Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Penelitian

Pada bagian ini kepustakaan penelitian memuat beberapa literatur

yang menyajikan informasi bagi peneliti tentang data-data empirik dari

hasil penelitian terdahulu sebagai rujukan bagi penelitian yang akan

dilaksanakan. Menyusun sebuah kepustakaan penelitian sama halnya

dengan menyarikan berbagai hasil penelitian terdahulu untuk mendapat

gambaran tentang topik atau permasalahan yang akan diteliti sekaligus

menjawab berbagai tantangan yang akan muncul ketika memulai sebuah

penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa hasil

penelitian terdahulu yang dipandang relevan dengan penelitian yang akan

dilaksanakan. Beberapa penelitian yang dimaksud sebagai berikut:

2.1.1 Penelitian Pertama

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Siswanto Mukti

dengan judul “Peran Polres Maluku Tengah dalam Menangani Konflik

Antar Negeri Adat (Konflik Antara Negeri Adat Saleman dan Negeri Adat

Horale)” meneliti terkait konflik yang terjadi antar masyarakat adat

Saleman dan Horale. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

dimana pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan

dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Polres

Maluku Tengah telah menangani konflik Saleman-Horale, meskipun masih

terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki sehingga tercipta hubungan

20
21

timbal balik yang harmonis antara kepolisian dan masyarakat.

Berdasarkan penelitian terdahulu ini terlihat adanya persamaan

yaitu; sama-sama meneliti tentang variabel konflik; dan menggunakan

pendekatan kualitatif serta studi dokumentasi dalam pengumpulan data.

Sedangkan perbedaanya adalah; a) Siswanto Mukti menitikberatkan

penelitiannya terhadap konflik yang terjadi di Saleman-Horale. Sedangkan

penulis menekankan penelitian ini pada pemolisian dalam menangani

konflik; b) Lokasi penelitian yang diteliti oleh Siswanto Mukti adalah Negeri

Adat Saleman dan Negeri Adat Horale di Kabupaten Maluku Tengah,

sedangkan penulis melakukan penelitian di Kabupaten Mimika, Provinsi

Papua.

2.1.2 Penelitian Kedua

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Adithia Bagus

Arjunadi dengan judul “Posisi Sosiologis Polri dalam Penanganan Konflik

Sosial di Kabupaten Mimika (Kasus Perang Suku antara Suku Dani dan

Suku Moni)” meneliti terkait peranan Polri secara sosiologis dalam

penanganan konflik sosial di Kabupaten Mimika. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara,

observasi dan studi dokumentasi secara mendalam. Berdasarkan hasil

penelitian dapat diketahui Polres Mimika melakukan penanganan perang

suku dengan memposisikan diri berada ditengah kondisi sosiologi

masyarakat Mimika sehingga mengerti dan memahami akar

permasalahan perang suku serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Berdasarkan penelitian terdahulu ini terlihat adanya persamaan


22

yaitu; sama-sama meneliti tentang variabel penanganan konflik di wilayah

hukum Polres Mimika; dan menggunakan pendekatan kualitatif serta studi

dokumentasi dalam pengumpulan data. Sedangkan perbedaannya

adalah; a) Adithia Bagus Arjunadi menitikberatkan penelitiannya terhadap

posisi sosiologis Polri dalam penanganan konflik. Sedangkan penulis

menekankan penelitian ini pada pemolisian dalam menangani konflik; b)

Kasus yang diteliti oleh Adithia Bagus Arjunadi adalah kasus perang suku

antara Suku Dani dan Suku Moni, sedangkan kasus yang diteliti oleh

penulis adalah konflik perang suku antara Hosea Ongomang dan Atimus

Komangal.

2.1.3 Penelitian Ketiga

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eliantoro Jalmaf

dengan judul “Konflik dan Kebijakan Penyelesaian Konflik (Studi Kasus

Konflik Sosial antara Komunitas Masyarakat Etnis Samawa dan

Komunitas Masyarakat Etnis Bali di Wilayah Hukum Polres Sumbawa)”

meneliti tentang kebijakan dalam menyelesaikan konflik antar etnis

tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Hasil

penelitian menunjukkan penyelesaian konflik sosial yang dilakukan Polres

Sumbawa belum dapat menyelesaikan hingga ke akar masalah. Hal ini

dikarenakan penanganan konflik tidak menggunakan pendekatan yang

memperhatikan berbagai aspek yang ada.

Berdasarkan penelitian terdahulu ini terlihat adanya persamaan

yaitu; sama-sama meneliti tentang variabel konflik suku; dan

menggunakan pendekatan kualitatif serta studi dokumentasi dalam


23

pengumpulan data. Sedangkan perbedaannya adalah; a) Eliantoro Jalmaf

menitikberatkan penelitiannya terhadap kebijakan dalam penyelesaian

konflik. Sedangkan penulis menekankan penelitian ini pada pemolisian

dalam menangani konflik; b) Kasus yang diteliti oleh Eliantoro Jalmaf

adalah kasus konflik antara Komunitas Masyarakat Etnis Samawa dan

Komunitas Masyarakat Etnis Bali di Wilayah Hukum Polres Sumbawa,

sedangkan kasus yang diteliti oleh penulis adalah konflik perang suku

antara Hosea Ongomang dan Atimus Komangal di Mimika Papua.

2.2 Kepustakaan Konseptual

2.2.1 Pemolisian

Pada dasarnya pemolisian merupakan strategi atau upaya Polisi

untuk mencegah terjadinya kejahatan, memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum bagi keadilan. Dalam

konteksnya tersebut Ridgeway et.al (2006: xix) menjelaskan bahwa

“policing is essential to improving police-community relations.”

Farrel (dikutip Coquilhat, 2008 : 24) mengemukakan bahwa

“community police officers have a comprehensive role as planners,

problem solvers and community organisers:

1. As planners they are required to identify principal crime and


disorder problems faced by the community and prioritise, as well
as analyse and develop strategies to deal with the issues;
2. As problem solvers they are required to implement the actions and
strategies to address the crime concerns;
3. As community organisers they are required to increase the
consciousness of the community and organisations to deal with
problems.

Coquilhat (2008 : 33) menyatakan bahwa:


24

“This provides the officers with the opportunity to make positive


community-police experiences and contacts, which is said to
increase morale amongst police through the encouragement of a
supportive and welcoming community.”

