Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar
yang dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Mujiono (1996:7) mengemukakan siswa adalah
penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Tiap ahli psikologi memberi batasan yang
berbeda tentang belajar, atau terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan
makna belajar.Belajar merupakan sesuatu yang sangat penting sekali dalam rentang
perkembangan pada diri seseorang, dengan belajar seseorang telah mengalami suatu proses
menuju kearah yang lebih baik.
Dalam kaitannya dengan belajar ini sangat banyak teori- teori yang membahas tentang
belajar.Dimana teori belajar merupakan unsur penting dalam pendidikan. Tanpa teori
pembelajaran tidak akan ada suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan sebagai dasar
untuk melaksanakan pembelajaran. Dalam perkembangannya, terdapat banyak sekali teori-teori
yang berkembang dari tokoh-tokoh psikologi salah satunya adalah teori belajar sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura.
Teori pembelajaran sosial (social learning theory) biasa juga disebut pembelajaran
observasional (observational learning), telah memberi penekanan tentang bagaimana perilaku
manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitar melalui penguatan (reinforcement) dan
pembelajaran peniruan serta cara berfikir yang kita miliki terhadap sesuatu dan juga sebaliknya,
yaitu bagaimana tingkah laku kita mempengaruhi orang yang ada disekitar dan menghasilkan
penguatan (reinforcement) dan peluang untuk diperhatikan oleh orang lain (observational
opportunity).
Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model
merupakan tindakan belajar.Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh
lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial
jenis ini. Teori belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang belajar
dalam keadaan atau lingkungan sebenarnya. Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah
laku, lingkungan dan kejadian-kejadian internal pada pelajar yang mempengaruhi persepsi dan
aksi merupakan hubungan yang saling berpengaruh atau berkaitan (interlocking). Menurut Albert
Bandura lagi, tingkah laku sering dievaluasi, yaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh

1
mengubah kesan-kesan personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi
konsepsi diri individu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah Definisi Teori Belajar Sosial ?
2. Apa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial ?
3. Bagaimana Ruang Lingkup Teori Belajar Sosial ?
4. Bagaimana Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial ?
5. Bagaimana Kelebihan Kelemahan dan Teori Belajar Sosial ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Definisi teori belajar sosial
6. Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial
2. Untuk mengetahui Ruang Lingkup Teori Belajar Sosial
3. Untuk mengetahui Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial
4. Untuk mengetahui Kelebihan Kelemahan dan Teori Belajar Sosial

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini
menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura,
orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar
dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya.
(Sihnu Bagus)

Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku
melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang
diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran
melalui pengamatan. Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial
membahas tentang (1) Bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat
(reinforcement) dan observational learning, (2) Cara pandang dan cara pikir yang kita miliki
terhadap informasi, (3) Begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi
lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,


yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati
secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.

Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau
modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :

1. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan
cermat.
2. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh
model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku
model.
3. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk
mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh

3
modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku
yang dilakukan oleh model.
4. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar
dari model.

Skinner dan Bandura1 mempunyai pandangan yang empiris dan mendasarkan diri pada teori
belajar untuk menjelaskan perkembangan bahasa.Pandangan ini, bertitik tolak pada pendapat
bahwa anak dilahirkan dengan tidak membawa kemampuan apapun.Anak masih harus banyak
belajar, termasuk juga belajar berbahasa yang dilakukannya melalui imitasi, belajar model, dan
belajar dengan reinforcement (penguatan, bala bantuan).

Bandura mencoba menerangkannya dari sudut pandang teori belajar sosial.Ia berpendapat
bahwa anak belajar bahasa menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini, tidak mesti harus
menerima reinforcememnt sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforcement luas.

Teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar
berpangkal pada dalili bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan,
dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku
berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian
pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak
peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati
tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut
atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Sosial adalah interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang
ditemukannya disekelilingnya dalam menjalankan kehidupan individunya sehari-hari.Sosial
membantu tiap anak untuk merasa diterima didalam kelompok, membantu anak belajar
berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mendorong empati dan saling menghargai
terhadap anak-anak maupun orang dewasa.Lingkungan pembelajaran yang paling utama berasal
dari keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Yang akan dibahas kali ini adalah lingkungan
pembelajaran yang berasal dari teman sebaya, karena melalui teman sebaya, mendorong anak

1
Haditono, Knoers, dan Monks 1992

4
untuk meningkatkan kemampuannya, sekaligus memberikan dukungan sosial kepada anak
berupa perhatian, persetujuan, penghargaan sekaligus hukuman, model perilaku yang akan ditiru
oleh anak tersebut.

Atkinson Hilgard (1997), mengemukakan pendapatnya bahwa, anak akan mempelajari


sebagian besar keterampilan sosialnya dari interaksi dengan sesamanya. Mereka akan belajar
memberi memutuskan membagi pengalamannya bersama-sama.

Jika dilihat dari penambahan usia anak, maka permainan menguasi atau permainan yang
menampilkan keunggulan akan berkembang menjadi permainan yang intelektual, seperti bermain
dengan kata-kata dan ide. Memasuki usia 2 tahun, anaka tidak mampu bermain pura-pura dan
meniru tingkah laku yang dilihatnya beberapa waktu sebelumnya, bahkan beberapa hari
sebelumnya dengan imajinasi dan bahasa sesungguhnya yang merupakan cara berpikir dan
bermain pada anak. Aspek-aspek sosial anak yang akan mulai terlihat adalah anak akan mulai
bermain sendiri (soliter), anak mulai bermain parallel (yaitu berada didekat teman sekelas tetapi
tanpa interaksi), anak mulai bermain sosial (mulai ada interaksi dengan teman didekatnya ), anak
mulai bermain asosiatif (secara berpasangan), anak mulai bermain kooperatif (dalam kelompok-
kelompok kecil atau besar, ada peran masing-masing) dan anak mulai bermain kolaboratif
(bersama orang tua, guru, asisten atau orang dewasa lain).

Membantu tiap anak agar merasa diterima didalam kelompok, mengembangkan kompetensi
social, membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mengembangkan
empati (merasakan perasaan orang lain) dan (saling) menghargai diri dan lingkungannya (sebaya,
orang dewasa, aturan, barang dan alam).

Sikap sosial pada anak yang mengikuti pendidikan apresiasi seni dapat tercermin pola pikir,
cara pandang, perasaan dan tingkah laku atau tindakan anak pada objek atau lingkungan sosial
yang ada. Dalam hal ini dapat dilihat dari aspek kognitif Subjek yang memiliki pengetahuan,
pengertian, dan pemahaman bahwa dalam kehidupan sehari-hari terdapat bermacam-macam
perbedaan, namun tetap saling menghormati dan menerima.Pada aspek afektif dan aspek konatif
yang dimiliki oleh Subjek menunjukkan adanya perasaan senang dapat mengenal, berteman
dengan siapapun serta adanya kepedulian terhadap sesama. Subjek juga bersedia memberikan

5
pertolongan kepada orang lain tanpa memandang segala perbedaan seperti beda suku, beda
agama, beda budaya , dan lain sebagainya.

Pembentukan sikap sosial pada anak yang mengikuti Pendidikan Apresiasi Seni, dipengaruhi
oleh faktor orang tua dan guru, faktor kebudayaan di tempat tinggal masing-masing, dan faktor
lembaga pendidikan dan ajaran agama. Masing-masingnya mengarahkan anak mempunyai sikap
sosial yang baik melalui penanaman pengetahuan dan contoh, adanya pembiasaan bersosialisasi
dengan orang lain baik yang memiliki kesamaan suku, agama, budaya dan lainnya maupun yang
tidak. Serta pemberian penjelasan dari sekolah dan ajaran agama tentang berkomunikasi,
berhubungan dengan sesama manusia, termasuk didalamnya didukung oleh kegiatan Pendidikan
Apresiasi Seni yang diikuti anak di sekolahnya.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial

Menurut Prasetyo dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengemukakan bahwa: “Faktor-


faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen: faktor pada
diri anak itu sendiri seperti faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan (b) Faktor Eksogen;
faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan
sekolah”2

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen; faktor sugesti,
identifikasi, dan imitasi (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Berikut ini akan dijelaskan masing-
masing faktor yang mempengaruhi sikap sosial tersebut.

a. Faktor Indogen

Faktor indogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yang datang dari dalam
dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga faktor yaitu: a) faktor sugesti, b)
faktor identifikasi, dan c) faktor imitasi. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-
masing faktor tersebut.

