Pendahuluan
Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John
Dewey seputar manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John
Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu
sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu kami
menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya tentang filsafat
pendidikan.
Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam
proses mengajar dan peranan siswa dalam proses belajar.
1. John Locke
Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural
alam dan manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis
pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks
pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.
Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu
berisi kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia.
Tanpa sustratum material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya
kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi.
Tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi
sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung
pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam
kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya,
obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak
adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.
Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang
mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat
menghasilkan pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih
yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh Allah, tak ada ide
tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan
bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia sadar bahwa ia
tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk
mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan
sekitarnya dan membentuk dalam dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang
dihadapinya. Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.
Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk
mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4]Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau
bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik.[5]Dengan
demikian, Locke menampilkan karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan
moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi
alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak
miliknya tanpa tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut,
manusia harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana seluruh anggotanya
memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa semua manusia sama.
Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan kepada penguasa dengan
syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan
untuk mencapai kebahagiaan hidup.
A. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa
tujuan dari pendidikan, yaknipertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan,
pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan
kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap
individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu,
Locke melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup
masyarakat.[10]Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi
yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan
manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini,
pengetahuan dilihat oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi
yang bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia
yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan.Keempat, pendidikan menjadi
\psarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]
B. Hakekat Pendidikan
Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita
ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri,
melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human
Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu
pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini
saling menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang
menwderima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui
pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu jaringan
pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita
menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh Locke, gagasan-
gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan
majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman,
tanpa pengolahan secara logis sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan
gagasan-gagasan tunggal.
C. Metode Pendidikan
Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya,
tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan
demikian metode yang ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus
membawa para murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka
menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan,
baru kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
D. Kurikulum Inti
John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan
keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa
diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya
difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada
kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud
bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]
Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan,
kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung,
bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga
menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.
2. John Dewey
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia
itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk
akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang
menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan
segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain
berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat
yang ada disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati
tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak
bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya
tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya
ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung
kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan
kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi
kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus
tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
A. Hakekat Pendidikan
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia
pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide
pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari
setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia
menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus
dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan
dengan hal tersebut maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan
pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan
guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerja
sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir
kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk
merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus
mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu
masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk
peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula
diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling
fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud
dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk
mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk
menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.
C. Kurikulum Inti
Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang
tertib.[23] Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran,
antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas
pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar
dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses
ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan
pemikiran.
Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan
masukan-masukan dari bawah.
D. Metode Pendidikan
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah
yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan
yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa
dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-
doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
A. Peranan Guru
Menurut Locke dan Dewey, yang penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk
memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-
formulasi, teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang
terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan demikian
hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey memprotes cara
belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Yang penting yakni guru
mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu
proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:
Mengajar bukan dimaksudkan memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa.
Mengajar merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri.
Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian siswa. Dengan
kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses belajar. Mengajar yang baik
hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir dengan baik. Berpikir yang baik merupakan
syarat mutlak yakni mempunyai pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur.
Belajar dalam pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara
konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha untuk mendapatkan
jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk mencari jawaban sendiri.
Peran guru sangat menentukan penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu
mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan
diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan
model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.
Guru yang berperan sebagai “diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau
pemikirannya satu-satunya yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para
siswa. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks bahan
itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam
sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu pengatahuan dalam konteks yang lebih
mudah dipahami dari pada bila terlepas begitu saja.
Mengajar adalah suatu seni yang dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi.
Beberapa ciri mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:
Dalam mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang
dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada
siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi.
Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu usaha/operasi. Tidak ada gunanya
mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.
Kepada siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati
bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih
penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang
dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka.
A. 5. Hubungan guru dan siswa
Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena
itu harus diberitahu. Dalam proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk
pengetahuannya, guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa
bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang bersama-
sama membangun pengetahuan.
B. Peranan Siswa:
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri
pengetahuannya. Pelajar membentuk pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya.
Hal itu berarti seorang siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang
menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.
Belajar oleh seorang siswa merupakan suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses
organik dalam arti suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana
seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda dengan proses
mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta, definisi. Ciri proses mekanik adalah
statis.
Sungguh penting setiap siswa dalam proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang
menyusun hipotesis dan menguji hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa
mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran
melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat
dikembangkan melalui dua hal, pertamakarya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa
diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Proses
pelaksanaannya dibuat secara idividual.
Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan
pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain
untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog diharapakan mendengarkan pembicaraan
orang lain. Yang penting bukanlah pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya
mendengar dan mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang
lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam bingkai
pemikiran atau pengalaman orang lain.
III. Kesimpulan
Telah disadari bahwa sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik
untuk mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta didik.
Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau “larangan” sehingga pendidikan
yang semestinya membebaskan dan mendewasakan ratio manusia, malah menjadi ruang yang
mengurung ratio manusia dalam kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John
Dewey. Menurut Locke, dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya
refleksinya, sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama, serta
komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan ketrampilan-ketrampilan khusus.
Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni
dengan mengubah sistem pendidikan yang kompleks tersebut.
Dalam proses ini seorang guru bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya.
Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai bahan
secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan pendapat siswa
yang berbeda.
Demikianlah untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang
memiliki profesionalitas dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.
Daftar Pustaka
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).
J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968)
James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy,edited by Paul Edwards (ed.),
Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996).
