal 1897 dengan piagam UNESCO yang ditulis pada tahun 1945.
Kedua-duanya menjadikan manusia di pusat usaha mereka untuk pembangunan. Kedua-duanya
mengutamakan toleransi daripada matlamat untuk membina keamanan dan demokrasi. Kedua-
duanya mengakui kepelbagaian budaya dan masyarakat manusia sebagai satu aspek penting
dalam warisan bersama.”

Antara pemikiran Swami Vivekananda yang asli adalah mengenai isu-isu pendidikan. Menurut
beliau, ilmu wujud di dalam setiap manusia. Ilmu bukan sesuatu yang diperolehi daripada
sumber luar. Hasil penulisan, percakapan dan pemikiran Swami Vivekananda telah diterbitkan
sebagai ‘Complete Works of Swami Vivekananda’.

Pendidikan adalah manifestasi kesempurnaan yang sedia ada di dalam manusia.

Ilmu wujud di dalam manusia. Ilmu tidak datang dari luar, semuanya berada dalam manusia. Apa
yang kita sebut sebagai seorang manusia ‘mengetahui’, sebenarnya dalam bahasa psikologikal
patut dipanggil sebagai dia ‘menemui’ atau ‘mendedahkan’. Apa yang seseorang ‘mempelajari’
ialah sebenarnya apa yang dia ‘temui’ dengan mengetepikan tirai yang menutupi jiwanya sendiri,
yang merupakan sebuah khazanah ilmu yang tidak terbatas.

Kita kata Newton telah menemui gravitasi. Adakah ia sedang duduk di mana-mana sudut
menunggunya? Ia berada di dalam fikiran Newton sendiri; masanya tiba dan dia menemuinya. …
Buah epal yang jatuh telah memberikan Newton satu cadangan, dan dia mengkaji fikirannya
sendiri. Dia menyusun kembali semua jalinan fikiran lama dalam fikirannya dan menemui satu
jalinan baru di antaranya yang kita panggil sebagai rukun gravitasi. Ia bukan berada di dalam
buah epal atau dalam sesuatu yang berada di perut bumi.

Oleh itu, semua ilmu, sekular mahupun rohani, berada dalam fikiran manusia. Dalam
kebanyakan keadaan ia tidak ditemui, tetapi kekal terselindung, dan apabila lapisan yang
menutupinya dialihkan secara perlahan-lahan, kita kata, ‘Kita sedang belajar.’

Pendidikan bukan jumlah informasi yang dimasukkan ke dalam otak kamu dan sepanjang hidup
kamu, ia berlari kucar-kacir di situ tanpa penyerapan. Kita mesti mendapat asimilasi idea-idea
yang membina-hidup, menjadikan manusia, membentuk akhlak. Jika kamu telah menyerap lima
idea-idea dan menjadikannya hidup dan karakter kamu, maka kamu lebih berilmu berbanding
orang yang telah menghafal semua buku-buku di perpustakaan.

Pemikiran yang negatif melemahkan manusia. Tidakkah kamu lihat apabila ibubapa sering
mendesak anak-anak mereka untuk membaca dan menulis, memberitahu mereka bahawa
mereka tidak akan belajar apa-apapun, dan memanggil mereka bodoh dan sebagainya, anak itu
sememangnya akan menjadi begitu dalam kebanyakan keadaan? Jika kamu menuturkan kata-
kata yang mesra kepada anak-anak dan memberi dorongan, mereka akan pasti maju kelak. …

Salah satu keburukan tamadun Barat ialah ia hanya memberi tumpuan pada pendidikan
intelektual sahaja dan mengabaikan hati. Ia hanya menjadikan manusia sepuluh kali lebih
mementingkan diri sendiri, dan ia akan membawa kemusnahannya.

Seluruh hidup ini hanya mempunyai satu matlamat sahaja iaitu pendidikan.

Kita memerlukan pendidikan yang membantu pembinaan akhlak, meningkatkan kekuatan fikiran,
meluaskan intelek, dan membolehkan seorang berdikari.

Sistem pendidikan masa kini adalah semuanya salah. Fikiran disumbat dengan fakta-fakta
sebelum ia belajar untuk berfikir. Kawalan fikiran mesti diajar dahulu. Jika saya perlu
mendapatkan pendidikan sekali lagi, dan saya mempunyai sebarang pilihan, saya akan belajar
untuk mengawal fikiran saya dahulu, dan kemudian mengumpulkan fakta-fakta jika saya
memerlukannya. Orang mengambil masa yang lama untuk mempelajari sesuatu kerana mereka
tidak dapat menumpukan fikiran sesuka hati.

Semua pengetahuan kita adalah berasaskan pengalaman.

Kita boleh bercakap dan berdebat sepanjang hidup kita, tetapi kita tidak akan memahami
walaupun sepatah perkataan tentang kebenaran selagi kita mengalaminya sendiri. Kamu tidak
boleh berharap untuk menjadikan seorang sebagai doktor bedah dengan memberikannya
beberapa buah buku. Kamu tidak boleh memuaskan keinginan saya untuk melihat sebuah
negara dengan menunjukkan saya sebuah peta; saya mesti mendapatkan pengalaman yang
sebenar. Peta-peta hanya boleh membangkitkan rasa ingin tahu dalam diri kita untuk
mendapatkan ilmu yang lebih sempurna. Ia tidak ada apa-apa kegunaan lain.
Beberapa syarat adalah penting bagi seorang pelajar, dan juga bagi pengajar. Syarat-syarat
perlu dalam seorang pelajar adalah kesucian, kedahagaan sebenar untuk ilmu, dan kecekalan.

Kesucian dalam pemikiran, percakapan, dan perbuatan adalah amat penting.

Mengenai kedahagaan untuk ilmu, ia adalah satu rukun purba bahawa kita dapat apa yang kita
mahu. Sesiapa pun tidak boleh mendapat apa-apa kecuali apa yang kita inginkan.

Hanya ada satu cara sahaja untuk mendapatkan ilmu iaitu dengan penumpuan.

Kita mempunyai satu cara sahaja untuk menimba ilmu. Daripada manusia yang paling lemah
kepada petapa yang paling hebat, semua orang mesti menggunakan cara yang sama; dan cara
ini adalah dipanggil sebagai penumpuan. Lebih banyak kuasa penumpuan ini, lebih banyak ilmu
yang diperolehi.

Semua kejayaan dalam apa sahaja bidang adalah hasil daripada penumpuan ini. Pencapaian
hebat dalam seni, muzik, dan sebagainya adalah hasil penumpuan.

Daya penumpuan adalah satu-satunya kunci kepada khazanah ilmu.

Dalam keadaan fizikal kita sekarang, wujud banyak gangguan, dan otak membazirkan segala
kekuatannya terhadap ratusan perkara. Sebaik sahaja saya cuba untuk menenangkan pemikiran
saya dan menumpukan fikiran pada sebarang objek ilmu, beribu-ribu perkara yang tidak diingini
memecut ke dalam otak saya, ribuan pemikiran memecut ke dalam fikiran dan menganggunya.

Bagi saya intipati pendidikan adalah penumpuan fikiran, bukannya pengumpulan fakta-fakta. Jika
saya terpaksa memulakan pendidikan saya sekali lagi dan mempunyai sebarang pendapat
dalam hal itu, saya tidak akan belajar sebarang fakta. Saya akan meningkatkan daya
penumpuan dan semangat tersisih, dan kemudian dengan peralatan yang sempurna ini saya
dapat mengumpul fakta-fakta mengikut kehendak saya.

Penumpuan adalah intipati semua ilmu; tiada apa yang boleh dicapai tanpanya. Orang biasa
membazirkan sembilan puluh peratus daya pemikirannya. Oleh itu, dia sentiasa melakukan
kesilapan. Orang atau fikiran yang terlatih tidak akan melakukan suatu kesilapan.

Hanya pengecut-pengecut dan orang yang lemah sahaja yang melakukan dosa dan bercakap
bohong. Orang yang berani adalah sentiasa bermoral. Cubalah untuk menjadi orang yang
bermoral, cubalah untuk menjadi berani, cubalah untuk bersimpati.

Ini adalah satu fakta hebat: kekuatan adalah kehidupan, kelemahan adalah maut. Kekuatan
adalah kegembiraan, kehidupan abadi, keabadian; kelemahan adalah ketegangan dan
penderitaan berterusan: kelemahan adalah maut.

Penawar untuk kelemahan adalah bukannya memikirkan tentang kelemahan, tetapi sebaliknya
memikirkan tentang kekuatan. Ajarlah manusia tentang kekuatan yang sedia ada dalam diri
mereka.

Ini adalah satu-satunya definisi yang boleh diberikan tentang moraliti: Sesuatu yang
mementingkan diri adalah tidak bermoral, dan sesuatu yang tidak mementingkan diri adalah
bermoral.
Sifat tidak mementingkan diri adalah lebih berfaedah, cuma orang tidak ada kesabaran untuk
mengamalkannya.