2
Prasetyo, 1997 : 96.

6
1). Faktor Sugesti

Dalam buku Psikologi Kepribadian dijelaskan bahwa: “Sugesti adalah proses seorang
individu didalam berusaha menerima tingkah laku maupun prilaku orang lain tanpa adanya
kritikan terlebih dahulu”3

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat dikatakan sugesti dapat mempengaruhi sikap
sosial seseorang sedangkan anak yang tidak mampu bersugesti cenderung untuk tidak mau
menerima keadaan orang lain, seperti tidak merasakan penderitaan orang lain, tidak bisa
bekerjasama dengan orang lain dan sebagainya.

2). Faktor Identifikasi

Identifikasi dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal atau sesuai dengan
dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi dalam bukunya Interaksi Sosial dijelaskan
bahwa: “Anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti orang lain akan mempengaruhi
perkembangan sikap sosial seseorang, seperti anak cepat merasakan keadaan atau permasalahan
orang lain yang mengalami suatu problema (permasalahan)”4

Menurut pendapat ahli tersebut diatas jelaslah bahwa seseorang yang berusaha
mengidentifikasikan diri dengan keadaan orang lain akan lebih mampu merasakan keadaan orang
lain, daripada seorang anak yang tidak mau mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain yang
cenderung mampu merasakan keadaan orang lain.

3). Faktor Imitasi

Imitasi dapat mendorong seseorang untuk berbuat baik. Pada buku Psikologi Pendidikan
dijelaskan bahwa: “Sikap seseorang yang berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan
keadaan orang lain maka ia berusaha meniru bagaimana orang yang merasakan sakit, sedih,
gembira, dan sebagainya. Hal ini penting didalam membentuk rasa kepedulian sosial seseorang”5

3
Nawawi, 2000 : 72.

4
Nawawi, 2000 : 82.
5
Purwanto, 1999 : 65.

7
Sedangkan ahli lain mengatakan pula bahwa: “Anak-anak yang meniru keadaan orang lain, akan
cenderung mampu bersikap sosial, daripada yang tidak mampu meniru keadaan orang lain”6

Dari kedua pendapat tersebut diatas, jelaslah bahwa imitasi dapat mempengaruhi sikap sosial
seseorang, dimana seseorang yang berusaha meniru (imitasi) keadaan orang lain akan lebih peka
dalam merasakan keadaan orang lain, apakah orang sekitarnya itu dalam keadaan susah, senang
ataupun gembira.

b. Faktor Eksogen

Faktor eksogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak dari luar dirinya sendiri.
Dalam hal ini menurut Soetjipto dan Sjafioedin dalam bukunya Metodologi Ilmu Pengetahuan
Sosial dijelaskan bahwa: “Ada tiga faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yaitu: ” a) faktor
lingkungan keluarga, b) faktor lingkungan sekolah dan c) faktor lingkungan masyarakat”
7 Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.

1). Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan tumpuan dari setiap anak, keluarga merupakan lingkungan yang
pertama dari anak dari keluarga pulalah anak menerima pendidikan karenanya keluarga
mempunyai peranan yang sangat penting didalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan
memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, demikian pula sebaliknya. Dalam
buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa: “Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang,
perhatian, keluarga yang tidak harmonis, yang tidak memanjakan anak-anaknya dapat mem-
pengaruhi sikap sosial bagi anak-anaknya”8

Dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa keharmonisan dalam keluarga, anak yang
mendapatkan kasih sayang serta keluarga yang selalu memberikan perhatian kepada anak-
anaknya merupakan peluang yang cukup besar didalam mempengaruhi timbulnya sikap sosial
bagi anak-anaknya.
6
Nawawi, 2000 : 42
7
Soetjipto dan Sjafiodin, 1994 : 22