L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan
Company and The Free Press, 1971)
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969)
Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf
Publishing, 2001)
[1] Innatisme ditolak karena dinilai kebenarannya sulit dipastikan; prinsipnya didasarkan pada
kebenaran yang belum dibuktikan oleh pengalaman (lih. J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta”
(Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989), hlm. 89.
[2] Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[3] J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968), p.
26-27.
[4] N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), p.
83.
[6] Lih. Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 26-27.
[7] J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari
Pineleng, 2003), hlm. 77.
[9] James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy,edited by Paul Edwards
(ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996),
hlm. 501. terkutip dalam N. Tarcov, p. 198.
[13] L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan
Company and The Free Press, 1971), p. 20.
[14] Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition
(Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002), p. 35.
[20] Richard J. Berstein, Dewey John, hlm. 384-385. Bdk. J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat
Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 76-79.
[21] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951),
hlm. 548.
[22] Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 2001), hlm. 30-31.
[23] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer(Traktat Kuliah SFT-SP),
hlm. 79.
[24] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951),
hlm. 535.
REPORT THIS AD
REPORT THIS AD
“Saya memang terkejut melihat persamaan dalam piagam Ramakrishna Mission yang
Vivekananda tubuhkan seawal 1897 dengan piagam UNESCO yang ditulis pada tahun 1945.
Kedua-duanya menjadikan manusia di pusat usaha mereka untuk pembangunan. Kedua-duanya
mengutamakan toleransi daripada matlamat untuk membina keamanan dan demokrasi. Kedua-
duanya mengakui kepelbagaian budaya dan masyarakat manusia sebagai satu aspek penting
dalam warisan bersama.”
Antara pemikiran Swami Vivekananda yang asli adalah mengenai isu-isu pendidikan. Menurut
beliau, ilmu wujud di dalam setiap manusia. Ilmu bukan sesuatu yang diperolehi daripada
sumber luar. Hasil penulisan, percakapan dan pemikiran Swami Vivekananda telah diterbitkan
sebagai ‘Complete Works of Swami Vivekananda’.
Ilmu wujud di dalam manusia. Ilmu tidak datang dari luar, semuanya berada dalam manusia. Apa
yang kita sebut sebagai seorang manusia ‘mengetahui’, sebenarnya dalam bahasa psikologikal
patut dipanggil sebagai dia ‘menemui’ atau ‘mendedahkan’. Apa yang seseorang ‘mempelajari’
ialah sebenarnya apa yang dia ‘temui’ dengan mengetepikan tirai yang menutupi jiwanya sendiri,
yang merupakan sebuah khazanah ilmu yang tidak terbatas.
Kita kata Newton telah menemui gravitasi. Adakah ia sedang duduk di mana-mana sudut
menunggunya? Ia berada di dalam fikiran Newton sendiri; masanya tiba dan dia menemuinya. …
Buah epal yang jatuh telah memberikan Newton satu cadangan, dan dia mengkaji fikirannya
sendiri. Dia menyusun kembali semua jalinan fikiran lama dalam fikirannya dan menemui satu
jalinan baru di antaranya yang kita panggil sebagai rukun gravitasi. Ia bukan berada di dalam
buah epal atau dalam sesuatu yang berada di perut bumi.
Oleh itu, semua ilmu, sekular mahupun rohani, berada dalam fikiran manusia. Dalam
kebanyakan keadaan ia tidak ditemui, tetapi kekal terselindung, dan apabila lapisan yang
menutupinya dialihkan secara perlahan-lahan, kita kata, ‘Kita sedang belajar.’
Pendidikan bukan jumlah informasi yang dimasukkan ke dalam otak kamu dan sepanjang hidup
kamu, ia berlari kucar-kacir di situ tanpa penyerapan. Kita mesti mendapat asimilasi idea-idea
yang membina-hidup, menjadikan manusia, membentuk akhlak. Jika kamu telah menyerap lima
idea-idea dan menjadikannya hidup dan karakter kamu, maka kamu lebih berilmu berbanding
orang yang telah menghafal semua buku-buku di perpustakaan.
Pemikiran yang negatif melemahkan manusia. Tidakkah kamu lihat apabila ibubapa sering
mendesak anak-anak mereka untuk membaca dan menulis, memberitahu mereka bahawa
mereka tidak akan belajar apa-apapun, dan memanggil mereka bodoh dan sebagainya, anak itu
sememangnya akan menjadi begitu dalam kebanyakan keadaan? Jika kamu menuturkan kata-
kata yang mesra kepada anak-anak dan memberi dorongan, mereka akan pasti maju kelak. …
Salah satu keburukan tamadun Barat ialah ia hanya memberi tumpuan pada pendidikan
intelektual sahaja dan mengabaikan hati. Ia hanya menjadikan manusia sepuluh kali lebih
mementingkan diri sendiri, dan ia akan membawa kemusnahannya.
Seluruh hidup ini hanya mempunyai satu matlamat sahaja iaitu pendidikan.
Kita memerlukan pendidikan yang membantu pembinaan akhlak, meningkatkan kekuatan fikiran,
meluaskan intelek, dan membolehkan seorang berdikari.
Sistem pendidikan masa kini adalah semuanya salah. Fikiran disumbat dengan fakta-fakta
sebelum ia belajar untuk berfikir. Kawalan fikiran mesti diajar dahulu. Jika saya perlu
mendapatkan pendidikan sekali lagi, dan saya mempunyai sebarang pilihan, saya akan belajar
untuk mengawal fikiran saya dahulu, dan kemudian mengumpulkan fakta-fakta jika saya
memerlukannya. Orang mengambil masa yang lama untuk mempelajari sesuatu kerana mereka
tidak dapat menumpukan fikiran sesuka hati.
