Anda di halaman 1dari 6

GAMBARAN TEORI INTERAKSI SIMBOLIS: STUDI KASUS FILM "HICHKI"

Monica Yusnita1 , Rintis Mulyani2 , Rizky Ramandhika3 , Irwansyah4


1234Pascasarjana Departemen Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10430

Abstract
This research was conducted to see a picture of symbolic interactions that focus on a self-
fulfilling prophecy. This research uses the film Hichki as a case study. The results of this study
indicate that there are three stages of the process of self-fulfilling prophecy that occur in
students from the slums area in the film. First, there is a mistaken assumption from teachers
about students from slum areas, that they are students who are naughty and cannot perform.
Second, teachers treat students according to their opinions. Finally, students from the slums
area respond to the form of an agreement that supports the mistaken assumption that is by
breaking all the rules and not wanting to study seriously.
keywords: symbolic interaction, self-fulfilling prophecy, students behaviour. 
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran interaksi simbolis yang fokus pada self-
fulfilling prophecy. Penelitian ini menggunakan film Hichki sebagai studi kasus. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terjadi tiga tahapan proses self-fulfilling prophecy yang terjadi pada
murid dari area kumuh di film tersebut. Pertama, adanya anggapan yang keliru dari guru-guru
mengenai murid-murid dari area kumuh, bahwa mereka adalah murid yang nakal dan tidak bisa
berprestasi. Kedua, guru-guru tersebut memperlakukan murid sesuai dengan anggapan mereka.
Terakhir, murid-murid dari area kumuh memberikan respon berupa persetujuan yang mendukung
anggapan keliru tersebut yakni dengan melanggar semua aturan dan tidak mau belajar dengan
sungguh-sungguh. 
Kata kunci: interaksi simbolis, self-fulfilling prophecy, perilaku siswa.

PENDAHULUAN

Film Hichki adalah film India yang ditayangkan secara resmi pada tahun 2018. Hichki
mengangkat cerita tentang Naina, seorang guru yang mengidap Tourette Syndrome dan diberi
kesempatan untuk mengajar siswa-siswi dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Naina
mengajar di sekolah elit yang hanya menerima murid dengan kriteria tertentu. Murid yang
diterima di sekolah tersebut adalah murid yang pintar dan berasal dari keluarga dengan kelas
sosial ekonomi menengah ke atas. Namun, sekolah tersebut terpaksa menampung murid dari area
kumuh yang sekolahnya digusur.

Kehadiran siswa dari area kumuh tersebut tidak mendapatkan sambutan baik dari seluruh
warga sekolah. Mereka mendapatkan tatapan sinis baik dari siswa maupun guru-guru di sekolah
tersebut. Guru-guru hanya bersedia untuk mengajar siswa-siswa pandai. Atas dasar hal tersebut,
Naina diberi tugas khusus untuk mengajar siswa dari area kumuh. Ia harus menjadi guru kelas
tersebut.
Siswa-siswi dari area kumuh sudah terkenal dengan perilakunya yang nakal, gemar
membangkang, tidak tertarik pada pembelajaran di sekolah, dan atribut negatif lainnya. Jika
mereka berada di kelas, mereka hanya menghabiskan waktu dengan bermain. Saat ada guru pun,
mereka bekerjasama untuk membuat guru tersebut tidak tahan untuk mengajar mereka. Begitu
pula saat Naina menjadi guru baru di kelas tersebut. Ia mendapatkan perlakuan destruktif dari
muridnya, yang berusaha membuatnya enggan untuk mengajar.

Berbeda dengan guru-guru sebelumnya, Naina tidak langsung berhenti mengajar. Setelah
hari pertama mendapatkan perlakuan buruk, ia masih hadir untuk mengajar di hari selanjutnya. Ia
berusaha untuk lebih memahami siswa di kelasnya, meskipun mereka masih enggan untuk
belajar di kelas. Mereka menganggap bahwa mereka adalah murid yang bodoh sebagaimana
persepsi orang terhadap mereka. Anggapan seperti ini membuat murid dari lingkungan kumuh
tidak bersemangat untuk belajar.

Naina menangkap adanya persepsi keliru pada diri murid-muridnya. Mereka menganggap
bahwa mereka memang bodoh, nakal, dan tidak bisa berprestasi karena persepsi tersebut yang
mereka terima dari lingkungan sekitar, bahkan dari warga sekolah. Naina perlahan mendekati
mereka satu per satu, melihat keseharian mereka di rumah, dan mencari tahu potensi tiap siswa.
Ia mencoba untuk mengubah persepsi buruk pada diri muridnya dan menggunakan metode
pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan mereka.