Kebenaran, kesucian, dan sifat tidak mementingkan diri – di mana sahaja semua ini wujud, di
situ tiada sebarang kuasa di bawah atau di atas matahari yang boleh memusnahkan orang yang
memiliknya. Dengan memilikinya, seorang individu boleh menghadapi seluruh alam yang
menentangnya.

Ajarlah diri kamu, ajarlah setiap orang tentang sifat sebenarnya, serulah jiwa yang sedang tidur
dan lihatlah bagaimana ia bangun. Kuasa akan datang, kemuliaan akan datang, kebaikan akan
datang, kesucian akan datang, dan semua yang hebat akan datang apabila jiwa yang tidur ini
dibangkitkan untuk bertindak dengan kesedaran diri.

Sejarah dunia ini adalah sejarah beberapa orang yang mempunyai kepercayaan kepada diri
mereka sendiri. … Kamu boleh melakukan apa sahaja. Kamu gagal hanya apabila kamu tidak
berusaha secukupnya untuk menyerlahkan kuasa yang tiada batasan. Maut datang sebaik
sahaja seorang atau sebuah negara hilang kepercayaan.

(Diterjemahkan daripada ‘Complete Works of Swami Vivekananda’)


Falsafah pendidikan islam dan timur
1. 1. FALSAFAHFALSAFAH PENDIDIKAN ISLAMPENDIDIKAN ISLAM DAN TIMURDAN
TIMUR ****************************************************
2. 2. KONSEP FALSAFAH ISLAMKONSEP FALSAFAH ISLAM Menurut perpektif Islam,
pddkn bermaksud:  satu proses yg berterusan  memupuk potensi semulajadi manusia
dari segi intelek, akhlak, rohani, jasmani  secara bersepadu  ke arah pembentukan
insan yg soleh  agar membawa kebaikan dunia dan akhirat
3. 3. Menurut tokohMenurut tokoh22 Barat….Barat…. Proses melatih akal, jasmani, moral
Jadi warganegara yg baik Kesimpulan: menekankan aspek luaran
4. 4. AHLI FALSAFAH DANAHLI FALSAFAH DAN PENGERTIAN FALSAFAH
ISLAMPENGERTIAN FALSAFAH ISLAM Al- Kindi (805-873AD) Falsafah Islam
mempunyai 3 aspek: i) Ilmu Fizik – berasaskan benda. ii) Ilmu Matematik – ilmu hitung,
astronomi. iii) Ilmu Ketuhanan – tidak berkaitan dgn benda sama sekali.
5. 5. ………….. Ibn Sina (980-1073) Falsafah dikategorikan kepada: i. ilmu wahyu
termasuk makhluk2 rohani yg membawa wahyu dan cara bagaimana wahyu
disampaikan. ii. Ilmu akhirat – badan manusia tidak dihidupkan lagi, maka rohnya yg
abadi itu akan mengalami seksa dan kesenangan.
6. 6. ………… Al-Farabi Falsafah boleh dilihat dari 2 sudut: i. Falsafah teori –
mengetahui ss yg ada. Contoh: ilmu Matematik, ilmu Fizik, Metafizik dsb. ii. Falsafah
amalan – mengetahui ss yg seharusnya diwujudkan dalam perbuatan. Contoh: ilmu
akhlak(etika) dan falsafah politik.
7. 7. PERBEZAAN FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAMPERBEZAAN FALSAFAH
PENDIDIKAN ISLAM DGN FALSAFAH PENDIDIKAN BARATDGN FALSAFAH
PENDIDIKAN BARAT Menurut Plato seorg ahli falsafah Yunani, “pendidikan
memberikan keindahan dan kesempurnaan yg mungkin diberikan kpd jasmani dan
rohani” Tokoh2 barat melihat pendidikan hanya satu proses melatih akal, jasmani dan
moral yg membentuk seseorg utk menjadi insan dan warganegara yg baik.
8. 8. ……………… Bagi Islam pula, pendidikan mempunyai pengertian dan konsep yg
lebih luas atau syumul. Pendek kata, perspektif Barat hanya menekankan aspek
jasmani dan luaran dlm pendidikan, tetapi perspektif Islam mengambil kira aspek
kerohanian.
9. 9. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAMTUJUAN PENDIDIKAN ISLAM Mendidik murid supaya
berakhlak mulia Mendidik roh supaya halus dan sempurna Mengasuh murid
melakukan yang baik, terhormat dan mulia Membiasakan murid dgn adab2 yg mulia
Membiasakan murid dgn kebersihan, kesucian dan keikhlasan serta amalan2 yg mulia.
10. 10. MATLAMAT PENDIDIKAN ISLAMMATLAMAT PENDIDIKAN ISLAM Membentuk
dan memperkembangkan insan supaya…….  menjadi Muslim yg berilmu, beriman,
beramal soleh dan berperibadi mulia  ke arah melengkapkan diri serta bertanggungjwb
sbg hamba dan khalifah Allah SWT yg bertakwa. Melahirkan insan yg …  taat kpd
Allah SWT,  hidup dlm masyarakat dgn harmoni, aman dandamai dan  mendapat
keredaan dan kesejahteraan di akhirat.
11. 11. BIDANG PENDIDIKAN ISLAMBIDANG PENDIDIKAN ISLAM . PENDIDIKAN
ISLAMAl-ijlimaiyah (pendidikan sosial) Al-jinisiyah (pendidikan seks) Al-nafsiyah
(pendidikan jiwa) Al-aqiliyah (pendidikan mental) Al-jismiyah (pendidikan jasmani) Al-
khuluqiyah (pendidikan akhlak) Al-imaniyah (pendidikan iman)
12. 12. KESIMPULANKESIMPULAN PI merupakan satu proses yg berterusan bertujuan
utk mengubah, melatih, dan mendidik akal, jasmani dan rohaniinsan berasaskan nilai2
Islam. Nilai2 ini bersumberkan wahyu bagi melahirkan insan yg bertaqwa dan
mengabdikan diri kpd Allah SWT agar mencapai kajayaan dunia dan akhirat.
13. 13. …….... . Perenialisme Realisme Esensialisme Idealisme Eksistensi -alisme
Progresivisme Rekonstruk -turismePragtisme
14. 14. FALSAFAH PENDIDIKANFALSAFAH PENDIDIKAN TRADISIONAL
BARATTRADISIONAL BARAT .
15. 15. PERENIALISMEPERENIALISME Perkataan asas – perennial (tidak berubah)
Ketelusan ss yg tidak akan berubah. Pendidikan seharusnya fokus kpd carian dan
sebaran ilmu.
16. 16. KonsepKonsep Ciri2 asas manusia berbentuk sejagat dan tidak berubah. Contoh:
rasionaliti.
17. 17. Matlamat PendidikanMatlamat Pendidikan Bertujuan utk mengajar pengetahuan
dan nilai bersifat sejagat, abadi, tiada had masa.
18. 18. TumpuanTumpuan Jenis kurikulum  dalam bidang kemanusiaan dan sastera-
kerana berkait rapat dgn sifat/fitrah manusia. Peranan guru  pakar yg bijaksana,
menyampaikan ilmu dan membimbing perbincangan berkumpulan. Kaedah mengajar 
kaedah didaktik; guru mpy kuasa pakar dan tidak melayan pandangan murid.
19. 19. .. Peranan murid – berusaha bersungguh- sungguh utk dapat banyak ilmu.
20. 20. ESENSIALISMEESENSIALISME Bersifat konservatif. KONSEP Mengajarkan
perkara2 asas agar menjadi ahli masyarakat yg produktif. Boleh berubah2 ikt masa.
Bersifat praktikal dan prakmatik.
21. 21. MatlamatMatlamat Matlamat pendidikan ialah pengajaran berbentuk fakta yg perlu
dipelajari, dihayati dan disimpan oleh anak murid.
22. 22. TumpuanTumpuan 1. Jenis kurikulum – kemahiran 3M. M/p wajib spt sains, sejarah,
seni, muzik.  Sastera dan kemanusiaan sbg m/p sampingan.
23. 23. .. 2. Peranan guru –  seorg yg berwibawa dlm pengajaran dan pembelajaran. 
Mahir dari segi kawalan bilik darjah.  Menjadi teladan dan role model. 3. Kaedah
mengajar –  pendekatan didaktik ditegaskan.  Murid tidak diigalakkan utk melibatkan
diri dlm spekulasi reflektif.
24. 24. .. 4. Peranan Murid-  perlu rajin belajar  menumpukan perhatian dan usaha kpd
apa yg diajar di sekolah.  Berjaya dalam akademik
25. 25. FALSAFAH PENDIDIKANFALSAFAH PENDIDIKAN MODEN BARATMODEN
BARAT …….
26. 26. PROGRESIVISMEPROGRESIVISME Berkembang dpd pragmatisme. Dipengaruhi
pemikiran John Dewey.
27. 27. KonsepKonsep melihat perubahan sbg intipati realiti. Ilmu bersifat relatif dan
tentatif; tidak boleh dianggap benar selama-lamanya. Kerana realiti berubah ikut masa.
Seorg yg berpendidikan ditakrif sbg celik akal yg boleh sesuaikan diri dgn perubahan.
28. 28. Matlamat PendidikanMatlamat Pendidikan Menyediakan murid agar berupaya
mengakomodasi sebarang perubahan. Seorg yg berpendidikan harus berkebolehan
mencari alternatif kpd masalah.
29. 29. TumpuanTumpuan 1. Jenis kurikulum –  manusia bersifat baik.  Murid perlu diberi
kebebasan memillih m/p yg diingini.  Dgn itu, pembelajaran lebih berkesan 
Memaksimumkan kebolehan dan potensi.
30. 30. .. 2. Peranan guru –  pembimbing dan bantu murid utk selesai masalah. 
Bertanggungjawab wujudkan suasana pembelajaran kondusif.  Membimbing minat
murid ke arah produktif.
31. 31. .. 3. Kaedah mengajar – a) Pengajaran kemahiran menyelesaikan masalah
menggunakan pendekatan induktif (cth kpd konsep)dan kaedah saintifik. b) Kerja
makmal dan eksperimen yg sediakan peluang teroka alam sekeliling. c) Pengalaman
langsung dgn persekitaran
32. 32. …….. 4. Peranan murid –  lanjutan drpd pengajaran berbentuk induktif.  Murid
mencari penjelasan bg fenomena yg diberi guru.  Belajar mengemukakan soalan
mengenai alam.
33. 33. REKONSTRUKTIVISMEREKONSTRUKTIVISME Berpunca dpd progresivisme
Syorkan kita utk membaiki dan membina semula masyarakat.
34. 34. KonsepKonsep Sekolah merupakan satu landasan utk bina masyarakat baru.
Tujuan – kenalpasti masalah sosial yg jejaskan pembangunan masyarakat. Matlamat
Pendidikan Asaskan corak budaya baru serta hapusakan penyakit sosial.
35. 35. TumpuanTumpuan 1. Jenis kurikulum  Bidang sains sosial  Tumpuan
kecenderunagn semasa ke masa depan, isu tempatan dan a/bangsa. 2. Peranan guru 
Bertugas sbg agen perubahan  Bersifat kreatif dan inovatif dlm p&p.
36. 36. .. 3. Kaedah mengajar  Kaedah berpusatkan murid diberi penekanan.  Aktiviti,
sumbangsaran, main peranan dan simulasi 4. Peranan murid  Mengambil bahagian yg
aktif agar mencapai matlamat pendidikan.  Berani mencuba dan ubah paradigma lama.
37. 37. EKSISTENTIALISMEEKSISTENTIALISME Fokus fitrah kejadian manusia;
dilahirkan tanpa tujuan. Realiti sbg sesuatu yg bersifat subjektif dan hanya boleh
didefinisikan oleh individu berkenaan.
38. 38. KonsepKonsep Bertanggungjawab atas diri sendiri Kebebasan utk bermatlamat
Membuat keputusan sendiri tanpa autoriti luar. Matlamat Pendidikan Sistem sekolah
atau guru tidak mpyai hak utk menekankan matlamat pendidikan ke atas murid.
39. 39. TumpuanTumpuan 1. Jenis kurikulum  Tidak mpy m/p khusus  m/p bersifat estetik
dan berfalsafah spt seni, sastera dan drama difikirkan relevan. 2. Peranan guru 
Pemangkin sediakan peluang pendidikan
40. 40. ………… 3. Kaedah mengajar  Berpusatkan xtvt serta berpusatkan murid  Main
peranan serta simulasi utk beri peluang kpd pelajar utk luah perasaan dan pemikiran scr
mendalam. 4. Peranan murid  Digalakkan utk melibatkan diri scra aktif agar
memaksimumkan peluang yg diberikan.
41. 41. IMPLIKASI FALSAFAHIMPLIKASI FALSAFAH  Implikasi terhadap kurikulum: ◦
Perubahan sukatan pelajaran yang berorientasikan kepada program bersepadu. ◦
Perubahan bahan-bahan pelajaran yang mengutamakan nilai-nilai murni diserapkan
dalam semua mata pelajaran. ◦ Perubahan progam pendidikan yang berorientasikan
untuk melahirkan insan yang seimbang dan harmonis. ◦ Perubahan dalam sistem
pendidikan yang berorientasikan ke arah pendidikan umum. ◦ Perubahan sukatan
pelajaran yang sesuai untuk melatih kemahiran pelajar dalam bidang vokasional dan
teknologi.
42. 42. .. Implikasi terhadap pendidik: ◦ Perubahan sikap peribadi pendidik sendiri dengan
pandangan dan visi yang positif terhadap tugasnya untuk merealisasikan tujuan dan cita
FPN. ◦ Perubahan professional dengan mengubah strategi dan teknik pengajarannya
yang sesuai untuk melahirkan insan yang berilmu pengetahuan, berketrampilan serta
berakhlak mulia.
43. 43. .. Implikasi terhadap institusi pendidikan: ◦ Perubahan kemudahan-kemudahan
supaya pelajar- pelajar mendapat peluang mengembangkan potensi mereka dari segi
intelek, rohani, emosi, social dan jasmani, secara menyeluruh dan seimbang. ◦
Perubahan aktiviti budaya sekolah yang kondusif untuk memupuk nilai-nilai murni dalam
jiwa pelajar. ◦ Perubahan iklim sekolah yang kondusif untuk melahirkan pelajar-pelajar
yang mencintai ilmu dan seterusnya membentuk budaya membaca di kalangan mereka.
Confucius Guru Sepanjang Zaman
Posted on June 12, 2017 by puranaschool