Kita boleh bercakap dan berdebat sepanjang hidup kita, tetapi kita tidak akan memahami
walaupun sepatah perkataan tentang kebenaran selagi kita mengalaminya sendiri. Kamu tidak
boleh berharap untuk menjadikan seorang sebagai doktor bedah dengan memberikannya
beberapa buah buku. Kamu tidak boleh memuaskan keinginan saya untuk melihat sebuah
negara dengan menunjukkan saya sebuah peta; saya mesti mendapatkan pengalaman yang
sebenar. Peta-peta hanya boleh membangkitkan rasa ingin tahu dalam diri kita untuk
mendapatkan ilmu yang lebih sempurna. Ia tidak ada apa-apa kegunaan lain.
Beberapa syarat adalah penting bagi seorang pelajar, dan juga bagi pengajar. Syarat-syarat
perlu dalam seorang pelajar adalah kesucian, kedahagaan sebenar untuk ilmu, dan kecekalan.
Mengenai kedahagaan untuk ilmu, ia adalah satu rukun purba bahawa kita dapat apa yang kita
mahu. Sesiapa pun tidak boleh mendapat apa-apa kecuali apa yang kita inginkan.
Hanya ada satu cara sahaja untuk mendapatkan ilmu iaitu dengan penumpuan.
Kita mempunyai satu cara sahaja untuk menimba ilmu. Daripada manusia yang paling lemah
kepada petapa yang paling hebat, semua orang mesti menggunakan cara yang sama; dan cara
ini adalah dipanggil sebagai penumpuan. Lebih banyak kuasa penumpuan ini, lebih banyak ilmu
yang diperolehi.
Semua kejayaan dalam apa sahaja bidang adalah hasil daripada penumpuan ini. Pencapaian
hebat dalam seni, muzik, dan sebagainya adalah hasil penumpuan.
Dalam keadaan fizikal kita sekarang, wujud banyak gangguan, dan otak membazirkan segala
kekuatannya terhadap ratusan perkara. Sebaik sahaja saya cuba untuk menenangkan pemikiran
saya dan menumpukan fikiran pada sebarang objek ilmu, beribu-ribu perkara yang tidak diingini
memecut ke dalam otak saya, ribuan pemikiran memecut ke dalam fikiran dan menganggunya.
Bagi saya intipati pendidikan adalah penumpuan fikiran, bukannya pengumpulan fakta-fakta. Jika
saya terpaksa memulakan pendidikan saya sekali lagi dan mempunyai sebarang pendapat
dalam hal itu, saya tidak akan belajar sebarang fakta. Saya akan meningkatkan daya
penumpuan dan semangat tersisih, dan kemudian dengan peralatan yang sempurna ini saya
dapat mengumpul fakta-fakta mengikut kehendak saya.
Penumpuan adalah intipati semua ilmu; tiada apa yang boleh dicapai tanpanya. Orang biasa
membazirkan sembilan puluh peratus daya pemikirannya. Oleh itu, dia sentiasa melakukan
kesilapan. Orang atau fikiran yang terlatih tidak akan melakukan suatu kesilapan.
Hanya pengecut-pengecut dan orang yang lemah sahaja yang melakukan dosa dan bercakap
bohong. Orang yang berani adalah sentiasa bermoral. Cubalah untuk menjadi orang yang
bermoral, cubalah untuk menjadi berani, cubalah untuk bersimpati.
Ini adalah satu fakta hebat: kekuatan adalah kehidupan, kelemahan adalah maut. Kekuatan
adalah kegembiraan, kehidupan abadi, keabadian; kelemahan adalah ketegangan dan
penderitaan berterusan: kelemahan adalah maut.
Penawar untuk kelemahan adalah bukannya memikirkan tentang kelemahan, tetapi sebaliknya
memikirkan tentang kekuatan. Ajarlah manusia tentang kekuatan yang sedia ada dalam diri
mereka.
Ini adalah satu-satunya definisi yang boleh diberikan tentang moraliti: Sesuatu yang
mementingkan diri adalah tidak bermoral, dan sesuatu yang tidak mementingkan diri adalah
bermoral.
Sifat tidak mementingkan diri adalah lebih berfaedah, cuma orang tidak ada kesabaran untuk
mengamalkannya.
Kebenaran, kesucian, dan sifat tidak mementingkan diri – di mana sahaja semua ini wujud, di
situ tiada sebarang kuasa di bawah atau di atas matahari yang boleh memusnahkan orang yang
memiliknya. Dengan memilikinya, seorang individu boleh menghadapi seluruh alam yang
menentangnya.
Ajarlah diri kamu, ajarlah setiap orang tentang sifat sebenarnya, serulah jiwa yang sedang tidur
dan lihatlah bagaimana ia bangun. Kuasa akan datang, kemuliaan akan datang, kebaikan akan
datang, kesucian akan datang, dan semua yang hebat akan datang apabila jiwa yang tidur ini
dibangkitkan untuk bertindak dengan kesedaran diri.
Sejarah dunia ini adalah sejarah beberapa orang yang mempunyai kepercayaan kepada diri
mereka sendiri. … Kamu boleh melakukan apa sahaja. Kamu gagal hanya apabila kamu tidak
berusaha secukupnya untuk menyerlahkan kuasa yang tiada batasan. Maut datang sebaik
sahaja seorang atau sebuah negara hilang kepercayaan.