Definisi di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud

dengan pemolisian merupakan segala upaya yang dilakukan Polisi untuk

mewujudkan dan memelihara Kamtibmas pada tingkat manajemen

maupun operasional. Dengan adanya peran-peran ini, petugas memiliki

kesempatan untuk membuat pengalaman dan kontak positif dengan

masyarakat, sehingga dapat meningkatkan moral di kalangan polisi

melalui dorongan yang suportif dan ramah kepada masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul “Understanding Policing”, Anneke

Osse (2012 : 42) menyatakan bahwa :

“The term policing is used with many different meanings in mind;


most notably it is referred to as the process of ‘ensuring
compliance with the law’ in all its aspects. It should be apparent
that ensuring such compliance can never be achieved by the
police alone. Policing may indeed encompass more agencies and
entities than just the police and is sometimes even taken as a
social process involving civil society at large rather than a
professional duty carried out by a State agency.”

Definisi di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud

dengan pemolisian merupakan segala upaya yang dilakukan untuk

mewujudkan kepatuhan terhadap hukum yang dilakukan oleh seluruh

elemen yang terlibat didalamnya termasuk pelibatan elemen masyarakat

sipil. Karena dalam 'memastikan kepatuhan terhadap hukum', Polisi tidak

dapat melaksanakannya secara individu, melainkan dibutuhkan kerjasama

dengan instansi lain dan pelibatan dari masyarakat sehingga pemolisian

tersebut dapat berjalan efektif. Hal ini sesuai dengan Teori Strain yang
25

dilontarkan oleh Robert Merton (dalam Agnew, 2015 : 496), yang

menyatakan bahwa “crime arises from the community and can be

overcome by the community.” Karena teori Strain berpendapat bahwa

dalam masyarakat ada yang suka berbuat jahat dan ada yang tidak suka

berbuat jahat. Maka mereka yang tidak suka akan kejahatan bisa

diberdayakan untuk menekan kejahatan yang muncul di lingkungannya.

Anneke Osse (2012 : 61) menambahkan bahwa:

“Although States are responsible for the maintenance of order, it is


clear that they are not always effective in protecting the security of
their people or providing an effective security system. Indeed, a
State’s capacity to intervene in conflicts of all sorts and influence
non-State actors is limited and is sometimes biased in favour of
specific interests. Moreover, ensuring community safety requires
cooperation amongst all the relevant entities involved, as well as
civil society.”

Dengan demikian, keberhasilan penyelenggaraan pemolisian akan

sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memberikan respons

melalui pemberdayaan dan keterlibatannya, yang sering diidentifikasi

sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Dalam konteks Indonesia, maka

pemolisian artinya juga harus diintepretasikan sebagai upaya polisi untuk

menjaga kearifan lokal sebagai nilai penting yang dipunyai oleh

masyarakat Indonesia dengan segala keragamannya sehingga dapat

digunakan sebagai alat dalam memastikan kepatuhan kuhum dari seluruh

aspek. Agar dapat berjalan efektif, pemolisian ini mensyaratkan bahwa

setiap upaya peningkatan kamtibmas harus memperhatikan kekhasan

nilai-nilai kultural yang dianut oleh masyarakat lokal.

Novri Susan (2012 : 14) menyatakan bahwa:


26

“Pada masyarakat yang telah terbangun sistem sosial dan budaya


cenderung terdapat kelembagaan yang mendorong konflik-konflik
para anggotanya mencapai kondisi konsensual. pada dunia
modernitas kelembagaan itu disebut local wisdom (kearifan lokal)
dalam pranata adat yang masih memelihara struktur sosiar dan
budaya secara kuat yang secara sosiologis menjadi sangat
fundamental dalam upaya menyelesaikan berbagai konflik sosial.”

Hal ini mengisyaratkan perlunya strategi pengalihan pola

pencegahan kriminalitas yang semula melalui kegiatan yang bersifat

konvensional menjadi pola pendekatan modern yaitu strategi pencegahan

dengan melibatkan potensi yang ada pada masyarakat setempat. Hal ini

sesuai dengan teori dari Oliver (dalam Somerville, 2007 : 5) yang

menyatakan bahwa:

“A systematic approach to policing with the paradigm of instilling and


fostering a sense of community, within a geographical
neighborhood, to improve the quality of life. It achieves this
through the decentralization of the policing and the
implementation of a synthesis of three key components: (1) … the
redistribution of traditional police resources; (2) … the interaction
of police and all community members to reduce crime and the fear
of crime through indigenous proactive programs; and (3) … a
concerted effort to tackle the causes of crime problems rather than
to put band-aids on the symptoms.”

Berdasarkan teori di atas, jika dikaitkan dengan kontek kasus

perang suku antara Hosea Ongomang dan Atimus Komangal di

Kabupaten Mimika maka dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

redistribusi sumber daya kepolisian tradisional adalah partisipasi

masyarakat adat/suku dalam penanganan perang suku tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan interaksi polisi dan semua anggota

masyarakat untuk mengurangi kejahatan adalah kemitraan sejajar antara

polisi dengan masyarakat dalam penanganan perang suku. Kemudian,

yang dimaksud dengan upaya bersama untuk mengatasi penyebab


27

masalah kejahatan adalah upaya pemecahan masalah terkait perang

suku.

Dalam prakteknya, pemolisian terdiri dari berbagai macam

pendekatan. Anneke Osse (2012 : 94-95) menjelaskannya sebagai

berikut:

1. (Crisis Policing) Pemolisian Krisis didefinisikan sebagai "kepolisian

represif yang terus berlanjut di mana para petugas berada sibuk

dengan ketertiban dan kontrol kekerasan

2. (Authoritarian Policing) Pemolisian Otoritarian biasanya

menyelaraskan diri dengan sistem politik otoriter tetapi bisa

bertahan setelah transisi menuju demokrasi. Biasanya, polisi atau

pemerintah menetapkan prioritas pemolisian tanpa

mempertimbangkan kebutuhan populasi atau preferensi warga.

3. (Community Policing) Pemolisian Masyarakat dapat didefinisikan

sebagai upaya kolaboratif antara polisi dan masyarakat dalam

mengidentifikasi masalah kejahatan dan gangguan serta

melibatkan semua elemen masyarakat dalam mencari solusi

dalam memecahkan masalah.