Oleh: Airul Idham

PENGENALAN FALSAFAH KUNGFU TZE (CONFUCIUS)

Falsafah China, terutamanya konfusisme sentiasa begitu prihatin dengan persoalan praktikal
moral dan etika. Antara persoalan mudahnya ialah bagaimanakah sebenarnya seseorang itu
perlu hidup untuk menguasai persekitaranya? Adakah dengan menyediakan kerajaan yang
bersesuian atau mencapai keharmonian moral? Pusat kepada ajaran konfusisme adalah bahawa
keharmonian moral individu secara langsung berkaitan dengan keharmonian kosmik; iaitu apa
yang dilakukan, memberikan kesan kepada yang lain. Contohnya, keputusan institusi politik
yang lemah boleh membawa kepada bencana alam seperti banjir. Selain itu juga antara contoh
korelasi langsung antara fizikal dan moral dibuktikan dalam sebuah petikan kata:

“…Heaven does not have two suns, people does not have two kings…” – petikan kata dari
The Li Chi.

Idea daripada petikan di atas menerangkan bahawa hanya ada satu persekitaran kosmik, dimana
hanya ada satu cara benar untuk hidup dan hanya ada satu sistem politik yang benar. Jika
berlaku kegagalan dalam pembentukan sesebuah masyarakat, ianya mungkin berpunca kerana
kitab suci dan ajaranya telah disalah tafsir. Hal ini demikian kerana teks suci itu senditi telah
mengandungi the way of life, oleh itu kita sendiri yang perlu merungkai dan memahaminya
dengan betul. Bertitik tolak daripada tugas sakral membina kebenaran ini muncul seorang
tokoh falsafah China silam yang paling berpengaruh, dikenali sebagai Kungfu Tze, atau
dikenali sebagai Confucianisme.

Nilai-nilai kemanusiaan dan keteraturan sosial yang mana akan membawa kepada keteraturan
politik seterusnya kepada aspek-aspek kehidupan yang lain, merupakan teras utama dalam
falsafahnya. Ajaran utamanya ialah nilai Tao dan Te dimana ia menjadi landasan asas dalam
falsafah dan tradisi dalam kehidupan masyarakat Cina. Tao membawa makna cara hidup yang
ideal dan juga ajaran-ajaran mengenainya manakala Te bermaksud kewibawaan kebijaksanaan
untuk memahami dan mengamalkan Tao.

Confucius menganggap cara hidup dan bermasyarakat yang ideal itu adalah seperti mana yang
telah diamalkan oleh masyarakat China sejak zaman-berzaman dahulu lagi. Beliau menerima
sistem hirarki sosial yang wujud dalam masyrakat China silam namun beliau menghujahkan
kelayakan utama bagi elit yang bakal menerajui pemerintahan dalam aspek moral yang unggul
bukan sekadar perwarisan dari darah keturunan. Spektrum dalam asas falsafahnya adalah di
mana kedua-dua pihak iaitu pemerintah dan rakyat haruslah mematuhi prinsip-prinsip yang
unggul yang mudah diwariskan seperti prinsip Xiao/hsiao (ketaatan kepada ibu bapa), Yi
(santun dan beradab), Jen/Ren (kasih sayang dan timbangrasa sesama insan), Li (adab sopan
mengikut adat dan peraturan).