Falsafah China, terutamanya konfusisme sentiasa begitu prihatin dengan persoalan praktikal
moral dan etika. Antara persoalan mudahnya ialah bagaimanakah sebenarnya seseorang itu
perlu hidup untuk menguasai persekitaranya? Adakah dengan menyediakan kerajaan yang
bersesuian atau mencapai keharmonian moral? Pusat kepada ajaran konfusisme adalah bahawa
keharmonian moral individu secara langsung berkaitan dengan keharmonian kosmik; iaitu apa
yang dilakukan, memberikan kesan kepada yang lain. Contohnya, keputusan institusi politik
yang lemah boleh membawa kepada bencana alam seperti banjir. Selain itu juga antara contoh
korelasi langsung antara fizikal dan moral dibuktikan dalam sebuah petikan kata:
“…Heaven does not have two suns, people does not have two kings…” – petikan kata dari
The Li Chi.
Idea daripada petikan di atas menerangkan bahawa hanya ada satu persekitaran kosmik, dimana
hanya ada satu cara benar untuk hidup dan hanya ada satu sistem politik yang benar. Jika
berlaku kegagalan dalam pembentukan sesebuah masyarakat, ianya mungkin berpunca kerana
kitab suci dan ajaranya telah disalah tafsir. Hal ini demikian kerana teks suci itu senditi telah
mengandungi the way of life, oleh itu kita sendiri yang perlu merungkai dan memahaminya
dengan betul. Bertitik tolak daripada tugas sakral membina kebenaran ini muncul seorang
tokoh falsafah China silam yang paling berpengaruh, dikenali sebagai Kungfu Tze, atau
dikenali sebagai Confucianisme.
Nilai-nilai kemanusiaan dan keteraturan sosial yang mana akan membawa kepada keteraturan
politik seterusnya kepada aspek-aspek kehidupan yang lain, merupakan teras utama dalam
falsafahnya. Ajaran utamanya ialah nilai Tao dan Te dimana ia menjadi landasan asas dalam
falsafah dan tradisi dalam kehidupan masyarakat Cina. Tao membawa makna cara hidup yang
ideal dan juga ajaran-ajaran mengenainya manakala Te bermaksud kewibawaan kebijaksanaan
untuk memahami dan mengamalkan Tao.
Confucius menganggap cara hidup dan bermasyarakat yang ideal itu adalah seperti mana yang
telah diamalkan oleh masyarakat China sejak zaman-berzaman dahulu lagi. Beliau menerima
sistem hirarki sosial yang wujud dalam masyrakat China silam namun beliau menghujahkan
kelayakan utama bagi elit yang bakal menerajui pemerintahan dalam aspek moral yang unggul
bukan sekadar perwarisan dari darah keturunan. Spektrum dalam asas falsafahnya adalah di
mana kedua-dua pihak iaitu pemerintah dan rakyat haruslah mematuhi prinsip-prinsip yang
unggul yang mudah diwariskan seperti prinsip Xiao/hsiao (ketaatan kepada ibu bapa), Yi
(santun dan beradab), Jen/Ren (kasih sayang dan timbangrasa sesama insan), Li (adab sopan
mengikut adat dan peraturan).
Pada pandangan beliau masyrakat dan negara yang harmoni mudah terbina apabila prinsip-
prinsip ini diamalkan yang akhirnya mencapai tahap tertinggi iaitu Junzi/Chuan-Tzu (orang
yang budiman) membolehkan mereka mengetuai tampok pimpinan.
Confucius juga dikenali sebagai Confucius telah dilahirkan pada September 28 (551 BCE) dan
akhirnya meninggalkan dunia di daerah Lung yang ketika ini dikenali sebagai daerah
Shandong (Shantung) China. Nama asalnya ialah K’ung Ch’iu atau Kang Chung-ni.
Dalam kalangan arena falsafah dan juga pendidikan, beliau telah diberi pelbagai gelaran
daripada kalangan anak didiknya antaranya ialah, ‘Grand Master Kung’ dipetik daripada
namanya sendiri iaitu Tze, malah ada yang mengelarnya First Teacher serta Model Teacher
For Thousand Years.
Mengikut tradisi beliau dikatakan lahir dan memiliki darah daripada kelas Shi iaitu hasil
campuran keluarga daripada golongan aristokrat dengan warga biasa. Selain itu, Confucius
merupakan keturunan yang mula membuka wilayah Lu yang hadir daripada kerabat diraja
Duke Shang.
Bapanya iaitu Kang He juga merupakan pegawai pemerintah angkatan tentera wilayah Lu
meninggal semasa beliau berumur tiga tahun dan kemudianya telah dibesarkan oleh ibunya,
Yan Zheng Zhai dalam keadaan serba kekurangan dan kedaifan. Ciri seorang filasuf dalam
dirinya sejak kecil telah ditonjolkan apabila beliau pada usia muda lagi telah menunjukkan
minatnya dalam pendidikan malahan bercita-cita menjadi seorang mahaguru. Kecintaan beliau
kepada ilmu begitu tinggi sehinggakan beliau sanggup melupakan jawatannya sebagai ketua
polis di mahkamah daerah Lu dan menumpukan sepenuh masanya kepada pengajaran.
Seterusnya, beliau telah mengembara ke beberapa buah negeri untuk menyebarkan ajaranya
kepada raja serta pemerintah namun begitu idealismenya ditolak.
Keikhlasan, kejujuran dan keyakinannya yang tinggi telah berjaya menjadikan beliau sebagai
seorang guru yang unggul. Keperibadianya yang baik, ramah serta mudah didekati dan berbudi
tinggi disenangi oleh umum.