4. (Problem oriented policing) Pemolisian berorientasi masalah

berarti mengumpulkan informasi tentang hal-hal yang terkait

dengan area masalah bukannya menyelidiki kejahatan tertentu

oleh pelaku tertentu. Pendekatan ini sangat membutuhkan proses

identifikasi masalah yang sistematis dan analisis, diikuti dengan

intervensi yang sesuai serta evaluasi secara menyeluruh.


28

5. Information/Intelligence led policing. Intelijen yang dipimpin

kepolisian telah berevolusi dengan memasukkan kegiatan polisi

yang diinformasikan oleh analisis informasi yang cerdas. Intelijen

yang dipimpin pemolisian merupakan pengembangan dari

pemolisian masyarakat: membangun lebih dekat kontak dengan

komunitas dalam mengungkapkan sejumlah besar informasi yang

tersedia di masyarakat.

Anneke Osse (2012 : 94) menyatakan bahwa community policing

is such a dominant philosophy we will pay considerable attention to it..

Kemudian Hutagalung (2017 : 267) menambahkan bahwa:

“Konsep pemolisian ideal adalah polisi yang peka terhadap dinamika


perkembangan masyarakat dan bersedia hadir ditengah-tengah
masyarakat untuk memberikan pelayanan tugas dan fungsi
pemolisian. Dengan kata lain, polisi sebagai aparat penegak
hukum dalam menjalankan fungsi dan tugas senantiasa
menjadikan masyarakat sebagai mitra (community policing) dalam
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.”

Dengan demikian, berdasarkan pendapat di atas, maka dapat

dijelaskan bahwa pemolisian yang paling baik adalah pemolisian

masyarakat, sehingga penulis menggunakan pemolisian masyarakat

sebagai salah satu konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

2.2.2 Pemolisian Masyarakat

Community Policing atau pemolisian masyarakat merupakan

sebuah istilah yang mewakili serangkaian kegiatan untuk meningkatkan

kerja sama sinergis antara masyarakat dengan kepolisian dalam

menciptakan suasana kamtibmas yang kondusif. Anneke Osse (2012 :

95), menyatakan bahwa:


29

“Community policing can be defined as: “a collaborative effort


between the police and the community that identifies problems of
crime and disorder and involves all elements of the community in
the search for solution to these problems. It is based on the
assumption that police cannot control crime and disorder alone
but require the support of communities to ensure safety.”

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam

pemolisian masyarakat, masyarakat merupakan mitra polisi dan diajak

turut mengidentifikasi masalah kejahatan dan gangguan dengan

melibatkan semua elemen masyarakat dalam mencari solusi untuk

masalah. Dengan demikian dalam pemolisian masyarakat, partisipasi dan

keterlibatan masyarakat merupakan suatu hal yang penting. Hal ini sesuai

dengan pendapat Cordner (1996 : 505) yang meyatakan bahwa;

“Participation of the community in its own protection is one of the central

elements of community policing.” Kemudian Lukic (2014 :9)

menambahkan bahwa: “At a local level –the establishment of space and

mechanisms for cooperation between the police and local leaders will

provide models of community policing and effective security.”

Trojanowicz, Bucqueroux, Bonnie (1990 : 38) menambahkan

bahwa:

“Community policing should be a fully integrated approach that


involves all people both within the department and outside the
department, with community police officers who serve as
intermediaries that bridge the gap between the police and the
communities they serve.”

Bayley (1986 : 3) menyatakan bahwa;

“I have found four recurrent elements in 'community policing'


meaningfully undertaken. They are: 1) Community-based crime
prevention (such as Neighbourhood Watch). Community-based
crime prevention builds on the expertise, capacity and
commitment of people or organisations operating at the
30

community level to
deliver interventions that aim to modify the social or environmental
conditions that promote or sustain crime; 2) Patrol deployment for
non-emergency interaction with the public (ie making general
duties offcers more available to the public on a day-to-day basis);
3) Active solicitation of requests for service not involving criminal
matters. Out-reaching servicing (such as Blue Light Discos and
Police Citizen Youth Clubs.”

Berdasarkan pengertian Bayley di atas, maka dapat dijelaskan

bahwa terdapat empat unsur penting dalam pemolisian masyarakat,

diantaranya adalah:

1. Pencegahan kejahatan berbasis komunitas.

Pencegahan kejahatan berbasis komunitas dibangun di atas

keahlian, kapasitas dan komitmen orang atau organisasi yang

beroperasi di tingkat masyarakat untuk memberikan intervensi

yang bertujuan untuk mengubah kondisi sosial atau kondisi

lingkungan yang mendukung atau mempertahankan kejahatan.

Contoh: komunitas adat, komunitas ojek, komunitas sepeda motor

besar, komunitas transportasi umum dll. Dengan demikian, dalam

menerapkan strategi Polmas maka perlu untuk melakukan

pembinaan terhadap komunitas-komunitas tersebut agar dapat

memiliki kesadaran Kamtibmas dan mampu menyelesaikan

permasalahan sosial berpotensi konflik secara swadaya. Sehingga

diharapkan potensi-potensi konflik dapat dieliminir sehingga dapat

terselenggara situasi Kamtibmas yang kondusif;

2. Pelaksanaan patroli untuk interaksi non-darurat dengan publik.

Salah satu contohnya adalah siskamling. Dalam memelihara

stabilitas kamtibmas, Polri tentunya tidak bisa bekerja sendiri (self


31

combatant), melainkan perlu didukung oleh segenap potensi

masyarakat melalui bentuk kemitraan yang sinergis dan egaliter.

Dalam hal ini, bentuk partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan

lingkungan diwujudkan dalam bentuk Sistem Keamanan

Lingkungan (Siskamling).

Siskamling merupakan kegiatan masyarakat dalam

menumbuhkan kembangkan sikap mental, kepekaan dan daya

tanggap setiap warga dalam mewujudkan keamanan dan

ketertiban disetiap dilingkungannya masing-masing dalam rangka

menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat di setiap

waktu dan merupakan potensi pengamanan swakarsa yang

berazaskan gotong royong, kerjasama, budaya paguyuban yang

menjiwai dalam setiap kehidupan masyarakat untuk menjaga

keamanan lingkungan, mengurangi tingkat kriminalitas,

mempererat tali silatuhrahmi antar warga, pembinaan moral atau

kebiasaan warga serta membangun disiplin warga masyarakat.