Pada pandangan beliau masyrakat dan negara yang harmoni mudah terbina apabila prinsip-
prinsip ini diamalkan yang akhirnya mencapai tahap tertinggi iaitu Junzi/Chuan-Tzu (orang
yang budiman) membolehkan mereka mengetuai tampok pimpinan.

LATAR BELAKANG CONFUCIUS

Confucius juga dikenali sebagai Confucius telah dilahirkan pada September 28 (551 BCE) dan
akhirnya meninggalkan dunia di daerah Lung yang ketika ini dikenali sebagai daerah
Shandong (Shantung) China. Nama asalnya ialah K’ung Ch’iu atau Kang Chung-ni.

Dalam kalangan arena falsafah dan juga pendidikan, beliau telah diberi pelbagai gelaran
daripada kalangan anak didiknya antaranya ialah, ‘Grand Master Kung’ dipetik daripada
namanya sendiri iaitu Tze, malah ada yang mengelarnya First Teacher serta Model Teacher
For Thousand Years.

Mengikut tradisi beliau dikatakan lahir dan memiliki darah daripada kelas Shi iaitu hasil
campuran keluarga daripada golongan aristokrat dengan warga biasa. Selain itu, Confucius
merupakan keturunan yang mula membuka wilayah Lu yang hadir daripada kerabat diraja
Duke Shang.

Bapanya iaitu Kang He juga merupakan pegawai pemerintah angkatan tentera wilayah Lu
meninggal semasa beliau berumur tiga tahun dan kemudianya telah dibesarkan oleh ibunya,
Yan Zheng Zhai dalam keadaan serba kekurangan dan kedaifan. Ciri seorang filasuf dalam
dirinya sejak kecil telah ditonjolkan apabila beliau pada usia muda lagi telah menunjukkan
minatnya dalam pendidikan malahan bercita-cita menjadi seorang mahaguru. Kecintaan beliau
kepada ilmu begitu tinggi sehinggakan beliau sanggup melupakan jawatannya sebagai ketua
polis di mahkamah daerah Lu dan menumpukan sepenuh masanya kepada pengajaran.
Seterusnya, beliau telah mengembara ke beberapa buah negeri untuk menyebarkan ajaranya
kepada raja serta pemerintah namun begitu idealismenya ditolak.

Keikhlasan, kejujuran dan keyakinannya yang tinggi telah berjaya menjadikan beliau sebagai
seorang guru yang unggul. Keperibadianya yang baik, ramah serta mudah didekati dan berbudi
tinggi disenangi oleh umum.

Seramai 3000 orang telah menjadi muridnya dan lebih daripada 70 orang dalam kalangan
tersebut telah berjaya menjadi pemikir-pemikir besar dalam sejarah pemikiran. Akhirnya,
pemikiran Confucius menjadi ideologi pemerintah Dinasti Han dalam abad ke-2.

Sebagai seorang ilmuan falsafah, pemikiranya telah dibukukan oleh anak muridnya yang telah
mengembara hampir keseluruh wilayah yang pernah dikunjungi oleh Confucius untuk
menyebarkan fahamanya. Namun begitu, para pengkaji-pengkaji menganggap hanya Lun Yu
(Analekta/Analects) yang begitu hampir dengan buah fikiran serta ideanya. Lun Yu merupakan
kumpulan nota-nota serta variasi kata-kata daripada Kungfu Tze yang disunting dan dibukukan
oleh anak muridnya iaitu Chu Hsi.

IDEA POLITIK CONFUCIUS

Cara menjalani kehidupan yang ideal serta membentuk masyarakat ideal merupakan teras
utama dalam idea falsafah politik Confucius. Ia merupakan cara penyelesaian terhadap masalah
sosial dan politik, bukan sahaja yang wujud pada zamannya, malah juga secara am. Prinsip
Keutamaan atau principle of priority adalah antara salah satu prinsip daripada prinsip utama
dalam ajarannya. Contohnya, dari segi moral, amalan kesopanan mestilah diutamakan daripada
keinginan mendapat untung, nilai-nilai di dalam diri perlulah diutamakan sebelum membentuk
kebendaan.

Selain itu, beliau menekankan bahawa manusia ini tidak wujud atas dasar keindividuanya
seperti yang dinyatakan dalam falsafah politik liberal. Alirannya, bukan hendak menidakkan
keindividuan seseorang itu, yang dimaksudkanya adalah setiap manusia itu hidup dalam
kelompok-kelompok yang pada dasar utamanya ialah keluarga, sebelum membentuk ke arah
suatu yang lebih besar iaitu masyarakat seterusnya negara. Hal ini demikian kerana dalam
hukum sosial, individu saling berinteraksi dengan individu lain dalam pelbagai bentuk
hubungan sosial yang memerlukan tata kesopanan membentuk identiti sebagai anggota
kelompok dalam komuniti dan mematuhi peraturan secara turun-temurun.

Dengan itu jelas menerangkan bahawa falsafah Confucius menekankan proses mengenali diri
dan proses sosialisasi adalah daripada aspek kehidupan manusia yang saling mempengaruhi.

“…When the personal life is cultivated, the family will be regulated; when the family is
regulated, the state will be in order, when the state is in order, there will bee peace throughout
the world. From the sun of Heaven down to the common people, all must regard cultivation of
the personal life as the root of foundation...” – The Great Learning.

Falsafah Jen

Teras utama dalam Confuciusnisme ialah Jen (Ren) yang bermaksud kemanusiaan,
perikemanusiaan dan kasih sayang juga banyak diperkatakan berulang-kali dalam Lun Yu.

Sifat prihatin sesama manusia yang diterangkan Kungfu Tze dikatakan hasil daripada a kind of
moral insight yang wujud secara semulajadi dalam diri manusia dibantu oleh deria pancaindera.
Ia membezakan “manusia” dengan hidupan lain dan dikatakan yang terunggul serta perlulah
dicapai manusia. Pemerintahan yang dijalankan perlulah berdasarkan Jen dan pemerintah
sendiri perlu menjadi contoh utama beramal dengan konsep Jen.
Falsafah Li

Membawa maksud adat istiadat, resam dan perlakuan yang tidak melanggar norma masyarakat.
Dipermudahkan lagi maknanya sebagai bentuk perangai atau perlakuan yang dianggap sopan
dan beradab dalam semua bentuk interaksi sosial.

Mengamalkan Li adalah satu cara ke arah mencapai Jen (Ren). Kungfu Tze menerangkan
bahawa Li adalah satu set nilai dan prinsip yang diajar oleh pendeta terawal silam untuk
menghasilkan masyrakat yang teratur dan harmoni.

Menurut Kungfu Tze:

“…Menahan keinginan diri sendiri supaya semua percakapan dan tindakan sesuai dengan adat
(Li); itulah perikemanusiaan (Jen). Sekali kita melakukan seperti ini, semua yang dibawah
langit akan memuji kita sebagai manusia yang berperikemanusiaan…” -Lun Yu.

Falsafah Xiao

Bermaksud ketaatan kepada ibu bapa.

Menurut beliau, individu yang mentaati ibu dan menghormati saudaranya jarang melanggar
perintah ketua atau pemerintahnya.

Selain itu juga ketaatan tersebut akan melahirkan seorang anggota masyrakat yang jujur dan
mnejadi asas perlakuan seseorang itu di dalam masyarakat yang lebih luas.

Confucius berkata:

“Pada masa ini, maksud ketaatan sudah memadai dirujuk pada seseorang yang dapat
memelihara ibubapa. Namun anjing dan kuda pun dipelihara. Sekiranya kita tidak dapat taat
hormat pada ibu bapa dengan sepenuhnya, bagaimana kita dapat membezakan antara
memelihara ibubapa dengan memelihara anjing dan kuda”.

Falsafah Yi

Konsep ini pula membawa maksud pendirian yang benar, kesantunan dan keperibadian yang
wajar. Prinsip ini menentukan pilihan Li yang terbaik bagi satu-satu situasi.

Contohnya, seseorang itu bersifat taat, merendah diri di depan ibu bapa dan individu yang sama
juga akan meneruskan ajaran tersebut kepada generasinya akan datang.
Falsafah Chun Tzu

Membawa maksud seseorang itu telah mencapai tahap terunggul, dimana budiman tersebut
berjaya melaksanakan dan mengamalkan konsep-konsep terpuji yang diajarkan. Menurut
amalan ini, budiman dikatakan telah memahami keadilan sedangkan yang jahil hanya
memahami keuntungan serta berkemampuan untuk membetulkan komuniti supaya
kesemuanya dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip asas demi kebaikan semua. Confucius
juga menjelaskan bahawa sememangnya wujud budiman yang tidak berperikemanusiaan akan
tetapi diakalangan orang yang jahil tidak ada yang berperikemanusiaan.