Seramai 3000 orang telah menjadi muridnya dan lebih daripada 70 orang dalam kalangan
tersebut telah berjaya menjadi pemikir-pemikir besar dalam sejarah pemikiran. Akhirnya,
pemikiran Confucius menjadi ideologi pemerintah Dinasti Han dalam abad ke-2.
Sebagai seorang ilmuan falsafah, pemikiranya telah dibukukan oleh anak muridnya yang telah
mengembara hampir keseluruh wilayah yang pernah dikunjungi oleh Confucius untuk
menyebarkan fahamanya. Namun begitu, para pengkaji-pengkaji menganggap hanya Lun Yu
(Analekta/Analects) yang begitu hampir dengan buah fikiran serta ideanya. Lun Yu merupakan
kumpulan nota-nota serta variasi kata-kata daripada Kungfu Tze yang disunting dan dibukukan
oleh anak muridnya iaitu Chu Hsi.
Cara menjalani kehidupan yang ideal serta membentuk masyarakat ideal merupakan teras
utama dalam idea falsafah politik Confucius. Ia merupakan cara penyelesaian terhadap masalah
sosial dan politik, bukan sahaja yang wujud pada zamannya, malah juga secara am. Prinsip
Keutamaan atau principle of priority adalah antara salah satu prinsip daripada prinsip utama
dalam ajarannya. Contohnya, dari segi moral, amalan kesopanan mestilah diutamakan daripada
keinginan mendapat untung, nilai-nilai di dalam diri perlulah diutamakan sebelum membentuk
kebendaan.
Selain itu, beliau menekankan bahawa manusia ini tidak wujud atas dasar keindividuanya
seperti yang dinyatakan dalam falsafah politik liberal. Alirannya, bukan hendak menidakkan
keindividuan seseorang itu, yang dimaksudkanya adalah setiap manusia itu hidup dalam
kelompok-kelompok yang pada dasar utamanya ialah keluarga, sebelum membentuk ke arah
suatu yang lebih besar iaitu masyarakat seterusnya negara. Hal ini demikian kerana dalam
hukum sosial, individu saling berinteraksi dengan individu lain dalam pelbagai bentuk
hubungan sosial yang memerlukan tata kesopanan membentuk identiti sebagai anggota
kelompok dalam komuniti dan mematuhi peraturan secara turun-temurun.
Dengan itu jelas menerangkan bahawa falsafah Confucius menekankan proses mengenali diri
dan proses sosialisasi adalah daripada aspek kehidupan manusia yang saling mempengaruhi.
“…When the personal life is cultivated, the family will be regulated; when the family is
regulated, the state will be in order, when the state is in order, there will bee peace throughout
the world. From the sun of Heaven down to the common people, all must regard cultivation of
the personal life as the root of foundation...” – The Great Learning.
Falsafah Jen
Teras utama dalam Confuciusnisme ialah Jen (Ren) yang bermaksud kemanusiaan,
perikemanusiaan dan kasih sayang juga banyak diperkatakan berulang-kali dalam Lun Yu.
Sifat prihatin sesama manusia yang diterangkan Kungfu Tze dikatakan hasil daripada a kind of
moral insight yang wujud secara semulajadi dalam diri manusia dibantu oleh deria pancaindera.
Ia membezakan “manusia” dengan hidupan lain dan dikatakan yang terunggul serta perlulah
dicapai manusia. Pemerintahan yang dijalankan perlulah berdasarkan Jen dan pemerintah
sendiri perlu menjadi contoh utama beramal dengan konsep Jen.
Falsafah Li
Membawa maksud adat istiadat, resam dan perlakuan yang tidak melanggar norma masyarakat.
Dipermudahkan lagi maknanya sebagai bentuk perangai atau perlakuan yang dianggap sopan
dan beradab dalam semua bentuk interaksi sosial.
Mengamalkan Li adalah satu cara ke arah mencapai Jen (Ren). Kungfu Tze menerangkan
bahawa Li adalah satu set nilai dan prinsip yang diajar oleh pendeta terawal silam untuk
menghasilkan masyrakat yang teratur dan harmoni.
“…Menahan keinginan diri sendiri supaya semua percakapan dan tindakan sesuai dengan adat
(Li); itulah perikemanusiaan (Jen). Sekali kita melakukan seperti ini, semua yang dibawah
langit akan memuji kita sebagai manusia yang berperikemanusiaan…” -Lun Yu.
Falsafah Xiao
Menurut beliau, individu yang mentaati ibu dan menghormati saudaranya jarang melanggar
perintah ketua atau pemerintahnya.
Selain itu juga ketaatan tersebut akan melahirkan seorang anggota masyrakat yang jujur dan
mnejadi asas perlakuan seseorang itu di dalam masyarakat yang lebih luas.
Confucius berkata:
“Pada masa ini, maksud ketaatan sudah memadai dirujuk pada seseorang yang dapat
memelihara ibubapa. Namun anjing dan kuda pun dipelihara. Sekiranya kita tidak dapat taat
hormat pada ibu bapa dengan sepenuhnya, bagaimana kita dapat membezakan antara
memelihara ibubapa dengan memelihara anjing dan kuda”.
Falsafah Yi
Konsep ini pula membawa maksud pendirian yang benar, kesantunan dan keperibadian yang
wajar. Prinsip ini menentukan pilihan Li yang terbaik bagi satu-satu situasi.
Contohnya, seseorang itu bersifat taat, merendah diri di depan ibu bapa dan individu yang sama
juga akan meneruskan ajaran tersebut kepada generasinya akan datang.