Hal tersebut sesuai dengan Perkap No 7 tahun 2008 yang

diperbaharui menjadi Perkap No. 3 tahun 2015 tentang Polmas,

khususnya pada model sistem keamanan lingkungan (Model A1)

seperti Ronda kampung (Model A11) adalah kegiatan ronda atau

patrol yang dilaksanakan oleh warga masyarakat setempat dalam

suatu wilayah perkampungan atau pedesaan;


32

3. Respon aktif atas permintaan layanan dari masyarakat yang tidak

hanya saat terjadi masalah kriminal. Misalnya dengan

membentuk;

a. Forum keselamatan berlalulintas. Tujuannya adalah untuk

meningkatkan dukungan untuk penggunaan jalan yang

bertanggung jawab dan memberikan respon yang keras

terhadap mereka yang menggunakan jalan dengan tidak

bertanggung jawab. Penting untuk melakukan pencegahan

karena pengemudi yang bertanggung jawab akan tetap

bertanggung jawab dengan adanya ancaman dan sanksi;

b. Saka Bhayangkara. Gerakan Pramuka sebagai wadah

pembinaan generasi muda yang menjalankan fungsinya

sebagai lembaga pendidikan non formal memiliki peran

penting dalam pembentukan watak, kepribadian, jasmani

serta pengemban pengetahuan dan keterampilan sehingga

dapat menjadi kader pembangunan di segala bidang.

Pembinaan Satuan Karya (Saka) Bhayangkara adalah

bagian pembinaan generasi muda yang merupakan salah

satu bentuk pembinaan potensi masyarakat;

c. Penciptaan mekanisme untuk umpan balik dari “akar rumput”

masyarakat. Misalnya pembentukan Forum Kemitraan Polisi

Dan Masyarakat (FKPM). Melalui pemberdayaan FKPM,

diharapkan para petugas Polmas dapat menyerap

aspirasi/informasi dari masyarakat serta dapat pula


33

memberikan penyuluhan terkait pemeliharaan Kamtibmas di

lingkungannya. Dengan dibentuknya FKPM akan tercipta

suatu komunikasi timbal balik antara masyarakat dan Polisi,

sehingga tercipta hubungan yang erat dan saling

membutuhkan. Hal ini dilakukan dengan merencanakan

komunikasi yang intens dengan FKPM, sehingga dapat

diketahui secara persis permasalahan yang terjadi di

wilayah. Ditindaklanjuti dengan bekerjasama dengan

masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut,

sehingga dapat menjaga kehidupan yang aman dan tentram

di wilayah tersebut. FPKM berperan untuk melakukan

deteksi dini terhadap gangguan keamanan dan ketertiban

masyarakat di wilayah masing-masing baik dari tingkat

kabupaten dan kota hingga kecamatan maupun pedesaan.

Selain itu FKPM berfungsi untuk meningkatkan kesadaran

dan ketaatan masyarakat terhadap peraturan perundang-

undangan, serta FKPM bertujuan membangun kemitraan

Polri dan masyarakat dalam wadah dan sarana komunikasi.

Sebagai suatu strategi, Polmas berarti model pemolisian yang

menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas polmas dengan

masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap

permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban

masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan

tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan


34

serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Robert R. Friedman (1992 : 44) melihat ada 2 (dua) perspektif

dalam melihat program Perpolisian Masyarakat :

1. From a police perspective, there is an increasing need to improve


relations with the community with a purpose:
a. Utilizing various community resources to help prevent crime
and reduce the level of public anxiety about crime.
b. Increase public trust in the police.
2. From a community perspective, it is increasingly realized that they
need and deserve:
a. Better service from the police.
b. More reliable police accountability.
c. Greater role of the community in decision making in the
security sector.

Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak

lagi semata-mata sebagai objek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian

melainkan sebagai subjek yang menentukan dalam mengelola sendiri

upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib bagi ketentraman dan

keselamatan kehidupan bersama mereka yang difasilitasi oleh petugas

kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu

kemitraan.

Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa

masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan

mencari jalan keluar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan

dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat

dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam kehidupan mereka

sendiri bagi terwujudnya suasana kehidupan bersama yang damai dan

tenteram.

Dalam konteksnya yang demikian operasionalisasi konsep Polmas


35

pada tataran lokal memungkinkan masyarakat setempat untuk

memelihara dan menumbuhkembangkan sendiri pengelolaan keamanan

dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial dan atau

kesepakatan-kesepakaan lokal dengan mengindahkan peraturan-

peraturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-

prinsip Hak Asasi Manusia dan kebebasan individu yang bertanggung

jawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pemolisian masyarakat

adalah menekankan pada kemitraan dengan masyarakat yang sinergis

untuk penyelesaian masalah, dalam upaya pencegahan terhadap

ancaman keamanan dan ketertiban di masyarakat. Kebijakan mengenai

Polmas, telah dikeluarkan oleh Kapolri melalui Perkap No. 3 tahun 2015

tentang Pemolisian Masyarakat. Dua komponen penting dari Polmas,

yaitu kemitraan sejajar dan pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan

pendapat Bureau of Justice Assistance (1994 : 14) mengemukakan

bahwa:

“The foundations of a successful community policing strategy are


the close, mutually beneficial ties between police and community
members. Community policing consists of two complementary
core components, community partnership and problem solving.”

Berdasarkan pengertian di atas, maka kedua komponen dari

pemolisian masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut;

1. Kemitraan Masyarakat

Kemitraan mengandung arti kerjasama dengan

menempatkan pihak yang bekerjasama dalam posisi yang sama.

Kemitraan antara polisi dan masyarakat berarti polisi menganggap


36

masyarakat sebagai mitra kerja, demikian juga sebaliknya,

masyarakat menganggap polisi sebagai mitra kerjanya dalam

pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Kemitraan akan terjadi

apabila terdapat saling percaya. Polisi mempercayai bahwa

pelaksanaan tugasnya hanya dapat dilakukan dengan baik

apabila ia bekerja sama dengan masyarakat. Untuk itu, ia

melakukan komunikasi yang intensif, dialogis, dan berpartisipasi

aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sehingga polisi

dianggap oleh masyarakat sebagai bagian integral.