Confucius berkata:

“… empat jenis kelakuan yang memperlihatkan sikap orang yang budiman. Dia sendiri
bersikap tegas dan berwajah serius dan terhormat; dia bersikap benar dan bertanggungjawab
terhadap raja; dia mengajar (mendidik) rakyat supaya berkasih sayang; dia mahu rakyat
menerima dengan alasan munasabah…”.

PENDIDIKAN MENURUT CONFUCIUS

Sudah menjadi norma penting bagi seorang philosopher-king dalam menerapkan


persekitarannya dengan ilmu, begitu juga Confucius amat mementingkan pendidikan. Hal ini
demikian, dibuktikan apabila pendidikan moral telah dimulakan di peringkat keluarga.

Ia telah menjadi persediaan asas dalam kalangan masyarakat, mempersiapkan individu dengan
mengajarkan konsep-konsep asas yang disanjung dalam diri bagi membentuk masyarakat yang
teratur.

Bagi menjadi seorang Junzi/Chun tzu iaitu budiman, seseorang itu perlulah menguasai Li dan
Ren yang dikatakan mempunyai means-ends relation di mana ia menjadi satu alat ke arah
pencapaian masyarakat yang ideal.

Menguasai Jen/Ren dengan berpaksikan prinsip Li mestilah dicapai dengan menghayati


Xiao/Hsio atau ketaatan kepada ibu bapa serta Di/Ti atau kasih sayang dengan menghormati
saudara yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Konsep ini dilihatkan sebagai asas
kepada Jen.

Selain itu juga dalam struktur pendidikan, Confucius juga ada menerangkan tentang pentingnya
seorang guru itu malah ciri-ciri yang perlu ada dalam nurani seorang guru. Salah satunya adalah
seorang guru itu perlu mencintai atau menyayangi semua dan mencurahkan khidmatnya tanpa
sebarang diskriminasi terhadap hak individu memperolehi pendidikan. Sebagai seorang guru
iaitu pendidik, pelatih atau tenaga pengajar, Confucius meletakkan kepercayaanya bagi
golongan ini untuk mencapai satu pencapaian, mereka perlulah mencintai dan menyayangi
anak muridnya. Dimana mereka ini perlu mengenali mereka secara peribadi, memahami
keperluan psikologi mereka, serta mencurahkan ilmu dengan mengkaji dan menyediakan
metodologi yang termudah agar mereka boleh mengakses kepada ilmu itu dengan mudah.
Hal ini demikian kerana seoarang guru itu perlulah memiliki hati yang menyayangi, dan dengan
berbuat demikian corak didikan dan pengamalan budaya ilmu kepada anak murid itu lebih
mudah diterapkan disebabkan oleh keikhlasan yang timbul hasil daripada sifat menyayangi
tersebut. Bagi Confucius, untuk mencintai sesuatu itu lebih mudah daripada ingin mengetahui
tentangya dan untuk mencari keseronokkan dalamnya adalah lebih mudah dengan
mencintainya, di mana sesuatu yang dimaksudkan itu adalah anak didik.

PEMERINTAH MENURUT CONFUCIUS

Melalui pengenalan ajaran moral sejak usia kecil lagi membuktikan bahawa pokok
perbincangan utama Confucius adalah melahirkan suatu pemerintahan yang terbaik.
Walaubagaimanapun falsafah dan ideanya tidak ada menyentuh tentang kerajaan mahupun
kerajaan berperwakilan di mana menerangkan peranan badan legislatif yang kompleks atau
bagaimana penguasaan satu sistem perundangan itu secara khusus.

Hal ini demikian kerana, Confucius berpendapat rakyat berupaya dibimbing dengan memberi
contoh teladan yang baik kerana sifat semula jadi manusia (hsing) adalah baik. Dengan itu,
dengan melakukan lantikan seorang raja yang bijaksana sudah memadai untuk menghasilkan
sebuah masyarakat dan negara yang ideal. Selain itu, menurutnya, dengan mengusai rakyat
melalaui sistem perundangan dan pelaksanaanya haruslah merupakan pilihan terakhir. Baginya
ini bukan suatu pemerintahan raja yang bijaksana.

Confucius berkata:

“…jika pemimpin menyukai peradaban, rakyat tidak akan berani untuk tidak menghormati.
Jika pemimpin menjalankan kerja dengan jujur, tidak ada rakyat yang tidak mengikut perintah.
Jika pemimpin jujur, tidak ada rakyat yang tidak bercakap benar. Sekiranya seseorang
pemimpin tidak dapat melaksanakan tugasnya hingga ke peringkat ini, rakyat dari empat
penjuru alam akan mendukung anak datang mengikutnya…”.

KESAN PEMIKIRAN CONFUCIUS

Confucianisme secara kesimpulannya dapat diselaraskan dan tidak dianggap sebagai satu
agama yang berunsurkan ketuhanan tetapi merupakan prinsip-prinsip menjalani hidup yang
baik.

Malah Confucius sendiri memperkenalkan ajaran ini kepada anak muridnya sebagai sebuah
simbol atau ilmu untuk menjalani kehidupan dengan beramal baik dengan individu dalam
persekitaran mereka dan bukan mengangkatnya sebagai sebuah agama. Dengan
mempromosikan ajaran Confucius berteraskan konsep Jen dimana penekanan terhadap
perasaan perikemanusiaan terhadap orang lain dan juga kepentingan harga diri.
Pengamalan teras tersebut dalam kehidupan boleh dicapai dengan lima elemen kebaikan iaitu
budi bahasa, kemurahan hati, amanah, kerajinan dan sifat baik. Ia pada dasarnya, dapat kita
lihat sendiri bahawa ia tidaklah seberat ajaran falsafah lain kerana ia begitu dekat dengan ciri
kehidupan sosial masyarakat dan masyarakat juga dilihatkan mudah untuk menerima serta
menerapkanya dalam kehidupan. Selain itu, konsep Li atau rukun bangsa yang diperkenalkanya
telah membawa masyarakat pada ketika itu ke tahap pembinaan perhubungan sosial yang
terbaik sekali dan menerbitkan keamanan dan kepatuhan rakyat kepada negara.

Hal ini demikian kerana teras perhubungan yang baik yang diselaraskan oleh Confucius
amatlah bersesuaian sekali dengan norma semula jadi perhubungan yang baik yang
menetapkan peranan individu dalam masyarakat iaitu pemerintah kepada rakyat, ibu bapa dan
anak, suami dengan isteri, saudara dengan saudara dan sesama rakan.

Menurut beliau, setiap individu mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap pihak lain
diamana akhirnya pengamalan tersebut menunjukkan kejayaan jika setiap tanggungjawab
tersebut dipatuhi, masyarakat serta negara akan bersatu, tenteram dan harmoni. Kejayaan
Confucius ini dalam penerapan budaya menganggap negara sebagai sebuah keluarga
merupakan sebuah resepi asas menyatukan masyarakat cina pada hari ini dimana telah
menanamkan nilai patriotisme yang tinggi dalam kalangan rakyatnya sepertimana mana yang
dilihatkan China pada hari ini.

Dari segi politik pula, pengamalan konsep taat setia kepada pemerintah kerajaan telah
menghasilkan sebuah masyarakat yang patuh terhadap perbezaan darjat dimana wujudya
perjuangan hierarki dalam sistem pentadbiran. Walaupun ia tidaklah menepati konsep
egelitarian barat dimana kesamarataan itu mempunyai hak dan peluang yang sama sepertimana
dahulunya konsep pengkhususan peranan sesetengah golongan itu berlaku, pada hari ini
masyarakat China yang moden masih meneruskan konsep hierarki tersebut.

Senario tersebut yang dibawa Confucius akhirnya menyebabkan sosiopolitk China pada hari
ini lebih menyanjung hierarki dan perbezaan status ini daripada barat yang lebih terbuka
terhadap orang asing merapuhkan status quo mereka mudah diceroboh. Pembudayaan seperti
ini telah melahirkan pemerintahan kerajaan China yang bertadbirkan arus yang tegas, cekap
dan sistematik.
More than 60 per cent of Hongkongers believe upgrading their standard of
living is harder than 10 years ago, a poll has found.

Furthermore, 43.6 per cent of people foresee upward social mobility


getting more difficult in the next decade, according to the Chinese
University survey released yesterday.

Researchers interviewed 707 people, aged 18 and above, about their


chances of moving up the social ladder.

Only 14.6 per cent of respondents felt their prospects had improved over
the past decade, while 54.6 per cent said there were "insufficient"
opportunities in Hong Kong for upward social mobility. Just 9.9 per cent
believed there were "adequate" opportunities in the city.

Those under 31 years of age, with tertiary level education, tended to be


most pessimistic about their prospects of upward social mobility.

Researcher Dr Victor Zheng Wan-tai, associate director of the university's


Centre for Social and Political Development Studies, said: "The expansion
of tertiary education will naturally raise graduates' expectation about their
future careers, wages, and the opportunities of moving up the social
ladders.

"A more diversified economy can create more middle-ranking or higher-


middle-ranking jobs."