Falsafah Chun Tzu
Membawa maksud seseorang itu telah mencapai tahap terunggul, dimana budiman tersebut
berjaya melaksanakan dan mengamalkan konsep-konsep terpuji yang diajarkan. Menurut
amalan ini, budiman dikatakan telah memahami keadilan sedangkan yang jahil hanya
memahami keuntungan serta berkemampuan untuk membetulkan komuniti supaya
kesemuanya dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip asas demi kebaikan semua. Confucius
juga menjelaskan bahawa sememangnya wujud budiman yang tidak berperikemanusiaan akan
tetapi diakalangan orang yang jahil tidak ada yang berperikemanusiaan.
Confucius berkata:
“… empat jenis kelakuan yang memperlihatkan sikap orang yang budiman. Dia sendiri
bersikap tegas dan berwajah serius dan terhormat; dia bersikap benar dan bertanggungjawab
terhadap raja; dia mengajar (mendidik) rakyat supaya berkasih sayang; dia mahu rakyat
menerima dengan alasan munasabah…”.
Ia telah menjadi persediaan asas dalam kalangan masyarakat, mempersiapkan individu dengan
mengajarkan konsep-konsep asas yang disanjung dalam diri bagi membentuk masyarakat yang
teratur.
Bagi menjadi seorang Junzi/Chun tzu iaitu budiman, seseorang itu perlulah menguasai Li dan
Ren yang dikatakan mempunyai means-ends relation di mana ia menjadi satu alat ke arah
pencapaian masyarakat yang ideal.
Selain itu juga dalam struktur pendidikan, Confucius juga ada menerangkan tentang pentingnya
seorang guru itu malah ciri-ciri yang perlu ada dalam nurani seorang guru. Salah satunya adalah
seorang guru itu perlu mencintai atau menyayangi semua dan mencurahkan khidmatnya tanpa
sebarang diskriminasi terhadap hak individu memperolehi pendidikan. Sebagai seorang guru
iaitu pendidik, pelatih atau tenaga pengajar, Confucius meletakkan kepercayaanya bagi
golongan ini untuk mencapai satu pencapaian, mereka perlulah mencintai dan menyayangi
anak muridnya. Dimana mereka ini perlu mengenali mereka secara peribadi, memahami
keperluan psikologi mereka, serta mencurahkan ilmu dengan mengkaji dan menyediakan
metodologi yang termudah agar mereka boleh mengakses kepada ilmu itu dengan mudah.
Hal ini demikian kerana seoarang guru itu perlulah memiliki hati yang menyayangi, dan dengan
berbuat demikian corak didikan dan pengamalan budaya ilmu kepada anak murid itu lebih
mudah diterapkan disebabkan oleh keikhlasan yang timbul hasil daripada sifat menyayangi
tersebut. Bagi Confucius, untuk mencintai sesuatu itu lebih mudah daripada ingin mengetahui
tentangya dan untuk mencari keseronokkan dalamnya adalah lebih mudah dengan
mencintainya, di mana sesuatu yang dimaksudkan itu adalah anak didik.
Melalui pengenalan ajaran moral sejak usia kecil lagi membuktikan bahawa pokok
perbincangan utama Confucius adalah melahirkan suatu pemerintahan yang terbaik.
Walaubagaimanapun falsafah dan ideanya tidak ada menyentuh tentang kerajaan mahupun
kerajaan berperwakilan di mana menerangkan peranan badan legislatif yang kompleks atau
bagaimana penguasaan satu sistem perundangan itu secara khusus.
Hal ini demikian kerana, Confucius berpendapat rakyat berupaya dibimbing dengan memberi
contoh teladan yang baik kerana sifat semula jadi manusia (hsing) adalah baik. Dengan itu,
dengan melakukan lantikan seorang raja yang bijaksana sudah memadai untuk menghasilkan
sebuah masyarakat dan negara yang ideal. Selain itu, menurutnya, dengan mengusai rakyat
melalaui sistem perundangan dan pelaksanaanya haruslah merupakan pilihan terakhir. Baginya
ini bukan suatu pemerintahan raja yang bijaksana.
Confucius berkata:
“…jika pemimpin menyukai peradaban, rakyat tidak akan berani untuk tidak menghormati.
Jika pemimpin menjalankan kerja dengan jujur, tidak ada rakyat yang tidak mengikut perintah.
Jika pemimpin jujur, tidak ada rakyat yang tidak bercakap benar. Sekiranya seseorang
pemimpin tidak dapat melaksanakan tugasnya hingga ke peringkat ini, rakyat dari empat
penjuru alam akan mendukung anak datang mengikutnya…”.
Confucianisme secara kesimpulannya dapat diselaraskan dan tidak dianggap sebagai satu
agama yang berunsurkan ketuhanan tetapi merupakan prinsip-prinsip menjalani hidup yang
baik.
Malah Confucius sendiri memperkenalkan ajaran ini kepada anak muridnya sebagai sebuah
simbol atau ilmu untuk menjalani kehidupan dengan beramal baik dengan individu dalam
persekitaran mereka dan bukan mengangkatnya sebagai sebuah agama. Dengan
mempromosikan ajaran Confucius berteraskan konsep Jen dimana penekanan terhadap
perasaan perikemanusiaan terhadap orang lain dan juga kepentingan harga diri.