Semakin lama, murid dari area kumuh semakin tertarik pada pembelajaran yang
dibawakan Naina. Mereka antusias dengan materi dan terlibat aktif. Mereka bahkan bisa
menjelaskan materi saat murid kelas unggulan gagal melakukan percobaan laboratorium.
Masing-masing siswa area kumuh menemukan ketertarikannya pada materi yang diajarkan.
Mereka tidak lagi dipenuhi gambaran diri yang buruk, namun menemukan kepercayaan diri
bahwa mereka juga mampu untuk menerima pelajaran dengan baik. Mereka percaya dengan apa
yang dikatakan Naina, bahwa mereka tidak bodoh dan mereka pun bisa berprestasi.

Berdasarkan sinopsis film tersebut, kami menganalisis dinamika yang terjadi pada murid-
murid dari area kumuh menggunakan konsep self-fulfilling prophecy. Sebelum memasuki tahap
analisa, kami akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan self-fulfilling
prophecy. 

KERANGKA TEORI

Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik dikemukakan oleh seorang filsuf dan sosial psikolog, Herbert
Mead (1934). Teori interaksionisme simbolik adalah teori ilmu sosial, yang menegaskan bahwa
sebuah realitas didasarkan pada simbol. Asas dari teori interaksionisme simbolik adalah arti.
Interaksionisme simbolik meneliti sebuah makna yang timbul akibat interaksi antar individu.
Mead berasumsi, pikiran merupakan suatu hasil dari perkembangan simbol. Kemudian, simbol
juga digunakan sebagai sarana untuk berpikir dan berkomunikasi. Mead berfokus ke bagaimana
orang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari mereka melalui interaksi simbolik dan
bagaimana mereka menciptakan keteraturan dan makna (Korgen & White, 2008).
Istilah interaksionisme simbolik pertama kali digunakan oleh Herbert George Blumer
(1969), yang merupakan murid dari Mead. Menurut Blumer, manusia membentuk makna dengan
dua cara: (1) Makna adalah sesuatu yang dikaitkan dengan benda, peristiwa, fenomena, dll. (2)
Makna adalah "keterikatan fisik" yang dikenakan pada peristiwa dan benda oleh manusia.
Blumer percaya bahwa makna adalah suatu kondisi yang muncul sebagai akibat dari interaksi
anggota kelompok dan bukan fitur intrinsik objek. Oleh karena itu, makna diciptakan sebagai
hasil dari interaksi antara orang-orang, dan makna memungkinkan orang menghasilkan beberapa
fakta yang membentuk dunia indera. Fakta-fakta ini terkait dengan bagaimana orang membentuk
makna. Dengan demikian, fakta merupakan interpretasi dari  berbagai definisi (Berg, 2000).

Ada tiga prinsip dasar dalam perspektif interaksi simbolik Blumer: Makna, bahasa
(bahasa menyediakan sarana [simbol] untuk memperdebatkan makna) dan pikiran. Teori
interaksi simbolik mengakui prinsip makna sebagai pusat perilaku manusia. Bahasa memberikan
makna bagi manusia melalui simbol. Simbol yang membedakan hubungan sosial manusia dari
tingkat komunikasi hewan. Manusia memberi makna pada simbol dan mereka mengekspresikan
hal-hal ini melalui bahasa. Akibatnya, simbol membentuk dasar komunikasi. Dengan kata lain,
simbol adalah elemen yang sangat diperlukan untuk pembentukan segala bentuk tindakan
komunikasi. Sebagai prinsip terakhir dalam perspektif interaksi simbolik, pemikiran mengubah
interpretasi individu yang berkaitan dengan simbol (Nelson, 1998).

The Self (Diri): Refleksi di Looking-Glass

Saat kita memahami prinsip Makna, bahasa dan pikiran, yang dikemukakan oleh Blumer,
kita dapat menghubungkan konsep Mead mengenai diri (self). Mead berasumsi bahwa manusia
tidak bisa mengetahui dirinya yang sebenar hanya melalui analisis diri. Menurut Mead, kita
dapat melihat refleksi diri kita, dengan mencerminkan bagaimana orang lain memandang diri
kita. Cerminan diri kita melalui orang lain ini disebut looking-glass self. menurut pakar
interaksionis, looking-glass self, merupakan hal yang terkonstruksi melalui interaksi sosial.
Konsep  looking-glass self, merupakan konsep dari  Charles Horton Cooley (1902), yang
dikembangkan oleh Mead (Lundgren, 2004).