Social mobility can be loosely defined as the ability of individuals or groups


to move upwards or downwards in a social hierarchy, based on changes in
wealth, occupation and education.

Rates of mobility are often related to economic development. When the


economy booms, new jobs are created and old jobs are improved. In times
of downturn, upgrading is less frequent and mobility slows down.

Zheng said: "The government should do more to diversify the economy. At


present, we are too focused on … tourism, finance, and retail."
But compared with a similar survey by the centre two years ago, Zheng
said there did not seem to have been a significant change in people's
attitudes.

In the 2011 survey, 52.1 per cent of the respondents complained about a
lack of opportunities for them to upgrade their social status.

This year's poll was conducted between February 22 and 26, with a margin
of error of plus or minus 3.69 per cent and a 95 per cent confidence level.
Study on Earnings Mobility

Executive Summary

The objective of the Special Topic Enquiry (STE) on Earnings


Mobility is to study earnings mobility and intergenerational earnings mobility
in Hong Kong. The report comprises two parts:

• Part One – Earnings Mobility: examines the relationships


between current and previous earnings of workers and the
socio-economic attributes that are likely to affect these
relationships. The methodology used in the current exercise is
essentially the same as that used by Dr Alan Siu’s and Dr James
Vere’s prior studies on earnings mobility conducted in 2001 and
2006, with the data updated to the fourth quarter of 2008.

• Part Two – Intergenerational Earnings Mobility: a new area of


enquiry, introduced in the 2006 round, focusing on the
relationships between parents’ and children’s lifetime earnings.
The 2006 study examined father-child relationships only. The
current study also examines mother-child relationships.

Earnings Mobility

2. Employment earnings in Hong Kong are generally mobile over


longer periods of time. In particular:

• 46% of workers in the bottom quintile group (the lowest 20% of


the earnings distribution) in 1998 successfully moved up the
earnings ladder in 2008. This was notwithstanding that the
remaining 54% of them stayed at the bottom.

• For workers in the top quintile group (the highest 20% of the
earnings distribution) in 1998, 75% managed to maintain their
top position in 2008, while the other 25% moved down the
earnings ladder.

• For workers in all the quintile groups taken together, the


probabilities of moving up (upward mobility), staying put and
moving down (downward mobility) the earnings ladder were 2
estimated at 33%, 47% and 20% respectively over the period
1998-2008.

3. A positive development is that, due to decreases in downward


earnings mobility, overall earnings mobility in Hong Kong has declined over
the past decade. Although this was the overall trend, its effects were not felt
evenly throughout the population. For both men and women aged 30 to 39,
earnings mobility was higher in 1998-2003 than in 2003-2008 because of
increases in upward mobility. For men and women in higher age groups,
earnings mobility was lower in 1998-2003 than in 2003-2008 because of
decreases in downward mobility. Details of the analysis are highlighted
below:

• When different segments of the earnings distribution are


examined separately, there have been positive changes at the
lower end (i.e., a higher chance of upward mobility for those with
low income), balanced by negative changes at the higher end (i.e.,
a lower chance of upward mobility for those with high income).
Since many highly compensated positions are in the financial
sector, some of these negative changes can be attributed to the
global financial crisis.

• In terms of sex, male workers generally had higher earnings


mobility than female workers. Yet a more detailed comparison
showed that female workers had higher upward mobility, but
lower downward mobility. This is believed to be related to the
trend of improving educational attainment among female workers
in recent years.

• In terms of age, upward mobility was higher among young


workers whereas older workers, in particular older male workers,
were more vulnerable to downward mobility. This is a natural
occurrence because earnings tend to increase quickly in the first
few years of one’s career and decline in the retirement years.

• In terms of educational attainment, education is of great help in


enhancing upward mobility and reducing downward mobility.
Yet upward mobility for degree holders declines at older ages
because, once reaching the top quintile group, there is no more
potential for further advancement.
3
• In terms of economic sector and occupational category, upward
earnings mobility was the highest among persons engaged in
financing, insurance, real estate and business services and those
working as clerks. On the other hand, downward earnings
mobility was the highest among persons engaged in the
construction sector and those working as plant and machine
operators and assemblers.

4. Although earnings mobility has been declining since 1991, signs of


stabilisation have emerged in recent years. For example, though the
percentage of workers with zero mobility over a five year horizon increased
from 49% to 60% between 1991-1996 and 1998-2003, the increase between
1998-2003 and 2003-2008 was only from 60% to 63%. A summary of the
mobility rates calculated from the current and previous studies is given in the
following table:

Mobility rates for all workers in the 2001, 2006 and current (2009) studies

5-year Period 10-year Period


2001 study 1991-96 1996-00 1991-00
2006 study 1996-01 2001-05 1996-05
2009 study 1998-03 2003-08 1998-08
Up 24.2% 24.0% 23.2% 24.6% 19.9% 22.0% 30.9% 29.1% 32.8%
No 49.4% 55.4% 55.9% 60.1% 62.2% 62.9% 38.3% 44.8% 47.2%
Down 26.4% 20.5% 20.9% 15.3% 16.9% 15.1% 30.1% 26.1% 20.0%

5. While earnings mobility generally increased over a longer time span,


older workers (especially older female workers), persons with primary
education or below, and workers in elementary occupations were more likely to
be trapped in the lowest earnings quintile group. Nevertheless, education was
found to be effective in reducing the chance of being trapped at the bottom
earnings quintile group.

Intergenerational Earnings Mobility

6. Regarding the intergenerational link, it was found that there were


statistically significant, positive correlations between parents’ and children’s
lifetime earnings. Specifically, a 1% increase in a father’s lifetime earnings
was associated with a 0.40% increase in his child’s lifetime earnings, and a 1%
increase in a mother’s lifetime earnings was associated with a 0.26% increase
in her child’s lifetime earnings. These results are comparable to those seen in
some OECD countries. When considering only father-son relationships (the 4
only type of relationship for which comparable international figures are
available), the relationship in Hong Kong is stronger than that in Finland,
Sweden, Germany, Canada, and Malaysia, though weaker than that in Great
Britain. Finally, when controlling for the other parent’s income, it was found
that fathers’ earnings had more influence on sons’ earnings and mothers’
earnings had more influence on daughters’ earnings.

7. Although one’s family background has a strong influence on one’s


career prospects, it is not destiny. Among those children whose fathers were
in the lowest earnings quintile group, only 18% of sons and 26% of daughters
were trapped at the bottom quintile group. Among those children whose
mothers were in the lowest earnings quintile group, 17% of sons and 23% of
daughters were themselves trapped at the bottom quintile group. More
generally, children born to families in the lowest two earnings quintiles are
more likely than not to earn more than their parents. By contrast, children
born to families in the highest two earnings quintiles are more likely than not to
earn less than their parents.

8. Further analysis by educational attainment revealed a positive


correlation of intergenerational educational attainment between parents and
children. In general, the more educated the parent, the higher the level of
education his or her child would likely attain. As for the less educated parents
with only primary education, their children still possess fairly good
opportunities to receive secondary or higher education, with the chance of
receiving only primary education being estimated at less than 5%. For parents
with secondary education or more, the probability that a child would receive
only a primary education is virtually nil. At the degree level, however,
significant differences persist. For instance, if the father has a degree, the
chance that his son will also receive a degree is 74%. However, if the father
has only a primary education, the chance that his son will receive a degree is
only 20%.

9. Analysed by economic sector and occupational category, the study


found that there were strong links between parents’ occupations and children’s
occupations, and weaker links between parents’ industries and their children’s
industries. These correlations are especially strong where managerial and
professional occupations are concerned. For instance, if a father is in a
professional occupation, his son is 43% likely to be a professional, and his
daughter is 35% likely to be a professional. For mothers, the corresponding
probabilities are 42% for sons and 13% for daughters. These probabilities
(except for mothers and daughters) are much higher than the probabilities in the
general population. In addition, every son and daughter of a professional 5
mother in the sample took up a high-skilled occupation (managers and
administrators, professionals, or associate professionals).

10. For children of less skilled parents, it was more difficult to enter the
top two occupational categories (managers and administrators, and
professionals). However, the door to an associate professional occupation is
relatively open. For both sons and daughters (except those whose fathers are
in elementary occupations), the chance of taking up an associate professional
occupation is 25-35%, and this chance does not depend much on the father’s
occupation. Moreover, the children of associate professional parents have a
relatively high chance of entering into managerial or fully professional
occupations, though the chance is not as good as that of children whose parents
are already managers or professionals. This result suggests that associate
professional occupations are an important gateway for poorer families to reach
the higher levels of the earnings distribution.