Pengamalan teras tersebut dalam kehidupan boleh dicapai dengan lima elemen kebaikan iaitu
budi bahasa, kemurahan hati, amanah, kerajinan dan sifat baik. Ia pada dasarnya, dapat kita
lihat sendiri bahawa ia tidaklah seberat ajaran falsafah lain kerana ia begitu dekat dengan ciri
kehidupan sosial masyarakat dan masyarakat juga dilihatkan mudah untuk menerima serta
menerapkanya dalam kehidupan. Selain itu, konsep Li atau rukun bangsa yang diperkenalkanya
telah membawa masyarakat pada ketika itu ke tahap pembinaan perhubungan sosial yang
terbaik sekali dan menerbitkan keamanan dan kepatuhan rakyat kepada negara.
Hal ini demikian kerana teras perhubungan yang baik yang diselaraskan oleh Confucius
amatlah bersesuaian sekali dengan norma semula jadi perhubungan yang baik yang
menetapkan peranan individu dalam masyarakat iaitu pemerintah kepada rakyat, ibu bapa dan
anak, suami dengan isteri, saudara dengan saudara dan sesama rakan.
Menurut beliau, setiap individu mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap pihak lain
diamana akhirnya pengamalan tersebut menunjukkan kejayaan jika setiap tanggungjawab
tersebut dipatuhi, masyarakat serta negara akan bersatu, tenteram dan harmoni. Kejayaan
Confucius ini dalam penerapan budaya menganggap negara sebagai sebuah keluarga
merupakan sebuah resepi asas menyatukan masyarakat cina pada hari ini dimana telah
menanamkan nilai patriotisme yang tinggi dalam kalangan rakyatnya sepertimana mana yang
dilihatkan China pada hari ini.
Dari segi politik pula, pengamalan konsep taat setia kepada pemerintah kerajaan telah
menghasilkan sebuah masyarakat yang patuh terhadap perbezaan darjat dimana wujudya
perjuangan hierarki dalam sistem pentadbiran. Walaupun ia tidaklah menepati konsep
egelitarian barat dimana kesamarataan itu mempunyai hak dan peluang yang sama sepertimana
dahulunya konsep pengkhususan peranan sesetengah golongan itu berlaku, pada hari ini
masyarakat China yang moden masih meneruskan konsep hierarki tersebut.
Senario tersebut yang dibawa Confucius akhirnya menyebabkan sosiopolitk China pada hari
ini lebih menyanjung hierarki dan perbezaan status ini daripada barat yang lebih terbuka
terhadap orang asing merapuhkan status quo mereka mudah diceroboh. Pembudayaan seperti
ini telah melahirkan pemerintahan kerajaan China yang bertadbirkan arus yang tegas, cekap
dan sistematik.
More than 60 per cent of Hongkongers believe upgrading their standard of
living is harder than 10 years ago, a poll has found.
Only 14.6 per cent of respondents felt their prospects had improved over
the past decade, while 54.6 per cent said there were "insufficient"
opportunities in Hong Kong for upward social mobility. Just 9.9 per cent
believed there were "adequate" opportunities in the city.
In the 2011 survey, 52.1 per cent of the respondents complained about a
lack of opportunities for them to upgrade their social status.
This year's poll was conducted between February 22 and 26, with a margin
of error of plus or minus 3.69 per cent and a 95 per cent confidence level.
Study on Earnings Mobility
Executive Summary
Earnings Mobility
• For workers in the top quintile group (the highest 20% of the
earnings distribution) in 1998, 75% managed to maintain their
top position in 2008, while the other 25% moved down the
earnings ladder.
Mobility rates for all workers in the 2001, 2006 and current (2009) studies
10. For children of less skilled parents, it was more difficult to enter the
top two occupational categories (managers and administrators, and
professionals). However, the door to an associate professional occupation is
relatively open. For both sons and daughters (except those whose fathers are
in elementary occupations), the chance of taking up an associate professional
occupation is 25-35%, and this chance does not depend much on the father’s
occupation. Moreover, the children of associate professional parents have a
relatively high chance of entering into managerial or fully professional
occupations, though the chance is not as good as that of children whose parents
are already managers or professionals. This result suggests that associate
professional occupations are an important gateway for poorer families to reach
the higher levels of the earnings distribution.
Policy Implications
Question:
Reply:
President,
NNNN
1. Peranan Sekolah dan Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan
Nilai Murni: Satu Sorotan Melalui penelitian artikel yang bertajuk “Peranan Sekolah dan
Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan Nilai Murni: Satu Sorotan”,
pihak sekolah dan pendidik berperanan penting dalam membentuk peribadi yang utuh
malahan kental dalam kalangan pelajar. Kepentingannya adalah disebabkan pelajar
sekurang-kurangnya menghabiskan satu per empat masa dalam sehari di sekolah
bersama dengan guru. Lazimnya, jenis dan budaya sekolah dipercayai dapat
meninggalkan impak dalam pembentukan sahsiah pelajar. Begitu juga dengan peranan
guru-guru di sekolah berupaya mempengaruhi tingkah laku murid dalam kehidupan
seharian. Jadi, jelaslah bahawa pihak sekolah dan guru memikul tanggungjawab yang
agak signifikan dalam melahirkan pelajar yang bermoral dengan mengamalkan nilai
murni. Dalam usaha pembangunan nilai pelajar, pihak pentadbir sekolah mempunyai
peranan untuk membentuk budaya sekolah yang kondusif melalui penerapan nilai murni.