Dalam konteks ini, pelaksanaan pembinaan masyarakat

tidak hanya berfungsi guna penertiban dan pengamanan

masyarakat, melainkan juga dilaksanakan guna mengembangkan

dan memberdayakan potensi-potensi yang terdapat didalam

masyarakat guna meningkatkan kualitas pembangunan kehidupan

dan kesejehteraan masyarakat, serta mampu menjadi mitra kerja

masyarakat untuk menjaga keamanan diwilayahnya masing-

masing. Bureau of Justice Assistance (1994 : 14) mengemukakan

bahwa:

“To develop community partnership, police must develop


positive relationships with the community, must involve the
community in the quest for better crime control and
prevention, and must pool their resources with those of the
community to address the most urgent concerns of
community members.”

2. Pemecahan Masalah
37

Masalah sosial adalah setiap kesulitan yang timbul dalam

bidang sosial yang kemudian menggerakkan orang untuk

mengatasi atau memecahkannya. Pemecahan masalah sosial

bersifat sangat kompleks, ruwet dan rumit karena menyangkut

berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungan antar manusia,

lingkungan alam maupun masalah kejiwaan. Masalah sosial ini

seringkali menjadi pemicu kerawanan keamanan dan ketertiban

masyarakat apabila tidak segera dicari pemecahannya.

Pemecahan masalah sosial melalui pemolisian masyarakat dapat

mendeteksi secara dini serta mengantisipasi segala kemungkinan

kerawanan yang mungkin terjadi. Bureau of Justice Assistance

(1994 : 14) menambahkan bahwa:

“Problem solving is the process through which the specific


concerns of communities are identified and through which
the most appropriate remedies to abate these problems are
found.”

Dengan demikian, keterlibatan masyarakat berkaitan erat

dengan keberhasilan pemecahan masalah. Pemecahan masalah

yang kooperatif dapat memperkuat saling percaya, membantu

kedua belah pihak untuk berbagi informasi yang saling

menguntungkan. Terkait dengan hal tersebut maka SARA

(Scanning, Analysis, Response, dan Assessment) merupakan

metode pemecahan masalah yang sering digunakan polisi untuk

menentukan penyebab masalah dan bagaimana polisi

menanganinya. Model SARA (U.S. Department of Justice, 2012 :

12-13) juga dapat mencegah polisi supaya tidak tergesa-gesa


38

mengambil kesimpulan, apalagi kesimpulan yang keliru. Adapun

tahapan Model SARA adalah sebagai berikut:

a. Scanning; to identify a basic problem, determine the nature


of that problem, determine the scope of seriousness of the
problem, and establish baseline measures.

b. Analysis; is the heart of the problem-solving process. The


objectives of analysis are to develop an understanding of the
dynamics of the problem, develop an understanding of the
limits of current responses, establish correlation, and
develop an understanding of cause and effect.
c. Response; involves developing and implementing strategies
to address an identified problem by searching for strategic
responses that are both broad and uninhibited. The
response should follow logically from the knowledge learned
during the analysis and should be tailored to the specific
problem.

d. Assessment attempts to determine if the response strategies


were successful by determining if the problem declined and if
the response contributed to the decline. This information not
only assists the current effort but also gathers data that build
knowledge for the future.

Berdasarkan uraian di atas, maka Pemolisian Masyarakat sangat

relevan untuk digunakan dalam penulisan ini, karena kegiatan pemolisian

masyarakat adalah gaya kepolisian yang bertujuan untuk membangun

kesetaraan antara polisi dan masyarakat dalam pengambilan keputusan

suatu kebijakan pembinaan kamtibmas agar dapat mengkolaborasi

kemampuan masyarakat dan kepolisian secara sinergis untuk mencegah

dan menanggulangi setiap ancaman dan gangguan keamanan dan

ketertiban masyarakat.

Najiyati dan Rahmat (Dikutip Rahmawati dkk, 2014: 643),

mengartikan sinergi sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian

yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Jadi sinergi
39

dapat dipahami sebagai operasi gabungan atau perpaduan unsur untuk

menghasilkan output yang lebih baik. Sinergitas dapat terbangun melalui

dua cara yaitu:

1. Komunikasi

Sofyandi dan Garniwa (2007 :14), menyatakan bahwa komunikasi dapat

dibedakan atas dua bagian, yaitu:

a. Pengertian komunikasi yang berorientasi pada sumber

menyatakan bahwa, komunikasi adalah kegiatan dengan

mana seseorang (sumber) secara sungguh-sungguh

memindahkan stimuli guna mendapatkan tanggapan.

b. Pengertian komunikasi yang berorientasi pada penerima

memandang bahwa, komunikasi sebagai semua kegiatan di

mana seseorang (penerima) menanggapi stimulus atau

rangsangan.

Leo Agustino (2008: 99) menyatakan bahwa

“ada tiga faktor yang dapat dijadikan ukuran dalam kesuksesan


komunikasi, diantaranya: 1) Penyaluran komunikasi yang
baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik
pula. 2) Kejelasan komunikasi; 3) Konsistensi dari perintah
dalam komunikasi.”

2. Koordinasi

Disamping adanya komunikasi dalam menciptakan sinergitas juga

memerlukan koordinasi. Komunikasi tidak dapat berdiri sendiri

tanpa adanya koordinasi seperti yang dinyatakan oleh Hasan

(2005: 18) bahwa dalam komunikasi dibutuhkan koordinasi.

Silalahi (2011 : 217) menyatakan bahwa koordinasi adalah


40

integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam

satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama.

Dalam kaitannya dengan penanganan konflik sosial seperti yang

terjadi di Mimika Papua yaitu antara kelompok Hosea Ongomong dan

Atimus Komangal maka Polisi perlu membangun sinergitas atau

kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Karena hal tersebut bukan hanya

menjadi tugas Polisi tetapi secara kelembagaan penyelesaian konflik

dilakukan bersama dengan pemerintah, Pemda, pranata adat/sosial serta

satuan tugas penyelesaian konflik.