8
Purwanto, 1999 : 89

8
2). Faktor Lingkungan Sekolah

Dalam bukunya Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Keadaan sekolah seperti cara penyajian
materi yang kurang tepat serta antara guru dengan murid mempunyai hubungan yang kurang
baik akan menimbulkan gejala kejiwaan yang kurang baik bagi siswa yang akhirnya
mempengaruhi sikap sosial seorang siswa”9Selanjutnaya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan
bahwa: “Ada beberapa faktor lain di sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa yaitu
tidak adanya disiplin atau peraturan sekolah yang mengikat siswa untuk tidak berbuat hal-hal
yang negatif ataupun tindakan yang menyimpang” 10

Dari kedua pendapat ahli diatas, maka faktor lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi
sikap sosial siswa adalah cara penyajian materi, prilaku maupun sikap dari para gurunya, tidak
adanya disiplin atau peraturan-peraturan sekolah yang betul-betul mengikat siswa.

3). Faktor Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat merupakan tempat berpijak para remaja sebagai makhluk


sosial.Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat. Anak
dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan dia juga sebagai anggota masyarakat, kalau
lingkungan sekitarnya itu baik akan berarti sangat membantu didalam pembentukkan
keperibadian dan mental seorang anak, begitu pula sebaliknya kalau lingkungan sekitarnya
kurang baik akan berpengaruh kurang baik pula terhadap sikap sosial seorang anak, seperti
tidak mau merasakan keadaan orang lain. Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa:
“Lingkungan masyarakat yang bisa mempengaruhi timbulnya berbagai sikap sosial pada anak
seperti cara bergaul yang kurang baik, cara menarik kawan-kawannya dan sebaginya”

2.3 Ruang Lingkup Teori Belajar Sosial

1. Determinisme Resiprokal (Reciprocal Determinism)

Bandura mengembangkan model Determinisme Resiprokalyang terdiri dari tiga faktor


utama, yaitu perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Seperti dalam gambar, faktor-faktor ini

9
Ahmadi, 1996 : 65
10
Nawawi, 2000 : 66

9
bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran, yakni faktor lingkungan
memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif)
memengaruhi perilaku dan sebagainya.Bandura menggunakan istilah person, tapi memodifikasi
menjadi person (cognitive) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor
kognitif

Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting.
Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997,2001) pada masa belakangan ini
adalah self-efficiacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menhasilkan
hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficiacyberpengaruh besar terhadap perilaku.
Misalnya, seorang murid yang self-efficiacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar
untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya
mengerjakan soal.Adapun konsep utama dari teori belajar Albert Bandura adalah sebagai berikut:

a. Pemodelan

Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut
Bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat
tingkah laku orang lain11 Seseorang belajar menurut teori ini dilakukan dengan mengamati
tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara
menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-mengulang
kembali. Dengan jalan ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan
tingkah laku yang dipelajari.

Berdasarkan pola perilaku tersebut, selanjutnya Bandura mengklasifikasi empat fase


belajar dari pemodelan, yaitu:

1. Fase Atensi

Fase pertama dalam belajar pemodelan adalah memberikan perhatian pada suatu model.Pada
umumnya seseorang memberikan perhatian pada model-model yang menarik, popular atau yang
dikagumi.Dalam pembelajaran guru yang bertindak sebagai model bagi siswanya harus dapat

11
(Arends, 1997:67).

10
menjamin agar siswa dapat memberikan perhatian kepada bagan-bagian penting dari pelajaran.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan materi pelajaran secara jelas dan menarik,
memberikan penekanan pada bagian-bagian penting, atau dengan mendemonstrasikan suatu
kegiatan. Di samping itu suatu model harus memiliki daya tarikn (Woolfolk, 1993).Misalnya
untuk menjelaskan bagian-bagian bola mata guru seharusnya menggunakan gambar model mata,
dengan variasi warna yang bermacam-macam sehingga bagian-bagian mata tersebut tampak jelas
dan siswa termotivasi untuk mempelajarinya.