Dalam konteks ini, pemimpin di sekolah perlulah menyedari peranannya di sekolah
dengan menentukan hala tuju sekolah untuk membentuk pelajar yang mengamalkan nilai
murni di samping mewujudkan pelajar yang cemerlang dalam akademik. Sebagai contoh,
pengamalan budaya berbudi bahasa di sekolah boleh dihidupkan melalui perancangan
aktiviti yang sesuai kepada pelajar seperti mengadakan ceramah, permainan yang
berkaitan dengan kepentingan nilai murni, memberikan ganjaran kepada pelajar yang
bermoral dan sebagainya. Dengan inisiatif yang dilaksanakan oleh pihak sekolah untuk
mewujudkan budaya sekolah yang bermoral, maka pelajar diharapkan dapat menyedari
kepentingan pengamalan nilai murni dalam kehidupan seharian. Jadi, kesedaran pelajar
dapat menyebabkan penerapan nilai murni dalam sanubari masing-masing dan
seterusnya mengamalkannya secara tidak langsung. Walaupun pendedahan
kepentingan nilai murni kepada pelajar adalah sesuatu yang bukan senang, tetapi murid
dipercayai akan mengamalkan nilai murni sekiranya pelbagai inisiatif dirancang dan
dilaksanakan oleh pihak sekolah. Oleh itu, budaya sekolah baik yang berusaha
diwujudkan oleh pihak sekolah dengan menekankan pengamalan nilai murni dalam
kalangan pelajar dipercayai dapat meningkatkan nilai pelajar.
2. 2. Selain itu, guru berperanan membangunkan nilai pelajar melalui pengamalan nilai
murni dengan menjadikan diri sebagai teladan kepada pelajar. Peranan guru sebagai
model adalah penting kerana sesuatu adalah mustahil untuk disampaikan kepada pelajar
sekiranya guru berkelakuan seperti ketam mengajar anaknya berjalan lurus. Jadi, guru
sepatutnya menjadi teladan pelajar dengan menjadi individu yang mengamalkan nilai
murni walau di mana pun. Bertitik tolak dengan peranan guru sebagai contoh, guru
perlulah mengamalkan nilai peribadi asas, nilai kepimpinan, nilai profesionalisme, nilai
produktiviti dan juga nilai keagamaan. Dalam meneliti pengamalan nilai peribadi asas,
guru perlulah bersikap amanah, bertanggungjawab, berdedikasi dan kesederhanaan
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Begitu juga nilai kepimpinan seperti
adil dan berani perlulah ditonjolkan oleh guru dalam memimpin anak muridnya. Guru
juga seharusnya menunjukkan nilai profesionalisme dengan sentiasa komited dengan
tanggungjawab sendiri. Dengan penonjolan sahsiah guru yang baik, maka murid akan
meniru personaliti guru yang positif dan begitu juga dengan sebaliknya. Hal ini demikian
kerana pelajar yang masih keliru dengan identiti diri adalah begitu mudah dipengaruhi
oleh orang di sekelilingnya termasuklah guru. Oleh itu, peranan guru sebagai teladan
pelajar adalah begitu vital dalam meninggikan nilai pelajar melalui penerapan nilai murni
dalam jiwa pelajar. Di samping itu, sikap guru yang prihatin terhadap pelajar adalah
penting dalam membentuk peribadi pelajar yang masih boleh dilenturkan. Sifat yang
ditunjukkan oleh guru adalah penting disebabkan kerencaman latar belakang murid yang
membentuk pengamalan nilai pelajar. Maka, sikap demikian yang ditunjukkan oleh guru
dalam proses pengajaran dan pembelajaran boleh menyebabkan pemahaman yang lebih
lanjut terhadap pelajar dan seterusnya membimbing pelajar untuk menjadi individu yang
mengamalkan nilai. Dalam melaksanakan usaha tersebut, keprihatinan guru boleh
ditonjolkan melalui sentiasa meluangkan masa untuk berinteraksi dengan murid.
Tindakan yang senang seperti memahami latar belakang pelajar, mendengar kesulitan
yang dihadapi pelajar, memperoleh pandangan berkaitan sesuatu isu yang diberikan
pelajar dan sebagainya menyebabkan guru boleh memberikan nasihat kepada pelajar
supaya pelajar diingati untuk mengamalkan nilai dalam menghadapi sebarang masalah.
Walaupun penyampaian ilmu kepada pelajar adalah penting, tetapi nilai yang didedahkan
kepada pelajar dapat membentuk peribadi pelajar yang unggul. Maka, guru berperanan
untuk bersikap prihatin terhadap pelajarnya supaya nilai pelajar dapat dibangunkan
menerusi pengamalan nilai murni.
3. 3. Secara kesimpulannya, pihak sekolah dan guru sewajarnya melaksanakan
tanggungjawab masing-masing dalam membangunkan nilai pelajar. Seperti yang kita
sedia maklum, sekolah memainkan peranan penting selepas institusi keluarga dalam
pembentukan nilai dan ini sebenarnya jelas termaktub dalam Falsafah Pendidikan
Kebangsaan. Peranan guru pula menjadi semakin penting bagi memastikan sahsiah
dalam kalangan pelajar dapat dibentuk serta kekal terpelihara. Jadi, tanggungjawab
sekolah dan guru dalam mendidik pelajar bukan sahaja diperlihatkan untuk menyedari
kepentingan nilai malahan menghayati serta mengamalkannya setiap masa. Oleh hal
yang demikian, penghayatan nilai yang baik dalam kalangan pelajar diharapkan dapat
merealisasikan matlamat pendidikan negara. Sila rujuk artikel: “Peranan Sekolah dan
Guru dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan Nilai Murni: Satu Sorotan”
– Mohamad Khairi Othman & Asmawati Suhid