2.2.3 Konflik

Konflik merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan

sehari-hari. Istilah konflik sendiri secara etimologis berasal dari bahasa

Latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau

tabrakan. Konflik dapat juga didefinisikan sebagai segala macam interaksi

pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak, konflik

organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota

atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya

kenyataan, karena mereka harus membagi sumber daya-sumber daya

yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja atau karena kenyataan bahwa

mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai, atau presepsi.

Menurut Ranupandoyo dan Hasnan, (1990 : 28) bahwa :

“Konflik adalah ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota


organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul
karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka
secara bersama-sama, atau menjalankan kegiatan bersama-
sama, atau mempunyai status, tujuan, nilai, dan persepsi yang
41

berbeda.”

Sedangkan menurut Pace & Faules, (1994:249) terkait pengertian

konflik adalah:

“Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan


individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa
alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya
perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan,
diingat, dan dialami.”
Sedangkan Haryanto dan Edwi Nugroho (2011 : 113) menyatakan

bahwa:

“Konflik berasal dari kata kerja latin “Configere” yang berarti


”saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.”

Lewis A. Coser (dikutip Sunarto, 2004 : 219) menyatakan bahwa;

“konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas


status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan
maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan.
Kajian Coser terbatas pada fungsi positif dari konflik, yaitu dampak
yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi hubungan
sosial atau kelompok tertentu.”

Lewis A. Coser (dikutip Sunarto, 2004 : 219) membedakan konflik

yang realistis dari yang tidak realistis.

“Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-


tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditunjuk pada
objek yang dianggap mengecewakan.Sedangkan konflik yang
non-realistis, yakni konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.”

Sedangkan menurut Wahab (2014 : 6), konflik adalah;

“Pada umumnya berlatar belakang adanya perbedaan. Perbedaan


sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan.
Perbedaan bisa menjadi potensi bisa menjadi persoalan. Menjadi
potensi jika dipahami secara baik dan dikelola secara konstruktif
42

agar semakin memperkaya makna hidup. Bisa menjadi persoalan


jika kemudian berkembang menjadi bentuk penyelesaian dengan
cara-cara kekerasan. Konflik juga dapat bernilai positif, yaitu pada
saat konflik bisa dikelola secara arif dan bijaksana, disini konflik
bisa mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi
perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan,
sehingga konflik bisa dikonotasikan sebagai sumber perubahan.”

Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan

Konflik Sosial pasal 1 disebutkan bahwa :

“Konflik komunal, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan


dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok
masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan
disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan
menghambat pembangunan nasional”.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa konflik pada dasarnya

merupakan tindakan individual maupun kolektif, karena konflik dipandang

sebagai suatu sistem tindakan, maka dapat digunakan konsep perilaku

konflik (conflict behaviour) untuk membedakannya dengan perilaku

destruktif. Dimana perilaku konflik cenderung menimbulkan perilaku

destruktif karena situasi ketidaksepakatan yang cenderung menimbulkan

frustasi dan segresi antara berbagai pihak, sedangkan perilaku destruktif

cenderung mengalami proses self-reinforcing, untuk membentuk

kekerasan lainnya.

Teori konflik yang terkenal adalah teori konflik yang dikemukakan

oleh Karl Marx mengenai teori kelas. Sunarto (2004 : 218) menyatakan

bahwa:

“Dengan munculnya kapitalisme terjadi pemisahan yang tajam


antara mereka yang menguasai alat produksi & mereka yang
hanya mempunyai tenaga. Pengembangan kapitalisme
memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial sehingga
akhirnya terjadi konflik diantara kedua kelas. Eksploitasi yang
43

dilakukan oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar secara terus


menerus akhirnya akan membangkitkan kesadaran kaum proletar
untuk bangkit dan melawan sehingga terjadilah perubahan sosial
besar, yaitu revolusi sosial. Menurut ramalan Marx kaum proletar
akan memenangkan perjuangan kelas ini dan akan menciptakan
masyarakat tanpa kelas dan tanpa Negara.”

Teori konflik lainnya adalah teori yang dikemukakan oleh Ralf

Dahrendorf (dikutip Sunarto, 2004 : 218) yang mengemukakan bahwa

“masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan


pada kekuasaan (dominasi satu pihak atas pihak lainatas dasar
paksaan) atau wewenang (dominasi yang diterima dan diakui oleh
pihak yang didominasi) yang dinamakan “Imperatively coordinated
associations” (asosiasi yang dikoordinasi secara paksa) karena
kepentingan kedua pihak dalam asosiasi-asosiasi tersebut
berbeda. Pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan
kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk
memperoleh kekuasaan yang dapat menyebabkan perubahan
sosial. Dengan demikian, konflik menurut Dahrendorf merupakan
sumber terjadinya perubahan sosial.”

Pokok pikiran yang terkandung menurut teori konflik yang

dikemukakan oleh Dahrendorf adalah :

1. Setiap masyarakat manusia tunduk pada proses perubahan;

perubahan ada dimana-mana;

2. Disensus dan konflik terdapat dimana-mana;

3. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada

disintegrasi dan perubahan masyarakat;

4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang

anggota terhadap anggota lain.

Konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari

tapi juga dibutuhkan oleh masyarakat, karena konflik mempertegas

identitas-identitas dalam kelompok dan membentuk dasar stratifikasi

sosial. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa


44

individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut

diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat

istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri

individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar

dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak

pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok

masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan

hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.

Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.

Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi

yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Selain itu, Myers (2012 : 234-237) menyatakan bahwa konflik

senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang

ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang

diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Pernyataan Myers ini

hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh Coser (dikutip

Poloma, 1994 : 108) yang menyatakan bahwa;

“Konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-


tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-
sumber kekayaan yang dari persediaannya tidak mencukupi.
Perselisihan atau konflik dapat berlangsung antar individu,
kumpulan (Collectivities), atau antara individu dan kumpulan.
Bagaimanapun, konflik antar kelompok maupun intra
kelompok senantiasa ada ditempat orang hidup bersama. Konflik
juga merupakan unsur interaksi yang penting, dan sama sekali
tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau
memecah bela ataupun merusak. Konflik bisa saja
menyumbang banyak kepada kelestarian kelompok dan
mempererat hubungan antar anggotanya seperti menghadapi
musuh bersama dapat mengintegrasikan orang, menghasilkan
solidaritas dan keterlibatan, serta membuat orang lupa akan
45

perselisihan internal mereka sendiri.”