Policy Implications

11. From a policy perspective, education continues to be a very


important vehicle for social mobility in Hong Kong. At young ages (ages 30
to 39), education is a major determinant of upward earnings mobility, and it is a
key defence against downward earnings mobility at any age. This includes
not only formal education, but also employer-sponsored training and other
types of continuing education such as the Continuing Education Fund.
Education is also especially useful where it can be a gateway to associate
professional occupations. These occupations are important because, though
they are a meaningful step up for underprivileged families, the entry barriers
are not as high as those for professional and managerial occupations. Finally,
due to the fact that daughters are much more influenced by their mother’s
career path than their father’s, there is a key role for equal opportunity policies.
Following is a question by Dr Hon Kwok Ka-ki and a written
reply by the Secretary for Education, Mr Eddie Ng Hak-kim, in
the Legislative Council today (April 29):

Question:

A Research Brief on "Social mobility in Hong Kong"


published by the Legislative Council Secretariat on January 12
this year points that there are limited opportunities for
people moving higher on the social ladder and sustained
economic growth is key to providing earnings mobility to a
society. The median monthly employment earnings of the overall
local workforce surged by a total of 139% in real terms during
the period from 1976 to 1996, but the growth rate moderated to
a mere 14% during the period from 1997 to 2013. The subdued
growth in people's earnings has added to the difficulties in
home ownership. The average flat price for a small residential
unit surged by a total of 188% during the period from 2006 to
2013, whereas the median monthly household income increased by
only 30% over the same period. In the recent public sale of a
new batch of Home Ownership Scheme (HOS) flats, the Hong Kong
Housing Authority received a total of 128 900 applications,
representing a record-breaking oversubscription rate of 59
times. On the education front, the expansion of post-secondary
education places has been concentrated on the self-financed
sub-degree sector. Yet, higher educational attainment has not
led to better job prospects, with an increasing share of
people engaged in lower-paid associate professional jobs. In
this connection, will the Government inform this Council:

(1) whether it will formulate new measures to boost the


economic growth of Hong Kong, with a view to comprehensively
increasing the income levels of Hong Kong people; if it will,
of the details;

(2) whether it will consider according priority to young


people in allocating public rental housing units as well as
selling flats under HOS and Urban Renewal Authority's
development projects; if it will, of the details; whether the
authorities will consider re-launching the Sandwich Class
Housing Scheme to assist those whose income and asset levels
have exceeded the eligibility criteria for HOS in achieving
home ownership; if they will, of the details;

(3) whether it will formulate new measures to assist post-


secondary graduates in pursuing further studies and seeking
employment; if it will, of the details; and

(4) whether it will consider granting a partial waiver of


student loans to post-secondary graduates so as to relieve
their financial pressure; if it will, of the details?

Reply:

President,

Young people are the future of Hong Kong. The Government


has always been concerned about the development of young
people and their opportunities for upward mobility. The
Government has been working on promoting diversified economic
development, improving the overall employment structure, and
opening up more opportunities for employment and mobility.
Also, it has been providing diversified education and training
opportunities for young people with different aspirations with
a view to enabling our next generation to give full play to
their strengths and skills.

As Hon Kwok's question covers a number of policy areas,


the Education Bureau (EDB), in consultation with the relevant
bureaux and departments, gives the following reply on behalf
of the Government:

(1) The Government attaches great importance to economic


development for creating employment and business
opportunities, enhancing the overall competitiveness of Hong
Kong and enabling the public to increase their income.
Established in 2013 and personally led by the Chief Executive,
the Economic Development Commission (EDC) has been providing
visionary direction and advice on the overall strategy and
policy to broaden our economic base and enhance our long-term
development. It has submitted specific recommendations on
supporting the development of individual industries over the
past two years for the Government's consideration and
implementation as appropriate. The EDC will continue to
explore and identify growth sectors which present
opportunities for Hong Kong's further economic growth, and
recommend possible policy and other support measures for these
industries.

(2) Given limited public rental housing (PRH) and subsidised


sale flats resources, there is a need for the Government and
the Hong Kong Housing Authority (HA) to set priority. Our
current policy is to accord priority to families and the
elderly. During the public consultation on the Long Term
Housing Strategy, many respondents also agreed that the HA
should continue to accord higher priority to families and the
elderly over non-elderly one-person applicants for PRH. We
will continue our efforts to build more PRH flats, ensure the
rational use of PRH resources, and provide more subsidised
sale flats to address the housing needs of low to middle-
income people, including the youngsters.

As for the suggestion to re-introduce Sandwich Class


Housing Scheme (SCHS), as development of land for housing
requires substantial amount of public resources, including
land, financial and manpower resources, and given limited
resources, our priorities are to house PRH applicants to PRH
flats, and to assist low and middle-income families to achieve
home ownership. The Government will strive to achieve the
supply targets of PRH and subsidised sale flats under the 2014
Long Term Housing Strategy. From the policy perspective, the
Government currently has no plan to re-introduce SCHS.

As regards the Urban Renewal Authority (URA), all along,


the redevelopment projects of URA have been targeting the
private property market and the standard of finishing as well
as the sale price of the URA flats is different from those of
flats sold under the Home Ownership Scheme (HOS). As pointed
out in the Chief Executive's 2015 Policy Address, high
property prices decrease the public's relative ability to
purchase a home and result in a marked increase in demand from
low and middle-income families for subsidised sale flats. The
Government must explore ways to increase the supply of
subsidised sale flats through a multi-pronged approach by
engaging public organisations, including URA. In view of the
difference in standard of finishing, the sale price and target
purchasers of the subsidised sale flats to be provided by URA
may not necessarily follow that of the HOS. The Government is
awaiting concrete proposals with details from the URA Board.
There are no concrete proposals, including proposal on target
purchaser group, finalised at this stage.

(3) The Government attaches great importance to the


development of post-secondary education and strives to provide
the younger generation with flexible and diversified
articulation pathways with multiple entry and exit points.
Currently, over 46% of our young people in the relevant cohort
have access to degree-level education. If sub-degree places
are also taken into account, the rate of youth pursuing post-
secondary programmes is nearly 70%. Under the new academic
structure, post-secondary institutions have revamped their
curriculum to equip young people with a broad knowledge base,
strengthen their language proficiency and other generic skills
for enhancing their whole-person development and lifelong
learning capabilities, which will help lay a solid foundation
for them to seek employment in various sectors.

The 2014 Policy Address has put forward a series of


measures which include broadening the opportunities for
students to receive higher education, strengthening vocational
education to provide more opportunities for youngsters to
pursue professional development, and establishing a $1 billion
Qualifications Framework Fund to promote lifelong learning and
enhance the competitiveness of the local workforce. Measures
concerning employment and articulation opportunities for post-
secondary graduates are set out below:

(i) increasing the number of University Grants Committee-


funded senior year undergraduate intake places to 5 000 per
annum by the 2018/19 academic year to provide meritorious sub-
degree graduates with more opportunities for articulation to
the last two years of a publicly-funded undergraduate
programme;

(ii) introducing from the 2015/16 academic year the Study


Subsidy Scheme for Designated Professions/Sectors to subsidise
about 1 000 students per cohort to pursue self-financing
undergraduate programmes in selected disciplines to nurture
talents for industries with keen demand for manpower and
encourage the self-financing sector to develop programmes that
meet Hong Kong's social and economic needs. The Scheme will
benefit three cohorts of students, and its effectiveness will
then be reviewed; and

(iii) vocational education plays a pivotal role in integrating


education and employment. It provides young people and the
working population with comprehensive and diversified
opportunities in articulation and career development, thereby
nurturing talent in support of Hong Kong's development. Apart
from launching various measures to strengthen vocational
education, the EDB set up the Task Force on Promotion of
Vocational Education in June 2014. The Task Force will submit
a report to the Secretary for Education in mid-2015 with a
strategy and concrete proposals to raise the public's
awareness and recognition of vocational education. The
Government will examine and consider the report in due course.

Moreover, to assist young people in obtaining employment,


the Labour Department (LD) puts in place the Youth Employment
and Training Programme (YETP) which provides one-stop pre-
employment and on-the-job training for young school leavers
aged 15 to 24 with educational attainment at sub-degree or
below. LD encourages employers, through the provision of
training allowance, to employ young people joining YETP and
provide them with on-the-job training. In 2014, LD furthered
its collaboration with employers and various organisations to
launch six pilot employment projects under YETP, making
available about 760 on-the-job training places to enhance the
employability of young people and promote their employment.
These pilot projects were to address the employment needs of
specific groups of young people including sub-degree holders
or to cater for industries with recruitment needs. In 2015, LD
will continue to explore suitable pilot projects. So far, two
projects have been launched for young people seeking a career
in the hospitality industry or culture and publishing
industry.

In addition, the Employees Retraining Board (ERB)


provides diversified vocation skills training courses for
local residents aged 15 or above with education level at sub-
degree level or below. Young people may enrol in some 800 ERB
courses according to their education levels, career
aspirations and training needs.

(4) To ensure that no eligible students will be denied access


to education due to a lack of means, the Government has
implemented various student financial assistance schemes to
provide appropriate support to needy tertiary students, which
include means-tested schemes such as the Tertiary Student
Finance Scheme – Publicly-funded Programmes and the Financial
Assistance Scheme for Post-secondary Students, as well as non-
means-tested schemes such as the Non-means-tested Loan
Schemes. The former provides eligible students with a grant
and/or a low-interest loan to cover tuition fees, academic
expenses and living expenses, while the latter provides
eligible students with a loan to cover tuition fees.