  Self-Fulfilling Prophecy

Salah satu implikasi dari hipotesis looking-glass self, adalah bahwa masing-masing dari
kita memiliki dampak signifikan pada bagaimana orang lain memandang diri mereka sendiri. 
Kekuatan interpersonal semacam itu sering disebut sebagai ramalan yang terpenuhi dengan
sendirinya, kecenderungan ekspektasi kita untuk membangkitkan respons orang lain yang
membenarkan dengan apa yang semula kita antisipasi. 
Robert K. Merton, seorang sosiolog asal Universitas Columbia, mengungkapkan konsep
self fulfilling prophecy pada tahun 1948. Ia mendeskripsikan konsep tersebut sebagai tiga tahap
proses, dimulai dengan kepercayaan seseorang mengenai dirinya yang salah, yang akan terjadi
dimasa mendatang. Tahap berikutnya adalah ekspektasi tersebut membawa seseorang memiliki
kebiasaan baru yang tidak akan dilakukan jika bukan karena ekspektasi yang dimilikinya. Tahap
ketiga adalah terjadinya kejadian yang sudah diekspektasi sebelumnya. 
Merton dalam bukunya berjudul Social Theory and Social Structure mengambil contoh
mengenai bank, yang mana pemikiran self-fulfilling dapat mewujudkan situasi yang tidak
diinginkan. Merton mencontohkan nasabah yang menarik semua tabungan yang disimpan di
bank dikarenakan mereka percaya bahwa bank tersebut akan mengalami kebangkrutkan. Perilaku
tersebut justru dapat menyebabkan kebangkrutan sebuah bank dikarenakan tidak memiliki uang
yang cukup di deposit mereka. Self-fulfilling prophecy memiliki dua jenis, yang pertama biasa
disebut dengan efek Pygmalion yang mana seorang individu memiliki ekspektasi terhadap
individu lain, mengubah sikap dan kebiasaan dalam rangka untuk menyesuaikan dengan
ekspektasi tersebut, dan obyek dari ekspektasi juga merubah sikap dan kebiasaan sebagai hasil
akhirnya. Efek yang kedua adalah efek Oedipus, yaitu seperti yang dibahas oleh Karl Popper
dalam The Poverty of Historicism, bahwa prediksi dari kejadian yang diprediksi sebelumnya
akan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kejadian tersebut.
Self-fulfilling prophecy pada dasarnya adalah definisi yang salah mengenai sebuah situasi
yang menciptakan kebiasaan baru yang menyebabkan konsepsi keliru yang sebelumnya ada
menjadi nyata. Merton percaya bahwa ekspektasi keliru oleh orang-orang dapat menjadi nyata
dengan menyebabkan orang lain berubah sikap dan kebiasaan untuk memenuhi ekspektasi keliru
tersebut. Berangkat dari teori gagasan bahwa “jika seseorang mendefinisikan sebuah situasi itu
nyata, maka situasi tersebut akan menjadi nyata dalam kesadaran mereka” (Thomas, 1928). 
Sementra itu, Watzlawick mengungkapkan bahwa self-fulfilling propechy merupakan
asumsi atau prediksi yang dibentuk sendiri, yang menyebabkan kejadian yang diekspektasi atau
diprediksi terjadi (Watzlawick, 1984: 392). Willard mengungkapkan hal yang senada, yaitu self-
fulfilling prophecy terjadi ketika kepercayaan orang-orang terhadap orang lain menjadi nyata
melalui proses interaksi sosial, namun ia menyambungkan dengan stereotip etnis dan ras
(Willard J. et. Al. 2013: 1215).
Terdapat tiga tahap dalam terjadinya self fulfilling prophecy. Tahap pertama adalah
seseorang diharuskan memiliki kepercayaan keliru mengenai orang lain. Tahap berikutnya
adalah seseorang yang memiliki kepercayaan keliru tersebut harus memperlakukan orang lain
tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya. Tahap ketiga adalah seseorang yang dipercayai
memiliki kekeliruan tersebut harus memberikan respon berupa “persetujuan” yang mendukung
kepercayaan keliru tersebut.