Konflik terjadi antar kelompok memperebutkan hal yang sama,

tetapi konflik akan menuju ke arah kesepakatan (consensus/integrasi).

Dengan demikian, konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di

masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.

Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Selain itu, masyarakat tak mungkin terintegrasi secara permanen dengan

mengandalkan kekuasaan dari paksaan dari kelompok yang dominan.

Sebaliknya, masyarakat yang terintegrasi atas dasar konsensus

sekalipun, tak mungkin bertahan secara permanen tanpa adanya

kekuasaan paksaan.

Konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan

sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan konflik. Pierre van den Berghe

(dikutip Ritzer, 1985 : 34) mengemukakan empat fungsi konflik yaitu :

1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas;

2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain;

3. Mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi;

4. Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin

tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi

dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan

kelompok tahu secara pasti dimana mereka berdiri dan karena itu

dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan

lebih tepat.

Jadi, konflik dan konsensus merupakan gejala-gejala yang


46

terelakkan dalam masyarakat. Ramlan Surbakti (1999 : 153) menyebutkan

bahwa masyarakat dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) tipe yaitu:

1. Masyarakat yang mapan; artinya masyarakat yang memiliki dan


mendayagunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam
konstitusi. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini
berupa konflik yang disalurkan melalui struktur kelembagaan,
sedangkan konflik yang negatif berupa tindakan yang menentang
struktur yang ada dan disalurkan melalui cara-cara diluar struktur
itu.
2. Masyarakat yang belum mapan; artinya masyarakat yang belum
memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh
dari seluruh masyarakat. Biasanya struktur kelembagaan yang
diatur dalam konstitusi selain tidak didukung oleh sebagian
masyarakat, juga belum berfungsi sebagaimana mestinya. Konflik
yang dianggap positif dalam masyarakat ini acap kali justru konflik
yang disalurkan melalui cara-cara diluar struktur kelembagaan
yang ada karena dianggap lebih efektif.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 disebutkan bahwa:

“Terjadinya konflik komunal tersebut, dapat bersumber dari


beberapa hal, meliputi: ideologi politik, ekonomi dan faktor
primordial yaitu berupa perseteruan antar umat beragama
dan/atau inter umat beragama, antar suku, dan antar etnis, serta
dapat juga dipicu dengan adanya sengketa batas wilayah desa,
kabupaten/kota, dan/atau provinsi, maupun sengketa sumber
daya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan
pelaku usaha.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Konflik dapat berupa

perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of

tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau

lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak,

sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu

sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan

dan tujuan masing-masing sehingga terjadi kekerasan dalam konflik

tersebut. Hal ini sesuai dengan teori perilaku kolektif dari Neil J.

Smelser (1965: 15-17) yang menjelaskan tahap-tahap terjadinya


47

kekerasan massa. Menurutnya, ada enam tahapan yang menyertai

munculnya kekerasan dalam Konflik Sosial di Masyarakat, yaitu:

1. Structural Conduciveness.
“Social situations that allow riots or violence to arise due to certain social
structures, such as the absence of clear channels of information in
society, the absence of media to express aspirations, and
communication between them.”

2. Structural Strain
“conditions because a large number of community members feel that
many values and norms have been violated.”
3. Growth of a generalized belief. “The target of this hatred is related
to trigger factors, namely certain events that initiate or trigger a
riot.”
4. Precipitating Factors (Faktor Pemicu). “This stage shows the
existence of a certain event that can accelerate and inflame the
appearance of the Mob ((a large crowd of people). This stage can
be stated as the stage that triggers the appearance of a Mob.”
5. Mobilization to Action (Mobilisasi massa untuk beraksi). “There is
real action from the masses and organizing themselves to act.
This stage is the final stage of accumulation that allows the
outbreak of mass violence. The target of this action can be aimed
at those who trigger riots or on the other hand can be vented on
other objects that have nothing to do with the other party.”
6. Social Control (Kontrol sosial). “Ability of security forces and
officers to control the situation and hinder riots. The stronger the
social control, the less likely it is for riots to occur.”

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menggunakan teori

perilaku kolektif dari Smelser ini sebagai pisau analisis dalam menjelaskan

konflik yang terjadi antara suku antara Hosea Ongomang dan Atimus

Komangal di Kabupaten Mimika beserta penanganannya.

2.3 Kerangka Berpikir

Persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi masalah

yang sangat krusial seiring dengan terlaksananya Reformasi yang memicu

dibukanya iklim kebebasan publik dan terkesan adanya titik balik di semua

aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama menyangkut aspek


48

politik, ekonomi dan sosial. Kondisi tersebut telah mendorong setiap orang

untuk berlomba menyampaikan hak, kepentingan maupun aspirasinya

masing-masing, namun demikian dalam penyampaiannya kerap kurang

memperdulikan kepentingan pihak lain.

Ketidakpedulian dan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang

telah digariskan, memicu berbagai pertentangan yang menjurus kepada

konflik sosial antar kelompok masyarakat. Konflik sosial merupakan konflik

yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan sosial dari pihak yang

berkonflik. Konflik sosial adalah sebagai suatu proses sosial antara dua

pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain

dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Latar

belakang adanya konflik adalah adanya perbedaan yang sulit ditemukan

kesamaannya atau didamaikan baik itu perbedaan kepandaian, ciri fisik,

pengetahuan, keyakinan, dan adat istiadat. Konflik sosial ini dapat

dibedakan menjadi konflik: Konflik sosial vertikal, Konflik sosial horizontal.

Contohnya: konflik antar orang kaya dengan orang miskin, konflik antara

bangsa penjajah dengan bangsa terjajah, dan sebagainya. Konflik antar

kelas sosial ini harus segera diatasi agar tidak meluas menjadi kerusuhan

sosial yang mengancam disintegrasi sosial.

Peristiwa konflik antar suku sebagai salah satu bentuk konflik

komunal tersebut merupakan salah satu bentuk gangguan Kamtibmas

yang mempunyai bobot tinggi, baik akibat yang ditimbulkannya dapat

memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh sebab itu Polri sebagai alat
49

negara penegak Hukum, pelindung dan pengayom masyarakat perlu

melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi konflik antar suku.