To relieve the repayment burden of student loan


borrowers, the Government has implemented a series of measures
to improve the means-tested financial assistance schemes as
well as non-means-tested loan schemes since the 2012/13
academic year. The improvement measures include:

(i) lowering the annual interest rate of the means-tested loan


schemes from 2.5% to 1% (Note 1) and extending the standard
repayment period from five to 15 years;

(ii) reducing the risk-adjusted-factor rate of non-means-


tested loan schemes from 1.5% to zero (subject to review in
three years after implementation). The current interest rate
is 1.395% (Note 2) per annum and the standard repayment period
has been extended from 10 to 15 years; and

(iii) making the relaxed deferment arrangements a standing


practice. Borrowers who fail to make loan repayment on time on
grounds of further full-time studies, financial hardship or
serious illness may apply for deferment of repayment. If their
deferment applications are approved, loan borrowers would
enjoy an interest-free deferment and extension of the standard
loan repayment period for a maximum of two years, meaning that
the entire repayment period can be up to 17 years.

Moreover, in the 2012/13 and 2013/14 Budgets, the


Government introduced a measure to give student loan borrowers
who complete their studies in 2012 and 2013 the option of
starting the repayment of their student loans one year after
completion of studies. Since the measure could effectively
alleviate the financial burden of fresh graduates and allow
them more time to secure a stable job, it was announced in the
2014 Policy Address that the Government would make this a
standing practice.

The above measures have greatly eased the repayment


burden of student loan borrowers and offered appropriate
support to students in need. Student loans are financed by
Government funding. It is against the principle of proper use
of public money to grant a waiver of student loans.

Note 1: The rate is fixed.


Note 2: Subject to adjustment according to the movement of
average best lending rate of note-issuing banks in Hong Kong.

Ends/Wednesday, April 29, 2015


Issued at HKT 16:04

NNNN
1. Peranan Sekolah dan Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan
Nilai Murni: Satu Sorotan Melalui penelitian artikel yang bertajuk “Peranan Sekolah dan
Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan Nilai Murni: Satu Sorotan”,
pihak sekolah dan pendidik berperanan penting dalam membentuk peribadi yang utuh
malahan kental dalam kalangan pelajar. Kepentingannya adalah disebabkan pelajar
sekurang-kurangnya menghabiskan satu per empat masa dalam sehari di sekolah
bersama dengan guru. Lazimnya, jenis dan budaya sekolah dipercayai dapat
meninggalkan impak dalam pembentukan sahsiah pelajar. Begitu juga dengan peranan
guru-guru di sekolah berupaya mempengaruhi tingkah laku murid dalam kehidupan
seharian. Jadi, jelaslah bahawa pihak sekolah dan guru memikul tanggungjawab yang
agak signifikan dalam melahirkan pelajar yang bermoral dengan mengamalkan nilai
murni. Dalam usaha pembangunan nilai pelajar, pihak pentadbir sekolah mempunyai
peranan untuk membentuk budaya sekolah yang kondusif melalui penerapan nilai murni.
Dalam konteks ini, pemimpin di sekolah perlulah menyedari peranannya di sekolah
dengan menentukan hala tuju sekolah untuk membentuk pelajar yang mengamalkan nilai
murni di samping mewujudkan pelajar yang cemerlang dalam akademik. Sebagai contoh,
pengamalan budaya berbudi bahasa di sekolah boleh dihidupkan melalui perancangan
aktiviti yang sesuai kepada pelajar seperti mengadakan ceramah, permainan yang
berkaitan dengan kepentingan nilai murni, memberikan ganjaran kepada pelajar yang
bermoral dan sebagainya. Dengan inisiatif yang dilaksanakan oleh pihak sekolah untuk
mewujudkan budaya sekolah yang bermoral, maka pelajar diharapkan dapat menyedari
kepentingan pengamalan nilai murni dalam kehidupan seharian. Jadi, kesedaran pelajar
dapat menyebabkan penerapan nilai murni dalam sanubari masing-masing dan
seterusnya mengamalkannya secara tidak langsung. Walaupun pendedahan
kepentingan nilai murni kepada pelajar adalah sesuatu yang bukan senang, tetapi murid
dipercayai akan mengamalkan nilai murni sekiranya pelbagai inisiatif dirancang dan
dilaksanakan oleh pihak sekolah. Oleh itu, budaya sekolah baik yang berusaha
diwujudkan oleh pihak sekolah dengan menekankan pengamalan nilai murni dalam
kalangan pelajar dipercayai dapat meningkatkan nilai pelajar.
2. 2. Selain itu, guru berperanan membangunkan nilai pelajar melalui pengamalan nilai
murni dengan menjadikan diri sebagai teladan kepada pelajar. Peranan guru sebagai
model adalah penting kerana sesuatu adalah mustahil untuk disampaikan kepada pelajar
sekiranya guru berkelakuan seperti ketam mengajar anaknya berjalan lurus. Jadi, guru
sepatutnya menjadi teladan pelajar dengan menjadi individu yang mengamalkan nilai
murni walau di mana pun. Bertitik tolak dengan peranan guru sebagai contoh, guru
perlulah mengamalkan nilai peribadi asas, nilai kepimpinan, nilai profesionalisme, nilai
produktiviti dan juga nilai keagamaan. Dalam meneliti pengamalan nilai peribadi asas,
guru perlulah bersikap amanah, bertanggungjawab, berdedikasi dan kesederhanaan
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Begitu juga nilai kepimpinan seperti
adil dan berani perlulah ditonjolkan oleh guru dalam memimpin anak muridnya. Guru
juga seharusnya menunjukkan nilai profesionalisme dengan sentiasa komited dengan
tanggungjawab sendiri. Dengan penonjolan sahsiah guru yang baik, maka murid akan
meniru personaliti guru yang positif dan begitu juga dengan sebaliknya. Hal ini demikian
kerana pelajar yang masih keliru dengan identiti diri adalah begitu mudah dipengaruhi
oleh orang di sekelilingnya termasuklah guru. Oleh itu, peranan guru sebagai teladan
pelajar adalah begitu vital dalam meninggikan nilai pelajar melalui penerapan nilai murni
dalam jiwa pelajar. Di samping itu, sikap guru yang prihatin terhadap pelajar adalah
penting dalam membentuk peribadi pelajar yang masih boleh dilenturkan. Sifat yang
ditunjukkan oleh guru adalah penting disebabkan kerencaman latar belakang murid yang
membentuk pengamalan nilai pelajar. Maka, sikap demikian yang ditunjukkan oleh guru
dalam proses pengajaran dan pembelajaran boleh menyebabkan pemahaman yang lebih
lanjut terhadap pelajar dan seterusnya membimbing pelajar untuk menjadi individu yang
mengamalkan nilai. Dalam melaksanakan usaha tersebut, keprihatinan guru boleh
ditonjolkan melalui sentiasa meluangkan masa untuk berinteraksi dengan murid.
Tindakan yang senang seperti memahami latar belakang pelajar, mendengar kesulitan
yang dihadapi pelajar, memperoleh pandangan berkaitan sesuatu isu yang diberikan
pelajar dan sebagainya menyebabkan guru boleh memberikan nasihat kepada pelajar
supaya pelajar diingati untuk mengamalkan nilai dalam menghadapi sebarang masalah.
Walaupun penyampaian ilmu kepada pelajar adalah penting, tetapi nilai yang didedahkan
kepada pelajar dapat membentuk peribadi pelajar yang unggul. Maka, guru berperanan
untuk bersikap prihatin terhadap pelajarnya supaya nilai pelajar dapat dibangunkan
menerusi pengamalan nilai murni.
3. 3. Secara kesimpulannya, pihak sekolah dan guru sewajarnya melaksanakan
tanggungjawab masing-masing dalam membangunkan nilai pelajar. Seperti yang kita
sedia maklum, sekolah memainkan peranan penting selepas institusi keluarga dalam
pembentukan nilai dan ini sebenarnya jelas termaktub dalam Falsafah Pendidikan
Kebangsaan. Peranan guru pula menjadi semakin penting bagi memastikan sahsiah
dalam kalangan pelajar dapat dibentuk serta kekal terpelihara. Jadi, tanggungjawab
sekolah dan guru dalam mendidik pelajar bukan sahaja diperlihatkan untuk menyedari
kepentingan nilai malahan menghayati serta mengamalkannya setiap masa. Oleh hal
yang demikian, penghayatan nilai yang baik dalam kalangan pelajar diharapkan dapat
merealisasikan matlamat pendidikan negara.  Sila rujuk artikel: “Peranan Sekolah dan
Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan Nilai Murni: Satu Sorotan”
– Mohamad Khairi Othman & Asmawati Suhid

Anda mungkin juga menyukai