ANALISIS

Film Hichki menceritakan polemik yang terjadi pada bidang akademik di India yang
mencakup kalangan menengah kebawah. Para murid yang bersekolah di sekolah tersebut
merupakan masyarakat kelas atas dengan kapasitas kepintaran yang besar. Namun pada suatu
ketika, sekolah tersebut menampung murid dari area kumuh dikarenakan sekolah mereka terkena
penggusuran. Perbedaan kelas diantara murid-murid sekolah tersebut menimbulkan konflik
internal. Konflik-konflik yang terjadi seperti para guru yang hanya bersedia mengajar siswa-
siswa pandai, dan karakter utama, sang guru bernama Naina, ditugaskan untuk mengajar siswa
dari daerah kumuh.
Siswa-siswa yang berasal dari daerah kumuh tersebut terkenal dengan perilakunya yang
nakal, membangkang, dan tidak tertarik dengan pelajaran dan kegiatan belajar di sekolah.
Perilaku murid yang tidak baik tersebut juga menimpa Naina, namun tidak seperti kebanyakan
guru yang menyerah untuk mengajar kelas tersebut, Naina tidak patah semangat untuk
menjalankan tugasnya sebagai guru. Naina bahkan berusaha keras untuk memahami siswa-siswa
nya lebih dalam. Para siswa tersebut mendapatkan perilaku self fulfilling prophecy, dimana
mereka selalu dibilang murid yang bodoh dan mereka “mengamini” persepsi tersebut.
Self-fulfilling prophecy itu sendiri adalah konsepsi yang salah mengenai sebuah situasi
yang menciptakan kebiasaan baru yang menyebabkan konsepsi yang keliru tersebut menjadi
sebuah kenyataan. Jika dilihat dalam film tersebut, dimana siswa-siswa yang berasal dari
kalangan menengah kebawah diberikan anggapan bahwa mereka bodoh, padahal kenyataannya
mereka memiliki kemampuan, menjadikan mereka siswa-siswa yang suka bermalas-malasan dan
juga tidak ingin belajar. Mereka menganggap diri mereka itu bodoh dikarenakan lingkungan
mereka menganggap mereka bodoh. Maka dari itu, kebiasaan mereka menjadi kebiasaan yang
negatif, tidak produktif, tidak memiliki keinginan untuk belajar dikarenakan anggapan terhadap
mereka.
Self-fulfilling prophecy itu sendiri memiliki tiga tahapan, yaitu kepercayaan atau
anggapan yang keliru seseorang atau sekelompok mengenai orang lain, lalu seseorang atau
sekelompok yang memiliki anggapan keliru tersebut memperlakukan orang yang mereka anggap
keliru sesuai dengan apa yang dipercayainya, dan yang terakhir adalah seseorang yang dianggap
keliru tersebut memberikan respon berupa persetujuan yang mendukung anggapan keliru
tersebut. 
Jika dilihat dalam film ini, self fulfilling prophecy sudah terjadi sejak para siswa dari
daerah kumuh tersebut datang ke sekolah kelas atas. Anggapan bahwa mereka bodoh, tidak
memiliki kompetensi untuk belajar, dan tidak memiliki kecerdasan yang setara dengan siswa
kelas atas tersebut adalah anggapan yang keliru, yang datang dari mereka yang berada di sekolah
tersebut sejak awal, baik siswa maupun guru yang mengajar. Anggapan-anggapan keliru tersebut
pada akhirnya memunculkan perilaku-perilaku negatif yang dilakukan oleh mereka yang berada
di kelas atas. 
Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh guru seperti sikap yang tidak mengenakan yang
ditujukan kepada siswa-siswa dari daerah kumuh, dan bahkan ada konfrontasi langsung,
ditambah dengan sikap siswa-siswa asli sekolah tersebut yang gemar meremehkan siswa-siswa
dari daerah kumuh, membuat para siswa pendatang “mengamini” anggapan keliru tersebut.
Anggapan bahwa siswa-siswa daerah kumuh tersebut tidak pintar dan pemalas, membuat para
siswa pendatang tersebut menjadi individu-individu yang malas dan tidak berminat dalam
kegiatan belajar. Penerimaan yang dilakukan oleh siswa-siswa daerah kumuh tersebut
merupakan tahap akhir dari apa yang dimaksud dengan self-fulfilling prophecy.
Namun demikian, self fulfilling prophecy yang ada dalam film tersebut tidak hanya dalam
ranah negatif, namun juga ada dalam ranah positif. Keteguhan hati Naina untuk mengubah
pandangan mengenai siswa-siswa daerah kumuh tersebut juga merupakan kegiatan yang
memunculkan self fulfilling prophecy. Naina percaya bahwa siswa-siswa daerah kumuh tersebut
juga memiliki kecerdasan yang setara dan juga kemampuan belajar yang mumpuni, yang dapat
disandingkan dengan siswa-siswa kelas atas, sebuah anggapan yang tidak dimiliki oleh guru-
guru lain di sekolah tersebut. 
Upaya Naina dengan memberikan pelajaran-pelajaran yang dibutuhkan, ditambah dengan
kesabaran yang tinggi, ia berhasil mengubah sikap dan perilaku siswa-siswa daerah kumuh
tersebut menjadi pribadi yang pintar dan kompeten. Penanaman pikiran-pikiran positif yang
diberikan oleh Naina, walau membutuhkan proses yang cukup lama, berhasil menjadikan siswa-
siswa daerah kumuh tersebut menjadi siswa yang pintar dan setara dengan mereka yang dari
kalangan atas atau siswa-siswa asli sekolah tersebut. Penanaman tersebut membuat para siswa
daerah kumuh memiliki niat untuk berubah, dan juga mereka berhasil mewujudkan anggapan-
anggapan baik yang ditanamkan oleh Naina. 
Proses terjadinya perubahan sikap dan perilaku tersebut terjadi dalam proses yang sama
dengan yang kami sebutkan sebelumnya. Naina menganggap bahwa siswa-siswa daerah kumuh
tersebut memiliki kompetensi dan kepintaran yang sama bahkan lebih dari siswa-siswa asli
sekolah tersebut. Naina selanjutnya memberikan treatment berupa kegiatan belajar yang baik dan
benar. Hasilnya adalah siswa-siswa daerah kumuh tersebut menganggap diri mereka merupakan
siswa yang bisa menjadi siswa yang pintar dan setara dengan siswa asli sekolah tersebut.

KESIMPULAN

Analisis atas kisah dalam film Hichki menggambarkan proses interaksi simbolis,
khususnya konsep self-fulfilling prophecy. Self-fulfilling prophecy yang terjadi pada siswa dari
lingkungan kumuh tidak hanya bersifat negatif, namun juga positif. Awalnya, persepsi yang
keliru mengenai siswa lingkungan kumuh datang dari guru sekolah tersebut. Mereka
menganggap bahwa siswa yang harus ditampung sekolah tersebut adalah siswa yang nakal, tidak
tertarik pada pelajaran, dan tidak bisa berprestasi. Anggapan yang keliru tersebut juga tidak
hanya datang dari guru-guru, melainkan dari siswa-siswa yang lain.

Anggapan keliru tersebut memengaruhi gambaran diri siswa dari lingkungan kumuh. Jika
seseorang mendefinisikan sebuah situasi itu nyata, maka situasi tersebut akan menjadi nyata
dalam kesadaran mereka (Thomas, 1928). Akibat lingkungan sekolah tersebut menilai siswa dari
lingkungan kumuh adalah siswa yang nakal dan tidak berprestasi, membuat mereka memiliki
anggapan sebagaimana yang diucapkan orang lain. Mereka membuat kegaduhan pada semua
guru yang mengajar mereka, termasuk pada Naina. Mereka menjadi siswa yang memang nakal
dan tidak berprestasi.
Keteguhan Naina untuk mengubah perilaku siswa dari lingkungan kumuh berangkat dari
anggapan bahwa siswa tersebut masih memiliki potensi baik. Hal ini disadari Naina setelah
melakukan observasi dan menarik simpulan bahwa anggapan negatif dari lingkunganlah yang
menjadikan siswa dari lingkungan kumuh nakal dan tidak berprestasi. Naina mendekati siswa
satu per satu secara personal, melihat kegiatan mereka di tempat tinggalnya, dan mengubah gaya
belajar yang lebih sesuai dengan gaya siswa yang ia ajar.
Naina melontarkan pujian atas perilaku baik yang ditampilkan siswa. Upaya Naina yang
memacu potensi para siswa dan mendorong perilaku baik siswa perlahan mengubah keyakinan
siswa. Mereka akhirnya memiliki anggapan bahwa mereka pun sebetulnya mampu untuk
berprestasi. Anggapan baik yang diyakini Naina tentang siswa dari lingkungan kumuh, akhirnya
menjadi kenyataan. 

Anda mungkin juga menyukai