Konflik antar suku adalah merupakan konflik yang sifatnya

endemik yang sewaktu-waktu bisa muncul hal tersebut harus diantisipasi

oleh Polri agar konflik tersebut tidak terjadi, strategi yang perlu diwujudkan

yaitu melalui pola tindakan preemtif, preventif dan represif. Sebagian

besar konflik antar suku yang terjadi termasuk konflik antara kelompok

Hosea Ongomong dan Atimus Komangal di Kabupaten Mimika, bermula

dari munculnya rasa ketidakpuasan yang dialami oleh kelompok

masyarakat/etnis atas perlakuannya kelompok lainnya.

Konflik yang terjadi tersebut, selain telah berdampak secara

psikologis terhadap timbulnya ketakutan dan ketidaknyamanan

masyarakat dalam menjalankan kehidupannya berdampak pada

terganggunya produktivitas masyarakat, juga telah menimbulkan berbagai

kerugian materil serta non material seperti halnya perusakan rumah dan

infrastruktur masyarakat serta fasilitas-fasilitas publik, adanya peningkatan

pengungsi hingga timbulnya korban jiwa.

Upaya Polres Mimika dalam rangka penanganan konflik perang

suku antara kelompok Hosea Ongomong dan Atimus Komangal di

Kabupaten Mimika berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 tahun

2012 tentang penanganan konflik sosial mengamanatkan bahwa

penanganan konflik sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat

keamanan semata yang dalam hal ini adalah Polri. Namun juga menjadi

tanggung jawab bersama antara Pemerintah, instansi terkait dan


50

masyarakat. Undang-Undang ini juga mengedepankan penanganan

konflik bukan hanya melalui pendekatan keamanan, namun lebih jauh

melalui pendekatan yang bersifat terpadu dengan melibatkan seluruh

kepentingan, dimulai dari tahap pencegahan, penghentian dan pemulihan

konflik.

Pada tahap pencegahan, upaya yang dilakukan adalah dengan

mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai

meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini. Pada

tahap penghentian, dilakukan melalui upaya penghentian kekerasan fisik,

penetapan status keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan

perlindungan korban serta bantuan penggunaan dan pengerahan

kekuatan TNI. Salah satu proses penghentian konflik dalam penerapan

pemolisiannya telah melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat

setempat (masyarakat adat) dalam penanganan konfliknya. Hal ini terlihat

dari adanya prosesi adat patah panah. Sementara pada tahap pemulihan

konflik dilakukan melalui upaya rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Terkait dalam pemulihan konflik pada kasus perang suku antara kelompok

Hosea Ongomong dan Atimus Komangal ini belum dilaksanakan karena

belum dilaksanakan bakar batu.

Dengan demikian, dalam pemecahan masalah terkait konflik

perang suku ini, Polres Mimika tidak dapat menyelesaikannya sendiri.

Semendawai (dikutip Karnavian dan Sulistyo , 2017 : 285) menyatakan

bahwa pemolisian modern di era reformasi lebih memberdayakan

partisipasi warga. Dengan demikian, dibutuhkan kohesivitas polisi dan


51

masyarakat dengan membangun kemitraan untuk mewujudkan keamanan

di masyarakat.

Anneke Osse (2012 : 42) menyatakan bahwa :

“The term policing is used with many different meanings in mind;


most notably it is referred to as the process of ‘ensuring
compliance with the law’ in all its aspects. It should be apparent
that ensuring such compliance can never be achieved by the
police alone. Policing may indeed encompass more agencies and
entities than just the police and is sometimes even taken as a
social process involving civil society at large rather than a
professional duty carried out by a State agency.”

Kemudian Lukic (2014 :9) menambahkan bahwa: “At a local level

–the establishment of space and mechanisms for cooperation between the

police and local leaders will provide models of community policing and

effective security.”

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa dalam praktek

penanganan konflik ini, dibutuhkan suatu kerjasama dengan lembaga

terkait dan masyarakat agar dalam proses pemolisiannya dapat berjalan

efektif. Mengingat kompleksitas permasalahan konflik komunal begitu

luas, maka Polres Mimika perlu menjalin kemitraan dengan melibatkan

berbagai pihak terkait, baik lembaga pemerintah, non pemerintah maupun

dengan segenap komponen masyarakat khususnya dengan pemuka-

pemuka adat yang terlibat dalam konflik dan juga melibatkan organisasi,

lembaga, instansi, dan/atau tokoh masyarakat bahkan hingga pemuda,

remaja dan segenap komponen masyarakat lainnya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Lukic (2014 : 3) bahwa:

“interaction between the police and communities’ and considers


community policing as a potentially important tool through which to
improve police-community relations, develop a model of
52

interaction between the state and traditional leaders, strengthen


accountability of the police to the citizens, and generally improve
the safety and security environment.”

Trojanowicz & Bucqueroux (dikutip Coquilhat, 2008 : 24) berkata:

“Together, police and the community can explore creative new


solutions to community concerns as well as introduce individuals
and groups to public and private agencies that have offered to
assist.”
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa dalam pemolisian

masyarakat, masyarakat merupakan mitra polisi dan diajak turut

mengidentifikasi masalah gangguan keamanan dengan melibatkan semua

elemen masyarakat dalam mencari solusi untuk masalah. Sehingga

partisipasi dan keterlibatan masyarakat merupakan suatu hal yang

penting.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Fenomena
Perang suku antara kelompok
Atimus Komangal dan kelompok
Hosea Ongomong POLRES MIMIKA

PENGHENTIAN
(REACTIVE POLICING)

KONFLIK PEMULIHAN
PERANG SUKU PASCA KONFLIK
PENCEGAHAN (PROACTIVE
(COMMUNITY POLICING)
POLICING) TEORI PERILAKU KOLEKTIF NEIL
J. SMELSER

STRUCTURAL STRUKTURAL STRAIN


CONDUCIVENESS
PARTISIPASI
GROWTH OF A PRECIPIATING FACTORS
MASYARAKAT GENERALIZED BELIEF

MOBILIZATION SOCIAL
KEMITRAAN TO ACTION CONTROL
SEJAJAR
53

PEMECAHAN SELESAINYA
MASALAH KONFIK
PERANG SUKU

KEAMANAN &
Sumber : diolah penulis
KETERTIBAN
MASYARAKAT

Anda mungkin juga menyukai