2. Fase Retensional

Menurut Gredler12 fase ini bertanggung jawab atas pengkodean tingkah laku model dan
menyimpan kode-kode itu di dalam ingatan (memori jangka panjang). Pengkodean adalah proses
pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode memori. Arti penting dari fase ini adalah
bahwa si pengamat tidak akan dapat memperoleh manfaat dari tingkah laku yang diamati ketika
model tidak hadir, kecuali apabila tingkah laku itu dikode dan disimpan dalam ingatan untuk
digunakan pada waktu kemudian. Untuk memastikan terjadinya retensi jangka panjang guru
dapat menyediakan waktu pelatihan, yang memungkinkan siswa mengulang keterampilan baru
secara bergiliran, baik secara fisik maupun secara mental.Misalnya mereka dapat
menvisualisasikan sendiri tahap-tahap yang telah didemonstrasikan dalam menggunakan busur,
atau penggaris sebelum benar-benar melakukannya.

3. Fase Reproduksi

Dalam fase ini kode-kode dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari
tingkah laku yang baru diamati. Derajat ketelitian yang tertinggi dalam belajar mengamati adalah
apabila tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental. Fase reproduksi dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan individu. Fase reproduksi mengizinkan model untuk melihat apakah
komponen-komponen urutan tingkah laku sudah dikuasai oleh si pengamat (pebelajar).Pada fase
ini juga si model hendaknya memberikan umpan balik terhadap aspek-aspek yang sudah benar
ataupun pada hal-hal yang masih salah dalam penampilan.

4. Fase Motivasional

12 dalam Sudibyo, E. 2001:5),

11
Pada fase ini si pengamat akan termotivasi untuk meniru model, sebab mereka merasa bahwa
dengan berbuat seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memerikan penguatan untuk
suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat (pebelajar) untuk berunjuk perbuatan.
Aplikasi fase motivasi di dalam kelas dalam pembelajaran pemodelan sering berupa pujian atau
pemberian nilai.

2. Belajar Vicarious

Sebagian besar belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru model
dengan baik akan menuju pada pada reinforcement. Akan tetapi, akan ada orang yang belajar
dengan melihat orang diberi reinforcement atau dihukum waktu terlibat dalam perilaku-perilaku
tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”.

Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious.Bila seorang murid
berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik dan memuji
mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal itu melihat bahwa bekerja
memperoleh reinforcement sehingga ia pun kembali.

3. Perilaku Diatur-Sendiri (Self-Regulated Behavior)

Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang
diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior). Manusia belajar suatu standar performa
(performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa
sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila
dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar,
maka ia akan dinilai negatif.

Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,


mempertimbangkan perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian
memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.Kita semua mengetahui bila kita
berbuat kurang daripada yang sebenarnya.Untuk dapat membuat pertimbangan-pertimbangan ini,
kita harus mempunyai harapan tentang penampilan kita sendiri. Seorang siswa mungkin sudah
merasa senang sekali memperoleh 90% betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin
masih kecewa.

12
2.4 Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial

Contoh aplikasi teori belajar Bandura adalah ketika seorang anak belajar untuk
mengendarai sepeda. Ditahap perhatian, si anak akan tertarik mengamati para pengendara sepeda
dibanding dengan orang yang melakukan aktifitas lain yang dia anggap kurang menarik. Oleh
karena itu, ia akan mengamati bagaimana seseorang mengayuh sepeda. Selanjutnya pada tahap
penyimpanan dalam ingatan si anak akan tersimpan bahwa bersepeda itu menyenangkan dan
suatu saat jika waktunya tepat ia akan meminta ayahnya (semisal) untuk mengajarinya
mengendarai sepeda. Semuanya itu kemudian dilaksanakan pada tahap reproduksi di mana si
anak kemudian benar-benar belajar mengendarai sepeda bersama sang ayah. Ketika anak itu
sudah berhasil, di sinilah tugas sang ayah untuk memberi reward sebagai bentuk apresiasi atas
keberhasilan sang anak sekaligus merupakan tahap motivasi. Beberapa contoh lain dijelaskan
dalam poin-poin berikut:

a) Iklan mie instan, di iklan tersebut diperlihatkan seseorang yang sedang melihat orang lain
makan mie instan dengan nikmatnya, membuatnya pada akhirnya makan mie instan yang
sama.
b) Melihat kecelakaan di konser sebuah band nasional yang mengakibatkan seseorang
meninggal, seorang pemudi yang tadinya hendak menonton konser band tersebut di kotanya
menggagalkan niatnya.
c) Iklan sebuah pasta gigi memperlihatkan seorang anak yang meniru kebiasaan ayahnya
makan, ribut sendiri karena menonton bola, dan cara ayahnya menggosok gigi.
d) Seorang balita yang kecanduan rokok dan berkata kasar karena lingkungan (orang-orang
dewasa) sekitar terbiasa merokok dan berkata kasar.
e) Seorang anak melompat dari lantai 4 sebuah rumah susun dengan menggunakan seprai
setelah melihat film superhero.
f) Sosialisasi penggunaan helm dan mengendarai motor yang baik menggunakan suatu film
pendek yang mengilustrasikan seorang pemuda yang naik motor ugal-ugalan dan tidak
memakai helm, berakibat fatal; kaum muda yang melihatnya menggunakan helm dan
berkendara aman tak hanya untuk menghindari ditilang polisi, tetapi untuk mengamankan
dirinya.

13
2.5 Kelebihan Kelemahan dan Teori Belajar Sosial

a. Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif
orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas
stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara
lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.

Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan
merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan
pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini
berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.

b. Kelemahan Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah
laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu
yang ditiru.

Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya
melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik
peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak
diterima dalam masyarakat.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat di simpulkan bahwa : Teori belajar


sosial atau teori observasional dikembangkan oleh Albert Bandura (1969), seorang tokoh
psikologi yang menganut aliran Behaviorisme.Bandura kini menjabat sebagai David Starr Jordan
Professor of Social Science di Fakultas Psikologi Universitas Stanford.

Teori belajar sosial adalah pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengamati dan
meniru perilaku orang lain. Dengan kata lain, informasi diperoleh dengan memerhatikan
kejadian-kejadian dalam lingkungan. Dalam percobaan boneka Bobo, Bandura mengilustrasikan
bagaimana pembelajaran sosial dapat terjadi bahkan dengan menyaksikan seorang model yang
tidak diperkuat atau dihukum.Dalam eksperimen tersebut, anak – anak meniru seperti perilaku
agresif dari orang dewasa disekitarnya.Eksperimen tersebut juga menunjukkan perbedaan
pembelajaran dan kinerja.Model determinisme pembelajaran resiprokal Albert Bandura
mencakup tiga faktor utama : person/kognisi, perilaku, dan lingkungannya. Faktor person
(kognitif) yang ditekankan Bandura belakangan ini adalah self-efficiacy, keyakinan bahwa
seseorang bisa menguasai dan menghasilkan hasil positif.

Konsep utama dari teori belajar Albert Bandura adalah pemodelan, belajar vicarious,
dan perilaku diatur-sendiri.Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial.Bandura
mengklasifikasi empat fase belajar dari pemodelan, yaitufase atensi yang
merupakan fasememberikan perhatian pada suatu model, faseretensional yang merupakan
fase pengkodean tingkah laku model dan menyimpan kode-kode itu di dalamingatan (memori
jangka panjang), fase reproduksi yang merupakan fase dimana kode-kode dalam memori
membimbing penampilan yang sebenarnya dari tingkah laku yang baru diamati, dan yang
terakhir adalah fase motivasional yang merupakan fase dimana si pengamat akan termotivasi
untuk meniru model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka akan
memperoleh penguatan.Belajar Vicarious, merupakan cara belajar dengan melihat orang diberi
reinforcement atau dihukum waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.Perilaku diatur-
sendiri, Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang
diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior)

15
DAFTAR PUSTAKA

Nazlah. 2008. Sikap Sosial Pada Anak yang Mengikuti Pendidikan Apresiasi Seni.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi.

Soetjipto dan Sjaefieoden,.1994. Metodologi Ilmu Sosial. Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai