Anda di halaman 1dari 318

Bunga Rampai

Forum Peneliti Muda Indonesia


2017
i

Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017


Diterbirkan di Bandung oleh
Penerbit ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung
Anggota Ikapi No. 043/JBA (1)
Telp: 022-2504257, Faks: 022-2534155
Email: itbpress@penerbit.itb.ac.id

ISBN 978-602-5417-37-5

Editor Utama: Ketut Wikantika


Editor: Farah Nafisa Ariadji dan Prila Ayu Dwi Prastiwi
Penelaah Makalah: Ketut Wikantika, Fenny M. Dwivany, Deni Suwardhi, Neni Nurainy,
Topik Hidayat, Novriana Sumarti, Karlia Meitha, Sastia Prama Putri, Husna Nugrahapraja,
Intan Muchtadi-Alamsyah
Desain Sampul: Tombayu Amadeo Hidayat
Cetakan Pertama: Oktober 2017

Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND)


http://www.formind.or.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak
Sebagaian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA


1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran. Hak Cipta dan Hak Terkait
sebagaimana pada ayat(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 ii

Kata Pengantar
Setiap tanggal 28 Oktober, Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND) melaksanakan
kegiatan pertemuan tahunannya. Tahun 2017 ini, kegiatan ForMIND dipusatkan di
Sorong, Papua Barat. Adalah sebuah hal yang sangat menyenangkan akhirnya
kegiatan ForMIND dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia Timur, di Tanah Papua.
Kegiatan ForMIND tahun 2017 agak berbeda dengan kegiatan sebelumnya karena
diisi dengan pelaksanaan International Conference bekerjasama dengan Center for
Remote Sensing (CRS) dan Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains
Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung (ITB). Selain itu kegiatan rutin yang dilakukan adalah penerbitan Buku
Bunga Rampai ForMIND.
Untuk penerbitan tahun 2017 ini kontribusi penulis dari berbagai lembaga dan
perguruan tinggi semakin beragam yang berasal dari dalam dan luar negeri. Para
penulis berasal dari lembaga riset seperti Biofarma, perguruan tinggi selain ITB yang
berpartisipasi adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjajaran,
Universitas Riau, Universitas Yasri, UIN Ar-Raniry, Universitas Hasanuddin.
Sedangkan dari luar negeri adalah Universitas Osaka (Jepang) dan Universitas
Strasbourg (Perancis). Bidang ilmu dalam makalah juga semakin beragam mulai dari
bidang kesehatan, biologi, geomatika, penginderaan jauh, lingkungan, biodiversitas,
farmasi bahkan rekayasa keuangan dan sosial-politik. Ini menunjukkan bahwa buku
Bunga Rampai ForMIND menunjukkan identitasnya sebagai salah satu sumber
alternatif referensi berbagai macam bidang keilmuan dan aplikasinya saat kini dan ke
depan di Indonesia. Paling lambat tahun depan, diharapkan para penulis bisa
bekerjasama dalam melakukan riset dan selanjutnya dapat berkontribusi makalah
yang menunjukkan hasil dari kerjasama riset tersebut.
Kami ucapkan terimakasih banyak kepada semua para kontributor atas makalahnya,
para reviewer, dan para editor sehingga Buku Bunga Rampai ForMIND dapat
diterbitkan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Sekali lagi kami
mengundang partisipasi rekan-rekan semua, para peneliti untuk menyumbangkan
makalahnya pada penerbitan Buku Bunga Rampai tahun 2018. Semoga buku ini
memberi manfaat kepada para insan peneliti, pendidik, praktisi, pemerintah, lembaga
lain serta industri khususnya yang ada di Indonesia.
Bandung, 28 Oktober 2017

Ketut Wikantika
Editor Utama
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 iv

Daftar Isi

Review Article
Pentingnya Data Pisang Indonesia ................................................................ 1
Long noncoding RNA (lncRNA) pada Tumbuhan .......................................... 8
Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Tanaman ............................. 24
Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Pangan dan Mikrobiologi ... 39
Analisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan Teknologi
STeP (Sub-Terrain Prospecting) (Studi Kasus: Blok Lampung) .................. 50
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan Minyak dan Gas Bumi
................................................................................................................... 67

Article
Penerapan Real Option Analysis dengan Perubahan Volatilitas dalam
Menentukan Nilai Proyek Pertambangan .................................................... 97
Penentuan Porsi dalam Skema Profit-Loss Sharing Investasi Syariah ........ 113
Resonansi: Suatu Perspektif Dalam Kajian Gerakan Politik-Keagamaan
Ikhwanul Muslimin Di Indonesia .............................................................. 123
Kajian Faktor Kesiapan Lingkungan Dalam Rangka Peningkatan
Implementasi E-Goverment Indonesia Yang Lebih Baik ........................... 146
Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Ekstrak Metanol Daun
Kemangi (Ocimum Citriodorum) .............................................................. 157
Pengembangan Vaksin Hepatitis B Generasi Ke Tiga dan Vaksin Terapi
Berbasis Protein Rekombinan Subunit Indonesia ...................................... 169
Polimorfisme Gen N-Asetiltransferase 2 (NAT2) dan Implementasi
Farmakogenomik dalam pengobatan Tuberkulosis .................................... 184
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Batang Tumbuhan Sarang
Semut (Myrmecodia Pendens Merr. & L. M. Perry) Terhadap Pseudomonas
Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus ................................................... 194
Aplikasi Smartphone dalam Pembelajaran Biologi.................................... 205
Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan .............. 214
Pemetaan Bangunan Tiga Dimensi Untuk Pemodelan Jalur Evakuasi Darurat
................................................................................................................. 222
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 v

Teknik Pencocokan Citra dalam Fotogrametri untuk Dokumentasi Cagar


Budaya ..................................................................................................... 241
Pemanfaatan Teknologi Light Detection And Ranging (Lidar) Dalam
Pemodelan Banjir Akibat Luapan Air Sungai ............................................ 260
Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode Object Based
Image Analysist(OBIA) (Studi Kasus: Pidie Jaya, Aceh) ........................... 277
Identifikasi dan Estimasi Biomassa Hutan Mangrove dengan Menggunakan
Citra Landsat (Studi Kasus : Kabupaten Subang, Jawa Barat) ................... 294
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 1

Review Article

Pentingnya Data Pisang Indonesia


Fenny Dwivany dan Anniza Nurrahmah
ForMIND Institute
Bali International Research Center for Banana (BIRCB)
Banana Group, InstitutTeknologi Bandung
e-mail: fenny@sith.itb.ac.id

Abstrak
Indonesia tidak hanya kaya akan keragaman pisang namun juga menjadi pusat penyebaran
pisang. Produksi pisang di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Namun
dari hasil produksi yang besar, 90% hasil produksi baru dimanfaatkan di skala nasional saja.
Selain tingkat kualitas pisang dari hulu ke hilir, salah satu faktor yang menyebabkan ekspor
pisang dari Indonesia kecil adalah tidak tersedianya data komprehensif mengenai pisang-
pisang Indonesia. Data komprehensif yang lengkap, melingkupi data biologis, molekuler,
biogeografi, dan etnobotani pisang yang terangkum dalam suatu wadah akan memudahkan
peneliti atau petani pisang untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Data-data yang
terkumpul dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensial buah pisang. Salah satu
studi yang tengah berkembang adalah studi tentang nutrigenomik dan nutrigenetik. Studi
nutrigenetik dan nutrigenomik memanfaatkan informasi-informasi molekuler dan omics
buah pisang yang telah dikumpulkan untuk dikembangkan menjadi suatu penemuan yang
dapat bermanfaat, terutama yang berhubungan dengan ilmu gizi dan industri makanan con-
tohnya seperti, personalized diet. Saat ini baru terdapat dua situs yang memiliki arsip geraga-
man genetik pisang yaitu The Banana Genome Hub dan MusaNet. Aliansi peneliti pisang di
Indonesia yang tergabung dalam “Bali International Research Center of Banana”
(www.big.or.id) telah mengumpulkan data pisang Indonesia. Data pisang Indonesia diharap-
kan membantu perkembangan industri pangan berbasis pisang, agroindustri, industri kreatif,
dan produk-produk berbasis pisang Indonesia. Diharapkan kedepannya, dengan data yang
telah dikumpulkan, seluruh bagian tanaman pisang Indonesia dapat dijadikan suatu produk
yang bermanfaat bagi masyarakat luas, sekaligus mendukung perekonomian Indonesia.
Kata kunci: pisang, Indonesia, big data, omics, nutrigenetik, nutrigenomik

Abstract
Indonesia is not only rich in banana diversity, but also is a center of banana’s distribution.
Banana production in Indonesia is one of the largest in the world. However, 90% of the
products are used on national scale only. In addition to the quality of bananas from every
2 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

level of distribution, one of the factors affecting the numbers of exported banana in Indone-
sia is the unavailability of comprehensive data on Indonesia bananas. The comprehensive
data, encompassing biological, molecular, omics, biogeographic, and ethnobotany aspect
summarized in a vessel, will allow researcher or banana farmers to obtain the required data.
The collected data can be utilized to maximize the potential of Indonesia bananas. The study
of nutrigenetics and nutrigenomics become very popular nowadays. These studies utilize the
molecular and omics information of bananas, that have been collected to be developed into
useful inventions, particularly those related to nutritional science and the food industry, such
as personalized diet. Currently, there are only two sites that contain the genetic information
about bananas in this world. Those are The Banana Genome Hub and MusaNet. Alliance of
banana researchers in Indonesia incorporated in the “Bali International Research Center
of Banana” (www.big.or.id). They have collected data on Indonesian bananas from all over
Indonesia. These data is expected to help the development of the banana-based food indus-
try, agroindustry, creative industries, and other Indonesian banana-based products. Hope-
fully in the future, with these data collected, all parts of Indonesia banana plant become
useful products for the community, and also supporting the Indonesia economy.
Keywords: banana, Indonesia, big data, omics, nutrigenetics, nutrigenomics

1. PENDAHULUAN
Indonesia tidak hanya kaya akan keragaman pisang namun juga menjadi pusat penyebaran
pisang (De Langhe et al., 2009). Hampir seluruh jenis pisang yang dapat dimakan berasal
dari dua spesies pisang yang liar, yaitu M. Acuminata dan M. balbisiana. M. acuminata per-
tama kali didomestikasi di dataran rendah di area timur Indonesia dan Papua Nugini, sekitar
5000 SM. Pisang-pisang tersebut kemudian mengalami hibridisasi dengan spesies M. acu-
minata dan M. balbisiana dari beragam daerah di Asia Tenggara dan Melanesia,
menghasilkan beragam kultivar diploid dan triploid yang dapat ditemukan saat ini.
Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 1000 kultivar pisang yang tersebar di seluruh daerah
di Indonesia. Saat ini baru 300 kultivar pisang yang telah berhasil diidentifikasi. Berdasarkan
data dari Dinas Pertanian, produksi pisang tersebar dari barat sampai timur Indonesia dan
Indonesia termasuk salah satu penghasil buah pisang terbesar di dunia. Namun, dari hasil
produksi pisang Indonesia, hanya 10% yang dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor, se-
dangkan 90% lainnya hanya digunakan sebagai komoditas dalam negeri saja (Nury-
ati&Noviati, 2014).
Banyak faktor yang menyebabkan produksi pisang di Indonesia yang besar tidak sebanding
dengan daya ekspornya. Selain kualitas pisang dari hulu ke hilir, penyebab lainnya adalah
tidak tersedianya data komprehensif mengenai pisang yang dapat digunakan oleh petani,
pelaku agroindustri dan peneliti pisang. Data yang komprehensif dapat terdiri dari data bio-
geografi (daerah penyebaran pisang, habitat yang sesuai bagi berbagai jenis pisang), keraga-
man genetik dan manfaat pisang sebagai pangan fungsional, kegunaan untuk kepentingan
kegiatan adat dan budaya, serta kegunaan bagian pohon pisang selain buah pisang.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 3

2. DATA PISANG DAN APLIKASINYA


Pengetahuan dan penemuan tentang system biology yang berlandaskan Central dogma biol-
ogy kini semakin berkembang karena adanya teknologi Omics. Teknologi Omics yang mel-
ingkupi studi genomik, protemik, metabolomik, dan transkriptomik serta turunannya
menghasilkan data besar yang dapat mengungkapkan suatu dimensi baru informasi biologis
(Franklin & Vondriska, 2011).

Gambar 1. Hubungan antara Central Dogma Biology dan studi Omics


(Diadaptasi dari Patti, et al., 2012).
Hingga saat ini terdapat beberapa situs yang dikhususkan untuk menyimpan data keragaman
genetik pisang. Salah satunya adalah The Banana Genome Hub yang dikhususkan sebagai
basis data untuk data genetic dan genomik kultivar pisang. Data yang telah tersedia di arsip
ini adalah sekuens lengkap genom Musa, struktur gen, informasi mengenai produk gen, me-
tabolisme, famili gen, transkriptomik (ESTs, RNA-Seq), marker genetik (SSR, DArT,
SNPs), dan peta genetik. Pembuatan peta genetik dapat membantu peneliti untuk mengetahui
dan memberikan tanda pada gen-gen sebagai gen penanda yang dapat meningkatkan kualitas
panen. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk melakukan perbaikan genetik pisang me-
lalui persilangan maupun pembuatan tanaman transgenic (Mazur & Tingey, 1995).
Selain Banana Genome Hub, salah satu situs lain yang juga menyediakan akses ke data ge-
netik dan genomik Musa adalah MusaNet. MusaNet dibentuk untuk memberi wadah ker-
jasama antara peneliti dari seluruh dunia dan meningkatkan pemanfaatan sumber daya ge-
netik Musa secara global. Situs ini dibuat agar para peneliti pisang dapat mengakses data
genetik dan genomik yang telah tersedia pada situs ini
(https://sites.google.com/a/cgxchange.org/musanet/home). Aplikasi data genom pisang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai studi, antara lain biokonservasi dan perbaikan genetik
pisang melalui persilangan. Selain itu, studi yang terkait dapat pula difokuskan untuk
mempelajari hubungan nutrisi pisang dengan kesehatan manusia.
Banyak aplikasi-aplikasi yang didapatkan dari data-data yang telah dikumpulkan, salah
satunya adalah rekonstruksi jalur metabolisme dari genom yang telah disekuensi. Penge-
tahuan tentang jalur metabolisme ini dapat melihat kemiripan antara satu spesies dengan
yang lain, sekaligus membuat gen penanda yang berpengaruh pada suatu sifat fisiologis pada
organisme (Ma & Zeng, 2003). Selain itu, pemetaan jalur metabolisme ini juga dapat mem-
bantu memberikan pemahaman pada penyakit yang mungkin menyerang organisme.
4 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Saat ini sudah berkembang studi nutrigenomik dan nutrigenetik yang merupakan multidi-
siplin ilmu antara lain ilmu gizi, bioinformatika, dan studi tentang omics. Dengan memahami
nutrigenomik dan nutrigenetik peneliti dapat memahami hubungan antara gen-gen manusia
dengan pola metabolism setiap individu dan hubungan nutrisi dalam suatu diet dengan ek-
spresi fungsi gen. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mendesain nutrisi personal (per-
sonalized diet) yang didasari oleh genotip setiap individu. Menurut Simopoulos dan Milner
(2010), studi tentang nutrigenomik telah banyak membantu proses penyembuhan dan pem-
ulihan berbagai penyakit, mulai dari obesitas, penyakit kardiovaskular, hingga kanker.
Buah pisang merupakan buah yang digemari oleh banyak orang dan juga memiliki kan-
dungan nutrisi yang lengkap. Dewasa ini masyarakat semakin peduli dengan makanan yang
mereka konsumsi. Hasil dari penelitian nutrigenomik pisang dapat memberikan beberapa
informasi yang dibutuhkan dalam ilmu gizi dan juga industri makanan untuk menentukan
jenis pisang yang paling sesuai untuk konsumennya. Panduan diet personal yang telah
disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu dapat membantu proses pemuli-
han serta menjaga kondisi kesehatan tubuh.
Menurut Farhud et al. (2010), nutrisi dan genom dapat berinteraksi pada dua tingkatan:
nutrisi dapat menginduksi ekspresi gen, sehingga dapat mengubah fenotip; sebaliknya, Sin-
gle Nucleotide Polymorphisme (SNP) dapat pula mengubah bioaktivitas jalur metabolism,
sehingga dapat mempengaruhi kemampuan nutrisi untuk bereaksi dengan metabolism terse-
but. Dengan adanya data omics, SNP yang terjadi pada genom pisang dapat diketahui, dan
datanya dapat diteliti lebih lanjut untuk pengetahuan nutigenetik dan nutrigenomik pisang.

Gambar 2. Interaksi antar gen dengan komponen makanan dapat berpengaruh pada kondisi
kesehatan dan nutrisi tubuh. (Diadaptasi dari Farhud et al., 2010)
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 5

2.1 Data Pisang Indonesia


Saat ini, data pisang Indonesia belum terintegrasi dan dikumpulkan oleh institusi yang ber-
beda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, aliansi peneliti pisang
Indonesia yang tergabung di “Bali International Research Center of Banana”
(www.big.or.id) telah mengumpulkan data pisang Indonesia menggunakan beberapa metode
diantaranya menggunakan studi biogeografi dan biodiversity menggunakan teknologi re-
mote sensing; teknologi genetika molekuler (contoh: NGS/next generation sequencing) un-
tuk mempelajari genom, ekspresi gen, nutrigenomik dan lain–lain; studi terkait desain kreatif
yang menggunakan pisang sebagai bahan dasar untuk produk olahan.
Data pisang Indonesia diharapkan dapat membantu perkembangan industri pangan berbasis
pisang, agroindustri, industri kreatif dan produk berbasis pisang lainnya yang lebih terarah
di seluruh Indonesia. Sebagai contoh produk turunan pisang yang dapat dimanfaatkan saat
ini yaitu pembuatan material peredam suara dari pelepah pisang yang selama ini belum di-
manfaatkan secara optimal (Permanasari et al., 2014). Pemanfaatan seluruh bagian tanaman
pisang dapat dimanfaatkan dalam upaya mengaplikasikan zero waste pada industri pisang
dan meningkatkan pendapatan Indonesia sebagai salah satu penghasil pisang terbesar di
dunia.
3. METODE
Metode yang akan digunakan untuk mengambil data pisang Indonesia diantaranya: teknologi
remote sensing untuk mengambil informasi mengenai suatu area atau objek dengan
menggunakan satelit atau pesawat tanpa awak. Data yang diambil dapat digunakan untuk
memperkirakan kondisi area di sekitar perkebunan pisang. Data genomik pisang didapatkan
dengan menggunakan metode next generation sequencing (NGS). NGS merupakan istilah
yang digunakan untuk menjelaskan gabungan metode-metode sekuensing dan profil genom
untuk mendapatkan data yang menyeluruh. Selain itu dilakukan pula wawancara kepada
penduduk lokal untuk mendapatkan data etnobotani pisang Indonesia.
4. PENUTUP
Buah pisang merupakan salah satu komoditas buah di Indonesia yang memiiki potensi untuk
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sayangnya hingga saat ini, buah pisang kebanyakan
hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kini
peneliti telah mampu mendapatkan banyak informasi genetik, omics dan molekuler dari
suatu organisme. Informasi tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut untuk mendapatkan suatu
pengetahuan baru tentang pisang-pisang Indonesia. Pengambilan big data pisang Indonesia
menjadi penting, karena dengan mengetahui data-data pisang Indonesia, peneliti pisang In-
donesia dapat memaksimalkan potensi pisang Indonesia, sekaligus menjaga keane-
karagaman pisang Indonesia.

DAFTAR REFERENSI
De Langhe, Edmond.,Vyrdaghs, Luc., de Maret, Pierre., Denham, Tim. (2009). Why Bananas Matter:
An introduction to the history of banana domestication. Ethnobotany Research and Applica-
tions.7: 165-177.
6 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Farhud, DD., Yeganeh, M. Zarif. (2010). Nutrigenomics and Nutrigenetics. Iran J. Public Health.
39(4):1-14.
Franklin, Sarah. Vondriska, Thomas M. (2011). Genomes, Proteomes and the Cental Dogma.Circ.
Cardiovasc. Genet.4(5): 576.
Ma, Hongwu., Zeng, An-Ping. (2003). Reconstruction of metabolic networks from genome data and
analysis of their global structure for various organism. Bioinformatics. 19(2): 270-277.
Mazur, Barbara., Tingey, Scott V. (1995). Genetic mapping and introgression of genes of agronomic
importance. Current Biology. 6:175-182.
MusaNet. https://sites.google.com/a/cgxchange.org/musanet/home. Diakses pada September 2017.
Nuryanti, L., Novianti. (2014). Outlook Komoditi Pisang. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Sek-
ertariat Jenderal Kementrian Pertanian.
Patti, Gary.,Yanes, Oscar, dan Gary Siuzdak. (2012). Innovation: Metabolomics: the apogee of the
omics trilogy. Nature Reviews Molecular Cell Biology. 13: 263-269.
Permanasari, M.D., Larasati, D., Widiawati, D. (2014). Banana Bark as A Part of Acoustic Design
Unit by Hybrid Unit Technology Application. Journal of Visual Art and Design.6(2).
Simopoulos, A. & John Milner. (2010). Personalized Nutrition: Translating Nutrigenetic/Nutri-
genomic Research Into Dietary Guidelines. Karger: Switzerland.
The Banana Genome Hub.“Musa Genomes- Overview”. http://banana-genome-hub.southgreen.fr/or-
ganism/Musa/acuminata-ssp.-zebrina. Diakses pada September 2017

BIOGRAFI PENULIS
Fenny M. Dwivany, Ph.D
Fenny Dwivany menyelesaikan studi tingkat doctoral bidang
Biologi di The University of Melbourne pada tahun 2003. Saat
ini menjadi staf pengajar dan peneliti di Sekolah Ilmu dan
Teknologi Hayati (SITH) InstitutTeknologi Bandung (ITB)
Selain itu, bersama Banana Group (www.thebananagroup.org)
dan Bali Internasional Research Center for Banana (BIRCB)
aktif melakukan riset dengan pisang sebagai model. Riset yang
dilakukan antara lain studi penyakit dan pematangan buah
menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu antara lain bio-
geografi dan biodiversitas, genetika, fisiologi tanaman, space
biology, material sains, dan desain produk. Tim risetnya terli-
bat riset Space biology sejak 2017 bersama LAPAN, Indone-
sia dan JAXA, Jepang. Pada tahun 2011 tim ini berhasil mengirimkan biji tomat Indonesia
ke stasiun luar angkasa (ISS) dan meneliti pertumbuhan tanaman tomat sebagai eksperimen
space biology pertama di Indonesia. Kecintaannya terhadap penelitian menjadikan Fenny
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 7

sebagai salah satu pendiri Forum Peneliti Muda Indonesia (ForMIND: www.formind.or.id).
Beberapa penghargaan terpenting yang diterima yaitu Bogasari Riset Nugraha 2004, Inter-
national Unesco-L’Oreal for Women in Science Fellowship (2007), Australian Endeavour
Award (2010) dan Schlumberger Faculty for the Future Award (2011), penghargaan Riset
dan Teknologi 2012 dari Kementrian Ristek, Karya Inovasi 2015 dari Institut Teknologi
Bandung, Inspiring Woman Indonesia dari Femina, CLARA magazine, TEMPO, NOVA
dan CLARA magazine.

Anniza Nurrahmah
Anniza Nurrahmah menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang
biologi di Institut Teknologi Bandung pada tahun 2017. Saat ini
menjadi asisten riset di Banana Group ITB (www.thebanana-
group.org). Semasa kuliah sempat bergabung dengan tim asisten
praktikum Genetika dan aktif di Himpunan Mahasiswa Biologi
ITB “Nymphaea”. Pada tahun 2017, menjadi pembicara pada
Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni yang
diselenggarakan oleh LPPM ITB.
8 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article

Long noncoding RNA (lncRNA) pada Tumbuhan


Muhammad Mar'i Ma'ruf 1,2 dan Husna Nugrahapraja 1,2*
1
Banana Research Group, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi
Bandung
2
ForMIND Institute, Bandung 40135
email : 1muhammadmarimaruf@gmail.com, 2nugrahapraja@sith.itb.ac.id

Abstrak

Dogma sentral biologi molekuler yang diawali dari penemuan DNA pada tahun 1970
membuka pemahaman keilmuan bahwa sel pada makhluk hidup dapat dianalisis pada
mekanisme transkripsi RNA dan translasi protein. Meskipun demikian, perkem-
bangan teknologi genom menunjukkan bahwa mekanisme molekuler tidak hanya
ditentukan dari protein yang dihasilkan, namun dipengaruhi juga oleh molekul RNA
lainnya yang disebut sebagai non-coding RNA. Non-coding RNA telah dideskripsikan
sebagai molekul RNA yang dihasilkan oleh mesin transkripsi namun tidak melalui
proses translasi. Molekul RNA tersebut termasuk small nuclear RNA (snRNA),
snoRNA (tRNA dan rRNA), small RNA (miRNA, piRNA dan siRNA), serta long-
non coding RNA (lncRNA). Secara khusus, banyak penelitian sekarang ini yang
difokuskan pada lncRNA. Pada awalnya, lncRNA dikatakan sebagai suatu “black
matter” di dalam sel karena fungsinya masih belum diketahui. Studi lebih lanjut
menyatakan bahwa lncRNA banyak terlibat dalam meregulasi proses biologis, seperti
siklus sel, transkripsi, post-transkripsi, dan translasi. Karakteristik utama dari lncRNA
yang membedakannya dengan RNA lainnya adalah lncRNA memiliki panjang lebih
dari 200 bp, tidak mengodekan suatu protein dan memiliki open reading frame (ORF)
yang sangat pendek. Jika dibandingkan dengan small RNA dan gen pengkode protein,
sekuen lncRNA bersifat tidak lestari. Pada tumbuhan, lncRNA pada tumbuhan telah
diketahui berasosiasi dengan beberapa mekanisme fisiologis tumbuhan, diantaranya
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 9

lncRNA berhubungan dengan stres biotik dan abiotik serta penyakit pada tumbuhan.
Diskursus mengenai pengaruh fungsi lncRNA terhadap mekanisme regulasi ekspresi
gen pada tumbuhan dibahas secara umum.

Kata kunci: long non-coding RNA (lncRNA), mekanisme molekuler, tumbuhan,


regulasi ekspresi gen.

Abstract

The discovery of DNA molecule in 1970 followed by the central dogma of molecular
biology opened the scientific understanding that cells in living things can be analyzed
in RNA and protein level. Nevertheless, the development of genome project demon-
strated that molecular mechanisms not only determined by protein, but also influ-
enced by other RNA molecules so called non-coding RNA. Non-coding RNA has been
described as an RNA molecule produced by a transcription machinery but not trans-
lated into proteins. Those RNA molecules include small nuclear RNA (snRNA),
snoRNA (tRNA and rRNA), small RNA (miRNA, piRNA and siRNA), and long-non
coding RNA (lncRNA). Currently, many researches focusing on lncRNA. In the begin-
ning, lncRNA was mentioned as a black matter in the cell due to unknown function.
Further studies suggesting lncRNA is involves in many biological processes, such as
cell cycle, transcription, post-transcription, translation and post-translation. lncRNA
can be distinguished from other non-coding RNAs because encode more than 200 nt
in length, and has short open reading frame (ORF). Compared with small RNA and
protein-coding genes, lncRNA sequences are less conserved. In plants, lncRNAs have
been associated with several plant physiological mechanisms, such as plant disease,
biotic and abiotic stresses. Here, we described the effect of lncRNA function on the
regulation of gene expression in plants.

Keywords: lncRNA, molecular mechanism, plant, regulation of gene expression

1. PENDAHULUAN

Penemuan molekul DNA pada tahun 1870 melalui penelitian yang dilakukan oleh
Frederich Miescher terkait susunan kimia dari nukleus sel dan kemudian disempur-
nakan oleh Watson-Crick (1953) dan Wilkins (1961) telah membuka pemahaman
10 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

terkait dogma central biologi molekuler. Dogma central dalam biologi molekuler
menjelaskan bagaimana suatu DNA menjadi RNA, dan RNA menjadi suatu protein.
Namun, perkembangan teknologi genom menunjukkan bahwa mekanisme molekuler
tidak hanya dtentukan dari protein yang dihasilkan, namun juga dipengaruhi oleh
molekul RNA lainnya. Molekul RNA dapat berupa coding RNA dan non-coding
RNA, yang ditentukan berdasarkan kemampuan mereka dalam menghasilkan suatu
protein dalam sel.

Genome eukariotik memiliki kompleksitas yang sangat tinggi dan dapat mentran-
skripsikan molekul RNA yang bervariasi dalam panjang, kelimpahan dan potensi un-
tuk menghasilkan protein. Molekul RNA dengan kelimpahan yang besar ini seringkali
disisipkan ataupun saling tumpang tindih dalam genome (Ponting et al., 2009). Aki-
batnya, sebagian besar dari kita hanya mengenal beberapa molekul RNA yang ikut
terlibat dan berperan dalam meregulasi ekspresi gen pada makhluk hidup, di antaranya
adalah messanger RNA (mRNA), transfer RNA (tRNA), ribosomal RNA (rRNA),
small nuclear RNA (snRNA), micro RNA (miRNA), dan small interfering RNA
(siRNA). Namun, dengan perkembangan teknologi sekuensing berbasis pengetahuan
bioinformatika melalui pendekatan cDNA/EST in silico, telah didefinisikan suatu
molekul RNA baru yang berperan sebagai molekul peregulasi dalam ekspresi gen,
yang dikenal sebagai long non-coding RNA (lncRNA) (Li et al., 2014). Teknologi ini
mampu mengidentifikasi sekitar 10.000 lncRNA pada manusia (Derrien et al., 2012),
23.324 lncRNA pada Medicago truncatula (Wang et al., 2015), 1565 kandidat lncRNA
pada tomat (Wang et al., 2015), 20.163 lncRNA pada jagung (Li et al., 2014) dan
2.224 lncRNA pada padi (Zhang et al., 2013).

2. DEFINISI, KARAKERISTIK DAN KLASIFIKASI lncRNA

lncRNA merupakan molekul RNA yang dihasilkan oleh mesin transkripsi RNA Pol II
dan kadang-kadang RNA Pol III untuk beberapa lncRNA baru (Dieci et al., 2007;
Zhang et al., 2013). Seperti halnya mRNA, lncRNA mengalami modifikasi pada
ujung- 5' dan poliadenilasi pada ujung-3'. Berbeda dengan mRNA, lncRNA masih
mengandung 40-50% intron dalam strukturnya dan biosintesisnya membutuhkan
faktor transkripsi, kompleks mediator dan faktor elongasi yang bersifat spesifik
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 11

(Guttman & Rinn, 2012; Liu et al., 2015). lncRNA yang ditranskripsikan oleh mesin
RNA Pol. II dan/atau RNA Pol. III memiliki karakteristik panjang lebih dari 200 bp,
mengandung sedikit/tidak sama sekali open reading frame (ORF), serta tidak
mengkodekan suatu protein (Ma et al., 2012; Li et al., 2014) . Selain itu, lncRNA
kurang lestari dalam sel makhluk hidup dan memilik eskpresi yang rendah jika
dibandingkan dengan RNA lainnya (Wang et al., 2015) .

lncRNA dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berdasarkan interaksi dan


orientasi mereka dengan gen pengode protein terdekat (Ponting et al., 2009), dian-
taranya 1) Sense/antisense, dimana lncRNA terletak pada untaian yang sama atau
berlawanan terhadap gen pengode protein terdekat; 2) Bidirectional, dimana lncRNA
dan gen pengode protein terdekat yang terletak pada untaian yang berlawanan, mulai
diekspresikan pada suatu “close genomic” terdekat, sehingga mereka diekspresikan
dalam dua arah yang berbeda; 3) Intronik/eksonik, dimana letak lncRNA berada pada
posisi intron atau ekson dari gen; 4) Overlapping, dimana lncRNA terletak pada dae-
rah yang tumpang tindih antara wilayah genik dan non-genik. Berdasarkan kelim-
pahannya (Gambar 1, Rulli, 2015), lncRNA banyak ditemukan di daerah Intergenik
(64%), Intronik (19%), Eksonik (16%), dan daerah Overlapping.
12 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Struktur genomik dan persentase lncRNA di dalam genom (Rulli,2015)

3. IDENTIFIKASI lncRNA PADA TUMBUHAN

lncRNA pada tumbuhan dapat dikatakan masih kurang terkarakterisasi jika dibanding-
kan dengan lncRNA yang telah teridentifikasi pada hewan. Teknologi sekuensing ber-
basis in silico telah mengidentifikasi beberapa jenis lncRNA yang terekspresi dan ikut
terlibat dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan. Tabel
1 berikut ini menunjukkan lncRNA yang telah teridentifikasi pada spesies tumbuhan.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 13

Tabel 1. lncRNA yang teridentifikasi pada spesies tumbuhan

No. Jenis lncRNA Spesies Referensi


1. GmENOD40 Glycine max (L.) Yang et al., 1993
2. MtENOD40 Medicago Crespi et al., 1994
3. TPS11 Solanum lycopersicum Liu et al., 1997
4. OsENOD40 Oryza sativa Kouchi et al., 1999
5. AtIPS1 Arabidopsis Martín et al., 2000; Franco-
Zorrilla et al., 2002
6. OsPI1 O. sativa Wasaki et al., 2003
7. COOLAIR Arabidopsis Swiezewski et al., 2009
8. COLDAIR Arabidopsis Heo & Sung, 2011
9. HvISP1 Hordeum spp. Huang et al., 2011
10. LDMAR O. sativa Ding et al., 2012; Zhou et al.,
2012
11. PlantNATsDB Ditemukan pada 70 spesies Chen et al., 2012
tumbuhan
12. PLncDB Arabidopsis thaliana Jin et al., 2013
13. NONCODE 2016 A. thaliana Zhao et al., 2016
14. PNRD A. thaliana, O. sativa, Populus Yi et al., 2015
trichocarpa, Zea mays
15. LncRNAdb v2.0 A. thaliana, O. sativa, Medicago Quek et al., 2015
truncatulas, Brassica rapa, G. max
16. PLNlncRbase Ditemukan pada 43 spesies Xuan et al., 2015
tumbuhan
17. GreeNC Ditemukan pada 37 spesies Paytuví Gallart et al., 2016
tumbuhan tingkat tinggi dan 6 alga
18. CANTATAdb Amborella trichopoda, A. thaliana, Szcześniak et al., 2016
Chlamydomona sreinhardtii, G.
max, O. sativa, Solanum tuberosum
20. DsTRD Salvia miltiorrhiza Shao et al., 2016

4. FUNGSI DAN MEKANISME KERJA lncRNA PADA TUMBUHAN

Pada awalnya, lncRNA dianggap sebagai materi gelap (dark matter) dalam sel ma-
khluk hidup. Hal ini disebabkan karena fungsi dan mekanisme kerja dari lncRNA baik
pada tumbuhan maupun hewan belum diketahui. Perkembangan dalam teknologi sek-
uensing berbasis in silico telah memberikan titik terang terkait fungsi lncRNA, dimana
lncRNA diketahui terlibat dalam berbagai proses biologis yang meliputi regulasi siklus
14 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

sel, transkripsi, pasca-transkripsi dan pasca-translasi (Kim & Sung, 2012). lncRNA
pada tumbuhan telah diketahui berfungsi dalam pembentukan nodul, perbungaan, ho-
meostasis pengambilan fosfat, resistensi terhadap penyakit, cekaman lingkungan dan
pertumbuhan dengan cara meregulasi ekspresi gen dan protein di dalam sel (Zhang et
al., 2013; Liu et al., 2015) .

4.1 lncRNA bertindak sebagai regulator transkripsi

lncRNA dapat berperan sebagai regulator transkripsi dengan beberapa cara, misal-
nya mendorong terjadinya dimerisasi, trimerisasi, fosforilasi serta lokalisasi faktor
transkripsi di nukleus, bertindak sebagai molekul aktivator/respresor dan meregu-
lasi modifikasi histon (Liu et al., 2015). lncRNA dapat bekerja pada level tran-
skripsi dengan cara membentuk suatu struktur RNA-DNA tripleks atau hibrid
DNA-RNA sehingga mendorong pembentukan ikatan yang lebih spesifik antara
faktor transkripsi dengan promotor untuk menginisiasi transkripsi. Pada Arabidop-
sis telah diketahui bahwa lncRNA dapat mengendalikan transkripsi dari beberapa
gen yang terlibat dalam perbungaan dengan cara membentuk hibrid DNA dan
struktur R-loop (DNA untai tunggal) dari DNA untai ganda pada promotor COO-
LAIR dari FLC (FLOWERING LOCUS). Struktur R-loop ini dapat berikatan
dengan faktor transkrips AtNDX dan menyebabkan penghambatan pada gen COO-
LAIR yang terlibat dalam perbungaan Arabidopsis (Sun et al., 2013).

Gambar 2. Sistem kerja lncRNA dalam meregulasi transkripsi (Liu et al., 2014)
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 15

4.2 lncRNA bertindak sebagai regulator pasca-transkripsi

Proses ekspresi gen tidak hanya bergantung terhadap dua proses utama, yaitu tran-
skripsi dan translasi, melainkan juga bergantung pada regulasi pasca-transkripsi
yang menentukan bagaimana pemrosesan RNA selanjutnya. lncRNA memiliki
peran sebagai regulator pasca transkripsi melalui regulasi pemrosesan RNA (Liu
et al., 2015). Dalam proses pematangan pre-mRNA menjadi mRNA, proses awal
yang terjadi adalah adanya 'alternative splicing', dimana intron akan dihilangkan
dalam struktur mRNA dan menyebabkan adanya celah (gap) diantara dua exon
(Lorković et al., 2000; Liu et al., 2015). Celah tersebut dapat menimbulkan masa-
lah pada ekspresi gen, sehingga lncRNA yang sebelumnya telah membentuk du-
plex akan harus mengestimasi dan menandai titik-titik antara dua exon tersebut
melalui sekuens komplemennya (Liu et al., 2015)(Liu et al., 2015). Sebagai con-
toh, lncRNA pada tumbuhan dapat memodulasi 'intron splicing' selama berlang-
sungnya pembentukan meristem lateral akar dengan cara berinteraksi dengan 'nu-
clear speckle RNA-binding protein (NSR)' yang berperan sebagai regulator untuk
'alternative splicing'. Berikut adalah gambaran bagaimana proses 'intron splicing'
yang terjadi pada Arabidopsis yang melibatkan interaksi antara ASCO-lncRNA
(alternative splicing competitor- lncRNA) dengan NSR, yang ditunjukkan pada
Gambar 3 (Bardou et al., 2014).

Gambar 3. Interaksi antara ASCO-lncRNA dengan NSR dalam pasca-transkripsi


(Bardou et al., 2014)
16 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.3 lncRNA bertindak sebagai mediator pasca-translasi

lncRNA menjalankan fungsinya sebagai mediator pasca-translasi dengan cara ber-


interaksi dengan RBP (RNA-binding protein) sehingga menyebabkan terjadinya
re-lokalisasi protein, modifikasi protein, dan adanya interaksi antar-protein (Yang
et al., 2011; Audas et al., 2012; Wang et al., 2014b, d, c,a). Pada tanaman kedelai
(Glycine max) dan Medicago sativa, telah diketahui bahwa lncRNA yang disebut
sebagai Enod40 terlibat dalam regulasi pasca-translasi. Hal ini dibuktikan kembali
pada tanaman Medicago truncatula, di mana Enod40 diketahui berinteraksi
dengan MtRBP1 (Medicago truncatula RNA-binding protein-1) dan menyebabkan
terjadinya re-lokalisasi protein MtRBP1 selama proses pembentukan nodul. Loka-
lisasi protein ini berlangsung dari nukleus menuju ke granula sitoplasma sel M.
truncatula (Zhu & Wang, 2012).

4.4 lncRNA berperan dalam menjaga homeostasis sel

Dalam menjaga homeostasis atau keseimbangan proses pertumbuhan, perkem-


bangan dan fisiologis sel, lncRNA akan berinteraksi dengan miRNA untuk
mencegah interaksi miRNA dengan target alaminya (Gupta, 2015). Pada dasarnya,
miRNA akan berinteraksi dengan target alaminya yang dapat berupa protein,
faktor transkripsi, mRNA atau pun suatu gen. Prinsip yang terlibat dalam fungsi
miRNA dan target nya adalah ketika terjadi sintesis miRNA dan terbentuk miRNA
matang, maka miRNA akan dimuat ke protein AGO (Argonout) untuk membentuk
RISC (RNA-induced silencing complex). Kemudian RISC akan berasosiasi dengan
target alaminya karena memiliki urutan basa yang cocok. Interaksi tersebut akan
menyebabkan degradasi atau inhibisi ekspresi pada targetnya. Ketika miRNA be-
rasosiasi dengan lncRNA maka lncRNA tidak terdegradasi atau terinhibisi karena
interaksi miRNA dan lncRNA akan membentuk suatu 'bulge' (mirip struktur hair-
pin) atau adanya mismatch. Impikasi dari interaksi antara miRNA dan lncRNA
adalah miRNA akan terekspresi pada tingkat yang rendah atau menghalangi
miRNA untuk berfungsi, sehingga target alami dari miRNA dapat melakukan
fungsinya (Gupta, 2015).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 17

Pada tumbuhan, fosfat merupakan makronutrien yang sangat esensial untuk per-
tumbuhan dan perkembangan. Namun, konsentrasi fosfat yang terlalu rendah atau
tinggi dapat menyebabkan masalah bagi tumbuhan tersebut. Oleh sebab itu, diper-
lukan adanya suatu mekanisme homeostasis fosfat itu sendiri. Pada beberapa spe-
sies tumbuhan, mekanisme homeostasis ini dilakukan dengan melibatkan peran
lncRNA dan miRNA. Ketika konsentrasi fosfat pada sistem pucuk tumbuhan san-
gat rendah, famili miRNA yang dikenal sebagai miR399 akan diinduksi oleh suatu
faktor transkripsi, PHR1, yang akan menyebabkan peningkatan ekspresi dari
miR399. Selanjutnya, miR399 akan mengalami re-lokalisasi ke bagian akar dan
menghambat atau mendegradasi gen PHO2 untuk meningkatkan konsentrasi fosfat
di pucuk. Peningkatan konsentrasi fosfat yang berlebihan dapat menimbulkan
pengaruh toksik bagi tumbuhan itu sendiri, sehingga lncRNA, yang dikenal se-
bagai IPS1 dan At4 akan berikatan dengan miR399. Interaksi ini akan menurunkan
ekspresi miR399 dan mengarahkan homeostasis fosfat pada sistem pucuk dan akar
(Gupta, 2015).

5. FUNGSI LAIN lncRNA DALAM RISET BOTANI

Penelitian tentang lncRNA masih sangat minim pada tumbuhan, sehingga hanya be-
berapa lncRNA yang telah dikarakterisasi dan diketahui fungsinya pada tumbuhan,
misalnya perkembangan serat pada Gossypium spp. (Wang et al., 2015b), stres os-
motik pada Medicago truncutula (Wang et al., 2015c), vernalisasi Arabidopsis (Liu
et al., 2015) dan resistensi penyakit TYLCV pada tomat (Wang et al., 2015a). Dalam
perkembangan serat pada Gossypium spp. diduga bahwa lncRNA meregulasi perkem-
bangan serabut serat dan serat halus dengan cara berikatan dengan miR397, yang me-
nyebabkan miR397 tidak dapat mendegradasi target alaminya, LAC4. Selanjutnya,
LAC4 yang tidak terdegradasi mendorong pembentukan lignin (lignifikasi) secara
kontinu dan menghasilkan akumulasi lignin yang berperan dalam terbentuknya serat
pada kapas (Wang et al., 2015a).

Pada stres osmotik yang dialami Medicago truncatula, diketahui bahwa lncRNA akan
meregulasi 13 gen pengode protein yang terlibat dalam reaksi redoks, transkripsi,
pensinyalan, dan sintesis energi ketika terjadi stres garam pada daun M. truncatula.
18 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sedangkan, ketika terjadi stres osmotik pada akar, lncRNA akan berperan sebagai reg-
ulator dari sitokrom450, sehingga terjadi regulasi protein transmembran (Wang et al.,
2015c). Pada vernalisasi Arabidopsis, lncRNA yang disebut sebagai COOLAIR dan
COLDAIR yang dihasilkan secara independen pada daerah intronik FLC (FLOWER-
ING LOCUS C), berperan dalam modifikasi histon. Hal ini berasosiasi dengan
keadaan represi dan aktivasi dari FLC. Ketika histon H3 lisin 9 dan histon H3 lisin 27
diregulasi, maka akan berasosiasi dengan represi expresi LFC. Sedangkan ketika his-
ton H3 lisin 4 dan histon H3 lisin 36 ada, maka secara positif akan berasosiasi dengan
aktivasi ekpresi FLC (Liu et al., 2015).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wang et al., (2015a), terkait pengaruh lncRNA
pada tanaman tomat yang terserang TYLCV (tomato yellow leaf curl virus), ternyata
lncRNA yang disebut sebagai slylnc0049 memiliki eskpresi yang signifikan dan
selalu “upragulated” ketika tanaman tomat terinfeksi TYLCV. Kemudian Wang et
al., (2015a) mengonfirmasi fungsi lncRNA tersebut dengan menyisipkan fragmen sly-
lnc0049 ke dalam vektor TRV2 dan mentransfromasikannya dengan teknik agroinfil-
trasi pada tumbuhan yang terinfeksi TYLCV. Hasilnya adalah akumulasi virus TY-
LCV akan meningkat ketika terjadi pembungkaman (silencing) pada tomat yang ter-
infeksi. Artinya, lncRNA slylnc0049 ikut terlibat dalam infeksi TYLCV (Wang et al.,
2015a).

6. KESIMPULAN

Long non coding RNA merupakan molekul RNA dengan panjang lebih dari 200 bp
dan tidak mengodekan suatu protein, namun memiliki pengaruh dalam berbagai
proses biologis tumbuhan, termasuk transkripsi, post-transkripsi, translasi, homeosta-
sis sel , dan fisiologis sel tumbuhan itu sendiri

DAFTAR REFERENSI

Audas TE, Jacob MD, Lee S. 2012. Immobilization of proteins in the nucleolus by ribosomal
intergenic spacer noncoding RNA. Molecular cell 45: 147–57.

Bardou F, Ariel F, Simpson CG, Romero-Barrios N, Laporte P, Balzergue S, Brown JWS,


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 19

Crespi M. 2014. Long noncoding RNA modulates alternative splicing regulators in Ara-
bidopsis. Developmental cell 30: 166–76.

Chen D, Yuan C, Zhang J, Zhang Z, Bai L, Meng Y, Chen L-L, Chen M. 2012. PlantNATsDB:
a comprehensive database of plant natural antisense transcripts. Nucleic Acids Research
40: D1187–D1193.

Crespi MD, Jurkevitch E, Poiret M, D’Aubenton-Carafa Y, Petrovics G, Kondorosi E, Kon-


dorosi A. 1994. enod40, a gene expressed during nodule organogenesis, codes for a non-
translatable RNA involved in plant growth. The EMBO journal 13: 5099–112.

Dieci G, Fiorino G, Castelnuovo M, Teichmann M, Pagano A. 2007. The expanding RNA


polymerase III transcriptome. Trends in genetics : TIG 23: 614–22.

Ding J, Lu Q, Ouyang Y, Mao H, Zhang P, Yao J, Xu C, Li X, Xiao J, Zhang Q. 2012. A long


noncoding RNA regulates photoperiod-sensitive male sterility, an essential component of
hybrid rice. Proceedings of the National Academy of Sciences 109: 2654–2659.

Franco-Zorrilla JM, Martin AC, Solano R, Rubio V, Leyva A, Paz-Ares J. 2002. Mutations at
CRE1 impair cytokinin-induced repression of phosphate starvation responses in Arabidop-
sis. The Plant journal : for cell and molecular biology 32: 353–60.

Gupta PK. 2015. MicroRNAs and target mimics for crop improvement. Current Science 108:
1624–1633.

Guttman M, Rinn JL. 2012. Modular regulatory principles of large non-coding RNAs. Nature
482: 339–46.

Heo JB, Sung S. 2011. Vernalization-mediated epigenetic silencing by a long intronic noncod-
ing RNA. Science (New York, N.Y.) 331: 76–9.

Huang CY, Shirley N, Genc Y, Shi B, Langridge P. 2011. Phosphate Utilization Efficiency
Correlates with Expression of Low-Affinity Phosphate Transporters and Noncoding RNA,
IPS1, in Barley. PLANT PHYSIOLOGY 156: 1217–1229.

Jin J, Liu J, Wang H, Wong L, Chua N-H. 2013. PLncDB: plant long non-coding RNA data-
base. Bioinformatics (Oxford, England) 29: 1068–71.

Kim ED, Sung S. 2012. Long noncoding RNA: Unveiling hidden layer of gene regulatory
20 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

networks. Trends in Plant Science 17: 16–21.

Kouchi H, Takane K, So RB, Ladha JK, Reddy PM. 1999. Rice ENOD40: isolation and ex-
pression analysis in rice and transgenic soybean root nodules. The Plant journal : for cell
and molecular biology 18: 121–9.

Li L, Eichten SR, Shimizu R, Petsch K, Yeh C, Wu W, Chettoor AM, Givan SA, Cole R a,
Fowler JE, et al. 2014. Genome-wide discovery and characterization of maize long non-
coding RNAs. Genome biology 15: R40.

Liu C, Muchhal US, Raghothama KG. 1997. Differential expression of TPS11, a phosphate
starvation-induced gene in tomato. Plant molecular biology 33: 867–74.

Liu J, Wang H, Chua N-H. 2015. Long noncoding RNA transcriptome of plants. Plant bio-
technology journal 13: 319–28.

Lorković ZJ, Wieczorek Kirk DA, Lambermon MH, Filipowicz W. 2000. Pre-mRNA splicing
in higher plants. Trends in plant science 5: 160–7.

Ma H, Hao Y, Dong X, Gong Q, Chen J, Zhang J, Tian W. 2012. Molecular Mechanisms and
Function Prediction of Long Noncoding RNA. The Scientific World Journal 2012: 1–11.

Martín AC, del Pozo JC, Iglesias J, Rubio V, Solano R, de La Peña A, Leyva A, Paz-Ares J.
2000. Influence of cytokinins on the expression of phosphate starvation responsive genes
in Arabidopsis. The Plant journal : for cell and molecular biology 24: 559–67.

Paytuví Gallart A, Hermoso Pulido A, Anzar Martínez de Lagrán I, Sanseverino W, Aiese


Cigliano R. 2016. GREENC: a Wiki-based database of plant lncRNAs. Nucleic Acids Re-
search 44: D1161–D1166.

Ponting CP, Oliver PL, Reik W. 2009. Evolution and Functions of Long Noncoding RNAs.
Cell 136: 629–641.

Quek XC, Thomson DW, Maag JL V, Bartonicek N, Signal B, Clark MB, Gloss BS, Dinger
ME. 2015. lncRNAdb v2.0: expanding the reference database for functional long noncod-
ing RNAs. Nucleic acids research 43: D168-73.

Rulli SJ. 2015. Long Non-coding RNAs ( lncRNAs ) as Novel Circulating Biomarkers : Pro-
filing and Detection. : 1–28.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 21

Shao Y, Wei J, Wu F, Zhang H, Yang D, Liang Z, Jin W. 2016. DsTRD: Danshen Transcrip-
tional Resource Database. PloS one 11: e0149747.

Sun Q, Csorba T, Skourti-Stathaki K, Proudfoot NJ, Dean C. 2013. R-loop stabilization re-
presses antisense transcription at the Arabidopsis FLC locus. Science (New York, N.Y.)
340: 619–21.

Swiezewski S, Liu F, Magusin A, Dean C. 2009. Cold-induced silencing by long antisense


transcripts of an Arabidopsis Polycomb target. Nature 462: 799–802.

Szcześniak MW, Rosikiewicz W, Makałowska I. 2016. CANTATAdb: A Collection of Plant


Long Non-Coding RNAs. Plant & cell physiology 57: e8.

Wang Y, Fan X, Lin F, He G, Terzaghi W, Zhu D, Deng XW. 2014a. Arabidopsis noncoding
RNA mediates control of photomorphogenesis by red light. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America 111: 10359–64.

Wang T-Z, Liu M, Zhao M-G, Chen R, Zhang W-H. 2015. Identification and characterization
of long non-coding RNAs involved in osmotic and salt stress in Medicago truncatula using
genome-wide high-throughput sequencing. BMC plant biology 15: 131.

Wang Y, Wang X, Deng W, Fan X, Liu T-T, He G, Chen R, Terzaghi W, Zhu D, Deng XW.
2014b. Genomic features and regulatory roles of intermediate-sized non-coding RNAs in
Arabidopsis. Molecular plant 7: 514–27.

Wang Z-W, Wu Z, Raitskin O, Sun Q, Dean C. 2014c. Antisense-mediated FLC transcriptional


repression requires the P-TEFb transcription elongation factor. Proceedings of the National
Academy of Sciences 111: 7468–7473.

Wang P, Xue Y, Han Y, Lin L, Wu C, Xu S, Jiang Z, Xu J, Liu Q, Cao X. 2014d. The STAT3-
binding long noncoding RNA lnc-DC controls human dendritic cell differentiation. Science
(New York, N.Y.) 344: 310–3.

Wasaki J, Yonetani R, Shinano T, Kai M, Osaki M. 2003. Expression of the OsPI1 gene,
cloned from rice roots using cDNA microarray, rapidly responds to phosphorus status. New
Phytologist 158: 239–248.

Xuan H, Zhang L, Liu X, Han G, Li J, Li X, Liu A, Liao M, Zhang S. 2015. PLNlncRbase: A


22 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

resource for experimentally identified lncRNAs in plants. Gene 573: 328–32.

Yang WC, Katinakis P, Hendriks P, Smolders A, de Vries F, Spee J, van Kammen A, Bisseling
T, Franssen H. 1993. Characterization of GmENOD40, a gene showing novel patterns
of cell-specific expression during soybean nodule development. The Plant journal : for
cell and molecular biology 3: 573–85.

Yang L, Lin C, Liu W, Zhang J, Ohgi KA, Grinstein JD, Dorrestein PC, Rosenfeld MG. 2011.
ncRNA- and Pc2 methylation-dependent gene relocation between nuclear structures medi-
ates gene activation programs. Cell 147: 773–88.

Yi X, Zhang Z, Ling Y, Xu W, Su Z. 2015. PNRD: a plant non-coding RNA database. Nucleic


Acids Research 43: D982–D989.

Zhang J, Mujahid H, Hou Y, Nallamilli BR, Peng Z. 2013. Plant Long ncRNAs: A New Fron-
tier for Gene Regulatory Control. American Journal of Plant Sciences 4: 1038–1045.

Zhao Y, Li H, Fang S, Kang Y, Wu W, Hao Y, Li Z, Bu D, Sun N, Zhang MQ, et al. 2016.


NONCODE 2016: an informative and valuable data source of long non-coding RNAs. Nu-
cleic Acids Research 44: D203–D208.

Zhou H, Liu Q, Li J, Jiang D, Zhou L, Wu P, Lu S, Li F, Zhu L, Liu Z, et al. 2012. Photoperiod-


and thermo-sensitive genic male sterility in rice are caused by a point mutation in a novel
noncoding RNA that produces a small RNA. Cell research 22: 649–60.

Zhu Q-H, Wang M-B. 2012. Molecular Functions of Long Non-Coding RNAs in Plants. Genes
3: 176–190.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 23

BIOGRAFI PENULIS

Muhammad Mar’i Ma’ruf

Muhammad Mar'i Ma'ruf menyelesaikan pendidikan


S1 di jurusan Biologi, pada tahun 2017, di Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Ban-
dung. Fokus riset Mar'i di bidang Bioinformatika
terkait analisis long non-coding (lncRNA) pada tum-
buhan, khususnya pada tanaman cabai dan pisang cav-
endish. Saat ini Mar'i bergabung dengan Banana Re-
search Group – ITB sebagai Asisten Riset. Selain men-
jadi asisten riset di Banana Group, Mar'i masih aktif
sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Biosistematik

Husna Nugrahapraja

Husna Nugrahapraja menyelesaikan program studi doktor


nya dengan tesis yang berjudul “Genetic and molecular
analysis of the cross-incompatibility (CI) phenomenon in
maize” dari Scuola Superiore Sant'Anna Pisa, Italia, pada
tahun 2015. Saat ini, penelitiannya difokuskan pada analisis
data molekuler yang berasal dari data Next-Generation Se-
quencing (NGS), Genomics dan Transcriptomics, serta
Identifikasi dan Karakterisasi dari molekul lncRNA (long
non-coding RNA).
24 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article

Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Tanaman


Anjaritha Aulia Rizky Parijadi1, Sastia Prama Putri1,2,3*
1
Department of Biotechnology, Graduate School of Engineering, Osaka University
2-1 Yamadaoka, Suita, Osaka, Jepang 565081
2
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,Institut Teknologi Bandung.
Jl. Ganesa 10, Bandung, Indonesia 40132
3
Formind Institute, Indonesia
email : 1anjaritha_aulia@bio.eng.osaka-u.ac.jp, 2sastia_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp
(corresponding author)
Abstrak

Metabolomik adalah studi interdisipliner yang melibatkan profil kuantitatif metabolit


yang berperan dalam proses metabolisme dalam suatu organisme dengan
menggunakan instrumentasi analitik terkini seperti kromatografi dan mass spektro-
metri. Metabolomik merupakan metode yang sangat berguna untuk membedakan
perbedaan dari profil metabolit total dari suatu sampel biologis secara komprehensif
dan mampu mendeteksi perubahan biologis yang kompleks dengan menggunakan
metode statistik multivariate yakni kemometrik. Artikel ini menggambarkan prinsip
dasar metabolomik dan aplikasinya di bidang ilmu tanaman.

Kata kunci: Metabolomik, Ilmu Tanaman, Bioteknologi, Metabolit

Abstract

Metabolomics is an interdisciplinary study that involves the exhaustive quantitative


profiling of metabolites in a target organism using sophisticated analytical technolo-
gies. It is a powerful approach that allows researchers to examine variation in total
metabolite profiles, and is capable of detecting complex biological changes using sta-
tistical multivariate pattern recognition methods (chemometrics). This article pro-
vides a summary of metabolomics application in the field of plant sciences.

Keywords: Metabolomics. Plant Sciences, Biotechnology, Metabolites


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 25

1. PENDAHULUAN

Metabolomik merupakan salah satu teknologi yang melibatkan multidisiplin ilmu un-
tuk menyediakan pendekatan sistematik dalam mempelajari sistem biologi dan hub-
ungannya. Metabolomik merupakan studi yang mempelajari mengenai metabolit yang
terkandung dalam suatu organisme sebagai salah satu produk akhir dari proses sintesis
sel dan level dari metabolomik diketahui sebagai hasil akhir dari sistem biologi ter-
hadap perubahan genetik dan lingkungan sekitar dari organisme tersebut(Putri,
Nakayama, et al., 2013; Putri, Yamamoto, Tsugawa, & Fukusaki, 2013).

Sejalan dengan transkriptom dan proteom, metabolit yang disintesis dari suatu organ-
isme menjelaskan metabolom. Sama seperti definisi dari transkriptom dan proteome,
metabolome dapat mendefinisikan berbagai macam level kompleksitas seperti organ-
isme, jaringan, sel, dan bagian-bagian terkecil dari sel. Hal tersebut didukung dengan
kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi beberapa penelitian yang berkaitan
dengan biologi dasar yang membutuhkan data yang cukup detail(Shiratake & Suzuki,
2016; Verpoorte, Choi, & Kim, 2010).

Gambar 1. Metabolomik adalah studi mengenai metabolit yang dapat menjelaskan fenomena
yang terjadi terhadap ekspresi fenotip
Pengetahuan ilmu biologi dasar mengenai tanaman sendiri mencakup anatomi, fisiol-
ogis, genetik, genomik, proteomik, biologi perkembangan, biologi sel, dan interaksi
tanaman dengan lingkungannya. Semua pengetahuan itu akan terus berkembang seir-
ing dengan berkembangnya masing-masing disiplin ilmu.tanaman itu sendiri.
Berkembangnya masing-masing disiplin ilmu ini lebih dikarenakan masih besarnya
26 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

black box yang tersisa dari tanaman secara keseluruhan. Besarnya black box tersebut
dikarenakan kondisi metabolit dari tanaman diatur secara dinamis sebagai akibat dari
respons yang mereka dapat di lingkungan tanaman itu sendiri(Fiehn, 2002; Jansen,
Smit, Hoefsloot, & Smilde, 2010).

Studi metabolomik menawarkan investigasi lebih mendalam mengenai perubahan-pe-


rubahan metabolit yang terjadi dalam sistem tanaman itu sendiri. Studi mengenai sis-
tem metabolit tanaman yang berubah secara dinamis masih menjadi tantangan
tersendiri bagi para peneliti yang berkecimpung di bidang metabolit tanaman. Akan
tetapi, metabolomik menawarkan strategi menjanjikan untuk meninjau secara global
ekspresi gen, dan akumulasi metabolit untuk memperkirakan mekanisme yang terjadi
dalam suatu sistem biologi dalam hal ini tanaman.

2. CONTOH APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU TANAMAN

Beberapa aplikasi awal metabolomik yang diintegrasikan bersama dengan beberapa


studi lainnya seperti metabolomik-genomik sudah dilakukan untuk melakukan tin-
jauan mengenai mekanisme yang terjadi pada tanaman yang mengalami stres seperti
biotik (Tenenboim & Brotman, 2016) maupun abiotik (Rudell et al. 2011; B. Zhang
et al. 2011; António et al. 2016). Analisis terintegrasi ini menghasilkan bahwa metab-
olit primer dan sekunder terkoordinasi satu sama lain akibat adanya induksi stres
kekurangan nutrient sulfur pada tanah(Hirai et al., 2004; Nikiforova et al., 2005).

Tak hanya untuk mengetahui beberapa metabolit yang berpengaruh kepada beberapa
stress biotik dan abiotik tetapi juga diskriminasi perbedaan-perbedaan nutrien yang
berada pada tanaman dengan lokasi geografis yang berbeda menjadi salah satu
penggunaan studi metabolomik dalam pemetan nutrisi dari masing-masing asal geo-
grafis dari tanaman-tanaman itu(Kobayashi et al., 2012; Tianniam, Tarachiwin,
Bamba, Kobayashi, & Fukusaki, 2008; Wahyuni et al., 2013).

Aplikasi metabolomik juga bisa digunakan untuk menentukan peringkat dari suatu
produk pertanian yang diperlombakan setiap tahunnya seperti teh hijau yang berasal
dari Jepang. Beberapa riset sebelumnya pun menunjukan bahwa metabolomik mampu
menginvestigasi metabolit apa yang berpengaruh kepada tinggi nya peringkat yang
diperoleh dari suatu produk pertanian. Sehingga hasil dari metabolomik itu dapat
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 27

digunakan untuk peningkatan kualitas dan nutrisi yang dibutuhkan suatu tanaman
produk pertaniannya (Jumtee, Komura, Bamba, & Fukusaki, 2011).

Perkembangan studi metabolomik yang telah dibuktikan sebagai produk akhir dari
suatu sistem biologi seperti proses pematangan buah. Proses pematangan buah meru-
pakan salah satu fenomena yang melibatkan genetika, ekologi, transkriptomik, hingga
fisiologis. Akan tetapi proses pematangan buah ini belum sepenuhnya dipahami
dikarenakan masih banyaknya black box yang masih tidak bisa dijelaskan
menggunakan pendekatan genomik ataupun transkriptomik (Asif et al., 2014; Dussert
et al., 2013; Gapper, Giovannoni, & Watkins, 2014; Karlova et al., 2014; Pirrello,
2009). Metabolomik dalam hal ini menyediakan beberapa pendekatan dan mem-
berikan petunjuk terhadap black box tersebut dikarenakan pendekatan metabolomik
merupakan pendekatan yang cukup dekat dengan ekspresi fenotip yang bisa diamati
dengan kasat mata dalam hal ini seperti warna, kekerasan, rasa manis atau asam dari
buah itu sendiri .

Studi mengenai pematangan buah sendiri sudah banyak dilakukan dengan


menggunakan pendekatan metabolomik baik buah klimakterik ataupun non-klimate-
rik. Sejauh ini, studi mengenai pamatangan buah hanya fokus kepada perubahan
secara genetik dan fenotip yang dapat diamati secara kasat mata. Sedangkan perkem-
bangan studi mengenai pematangan buah sendiri dibutuhkan untuk meningkatkan
teknologi pasca-panen dalam memperlambat umur simpan buah agar dapat disimpan
dalam waktu yang cukup lama dengan metode yang efektif dan efisien. Efektif dan
efisien yang dimaksud disini adalah bahwa buah yang sudah diberi perlakuan tidak
mengalami perubahan rasa atau struktur, tetapi juga memerlukan biaya yang cukup
mudah dijangkau untuk semua kalangan.

Studi pematangan buah menggunakan metabolomik menjelaskan adanya perbedaan


antara buah klimakterik dan non-klimakterik. Buah klimakterik merupakan buah yang
pematangannya dipengaruhi oleh keberadaan gas etilen disekitar lingkungan buah.
Sedangkan buah non-klimakterik adalah buah yang pematangannya tidak dipengaruhi
oleh keberadaan gas etilen disekitar lingkungannya. Beberapa contoh buah klimak-
terik adalah tomat (Solanum lycopersicum) (Fatima, Sobolev, Teasdale, & K., 2016),
28 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

alpukat (Prunus americana) (Hurtado-Fer, Bajoub, Morales, Fer Andez-Gutí Errez,


& Carrasco-Pancorbo, 2015; Hurtado-Fernández, Pacchiarotta, Mayboroda,
Fernández-Gutiérrez, & Carrasco-Pancorbo, 2015), mangga (Mangifera indica)
(White, Blake, Taylor, & Monks, 2016), buah persik (Prunus persica) (Sebastian Klie
et al., 2014; Lombardo et al., 2011; R. Tosetti, Martinelli, Tonutti, & Barupal, 2012;
Roberta Tosetti et al., 2014), manggis (Garcinia mangostana) (Parijadi, Putri,
Ridwani, Dwivany, & Fukusaki, 2017). Sedangkan untuk contoh buah non-klimak-
terik adalah strawberry (Fragaria ananassa) (Zhang et al., 2011), paprika (Capsicum
chilense) (Aizat, Able, Stangoulis, & Able, n.d.; Sebastian Klie et al., 2014; Osorio et
al., 2012; Wahyuni et al., 2013), dan anggur (Vitis vinifera)(S. Klie et al., 2013) .

Studi metabolomik mengenai pematangan buah menjelaskan beberapa metabolit yang


memiliki korelasi positif atau intensitasnya terus meningkat dan terakumulasi pada
tahap akhir dari pematangan buah tersebut. Studi komperatif antara kedua jenis buah
juga dilakukan oleh Klie et al (2013) memperlihatkan adanya pebedaan metabolites
di kedua jenis buah tersebut.

Studi yang menjelaskan korelasi antara warna dan perubahan metabolit yang terjadi
selama pematangan buah juga dilakukan oleh grup kami pada buah manggis (Garcinia
mangostana) oleh Parijadi et al (2017). Studi mengenai hubungan perubahan warna
dan perubahan metabolit berhasil dijelaskan melalui penggambaran model statistic
PLS (Projection to latent square) dengan beberapa kandidat metabolit yang berko-
relasi secara positif di ketiga bagian dari manggis diantaranya adalah bagian kulit
buah, daging buah, dan biji dari buah manggis sendiri.

Studi serupa juga dilakukan oleh Yamamoto et al (*unpublished data) dengan


menggunakan perlakuan kitosan untuk memperpanjang umur simpan buah pisang
Cavendish (Musa acuminate CV AAA). Pendekatan metabolomik menjelaskan
bahwa perlakuan kitosan berhasil memperpanjang umur simpan buah pisang apabila
ditinjau oleh perubahan metabolit yang terjadi. Selain itu, adanya temuan bahwa ACC
(1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid) terakumulasi dan tidak diubah menjadi gas
etilen.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 29

Gambar 2. Metode kerja metabolomik dalam investigasi perubahan metabolit pada pema-
tangan buah manggis (Garcinia mangostana) (Parijadi, Putri, Ridwani, Dwivany, &
Fukusaki, 2017)

Studi metabolomik pada buah sendiri bisa digunakan untuk mengetahui kandungan
metabolit yang ada di dalam biji buah. Analisis metabolomik pada biji memiliki tujuan
untuk mempermudah proses pemuliaan tanaman khususnya untuk tanaman yang
memiliki kesulitan untuk berkembang biak memiliki biji dikarenakan kondisi cuaca
yang terlalu ekstrim atau hasil dari pembuahan yang menyebabkan beberapa gen tidak
bisa berfungsi secara normal. Studi metabolomik pada bagian biji suatu tanaman juga
dikarenakan biji tanaman tersebut menghasilkan bahan produksi makanan/biofuel
yang sangat dibutuhkan untuk diproduksi dalam jumlah banyak dalam hal ini seperti
kedelai, cokelat, dan kelapa sawit. Studi metabolomik terhadap biji berhasil menjelas-
kan perubahan metabolit pada biji buah manggis (Garcinia mangostana), biji cokelat
(Theobroma cacao)(Wang et al., 2016), kedelai (Glycine max)(Lin et al., 2014), dan
biji kelapa sawit (Elaais guineensis) (Fang Teh et al., 2013; Kok, Namasivayam, Ee,
& Ong-Abdullah, 2013). Hasil dari penelitian dengan pendekatan metabolomik dari
biji tanaman diharapkan dapat menjadi dasar ilmu untuk perubahan metabolit yang
terjadi dan mempermudah rekayasa metabolit untuk peningkatan kualitas dari biji
yang diinginkan.
30 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3. TAHAPAN KERJA DAN TEKNIK METABOLOMIK

Upaya peningkatan serta pengembangan teknik analisis metabolomik pun terus dil-
akukan untuk meningkatkan jumlah metabolit yang bisa dideteksi mengingat banyak-
nya metabolit yang dihasilkan oleh suatu organisme khususnya oleh tanaman. Tana-
man sendiri akan menghasilkan berbagai macam senyawa kimia yang sangat berguna
untuk mekanisme pertahanan diri, pembentukan senyawa-senyawa yang berfungsi da-
lam bidang farmasi, ataupun menyediakan informasi mendalam mengenai produksi
metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Studi ini diperlukan mengingat banyak-
nya peneliti yang memanfaatkan produksi senyawa metabolit sekunder untuk mening-
katkan produksinya dalam jumlah yang banyak. Produk metabolit sekunder yang
cukup penting dalam produksi senyawa yang bermanfaat, metabolomik menawarkan
tiga jenis data yang dibutuhkan untuk menjelaskan struktur metabolit dari senyawa
metabolit sekunder tersebut. Pertama, kita harus menggunakan tandem mass
(MS/MS) data spektrum untuk menjelaskan struktur metabolit yang kita inginkan.
Kedua, kita membutuhkan data base spectrum berat dari senyawa kimia yang kita
inginkan meskipun diperlukan usaha yang cukup besar untuk membuat database dari
MS/MS data. Langkah lanjutan untuk memperkaya database ini masih diperlukan un-
tuk menjelaskan struktur dengan jangkauan metabolit yang lebih luas. Ketiga, kita
memerlukan metode untuk menentukan kemungkinan kesalahan yang terjadi apabila
akan diproduksi dalam skala besar. Beragamnya senyawa metabolit sekunder yang
ada di tanaman memerlukan perkembangan yang lebih lanjut dalam hal database dan
metode yang digunakan. Hal ini yang akan menjadi tantangan selanjutnya dalam
perkembangan teknologi metabolomik itu sendiri.

Studi metabolomik sendiri terdiri dari beberapa tahapan diantaranya preparasi sampel,
ekstraksi, analisis metabolit menggunakan beberapa jenis instrumen, analisa data dan
interpretasi data. Penjelasan mendalam mengenai masing-masing tahapan akan di-
jelaskan per point di bawah ini:

1. Preparasi sampel

Preparasi sampel merupakan salah satu tahap yang ditentukan oleh tujuan penelitian
yang sudah didesain sebelumnya. Dinamisnya perubahan metabolit yang terjadi di
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 31

organisme tanaman membuat penelitian di bidang metabolomik tanaman harus


dengan cepat menangkap fenomena yang terjadi. Salah satu metode yang umum
digunakan adalah metode quenching dengan cara mencelupkan sampel yang akan di-
analisis ke dalam cairan nitrogen cair selama beberapa menit. Metode ini dipercaya
dapat menangkap profil metabolit yang terjadi pada saat proses koleksi sampel.
Setelah itu, proses homogenisasi dilakukan dengan tujuan agar sampel yang akan di-
analisis terhomogenisasi dan dapat menjelaskan keseluruhan organisme yang akan di-
analisa menggunakan pendekatan metabolomik (Ernst, Silva, Silva, Encio, & Lopes,
2014; Kim & Verpoorte, 2010).

2. Ekstraksi

Setelah dilakukan proses preparasi dan homogenisasi, sampel yang berhasil


di”tangkap” tersebut kemudian akan melalui proses ekstraksi. Proses ini bertujuan
untuk mengekstraksi metabolit yang ada disampel tersebut sebanyak-banyaknya.
Proses ekstraksi ini umumnya menggunakan larutan campuran dengan perbandingan
antara metanol (pure), klorofom, dan air sebanyak 5/2/2. Metanol dan air yang berada
dalam larutan campuran tersebut berfungsi untuk mengikat senyawa-senyawa polar
yang berada di dalam sampel, sedangkan klorofom berfungsi untuk mengikat sen-
yawa-senyawa non-polar di dalam sampel. Proses ekstraksi ini sangat ditentukan oleh
jenis instrument yang akan digunakan dalam menganalisa metabolit yang diinginkan
dalam sampel (Ernst et al., 2014; Kim & Verpoorte, 2010; Putri, Yamamoto, et al.,
2013).

3. Analisis metabolit menggunakan pendekatan metabolomik

Setelah dilakukan proses ekstraksi, beberapa instrument untuk menganalisis metabolit


yang terkandung di dalam sampel menggunakan pendekatan metabolomik. Beberapa
di antaranya adalah GC-MS (Gas Chromatography-Mass spectrometry), LC-MS
(Liquid Chromatography-Mass spectrometry), NMR (Nuclear Magnetic Resonance),
FT-NIR (Fourier-Transform Near Infrared), ICP-MS (Inductively Couple Plasma-
Mass Spectrometry), dan CE (Capillary electrophoresis). Masing-masing instrument
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam proses menganalisis. Hal ini dikarenakan
tujuan metabolit yang akan dianalisa yang berbeda dalam setiap instrumennya
32 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(Allwood & Goodacre, 2010; Kim & Verpoorte, 2010; Lisec, Schauer, Kopka,
Willmitzer, & Fernie, 2006).

4. Analisa data dan interpretasi data

Tahap akhir dari studi metabolomik tanaman adalah analisa data dan interpretasi data.
Hasil dari analisa menggunakan beberapa aplikasi instrument metabolomik dapat di-
interpretasikan menggunakan beberapa pendekatan statistik multivariate diantaranya
adalah PCA (Principal Component Analysis), PLS (Projection to latent square/Par-
tial least squares), HCA (Hierarchical Cluster Analysis), OPLS-DA (Orthogonal
Projection to Latent Squares-Discriminant Analysis). Perbedaan masing-masing pen-
dekatan statistik untuk menginterpretasi data studi metabolomik adalah adanya ex-
planatory variable atau biasa disebut dengan parameter yang bisa dijadikan acuan
perbedaan antara satu sampel dengan sampel lainnya. Penggunaan explanatory vari-
able untuk interpretasi data metabolomik adalah dengan menggunakan analisa statis-
tik PLS dan OPLS-DA, sedangkan untuk PCA dan HCA adalah analisa statistik yang
tidak memerlukan supervisi berupa explanatory variable dan mengelompokkan be-
berapa jenis sampel yang memiliki kecenderungan metabolit yang sama menjadi satu
kelompok(An, Yamaguchi, Bamba, & Fukusaki, 2014; Worley & Powers, 2013) (An
et al. 2014; Worley & Powers 2013).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 33

Berikut beberapa rangkuman mengenai penelitian metabolomik yang menggunakan beberapa tanaman sebagai objek penelitian:
Tabel 1. aplikasi metabolomik menggunakan beberapa bagian tanaman sebagai objek penelitian
Bagian yang Pendekatan metabo-
Nama Spesies Metode yang digunakan Aplikasi Ref.
digunakan lomik
Kedelai (Gly- Biji Supercritical Fluid Chromatography PCA, Heat-map me- Analisis kandungan lipid di dalam (Lee et al., 2012;
cine max) (SFC), GC-MS, Ultra-performance tabolit, PLS-DA, kedelai, Analisis perbedaan metabolit Lin et al., 2014)
liquid chromatography-tandem mass Karakterisasi/anotasi di cultivar kedelai yang berbeda
spectrometry (UPLC-MS) kandungan lipid
Tomat (Sola- Akar; kese- GC-MS; LC-QTOF (Liquid chroma- OPLS-DA; PLS-DA; Metabolit yang berkorelasi dengan (Eloh, Sasanelli,
num lycopersi- luruhan tana- tography-quadrupole time-of-flight); RKN (Root-knot nema- nematoda yang hidup bersama Maxia, & Caboni,
cum) man; buah NMR spectroscopy tode); ANOVA; CCA dengan tanaman tomat; 2016; Fatima et al.,
(Canonical correlation Mendeskripsikan jaringan perubahan 2016; Osorio et al.,
Analysis); PCA; Heat- metabolit yang terjadi beserta hub- 2012)
map metabolites; Net- ungannya setelah dilakukan perla-
work based analysis by kuan dengan genotip dan kondisi ling-
R software kungan yang berbeda.; Visualisasi pe-
rubahan metabolit yang mempunya
korelasi terhadap pematangan buah.
34 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4. KESIMPULAN
Seperti yang sudah diuraikan diatas, metabolomik merupakan salah satu teknologi terkini
yang amat berguna dalam aplikasi di bidang ilmu tanaman. Secara garis besar, aplikasi
metabolomik dalam bidang ilmu tanaman mencakup diantaranya studi tentang pengaruh
stress abiotik maupun biotik terhadap fisiologis tanaman, prediksi kualitas produk agrikul-
tur, studi tentang proses pematangan buah dan upaya untuk meningkatkan kualitas dan
waktu simpan dari buah-buahan.Studi metabolomik sendiri terdiri dari beberapa tahapan di-
antaranya preparasi sampel, ekstraksi, analisis metabolit menggunakan beberapa jenis in-
strumen, analisa data dan interpretasi data.

DAFTAR REFERENSI
Aizat, W. M., Able, J. A., Stangoulis, J. C., & Able, A. J. (n.d.). Characterisation of ethylene pathway
components in non-climacteric capsicum.
Allwood, J. W., & Goodacre, R. (2010). An introduction to liquid chromatography-mass spectrometry
instrumentation applied in plant metabolomic analyses. Phytochemical Analysis, 21(1), 33–47.
https://doi.org/10.1002/pca.1187
An, P. N. T., Yamaguchi, M., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2014). Metabolome analysis of Drosophila
melanogaster during embryogenesis. PloS One, 9(8), e99519.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0099519
Asif, M. H., Lakhwani, D., Pathak, S., Gupta, P., Bag, S. K., Nath, P., & Trivedi, P. K. (2014).
Transcriptome analysis of ripe and unripe fruit tissue of banana identifies major metabolic
networks involved in fruit ripening process. BMC Plant Biology, 14(1), 316.
https://doi.org/10.1186/s12870-014-0316-1
Dussert, S., Guerin, C., Andersson, M., Joet, T., Tranbarger, T. J., Pizot, M., … Morcillo, F. (2013).
Comparative Transcriptome Analysis of Three Oil Palm Fruit and Seed Tissues That Differ in
Oil Content and Fatty Acid Composition. Plant Physiology, 162(3), 1337–1358.
https://doi.org/10.1104/pp.113.220525
Eloh, K., Sasanelli, N., Maxia, A., & Caboni, P. (2016). Untargeted Metabolomics of Tomato Plants
after Root-Knot Nematode Infestation. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 64, 5963–
5968. https://doi.org/10.1021/acs.jafc.6b02181
Ernst, M., Silva, D. B., Silva, R. R., Encio, R. Z. N., & Lopes, N. P. (2014). Mass spectrometry in
plant metabolomics strategies: from analytical platforms to data acquisition and processing.
Natural Product Rep., 31, 784–806. https://doi.org/10.1039/c3np70086k
Fang Teh, H., Neoh, B. K., Ping, M., Hong, L., Yoke, J., Low, S., … Appleton, D. R. (2013).
Differential Metabolite Profiles during Fruit Development in High-Yielding Oil Palm
Mesocarp. PLoS ONE, 8(4). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0061344
Fatima, T., Sobolev, A. P., Teasdale, J., & K., A. (2016). Fruit metabolite networks in engineered and
non-engineered tomato genotypes reveal fluidity in a hormone and agroecosystem specific
manner. Metabolomics, 12(103).
Fiehn, O. (2002). Metabolomics - the link between genotyopes and phenotypes. Plant Molecular
Biology, 48, 155–171.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 35

Gapper, N. E., Giovannoni, J. J., & Watkins, C. B. (2014). Understanding development and ripening
of fruit crops in an “omics” era. Horticulture Research, 1(May), 14034.
https://doi.org/10.1038/hortres.2014.34
Hirai, M. Y., Yano, M., Goodenowe, D. B., Kanaya, S., Kimura, T., Awazuhara, M., … Montagu, M.
C. E. Van. (2004). Integration of transcriptomics and metabolomics for understanding of global
responses to nutritional stresses in Arabidopsis thaliana. PNAS, 101(27). Retrieved from
http://www.pnas.org/content/101/27/10205.full.pdf?with-ds=yes
Hurtado-Fer, E., Bajoub, A., Morales, J. C., Fer Andez-Gutí Errez, A., & Carrasco-Pancorbo, A.
(2015). Exploratory analysis of avocado extracts by GC-MS: new insights into the avocado fruit
ripening process. Anal. Methods, 7, 7318. https://doi.org/10.1039/c5ay00767d
Hurtado-Fernández, E., Pacchiarotta, T., Mayboroda, O. A., Fernández-Gutiérrez, A., & Carrasco-
Pancorbo, A. (2015). Metabolomic analysis of avocado fruits by GC-APCI-TOF MS: effects of
ripening degrees and fruit varieties. Anal Bioanal Chem, 407, 547–555.
https://doi.org/10.1007/s00216-014-8283-9
Jansen, J. J., Smit, S., Hoefsloot, H. C. J., & Smilde, A. K. (2010). The photographer and the
greenhouse: How to analyse plant metabolomics data. Phytochemical Analysis, 21(1), 48–60.
https://doi.org/10.1002/pca.1181
Jumtee, K., Komura, H., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2011). Predication of Japanese green tea (Sen-
cha) ranking by volatile profiling using gas chromatography mass spectrometry and
multivariate analysis. JBIOSC, 112, 252–255. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2011.05.008
Karlova, R., Chapman, N., David, K., Angenent, G. C., Seymour, G. B., & De Maagd, R. A. (2014).
Transcriptional control of fleshy fruit development and ripening. Journal of Experimental
Botany, 65(16), 4527–4541. https://doi.org/10.1093/jxb/eru316
Kim, H. K., & Verpoorte, R. (2010). Sample preparation for plant metabolomics. Phytochemical
Analysis, 21(1), 4–13. https://doi.org/10.1002/pca.1188
Klie, S., Osorio, S., Tohge, T., Drincovich, M. F., Fait, A., Giovannoni, J. J., … Nikoloski, Z. (2014).
Conserved changes in the dynamics of metabolic processes during fruit development and
ripening across species. Plant Physiology, 164(1), 55–68.
https://doi.org/10.1104/pp.113.226142
Klie, S., Osorio, S., Tohge, T., Drincovich, M. F., Fait, a., Giovannoni, J. J., … Nikoloski, Z. (2013).
Conserved Changes in the Dynamics of Metabolic Processes during Fruit Development and
Ripening across Species. Plant Physiology, 164(1), 55–68.
https://doi.org/10.1104/pp.113.226142
Kobayashi, S., Nagasawa, S., Yamamoto, Y., Donghyo, K., Bamba, T., & Fukusaki, E. (2012).
Metabolic profiling and identification of the genetic varieties and agricultural origin of Cnidium
officinale and Ligusticum chuanxiong. Journal of Bioscience and Bioengineering, 114(1), 86–
91. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2012.02.015
Kok, S.-Y., Namasivayam, P., Ee, G. C.-L., & Ong-Abdullah, M. (2013). Biochemical
characterisation during seed development of oil palm (Elaeis guineensis). Journal of Plant
Research, 126(4), 539–47. https://doi.org/10.1007/s10265-013-0560-8
Lee, J. W., Uchikata, T., Matsubara, A., Nakamura, T., Fukusaki, E., & Bamba, T. (2012). Application
of supercritical fluid chromatography/mass spectrometry to lipid profiling of soybean. JBIOSC,
36 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

113, 262–268. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2011.10.009


Lin, H., Rao, J., Shi, J., Hu, C., Cheng, F., Wilson, Z. A., … Quan, S. (2014). Seed metabolomic study
reveals significant metabolite variations and correlations among different soybean cultivars.
Journal of Integrative Plant Biology, 56(9), 826–836. https://doi.org/10.1111/jipb.12228
Lisec, J., Schauer, N., Kopka, J., Willmitzer, L., & Fernie, A. R. (2006). Gas chromatography mass
spectrometry–based metabolite profiling in plants. Nature Protocols, 1(1).
https://doi.org/10.1038/nprot.2006.59
Lombardo, V. a., Osorio, S., Borsani, J., Lauxmann, M. a., Bustamante, C. a., Budde, C. O., …
Drincovich, M. F. (2011). Metabolic Profiling during Peach Fruit Development and Ripening
Reveals the Metabolic Networks That Underpin Each Developmental Stage. Plant Physiology,
157(4), 1696–1710. https://doi.org/10.1104/pp.111.186064
Nikiforova, V. J., Kopka, J., Tolstikov, V., Fiehn, O., Hopkins, L., Hawkesford, M. J., … Hoefgen,
R. (2005). Systems Rebalancing of Metabolism in Response to Sulfur Deprivation, as Revealed
by Metabolome Analysis of Arabidopsis Plants 1[w]. Plant Physiology, 138, 304–318.
https://doi.org/10.1104/pp.104.053793
Osorio, S., Alba, R., Nikoloski, Z., Kochevenko, a., Fernie, a. R., & Giovannoni, J. J. (2012).
Integrative Comparative Analyses of Transcript and Metabolite Profiles from Pepper and
Tomato Ripening and Development Stages Uncovers Species-Specific Patterns of Network
Regulatory Behavior. Plant Physiology, 159(4), 1713–1729.
https://doi.org/10.1104/pp.112.199711
Parijadi, A. A. R., Putri, S. P., Ridwani, S., Dwivany, F. M., & Fukusaki, E. (2017). Metabolic
profiling of Garcinia mangostana (mangosteen) based on ripening stages. Journal of Bioscience
and Bioengineering, 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2017.08.013
Pirrello, J. (2009). Regulation of tomato fruit ripening. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture,
Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources, 4(51), 1–14.
https://doi.org/10.1079/PAVSNNR20094051
Putri, S. P., Nakayama, Y., Matsuda, F., Uchikata, T., Kobayashi, S., Matsubara, A., & Fukusaki, E.
(2013). Current metabolomics: Practical applications. Journal of Bioscience and
Bioengineering, 115, 579–589. https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2012.12.007
Putri, S. P., Yamamoto, S., Tsugawa, H., & Fukusaki, E. (2013). Current metabolomics:
Technological advances. Journal of Bioscience and Bioengineering, 116(1), 9–16.
https://doi.org/10.1016/j.jbiosc.2013.01.004
Shiratake, K., & Suzuki, M. (2016). Omics studies of citrus, grape and rosaceae fruit trees. Breeding
Science, 66, 122–138.
Tianniam, S., Tarachiwin, L., Bamba, T., Kobayashi, A., & Fukusaki, E. (2008). Metabolic profiling
of Angelica acutiloba roots utilizing gas chromatography-time-of-flight-mass spectrometry for
quality assessment based on cultivation area and cultivar via multivariate pattern recognition.
Journal of Bioscience and Bioengineering, 105(6), 655–659.
https://doi.org/10.1263/jbb.105.655
Tosetti, R., Martinelli, F., Tonutti, P., & Barupal, D. K. (2012). Metabolomics approach to studying
minimally processed peach (Prunus persica) fruit. Acta Horticulturae, 934, 1017–1022.
Tosetti, R., Tardelli, F., Tadiello, A., Zaffalon, V., Giorgi, F. M., Guidi, L., … Tonutti, P. (2014).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 37

Molecular and biochemical responses to wounding in mesocarp of ripe peach (Prunus persica
L. Batsch) fruit. Postharvest Biology and Technology, 90, 40–51.
https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2013.12.001
Verpoorte, R., Choi, Y. H., & Kim, H. K. (2010). Metabolomics: Will it stay? Phytochemical
Analysis, 21(1), 2–3. https://doi.org/10.1002/pca.1191
Wahyuni, Y., Ballester, A.-R., Yury, @bullet, @bullet, T., De Vos, R. C. H., Koen, @bullet, … Bino,
R. J. (2013). Metabolomics and molecular marker analysis to explore pepper (Capsicum sp.)
biodiversity. Metabolomics, 9, 130–144. https://doi.org/10.1007/s11306-012-0432-6
Wang, L., Nagele, T., Doerfler, H., Fragner, L., Chaturvedi, P., Nukarinen, E., … and other 3 authors.
(2016). System level analysis of cacao seed ripening reveals a sequential interplay of primary
and secondary metabolism leading to polyphenol accumulation and preparation of stress
resistance. The Plant Journal : For Cell and Molecular Biology, 87(3), 318–332.
https://doi.org/10.1111/tpj.13201
White, I. R., Blake, R. S., Taylor, A. J., & Monks, P. S. (2016). Metabolite profiling of the ripening
of Mangoes Mangifera indica L. cv. “Tommy Atkins” by real-time measurement of volatile
organic compounds. Metabolomics. https://doi.org/10.1007/s11306-016-0973-1
Worley, B., & Powers, R. (2013). Multivariate Analysis in Metabolomics. Curr Metabolomics, 1(1),
92–107. https://doi.org/10.2174/2213235X11301010092
Zhang, J., Wang, X., Yu, O., Tang, J., Gu, X., Wan, X., & Fang, C. (2011). Metabolic profiling of
strawberry (Fragaria3ananassa Duch.) during fruit development and maturation. Journal of
Experimental Botany, 62(3), 1103–1118. https://doi.org/10.1093/jxb/erq343

BIOGRAFI PENULIS
Anjaritha Aulia Rizky Parijadi, M.Eng., S.Si
Anjaritha Aulia Rizky Parijadi adalah mahasiswa doktor di De-
partemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University. An-
jaritha mendapatkan gelar masternya di bidang Bioteknologi
pada tahun 2016 yang didanai oleh pemerintah Jepang melalui
beasiswa Monbukagakusho/MEXT. Topik riset doktoral An-
jaritha adalah aplikasi metabolomik untuk studi pematangan
buah klimaterik, yakin manggis dan pisang. Anjaritha saat ini
berperan sebagai salah satu team leader di grup riset Ibu Sastia
Putri tentang aplikasi metabolomik untuk produk pangan khas
Indonesia dan Jepang.
38 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Dr. Sastia Prama Putri, M.Eng., S.Si


Sastia Prama Putri adalah Assistant Professor di Departemen Biote-
knologi, Fakultasi Teknik, Osaka University dan dosen luar biasa di
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Sastia mendapatkan gelar doktornya di bidang Bioteknologi di tahun
2010 dari International Center for Biotechnology, Osaka University.
Saat ini Sastia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk biote-
knologi mikroba khususnya untuk produksi biofuel dan untuk produk
pangan khas Indonesia. Sastia bekerja di bawah naungan mentor
Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabo-
lomik di ilmu pangan. Ia turut mendirikan Formind Institute di tahun 2016 dan saat ini aktif
menjadi board member dari International Metabolomics Society sejak tahun 2013. Ia me-
menangkan penghargaan L’Oreal for Women in Science di tahun 2015 untuk riset tentang
aplikasi metabolomik untuk kopi Indonesia.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 39

Review Article

Aplikasi Pendekatan Metabolomik untuk Ilmu Pangan dan Mikro-


biologi
Sastia Prama Putri1,2,3, Filemon Jalu Putra Nusantara1,, Safira Erlangga Putri1,
1
Department of Biotechnology, Graduate School of Engineering, Osaka University
2-1 Yamadaoka, Suita, Osaka, Jepang 565081
2
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Jl. Ganesa 10, Bandung, Indonesia 40132
3
Formind Institute, Indonesia
email :,1sastia_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp (Corresponding au-
thor),2filemon_jalu@bio.eng.osaka-u.ac.jp, 3safira_putri@bio.eng.osaka-u.ac.jp

Abstrak
Metabolomik, penilaian kuantitatif secara global terhadap metabolit dalam sistem biologis,
telah memainkan peran penting dalam berbagai bidang sains di era pasca genomik ini. Me-
tabolit adalah hasil interaksi genom sistem dengan lingkungannya dan bukan hanya produk
akhir dari ekspresi gen, namun juga merupakan bagian dari sistem yang berlangsung secara
terpadu dan terintegrasi. Metabolomik melengkapi studi omik lainnya, seperti genomik,
transkriptomik dan proteomik yang merupakan hasil 'turunan' dari ekspresi gen, maka peru-
bahan di tingkat metabolome dianggap akurat untuk menggambarkan aktivitas sel pada ting-
kat fungsional. Sebagai salah satu teknologi omik, metabolomik memiliki aplikasi yang
menarik di berbagai bidang, termasuk ilmu kedokteran, ilmu biologi, farmasi, dan pemod-
elan prediktif sistem tumbuhan, hewan dan mikroba. Selain itu, aplikasi terintegrasi dengan
genomik, transkriptomik, dan proteomik memberikan pemahaman yang lebih besar tentang
sistem biologi global. Artikel ini memaparkan prinsip dasar metabolomik dan terapannya di
bidang ilmu pangan dan mikrobiologi.
Kata kunci: Metabolomik, Mikrobiologi, Ilmu Pangan, Bioteknologi, Metabolit

Abstract
Metabolomics is the study of global quantitative assessment of metabolites in a biological
system. Metabolites are the result of the interaction of the system’s genome with its environ-
ment and are not merely the end product of gene expression but also form part of the regu-
latory system in an integrated manner. As one of the “omics” technology, metabolomics has
exciting applications in varied fields, including medical science, synthetic biology, medicine,
and predictive modeling of plant, animal and microbial systems. Integrated applications
with genomics, transcriptomics, and proteomics provide greater understanding of global
40 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

system biology. Here, we review the basic principles of metabolomics and its applications in
microbiology and food sciences.
Keywords: Metabolomics. Microbiology, Food Sciences Biotechnology, Metabolites

1. PENDAHULUAN
Metabolomik merupakan bidang ilmu yang melibatkan pengukuran metabolit secara kom-
prehensif dan merupakan studi ilmu yang menggabungkan ilmu biologi, kimia analitik dan
bioinformatik. Ada tiga pendekatan utama yang digunakan dalam metabolomik: (i) Targeted
approach yakni analisis yang ditargetkan komponen metabolitnya (pengukuran kuantitatif
dan tepat dari konsentrasi metabolit yang diketahui), (ii) Untargeted approach (pengukuran
metabolomik secara komprehensif), dan (iii) Metabolite fingerprinting (pengukuran cepat,
evaluasi total biochemical fingerprint untuk diskriminasi sampel yang berbeda dimana iden-
tifikasi metabolit tidak diperlukan). Kekuatan metabolomik terletak pada perolehan data
analitik dimana metabolit dalam sistem seluler dihitung secara keseluruhan, dan ekstraksi
elemen data yang paling berperan pada sampel dengan menggunakan berbagai jenis analisis
data menggunakan pendekatan statistik. Bidang metabolomik terus bertumbuh dengan cepat
selama dekade terakhir dan telah terbukti menjadi teknologi yang sangat kuat dalam mem-
prediksi dan menjelaskan fenotip kompleks dalam sistem biologis yang beragam. Penerapan
teknologi metabolomik di bidang biologi mencakup (i) analisis informatif untuk mengkarak-
terisasi dan mengidentifikasi senyawa yang diinginkan (disebut sebagai “metabolomik in-
formatif”), (ii) prediksi berbagai fenotip melalui analisis multivariat dengan menggunakan
data metabolom sebagai variabel penjelas (di sini disebut "metabolomik prediktif") dan (iii)
metabolomik komparatif untuk menentukan metabolit yang bertanggung jawab untuk klas-
ifikasi sampel menurut jenis atau untuk tujuan diskriminatif. Secara umum, alur kerja metab-
olomik terdiri dari pembuatan rancanngan penelitian, persiapan sampel biologis, analisis
dengan menggunakan berbagai instrumen, pengolahan data dan analisis data.

2. APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU PANGAN


Aplikasi teknologi metabolomik dalam ilmu pangan meliputi analisis informatif untuk
mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa target, memprediksi nilai kuantitatif fungsi
pangan dengan bantuan analisis multivariat (metabolomik prediktif) dan metabolomik
komparatif untuk menentukan metabolit yang bertanggung jawab dalam pengelompokkan
sampel (diskriminatif) (Cevallos-Cevallos et al, 2009). Berikut ini akan dibahas mengenai
aplikasi metabolomik prediktif dan komparatif dalam memprediksi karakteristik sensori dan
diskriminasi produk pangan.

3.1 Metabolomik Model Prediktif


Uji sensori atau organoleptik merupakan proses ilmiah dalam membangkitkan, mengukur,
menganalisis, dan menginterpretasikan sebuah produk sebagai bentuk respon dari kelima
panca indra, yang meliputi indra penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran.
Uji sensori memainkan peranan penting dalam industri makanan karena berpengaruh besar
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 41

terhadap penentuan harga serta kualitas dari produk-produk makanan. Namun, reprodusibil-
itas uji sensori sangat bergantung kepada kemampuan panelis. Terlebih, pelatihan untuk pan-
elis membutuhkan banyak waktu, perhatian dan biaya yang tidak sedikit. Menyiasati masa-
lah tersebut, sebuah alternatif berupa protokol berbasis instrumen yang lebih objektif dan
efisien dirancang untuk menyempurnakan data uji sensori.

Dalam beberapa dekade terakhir, usaha yang signifikan telah dilakukan untuk mengem-
bangkan prosedur analisis kualitas produk pangan dan minuman dengan menggunakan data
instrumen, dimana data tersebut dapat berfungsi sebagai data penyempurna ataupun data
yang dapat menggantikan uji sensori. Akibat dari tingginya kompleksitas produk pangan,
penggunaan metode matematika sederhana seperti analisis regresi tidak cocok bila
digunakan dalam mengkontrol kualitas makanan. Namun, pemanfaatan perkembangan in-
strumen analitik yang dikombinasikan dengan metode pengenalan pola multivariat (chemo-
metric), memungkinkan kita untuk memahami kompleksitas sampel dan mengekstrak ele-
men terpenting untuk analisis.

Analisis multivariat yang paling umum digunakan untuk analisis prediktif adalah pendeka-
tan berbasis Projection to Latent Structure (PLS) yang meliputi Partial Least Square-Dis-
criminative Analysis (PLS-DA), PLS orthogonal, dan lain-lain. Metode-metode tersebut
mendeskripsikan variasi yang terdapat dalam matriks variabel respon (Y) dengan
menggunakan informasi yang diperoleh dari variabel penjelas. Jika matriks Y memiliki var-
iabel yang spesifik, seperti evaluasi kualitas makanan dengan uji sensori, maka pendekatan
PLS sangat membantu dalam mengekstrak metabolit penting yang berkaitan dengan variabel
Y (Putri et al, 2013).

Prediksi berbasis PLS yang menggunakan data metabolom sangat berguna dalam mempred-
iksi atribut sensori dari berbagai macam sampel makanan seperti teh hijau (Pongsuwan et al,
2007), keju (Ochi et al, 2012), kecap (Song et al, 2010; Yamamoto et al, 2012) ataupun
produk laut seperti udang. Prinsip dari permodelan prediktif sensori untuk makanan, terletak
pada penggunaan model statistik dimana profil metabolit berperan sebagai variabel penjelas
dan atribut sensori sebagai variabel respon. Data metabolom yang di plot sebagai variabel
penjelas dapat diperoleh dengan metode analisis target (pengukuran secara kuantitatif ke-
lompok metabolit tertentu), pemrofilan metabolit (identifikasi metabolit yang belum
diketahui) dan sidik jari metabolit (evaluasi sidik jari biokimia tanpa memerlukan identifi-
kasi metabolit) (Putri et al, 2013). Kerangka kerja utama dari studi ini meliputi beberapa
poin, dimulai dari melakukan analisis metabolit dengan menggunakan instrumen analitik
dan analisis multivariat; membuat pemodelan prediktif sensori yang menjelaskan keterkaitan
antara analisis sensori deskriptif dan set data metabolit; dan mengklasifikasi komponen-
komponen yang berkontribusi terhadap model prediktif.

Meskipun pendekatan metode analisis target dapat berguna dalam memprediksi atribut sen-
sori makanan, pemahaman yang komprehensif mengenai hubungan antara komposisi kimia
keseluruhan dan karakteristik sensori sulit untuk dicapai sebagai akibat banyaknya kompo-
42 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

nen di dalam makanan yang dapat mempengaruhi rasa dan karakteristiknya (Cevallos-Ce-
vallos dan Reyes-De-Corcuera, 2012). Di sisi lain, pemrofilan metabolit (analisis tanpa tar-
get) dapat menawarkan karakterisasi properti makanan yang komprehensif dan memung-
kinkan pengidentifikasian senyawa baru terkait dengan karakteristik makanan tersebut tanpa
bias. Studi yang dilakukan oleh Ochiet al, dapat mengilustrasikan dengan jelas, bagaimana
cara memprediksi karakteristik sensori dari proses pematangan keju menggunakan prinsip
metabolomik (Ochi H et al, 2012). GC-MS TOF digunakan untuk pemrofilan metabolit
(tanpa target) yang bersifat hidrofilik dan bermassa molekul rendah, seperti asam amino,
asam lemak, asam organik, dan sakarida dalam keju. PLS kemudian dikonstruksi untuk
memprediksi hubungan antara profil metabolit dan atribut sensori, dimana model tersebut
membantu dalam mengidentifikasi metabolit yang berhubungan dengan rasa yang spesifik.
Konsep yang sama juga dilakukan untuk memprediksi kualitas udang putih (L. vannamei)
yang diekspor dari Indonesia ke Jepang. Tingginya permintaan udang dan ketatnya per-
saingan antara negara pengekspor udang ke Jepang menjadikan re-evaluasi kualitas udang
ekspor hal yang penting. Variabel respon yang diperoleh dari data Quantitative Descriptive
Analysis (QDA) akan diprediksi menggunakan PLS. Analisis korelasi antara matriks profil
metabolit dan data QDA akan menunjukkan senyawa utama yang berkontribusi terhadap cita
rasa udang dan terkorelasi erat dengan data QDA. Metabolit tersebut merupakan marka yang
dapat digunakan sebagai umpan balik dalam hal mendesain kualitas udang serta manajemen
budidayanya.

2.2 Metabolomik Diskriminatif

Analisis diskriminatif digunakan untuk membedakan populasi-populasi sampel tanpa me-


manfaatkan model statistik ataupun evaluasi pathway hipotetik(Cevallos-Cevallos dan
Reyes-De-Corcuera, 2012). Secara umum, kerangka kerja utama studi ini adalah untuk;
melakukan pemrofilan metabolik atau sidik jari metabolit menggunakan instrumen analitik;
memvisualisasikan struktur data dan mengidentifikasi faktor yang memungkinkan pengklas-
ifikasian sampel dengan menggunakan analisis multivariat; dan mengidentifikasi biomarker
untuk klasifikasi.
Analisis multivariat merupakan metode paling umum yang dimanfaatkan dalam mendis-
kriminasi sampel, dimana Principal Component Analysis (PCA) merupakan metode visual-
isasi yang paling banyak digunakan. PCA merupakan pendekatan unsupervised dan berguna
dalam mengeksplorasi struktur data yang diperoleh dari instrumen analitik. Pendekatan su-
pervised yang meliputi PLS-DA) atau ortogonal PLS-DA merupakan metode analisis multi-
variat yang paling umum digunakan dalam mengidentifikasi besarnya signifikansi perbe-
daan antar marker secara statistik (Kobayashi et al, 2012).

Metabolomik diskriminatif telah banyak diaplikasikan dalam mengevaluasi kualitas ma-


kanan, keamanan pangan, dan menentukan perbedaan antar varietas atau habitat asli (origin)
(Cevallos-Cevallos et al, 2009). Aplikasi terbaru dalam metabolomik diskriminatif meliputi
studi mengenai nutrisi (nutrimetabolomics) dan evaluasi produk hasil rekayasa genetika
terkait dengan keamanan pangan regulasi (García-Cañas et al, 2011). Autentikasi pangan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 43

juga merupakan salah satu aplikasi penting dari metabolomik diskriminatif. Contoh ap-
likasinya adalah pemrofilan metabolit berbasis NMR untuk autentikasi keju mozarela dan
sample wine dengan menggunakan PCA dan Discriminative analysis (DA)-analisis multi-
variat (Cevallos-Cevallos dan Reyes-De-Corcuera, 2012). Metode pengenalan pola multi-
variat atau chemometrics merupakan metode yang sangat bermanfaat dalam mengkarak-
terisasi dan mengautentikasi pangan dikarenakan kelebihannya dalam mengkategorikan dan
memprediksi kelompok-kelompok pangan berdasarkan tipe, varietas, asal geografis, bahkan
mendeteksi adulterasi pada produk pangan. Dari semua metode yang digunakan, PLS-DA
(metode diskriminasi) merupakan metode klasifikasi paling populer dikarenakan potensi dan
kegunaannya (Bosque-Sendra et al, 2012).

3. APLIKASI METABOLOMIK DI BIDANG ILMU MIKROBIOLOGI

Mikroorganisme merupakan sampel yang sangat penting dalam bidang metabolomik, karena
banyak digunakan sebagai organisme modeluntuk pengembangan teknik metabolomik.
Studi metabolomik merupakan analisis metabolit yang sangat akurat dan memerlukan kon-
disi penelitian yang terkendalikan dengan baik serta optimum. Contoh dari kondisi yang
harus sangat dikontrol ketika melakukan metabolomik menggunakan mikroba adalah kon-
disi pertumbuhan saat kultivasi harus terjaga agar selalu konstan. Oleh karena itu, validasi
metode serta optimasi kondisi pertumbuhan mikroorganisme sangat penting untuk menge-
tahui metabolisme suatu mikroba secara menyeluruh dan optimum, terutama untuk preparasi
sampel (Putri et.al, 2013).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengoptimalkan preparasi sampel menggunakan


mikoorganisme dalam studi metabolomik (Winder et.al, 2008). Ada 2 proses penting dalam
preparasi sampel, yaitu Quenching (proses untuk menghentikan proses metabolism secara
cepat) dan ekstraksi. Quenching atau pendinginan sampel merupakan proses penghentian
secara menyeluruh reaksi biologis yang terjadi didalam sel dan yang kedua adalah proses
ekstraksi sel mikroorganisme untuk mengekstrak metabolit dari suatu mikroorganisme
secara menyeluruh. Pada tahapan awal perkembangan studi metabolomik, metabolomik
digunakan untuk studi diskriminasi berbagai mikroorganisme yang memliki perbedaan
karakteristik. Diskriminasi ini dapat dilakukan dengan melakukan komparasi metabolit
secara menyeluruh yang ada dalam mikroorganisme yang berbeda (Raamsdonk et.al, 2001).
Melalui berbagai penelitian sebelumnya, ada korelasi yang sangat erat antara karakter dari
mikroorganisme tertentu dengan kandungan profil metabolitnya. Proses pendinginan dan
ekstraksi sampel sangatlah penting untuk mengukur kuantitas sebenarnya metabolisme da-
lam suatu sel berdasarkan periode waktu tertentu. Dan metode quenching juga harus dil-
akukan secara cepat agar keakuratan waktu serta metabolisme yang diproduksi oleh mikroor-
ganisme dapat terlihat.

Ada dua jenis metode quenching yang paling umum digunakan:


44 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 1. Metode quenching


Metode Kegunaan Kelebihan kekurangan penerapan
Pendinginan dengan filter Sample diperoleh dengan Reproduksibilitas tinggi Memakan waktu lebih lama Untuk prokariotik organisme
mengunakan filter membran i.e E. coli
dan dilakukan pendinginan
secara cepat

Pendinginan dengan injeksi Sampel langsung diinjeksikan Cepat Metabolit yang hilang atau Banyak digunakan untuk S.
ke dalam larutan pendingin tidak dapat terdeteksi cerevisiae
dan disentrifugasi

Pemilihan metode ekstraksi yang tepat amat harus dipertimbangkan kaitannya dengan sifat
sel mikroorganisme, seperti jenis membran sel, sifat kimia dari analit dan reaktivitas target
dari enzim. Metode yang paling umum adalah ekstraksi dengan pelarut organik,
menggunakan metanol dan kloroform dan perlakuan kondisi lain seperti suhu yang tinggi
atau suhu yang sangat rendah turut digunakan. Dalam studi awal ekstraksi metabolit dari
Escherichia coli menggunakan metanol dingin (-40o) menunjukan hasil yang lebih baik da-
ripada menggunakan metanol panas, ethanol panas, asam perklorat atau metanol/kloroform.
Hal ini berdasarkan pertimbangan reproduksibilitas, kemudahan, serta jumlah metabolit
yang data terdeteksi. Metode ekstraksi lain juga dapat dikembangkan dan disesusaikan
dengan target analisis serta mikroorganisme yang akan diteliti. Seperti untuk Saccharomyces
cerevisiae, metode dengan menggunakan kloroform dan metanol panas lebih baik karena
lebih efisien dalam mendapatkan metabolit dari sel dibandingkan dengan ekstraksi metanol
dingin dan asetonitril-metanol (Maharjan et.al, 2003).

Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam studi metabolomik saat ini adalah E.
coli. Studi sebelumnya dikenal dengan metode TLC (Thin layer chromatography) atau kro-
matografi lapis tipis dan 14C-glucose yang digunakan untuk menganalisa hubungan antara
metabolisme sel dan regulasinya secara menyeluruh. Studi tersebut menjelaskan ragam me-
tabolit seperti glutamat, aspartat, trehalosa, adenosin, gula-UDP dan putresin dalam variasi
tingkatan dengan perbedaan spesifik tingkat pertumbuhan di bawah kondisi chemostat. Hub-
ungan antara asimilasi amonia dan perturbasi nutrisi dipelajari dengan kombinasi dari
kuantifikasi absolut dan simulasi fluks (Yukihira et.al, 2010). Studi ini melaporkan dua sen-
yawa penting yakni 2-oksoglutarat dan glutamin untuk asimilasi amonia. Baru-baru ini, be-
berapa penelitian dari grup kami melaporkan penggunaan teknik metabolomik untuk
pengembangan produktivitas mikroba yang digunakan sebagai cell-factory. Pada umumnya,
mikroba yang berperan dalam proses industri terus dikembangkan karakteristiknya agar
lebih produktif dan efisien dalam memproduksi senyawa biokimia ataupun biofuel di indus-
tri. Secara konvensional, proses pengembangan dan peningkatan produktivitas strain dapat
dilakukan melalui metode pendekatan rasional, dimana metabolisme suatu mikroba
direkayasa sedemikian rupa berdasarkan pengetahuan tentang proses biokimia, komponen
genetika dan teknologi fermentasi mikroba. Pada umumnya proses ini berlangsung lama dan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 45

seringkali tidak sesuai dengan harapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan non rasional,
dimana proses pengembangan strain dilakukan secara random lewat metode mutagenesis
dimana proses pengembangan dapat dilakukan secara cepat namun mekanisme secara detil
tentang bagaimana fenotip baru dapat dihasilkan tidak dapat diketahui. Pendekatan yang be-
rada di antara kedua pendekatan yang telah dijabarkan diatas adalah pendekatan semi ra-
sional, seperti contohnya pendekatan menggunakan bidang ilmu omik. Pendekatan metabo-
lomik untuk pengembangan mikroba yang digunakan sebagai cell factory merupakan salah
satu aplikasi metabolomik yang paling terbaru. Pendekatan ini berdasarkan analisa
komparatif di level omik, seperti genomik, transkriptomik, proteomik ataupun metabolomik.
Perbedaan di level omik ini bisa dengan cepat memberikan informasi perbedaan signifikan
antar dua mikroorganisme yang pada akhirnya bisa ditelaah lebih lanjut untuk menentukan
target gen untuk peningkatan fenotip ataupun karakteristik dari mikroorganisme tersebut.

Kombinasi data metabolom dan analisis data multivariat seperti Principal Component Anal-
ysis atau Partial Least Square regression dapat menunjukkan metabolit-metabolit mana yang
paling banyak memberikan kontribusi pada fenotip tertentu (Nitta et.al, 2017). Oleh karena
itu, konsentrasi metabolit dapat bertindak sebagai variabel prediktor kuantitatif untuk fe-
notip-fenotip penting terkait mikrobiologi industri. Contoh penggunaan analisis metabolom
non-target untuk peningkatan fenotip yang penting untuk industri, yakni toleransi terhadap
pelarut kimia, dilaporkan dalam makalah terbaru kami. Secara singkat, berbagai strain mu-
tan delesi tunggal S. cerevisiae dikultivasi di dalam cekaman 1-butanol untuk mengukur tol-
eransi mereka terhadap 1-butanol. Strain ini juga dikultivasi di bawah kondisi non-stres un-
tuk analisis metabolom. Data metabolisme dan toleransi digabungkan untuk membangun
model regresi, yang memberikan informasi tentang metabolit yang sangat terkait dengan
toleransi. Dengan asumsi bahwa metabolit memiliki hubungan kausal dengan toleransi, tar-
get gen yang diprediksi untuk dapat mengubah pool metabolit di dalam sel yang pada
akhirnya bisa meningkatkan tingkat toleransi terhadap 1-butanol dapat diidentifikasi.
Akhirnya, strain delesi baru diperoleh, dan tingkat toleransi dan metabolitnya diukur untuk
memvalidasi model yang telah dibuat sebelumnya. Strain baru menunjukkan tingkat toler-
ansi terhadap 1-butanol yang lebih tinggi, sehingga memvalidasi hubungan antara metabolit
ini dan toleransi 1-butanol. Gambaran tentang penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
46 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Ilustrasi pendekatan metabolomik untuk mengidentifikasi gen untuk strain im-
provement (1). http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/

Pendekatan berbasis metabolomik lainnya untuk mengidentifikasi target gen adalah dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif yang ditargetkan (quantitative and targeted approach)
untuk pengukuran dengan resolusi yang lebih tinggi. Bila sudah ditentukan pathway di da-
lam alur metabolisme yang penting untuk peningkatan produksi senyawa tertentu, maka pen-
gukuran konsentrasi absolut senyawa intermediet di pathway tersebut dapat memberi wawa-
san yang kuat mengenai langkah pembatas laju di jalur. Selanjutnya, penggunaan profil ki-
netik seperti metabolite turnover analysis (3) sangat berguna untuk mengamati dinamika
seluler untuk optimasi pathway. Salah satu contoh strategi tersebut dijelaskan dalam laporan
lain (4) di mana penggunaa analisis target kuantitatif dan profil kinetik difokuskan kepada
senyawa intermediet yang penting untuk mengidentifikasi langkah pembatas laju dalam sis-
tem rekayasa untuk produksi 1-butanol dalam cyanobacteria. Produksi 1-butanol di
mikroorganisme fotosintetik cyanobacteria merupakan sistem model penting untuk konversi
langsung CO2 ke bahan bakar dan bahan kimia. Produksi 1-butanol dicapai dengan mem-
perkenalkan pathway Koenzim A (CoA) yang dimodifikasi dari spesies Clostridium yang
menghasilkan rekayasa genetika Synechococcus elongatus yang dapat mengubah CO2 di at-
mosfer menjadi 1-butanol (Toshiyuki et.al, 2017). Upaya untuk meningkatkan titer masih
terfokus pada jalur CoA, oleh karena itu, pendekatan yang ditargetkan untuk menguji inter-
mediet CoA menghasilkan wawasan yang sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas
1-butanol. Kesimpulannya, pendekatan berbasis metabolisme sangat bermanfaat untuk
mengembangkan strategi untuk mengoptimalkan kinerja jalur dalam produksi kimia
mikroba.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 47

Metabolomik untuk studi sistem biologis masih memiliki masa yang panjang dalam pengem-
bangannya sebelum mencapai kedewasaan sebagai bidang ilmu. Di masa depan, analisis
metabolisme dari mikroorganisme akan tetap ada dan tak ternilai harganya

4. PROSPEK MASA DEPAN STUDI METABOLOMIK

Identifikasi atau anotasi senyawa adalah salah satu masalah yang harus diselesaikan untuk
pengembangan lebih lanjut dari penelitian metabolomik. Saat ini, identifikasi metabolit yang
tidak diketahui merupakan hambatan utama di bidang metabolomik. Meskipun ada ratusan
sampai ribuan metabolit yang terdeteksi, kebanyakan dari metabolit tetap tidak dikenal ka-
rena keterbatasan informasi metabolit di pustaka metabolit dan tidak tersedianya referensi
terstandardisasi. Oleh karena itu, terlepas dari kemajuan teknologi terkini dalam bidang
kimia analitik dan pengolahan data, masih banyak masalah yang harus diatasi untuk mem-
buat metabolomik menjadi studi yang sangat berguna bagi peneliti. Walaupun profil LC/MS
sekarang lebih informatif karena sensitivitas yang lebih tinggi dari instrumen MS yang baru
dirilis, hanya sebagian kecil dari metabolit yang dapat diidentifikasi dan digunakan untuk
interpretasi biologi di antara ribuan sinyal yang terdeteksi.

Upaya saat ini untuk memecahkan masalah ini melibatkan penambahan informasi dalam li-
brary, penggunaan ataupun gabungan berbagai platform instrumentalia (LC-NMR, LC-
TOFMS, GCTOF-MS13, CE-TOFMS14,15), pengembangan algoritma untuk perhitungan
retention index dan software untuk prediksi senyama secara in-silico.

DAFTAR REFERENSI
Atkinson, P. M. dan A. R. L. Tatnall. 1997. Neural Networks in Remote Sensing. International Jour-
nal of Remote Sensing. Vol. 18, No. 4: hal. 699-709.
Bosque-Sendra, JM., Cuadros- Rodriguez, L., Ruiz-Samblas, C., de la Mata, P. 2012. Combining
chromatography and chemometrics for the characterization and authentication of fats and
oils from triacylglycerol compositional data –a review. Anal. Chim. Acta. Vol 724: hal 1–11.
Cevallos-Cevallos, JM., dan Reyes-De-Corcuera, JI. 2012. Metabolomics in food science. Advance
in Food and Nutrition Research. Vol 67: hal 1–24 (2012).
Cevallos-Cevallos, JM., Reyes-De-Corcuera, JI., Etxeberria E, Danyluk MD., Rodrick GE. 2009.
Metabolomic analysis in food science: a review. Trends Food Science and Technology. Vol
20: hal 557–566.
García-Cañas, V., Simó, C., León, C., Ibáñez, E., Cifuentes, A.2011. MS- based analytical methodol-
ogies to characterize genetically modified crops. Mass Spectrometry Review. Vol 30: hal
396–416.
Katsuaki, N., Walter, A. L., Sammy, P., James, C. L., Putri, S. P., Eiichiro, F. 2017. Orthogonal partial
least squares/projections to latent structures regression-basedmetabolomics approach for
identification of gene targets for improvement of1-butanol production in Escherichia coli.
Journal Bioscience and Bioengineering http://dx.doi.org/10.1016/j.jbiosc.2017.05.015.
48 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Kobayashi, S., Putri, SP., Yamamoto, Y., Donghyo, K., Bamba, T., Fukusaki, E. 2012. Gas chroma-
tography-mass spectrometry based metabolic profiling for the identification of discrimina-
tion markers of Angelicae Radix and its application to gas chromatography–flame ionization
detector system. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 114: hal 232–236
Maharjan, R. P. dan Ferenci, T. 2003. Global metabolite analysis: the influence ofextraction
methodology on metabolome profiles of Escherichia coli, Analytical Biochemistry. Vol 313:
hal 145-154.
Ochi, H., Naito, H., Iwatsuki, K., Bamba, T., Fukusaki, E., 2012. Metabolomics-based component
profiling of hard and semi-hard natural cheeses with gas chromatography/time-of-flight-
mass spectrometry, and its application to sensory predictive modeling. Journal of Bioscience
and Bioengineering. Vol 113: hal 751–758.
Pongsuwan, W., Fukusaki, E., Bamba, T., Yonetani, T., Yamahara, T., Kobayashi, A. 2007. Prediction
of Japanese Green tea ranking by gas chromatography/mass spectrometry-based hydrophilic
metabolite fingerprinting. Journal of Agriculture and Food Chemistry. Vol 55: hal 231–236
Putri, S. P., Yasumune, N., Fumio, M., Takato, U., Shizu, K., Atsuki, M., Fukusaki, E. 2013. Current
metabolomics: practical applications. Journal Bioscience and Bioengineering. Vol 115, No.
6: hal 579-589.
Putri, SP., Yamamoto, S., Tsugawa, H., Fukusaki, E. 2013. Current metabolomics: technological ad-
vances. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 116: hal 9–16.
Raamsdonk, L. M., Teusink, B., Broadhurst, D., Zhang, N., Hayes, A.,Walsh, M. C., Berden, J. A.,
Brindle, K. M., Kell, D. B., Rowland, J. J. 2001. A functional genomics strategy that uses
metabolome data toreveal the phenotype of silent mutations, Nature Biotechnology. Vol 19:
hal. 45-50.
Song, S., Zhang, X., Hayat, K., et al. 2010. Contribution of beef base to aroma characteristics of
beeflike process flavour assessed by descriptive sensory analysis and gas chromatography
olfactometry and partial least squares regression. Journal of Chromatography A. Vol 1217:
hal 7788–7799.
Toshiyuki, O., Sammy, P., Walter, A. L., James, C. L., Putri, S. P., Eiichiro, F. 2017. Metabolomics-
driven approach to solving a CoA imbalance for improved 1-butanol production
in Escherichia coli. Metabolic Engineering. Vol 41: hal 135-143.
Winder, C. L., Dunn, W. B., Schuler, S., Broadhurst, D., Jarvis, R.,Stephens, G.M., Goodacre, R.
2008. Global metabolic profiling of Escherichiacoli cultures: an evaluation of methods for
quenching and extraction ofintracellular metabolites. Analytical Chemistry. Vol 80: hal.
2939-2948.
Yamamoto, S., Bamba, T., Sano, A., et al. 2012 Metabolite profiling of soy sauce using gas chroma-
tography with time-of-flight mass spectrometry and analysis of correlation with quantitative
descriptive analysis. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol 114: hal 170–175
Yukihira, D., Miura, D., Saito, K., Takahashi, K., Wariishi, H. 2010. MALDI-MS-based high
throughput metabolite analysis for intracellularmetabolic dynamics. Analytical Chemistry.
Vol 82: hal 4278-4282.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 49

BIOGRAFI PENULIS
Dr. Sastia Prama Putri, M.Eng., S.Si
Sastia Prama Putri adalah Assistant Professor di Departemen Biote-
knologi, Fakultas Teknik, Osaka University dan dosen luar biasa di
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Sastia mendapatkan gelar doktornya di bidang Bioteknologi di tahun
2010 dari International Center for Biotechnology, Osaka University.
Saat ini Sastia memimpin grup aplikasi metabolomik untuk biote-
knologi mikroba khususnya untuk produksi biofuel dan untuk produk
pangan khas Indonesia. Sastia bekerja di bawah naungan mentor
Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabo-
lomik di ilmu pangan. Ia turut mendirikan Formind Institute di tahun
2016 dan saat ini aktif menjadi board member dari International Metabolomics Society sejak
tahun 2013. Ia memenangkan penghargaan L’Oreal for Women in Science di tahun 2015
untuk riset tentang aplikasi metabolomik untuk kopi Indonesia.

Filemon Jalu Nusantara Putra, S.Si


Filemon Jalu Nusantara Putra adalah mahasiswa paska sarjana di De-
partemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University dan meru-
pakan lulusan sarjana S1 Biologi dari Universitas Diponegoro, Sema-
rang. Ia sempat bekerja sebagai peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) selama 2 tahun di laboratorium Biokatalis
dan Fermentasi, Pusat Penelitian Bioteknologi, Cibinong.

Safira Erlangga Putri, S.T


Safira Latifa Erlangga Putri adalah mahasiswa paska sarjana tingkat
2 di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University
dan merupakan lulusan sarjana S1 Teknik Kimia dari Universitas In-
donesia, Depok. Saat ini ia sedang meneliti kualitas udang vannamei
berdasarkan aspek metabolomik.
50 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Review Article

Analisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan


Teknologi STeP (Sub-Terrain Prospecting) (Studi Kasus: Blok
Lampung)
Farah Nafisa Ariadji1, Ketut Wikantika2, Tutuka Ariadji3
1
Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
2
Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
3
Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

email : 1farah.ariadji@gmail.com, 2wikantika.ketut@gmail.com, 3tutukaariadji@gmail.com

Abstrak
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terus dilakukan demi tersedianya cadangan minyak
bumi. Namun, di sisi lain angka penemuan sumber daya minyak bumi di Indonesia dari tahun
ke tahun kian menurun. Belum lagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tidak selalu
membawa keberhasilan (dry hole). STeP (Sub-Terrain Prospecting) adalah sebuah teknologi
yang merupakan kombinasi penginderaan jauh dan analitik dengan tujuan memberikan so-
lusi alternatif terhadap permasalahan eksplorasi tersebut melalui interpretasi dan kuantifikasi
berbagai pengaruh yang terjadi pada sub-permukaan Bumi untuk menilai dan menentukan
adanya struktur hidrokarbon. Teknologi STeP ini terdiri dari empat tahapan analisis yaitu
analisis litodinamik, analisis struktur geodinamik, analisis spektrometri, dan analisis
strukturometri. Keempat tahapan ini dikombinasi untuk menghasilkan sebuah model dengan
gambaran wilayah paling berprospek dengan hidrokarbon. Setelah menghasilkan sebuah
model, untuk meningkatkan tingkat keakuratan daerah potensi sumber minyak bumi perlu
dilakukan survei tambahan seperti survei seismik. Teknologi STeP memiliki keunggulan da-
lam mempersempit wilayah yang diduga mengandung minyak, sehingga biaya eksplorasi
geologi yang dikeluarkan akan menurun.
Kata kunci: Sub-permukaan, Hidrokarbon, Litodinamik, Geodinamik, Spektrometri,
Strukturometrik
Abstract
Exploration and exploitation activities continue to be done for the availability of petroleum
reserves. On the other hand, the rate of discovery of petroleum resources in Indonesia from
year to year is declining. Not to mention exploration and exploitation activities that do not
always bring success (dry hole). STeP (Sub-Terrain Prospecting) is a remote sensing tech-
nology and analytics which interprets and quantifies the effects of subsurface on the Earth’s
surface to assess and determine the presence of a hydrocarbon structure. STeP technology
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 51

consists of four stages, namely lithodynamic analysis, geodynamic structure analysis, spec-
trometry analysis, and structurometric analysis. These four stages are combined to produce
a model with an overview of the most prospective area with hydrocarbons. After generating
a model, to improve the accuracy of local potential petroleum source, additional survey
should be conducted, such as seismic surveys. STeP technology has the advantage of nar-
rowing the suspected areas that contain oil, therefore the cost of geological exploration will
decrease.
Keywords: sub-terrain, hydrocarbon, lithodynamic, geodynamic, spectrometry, structurom-
etry

1. PENDAHULUAN
Kebutuhan dunia akan minyak bumi terus meningkat menjadikan peranan eksploitasi sangat
penting demi tetap tersedianya cadangan minyak bumi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak bumi tidak dilakukan secara langsung namun terlebih dahulu dilakukan interpretasi
secara geologi dan geofisika untuk mencari titik potensi sumber minyak. Pada prakteknya,
hasil kegiatan eksplorasi ini tidak selalu membawa keberhasilan, dimana tidak terdapat sum-
ber minyak bumi pada titik potensi sumber minyak yang dimaksud (dry hole). Secara lebih
detil pada Laporan Tahunan SKK MIGAS Tahun 2016, disebutkan bahwa semenjak tahun
2012 pengeboran eksplorasi migas di Indonesia kian menurun. Tahun 2016, jumlah sumur
yang ditajak dan selesai sebanyak 23 sumur dari total sumur sebanyak 34 dengan success
ratio sebesar 65%. Angka success ratio ini menurun drastis jika dibandingkan dengan tahun
2015, yaitu sebesar 82% (Gambar 1).

Gambar 1. Pengeboran eksplorasi migas di Indonesia tahun 2002-2016 (Sumber: Laporan Tahunan
SKK MIGAS 2016)
52 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Dengan kemajuan teknologi dan gabungan dari berbagai disiplin ilmu, angka potensi ca-
dangan minyak bumi di Indonesia dapat ditingkatkan. STeP adalah teknologi baru yang be-
lum banyak dipakai di industri minyak dan gas bumi. STeP adalah sebuah teknologi
penginderaan jauh dan analitik yang menginterpretasi dan mengkuantifikasi berbagai fe-
nomena alam pada permukaan bumi menggunakan pemodelan dan algoritma
canggih.Teknologi STeP menawarkan alternatif teknologi yang terintegrasi guna meningkat-
kan akurasi untuk penentuan potensi hidrokarbon dan diperkirakan lebih murah biayanya
serta lebih cepat dalam pemrosesan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
teknologi STeP sebagai alternatif dalam pencarian sumber cadangan minyak bumi dan se-
bagai referensi bagi para pemangku kepentingan sebelum melakukan eksplorasi migas.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi referensi.
2. METODE DAN DATA
2.1 Geologi Regional Sumatera
Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-
Australia, Eurasia, dan lempeng Pasifik. Pulau Sumatera secara fisiografi berorientasi barat
laut dan terletak di bagian barat Paparan Sunda dan di selatan Lempeng Eurasia. Pulau ini
memiliki panjang sekitar 1.760 km dan lebar 400 km dengan kisaran luas 435.000 km2.
Gambaran umum (trendline) fisiografi Pulau Sumatera adalah bagian belakangnya (back-
bone) dibentuk oleh Pegunungan Bukit Barisan sepanjang sisi barat. Daerah ini membagi
daerah pantai bagian barat dan timur (Bemmelen, 1949).
2.1.1 Geologi Cekungan Sumatera Selatan
Daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera
Selatan merupakan salah satu cekungan belakang busur berumur Tersier. Cekungan ini
terbentuk akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng
Kontinen Asia dan Lempeng Samudera Hindia. Daerah cekungan ini dibatasi oleh sing-
kapan Pra-Tersier Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur,
Pegunungan Tigapuluh di sebelah barat, dan Tinggian Lampung ke arah tenggara.
Struktur geologi di daerah Cekungan Sumatera Selatan memiliki sejarah perkembangan
evolusi cekungan yang lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Su-
matera. Pada umumnya, struktur geologi Cekungan Sumatera ditunjukkan oleh dua kom-
ponen utama, yaitu (1) batuan dasar pre-Tersier yang membentuk half graben, horst, dan
blok sesar (de Coster, 1974), dan (2) elemen struktur berarah baratlaut-tenggara dan
struktur depresi di timurlaut yang keduanya terbentuk sebagai akibat dari orogen Plio-
Plistosen (de Coster, 1974).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 53

Gambar 2.. Daerah studi kasus (Wulyadi dkk., 2010)


2.1.2 Indikasi Terdapatnya Cekungan Tersier
Berdasarkan studi geologi dan geofisika yang dilakukan oleh LAPI ITB tahun 2007,
didapatkan data gaya berat yang menunjukkan adanya “cekungan sedimen” yang ditandai
dengan tinggian dan rendahan di Blok Lampung (Gambar 4). Semakin tinggi densitas
gaya berat pada suatu daerah, maka akan semakin kecil sedimen yang terkandung dalam
daerah tersebut.Berdasarkan Gambar 5, dengan pola Sumatera (NW-SE) terlihat tiga
dalaman (cekungan).

Gambar 3. Peta Anomali Bouger yang memperlihatkan pola tinggian dan dalaman yang dapat
ditafsirkan sebagai tinggian dan cekungan (LAPI ITB dan Pertamina, 2007 dalam Wulyadi dkk.,
2010)
54 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 4. Model Geologi berdasarkan data Bouger yang memperlihatkan adanya struktur graben
(LAPI ITB& Pertamina, 2007 dalam Wulyadi dkk., 2010)

2.2 Data Penginderaan Jauh untuk Analisis dan Identifikasi Hidrokarbon


Pekerjaan ini menggunakan data satelit Lansdsat-ETM dan NOAA-AVHRR, yang keduanya
memiliki perbedaan resolusi spasial yang besar. Citra NOAA-AVHRR digunakan unttuk an-
alisis yang bersifat global, sedangkan Landsat-ETM digunakan untuk analisis yang lebih
detil. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis citra satelit tersebut.
2.2.1 Sistem Satelit Landsat
Satelit Landsat adalah satelit yang diluncurkan oleh U.S. Geological Survey (USGS) dan
National Aeronautics and Space Administration (NASA), untuk mengeluarkan citra dara-
tan dari luar angkasa secara rutin.Landsat 7 membawa sensor Enhanced Thematic Map-
per Plus (ETM+), dengan resolusi spasial 30 meter pada panjang gelombang cahaya tam-
pak, NIR, SWIR, resolusi spasial sebesar 60 meter pada band termal, dan resolusi spasial
15 meter pada band pankromatik. Landsat 7 terdiri dari 8 band dan karakteristik dari ke-
8 band memvisualisasikan objek-objek di permukaan bumi sesuai dengan panjang ge-
lombangnya (USGS EROS, 2012)
Citra Landsat yang telah diproses dapat digunakan untuk menentukan daerah anomali
spektral jika di overlay dengan DEM untuk meningkatkan visualisasi terrain. Fitur ge-
ologi yang telah ditingkatkan menggunakan rasio band citra Landsat berguna untuk
memisahkan dan mengidentifikasi material yang berbeda, namun bermasalah dalam
menghubungkan fitur paleochannel pada sub-permukaan. Citra yang telah diproses dapat
disampirkan di atas DEM, peta geologi, dan data citra NOAA-AVHRR untuk mening-
katkan interpretasi paleochannel(Hou dan Mauger, 2005).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 55

2.2.2 Sistem Satelit NOAA-AVHRR


Sensor Advanced very-high-resolution radiometer (AVHRR) adalah tipe sensor yang
dapat digunakan untuk menentukan tutupan awan dan suhu permukaan. Permukaan dapat
berupa permukaan bumi, permukaan awan, atau permukaan badan air. Sensor NOAA-
AVHRR menggunakan 6 detektor yang mengumpulkan berbagai radiasi band pada pan-
jang gelombang tertentu.
Citra NOAA-AVHRR pada umumnya digunakan untuk aplikasi atmosferik tetapi dapat
diaplikasikan pada permukaan tanah. Karena memiliki cakupan area yang global, citra
NOAA-AVHRR sering digunakan untuk studi fitur geologi atau fisiografi, kondisi veg-
etasi dan tren di tingkat global, analisis kelembapan tanah, dan lain-lain (Le Moigne dan
Cromp, 1999). Suhu radiasi yang dicatat oleh citra NOAA-AVHRR adalah hasil dari suhu
kinetik dan emisivitas material, yang merupakan ukuran kemampuan untuk menyerap
dan memancarkan kembali energi panas (Kahle, 1080 dalam Hou dan Mauger, 2005).
Pendeteksi dan konfigurasi orbit pada data malam hari citra NOAA-AVHRR berguna
untuk mendeteksi variasi temperatur dalam sedimen paleochannel yang berkaitan dengan
kadar kelembapan pada channel tersebut (Hou dan Mauger, 2005)
2.3 Teknologi Sub-Terrain Prospecting(STeP)
Terra Insight Services adalah sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi serta min-
eral dimana para ahlinya mengembangkan teknologi Sub-Terrain Prospecting (STeP).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grossneft Technology pada tahun 2009, setiap
metode yang tercakup dalam STeP adalah berdasarkan fakta bahwa banyak proses penting
geologi yang terjadi di sub-permukaan (sub-soil) yang ditunjukkan secara beragam diatas
permukaan bumi atau ditunjukkan dengan bentuk-bentuk relief atau dalam bentuk anomali
bidang fisis seperti termal, gravitasi, dan magnet. Pada paruh kedua abad ke-20, muncul
sebuah peluang hasil pengamatan bumi secara konstan dari ruang angkasa dengan data pen-
gukuran suara (remote sounding data). Saat ini, pengolahan remote sounding data dan
metode matematis yang dikembangkan dan direalisasikan dalam perangkat lunak memung-
kinkan identifikasi atribut khusus, contohnya geoinformation anomalies.Anomali-anomali
ini menyimpan banyak informasi dan mencerminkan struktur dan fitur kerak Bumi.
Teknologi STeP terdiri dari empat tahapan untuk meneliti kerak bumi dengan tujuan men-
gidentifikasi inter-relasi antar proses endogenetik dan kemunculanya pada permukaan bumi.
Secara diagram alir dijelaskan sebagai berikut.
56 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5. Diagram alir tahapan teknologi STeP (diadaptasi dari Wulyadi dkk, 2010)
2.3.1 Analisis Litodinamik
Tujuan analisis litodinamik adalah menganalisis hubungan bentuk-bentuk relief pada per-
mukaan dengan proses endogen di bawah permukaan. Kajian dilakukan dengan men-
transformasi peta topografi dengan skala berbeda menggunakan teknologi relief plastis-
itas (relief plasticity). Tahapan pertama adalah rekonstruksi paleo dari aliran lito-
dinamik.Aliran litodinamik mencerminkan cara migrasi hidrokarbon dalam kerangka
waktu jutaan tahun. Area-area yang berhubungan dengan sistem aliran, biasanya berpo-
tensi membuat zona tektonik tidak stabil.
Selanjutnya adalah tahap pembuatan peta struktur paleodeltas. Tahapan ini bertujuan un-
tuk mengidentifikasi struktur umur delta. Dengan adanya paleodeltas akan terungkap
cekungan-cekungan dengan umur yang berbeda-beda. Pembuatan peta struktur anular
tektonik adalah tahapan selanjutnya, dimana anular akan mencerminkan struktur tektonik
zona aktif dimana mineral terbentuk (Wulyadi dkk., 2010). Tahapan akhir dari analisis
litodinamik adalah pembuatan peta prediksi wilayah potensi minyak dan gas sebagai hasil
analisis tahapan-tahapan sebelumnya.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 57

2.3.2 Analisis Struktur Geodinamik


Geodinamika menerapkan ilmu fisika, kimia, dan matematis untuk memahami konveksi
mantel yang berhubungan dengan lempeng tektonik dan pergeseran benua, termasuk fe-
nomena geologis seperti pembentukan gunung, gunung berapi, gempa bumi, cekungan
sedimen, patahan, dan lain-lain (Turcotte, 2002).Analisis struktur geodinamik ditujukan
untuk mengkaji hubungan struktur-struktur tektonik, wilayah tegangan tektonik, dan pa-
rameter – parameter yang terkait. Lebih jauh, analisis struktur geodinamik dapat di-
pergunakan untuk mengidentifikasi prospek mineral dan lokalisasi daerah yang berpo-
tensi terdapat sumber daya alam.
Metode analisis geodinamik struktural menggunakan relasi spasial area yang diduga
mengandung minyak dan gas dengan pendekatan geodinamik dari bentuk-bentuk garis
struktur konsentris. Berdasarkan kombinasi karakteristik geodinamik dan geologi, dapat
diidentifikasi fitur geologi unik yang mengindikasikan syarat-syarat diketemukannya
minyak bumi, yaitu batuan induk, reservoir, cap rock, tipe-tipe jebakan, dan zona-zona
akumulasi (Li dkk, 2014).
2.3.3 Analisis Spektrometri
Analisis spektrometri dilakukan untuk mengkaji komposisi batuan dalam rentang spek-
trum yang beragam, menaksir sifat aliran termal serta penyebarannya di antara struktur
geologis. Pengetahuan mengenai tingkat kecerahan spektral (spectral brightness) pada
batuan membantu proses interpretasi citra. Batuan memiliki berbagai nilai spectral
brightness. Citra satelit merefleksikan fitur-fitur geologi dengan tingkat kontras yang ter-
gantung pada fitur spektralnya, oleh karena itu diperlukan pembuatan spectral libraries
khusus. Tahapan awal adalah melakukan pre-processing pada data citra satelit, kemudian
membuat peta tematik dengan memilih kombinasi band/channel yang sesuai untuk men-
cari geoinformation anomalies. Setelah pembuatan beberapa peta tematik, dilakukan an-
alisis data multi-skala dan analisis struktur-metrik, yaitu hasil rekonstruksi geodinamik.
Hasil akhir berupa pengungkapan geoinformation anomalies yang mengandung hidro-
karbon.
2.3.4 Analisis Strukturometri
Tujuan dilakukan analisis strukturometrik adalah untuk mengkaji fitur geologis yang ter-
susun berdasarkan suatu algoritma dan hukum fisika mengenai fluida yang terkandung
dalam fitur tersebut. Tahap awal yaitu mengidentifikasi awal wilayah kajian dengan
tujuan mengestimasi prospek minyak dan kandungan gas. Data yang digunakan adalah
citra dua dimensi yang kemudian di transformasi menggunakan algoritma fraktal geome-
tri untuk menjadi model vektor multi-dimensi. Tahap ini memungkinkan semua obyek
hasil interaksi endogen dapat terindentifikasi. Teknologi ini mengidentifikasi dua tipe
anomali, yaitu sistem patahan dan sistem struktur anular.
Setelah tahapan transformasi citra dilakukan, selanjutnya adalah mengungkap fitur geol-
ogis dan pencarian medan tegangan (stress fields). Ketidakseragaman medan tegangan
memungkinkan terjadinya migrasi hidrokarbon pada daerah tersebut. Tahapan terakhir
58 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

adalah membentuk skema bidang-bidang tekanan tektonik yang diduga mengandung hi-
drokarbon.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil Analisis Litodinamik
Peta aliran litodinamik digunakan sebagai dasar analisa prospek minyak dan gas bumi wila-
yah Blok Lampung. Tahapan pertama adalah membuat peta relief plastisitas untuk menun-
jukkan aliran-aliran litodinamik. Peta relief plastisitas dibuat menggunakan peta topografi
skala 1:200.000. Hasil peta relief plastisitas ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 6. Peta relief plastisitas wilayah Blok Lampung 1:200.000. Aliran litodinamik ditunjukkan
dalam warna jingga.

Aliran litodinamik pada Gambar 7 ditunjukkan dengan tanda panah biru, adalah contoh be-
berapa aliran litodinamik utama pada wilayah Blok Lampung. Awal dari aliran ini berujung
pada daerah berpoligon biru, dimana menjadi daerah dugaan terakumulasinya hidrokar-
bon.Berdasarkan data anomali gaya yang dilakukan oleh LAPI ITB tahun 2007, memper-
lihatkan adanya cekungan sedimen yang ditunjukkan dengan adanya tinggian dan rendahan
di Blok Lampung. Warna jingga menunjukkan tinggian dan warna hijau menunjukkan ren-
dahan.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 59

Gambar 7. Pembanding peta rekonstruksi paleo (kiri) (Wulyadi dkk., 2010) dan peta anomali gaya
berat (kanan) Blok Lampung (PT LAPI ITB, 2007 dalam Wulyadi dkk., 2010)
Pada peta anomali gaya berat, zona A merupakan daerah tinggian, dan jika dibandingkan
dengan peta rekonstruksi paleo, zona A juga merupakan daerah yang diduga tempat
terakumulasinya hidrokarbon. Zona B dan zona C juga menunjukkan daerah tinggian pada
peta anomali gaya berat. Pada peta rekonstruksi paleo, zona B dan C memperlihatkan
cabang-cabang yang berkumpul sehingga diduga daerah tersebut mengandung hidrokarbon.
3.2 Hasil Analisis Struktur Geodinamik
Metode analisis struktur geodinamik menjelaskan terjadinya dislokasi tektonik di wilayah
bagian timur Blok Lampung yang mencakup beberapa potensi struktur. Setiap struktur
dimungkinkan mempunyai potensi terdapatnya sumber daya minyak dan gas. Dengan
menggunakan prosedur yang disebutkan di Bab 2 dihasilkan daerah-daerah potensi berjarak
kurang lebih 10 km dari episenter. Penentuan episenter ini dihasilkan dari analisis geo-
dinamik. Gambar 9 menunjukkan hasil lintasan batas daerah-daerah berpotensi.
60 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 8. Batas daerah berpotensi mengandung hidrokarbon terletak pada bagian timur Blok
Lampung

3.3 Hasil Analisis Spektrometri


Pada tahapan ini, dibuat peta-peta tematik setelah citra satelit yang digunakan telah dil-
akukan pre-processing. Peta-peta tematik dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
ScanEx NeRIS dimana dipilih channel yang paling sesuai untuk mencari geoinformation
anomalies. Gambar 10 menunjukkan beberapa citra hasil kombinasi band untuk diinter-
pretasi hasil akhirnya.

(a) Kombinasi channel 70/40/10


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 61

(b) Kombinasi channel 30/20/10

(c) Kombinasi channel 62/70/50

(d) Kombinasi band near-infrared, middle-infrared, dan cahaya tampak


Gambar 9. Citra hasil kombinasi channel (a, b,c,d)
62 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 10 menunjukkan beberapa hasil kombinasi channel pada citra dengan tujuan untuk
menonjolkan fitur-fitur geologi menggunakan spectral libraries khusus. Beberapa objek
yang dapat teridentifikasi adalah vegetasi, tubuh air, pemukiman, dan lahan kosong. Sebagai
hasil dari proses matematika terhadap citra satelit, didalam batasan analisa spektral, poten-
sial anomali diungkapkan dan terhubung dengan lokasi hidrokarbon seperti Gambar 11 (a).
Semua kemungkinan daerah yang mengandung hidrokarbon diberikan penomoran dari no-
mor 1 sampai 18.

Gambar 10. Identifikasi struktur berdasarkan analisis spektrometri (kiri), kemungkinan sumber hi-
drokarbon (kanan)

3.4 Hasil Analisis Strukturometri


Pada tahap ini, pencarian dan pemetaan dilakukan pada geoinformation anomalies yang
disebabkan oleh penimbunan fluida pada lapisan bumi, dan menggunakan data yang di-
peroleh pada tahapan sebelumnya sebagai referensi. Gambar 3.9 menunjukkan daerah Blok
Lampung dengan garis-garis prediksi skema tekanan regional. Pencarian minyak dan gas
bumi dilakukan pada zona yang aktif secara tektonik.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 63

Gambar 11. Prediksi skema tekanan regional pada Blok Lampung

Arah tekanan ini dicurigai sebagai zona patahan tektonik dimana menguntungkan untuk
migrasi hidrokarbon. Garis-garis yang tergambarkan sebagai arah tekanan tektonik wilayah
Blok Lampung menghasilkan prediksi zona yang memiliki prospek hidrokarbon terbesar.
Zona 3, daerah ini dilewati oleh dua patahan tektonik first priority yang saling bedekatan
dan beberapa patahan tektonik second dan third priority. Zona 4 dilewati oleh banyak pata-
han tektonik second dan third priority tetapi juga bersinggungan dengan patahan tektonik
first priority. Jika disimpulkan, Zona 3 memiliki tingkat probabilitas daerah berprospek hi-
drokarbon paling tinggi.
3.5 Hasil Kombinasi Analisis STeP
Daerah paling berprospek mengandung hidrokarbon pada Blok Lampung adalah Zona 3
(Gambar 13). Zona ini diidentifikasi memiliki hasil yang positif berdasarkan hasil dari tiga
metodologi yang digunakan yang menyatakan terdapat kemungkinan kolam hidrokarbon di
wilayah tersebut. Sedangkan rekomendasi profil seismik untuk Zona 3 di Blok Lampung
ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 12. Kombinasi hasil analisis STeP


64 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 13. Rekomendasi profil Seismik area 3 di Blok Lampung

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil dari proses analisis litodinamik, struktur geodinamik, spektrometri, dan strukturo-
metrik menunjukkan adanya beberapa anomali dan potensi daerah berprospek hidrokarbon.
Ada empat wilayah potensial dimana fitur struktur geologinya membuat penelitian ini akan
memberikan hasil yang baik. Satu diantaranya dapat dipertimbangkan sebagai wilayah
penelitian seismik (selanjutnya). Metode analisis lithodinamik memunculkan potensi
anomali bentang alam yang terhubung dengan potensi endogen minyak dan gas dalam
konteks struktur. Metode analisis struktur geodinamik mengungkap wilayah yang men-
galami perpindahan di bagian timur dari wilayah Blok Lampung termasuk beberapa potensi
struktur. Setiap struktur dapat menampakkan minyak atau gas. Sedangkan metode analisis
spektrometer di wilayah Blok Lampung mengungkap 18 potensial fitur geologi yang berhub-
ungan dengan kemungkinan adanya ladang hidrokarbon. Dan metode analisis strukturo-
metrik mengikuti bangunan skema bidang patahan tektonik, mengidentifikasi di antara em-
pat wilayah yang paling berprospek untuk kegiatan survei lapangan.

Hasil ini menunjukkan STeP memiliki keunggulan dalam mempersempit wilayah yang
diduga mengandung minyak, artinya jika dilakukan survei seismik terhadap wilayah terse-
but, maka biaya yang dikeluarkan akan menurun.

DAFTAR REFERENSI
De Coster, G. L. 1974. The Geology of the Central and South Sumatra Basin, Proceedings 3rdAnnual
Convention IPA, Juni 1974, Jakarta.
Grossneft Technology. 2009. Complex of Wave Technologies: Search for New Fields, Increasing Oild
Production, Well Drilling Cost Reduction, Moskow.
Hou, B., Mauger, A. 2005. How Well does Remote Sensing Aid Paleochannel Identification – an
example from the Harris Greenstone Belt, Mathematics in Engineering, Science and Aerospace
(MESA) Journal 38.
Le Moigne, J., Cromp, R. F. 1999. The Measurement, Instrumentation, and Sensors :Satellite Imaging
and Sensing, CRC Press LLC, Florida
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 65

Li, Z., Wan, L., Liu, J., dkk. 2014. Geodynamic Characteristics and Their Effect on the Petroleum
Geology Conditions for Passive Rift Basin in Central-Western African Region. Search and
Discovery Article #10644
NOAA - AVHRR, http://noaasis.noaa.gov/NOAASIS/ml/avhrr.html (diakses pada 1 Agustus 2017).
USGS EROS. 2012. Landsat-A Global Land-Imaging Mission,
https://pubs.usgs.gov/fs/2012/3072/fs2012-3072.pdf (diakses pada 1 Agustus 2017)
van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff. The Haque, Netherland.
Wulyadi, Hasanuddin, W., Chaniago, I. 2010. Laporan Tahap Akhir:Studi Terrain Propecting area
Lampung dengan Teknologi Penginderaan dan Integrasi Data Lapangan, PT. Wahana Pet-
ranusa, Jakarta.

BIOGRAFI PENULIS
Farah Nafisa Ariadji
Farah Nafisa Ariadji lahir di College Station, USA pada 11 Juli
1995. Ketertarikan penulis pada bidang penginderaan jauh mem-
bawa penulis menjadi asisten mata kuliah Penginderaan Jauh masa
kuliah 2016-2017. Penelitian tugas akhir penulis berjudul “Ana-
lisis Hasil Metode Pencarian Potensi Minyak Bumi dengan
Teknologi STeP (Sub-Terrain Prospecting) Studi Kasus: Blok
Lampung”. Saat ini penulis masih menyelesaikan pendidikan
tahap sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi
Bandung.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng.


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bi-
dang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial
termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, per-
tanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta pe-
rubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk
kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Univer-
sitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS
Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsyl-
vania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi
pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
66 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Prof. Dr. Ir. Tutuka Ariadji, M.Sc.


Tutuka Ariadji lahir di Solo, 26 Agustus 1964. Setelah me-
nyelesaikan pendidikan sarjana di Teknik Perminyakan, Insti-
tut Teknologi Bandung tahun 1988, beliau memulai karirnya
sebagai asisten dosen di Teknik Perminyakan ITB. Pada tahun
1990, beliau melanjutkan studi master dan doktoral di Texas
A&M University, USA dan selesai pada tahun 1996. Saat ini
beliau aktif sebagai dosen di Teknik Perminyakan ITB khu-
susnya pada bidang Teknik Pemboran, Produksi, dan Mana-
jemen Minyak dan Gas.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 67

Review Article
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan
Minyak dan Gas Bumi
Tri Muji Susantoro1,2* dan Ketut Wikantika1,3,4
1
Center for Remote Sensing (CRS), Institut Teknologi Bandung (ITB)
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
3
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB)
4
ForMIND Institute (Indonesian Young Researcher Forum)
*)
E-mail: trimuji_s@yahoo.com

Abstrak

Penginderaan jauh berkembang pesat sejak tahun 1972 dengan diluncurkannya satelit Land-
sat. Aplikasi penginderaan jauh untuk kegiatan migas mulai saat itu juga berkembang
dengan pesat. Secara umum penginderaan jauh terbukti berperan mulai dari tahap awal ek-
splorasi sampai kegiatan produksi dan monitoringnya. Paper ini membahas mengenai pem-
anfaatan penginderaan jauh untuk kegiatan pemetaan geologi dan rembesan migas dalam
rangka eksplorasi migas. Pemanfaatan lain dari penginderaan jauh dapat digunakan untuk
penilaian cekungan, pemetaan awal target eksplorasi, rona awal lingkungan sebelum
kegiatan eksplorasi migas, identifikasi potensi jebakan migas, logistic support, perencanaan
jalur pipa, monitoring lingkungan dan deformasi lapangan migas.
Kata Kunci: Penginderaan Jauh, Minyak dan Gas Bumi, Satelit, Eksplorasi, Eksploitasi,
Enhanced Oil Recovery, Deformasi

Abstract
Remote sensing is growing rapidly since 1972 with the launch of Landsat satellite. The ap-
plication of remote sensing for oil and gas activities began at that time also growing rapidly.
Generally, remote sensing are evident from early stage to production and monitoring of oil
and gas activities. This paper discusses the use of remote sensing for geological and seepage
mapping within the framework of oil and gas exploration. Remote sensing also can be used
for basin reconnaissance, preliminary mapping of exploration targets, environmental base-
line assessment prior to oil and gas exploration activities, the possibility of oil and gas traps,
logistical support, pipeline planning, environmental monitoring and oil and gas field defor-
mation.
Keywords: Remote Sensing, Oil and Gas, Satellite, Exploration, Exploitation, Enhanced Oil
Recovery, Deformation
68 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN

Istilah “Remote Sensing atau Penginderaan Jauh” dikenalkan oleh Evelyn Pruitt pada tahun
1950 dari US Office of Naval Research. Penginderaan jauh secara umum didefinisikan se-
bagai ilmu atau seni untuk mengidentifikasi, mengamati dan mengukur suatu obyek tanpa
kontak langsung dengan obyek tersebut. Proses yang terjadi di dalamnya termasuk deteksi
dan pengukuran dari radiasi panjang gelombang yang berbeda yang dipantulkan atau
dipancarkan dari suatu obyek atau material tertentu, yang dengannya memungkinkan untuk
diidentifikasi dan dikategorikan dalam kelas/tipe, bahan yang ada dan distribusi spasialnya
(Mauger, 2014).

Sejak awal tahun 1960an sejumlah satelit beserta sensosrnya telah diluncurkan pada orbitnya
untuk mengamati dan memonitor bumi dan lingkungannya. Awalnya sensor satelit ini
digunakan untuk tujuan meteorologi. Satelit Landsat merupakan satelit sumber daya bumi
yang pertama kali diluncurkan pada bulan Juli 1972 dengan tujuan utama untuk pemetaan
dan monitoring tutupan lahan. Sampai tahun 1999 belasan sensor satelit telah diluncurkan
dari berbagai tipe untuk menyediakan data penting dalam meningkatkan pengetahuan di
bidang atmosfer, kelautan, es dan salju serta daratan (Levin, 1999). Perkembangan sensor
satelit baik sistem pasif seperti Landsat dan SPOT serta generasinya, ASTER, IKONOS,
ALOS, Quickbird, Worldview, Orbview maupun sistem aktif seperti Radarsat, Jers, PAL-
SAR, Sentinel dan yang lainnya mulai berkembang pesat setelah itu.

Sejak Landsat diluncurkan kemudian diikuti dengan SPOT, JERS-1 serta yang lainnya
penginderaan jauh mulai berkontribusi dalam bidang eksplorasi migas. Awalnya aplikasi
penginderaan jauh untuk minyak dan gas bumi (migas) bertujuan untuk aplikasi geologi
(Rivereau dan Fontanel, 1976; Maruyama, 1994; Halbouty, 1980 dalam Meer dkk., 2002).
Lasica (2015) dan Lehman (2014) memanfaatkan aplikasi penginderaan jauh telah
digunakan untuk kegiatan migas dalam 30 -40 dekade terakhir. Namun belum dilakukan
secara luas untuk analisis bawah permukaan. Di Indonesia penginderaan jauh untk eksplorasi
migas pertama kali digunakan pada tahun 1935 untuk pemetaan geologi dengan foto udara
di Irian Jaya (Sudrajat, 1990). Tahun 1972 dilakukan kajian interpretasi geologi dengan
Landsat di Rembang untuk mengidentifikasi Tinggian Pati, Antiklinorum Rembang dan
Zona Kendeng dengan citra komposit 754 RGB (Rivereau dan Fontanel, 1976).

Perkembangan pemanfaatan data penginderaan jauh baik sistem pasif maupun sistem aktif
untuk kegiatan migas selanjutnya dilakukan untuk semua fase kegiatan migas mulai dari
penilaian cekungan (Suliantara dkk., 2010; Manning 2017), pemetaan awal target eksplorasi
(Susantoro dan Suliantara, 2014), pemetaan rembesan alamiah dalam rangka eksplorasi mi-
gas (Saunders dkk., 1999; Yang dkk., 2000; Meer dkk., 2002; NASA, 2011; Abdulraziq,
2012; Joshua, 2015), rona awal lingkungan sebelum kegiatan eksplorasi migas (Susantoro
dkk., 2016), identifikasi potensi jebakan dengan pendekatan anomali topografi (Crystiana
dkk., 2014; Crystiana dkk., 2015), analisis spektral mudvolcano (Susantoro dkk., 2016), lo-
gistic support dalam mendukung rencana seismik 3D (Susantoro dkk., 2005), perencanaan
jalur pipa (Susantoro dan Suliantara, 2010), monitoring lingkungan akibat kegiatan migas
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 69

seperti tragedi lumpur sidoarjo (Susantoro dan Febriono, 2011; Febriono dkk., 2010), de-
formasi lapangan migas (Staples dkk., 2013: Deguchi dan Narita, 2015), monitoring En-
hanced Oil Recovery (EOR) ( Ji dkk., 2016), Tumpahan minyak (Susantoro dkk., 2010) dan
permasalahan sosial pada pengembangan lapangan migas (Crystiana dan Susantoro, 2013).

Mengingat pentingnya penggunaan data penginderaan jauh pada kegiatan migas di Indone-
sia dikeluarkan regulasi berupa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519
tahun 1999 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan
Pemantauan Kegiatan Pertambangan dan Energi. Khusus untuk kegiatan rona awal ling-
kungan pada kegiatan migas di Indonesia dibuat Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-
045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang Environmental Baseline Assessment (EBA) yang
mengharuskan memanfaatkan data penginderaan jauh untuk pemetaan penutup lahan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Adapun tujuan utama dari makalah ini untuk mem-
bahas secara komprehensif peranan penginderaan jauh dalam mendukung kegiatan migas.

2. SIKLUS KEGIATAN MIGAS

Adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengatur
kegiatan hulu migas dan gas metana batubara, dimana kegiatan migas merupakan usaha
untuk mengambil migas melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi merupakan
kegiatan pencarian migas untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi dalam
rangka menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan migas di wilayah kerja yang diten-
tukan. Sedangkan eksploitasi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan mi-
gas di wilayah kerja yang ditentukan. Kegiatan eksploitasi dilakukan mulai dari pengeboran,
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan un-
tuk pemisahan dan pemurnian migas di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Secara umum langkah-langkah dalam kegiatan migas ada tujuh tahap utama. Adapun
langkah-langkah tersebut meliputi pencarian, penyewaan lahan atau kebutuhan akses,
operasi pemboran, pengembangan dan produksi, transportasi, pengolahan dan pengilangan
serta pemasaran. Tiga tahap pertama disebut juga tahap eksplorasi, sedangkan empat tahap
terakhir disebut tahap produksi atau ekstraksi (Taylor, 2004). Di Indonesia secara khusus
untuk kegiatan migas ada 3 alur utama, yaitu resources, reserves dan production (Gambar
1). Kegiatan eksplorasi secara umum akan menghasilkan resources. Kegiatan tersebut meli-
puti kegiatan survei geologi dan geofisika, pemboran eksplorasi dan studi geologi dan geof-
isika. Kegiatan yang menghasilkan reserves merupakan kegiatan transisi antara eksplorasi
dan produksi. Pada kegiatan ini dilakukan pemboran sumur deliniasi untuk memperhitung
cadangan migas, sertifikasi cadangan, penyusunan Plan of Development (PoD). Kegiatan
produksi merupakan kegiatan pengangkatan migas di bawah permukaan bumi untuk di-
produksikan secara komersial (SKK Migas, 2013).
70 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Alur pikir kegiatan migas (SKK Migas, 2013)


Pada eksplorasi migas ada tiga metode utama yang biasa digunakan/ ketiga metode tersebut
saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Adapun metode tersebut meliputi penginderaan
jauh, geofisika dan pemboran wildcat. Teknologi penginderaan jauh pada eksplorasi migas
dapat dilakukan di onshore dan offshore. Metode ini pendekatan pendekatan interpretasi
litologi dan struktur telah dapat menemukan migas di Makran, Kirthar dan Sulaiman. Ada-
pun di offshore metode penginderaan jauh untuk eksplorasi migas dapat dilakukan melalui
deteksi rembesan minyak (oil seeps) dengan satelit radar (Williams, 2000).

2.1 Tahapan Kegiatan Migas di Indonesia

Di Indonesia detil kegiatan migas terdiri dari studi geologi regional, evaluasi geologi, kons-
esi area, survei geologi dan geofisika, analisis/evaluasi lead dan prospek, pemboran sumur
eksplorasi dan analisisnya, analisis kelayakan dan keekonomian, pemboran sumur pengem-
bangan, pembangunan fasilitas dan infrastruktur dan produksi hidrokarbon serta peningkatan
rasio pengambilan migas melalui Enhanced Oil Recovery (EOR) dan terakhir penutupan
lapangan melalui reklamasi/ decommisioning atau dialihkan untuk pemanfaatan lainnya.

Tahap awal untuk mendapatkan wilayah kerja migas baru di Indonesia dilakukan melalui
studi geologi regional. Kajian penginderaan jauh, geologi dan geofisika dilakukan untuk
mengidentifikasi potensi adanya migas. pada kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi
potensi batuan sumber (sources rock), kematangan batuan, migrasi migas, batuan reservoir
dan tudung (seal). Adanya Seepages memperkuat indikasi telah terbentuknya migas di wila-
yah yang dikaji. Potensi migas ditunjukkan dengan adanya reservoir batu pasir atau ba-
tugamping, adanya batuan induk yang berupa shale dan serpih yang diperkirakan sudah
matang, adanya model-model perangkap dan tudung (seal) serta diperkirakan migrasi sudah
berjalan. Pengambilan wilayah kerja secara kelembagaan dilakukan melalui kontrak dengan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 71

Survei dan kajian geologi dan geofisika dilakukan untuk menentukan target eksplorasi.
Pemetaan lead dan prospek dilakukan untuk memperkirakan volume inplace resources.
Keyakinan geologi (Geological Chance Factor/GCF) dilakukan untuk membuat ranking tar-
get pemboran. Penginderaan jauh pada tahap ini berperan untuk pemetaan rembesan,
perencanaan survei lapangan dan pemetaan geologi. Pemboran eksplorasi (wildcat) bi-
asanya dilakukan pada prospek volumenya dan GCF besar . Pada rencana pemboran
penginderaan jauh berperan untuk memetakan rute dalam mobilisasi alat berat ke lokasi
pemboran. Apabila ditemukan migas yang mengalir, bukan hanya indikasi (shows) maka
dilakukan pemboran delineasi untuk menghitung total cadangan (reserves).

Analisis keekonomian dan kelayakan hasil pemboran diperlukan untuk dapat diproduksikan
atau dikenal dengan istilah Plan of Development (PoD). PoD merupakan rencana pengem-
bangan satu atau lebih lapangan migas secara integrasi dalam rangka memproduksikan ca-
dangan hidrokarbon yang optimal dengan mempertimbangkan keteknikan, keekonomian
dan aspek Health, Safety and Environment (HSE) (Wahyono, 2003). PoD untuk lapangan
pertama di suatu wilayah migas harus mendapat persetujuan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (Undang-Undang No 22 tahun 2001, pasal 21). Pemboran sumur pengem-
bangan, fasilitas dan infrastruktur merupakan hal mutlak yang dilakukan dalam pengem-
bangan lapangan. Perencanaan kegiatan tersebut tercantum dalam PoD. Kegiatan ini terdiri
dari pembangunan fasilitas produksi baik di onshore maupun offshore. Fasilitas tersebut
berupa pembangunan jalur pipa, tempat penyimpanan hidrokarbon, fasilitas pembuangan,
jalan untuk mobilisasi personnil dan peralatan dan fasilitas pendukung lainnya.

Pada awal produksi, energi untuk mengangkat hidrokarbon terpenuhi secara alamiah dari
bawah permukaan bumi, misalnya karena tekanan yang tinggi (primary production). Energi
di dalam bumi secara alamiah akan mengalami penurunan sehingga diperlukan energi lain
untuk mengangkat hidrokarbon. Biasanya pada kondisi ini dilakukan injeksi dengan fluida,
gas alam atau air. Proses ini dilakukan untuk memelihara tekanan dari reservoir (secondary
recovery process). Tertiary recovery processes diperlukan apabila proses kedua tidak ber-
jalan efektif dengan mempertimbangkan kondisi reservoirnya. Proses ketiga ini disebut En-
hanced Oil Recovery (EOR). EOR dapat dilakukan dengan empat kategori, yaitu miscible
flooding processes dengan miscible displacement termasuk didalamnya single contact dan
multiple contact miscible processes; chemical flooding processes dengan polimer, micellar
polimer atau alkaline flooding; thermal processes dengan air panas, steam dan pembakaran
in situ; dan microbial processes menggunakan mikroorganisme (Terry, 2001).

Akibat eksploitasi migas dan EOR dapat terjadi deformasi permukaan lapangan migas. de-
formasi tersebut dapat dilakukan pemantauan dengan penginderaan jauh. Estimasi deformasi
ini dilakukan berdasarkan citra penginderaan jauh gelombang mikro yang berpasangan
(Francescheti dan Lanari, 1999). Adapun setelah masa eksploitasi/produksi berakhir dil-
akukan penutupan lapangan dan reklamasi. Reklamasi diperlukan untuk mengembalikan
kondisi habitat dan ekosistemnya. Reklamasi merupakan suatu tindakan usaha untuk menda-
tangkan manfaat dengan pembaharuan atau pemulihan lahan atau air yang diakibatkan dari
eksplorasi atau pengembangan mineral, pertambangan atau tempat operasi pengolahan dan
72 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pembuangan sampah dengan jalan mencegah atau mengontrol kerusakan lingkungan secara
in situ dan eks situ (Andersen dkk., 2009). Pemanfaatan penginderaan jauh pada reklamasi
migas digunakan untuk memetakan kondisi awal sebelum adanya kegiatan eksplorasi, kon-
disi vegetasi pada saat reklamasi dan perubahan temporalnya. Adapun tahap kegiatan migas
secara detil dapat dilihat pada Gambar 2.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 73

Gambar 2. Tahapan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia (dimodifikasi
dari Maruyama, 1994).
74 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3. PEMETAAN GEOLOGI
Pemahaman geologi sangat penting untuk pembangunan wilayah agar lebih terencana dan
berhasil (Susantoro, 2009). Pada kegiatan migas pemetaan geologi permukaan menjadi
langkah awal dalam kegiatan eksplorasi. Perkembangan penginderaan jauh secara menerus
dari tahun 1970an mulai dari Landsat MSS, TM, SPOT dan sistem radar telah digunakan
untuk memetakan geologi dan identifikasi prospek migas. Khusus citra radar dan SAR telah
dapat digunakan untuk menajamkan ekspresi bawah permukaan bumi. secara umum aplikasi
penginderaan jauh menjadi kunci sukses dalam eksplorasi hidrokarbon dengan integrasi data
lainnya seperti seismik, sumur, graviti dan magnetik (Yang dkk., 2000). Pada proses
pemetaan geologi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dapat dilakukan melalui
interpretasi secara visual maupun digital.

3.1 Interpretasi Geologi secara Visual


Interpretasi geologi secara visual dengan foto udara atau citra penginderaan jauh secara
umum ada 4 tahapan, yaitu 1) deteksi kenampakan obyek pada citra berdasarkan resolusi
spasial, pola pantulan dan emisi panjang gelombang yang digunakan; (2) pengenalan dan
identifikasi obyek, dimana kenampakan yang diamati diidentifikasi dan dikelaskan sebagai
kategori yang diketahui; (3) proses interpretasi sebagai analisis berdasarkan pola yang diben-
tuk pada kenampakan obyek. Pada tahap ini citra hasil analisis didelineasi berdasarkan
karakteristik tertentu yang tampak secara individual. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan
kategori yang diketahui; (4) proses akhir interpretasi untuk memastikan dan mengidentifi-
kasi semua area dengan klas-klas. Pada banyak kasus metode induksi dan deduksi dilibatkan
pada hasil final dan pada tahap ini cek lapangan harus dilakukan (Verstappen, 1978).
Interpretasi geologi secara manual/visual teknisnya ada dua tahap. Pertama dilakukan inter-
pretasi batas perlapisan (bedding) yang jelas dan tegas. Tujuannya agar saat melakukan
penarikan garis batas perlapisan batuan tidak terjadi kekacauan arah batas. Hasilnya didetil-
kan dengan penarikan garis putus-putus pada bedding yang tidak jelas dengan arah trend
geologi mengikuti bedding yang telah ditarik pertama. Garis putus – putus bedding menun-
jukkan bahwa bedding yang ditentukan masih diperkirakan sekaligus untuk menandai perbe-
daan satuan unit. Interpretasi struktur pada tahap ini berupa penarikan kelurusan kelurusan
yang ada. Biasanya untuk kekar, kelurusan yang ada relatif pendek, sedangkan untuk sesar
relatif panjang. Tahap kedua merupakan tahap interpretasi analisis, yaitu untuk studi batuan
dan studi struktural (Setiawan, 2004).

3.2 Pengolahan Data Penginderaan Jauh pada Interpretasi Geologi


Pengolahan data penginderaan jauh untuk menajamkan kenampakan geologi dapat dil-
akukan dengan metode komposit warna (Red Green Blue=RGB), Optimum Index Factor
(OIF), Principle Component Analysis (PCA), model topografi, tumpangsusun data
penginderaan jauh aktif dan pasif, penisbahan saluran (band ratio) dan filtering untuk
menajamkan batas tepi dan kelurusan (lineament). Prinsip dasar pengolahan dan analisis data
penginderaan jauh dilakukan untuk menajamkan kenampakan suatu bentuk secara lebih
jelas, penyajian grafis atau analisis kuantitatif dan penggunaan karakteristik warna atau tone
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 75

dalam rangka membuat variabel dari peta topografi dan atau mengekstrak banyak informasi
dari citra penginderaan jauh (Bjornerud dan Boyer, 1996).

Pengolahan data penginderaan jauh dengan citra komposit warna 457 RGB dan PCA dapat
dilakukan untuk menghasilkan peta bentuklahan, litologi dan struktur geologi untuk pen-
carian awal jebakan migasi (Franto, 2003). Pemetaan geologi dengan metode OIF pada
Landsat TM untuk menghasilkan komposit warna 457 RGB dan filter undirectional dan
directional dapat dilakukan untuk mempertegas kelurusan dan satuan batuan (Setianto,
2003). Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan geologi dapat dilakukan dengan kom-
binasi data penginderan jauh sistem aktif dan pasif (Havid, 1998), Pengolahan data Digital
Elevation Model (DEM) dapat dilakukan dengan teknik shaded relief jika tidak tersedia data
penginderaan jauh (Sarapirome dkk., 2002), pengolahan DEM dari data penginderaan jauh
untuk analisis geomorfologi (Kamp dkk., 2003) atau ekstraksi secara otomatis dengan klas-
ifikasi berbasis obyek dari data penginderaan jauh sistem aktif (Gloaguen dkk., 2007).

Pengolahan PCA untuk pemetaan geologi bertujuan untuk meningkatkan sebaran data me-
lalui pendistribusian kembali dengan setting yang lain pada multidimensi ruang dengan me-
maksimalkan pemisahan perbedaan pada data (Drury, 1987). Adapun hasil pada Landsat TM
menunjukkan citra PC pertama merupakan 97% variasi dari enam saluran (3 saluran tampak
dan 2 saluran inframerah) dengan didominasi oleh topografi, sedangkan Citra PC kedua
didominasi oleh perbedaan albedo yang berkorelasi antar saluran (Sabin, 1987). Citra per-
tama mempunyai kontras yang besar dan kualitasnya tinggi sehingga baik untuk penajaman
tepi dan interpretasi struktur (Drury, 1987). Adapun citra PC ketiga secara umum merupakan
gambaran perbedaan kelas vegetasi (Short, 2008).

Penisbahan saluran (band ratio) merupakan salah satu metode yang sering digunakan pada
pemetaan geologi. Metode ini dilakukan dengan kombinasi antar saluran melalui per-
bandingan untuk menghasilkan nilai digital yang baru (Drury, 1987). Secara khusus metode
ini digunakan untuk mengekspresikan informasi tertentu. Beberapa perbandingan yang ser-
ing digunakan seperti pada Landsat TM perbandingan saluran 3 dan saluran 1 menajamkan
oksida besi (Ouattara dkk., 2004); perbandingan saluran 5 dengan saluran 7 untuk
menajamkan mineral lempung (Sabin 1987). Penggunaan band ratio dapat dikombinasikan
dengan komposit warna, seperti band ratio 3/1, 5/7 dan 3/5 (RGB) pada Landsat TM lebih
mengekspresikan informasi geologi dan mempunyak kontras yang besar diantara unit batuan
dibandingkan dengan citra komposit konvensional maupun OIF (Sabin, 1987). Adapun log-
aritma yang sering digunakan pada pemetaan geologi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.
Tabel 1. Algoritma yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral
pada ASTER
1 Ferric Ion 𝐵2 Rowan & Mars,
(Fe3+) 𝐵1 2003
2 Ferrous Iron 𝐵5 𝐵1 Hewson dkk.,
(Fe2+) + 2001, 2004
𝐵3 𝐵2
76 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3 Ferric Oxides 𝐵4 Hewson dkk.,


𝐵3 2001, 2004
4 Amphibole 𝐵6 Bierwith, 2002
𝐵8
5 Dolomite 𝐵6 + 𝐵8 Ninomiya, 2002
𝐵7
6 Carbonate 𝐵13 Hewson dkk.,
𝐵14 2001, 2004
7 Kaolinite 𝐵7 Hewson dkk.,
𝐵5 2001, 2004
8 Clay 𝐵5𝑥𝐵7 Bierwith, 2002
𝐵6𝑥𝐵6
9 Alteration 𝐵4 Volesky dkk.,
𝐵5 2003
10 Host Rock 𝐵5 Volesky dkk.,
𝐵6 2003
11 Quartz-rich 𝐵14 Rowan & Mars,
rocks 𝐵2 2003
12 Silica 𝐵11 𝑥 𝐵11 Bierwith, 2002
𝐵10/𝐵12
𝐵11 𝐵11 𝐵13 Hewson dkk.,
atau atau
𝐵10 𝐵12 𝐵10 2001, 2004

Tabel 2. Indeks-Indeks yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral
pada Landsat
No Indeks Band/Ratio Referensi
1 Indeks Mineral Lempung 𝑆𝑊𝐼𝑅 𝐼 Drury, 1987, Sabins,
(SRCI/Simple Ratio Clay Index) 𝑆𝑊𝐼𝑅 2 1987
2 Normalized Difference Clay Index 𝑆𝑊𝐼𝑅 𝐼 − 𝑆𝑊𝐼𝑅 2
(NDCI) 𝑆𝑊𝐼𝑅 1 + 𝑆𝑊𝐼𝑅 2
3 Indeks Oksida Besi 𝑅𝑒𝑑 Drury, 1987
𝐵𝑙𝑢𝑒
4 Indeks Mineral Ferrous 𝑆𝑊𝐼𝑅 𝐼 Drury, 1987
𝑁𝐼𝑅
Penggunaan data ASTER semakin memungkinkan untuk mengenali komposisi mineral
secara spesifik (Everett dkk., 2002). Pemanfaatan data Hyperspektral untuk pemetaan ge-
ologi dapat lebih detil untuk memetakan material di permukaan dan sang penting untuk ek-
splorasi mineral atau alterasi batuan. Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan contoh-contoh
interpretasi geologi dari berbagai citra penginderaan jauh.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 77

a. Landsat TM 123 (normal b. Peta Geologi c. Citra TM Band Ratio 5/7


color image)

d. Citra TM Band Ratio 5/7, e. Citra TM Band Ratio 3/1, f. Citra Hyperspektral; Biru=
Warna Merah Kaya akan Warna Merah Berkorelasi Illite, Hijau= Alunite,
Alunite dan Clay dengan Batuan Alterasi Merah= Kaolinite,
Kaolinite + Alunite=
Kuning dan Kaolinite +
Illite= Hijau
Gambar 3. Contoh Pemetaan Geologi/Mineral di Goldfield, Nevada dengan Landsat dan Hyperspek-
tral (Sabins, 1999)

Gambar 4. Perbandingan Pemetaan Geologi Menggunakan Landsat TM dan Quickbird, dimana


Landsat TM Menghasilkan Peta Geologi yang lebih Baik daripada Quickbird
(Girouard dkk., 2017)
78 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

a. Komposit Warna PCA Landsat b. Komposit Warna PCA Quickbird: PC3,PC2, PC1
TM: PC3,PC2, PC1 RGB RGB

c. Peta Geologi Hasil klasifikasi d. Peta Geologi Hasil klasifikasi dengan metode
dengan metode Spectral Angle Spectral Angle Mapper (SAM) dari 8 endmember
Mapper (SAM) dari 8 endmember pada Quickbird
pada Landsat TM
4. Eksplorasi Migas Melalui Anomali Permukaan
Eksplorasi migas pada tahap awal dilakukan melalui pencarian fenomena di permukaan
bumi yang mengindikasikan adanya sumberdaya migas. Pemetaan ini merupakan reconnais-
sance dengan mencari indikasi adanya migas yang berupa rembesan, potensi batuan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 79

resevoar, batuan tudung dan batuan induk. Teknologi penginderaan jauh efektif untuik
mengkaji fenomena –fenomena permukaan yang mendukung kegiatan eksplorasi tersebut.
Akuisisi dan pengolahan data penginderaan jauh untuk eksplorasi migas akan mengurangi
resiko eksplorasi dan mengurangi biaya (Satellite Imaging Corporation, 2016).
4.1 Anomali Kondisi Tanah dan Mineral
Fenomena permukaan yang terjadi sebagai akibat adanya migas di bawahnya berupa pen-
ingkatan mineral lempung, peningkatan ferrous dan penurunan ferric (iron ion), pening-
katan carbon di tepi lapangan (delta carbon), radiometric, geobotany, soil gas dan geo-
morphic high (Yang, 1999; Saunders dkk., 1999). Pada jangka panjang adanya rembesan
hidrokarbon menyebabkan anomali sehingga terjadi perubahan mineral dan kimia di per-
mukaan tanah. Bakteri mengoksidasi hidrokarbon yang mempengaruhi pH disekitarnya. Hal
ini akan mengubah kandungan mineral lempung, oksida besi dan sulfida besi (Schumacher,
1996). Pemetaan mineral lempung dapat dilakukan menggunakan data ASTER, Landsat
ataupun hiperspektral. indeks mineral lempung pada citra penginderaan jauh ASTER, Ada-
pun formula yang dapat digunakan dengan perbandingan (B4/B5)(B8/B6) untuk kaolinit,
(B7/B5)(B7/B8) untuk alunit dan (B6/B8)(B9/B8) untuk kalsit (Ninomiya, 2003; Gabr dkk.,
2010).

Gambar 5. Hubungan adanya migas dengan kondisi permukaan (Yang Hong, 1999)

ASTER dapat mengidentifikasi oksida besi secara kualitatif dengan perbandingan B2/B1
sehingga dapat diidentifikasi zona oksida besi (Rowan dan Mars, 2003). Hidrokarbon dapat
mereduksi kondisi lingkungan dengan mentransformasi ion sulfat menjadi ion sulfida yang
mengakibatkan pengurangan hematit menjadi pirit. Atom hidrogen yang dilepaskan dari
80 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

reaksi ini akan bereaksi dengan feldspars yang ada mengakibatkan presipitasi kaolinit. Kon-
disi ini mendukung reaksi antara ion bikarbonat dan ion Ca yang menyebabkan pengendapan
kalsit pada pori-pori yang terbuka setelah pengurangan dan pengangkatan hematit (Petrovic
dkk., 2012). Adapun pantulan oksida besi dan mineral lempung dapat dilihat pada Gambar
6.

Gambar 6. Profil pantulan pada gelombang tampak dan IR pada tanah yang berasosiasi dengan
material besi dan lempung (Soe dkk., 2005).
Perbandingan panjang gelombang 0,63 -0,69 μm dengan 0,45 -0,52 μm pada landsat 7 dapat
memberikan gambaran kualitatif zona perubahan hematitic (Ouattara dkk., 2004). Di tanah,
karbondioksida yang berbentuk asam karbonat dapat bereaksi dengan mineral lempung dan
membentuk pengendapan kalsium karbonat sekunder dan silifikasi. Pada kondisi asam
dihasilkan oksidasi hidrokarbon oleh mikroba, pelapukan secara diagenesa dari feldspar
menjadi lempung, pencucian pottasium dan elemen radioaktif dari lempung dan konversi
smektit ke karbonat besi yang dikenal dengan istilah “delta C”. Kondisi delta C pada struktur
migas menunjukkan tinggi di tepi akumulasi migas (Salati, 2014). Reaksi antara hidrogen
sulfida dan oksida besi dapat menghasilkan anomali magnetite, maghemite, pyrhotite dan
greigite di lapangan migas. Namun demikian anomali tersebut terkadang kontroversi, karena
peningkatan rasio magnetik di tanah dapat berhubungan dengan curah hujan dan iklim (Liu
dkk., 1994; Maher dan Thompson, 1992).
4.2 Anomali Kondisi Vegetasi
Rembesan migas dapat mempengaruhi kesehatan vegetasi dan menyebabkan vegetasi men-
jadi stress (Li dkk., 2012). Vegetasi stress merupakan semua gangguan yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman (Jackson, 1986). Gangguan tersebut merupakan kondisi lingkungan
yang tidak menguntungkan, seperti kekurangan nutrisi, kekurangan air, penyakit, kerusakan
oleh serangga dan polusi (Sanches dkk., 2013). Gas karbondioksida yang berlebih pada
lapangan migas akan mengakibatkan kandungan klorofil menjadi berkurang dan daun
berwarna kekuningan (Lakkaraju dkk., 2010). Berbagai indeks vegetasi telah dikembangkan
untuk pemetaan vegetasi secara umum, termasuk didalamnya untuk kesehatan vegetasi. Nor-
malized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan standar algoritma yang digunakan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 81

untuk memetakan kuantitas dan distribusi vegetasi (Brantley dkk., 2011). Berbagai indeks
vegetasi lainnya berkembang untuk tujuan memetakan vegetasi, seperti Simpel Ratio Index
(SR), Difference Vegetation Index (DVI), Green Difference Vegetation Index (GDVI),
Green Normalized Difference Vegetation Index (GNDVI), Enhanced Vegetation Index
(EVI), Ratio Vegetation Index (RVI) dan lainnya.
Pada dasarnya analisis indeks vegetasi memanfaatkan panjang gelombang biru, hijau, merah
dan inframerah dekat. Adanya penurunan kesehatan vegetasi (seperti vegetasi stress) akibat
gangguan dari akumulasi rembesan migas ataupun gangguan lainnya akan mengubah pola
spektral yang menjadi turun pada Inframerah dekat (Yang, 1999; Noomen, 2007; Omodanisi
dan Salami, 2014). Selain itu pada panjang gelombang tampak pantulan meningkat dan beru-
bah dari posisi yang seharusnya sehingga terjadi pergeseran batas tepi panjang gelombang
merah (Smith dkk., 2004). Indikasi gangguan pada vegetasi dapat menyebabkan rendahnya
nilai indeks vegetasi di sekitar sumur migas sebagai pengaruh dari lapangan migas yang ada
(Susantoro dkk., 2017). Adapun jenis-jenis indeks vegetasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Vegetasi yang Biasa Digunakan untuk Pemetaan Kondisi Vegetasi
No Indeks Veg- Rumus Referensi
etasi
1 Atmospheri- 𝑁𝐼𝑅 − (𝑅𝑒𝑑 − 𝛾(𝐵𝑙𝑢𝑒 − 𝑅𝑒𝑑) Kaufman
cally Resistant 𝑁𝐼𝑅 + (𝑅𝑒𝑑 − 𝛾(𝐵𝑙𝑢𝑒 − 𝑅𝑒𝑑) dan Tanre,
Vegetation In- 1992
dex (ARVI)
2 Difference 𝑁𝐼𝑅 − 𝑅𝑒𝑑 Tucker,
Vegetation In- 1979
dex (DVI)
3 Enhanced (𝑁𝐼𝑅 − 𝑅𝑒𝑑) Huete
Vegetation In- 2.5 + dkk., 2002
(𝑁𝐼𝑅 + 6 ∗ 𝑅𝑒𝑑 − 7.5 ∗ 𝐵𝑙𝑢𝑒 + 1)
dex (EVI)
4 Global Envi- (𝑅𝑒𝑑 − 0.125) Pinty dan
ronmental 𝐺𝐸𝑀𝐼 = 𝑒𝑡𝑎(1 − 0.25 ∗ 𝑒𝑡𝑎) + Verstraete,
(1 − 𝑅𝑒𝑑)
Monitoring In- 1992
dex (GEMI) 2(𝑁𝐼𝑅 2 − 𝑅𝑒𝑑2 ) + 1.5 ∗ NIR + 0.5 ∗ Red
eta =
𝑁𝐼𝑅 + 𝑅𝑒𝑑 + 0.5
5 Green Atmos- 𝑁𝐼𝑅 − (𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 − 𝛾(𝐵𝑙𝑢𝑒 − 𝑅𝑒𝑑) Gitelson
pherically Re- 𝑁𝐼𝑅 + (𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 − 𝛾(𝐵𝑙𝑢𝑒 − 𝑅𝑒𝑑) dan
sistant Index Merzlyak,
(GARI) 1996
6 Green Differ- 𝑁𝐼𝑅 − 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 Sripada
ence Vegeta- dkk., 2006
tion Index
(GDVI)
82 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

7 Green Nor- 𝑁𝐼𝑅 − 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 Gitelson


malized Dif- 𝑁𝐼𝑅 + 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 dan
ference Vege- Merzlyak,
tation Index 1996
(GNDVI)
8 Green Ratio 𝑁𝐼𝑅 Sripada
Vegetation In- 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 dkk., 2006
dex (GRVI)
9 Green Vegeta- (−0.2848 ∗ 𝑇𝑀1) + (−0.2435 ∗ 𝑇𝑀2) + Kauth dan
tion Index (−0.5436 ∗ 𝑇𝑀3 + (0.7243 ∗ 𝑇𝑀4) + Thomas,
(GVI) (0.0840 ∗ 𝑇𝑀5) + (−0.1800 ∗ 𝑇𝑀7
1979
10 Infrared Per- 𝑁𝐼𝑅 Crippen,
centage Vege- 𝑁𝐼𝑅 + 𝑅𝑒𝑑 1990
tation Index
(IPVI)
11 Leaf Area In- 3.618 ∗ 𝐸𝑉𝐼 − 0.118 Boegh
dex (LAI) dkk., 2002
12 Modified Non- (𝑁𝐼𝑅 2 − 𝑅𝑒𝑑) ∗ (1 + 𝐿) Yang dkk.,
Linear Index 𝑁𝐼𝑅2 + 𝑅𝑒𝑑 + 𝐿 2008
(MNLI)
13 Modified Sim- NIR Chen,
√(𝑅𝑒𝑑) − 1
ple Ratio 1996
(MSR) NIR
√(𝑅𝑒𝑑) + 1

14 Non-Linear (𝑁𝐼𝑅 2 − 𝑅𝑒𝑑) Goel dan


Index (NLI) (𝑁𝐼𝑅 2 + 𝑅𝑒𝑑) Qin, 1994

15 Normalized (NIR − 𝑅𝑒𝑑) Rouse


Difference (NIR + 𝑅𝑒𝑑) dkk., 1973
Vegetation In-
dex (NDVI)
16 Optimized Soil 1.5 ∗ (NIR − 𝑅𝑒𝑑) Rondeaux
Adjusted Veg- (NIR + 𝑅𝑒𝑑) + 0.16 dkk., 1996
etation Index
(OSAVI)
17 Renormalized (NIR − 𝑅𝑒𝑑) Roujean
Difference √(NIR + 𝑅𝑒𝑑) dan Breon,
Vegetation In- 1995
dex (RDVI)
18 Soil Adjusted 1.5 ∗ (NIR − 𝑅𝑒𝑑) Huete,
Vegetation In- (NIR + 𝑅𝑒𝑑) + 0.5 1988
dex (SAVI)
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 83

19 Simple Ratio 𝑁𝐼𝑅 Birth dan


(SR) 𝑅𝑒𝑑 McVey,
1968
20 Visible Atmos- 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛 − 𝑅𝑒𝑑 Gitelson
pherically Re- Green + 𝑅𝑒𝑑 − 𝐵𝑙𝑢𝑒 dkk., 2002
sistant Index
(VARI)
21 Transformed (NIR − 𝑅𝑒𝑑) Bannari
Difference √0.5 + dkk., 2002
(NIR + 𝑅𝑒𝑑)
Vegetation In-
dex (TDVI)
22 WorldView (NIR2 − 𝑅𝑒𝑑) Wolf, 2010
Improved Veg- (NIR2 + 𝑅𝑒𝑑)
etation Index
(WV-VI)
23 Structurally (NIR − 𝐵𝑙𝑢𝑒) Penuelas
Independent (NIR − 𝑅𝑒𝑑) dkk., 1995
Pigment Index
(SIPI)
24 Enhanced ((NIR + Green) − (2 ∗ 𝐵𝑙𝑢𝑒) Maxmax,
Normalized ((NIR + Green) + (2 ∗ 𝐵𝑙𝑢𝑒) 2015
Difference
Vegetation In-
dex (ENDVI)
4.3 Anomali Geomorfologi
Pemetaan geomorphic high dapat dilakukan pembuatan Principal Component Analysis
(PCA), band ratio, Optimum Index Factor (OIF) yang kemudian dilakukan pemodelan
topografi melalui merging dengan data DEM (Susantoro, 2009). Selain itu dilakukan juga
pengolahan data menggunakan metode Opennes menggambarkan beda tinggi antar per-
mukaan bumi (Yokoyama dkk., 2002). Gambar 7 merupakan contoh model openess.
84 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 7. Pemodelan Openness untuk Mengidentifikasi Perbedaan Tinggi (Geomorphic High)


(Yokoyama dkk., 2002).
Pemetaan geomorfologi dan geologi permukaan dapat menggunakan citra komposit dari per-
bandingan saluran 3/1, 5/7 dan 3/5 pada Landsat TM berturut-turut digabung sebagai RGB
menghasilkan citra komposit yang lebih mengekspresikan informasi geomorfologi dan ge-
ologi dan mempunyai kontras yang besar diantara unit batuan dibanding citra komposit kon-
vensional (Sabin, 1987). Perbandingan ketiga saluran tersebut apabila digabungkan dengan
data SRTM akan semakin baik untuk pemetaan geomorfologi dan geologi. Hasil kajian
menunjukkan bahwa komposit dari perbandingan saluran tersebut yang digabung dengan
SRTM merupakan metode yang paling baik untuk pemetaan geomorfologi dan geologi. Ke-
nampakan relief, tekstur, kesan 3 dimensi dan resistensi batuan yang tampak tajam dan tegas
(Susantoro, 2009). Hal ini karena efek topografi hanya bersumber pada SRTM dan efek
topografi dari citra Landsat 7 ETM+ telah dieliminasi melalui proses perbandingan saluran
itu sendiri sehingga tidak terjadi noise. Adapun contoh hasil pengolahan dengan metode ter-
sebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil Pengolahan Landsat 7 ETM+ merging dengan SRTM pada Struktur Lipatan
Antiklin Asimetri di Kawengan, Cepu, Jawa Tengah (Susantoro, 2009).
5. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Kegiatan Migas Lainnya
Kegiatan migas merupakan pekerjaan yang padat modal, teknologi dan beresiko tinggi.
Perencanaan sangat penting untuk kelancaran setiap pekerjaannya. Kondisi eksplorasi dan
eksploitasi migas yang terkadang di lokasi yang terpencil dan infrastruktur belum ada mem-
butuhkan perencanaan dan pemahaman mengenai kondisi lokasi dengan baik. Penginderaan
jauh merupakan salah satu solusi untuk dapat memahami lokasi tersebut. Penginderaan jauh
selain untuk pemetaan geologi dan rembesan migas dalam mendukung kegiatan eksplorasi
juga berperan dalam kajian rona awal lingkungan, perencanaan dan logistic support,
pengembangan lapangan migas serta monitoring.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 85

5.1 Rona Awal Lingkungan


Rona awal lingkungan merupakan bagian penting sebelum kegiatan eksplorasi dan ek-
sploitasi migas. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh kualitas dan
kuantitas dari kondisi awal baik biotik, abiotik, maupun sosial budaya sehingga memu-
dahkan menyusun suatu rencana kerja dan pengelolaan wilayah kerja yang terpadu. Tujuan
utama dari seluruh rangkaian kegiatan studi ini adalah sebagai bahan masukan dan data dasar
dalam usaha menjaga kinerja pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan; menilai
kualitas lingkungan yang ada dan sensitivitas sekaligus dampak terhadap lingkungan dari
kegiatan migas yang akan dilakukan; mengidentifikasi faktor-faktor penting lingkungan atau
daerah geografis pada suatu wilayah kerja sehingga dapat mencegah pembangunan dengan
resiko lingkungan yang buruk dan memberikan informasi sebagai dasar dalam menetapkan
pemenuhan kebutuhan eksplorasi dan eksploitasi migas (Baradinamika Citra Lestari, 2015).
Pada kajian rona awal lingkungan pemetaan kawasan sensitif sangat penting untuk dil-
akukan. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang rentan untuk dilakukan aktivitas
kegiatan migas.
Pedoman Tata Kerja PTK-045/BP0000/2011 (revisi -0) tentang Environmnetal Baseline As-
sessment menyerbutkan kawasan sensitif merupakan kawasan lindung yang meliputi kawa-
san yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya (kawasan hutan lindung, ber-
gambut, dan kawasan resapan air), Kawasan Perlindungan setempat (sempadan pantai, sem-
padan sungai, kawasan sekitar danau/ waduk, dan sekitar mata air), Kawasan Suaka Alam
dan Cagar Budaya, dan Kawasan Rawan Bencana Alam; kawasan dengan intensitas aktivitas
sosial ekonomi di wilayah tersebut, seperti keberadaan pemukiman, potensi konflik,
kegiatan penangkapan ikan, jalur pelayaran, dan sebagainya atau kawasan dengan kondisi
rona lingkungan yang memiliki karakteristik dan fungsi khusus secara ekologi, misalnya
kondisi kualitas air sungai yang sudah tergolong tercemar berat.
Penginderaan jauh pada kajian rona awal lingkungan terutama untuk pemetaan penggunaan
lahan/tutupan lahan dan juga untuk mengkaji kondisi topografinya (Murali dkk., 2010). Tata
guna/tutupan lahan merupakan komponen penting dari rona awal lingkungan. Tata
guna/tutupan lahan merupakan hasil interaksi antara sosial budaya, keadaan dan kondisi fisik
serta potensi alamiah lahannya (Balak dan Kolarkar, 1993 dalam Rawat dkk., 2013).
Penggunaan penginderaan jauh untuk tata guna lahan/tutupan lahan telah berkembang pesat
baik dalam hal resolusi spasial, spektral maupun teknik pengolahan datanya. Interpretasi
data penginderaan jauh dapat dilakukan secara manual melalui interpretasi visual maupun
interpretasi digital (Susantoro dkk., 2016). Interpretasi digital dapat dilakukan dengan
metode klasifikasi tidak terbimbing, klasifikasi terbimbing, PCA, klasifikasi secara hibrid
dan fuzzy (Butt dkk., 2015).
5.2 Logistic Support
Aplikasi penginderaan jauh berperan sebagai logistic support untuk mendukung kegiatan
seismik, pemboran sumur migas dan pengembangan lapangan. Logistic Support secara khu-
sus didefinisikan sebagai peta hasil interpretasi data penginderaan jauh dan telah diverifikasi
86 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

melalui survei lapangan yang dapat memberikan informasi tentang kondisi suatu daerah un-
tuk membantu perencanaan dalam survei seismik (Susantoro, 2005). Pada survei seismik,
terutama seismik 3D diperlukan informasi yang akurat dan presisi untuk meminimalkan
biaya dan dampak negatif atau konflik dengan penduduk setempat. Data-data yang dibutuh-
kan meliputi jalan dan infrastrukturnya untuk mobilisasi alat, sungai dan sungai purba untuk
kebutuhan air, data tutupan lahan, bangunan, fasilitas publik, data demografi dan admin-
istrasi untuk memperkirakan kompensasi ganti untung. Penginderaan jauh dapat digunakan
untuk kegiatan tersebut (Susantoro, dkk, 2005).
Survei seismik harus menghindari lokasi-lokasi yang sensitif baik secara sosial maupun
fisik. Hal ini karena akan menimbulkan dampak yang komplek. Pada daerah-daerah tersebut
diperlukan pembuatan buffer. Lokasi-lokasi yang sensitif meliputi permukiman, pemaka-
man, jalan perkerasan, jaringan listrik tegangan tinggi, bangunan keagamaan, jalan utama,
fasilitas migas dan dam (Susantoro, 2005). Pada permukiman aktivitas seismik dapat
mempengaruhi kondisi bangunan seperti halnya efek gempa bumi, terutama pada bungan
dengan pondasi yang dangkal (Dashti dkk., 2010).
5.3 Perencanaan Jalur Pipa
Pada perencanaan jalur pipa membutuhkan informasi kondisi permukaan bumi yang terbaru.
Informasi tersebut secara efektif dan efisien dapat diperoleh dari data penginderaan jauh,
Peta Topografi dan survei lapangan. Pada perencanaan jalur pipa secara umum digunakan
analisis jarak terdekat. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis hambatan pada jalur ter-
sebut sehingga dapat ditentukan alternatif jalurnya. Selain itu diperlukan data keberadaan
fasilitas umum, fasilitas khusus, fasilitas sosial, situs/arkeologi, informasi aksesibilitas,
penggunaan lahan dan morfologi daerah rencana jalur pipa. Data-data tersebut sangat diper-
lukan untuk dikaji mengenai kemungkinan bisa atau tidak dilewati jalur pipa. Hal lain yang
tidak kalah pentingnya adalah analisis peraturan perundangan yang terkait dengan rencana
jalur pipa. Analisis dilakukan agar perencanaan jalur pipa tersebut memenuhi regulasi yang
ada. (Susantoro 2010).
Dampak yang paling berbahaya dalam operasi jalur pipa berupa pecahnya pipa tersebut ka-
rena medan yang tidak stabil atau bahaya geologi. Synthetic Aperture Radar (SAR) dan citra
penginderaan jauh sistem optik yang terintegrasi dengan GIS, merupakan rangkaian
teknologi untuk mendukung penentuan jalur pipa dan mitigasi terhadap risiko bencana yang
efektif (MDA, 2017). Penginderaan jauh dan citra foto juga menyediakan informasi yang
bermanfaat untuk updating peta tutupan lahan, deteksi perubahan bentuklahan, program
rencana survei lapangan dan lokasi lingkungan yang sensitif serta kondisi daerahnya. Pada
level detil diperlukan panjang jalur pipa yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh.
Penggunaan penginderaan jauh tersebut efektif dan efisien secara biaya pada investigasi
lapangan (Johnson and Petterson, 1986).
5.4 Deformasi Lapangan Migas
Deformasi, baik pengangkatan muka tanah maupun penurunan muka tanah dapat terjadi di
lapangan migas. Pengangkatan muka tanah dapat terjadi karena injeksi air (Klemm dkk.,
2010), pengisian air tanah secara alami (Zhou dkk., 2009; Teatini dkk., 2011), injeksi uap
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 87

air panas (Khakim, 2012) atau injeksi cairan secara umum (Teatini dkk., 2010). Adapun
penurunan muka tanah pada lapangan migas terjadi karena kosongnya reservoir akibat
pengambilan migas yang menerus (Klemm dkk., 2010).
Pengukuran deformasi pada suatu reservoir dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi
secara konsisten dan koheren perubahan volume dan distorsinya. Adapun pengukuran de-
formasi di permukaan atau pada kedalaman tertentu dapat digunakan berbagai variasi
teknologi yang berbeda secara biaya, kemudahan data koleksi, presisi, area yang tercover
dan lainnya (Dusseault dan Rothenburg, 2002). Penginderaan jauh merupakan salah satu
metode permukaan yang baik untuk mengkaji deformasi. Adapun pemantauan deformasi
dapat dilakukan dengan metode permanent scatterer interferometric syntetic aperture radar
(PSInSAR) (Klemm dkk., 2010), Ground Based SAR (GBSAR) (Monserrat dkk., 2014)
atau teknik differential SAR interferometry (DInSAR) (Sansosti dkk., 2015). Adapun model
penurunan muka tanah pada lapangan migas dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Efek Geomekanik pada Reservoir yang telah kosong sehingga mengakibatkan penurunan
muka tanah yang disertai pergerakan horisontal permukaan. Hal ini memungkinkan
mengaktifkan sesar yang dapat merusak sumur migas atau fasilitas di permukaannya
(Klemm dkk., 2010)
6. KESIMPULAN
Kegiatan migas yang padat modal, teknologi tinggi dan beresiko tinggi dan terkadang harus
dilakukan pada daerah yang terpencil membutuhkan efisiensi dalam setiap langkahnya.
Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk
efisiensi kegiatan migas dalam setiap fase kegiatannya. Hal ini didukung oleh perkembangan
penginderaan jauh yang pesat baik dari segi resolusi spasial, resolusi spektral dan temporal
memudahkan dalam pemanfaatannya untuk kegiatan migas. Pemanfaatan tersebut dapat di-
optimalkan baik dari awal pencarian migas sampai produksi dan monitoringnya.
88 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

DAFTAR REFERENSI
Abdulraziq A. M. M. A., (2012): Remote Sensing Petroleum Seepages Detection. City and Regional
Planning. King Fahd University of Petroleum Minerals. Arab Saudi.
Andersen M., Coupal R. And White B., (2009): Reclamation Cost and regulation of Oil and Gas
Development with Application to Wyoming. Western Eeconomic Forum, Spring. Pp 40-48.
Bannari, A., Asalhi, H. dan Teillet, P., (2002): Transformed Difference Vegetation Index (TDVI) for
Vegetation Cover Mapping. Proceedings of the Geoscience and Remote Sensing Symposium,
IGARSS 2002, IEEE International, Volume 5.
Baradinamika Citra Lestari, (2015): Environmental Baseline Assessment Wilayah Kerja Bengara II,
Kabupaten Bulungan , Provinsi Kalimantan Utara.
Bierwith, P., (2002): Evaluation of ASTER satellite data for geological applications. Consultancy
report to Geoscience Australia.
Birth, G. dan McVey, G., (1968): Measuring the Color of Growing Turf with a Reflectance
Spectrophotometer. Agronomy Journal 60: 640-643.
Bjonerud M.G. and Boyer B., (1996). Image Analysis in Structural Geology Using NIH Image in
Paor D.G.D. (Editor)., (1996): Structural Geology and Personnal Computer. Computer
Methods in the Geosciences. Pergamon. Elsevier Sciences Ltd.
Boegh, E., Soegaard, H., Broge, N., Hasager, C., Jensen, N., Schelde, K. dan Thomsen. A., (2002):
Airborne Multi-spectral Data for Quantifying Leaf Area Index, Nitrogen Concentration and
Photosynthetic Efficiency in Agriculture. Remote Sensing of Environment 81, no. 2-3: 179-
193.
Brantley S.T., J.C. Zinnert J.C. and D.R. Young, 2011. Application of Hyperspectral Vegetation
Indices to Detect Variations in High Leaf Area Index Temperate Shrub Thicket Canopies.
Remote Sensing of Environment. 115. Pp 514-523.
Butt, A., R. Shabbir, S.S. Ahmad and N. Aziz., 2015. Landuse Change Mapping and Analysis Using
Remote Sensing and GIS: A Case Study of Simly Watershed, Islamabad, Pakistan. The
Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 18. 251-259.
www.elsevier.com/locate/ejrs.
Chen, J., (1996): Evaluation of Vegetation Indices and Modified Simple Ratio for Boreal
Applications. Canadian Journal of Remote Sensing 22: 229-242.
Crippen, R., (1990): Calculating the Vegetation Index Faster. Remote Sensing of Environment 34: 71-
73.
Crystiana I., Susantoro T.M. dan Junaedi T., (2014): Identifikasi Potensi Migas melalui Citra Satelit
dengan Pendekatan Anomali Topografi (Studi Kasus Daerah Indramayu dan Sekitarnya.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol. 48. No 2. ISSN: 2089-3396. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta.
Crystiana I., Susantoro T.M. dan Firdaus N., (2015): Pengolahan Data Citra Satelit untuk
Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas. Lembaran Publikasi
Minyak dan Gas Bumi. Vol. 49. No 1. ISSN: 2089-3396. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 89

Crystiana I. Dan Susantoro T.M., (2013). Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan
Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol
47. No. 2. Jakarta.
Dashti S., Bray J.D., Pestana J.M., Riemer M., Wilson D., (2010): Mechanisms of Seismivally
Induced Setllemetn of Buildings with Shallow Foundation on Liquefiable Soil. Journal of
Geotechnical and Geoenvironmental Engineering. ASCE. 136(1). Pp 151-164.
Deguchi T. dan Narita T, (2015): Monitoring of Land Deformation Due to Oil Production by INSAR
Time Series Analysis Using Palsar Data in Bolivarian Republic of Venezuela. Prooceding
Fringe 2015 Workshop. Frascati, Italy. 23-27 March 2015.
Drury, S.A.1987. Image Interpretation in Geology. Department of Earth Sciences. The Open
University. Allen & Unwin. London.
Dusseault M.B. and Rothenburg L., (2002): Analysis of Deformation Measurements for Reservoir
Management. Oil and Gas Science and Technology-Rev. IFP. Vol 57. Pp 539-554.
Everett J.R., Staskowaski R.J. and Jengo C., (2002). Remote Sensing and GIS Enable Future
Exploration Success. World Oil. Nov. 2002. Vol. 223 No 11.
Febriono D.P., Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Monitoring Semburan Lumpur Sidoarjo.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII. Bogor.
Franto, 2003, Pemanfaatan Citra Landsat TM Digital untuk Survei Pendahuluan Pencarian Struktur
Jebakan Minyakbumi, Studi Kasus di Cepu dan Sekitarnya, Tesis S2, Program Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Franceschetti G. and Lanari R., (1999): Synthetic Aperture Radar Processing. CRC. Boca Raton.
Girouard G., Bannari A., El-Harti A. And Desrochers A., (2017): Validated Spectral Angle Mapper
Algorithm for Geological Mapping: Comparative Study between Quickbird and Landsat
TM. Ottawa-Carleton Geoscience Center. Ottawa.
Gitelson, A.A., Kaufman, Y. dan Merzylak, M., (1996): Use of a Green Channel in Remote Sensing
of Global Vegetation from EOS-MODIS. Remote Sensing of Environment 58: 289-298.
Gitelson, A.A., Strark, R., Grits, u., Rundquist, D., Kaufman dan Derry, D., (2002): Vegetation and
Soil Lines in Visible Spectral Space: A Concept and Technique for Remote Estimation of
Vegetation Fraction. International Journal of Remote Sensing 23: 2537−2562
Gloaguen, R., P. R. Marpu and I. Niemeyer, 2007. Automatic Extraction of Faults and Fractal
Analysis from Remote Sensing Data. Nonlin Processes Geophys., 14. 131- 138.
Goel, N. dan Qin, W., (1994): Influences of Canopy Architecture on Relationships Between Various
Vegetation Indices and LAI and Fpar: A Computer Simulation. Remote Sensing Reviews 10:
309-347.
Havid, 1998. Pemanfaatan citra ERS-1 (SAR) dan Citra Landsat Thematic mapper untuk Kajian
Struktur Geologi. Studi Kasus di Daerah Ungaran – Salatiga Jawa Tengah, Tesis S2,
Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hewson, R.D., Cudahy, T.J., and Huntington, J. F., (2001): Geologic and alteration mapping at Mt
Fitton, South Australia, using ASTER satellite-borne data: Proceedings of the IEEE 2001
International Geoscience and Remote Sensing Symposium, Sydney, N.S.W., 2001.
90 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Hewson, R.D., Cudahy, T.J., Burtt, A.C., Okada, K., and Mauger, A.J., (2004), Assessment of ASTER
imagery for geological mapping within the Broken Hill and Olary Domains: 12th
Australasian Remote Sensing and Photogrammetric Conference Proceedings, Perth, W.A.,
2004.
Huete, A., Didan, K., Miura, T. dan Ferreira, L.G., (2002): Overview of the Radiometric and
Biophysical Performance of the MODIS Vegetation Indices. Remote Sensing of Environment
83:195–213.
Huete, A., (1988): A Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI). Remote Sensing of Environment 25:
295-309.
Ji L., Zhang Y., Wang Q., Xin Y. dan Li J., (2016). Detecting Uplift Associated with Enhanced Oil
Recovery Using INSAR in the Karamay Oil Field, Xinjiang, China. International Journal of
Remote Sensing. Volume 37, 2016 - Issue 7.
Johnson and Petterson (Editors). (1986): Geotechnical Application of Remote Sensing and Remote
Data Transmission. A. Symposium on Soil and Rock. Cocoa Beach. Florida 31 Januari-
1Febuari. American Society for Testing and Materials.
Joshua J., (2015): Hyperspectral Remote Sensing for Oil Exploration. Published in Science.
http://www.slideshare.net/serjiojayanthjoshua/hyperspectral-remote-sensing-for-oil-
exploration. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Kamp, U., T. Bolch and J. Olsenholler, 2003. DEM Generation from Aster Satellite Dara for
Geomorphometric Analysis of Cerro Sillajhuay, Chile/Bolivia. ASPRS Annual Confrence
Proceddings. www.pcigeomatics.com/services/support_center/tech papers /dem_aster.pdf.
Kaufman, Y., dan Tanre, D., (1992): Atmospherically Resistant Vegetation Index (ARVI) for EOS-
MODIS. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 30, No. 2: 261-270.
Kauth, R. dan Thomas, G., (1979): The Tasselled Cap-A Graphic Description of the Spectral-
Temporal Development of Agricultural Crops as Seen By Landsat In Proceedings of the
LARS 1976 Symposium of Machine Processing of Remotely-Sensed Data, West Lafayette,
IN: Purdue University, pp. 4B41-4B51.
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519.K/20/MPE/1999 tentang Pemanfaatan
Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan Pemantauan Kegiatan Pertambangan
dan Energi.
Khakim M.Y.N., Tsuji T. and Matsuoka T., Geomechanical Modeling for InSAR-Derived Surface
Deformation at Steam-Injection Oil Sand Fields. Journal of Petroleum Science and
Engineering.96-97. Pp 152-161.
Klemm H., Quseimi I., Novali F., Ferretti A. And Tamburini A., (2010): Monitoring Horizontal and
Vertical Surface Deformation Over a Hydrocarbon Reservoir by PSInSAR. First Break Vol.
28. Techincal Article. Pp 29-37.
Lakkaraju, V.R., Zhou, X., Apple, M.E., Chunningham, A. dan Dobeck, L.M., (2010): Studying the
Vegetation Response to Simulated Leakage of Sequestered CO2 Using Spectral Vegetation
Indices. Economic Informatics. Elsevier. The International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII part B8. Beijing.
Lasica R., (2015): A New Age for Oil and Gas Exploration: Remote Sensing Data and Analytics Are
Changing the Industry. http://eijournal.com/print/ articles/a-new-age-for-oil-and-gas-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 91

exploration-remote-sensing-data-and-analytics-are-changing-the-industry. Diunduh tanggal


2 April 2016.
Lehman A., (2014): Remote Sensing for Oil and Gas: Modern Data & Analytics for the New Age of
Surface and Above-Surface Exploration, Operations, Environmental Monitoring, and Health
and Safety Applications. http://www.harrisgeospatial.com/Home/NewsUpdates/TabId
/170/ArtMID/735/ArticleID/13902/Remote-Sensing-for-Oil--Gas.aspx. Diunduh tanggal 2
April 2016.
Levin N., (1999): Fundamentals of Remote Sensing. Remote Sensing Laboratory, Geography
Department, Tel Aviv University. Israel.
Li, Q., Chen, X., Liu, X., Mao, B. dan Ni, G., (2012): Study on Oil and Gas Exploration in Sparse
Vegetation Areas by Hyperspectral Remote Sensing Data. Chinese Optic Letter. Col 10
(Suppl), S11004 (2012).
Liu X.m., Bloemendal, J. dan Rolph, T., (1994): Pedogenesis and Paleoclimate Interpretations of
Magnetic Susceptibility Record of Chinese Loses-Paleosol Sequences: Geology V. 22.
Macdonal Dettwiller and Associated (MDA), (2017). Pipeline Route Selection Support.
http://mdacorporation.com/geospatial/international/markets/oil-and-gas/pipeline/pipeline-
route-selection-support.
Maher, B.A. dan Thompson, R., (1992): Paleoclimate Significace of Mineral Magnetic of The
Chinese Loses and Paleosols. Quaternary Research. C. 37
Manning, J. (2017). Remote Sensing of Infrastructure Assets. Space for Smarter Government
Programme (SSGP). Space Application & Remote Sensing in Suppport of UK National
Energy & Infrastructure Delivery. ARUP.
Maruyama Y., (1994): How to Apply the Remote Sensing for Oil and Gas Exploration. Proceeding
LEMIGAS-JICA Seminar 2. Remote Sensing Technology for Development of Natural
Resources. Jakarta June 15, 1994.
Mauger A.J., (2014): History of Remote Sensing in Geological Exploration. Makalah ini
dipresentasikan pada AIG Remote Sensing and Interpretation Conference, Buswood on
Swan Convention Centre, 10 March 2014.
Maxmax, (2015): Enhanced Normalized Difference Vegetation Index (ENDVI).
https://www.maxmax.com/endvi.htm
Meer F.V.D., van Dijk P., Werff H.V.D. dan Yang H., (2002): Remote Sensing adn Petroleum
Seepage: a Review and Case Study. Terra Nova, 14. Blackwell cience Ltd.
Monserrat O., Crosetto M. and Luzi G., (2014): A Review of Ground-Based SAR Interferometry for
Deformation. ISPRS Journal of Phogrametry and Remote Sensing.93. 40-48.
Murali, M., K. Ramakrishna, U.K. Saha and G. Sarvesam., (2010): Application of Remote Sensing
and GIS in Seismic Surveys in KG Basin. 8th Biennial International Conference &
Exposition on Petroleum Geophysics. Hyderabad 2010.
NASA, (2011): Finding Oil and Gas from Space. https://apollomapping.com/wp-
content/user_uploads/2011/11/NASA_Remote_Sensing_Tutorial_Oil_and_Gas.pdf.
Diunduh tanggal 2 April 2016.
92 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Ninomiya, Y., Fu, B., and Cudahy, T.J., 2005, Detecting lithology with Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) multispectral thermal infrared
“radiance-at-sensor” data. Remote Sensing of Environment, 99, 127-139.
Noomen, (2007): Hyperspectral Reflectance of Vegetation Affected by Underground Hydrocarbon
Seepage. Dissertation. International Institute for Geo-information Science & Earth
Observation. Enschede, The Netherlands (ITC).
Omodanisi, E.O. dan Salami, A.T., (2014): An Assessment of the Spectra Characteristics of
Vegetation on South Western Nigeria. International Conference on Environment Systems
Science and Engineering. IERI Procedia 9 (2014) 26-32.
Ouattara, T., R. Couture, P.T. Bobrowsky and A. More, 2004. Remote Sensing and Geosciences.
Geological Survey of Canada. Ottawa.
Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang Environmental Baseline
Assessment (EBA). Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jakarta.
Penuelas, J., Baret, F. dan Filella, I., (1995): Semi-Empirical Indices to Assess
Carotenoids/Chlorophyll-a Ratio from Leaf Spectral Reflectance. Photosynthetica 31: 221-
230.
Petrovic, A., Khan, S.D. dan Thurmond, A.K., (2012): Integrated Hyperspectral Remote Sensing,
Geochemical and Isotopic Studies for Understanding Hydrocarbon-Induced Rock
Alterations. Journal of Marine and Petroleum Geology 35 (2012). Pp 292-308.
Pinty, B. dan Verstraete, M., (1992): GEMI: a Non-Linear Index to Monitor Global Vegetation From
Satellites. Vegetation 10: 15-20.
Rawat, J.S., V. Biswas and M. Kumar., 2013. Change in Landuse/Landcover Using Geospatial
Techniques: A Case Study of Ramnagar Town Area, District Nainital, Uttarakhand, India.
The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 16. 111.
Rivereau J.C. dan Fontanel A., 1976. Remote Sensing as an Aid to Petroleum and Mining Exploration.
Proceeding Indonesian Petroleum Association. Fifth Annual Convention, June 1976. Pp
133-149.
Rondeaux, G., Steven, M. dan Baret, F., (1996): Optimization of Soil-Adjusted Vegetation Indices.
Remote Sensing of Environment 55: 95-107.
Roujean, J. dan Breon, F., (1995): Estimating PAR Absorbed by Vegetation from Bidirectional
Reflectance Measurements. Remote Sensing of Environment 51: 375-384.
Rouse J., Haas R., Schell J. and Deering D., (1973): Monitoring Vegetation Systems in the Great
Plains with ERTS. Third ERTS Symposium, NASA. pp 309-317.
Rowan, L.C., and Mars, J.C., (2003): Lithologic mapping in the Mountain Pass, California area using
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Refl ection Radiometer (ASTER) data.
Remote Sensing of Environment, 84, 350-366.
Sabin, F.F. 1987. Remote Sensing Principles and Interpretation. W. H. Freeman and Company. New
York.
Sabins, F.F., 1999, Remote sensing for mineral exploration, Ore Geology Reviews 14, 157-183.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 93

Salati, S., (2014): Characterization and Remote Detection of Onshore Hydrocarbon Seep Induced
Alteration. Dissertation. Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation.
Univesity of Twente. Enschede, The Netherlands.
Sanches, I.D., Filho, C.R.S., Magalhaes, L.A., Quiterio, G.C.M., Alves, M.N. dan Oliveira, W.J.,
(2013): Assessing the Impact of Hydrocarbon Leakages on Vegetation Uisng Reflectance
Spectroscopy. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 78. Elsevier.
Sansosti, E., Manunta, M., Casu, F., Bonano, M., Ojha C., Marsella, M. and Lanari, R., (2015). Radar
Remote Sensing from Space for Surface Deformation Analysis: Present and Future
Opportunities from the New SAR Sensor Generation. Rend. Fis. Acc. Lincei 26 (Suppl) 1:
S75-S84.
Sarapirome, S., A. Surinkum, P. Sasutthipong, 2002. Application of DEM Data to Geological
Interpretation: Thong Pha Phum Area, Thailand. 23rd Asian Conference on Remote Sensing.
November 25-29. Birendra International Convention Centre. Kathmandu, Nepal.
Sarp, G., 2005. Lineament Analysis from Satellite Images, North-West of Ankara, Thesis. The
Graduate School of Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University.
http.etd.lib.metu.edu.tr/upload/12606520/index.pdf.
Satellite Imaging Corporation, (2016): Satellite Images for Oil and Gas exploration. Manor Spring
Court. Tomball. USA. http://www.satimagingcorp.com
/applications/energy/exploration/oil-exploration/. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Schumacher, D., (1996): Hydrocarbon induced Alteration of Soil and Sediments, Hydrocarbon
Migration and its Near-Surface Expression (D. Schumacher dan M.A. Abrams, Eds.). Mem.
Am. Ass. Petrol. Geology., 66, 71-89.
Setianto, A., 2003. Geologi Daerah Mountain Front Block, Cekungan Sumatera Tengah, Riau
Berdasarkan Citra Landsat Thematic Mapper, Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada.
Setiawan, H. L., 2004. Aplikasi Citra Ikonos untuk Analisis Geologi Permukaan dan Hubungannya
dengan Kondisi Bawah Permukaan dalam Rangka Identifikasi Potensi Hidrokarbon. Studi
Kasus Daerah kawengan dan Sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. Tesis
S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Saunders D.F., Burson K.R. dan Thompson C.K., (1999): Model for Hydrocarbon Microseepages
and Related Near-Surface Alteration. Bull. Am. Ass. Petrol. Geology. 83. 170-185.
Short, N. M., 2008. Remote Sensing Tutorial. National Aeronautics and Space Administration.
http://rst.gsfc.nasa.gov.
Smith, K.L., Steven, M.D. dan Colls, J.J., (2004): Spectral Responses of Pot Grown Plants to
Displacement of Soil Oxigen. International Journal of Remote Sensing. 25 (20): 4395-4410.
SKK Migas, (2013): Buku Laporan Tahunan. SKK MIGAS. Jakarta.
Soe, M., Kyaw, T.A. dan Takashima, I., (2005): Application of Remote Sensing Technique on Iron
Oxide Detection from ASTER and Landsat Images of Tanintharyi Coastal Area, Myanmar.
Akita University.
94 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sripada, R.P., Heinigerb, R.W., Whitec, J.G. dan Meijer, A.D., (2006): Aerial Color Infrared
Photography for Determining Early In-season Nitrogen Requirements in Corn." Agronomy
Journal 98: 968-977.
Sudrajat, (1990):. Petunjuk dalam Penafsiran Geologi Potret Udara. Diktat Kuliah. Pusat Pendidikan
Interpretasi Foto Udara, Pasca Sarjana Angkatan II. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Suliantara, Doma F.P., Isnawati dan Trimuji, S., (2010): Remote Sensing Geology of South Upper
Kutei Basin, East Kalimantan Based on Palsar Imagery. Proceeding PIT IAGI LOMBOK
2010. The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition.
Susantoro, T.M., (2009): Optimalisasi Data Landsat 7 ETM+ dan SRTM untuk Revisi Peta Geologi
Lembar Bojonegoro. Thesis. Program Studi Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Susantoro T.M. dan Doma F.P., (2011): Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoarjo dari
Citra Penginderaan Jauh. Jurnal Inderaja. Volume II. No. 2 Juli 2011. LAPAN-Jakarta.
Susantoro T.M., Alia S.P. dan Ketut W., (2016): Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano
Menggunakan Analytical Spectral Devices. Seminar Nasional Penginderaan Jauh – Sinas
Inderaja. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN. The Margo Hotel Depok, 27 Juli 2016.
Susantoro T.M., Puspitasari A.S. dan Wikantika K., (2016): Environmental Baseline Assessment in
Oil and Gas Activities in Indonesia Using Remote Sensing. Proceeding GEOSEA XIV and
45th IAGI Annual Convention (GIC 2016). Bandung October 10-13, 2016.
Susantoro, T.M., Ketut, W., Alia, S.P dan Asep, P., (2017): Impact of Oil and Gas Gield in Sugar
Cane Condition Using Landsat 8 in Indramayu Area and its Surrounding, West Java
Province, Republic of Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
54 (2017) 012019.
Susantoro T.M. dan Suliantara, (2014): Pemetaan Migas pada Cekungan Frontier Memberamo
dengan Citra Satelit dan Didukung Data Subsurface Regional. Lembaran Publikasi Minyak
dan Gas Bumi. Vol 48 No. 3. ISSN: 2089-3396.
Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Perencanaan
Jalur Pipa. Lembaran Publikasi LEMIGAS. No. 1 / Vol.44 / April 2010.
Susantoro T.M., Suliantara and Sunarjanto D., (2010), Oil Spill Pollution Detection Using PALSAR
Data in Timor Sea, LEMIGAS Scientific Contributions to Petroleum Science & Technology
Volume 33, Number 2, September 2010, ISSN : 0126-3501.
Susantoro T.M., Tjiptono A.G. and Suliantara, (2005): Use of High-Resolution Satellite Data
(IKONOS Imagery) for Logistic Support. Lemigas Scientific Contribution. October 2005.
Taylor I. L., (2004): Methods of Exploration and Production Petroleum Resources. Geology/ Vol. V.
Encyclopedia Support Systems (EOLSS). U.S. Geological Survey. Reston. Virginia. USA.
Teatini P., Castelletto N., Ferronato M., Gambolati G., Janna C., Cairo E., Marzorati D., Colombo D.,
Ferreti A., Bagliani A. And Bottazzi F., (2011). Geomechanical Response to Seasnal Gas
Storage in Depleted Reservoirs: A Case Study in the Po River Basin, Italy. Journal of
Geophysischal Research. Vol 116. F02002.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 95

Teatini P., Gambolati G., Ferronato M., Settari A. And Walters D., (2010). Land Uplift Due To
Subsurface Fluid Injection. Journal of Geodynamics. Elsevier. Vol 51.
Terry R.E., (2001). Enhanced Oil Recovery. Encyclopedia of Physical Science and Tehcnology. 3rd
Edition. Vol. 18. Robert A. Meyers Ed., Academic Press. Pp 503-518.
Tucker, C., (1979): Red and Photographic Infrared Linear Combinations for Monitoring Vegetation.
Remote Sensing of Environment 8: 127–150.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Verstappen, H.Th., 1978. Remote Sensing in Geomorphology. International Institute of Aerial Survey
and Earth Science (I.T.C.) Elsevier Scientific Publishing Company. Enchede, The
Netherlands.
Volesky, J.C., Stern, R.J., and Johnson, P.R., 2003, Geological control of massive sulfi de
mineralization in the Neoproterozoic Wadi Bidah shear zone, southwestern Saudi Arabia,
inferences from orbital remote sensing and field studies. Precambrian Research, 123, 235-
247
Wahyono M. (Advisor), (2003). Plan of Development 2003. Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu
Migas. Jakarta.
Williams A. K., (2000): The Role of Satellite Exploration in the Search for New Petroleum Reserves
in South Asia; NPA Paper, Proceedings of SPE-PAPG Annual Technical Conference,
Islamabad, November 9-10, 2000.
Wolf, A., (2010): Using WorldView 2 Vis-NIR MSI Imagery to Support Land Mapping and Feature
Extraction Using Normalized Difference Index Ratios. Unpublished report, Longmont, CO:
DigitalGlobe.
Yang H., (1999): Imaging spectrometry for hydrocarbon microseepage. Dissertation. TU Delft.
Master of Science in Geology. ITC Publication Nuumber 76.
Yang H., Meer F.V.D., Zhang J. dan Kroonenberg S.B., (2000): Direct Detection of Onshore
Hydrocarbon Microseepages by Remote Sensing Techniques. Remote Sensing Review.
https://www.researchgate.net/publication /232910686. Research gate. DOI:
10.1080/027572500 095323 81.
Yang H., Meer F.D.V. and Zhang J., (2000). Aerospace Detection of Hydrocarbon-Induced Alteration
in Geochemical Remote Sensing of the Subsurface Hale M. (editor). Handbook of
Exploration Geochemistry. Vol. 7 Elsevier Science B.V.
Yang, Z., Willis, P. dan Mueller, R., (2008): Impact of Band-Ratio Enhanced AWIFS Image to Crop
Classification Accuracy. Proceedings of the Pecora 17 Remote Sensing Symposium (2008),
Denver, CO.
Yokoyama, R., Shirasawa, M. dan Pike, R. J., (2002): Visualizing Topography by Openness: A New
Application of Image Processing to Digital Elevation Models. Journal of Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing. Vol 68. No. 3. American Society for Photogrammetry and
Remote Sensing
Zhau x., Chang N.B. and Li S., (2009). Application of SAR Interferometry in Earth and
Environmental Science Research: Review. Sensors. 9. 1876-1912. ISSN. 1424-8220.
doi:10.3390/s90301876.
96 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS
Tri Muji Susantoro, S.T., M.Sc.
Tri Muji Susantoro merupakan peneliti muda bidang
penginderaan jauh di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Lulusan
Sarjana Teknik Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas
Diponegoro tahun 2000 dan Master of Science Universitas
Gadjah Mada tahun 2009 ini menekuni dunia penginderaan
jauh, terutama kaitannya dengan eksplorasi migas dan kajian
pendukungnya. Sepanjang karir penelitiannya telah
melakukan berbagai kajian meliputi kajian perubahan luasan
lahan, pengolahan data penginderaan jauh untuk interpetasi
geologi, akuisisi dan pengolahan data satelit resolusi tinggi,
rona awal lingkungan, law and regulation compliance for oil and gas field development,
aplikasi penginderaan jauh dan SIG untuk program community development, monitoring
kesesuaian lahan Jarak Pagar, kajian revitalisasi pelaporan migas, pemetaan rembesan mi-
gas, penginderaan jauh untuk logistic support pada seismik 3D, screening dan rangking
cekungan untuk eksplorasi migas dan yang lainnya.
Lebih dari 40 makalah ilmiah yang telah ditulis dan diterbitkan baik di prosiding nasional,
prosiding internasional dan jurnal nasional. Demikian pula berbagai pelatihan dan seminar
di bidang penginderaan jauh dan minyak dan gas bumi telah diikuti untuk menambah wa-
wasan dan pengetahuan. Tahun 2015 sampai sekarang, Tri Muji mengambil studi doktoral
di Program Studi Geodesi dan Geomatika dengan bidang minat Penginderaan Jauh dan
bergabung di Center for Remote Sensing- Institut Teknologi Bandung.

Prof. Ketut Wikantika


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bi-
dang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial
termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, per-
tanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta pe-
rubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk
kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Univer-
sitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS
Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsyl-
vania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi
pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 97

Penerapan Real Option Analysis dengan Perubahan Volatilitas


dalam Menentukan Nilai Proyek Pertambangan

Dean Andrean, Rio Nur Arifin, Novriana Sumarti


Matematika Industri dan Keuangan, Fakultas MIPA ITB
Gedung CAS lt 4, Jl Ganesha 10 Bandung 40132
novriana@math.itb.ac.id

Abstrak
Dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak menentu, sebuah perusahaan memerlukan se-
buah proses evaluasi nilai proyek yang dapat mengikutsertakan ketidakpastian yang timbul
oleh kondisi pasar tersebut, agar perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan dan mem-
batasi kerugian yang mungkin timbul. Metode Real Option merupakan metode valuasi
proyek yang dapat mengandung unsur ketidakpastian dan juga strategi investasi perusahaan
pada proyek yang akan dijalankan. Ketidakpastian ini ditandai dengan adanya perubahan
nilai proyek dari waktu ke waktu, dimana dalam makalah ini akan dimodelkan oleh Metode
Lattice. Salah satu parameter yang diperlukan dalam metode ini adalah volatilitas yang
menunjukkan cukup atau kurangnya informasi yang dimiliki mengenai perkembangan nilai
proyek tersebut di masa yang akan datang. Makalah ini membahas tentang Real Option
menggunakan model trinomial lattice yang dimodifikasi dengan perubahan volatilitas ber-
dasarkan Haahtela. Model Real Option dengan perubahan volatilitas tersebut diterapkan
pada masalah valuasi nilai proyek pertambangan perak. Hasil analisis menunjukkan nilai
proyek yang positif sehingga proyek ini akan menguntungkan untuk dijalankan.
Kata kunci: Evaluasi Nilai Proyek, Metode Lattice, Metode Trinomial, Real Option
Abstract
In facing uncertain market conditions, a company needs a project value valuation process
that may involve uncertainty arising from such market conditions, in order for the company
to maximize profits and limit losses that may arise. Real Option method is a method of val-
uation of projects that can contain elements of uncertainty and also the company's invest-
ment strategy on the project to be run. This uncertainty is marked by the change of project’s
value from time to time, which in this paper will be modeled by the lattice Method. One of
the parameters required in this method is the volatility indicating sufficient or insufficient
information about the development of the project’s value in the future. This paper discusses
Real Option using modified trinomial lattice model with volatility changes based on
Haahtela. The Real Option model with such volatility changes is applied to the valuation of
the value of the silver mining project. The result show positive value of this project so the
project is worthed to run.
Keywords: Project Valuation Method, Method Lattice, Method Trinomial, Real Option
98 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN
Ketika keadaan pasar global semakin tidak menentu dan dinamis, fleksibilitas untuk
menghadapi perubahan dari seorang manajer menjadi sesuatu yang penting bagi perusahaan
dalam menghadapi persaingan bisnis, memaksimalkan keuntungan, dan membatasi kerugian
yang mungkin terjadi dari perkembangan pasar. Dengan memandang peluang investasi di
masa depan sebagai ‘Real Option’ akan memberikan wawasan baru terhadap alokasi sumber
daya perusahaan. Metode penentuan harga opsi saham merupakan gagasan utama dari
penggunaan metode Real Option dalam perhitungan nilai proyek.
Sebelum metode Real Option dikenal, salah satu metode tradisional dalam perhitungan nilai
proyek adalah metode Disconted Cash Flow (DCF) dimana metode ini menggunakan
perkiraan aliran kas pada masa depan yang didiskontokan (Benninga, 2014). Perusahaan
memerlukan nilai Net Present Value (NPV) yang lebih besar dari nol yang untuk menjalan-
kan sebuah proyek, jika tidak maka perusahaan perlu mengambil keputusan untuk memper-
baiki situasi supaya proyek dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau perusahaan tidak jadi
menjalankan proyek tersebut. Penggunaan metode DCF ini mengabaikan ketidakpastian dan
dinamika yang terjadi di pasar, sehingga NPV atau nilai proyek dari perusahaan tersebut
tidak mampu menangkap peluang investasi yang tersedia dengan baik. Sebagai contoh, se-
buah perusahaan dapat menghentikan proyek yang sedang dijalankan jika ternyata proyek
tersebut tidak memberikan keuntungan yang diharapkan. Jika nilai proyek ini dihitung
menggunakan metode DCF, pilihan menghentikan proyek tadi tidak masuk dalam penilaian
perusahaan yang mengakibatkan perusahaan tidak mengambil keputusan untuk menghenti-
kan proyek sehingga perusahaan tidak mampu membatasi kerugian yang timbul.
Real Option memperkenalkan wawasan baru mengenai peran dan dampak dari ketidakpas-
tian dari nilai peluang investasi yang berlawanan dengan pemikiran konvensional
(Trigeorgis, 2002). Manajer perusahaan akan menghadapi situasi untuk memaksimalkan ke-
untungan dari pergerakan naik nilai proyek, dan membatasi kerugian dari pergerakan turun
nilai proyek. Ketidakpastian yang terjadi karena kondisi pasar yang tidak menentu membuat
proyek lebih bernilai jika dilihat menggunakan Real Option.
Perhitungan Real Option dalam menghitung nilai proyek tidak lepas dari metode penentuan
harga opsi saham. Salah satu metode yang sering digunakan dalam menentukan harga saham
adalah binomial dan trinomial lattice. Dengan mengikuti analogi penentuan harga opsi sa-
ham, yang menjadi parameter untuk harga saham adalah nilai proyek yang dihitung
menggunakan metode DCF mengikuti asumsi Market Asset Disclaimer (MAD). Kemudian,
parameter strike price pada Real Option merupakan tindakan-tindakan yang akan diambil
perusahaan terhadap proyek tersebut jika dijalankan. Perhitungan Real Option mirip seperti
opsi Amerika yang dapat dievaluasi tiap tahun dan memiliki kesempatan untuk melakukan
early exercise.
Menggunakan model binomial lattice yang sudah dimodifikasi supaya cocok untuk diterap-
kan pada penilaian proyek, Brandão, Dyer, dan Hahn (2005) mengemukakan ide untuk
menggunakan cash flow payout ratio dalam membangun nilai proyek pada masa yang akan
datang. Selanjutnya, keputusan-keputusan yang akan diambil oleh perusahaan saat periode
ke-i terhadap investasi mereka pada proyek tersebut dimasukaan dalam proses valuasi. Nilai
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 99

proyek yang dihasilkan merupakan hasil evaluasi dari nilai yang dihasilkan oleh keputusan-
keputusan perusahaan yang dihitung menggunakan proses backward steps.
Metode Real Option yang biasa diterapkan pada perhitungan nilai proyek menggunakan vol-
atilitas yang konstan. Guthrie (2010) mengemukakan model binomial lattice dengan peru-
bahan volatilitas yang memasukkan learning options dalam proses perhitungan nilai
proyeknya. Pada model ini, perubahan volatilitas timbul karena learning options mem-
berikan kesempatan bagi perusahaan untuk memperoleh informasi baru terhadap proyek
yang sedang dijalankan.
Ketidakpastian yang tinggi di pasar akan membuat manajer melakukan survei serta research
and development (R&D) atas keadaan pasar sebelum melaksanakan proyek. Kesempatan
untuk melakukan riset ini membuat perusahaan lebih memahami karakteristik proyek se-
hingga ketidakpastian yang awalnya tinggi akan berkurang nilainya. Karena ketidakpastian
tersebut sejalan dengan volatilitas maka nilai volatilitas akan menjadi berkurang. Learning
options akan memberikan perusahaan waktu terbaik untuk melaksanakan investasi atau tidak
sama sekali.
Selain menggunakan metode binomial lattice, Real Option juga dapat dihitung
menggunakan trinomial lattice. Metode trinomial lattice bertujuan untuk meningkatkan
akurasi dan kecepatan dari model binomial lattice. Haahtela (2010) mengemukakan model
trinomial lattice modifikasi. Perubahan volatilitas dimodelkan dengan perubahan peluang
transisi sementara selang antara tiap periode pada pohon trinomialnya tetap.
Miranda dan Brandão dan Miranda (2013) melakukan valuasi terhadap sebuah proyek per-
tambangan dengan melakukan simulasi Monte Carlo untuk mendapatkan parameter drift
dan volatilitasnya. Pada makalah ini, valuasi tersebut akan dilihat menggunakan Real Option
dengan perubahan volatilitas menggunakan model trinomial modifikasi, kemudian akan
dilihat parameter apa saja yang mempengaruhi nilai proyek tersebut.

2. MODEL DISKRIT UNTUK ANALISIS REAL OPTION


Metode evaluasi Real Option dengan model waktu yang kontinu memiliki keterbatasan pada
praktiknya. Kondisi pasar yang tidak lengkap untuk sebagian besar proyek, dan bahkan
ketika kondisi ideal itu memang tersedia akan sangat sulit untuk menentukan portofolio
yang memiliki korelasi kuat dengan risiko proyek. Sehingga mungkin hal ini tidak praktis
untuk menentukan discounted rate yang tepat untuk masing-masing proyek (Brandão dan
Dyer. 2005), (Smith, 2005) dan (Brandão, Dyer dan Hahn, 2005).
Menurut (Brandão dan Dyer. 2005), model analisis Real Option yang dikemukakan oleh
Copeland dan Antikarov menggunakan dua asumsi. Asumsi pertama dikenal sebagai Mar-
ket Asset Disclaimer (MAD), yang menyatakan present value dari proyek tanpa opsi di-
asumsikan sebagai nilai pasar dari proyek saat itu, seolah-olah proyek tersebut terlihat sep-
erti asset yang diperdagangkan. Asumsi kedua adalah variansi dari return proyek mengikuti
random walk.
100 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

𝑉𝑡+𝑖
Misalkan Vi menyatakan nilai dari proyek pada periode ke-i dan menyatakan return
𝑉𝑖
antara periode ke-i dengan periode ke- (𝑖 + 1). Karena geraknya diasumsikan mengikuti
𝑉
random walk, maka ln ( 𝑉𝑖+1 ) akan berdistribusi normal, dengan mean v dan variansi 𝜎 2 .
𝑖
Untuk ∆𝑡 → 0 model stokastik ini dapat dinyatakan sebagai gerak Brown yaitu
𝑑ln𝑉 = 𝑣𝑑𝑡 + 𝜎𝑑𝑧 , 𝑑𝑧 = 𝜀√𝑑𝑡 , 𝜀~𝑁(0,1)
Untuk asumsi yang menyatakan bahwa distribusi logaritma dari return proyek pada setiap
periode akan membuat distribusi dari nilai proyek pada setiap periode mengkitui distribusi
lognormal. Berdasarkan hal ini, perubahan nilai 𝑉𝑖 akan mengikuti distribusi lognormal,
dan dapat dimodelkan mengikuti Geometric Brownian Motion (GBM) yang dinyatakan oleh
1
𝑑𝑉 = 𝜇𝑉𝑑𝑡 + 𝜎𝑉𝑑𝑧, 𝜇 = 𝑣 + 𝜎 2.
2
Berbagai jenis ketidakpastian dalam proyek akan rumit dimodelkan. Asumsi kedua ini
memungkinkan beberapa ketidakpastian yang ada dalam proyek untuk dikombinasikan
kedalam suatu ketidakpastian yang mewakili yang lainnya. Ketidakpastian tersebut terkait
dengan proses stokastik dari nilai proyek V, dan parameter dari dalam proses ini dapat di-
peroleh menggunakan simulasi Monte Carlo dari arus kas proyek. Kemudian dapat dilihat
bahwa model waktu diskrit yang menggunakan model trinomial lattice dapat menaksir nilai
dari proyek yang berjalan dengan waktu kontinu.
2.1 Expected Cash Flow
Present value dari proyek pada saat t=0, V0, menyatakan nilai proyek yang dihitung
menggunakan metode DCF berdasarkan ekpektasi aliran kasnya yaitu {𝐶𝑖 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑚}.
Arus kas ini selanjutnya akan didiskontokan menggunakan risk-adjusted discount rate 𝜇
untuk mendapatkan present value dari proyek di tiap periodenya (Brandão dan Dyer. 2005).
Model ini dinyatakan oleh persamaan :
𝑚
𝐶𝑡
𝑉𝑖 = ∑
(1 + 𝜇)𝑡−𝑖
𝑡=𝑖

2.1.1 Simulasi Monte Carlo


Distribusi lognormal dari nilai proyek dapat sepenuhnya didefinisikan sebagai mean dan
standar deviasi dari return. Menggunakan asumsi bahwa pasar itu efisien, pembelian proyek
pada harga tersebut perlu jaminan bahwa NPV akan bernilai nol atau positif dan expected
return dari proyek ini akan sama dengan nilai dari risk-adjusted discount rate 𝜇.
Standar deviasi, atau volatilitas dari proyek dapat ditentukan menggunakan simulasi Monte
Carlo dari Gerak Brown Aritmatik terhadap return proyek yang dinyatakan oleh 𝑑ln𝑉 =
𝑣𝑑𝑡 + 𝜎𝑑𝑧. Dampak ketidakpastian yang mempengaruhi variabel proyek yang relevan pada
terhadap return ditentukan dengan mensimulasikan masing-masing proses stokastik varia-
ble tersebut, dan sebagai hasilnya, arus kas proyek akan bersifat stokastik (Brandão dan
Dyer. 2005). Setiap iterasi pada simulasi Monte Carlo akan menghasilkan arus kas yang
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 101

baru untuk masa yang kan datang dari nilai proyek yang baru V1 untuk setiap akhir periode
ke-1. Kemudian sampel dari peubah acak
𝑉̃1
𝑣̃ = ln( )
𝑉0
dimana 𝐸[𝑣̃] = 𝑣. Simulasi ini akan menghasilkan himpunan peubah acak 𝑣̃ dari volatilitas
proyek yang dihitung. Kemudian volatilitas 𝜎 didefinisikan sebagai standar deviasi dari re-
turn proyek pertahun.

3. REAL OPTION DENGAN PERUBAHAN VOLATILITAS

3.1 Trinomial Lattice

Model trinomial diperkenalkan pertama kali oleh Boyle pada tahun 1986. Model ini
bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan yang dimiliki oleh model binomial
lattice (Haahtela, 2010). Trinomial lattice memiliki tiga perameter untuk menentukan nilai
pada periode berikutnya, yaitu u untuk factor naik, d untuk factor turun, dan m yang
menyakan nilai aset tidak berubah, dengan peluang masing-masing kejadian adalah
𝑝𝑢 , 𝑝𝑑, 𝑝𝑚 dimana 𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢 − 𝑝𝑑 . Oleh karena itu ada lima parameter yang tidak
diketahui dari pohon trinomial ini yaitu, yaitu: 𝑝𝑢 , 𝑝𝑑 , 𝑆𝑢 , 𝑆𝑑 dan 𝑆𝑚 .
Jika ditinjau model binomial Lattice dua periode dengan volatilitas yang konstan, maka
didapat model trinomial untuk satu periode. Sebagai contohnya, dapat dilihat dengan
menggunakan model binomial CRR yaitu (Haahtela, 2010);
𝑆𝑢 = 𝑆𝑒 𝜎√2Δ𝑡
𝑆𝑚 = 𝑆
𝑆𝑑 = 𝑆𝑒 −𝜎√2Δ𝑡
2
𝑒 𝑟Δ𝑡/2 − 𝑒 −𝜎√Δ𝑡/2
𝑝𝑢 = ( )
𝑒 𝜎Δ𝑡/2 − 𝑒 −𝜎√Δt/2
2
𝑒 𝜎√Δ𝑡/2 − 𝑒 𝑟Δ𝑡/2
𝑝𝑑 = ( )
𝑒 𝜎Δ𝑡/2 − 𝑒 −𝜎√Δt/2
𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢 − 𝑝𝑑
Pohon trinomial juga dapat dimodelkan dengan menggunakan asumsi yang dasar yang sama
dan batasan yang digunakan pada model binomial lattice. Peluang transisi bernilai antara 0
dan 1 dan jika dijumlahkan harus bernilai satu, mean dari distribusi diskrit sama dengan
mean dari distribusi kontinu yang mengikuti distribusi lognormal, dan variansi yang sama
dengan variansi dari distribusi kontinu.
102 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

𝑝𝑢 + 𝑝𝑚 + 𝑝𝑑 = 1, 0<𝑝<1 (3.1)

𝑝𝑢 𝑆𝑢 + 𝑝𝑚 𝑆𝑚 + 𝑝𝑑 𝑆𝑑 = 𝑆𝑀 (3.2)

𝑝𝑢 (𝑆 2 𝑢2 − 𝑆 2 𝑚 2 ) + 𝑝𝑚 (𝑆 2 𝑚 2 − 𝑆 2 𝑀2 ) + 𝑝𝑑 (𝑆 2 𝑑2 − 𝑆 2 𝑀2 ) = 𝑆 2 𝑉 (3.3)

2 Δ𝑡
dengan 𝑀 = 𝑒 𝑟Δ𝑡 dan 𝑉 = 𝑒 𝜎 .
Boyle memperluas model di atas. Menggunakan persamaan (3.1 – 3.3) dan memilih
u.d = 1, Boyle menyatakan peluang transisi ke dalam persamaan
(𝑉 + 𝑀2 − 𝑀)𝑢 − (𝑀 − 1)
𝑝𝑢 =
(𝑢 − 1)(𝑢2 − 1)
𝑢2 (𝑉 + 𝑀2 − 𝑀) − 𝑢3 (𝑀 − 1)
𝑝𝑑 =
(𝑢 − 1)(𝑢2 − 1)
dan
𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢 − 𝑝𝑑
Jika parameter yang ada pada model CRR untuk u dan d digunakan, dan memilih m = 1,
maka akan ada peluang dari kejadian tersebut yang tidak berada diantara 0 dan 1. Oleh
karena itu, Boyle menggunakan parameter disperse 𝜆 > 1 untuk meningkatkan nilai u dan
mengurangi nilai d (Haahtela, 2010). Sehingga nilai u dan d menjadi
𝑢 = 𝑒 𝜆𝜎√Δ𝑡
𝑑 = 𝑒 −𝜆𝜎√Δ𝑡
Model yang dikemukan oleh Boyle ini memberikan nilai peluang transisi yang negatif untuk
nilai 𝜆 yang kecil. Dengan mencoba berbagai nilai untuk 𝜆 maka diperoleh rentang nilai
untuk 𝑢 dan interval yang memberikan peluang transisi untuk menentukan nilai asetnya
(Haahtela, 2010).
3.2 Model dengan Perubahan Volatilitas
Dengan mengalikan persamaan (3.2) dengan 1/S dan persamaan (3.3) dengan 1/S2.
Persamaan (3.1) dapat digunakan untuk mengeliminasi 𝑝𝑚 pada persamaan (3.2) dan (3.3).
Kemudian dari persamaan (3.2) baik 𝑝𝑢 ataupun 𝑝𝑑 dapat disubstitusikan kedalam
persamaan (3.3). Nilai untuk 𝑝𝑢 , 𝑝𝑚 dan 𝑝𝑑 sebagai berikut:
𝑀2 𝑉 − 𝑀𝑑 − 𝑀𝑚 + 𝑚𝑑
𝑝𝑢 =
𝑢2 + 𝑚𝑑 − 𝑢𝑚 − 𝑢𝑑
𝑚−𝑢 𝑀−𝑚
𝑝𝑑 = 𝑝𝑢 ( )+( )
𝑑−𝑚 𝑑−𝑚
𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢 − 𝑝𝑑
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 103

2
dengan 𝑀 = 𝑒 𝑟Δ𝑡 dan 𝑉 = 𝑒 𝜎 Δ𝑡 dan memilih u.d=m2 untuk trinomial recombining-nya.
Dermand menyatakan bahwa pada trinomial lattice dengan volatilitas konstan berlaku
(Haahtela, 2010)
𝑆𝑢 = 𝑆𝑒 𝜋Δ𝑡+𝜆𝜎√Δ𝑡
𝑆𝑑 = 𝑆𝑒 𝜋Δ𝑡−𝜆𝜎√Δ𝑡
𝑆𝑢𝑑 = 𝑆𝑑𝑢 = 𝑆𝑒 2𝜋Δ𝑡
untuk 𝜆 > 1 dan semua nilai 𝜋 yang memungkinkan. Mengikuti asumsi risk-neutral, nilai
dasar aset akan meningkat seiring dengan meningkatnya suku bunga bebas risiko. Begitu
juga karena 𝑢 > 𝑚 > 𝑑 maka dipilih 𝑚 = 𝑒 𝑟Δ𝑡 dengan 𝜋 = 𝑟.
Menurut (Haahtela, 2010), untuk 𝜆𝜎√Δ𝑡 yang memiliki parameter dispersi 𝜆 > 1 . Nilai 𝜆
berada diantara 1.2 dan √3. Semakin kecil nilai parameter dispersinya maka semakin kecil
juga nilai pergerakan naik dan turunnya nilai aset. Semakin dekat nilai 𝜆 menuju 1, maka
peluang nilai aset untuk berada pada simpul yang di tengah dari pohon trinomial akan
menuju 0.
Jika dipilih 𝜆 = 1.50.5 ~1,2247 akan membuat nilai peluang transisinya menjadi 1/3 ketika
Δ𝑡 menuju 0. Untuk itu, nilai dari 𝜆 harus berada antara 1 dan 1.50.5. Tidak ada cara yang
tepat untuk menentukan 𝜆. Untuk 𝜆 =1,12 akan memberikan peluang transisi yang lebih
baik untuk model ini. Jika dipilih parameter dispersi yang lebih kecil, maka akan sangat
kecil peluang transisi dari nilai aset untuk menuju simpul tengah dari pohon trinomial.
2
Modifikasi selanjutnya adalah dengan menggunakan hampiran √𝑒 𝜎 Δ𝑡 − 1 untuk 𝜎Δ𝑡.
Parameter yang terdapat dalam model trinomial akan menjadi
𝑚 2 (𝑉 − 1)
𝑝𝑢 = (3.4)
𝑢2 + 𝑚𝑑 − 𝑢𝑚 − 𝑢𝑑
𝑚−𝑢
𝑝𝑑 = 𝑝𝑢 ( ) (3.5)
𝑑−𝑚
𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢 − 𝑝𝑑 (3.6)
√𝑒 (𝜆𝜎)2Δ𝑡 −1 (3.7)
𝑢 = 𝑒 𝑟Δ𝑡+
√𝑒 (𝜆𝜎)2 Δ𝑡 −1 (3.8)
𝑑 = 𝑒 𝑟Δ𝑡−
Gerakan naik dan turun dihitung menggunakan volatilitas terbesar selama investasi yaitu
𝜎 = 𝜎𝑚𝑎𝑘𝑠 . Nilai u dan d digunakan untuk semua periode waktu terlepas dari perubahan
volatilitasnya. Namun peluang transisi yang dihitung menggunakan persamaan (3.4 – 3.6)
hanya berlaku untuk periode dengan volatilitas tertinggi. Peluang transisi untuk periode
lainnya dihitung sehingga persamaan (3.2) berlaku untuk nilai yang diperkirakan dan per-
samaan (3.3) untuk volatilitas lokalnya.
104 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Menggunakan persamaan (3.4 – 3.6) untuk 𝑝𝑢 , 𝑝𝑑 dan 𝑝𝑚 yang berlaku untuk periode
dengan volatilitas tertinggi, kita dapat menghitung nilai peluang transisi untuk periode ke-i
menggunakan
𝜎𝑖 2 (3.9)
𝑝𝑢𝑖 = 𝑝𝑢 ( )
𝜎𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜎𝑖 2 (3.10)
𝑝𝑑𝑖 = 𝑝𝑑 ( )
𝜎𝑚𝑎𝑘𝑠
𝑖
𝑝𝑚 = 1 − 𝑝𝑢𝑖 − 𝑝𝑑𝑖 (3.11)
Sebagai hasilnya, kita memiliki parameterisasi yang tersedia untuk membangun pohon tri-
nomial recombining dengan perubahan volatilitas. Setelah nilai underlying asset dibangun
menggunakan persamaan (3.7) dan (3.8), payoff dari opsi dimasukaan ke dalam model.
Kemudian pohon opsi tersebut dihitung menggunakan backward-steps sesuai dengan pelu-
ang risk-neutral pada persamaan (3.9 – 3.11). Nilai dari opsi 𝑉𝑡 diketahui pada akhir peride
T, dengan strike price I, dan untuk opsi call akan bernilai 𝑉𝑡 = 𝑚𝑎𝑘𝑠{𝑆𝑡 − 𝐼, 0} dan untuk
opsi Put akan bernilai 𝑉𝑡 = 𝑚𝑎𝑘𝑠{𝐼−𝑆𝑡 , 0}. Berdasarkan asumsi risk-neutral nilai dari se-
tiap simpul dapat dihitung menggunakan persamaan
𝑝𝑢 𝑆𝑡,𝑢 + 𝑝𝑚 𝑆𝑡,𝑚 + 𝑝𝑑 𝑆𝑡,𝑑 (3.12)
𝑆𝑡−1 =
𝑒 𝑟Δ𝑡

3.3 Parameterisasi Pohon Trinomial Berdasarkan Perhitungan Arus Kas


Volatilitas dari proyek mungkin saja tidak diketahui sementara standar deviasinya tersedia.
Berdasarkan Geometric Brownian Motion (GBM), standar deviasi dari S dari waktu ke
waktu diberikan oleh persamaan berikut.

2
− 1 = 𝑆𝑒 𝑟𝑡 √𝑒 ∑ 𝜎𝑖 𝑡𝑖 − 1
2𝑡
𝑠𝑡𝑑(𝑆) = 𝑆𝑒 𝑟𝑡 √𝑒 𝜎

Oleh karena itu, jika standar deviasi dari proses underlying asset pada titik waktu tertentu
diketahui, maka akan dapat dihitung volatilitas rata-rata untuk setiap periode waktu. Mulai
dari awal proses, masing-masing 𝜎𝑖 dapat dihitung sebagai berikut
2
𝑠𝑡𝑑 (𝑆𝑖 )
𝑙𝑛 [( ) + 1] − ∑𝑖−1 2
𝑖=0 𝜎𝑖 𝑡𝑖
√ 𝑆0 𝑒 𝑟𝑡 (3.13)
𝜎𝑖 =
𝑡𝑖
Jika standar deviasi juga tidak diketahui, maka nilainya harus ditaksir terlebuh dahulu. Be-
berapa penulis mengemukakan cara yang berbeda dalam menerapkan simulasi Monte Carlo
untuk mengestimasi volatilitas. Menurut (Haahtela, 2010), metode estimasi volatilitas ber-
dasarkan arus kas diantaranya; pendekatan logaritmik nilai sekarang oleh Copeland & An-
tikarov (2001), pendekatan logaritmik nilai sekarang bersyarat oleh Brandão, Dyer & Hahn
(2005), simulasi dua tingkat dan metode regresi kuadrat terkecil oleh Godinho (2006) .
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 105

Semua metode ini memiliki ide dasar yang sama. Simulasi Monte Carlo pada arus kas
mengkonsolidasikan proses stokastik berdimensi tinggi dari beberapa variabel yang berko-
relasi ke dalam proses GBM berdimensi rendah. Nilai volatilitas 𝜎 dari underlying asset
dapat diestimasi dengan menghitung standar deviasi dari distribusi peluang yang disimu-
lasikan untuk laju return.

4. IMPLEMENTASI MODEL DAN HASIL

Penerapan ini diambil dari (Brandão dan Miranda.2013) berdasarkan situasi nyata dari se-
buah perusahaan Peruvian di Peru, sebut saja perusahaan ABC. Perusahaan ini memiliki
beberapa proyek pertambangan, tapi hanya satu dari mereka yang akan dihitung nilai
proyeknya. Bagaimanapun, mengingat bahwa 80% dari produk potensialnya adalah perak,
logam ini akan dijadikan logam yang mempengaruhi nilai proyek.
Pertambangan ini adalah milik sebuah grup investasi dan bisnis utamanya adalah untuk ber-
investasi dalam pengembangan tambang pada tahap ekplorasi dan menjualnya saat produksi
tambang sudah stabil. Oleh karena itu diperkirakan perusahaan bisa mencapai kestabilannya
dalam lima tahun, yang mana hal itu adalah waktu yang digunakan untuk menganalisa
proyek.
Berdasarkan simulasi pada (Brandão dan Miranda.2013), nilai mean dan standar deviasinya
adalah 11,60% dan 39,80% per tahun. Tabel 4.1 memperlihatkan rata-rata harga perak untuk
5 tahun yang akan datang. Rata-rata harga perak ini melalui simulasi Monte Carlo dengan
5.000 iterasi.
Tabel 4.1 Rata-rata Perkiraan Harga Perak (Brandão dan Miranda.2013)
(USD/Ounce Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
Harga perak $21,28 $24,40 $27,93 $30,56 $34,07
Perusahaan tersebut memiliki potensi untuk memproduksi perak, seng, dan timbal. Namun
produk utama dari pertambangan ini adalah perak, dimana volumenya mencapai 80% hasil
produksi. Sehingga perak menjadi satu-satunya logam yang diikutkan dalam dalam evaluasi
ini. Dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh perusahaan, biaya produksi dinyatakan da-
lam bentuk ons per perak. Sebagai contoh, meskipun pertambangan bisa menghasilkan tiga
jenis logam, perusahaan hanya menggunakan perak sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi
kelayakan finansial proyek. Tingkat perkiraan produksi perak untuk tahun-tahun yang akan
datang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Produksi awal perak adalah 0,051 juta Ons pada tahun
pertama dan naik hingga 3,416 juta ons pada akhir tahun kelima. Total jumlah produksi
perak hingga akhir tahun kelima adalah 9,647 juta ons.
Untuk tujuan penilaian proyek, diasumsikan bahwa biaya produksi adalah konstan selama
lima tahun ke depan. Biaya produksi tersebut diperkirakan sebesar $15 per ons per perak
yang diproduksi. Bagaimanapun, biaya dapat berubah tergantung pada faktor-faktor yang
tidak dipertimbangkan dalam proyek ini.
106 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 4.2 Perkiraan Produksi Perak dalam 5 Tahun (Brandão dan Miranda.2013)
Tingkat Pe-
Bijih Tam- Tingkat Timbal Tingkat Seng Produksi Perak
Tahun rak
bang (%) (%) (Juta Ons)
(G/T)
1 11.316 129 0,63 1,73 0,051
2 97.886 244 1,71 2,61 0,842
3 170.872 332 1,66 3,27 2,001
4 259.160 365 1,77 3,05 3,337
5 283.979 341 1,44 2,18 3,416

Tabel 4.3 menjelaskan arus kas dan nilai awal dari proyek yang diperoleh dari simulasi oleh
(Brandão dan Miranda, 2013). Berdasarkan Tabel 4.3 mengikuti asumsi Market Asset Dis-
claimer (MAD), nilai awal proyek adalah $47,07 juta yang dihitung menggunakan metode
DCF.
Tabel 4.3 Simulasi Arus Kas Proyek (Brandão dan Miranda, 2013)
2014 2015 2016 2017 2018 2019

Harga perak (USD/ons) 30,68 25,06 45,89 98,20 112,66

Total Pendapatan Ko-


1,58 21,11 91,82 327,65 384,83
tor

Biaya perawatan per


tahun (Juta Dolar) 0,77 12,64 30,02 50,05 51,24
Total pendapatan ber-
sih (Juta Dolar) 0,81 8,47 61,81 277,60 333,60
PV 226,81 272,17 325,63 381,99 409,83 246,52
NPV 47,07 55,45 68,23 72,63 67,88 43,58
Misalkan diketahui standar deviasi nilai proyek 𝑠𝑡𝑑(𝑆)1 = 19.80, 𝑠𝑡𝑑(𝑆)2 = 21.72,
𝑠𝑡𝑑(𝑆)3 = 23.19, 𝑠𝑡𝑑(𝑆)4 = 24.31 𝑠𝑡𝑑 (𝑆)5 = 25.02 dan dengan volatilitas proyek yang
sama dengan yang digunakan oleh model sebelumnya yaitu 0,3980, persamaan (3.13) mem-
berikan volatilitas untuk empat tahun berikutnya secara berturut-turut yaitu 0,1560 0,1327
, 0,1095 dan 0,0730. Dengan suku bunga bebas risiko 𝑟 = 0,015 dan nilai 𝜆 = 1,12. Proyek
ini akan dijalankan selama 5 tahun dengan banyak langkah yang ditetapkan yaitu sebanyak
5 langkah. Besarnya kenaikan (u) dan penurunan (d) untuk tahun pertama nilai aset pada
pohon trinomial dapat dihitung menggunakan persamaan (4.7) dan persamaan (4.8), di-
peroleh u = 1,6223 dan d = 0,6164 adalah. Nilai u dan d tersebut dihitung dengan volatilitas
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 107

𝜎𝑚𝑎𝑘𝑠 = 0,3980 . Menggunakan persamaan (4.9 – 4.11) maka akan diperoleh nilai peluang
pada Tabel 4.4. Pertumbuhan nilai aset dari proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.4 Nilai Peluang untuk Model Trinomial
Waktu 1 2 3 4 5
𝒑𝒊𝒖 0.2951 0.0453 0.0328 0.0223 0.0099
𝒑𝒊𝒎 0.2333 0.8822 0.9148 0.9420 0.9742
𝒑𝒊𝒅 0.4716 0.0725 0.0524 0.0357 0.0159

Tabel 4.5 Pertumbuhan Nilai Aset Pada Pohon Trinomial


𝑽(𝒊, 𝒏) 0 1 2 3 4 5
47.0700 76.3619 123.8823 200.9748 326.0424 528.9403
47.7814 77.5160 125.7545 204.0122 330.9699
29.8979 48.5035 78.6875 127.6551 207.0954
30.3497 49.2365 79.8767 129.5843
18.9905 30.8084 49.9806 81.0838
19.2775 31.2740 50.7360
12.0624 19.5689 31.7467
12.2447 19.8646
7.6618 12.4297
7.7776
4.8666
108 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 4.6 Nilai Proyek Menggunakan Model Trinomial


𝑭(𝒊, 𝒏) 0 1 2 3 4 5
10.4241 31.3100 77.9949 154.3934 278.7571 480.9403
5.0402 31.6774 79.1731 156.7268 282.9699
0.3532 4.1558 32.1150 80.3697 159.0954
0.1925 3.4548 32.5913 81.5843
0.0034 0.0897 2.9493 33.0838
0.0006 0.0268 2.7360
0 0 0
0 0
0 0
0
0

Dengan nilai investasi sebesar $48 juta, maka imbal hasil dari proyek tersebut adalah
𝑚𝑎𝑘𝑠{𝑉 − 𝐼} dengan V adalah nilai asset pada Tabel 4.5. Selanjutnya untuk menghitung
nilai proyek pada saat ini digunakan proses backwardsteps dengan persamaan (3.12). Perhi-
tungan nilai proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.6. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa nilai proyek tersebut menggunakan model trinomial modifikasi Haahtela adalah
$10,4241 juta.

Jika standar deviasi tidak diketahui, maka nilainya diperoleh dari simulasi aliran kas pada
masa yang akan datang menggunakan simulasi Monte Carlo, dari simulasi sebanyak 10000
untuk nilai awal proyek tersebut diperoleh 𝑠𝑡𝑑 (𝑆)1 = 18.3754, 𝑠𝑡𝑑 (𝑆)2 = 22.4187,
𝑠𝑡𝑑(𝑆)3 = 24.7561, 𝑠𝑡𝑑 (𝑆)4 = 26.3537 dan 𝑠𝑡𝑑 (𝑆)5 = 27.60 dengan drift dan volatili-
tas proyek yang sama dengan model sebelumnya yaitu 0.1160 dan 0,3980, persamaan (3.13)
akan memberikan volatilitas untuk empat tahun berikutnya secara berturut-turut yaitu
0,1877, 0,1782 , 0,1412 dan 0,1180. Dengan suku bunga bebas risiko 𝑟 = 0,015 dan nilai
𝜆 = 1,12. Proyek ini akan dijalankan selama 5 tahun dengan banyak langkah yang ditetap-
kan yaitu sebanyak 5 langkah. Besarnya kenaikan (u) dan penurunan (d) untuk tahun per-
tama nilai aset pada pohon trinomial dapat dihitung menggunakan persamaan (3.7) dan per-
samaan (3.8), diperoleh u = 1,6223 dan d = 0,6164 adalah. Nilai u dan d tersebut dihitung
dengan volatilitas 𝜎𝑚𝑎𝑘𝑠 = 0,3980 . Menggunakan persamaan (3.9 – 3.11) maka akan di-
peroleh nilai peluang pada Tabel 4.7.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 109

Tabel 4.7 Nilai Peluang Trinomial berdasarkan standar deviasi yang diperoleh dari
simulasi
Waktu 1 2 3 4 5
𝒑𝒊𝒖 0.2951 0.0656 0.0592 0.0371 0.0259
𝒑𝒊𝒎 0.2333 0.8295 0.8463 0.9035 0.9326
𝒑𝒊𝒅 0.4716 0.1049 0.0945 0.0594 0.0415

Dengan nilai investasi sebesar $48 juta, maka imbal hasil (payoff) dari proyek tersebut ada-
lah 𝑚𝑎𝑘𝑠{𝑉 − 𝐼} dengan V adalah nilai asset pada Tabel (4.5). Selanjutnya untuk menghi-
tung nilai proyek pada saat ini digunakan proses backwardsteps dengan persamaan (3.12).
Perhitungan nilai proyek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Nilai Proyek dengan standar deviasi dari simulasi
𝑭(𝒊, 𝒏) 0 1 2 3 4 5
10.9880 31.5861 77.9980 154.3934 278.7571 480.9403
6.4940 31.8030 79.1731 156.7268 282.9699
0.6749 5.3806 32.1449 80.3697 159.0954
0.3985 4.1862 32.5913 81.5843
0.0129 0.1851 3.3590 33.0838
0.0026 0.0699 2.7360
0 0 0
0 0
0 0
0
0

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa nilai proyek tersebut menggunakan model trinomial mod-
ifikasi adalah $10,9880 juta.
Gambar 4.1 memperlihatkan pengaruh nilai proyek terhadap suku bunga bebas risiko (r).
Semakin besar nilai suku bunga bebas risiko maka nilai proyek akan semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan suku bunga bebas risiko yang tinggi akan menjadikan nilai aset tumbuh lebih
cepat.
110 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 4.1 Nilai Proyek dengan Trinomial terhadap Suku Bunga


Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa untuk banyak langkah yang semakin banyak pada peri-
ode yang tetap, nilai proyek tersebut akan konvegen ke $9,8 juta.

Gambar 4.2 Nilai Proyek dengan Trinomial terhadap banyaknya langkah.


5. KESIMPULAN
Perhitungan nilai proyek dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya adalah
metode Discounted Cash Flow (DCF) dan metode Real Option. Pada proses perhitungan
nilai proyek dalam pembahasan sebelumnya, tampak bahwa nilai proyek yang dihasilkan
menggunakan metode DCF adalah sebesar $47,07 juta - $48 juta = -0,93 juta, dimana $47,07
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 111

juta adalah nilai proyek yang dihitung tanpa menggunakan opsi. Mengikuti landasan pen-
erapan metode DCF, maka seharusnya proyek ini tidak dijalankan karena diperkirakan akan
mengalami kerugian.
Dengan menggunakan model trinomial yang dimodifikasi untuk skenario dengan standar
deviasi diberikan, nilai proyek yang diperoleh adalah sebesar $10,4241 juta. Sedangkan nilai
proyek yang diperoleh untuk skenario standar deviasi yang tidak diketahui adalah $10,9880
juta. Dengan demikian, perusahaan akan melaksanakan proyek ini karena valuasi nilai
proyeknya positif.

DAFTAR REFERENSI
LE Brandão dan JS Dyer. 2005. “Decision analysis and Real Option: A discrete time approach to real
option valuation”. Annals of Operations Research 135 (1), 21-39.
LE Brandão, JS Dyer dan WJ Hahn.2005. “Response to Comments on Brandão et al.” Decision Anal-
ysis 2 (2), 103-109.
LE Brandão, JS Dyer, dan WJ Hahn. 2005. “Using binomial decision trees to solve real-option valu-
ation problems”. Decision Analysis 2 (2), 69-88.
LE Brandão dan O Miranda.2013. “A real option model to value an exploration mining project: an
application”.Rio de Janeiro: Pontificia Universidade Catolica do Rio de Janeiro.
S. Benninga, 2014.“Financial Modeling 4th edition”. London:The MIT Press Cambridge.
G. Guthrie, 2010. Learning options and binomial trees” .Wilmott Journal 3 (1), 1-23
TJ Haahtela, 2010. “Recombining trinomial tree for real option valuation with changing volatility”.
JE Smith, 2005. “Alternative approaches for solving real-options problems (Comment on Brandão et
al. 2005)”.Decision Analysis 2 (2), 89-102.
Trigeorgis,L. 2002. “Real Option and Investment Under Uncertainty: What do We Know?”.National
Bank of Belgium.

BIOGRAFI PENULIS
Dean Andrean, S.Si.
Lulus dari SMA Negeri 1 Solok pada tahun 2013 lalu melanjutkan pen-
didikan Sarjana Matematika di ITB dan lulus tahun 2017. Makalah ini
merupakan bagian dari Tugas Akhir yang dikerjakan sebagai syarat
kelulusan Sarjana.
112 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Rio Nur Arifin, S.Si.


Lulus dari SMA Negeri Banyumas dan melanjutkan pendidikan
Sarjana Matematika di ITB dengan kelulusan tahun 2017. Makalah
ini merupakan bagian dari Tugas Akhir yang dikerjakan sebagai
syarat kelulusan Sarjana.

Novriana Sumarti, Ph.D.


Lulus Sarjana dan Magister dari Matematika ITB tahun
1995 dan 1998, Master of Advanced Studies dari Univer-
sity of Cambridge, United of Kingdom tahun 2001, dan
Ph.D. Numerical Analysis dari Imperial College London,
United of Kingdom tahun 2005. Sejak kecil memiliki
cita-cita menjadi guru, dan sekarang terwujud sebagai
staf pengajar di Matematika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Bi-
dang penelitiannya adalah Numerical Analysis, Mathe-
matical Finance, dan Optimization.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 113

Penentuan Porsi dalam Skema Profit-Loss Sharing Investasi Sya-


riah

Novriana Sumarti
Matematika Industri dan Keuangan, Fakultas MIPA ITB
Gedung CAS lt 4, Jl Ganesha 10 Bandung 40132
novriana@math.itb.ac.id

Abstrak
Perkembangan perbankan syariah marak terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Bank
syariah pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1992. Sesuai peraturan Bank Indonesia
No 23 Tahun 1999, diperbaiki dalam Peraturan No. 3 Tahun 2004, bank Syariah dan kon-
vensional diperbolehkan untuk beroperasi di Indonesia. Sekarang terdapat 11 (sebelas) bank
syariah dan sekitar lima puluhan unit usaha dan office channeling dari bank konvensional
yang menerapkan sistem syariah. Pada makalah ini, penelitian tentang pasar saham syariah
dan perbankan syariah akan dibahas. Salah satu penelitiannya adalah penerapan skema Bagi
Untung dan Rugi yang merupakan ciri khas ekonomi syariah dengan menggunakan opti-
misasi dalam Matematika. Optimisasi dilakukan untuk mendapatkan porsi bagi untung yang
dapat menguntungkan baik bagi pemberi modal investasi maupun penerima modal.
Kata kunci: Ekonomi Syariah, Optimisasi, Skema Bagi Hasil Untung dan Rugi.
Abstract
The development of Islamic banking is rife in many countries, including Indonesia. The first
Islamic bank in Indonesia was established in 1992. According to the regulation of Bank In-
donesia No. 23 of 1999, amended in Regulation No. 3 In 2004, both Islamic and conventional
banks are allowed to operate in Indonesia. Now there are 11 (eleven) Islamic banks, and
about five dozens of business units and office channeling of conventional banks that imple-
ment the sharia system. In this paper, the research on the stock market of sharia and Islamic
banking will be discussed. One of the studies is the application of Profit - Loss scheme, which
is the hallmark of Islamic economic, using optimization in Mathematics. Optimization is
done to get a portion of the profit that can be beneficial for both the owner and recipient of
capital investment capital.
Keywords: Islamic Economics, optimization, Profit-Loss Sharing scheme,

1. PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun terakhir, bank-bank syariah, yaitu institusi bank yang beroperasi ber-
dasarkan syariat Islam, telah memperlihatkan eksistensinya dalam percaturan ekonomi dan
perbankan di Indonesia. Bank syariah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bank
Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Bank Indonesia, regulator bank di Indonesia, telah
menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah” tahun 2007 dengan kerangka
waktu perencanaan selama sepuluh tahun. Cetak biru tersebut meletakkan posisi serta cara
114 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pandang Bank Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman para stakeholder perbankan syariah
(Dep. Keu, 2007).
Sebenarnya apakah Ekonomi Syariah itu? Ekonomi Syariah adalah juripredensi (Hukum)
ekonomi yang diatur oleh al-Quran dan al-Hadits. Terdapat definisi dari jenis akad, yaitu
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara 2 pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan hukum tertentu. Klasifikasi akad ini berdasarkan tujuan, keabsahannya
dan pelaksanaannya. Misalkan berdasarkan tujuan, kegiatan ekonomi itu dapat berupa
kegiatan derma (non-profit) atau kegiatan profit. Dalam Islam, peminjaman uang merupakan
derma dan tidak boleh menjadi kegiatan profit. Karena sesuai dengan Hadist Nabi,
penukaran emas/perak dengan emas/perak harus dalam jumlah yang sama, tidak boleh ada
penambahan. Dalam hal ini, uang memiliki fungsi yang sama dengan emas/perak pada jaman
dahulu. Apakah ini artinya Islam menentang investasi, di mana seseorang meminjamkan
uangnya untuk pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan harapan untuk mendapat untung?
Sebaliknya, beberapa hukum menerangkan tentang investasi melalui kontrak-kontrak
kerjasama dengan pembagian keuntungan (profit sharing). Misalnya Mudharabah, yaitu
investasi antara pemilik modal dan pengusaha, dimana modal diberikan seluruhnya oleh
pemilik modal, dan keuntungan dibagi dua dalam porsi tertentu antara 2 pihak, sedangkan
kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Contoh lain adalah Musyarakah, dimana
modal diberikan oleh pemilik modal dan pengusaha, sehingga harta modal bercampur
sehingga tidak dapat dibedakan kepemilikannya. Keuntungan dan kerugian dibagi dua dalam
porsi tertentu untuk kedua pihak. Untuk pembagian keuntungan investasi, terdapat bagi hasil
(profit loss sharing). Pembagian hasil sesuai dengan persentase jatah bagi hasil (nisbah)
sesuai dengan kesepakatan ke dua belah pihak. Perlu ditekankan di sini, keuntungan yang
diperoleh dari investasi yang dibagi antara pemberi modal dan pengusaha, besarnya bukan
sejumlah bagian (porsi) dari besar uang yang dititipkan pemberi modal kepada pengusaha.
Beberapa penelitian mengenai ekonomi syariah sudah dilakukan. Dalam bagian 2, beberapa
penelitian mengenai analisis kebenaran dari keunggulan investasi berasaskan Syariah,
terutama pada pasar keuangan dan perbankan syariah. Bagian 3 berisi penelitian mengenai
sistem bagi hasil laba-rugi dalam investasi kecil yang dideskripsikan sebagai model
matematika yang mendefinisikan hubungan antara jumlah dana angsuran yang harus
diserahkan pada setiap periode dengan beberapa unsur seperti laba keuntungan pedagang
dan proposi keuntungan yang dibagikan kepada peminjam dana. Model matematika tersebut
dianalisis sehingga didapatkan proporsi bagi hasil yang optimal sehingga mikrokredit ini
dapat menjadi suatu investasi yang menguntungkan bagi pemiliki dana dan juga bagi pemilik
usaha.

2. PASAR SAHAM DAN PERBANKAN SYARIAH


Semula pasar modal dan saham banyak dihindari masyarakat muslim karena anggapan
bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pasar tersebut menerapkan riba. Seiring
berkembang pesatnya pasar modal, investor muslim sangat berharap dapat berperan dalam
memanfaatkan perkembangan ini. Tahun 1987, tim yang terdiri dari Muhammad Taqi
Usmani (Pakistan), Saleh Tug (Turki) dan Sheikh Mohammad Al-Tayyeb Al-Najar (Mesir)
membuat Kriteria Seleksi Syariah (Shariah Screening Criteria) yang memungkinkan muslim
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 115

dapat berinvestasi pada pasar modal (Adam, 2014). Biasanya seleksi yang digunakan berada
dalam dua fokus utama: kegiatan bisnis dan rasio keuangan. Seleksi bisnis (kadang-kadang
dikenal sebagai seleksi kualitatif atau sektoral) dilakukan untuk menyelidiki sifat dari bisnis
inti. Misalnya, tidak diperbolehkan memiliki bisnis inti yang melibatkan produk mengan-
dung alkohol, tembakau, babi, entertainment (hotel, perjudian, pornografi dan lain-lain);
Seleksi dari rasio keuangan adalah pemeriksaan sumber pendapatan dari perusahaan bukan
dari kegiatan yang dilarang dalam syariah, atau bersumber hanya sebagian kecil (di bawah
rasio yang ditetapkan oleh Dewan Syariah) dari kegiatan usaha tersebut.
Ashraf (2014) membuktikan kebenaran bahwa ekuitas berasaskan prinsip-prinsip investasi
Islam tampil lebih baik dari ekuitas konvensional selama fase menurun (downmarket) dari
pasar modal. Dalam investasi reksa dana Syariah, kinerja yang lebih baik ini dapat dikaitkan
dengan kriteria seleksi berdasarkan syariah yang secara khusus melarang investasi di saham
perusahaan-perusahaan yang bergantung secara berlebihan dan/atau terlibat dalam kegiatan
perkreditan. Penelitian ini mengkaji sejauh mana klaim ini berlaku dengan membandingkan
kinerja indeks global dan regional dari IEIs (Islamic Equity Indices) dengan indeks saham
konvensional selama dekade terakhir. Model statistik yang digunakan dalam perbandingan
adalah LSTAR (Logistic Smooth Transition Autoregressive) yang lebih unggul daripada
model kuadrat terkecil biasa karena model ini memungkinkan untuk transisi yang mulus dari
'downmarket' ke 'up market', yang bukan perubahan secara tiba-tiba. Data yang digunakan
dalam (Ashraf, 2014) adalah harga per bulan dari bulan Juni 2002 sampai Mei 2012. Secara
umum hasil empiris selama periode 2002 sampai 2012 menunjukkan bahwa IEIs memiliki
rata-rata volatilitas rendah dibandingkan dengan indeks benchmark selama periode sampel.
Perubahan return dari indeks konvensional benchmark diterjemahkan menjadi perubahan
return yang kecil di IEIs. Hasil ini menarik bagi akademisi dan masyarakat umum karena
penelitian ini memberikan bukti bahwa IEIs relatif kurang berisiko daripada indeks
konvensional yang dijadikan sebagai benchmark, sehingga IEIs dapat memberikan
kesempatan perlindungan (hedging) selama masa kejatuhan pasar modal. Beberapa
penelitian lain mengenai perbandingan antara investasi syariah dan konvensional, dian-
taranya (Al-Khazali, 2014) yang menggunakan analisis Stochastic Dominance (SD), se-
dangkan (Ho, 2014) menggunakan model regresi linier CAPM (Capital Asset Pricing
Model) diperumum dan alat perbandingannya adalah Sharpe Ratio (SR), Treynor Index (TI)
dan Jensen's Alpha (JA).

Bagaimana halnya dengan Perbankan Syariah? Imam (2016) mendapati bahwa sebagian
besar negara-negara dengan mayoritas populasi muslim memiliki penghasilan rata-rata
rendah sehingga sistem keuangan negara-negara tersebut belum berkembang. Perbankan
syariah tampaknya memiliki karakteristik unik yang mudah beradaptasi dengan karakteristik
yang berlaku di negara-negara miskin di Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia. Maka-
lah tersebut bertujuan menilai apakah perkembangan perbankan syariah baik untuk
pertumbuhan ekonomi di 52 negara dengan data yang mencakup periode 1990-2010. Be-
berapa kelemahan dari Bank Syariah diantaranya adalah lack of economy dan lack of liquid
instruments. Dalam lack of economy, bank-bank tersebut lebih baru dan lebih kecil dari bank
konvensional, dengan operasionalnya masih di bawah skala optimal, sehingga memiliki
struktur biaya yang lebih tinggi. Kedua, kurangnya alat likuid, di mana tidak ada pasar
116 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

sekunder untuk produk pendapatan tetap Islam, memaksa bank-bank Islam untuk memiliki
cadangan likuiditas yang besar, sehingga dapat tidak dapat maksimal menempatkan pem-
biayaan dalam dunia investasi relatif dibandingkan dengan bank konvensional. Beberapa
indikator yang digunakan untuk mengukur perkembangan perbankan syariah adalah rasio
kredit yang diberikan untuk sektor swasta terhadap nominal PDB (Pendapatan Domestik
Bruto), rasio aset terhadap PDB dan rasio deposito terhadap PDB. Indikator dari
pertumbuhan ekonomi adalah PDB riil per kapita, inflasi, konsumsi pemerintah, pendidikan,
keterbukaan perdagangan, dan peraturan perdagangan. Menggunakan teknik empiris,
mereka mengklaim negara yang mengembangkan perbankan syariah mengalami
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari yang lain, dengan asumsi bahwa tingkat
perkembangan keuangan dan faktor-faktor penentu pertumbuhan lainnya diadakan sebagai
konstan. Bahkan, penerapan peraturan keuangan perbankan syariah oleh negara-negara non-
Islam dapat memberikan energi baru pada pertumbuhan ekonomi.

Beberapa penelitian lain yang juga mendukung manfaat perbankan syariah adalah (Kumru,
2016) dan (Gheeraert, 2014). Pada (Gheeraert,, 2014), keberadaan sistem perbankan syariah
dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dan meningkatkan kesejahteraan secara
substansial pada negara-negara yang sejumlah besar penduduk muslimnya tidak percaya
kepada perbankan konvensional karena tidak beroperasi sesuai dengan keyakinan agama
mereka.

3. OPTIMISASI PORSI BAGI HASIL DALAM INVESTASI


Dalam makalah (Sumarti, 2014, 2015), (Lazulfa, 2015) dan (Murniati, 2015), suatu model
matematika skema pembagian laba-rugi dibangun untuk melihat bagaimana skema ini dapat
menggantikan praktek tradisional meminjamkan uang terhadap bunga tinggi oleh rentenir.
Skema pembagian ini mengambil ide bersumber dari metode musyarakah dalam Syariah dan
model ini diterapkan untuk investasi skala kecil pedagang tradisional pasar. Mereka biasanya
merupakan target dari rentenir, sehingga mereka mungkin dapat menjadi lebih miskin dari
keadaan sebelumnya. Tujuan utama dari model ini adalah untuk menemukan porsi
pembagian yang tepat dari laba, sehingga investasi ini dapat menguntungkan untuk investor
dan juga untuk pedagang. Ada tiga persoalan utama dalam proses perumusan model
matematika dan menemukan hasil yang optimal. Persoalannya adalah pembangkitan data
simulasi yang cukup mewakili data riil pedagang, penentuan fungsi tujuan untuk
optimalisasi porsi bagi hasil, dan penentuan nilai parameter yang sesuai untuk jenis tertentu
pedagang.

3.1 Model Profit-and-Loss Sharing (PLS)


Penerapan model PLS dalam penyertaan modal usaha mikro membutuhkan beberapa asumsi
yang dipenuhi seperti dalam (Sumarti, 2014) :
 Pinjaman diberikan kepada peminjam (pedagang/pelaku usaha mikro) yang
sebelumnya sudah melakukan kegiatan jual beli, sehingga modal pinjaman ini bukan
merupakan modal awal pedagang dalam aktivitas jual beli.
 Pedagang dipercaya untuk mencatat laba setiap hari selama periode peminjaman.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 117

 Pinjaman dipergunakan untuk meningkatkan pendapatan bukan untuk konsumsi


sendiri.
Dalam model ini, investor memberikan dana investasi sebesar A. Pedagang diharuskan
mengembalikan dana tersebut setiap hari secara angsuran dan terdapat porsi bagi hasil di
dalamnya. Periode pengembalian ditetapkan selama T hari. Proses angsuran yang di
dalamnya terdapat bagi hasil laba ini disebut Musyarakah (Sumarti, 2014). Keuntungan
usaha yang diperoleh harus dibagi sesuai kesepakatan yang telah diikrarkan di awal akad.
Total angsuran yang dibayarkan hari ke-t dinotasikan dengan 𝑆(𝑡) dimana
𝑆(𝑡) = 𝐼 (𝑡) + 𝐵(𝑡) + 𝐶 (𝑡) , 𝑡 = 1,2, … , 𝑇 (1)
dengan 𝑆(𝑡) angsuran yang dibayarkan pedagang pada hari ke-t, 𝐼(𝑡) angsuran pokok yang
dibayarkan pada hari ke-t, yang besarnya adalah pembagian 𝐴 dengan 𝑇. Kemudian 𝐶 (𝑡)
adalah cicilan yang dibayarkan hari ke-t untuk membayar angsuran hari sebelumnya. Hutang
angsuran terjadi saat pedagang mengalami kerugian sehingga tidak dapat membayar
angsuran. Perhatikan bahwa model ini mensyaratkan dana investasi harus dibayar lunas.
Besarnya bagi hasil 𝐵(𝑡) dengan nilai porsi bagi hasil 𝑝 > 0 adalah sebagai berikut :
𝑝(𝑤(𝑡) − 𝐼(𝑡) − 𝐶(𝑡)) ; 𝑤(𝑡) − 𝐼(𝑡) − 𝐶(𝑡) > 0,
𝐵(𝑡) = {
0 ; 𝑤(𝑡) − 𝐼(𝑡) − 𝐶(𝑡) ≤ 0,

dimana 𝑤(𝑡) laba bersih hari ke-t. Jika dalam kondisi untung, atau 𝑤(𝑡) > 0 dan terdapat
sisa laba setelah dikurangi angsuran dan hutang, sebanyak 𝑝 bagian diserahkan untuk
investor. Penentuan nilai porsi bagi hasil 𝑝 akan dibahas lebih lanjut pada bagian penentuan
porsi bagi hasil.
Skema model PLS ini dianalisis dengan menghitung parameter yang mengindikasikan
perolehan yang didapat oleh investor dan pedagang. Perolehan investor ditunjukkan oleh
nilai dari parameter rate of return investor, dinyatakan dengan rs ( p) , menggunakan cash-
flow analysis. Sedangkan parameter untuk menentukan besarnya keuntungan atau perolehan
pedagang dinyatakan dengan parameter 𝑝𝑜𝑟𝑝𝑒𝑑𝑠𝑦𝑎𝑟 yang merupakan rasio perbandingan
antara total uang yang dibawa pulang (take-home), dengan total laba bersih selama periode
pengembalian 𝑤.

3.2 Pembangkitan Laba Bersih Harian Pedagang


Untuk proses implementasi, data asli laba pedagang digunakan, yang kemudian dibangkit-
kan secara numerik. Data asli didapatkan dari pedagang kecil yang telah berdagang sebe-
lumnya. Para pedagang tersebut diharuskan mencatat hasil laba yang mereka peroleh setiap
harinya. .Untuk membangkitkan data, penentuan distribusi untuk setiap laba bersih peda-
gang dengan menggunakan software Easyfit. Software ini merupakan salah satu software
aplikasi simulasi dan analisis data yang dapat memberikan gambaran distribusi sesuai
dengan data yang diberikan.
Hasil yang didapat dari Easyfit terdiri atas 3 bagian untuk setiap data, yaitu: graphs, sum-
mary dan goodness of fit. Graphs memberikan grafik data sesuai dengan distribusi yang
118 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

memenuhi. Summary memberikan distribusi beserta parameter yang sesuai dengan data. Se-
dangkan goodness of fit memberikan hasil pengujian berupa hasil numerik dan peringkat
berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, Anderson Darling dan Chi-Squares. Peringkat pada
bagian inilah yang digunakan untuk memilih distribusi yang paling cocok dengan data asli.
Distribusi data pada (Lazulfa, 2015) diasumsikan lognormal, sedangkan distribusi data pada
(Murniati, 2015) berupa Weibull dan Gamma. Setelah menetapkan distribusi setiap data, dil-
akukan pembangkitan data menggunakan MatlabR2009i sesuai dengan asumsi distribusi
yang digunakan.
3.3 Fungsi obyektif untuk masalah pengoptimalan
Model keoptimalan untuk investasi dibentuk berdasarkan loss function dalam ekonomi
makro. Fungsi obyektif yang digunakan adalah persamaan berikut
max F ( p)  (rs ( p)  rBI )( ss ( p)  su ) (4)
p

Fungsi di atas menyatakan payoff yang akan diperoleh investor dengan model syariah.
Fungsi g ( p)  ss ( p)  su menyatakan payoff yang akan diterima pedagang apabila
menggunakan model syariah. Dalam praktiknya, memaksimumkan 𝐹 (𝑝) merupakan
memaksimumkan jarak antara rs ( p) dan 𝑟𝐵𝐼 dan juga memaksimumkan jarak ss ( p) dan
suatu batas atas su . Dengan kata lain, nilai 𝑟𝑠𝑦𝑎𝑟 dibuat sejauh mungkin dari 𝑟𝐵𝐼 . Demikian
juga untuk ss ( p) terhadap su .

4. IMPLEMENTASI MODEL DAN HASIL


Model (1) dengan optimisasi menggunakan fungsi tujuan (2) sudah dimplementasikan
menggunakan data laba harian yang diambil dari beberapa jenis pedagang kecil di suatu
pasar tradisional. Hasil implementasi diambil dari (Sumarti, 2015). Dana investasi yang
dipinjamkan adalah A   T w , dimana w adalah nilai rata-rata dari laba harian pedagang
1 1 1 2 3 3 3
w(t ) , dan   , , , , ,1, . Nilai   tidak dipertimbangkan karena membuat nilai
4 3 2 3 4 2 2
ss ( p ) menjadi negatif untuk semua jenis pedagang. Periode waktu T adalah 52, 90 dan 180
hari. Untuk pasangan A dan T, hasil optimal diperoleh dari nilai-nilai tertentu dari p, rs ( p)
dan ss ( p) . Perhitungan numerik diulangi sebanyak 1000 kali lalu nilai rata-rata diambil dari
hasil tersebut.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 119

Gambar 1. Pedagang 1 dengan T = 52 dan variasi nilai A.

Pada Gambar 1, dimana skala pada sumbu vertical disesuaikan, peningkatan modal A mem-
buat nilai dari porsi p meningkat.Sebaliknya, nilai ss ( p ) menjadi menurun. Nilai-nilai rs ( p)
2
meningkat dari awal interval, lalu kemudian menurun mulai dari   . Kita dapat menyim-
3
2 2
pulkan bahwa nilai optimal rs ( p) akan terjadi saat   or A Tw . Perilaku fungsi p,
3 3
rs ( p) dan ss ( p) serupa untuk semua jenis pedagang.

Pada gambar 2-4, nilai optimal untuk rs ( p) untuk setiap pegadang ditunjukkan untuk semua
nilai A dan T. Nilai rs ( p) lebih besar untuk periode waktu pendek. Nilai maksimumnya
yang dilingkari pada gambar. Nilai-nilai maksimum dari rs ( p) untuk setiap nilai T , untuk
parameter terkait p dan ss ( p) , ditunjukkan di Tabel 1. Semakin lama periode T menyebab-
kan penurunan nilai p dan ss ( p) tetapi kenaikan untuk ss ( p) .

Gambar 2. Nilai rs untuk pedagang tipe 1 dengan nilai variasi A dan T.


120 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 3. Nilai rs untuk pedagang tipe 2 dengan nilai variasi A dan T.

Gambar 4. Nilai rs untuk pedagang tipe 3 dengan nilai variasi A dan T.

Tabel 1. Nilai-nilai parameter untuk vasiasi nilai T.


Trader T=52 A T=90 A T=180 A
P 0,13657 0,13188 0,08584
2 2 1
1 0,00538 Tw 0,00307 Tw 0,00144 Tw
rs ( p ) 3 3 2
0,46022 0,47196 0,61418
ss ( p )
P 0,19186 0,10914 0,11263
2 1 1
2 0,00577 Tw 0,00335 Tw 0,00167 Tw
rs ( p ) 3 2 2
0,37559 0,53241 0,53488
ss ( p )
P 0,18154 0,11292 0,11478
2 1 1
3 0,00579 Tw 0,00341 Tw 0,00170 Tw
rs ( p ) 3 2 2
0,38933 0,53224 0,54360
ss ( p )
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 121

5. KESIMPULAN
Ekonomi syariah memberi pandangan baru yang baik dalam pasar keuangan dan perbankan,
menurut beberapa referensi. Model matematika dalam makalah ini dibuat untuk menentukan
porsi bagi hasil antara investor dan pedagang kecil di pasar tradisional. Untuk suatu periode
waktu tertentu T, semakin besar nilai modal A maka semakin besar porsi p yang dibagikan
kepada investor. Dari Tabel 2, nilai return untuk investor rs ( p) akan menurun seiring se-
makin panangnya periode waktu T,namun porsi laba pedagang ss ( p ) akan meningkat.
Artinya, model ini menguntungkan pedagang bila waktunya diperpanjang.

Tabel 2. Besar modal A (rupiah) berdasarkan nilai optimal dari rs ( p) .


Trader w T=52 T=90 T=180

1 268.288 9.300.651 16.097.280 24.145.920


2 57.884 2.006.645 2.604.780 5.209.560
3 48.480 1.680.640 2.181.600 4.363.200

Tabel 2 menunjukkan nilai optimal dari modal A untuk tiap tipe pedagang yang lebih besar
daripada modal dari model asli dalam (Sumarti, 2014) yaitu Rp. 1.000.000 IDR. Artinya
para pedagang memiliki kapabilitas untuk mengelola dana investasi yang lebih besar, dengan
asumsi tidak ada kasus yang mengganggu laba hariannya. Semakin besar modal untuk in-
vestasi akan membuat lebih baik untuk ekonomi secara umum.

Model matematika ini dapat dikembangkan untuk investasi pada jenis pengusaha yang lain.
Masalah mengenai ekonomi syariah pada lembaga keuangan seperti bank akan menarik
diteliti agar porsi bagi hasil atau nisbah yang optimal bagi nasabah dan pemilik bank dapat
ditentukan.

DAFTAR REFERENSI
Adam,N.L., Bakar, N.A., 2014. Shariah Screening Process in Malaysia, Procedia - Social
and Behavioral Sciences 121, pp. 113 – 123.
Ashraf,D. and Mohammad, N. 2014. Matching perception with the reality—Performance of
Islamic equity investments, Pacific-Basin Finance Journal 28 (2014) pp. 175–189.
Al-Khazali, O., Lean,H.H., Samet,A. 2014. Do Islamic stock indexes outperform conven-
tional stock indexes? A stochastic dominance approach, Pacific-Basin Finance Jour-
nal Vol. 28, pp. 29–46.
Departemen Keuangan, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, 2009.
http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/FOLDEREBOOK/Ce-
tak%20Biru%20Pengembangan%20Perbankan%20Syariah%20Indonesia.pdf. Di-
akses pada tanggal 15 September 2016.
122 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gheeraert, L. 2014. Does Islamic finance spur banking sector development? Journal of Eco-
nomic Behavior & Organization, Volume 103, Supplement, July 2014, Pages S4–
S20.
Ho, C.S.F., Rahman, N.A.A., Yusuf, N.H.M., Zamzamin, S. 2014. Performance of global
Islamic versus conventional share indices: International evidence. Pacific-Basin Fi-
nance Journal 28 (2014) 110–121.
Imam,P., Kpodar,K., 2016. Islamic banking: Good for growth?. Economic Modelling, Vol-
ume 59, December 2016, Pages 387–401.
Kumru, C.S., Sarntisart, S. 2016. Banking for those unwilling to bank: Implications of Is-
lamic banking systems, Economic Modelling, Volume 54, April 2016, Pages 1–12.
Lazulfa,I. dan Sumarti, N. 2015. Penerapan Metode Simulated Annealing pada Penentuan
Dana Tabarru dalam Model Profit and Loss Sharing pada Investasi Syariah. Disub-
mit ke Jurnal Matematika & Sains (JMS).
Murniati, W. dan Sumarti, N. 2015. Simulasi Variasi Jumlah Dan Periode Investasi Dalam
Model Profit-Loss Sharing Dengan Dana Tabarru’, disubmit ke Jurnal Ekonomi dan
Keuangan (EKUITAS), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA), Sura-
baya.
Sumarti, N., Fitriyani, V., Damayanti, M., 2014, A Mathematical Model of the Profit-Loss
Sharing (PLS) Scheme, Science Direct Elsevier: Procedia – Social and Behavioral
Sciences, 115, (2014), 131 – 137.
Sumarti, N., Sidarto,K.A., Syamsuddin,M., Mardiyyah, V,F, and Rizal,A. 2015, Some
Problems on the Making of Mathematical Modelling of a Profit-Loss Sharing
Scheme Using Data Simulation, J. Math. Fund. Sci. Vol. 47, No. 1, (2015), 1 – 11.

BIOGRAFI PENULIS
Novriana Sumarti, Ph.D.
Lulus Sarjana dan Magister dari Matematika ITB tahun 1995
dan 1998, Master of Advanced Studies dari University of
Cambridge, United of Kingdom tahun 2001, dan Ph.D. Nu-
merical Analysis dari Imperial College London, United of
Kingdom tahun 2005. Sejak kecil memiliki cita-cita menjadi
guru, dan sekarang terwujud sebagai staf pengajar di Ma-
tematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Bandung. Bidang penelitiannya adalah
Numerical Analysis, Mathematical Finance, dan Optimiza-
tion
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 123

Resonansi: Suatu Perspektif Dalam Kajian Gerakan Politik-


Keagamaan Ikhwanul Muslimin Di Indonesia

Siti Khoirnafiya
Mahasiswa Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Email: irna.antropolog@gmail.com

Abstrak
Istilah “Resonansi” biasanya identik dengan ilmu alam (fisika dan kimia). Jika garpu tala dengan
frekuensi tertentu dibunyikan di atas kolom udara, kemudian kolom udara digerakkan naik turun,
maka suatu saat terdengar bunyi yang lebih keras dari bunyi aslinya secara berulang-ulang.
Peristiwa resonansi terjadi ketika terdengar bunyi yang keras dari bunyi aslinya. Dalam ilmu sosial
dan politik, konsep resonansi berkembang dalam teori gerakan sosial global dan berkelidan wacana
radikalisme. Pemikiran Cunningham (2000), Merry (2006) dan Coleman (2014) dapat digunakan
untuk menelisik isu gerakan politik-keagamaan di Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin (IM). Pen-
dekatan kualitatif dengan memanfaatkan metode integrasi antara offline dan online dalam tulisan ini
menjadi pendekatan kritik etnografi dalam antropologi. Dari kajian ini dapat dikatakan bahwa
gerakan IM yang bertransformasi menjadi Gerakan Tarbiyah berafiliasi dengan Partai Keadilan Se-
jahtera (PKS) merupakan bentuk resonansi yang dipahami lebih luas secara budaya terkait kondisi
konteks sosial dan politik.
Kata Kunci: Resonansi, Gerakan sosial, Ikhwanul Muslimin, Gerakan Tarbiyah

Abstract
The term of Resonance is usually identical to the natural sciences (physics and chemistry). If a tuning
fork with a certain frequency is vibrated above the air column, and the air column is moved up and
down, then the resulted sound is heard repeatedly and louder than the original sound. The resonance
event occurs when there is an additional sound louder than the original sound. In the social and
political sciences, the concept of resonance evolved into social movements theory of global eras and
radicalism discourse. The concepts analysis of Cunningham (2000), Merry (2006) and Coleman
(2014) can be used to examine the political-religious movements issue in Indonesia such as the
Muslim Brotherhood (IM). The qualitative approach from the integration method between offline and
online in this paper is used as an approach to ethnographic criticism in anthropology. From this
study it can be said that the transformed IM movement towards the Tarbiyah Movement affiliated
with the Prosperous Justice Party (Partai Keadilan Sejahtera-PKS) is a widely understood cultural
resonance in terms of social and political context.
Keywords: Resonance, Social Movement, the Muslim Brotherhood (IM), the Tarbiyah Movement

1. PENDAHULUAN
Cuningham (2000) mengingatkan kita kembali tentang gagasan Profesor Ebihara bagaimana
intelektual dapat dimasukkan dalam semacam "hegemoni atmosfer" karena dapat
124 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

mendominasi imajinasi ilmiah, seperti udara yang akan tetap terhirup dalam kesadaran
intelektual. Globalisasi nampaknya sejalan dengan evolusi menangkap imajinasi intelektual.
Globalisasi seperti udara. Ia mampu termanifestasikan dalam gerakan agama sekalipun.
Cunningham melalui kajiannya tentang gerakan religio-politik AS kontemporer
berkontribusi secara teoritis dengan mengangkat isu globalisasi sebagai sebuah proses di
mana beragam aktor sosial muncul sesuai dengan citra global dan retorika untuk membuat
bentuk-bentuk baru aktivisme. Ada kontradiksi identitas transnasional yang ia ungkap.
Global membangun identitas dan praktik politik. Globalisasi memberikan konsekuensi tidak
sekedar mencerminkan realitas-struktural dari serangkaian proses dan relasi budaya, politik,
dan ekonomi tetapi juga proses simbolik, adanya imajinasi sebagai makhluk kontemporer.
Dengan proses simbolik inilah, Cunningham mendefinisikan kemampuan globalisasi yang
tidak mudah diprediksikan karena terkait dengan subjek yang berpartisipasi dalam
konstruksi identitas transnasional dan realitasnya. Globalisasi dengan praktik yang beragam
dengan berbagai cara baru nampak memberikan pengaruh yang besar termasuk dalam
gerakan politik-keagamaan. Pendekatan yang diadopsi oleh Cunningham tersebut adalah
dengan mengeksplorasi globalisasi sebagai konstruksi identitas sosial baru dalam konteks
sejarah dan sumber daya simbolik. Pendekatan itu ia gunakan untuk menjawab pertanyaan
tentang bagaimana berbagai kelompok sosial saat ini mendefinisikan diri mereka sebagai
aktor global dalam penelitian terhadap Gerakan Sanctuary Amerika Serikat.
Cunningham mengakui posisinya dalam perdebatan isu globalisasi pada bidang antropologi,
ia bukan mengeksplorasi implikasi teoritis dan metodologis dari postmodernitas, tetapi tidak
juga berada pada post-strukturalisme yang menganggap gerakan baru akan muncul karena
adanya struktur masyarakatnya sendiri. Ia tidak memisahkan secara kontraversi (oposisi
biner) antara gerakan sekuler dan agama. Cermin refleksi dari gerakan pada globalisasi ini
adalah adanya konstruksi identitas yang beragam. Kegagalan gerakan radikal di (Guatamala)
Amerika Tengah yang dideportasi menjadi contoh pentingnya bereksistensi dengan identitas
yang bukan tunggal. Gerakan Sanctuary bermotif untuk melawan hegemoni gereja. Namun,
mereka menggunakan strategi yang unik dengan menyadari posisi mereka berada di lintas
batas (melintasi pengungsi Amerika Tengah dari Meksiko ke Rumah Aman di Amerika
Serikat) dengan simbolik yang kompleks. Ideologi Sanctuary berada pada unsur-unsur khas
dari bagaimana anggota memahami diri menjadi global.
Sementara itu, Merry (2006) secara khusus berfokus pada isu pengaruh ide-ide transnasional
pada gerakan perempuan. Ia menjelajahi praktik hak asasi manusia, berfokus pada di mana
dan bagaimana konsep hak asasi manusia dan lembaga-lembaga diproduksi, bagaimana
mereka beredar, dan bagaimana mereka membentuk kehidupan sehari-hari dan tindakan.
Kontribusinya terhadap antropologi dalam perdebatan universalisme-relativisme. Merry
menggunakan contoh empiris apropriasi hak asasi manusia perempuan untuk menganalisis
proses dimana hak asasi manusia yang dibuat ulang dalam bahasa. Ia berkontribusi terhadap
pengembangan etnografi dari praktik hak asasi manusia. Bagaimana penyebab kekerasan ini
bersifat sosial, ekonomi, dan politik, sering melibatkan transformasi kemiskinan, konflik
bersenjata, dan kebijakan negara, kelas sosial, pendidikan, perjalanan, dan kesadaran
transnasional. Idenya mengetengahkan konteks lokal-global melampaui spasial.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 125

Dengan mempertimbangkan kedua pendekatan tersebut, nampaknya gerakan politik-keaga-


maan di Indonesia dapat menjadi wacana tersendiri. Gerakan Sanctuary di Amerika Serikat
berstrategi hingga melintas batas negara untuk kelangsungannya menggunakan retorika
globalisasi meskipun nampak adanya bentuk-bentuk baru aktivisme tetapi tidak
mentransformasi dalam nama dan model gerakan baru. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin
di Indonesia nampaknya memilih nama Gerakan Tarbiyah yang berafiliasi dengan Partai
Keadilan Sosial (PK/PKS) dengan strategi yang disebut secara ‘lokal’ gerakan liqa.
Meskipun demikian, ide-ide dan gagasan gerakan Tarbiyah sebagian besar berasal gerakan
Ikhwanul Muslimin Mesir. Keragaman gerakan Ikhwanul Muslimn salah satunya dapat
dilihat dalam praktiknya di Indonesia dan bagaimana kompleksitas ide-ide gagasan
Ikhwanul Muslimin terimplikasi dalam praktik gerakan Tarbiyah? Bagaimana gerakan ini
berkontestasi dengan gerakan lain seperti Hizbut At-Tahrir dengan nama Hizbut Tahrir In-
donesia, sebuah organisasi masyarakat yang telah dicabut Badan Hukumnya tahun juli 2017
lalu?
Dengan konsep-konsep dasar antropologi kajian gerakan sosial, penulis bermaksud me-
nyumbangkan pikiran dengan menganalisis isu/wacana tersebut. Ini menjadi penting karena
wacana gerakan politik-keagamaan global yang sering dikenal dengan gerakan transnasional
ini telah ‘asyik’ diperbincangkan bersamaan dengan isu radikalisme dan terorisme. Dengan
pemahaman tentang adanya resonansi dalam gerakan, kita akan setidaknya dapat
menganalisis pertanyaan-pertanyaan tersebut. Resonansi memerlukan penerjemahan dan
proses vernakulasi. Dalam vernakulasi ini akan ada proses replika dan hibriditas (Merry,
2006). Dengan keterbatasannya, tulisan ini merupakan refleksi penulis dari penelitian
gerakan Hizbut Tahrir Indonesia 12 tahun lalu dan Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam 6
tahun lalu, bahan referensi kuliah terkini, serta keterlibatan penulis dalam penelitian kampus
terkait dengan radikalisme. Selain tujuan teoritis tersebut, penulis berharap berkontribusi
dalam praksis keilmuwan yang membuka ruang multidipliner, di mana resonansi yang bi-
asanya digunakan dalam keilmuwan alam atau yang berbasis teknologi juga memberikan
kontribusi teoritis bagi keilmuwan sosial-politik-keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya
trans-scientific dan keberagaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan
metode integrasi antara offline dan online. Metode sekaligus bagi pendekatan kritik etnografi
yang cukup relevan untuk peka terhadap wacana gerakan pemuda dan konteks perjuangan
mereka di era globalisasi (Wilson, 2006). Pendekatan integrasi (offline dan online)
berimplikasi pada metode dalam tulisan ini. Penelusuran melalui internet untuk
membandingkan ide dan praktik dari aktivisme gerakan pemuda, termasuk Ikhwanul
Muslimin dan hubungannya dengan gerakan Tarbiyah, bagaimana masyarakat di luar
gerakan dan gerakan lain memberikan pandangan terhadap mereka dan bagaimana gerakan
ini menjawab tantangan dari pandangan-pandangan mereka. Wawancara terhadap tokoh dan
penyelenggara sosial media dari gerakan Tarbiyah belum bisa dilakukan secara mendalam
tetapi referensi terkait dengan gerakan ini cukup banyak. Observasi pada even besar gerakan
ini dan pengalaman peneliti dalam penelitian dalam proses terus menerus berefleksi terhadap
wacana ini. Beberapa referensi dan pengalaman menjadi titik tolak memperbicangkan
wacana gerakan dalam fokus tema tulisan ini.
126 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

2. RESONANSI DALAM KAJIAN GERAKAN SOSIAL


Resonansi biasanya identik dengan ilmu alam (fisika dan kimia). Jika garpu tala dengan
frekuensi tertentu dibunyikan di atas kolom udara, kemudian kolom udara digerakkan naik
turun, maka suatu saat terdengar bunyi yang lebih keras dari bunyi aslinya secara berulang-
ulang. Peristiwa resonansi terjadi ketika terdengar bunyi yang keras dari bunyi aslinya dalam
kolom udara. Resonansi adalah peristiwa ikut bergetarnya suatu benda akibat benda lain
yang bergetar karena keduanya memiliki frekuensi yang sama atau memiliki frekuensi yang
merupakan bilangan bulat dari frekuensi salah satu benda bergetar. Resonansi bunyi pada
kolom udara juga dimanfaatkan untuk menghasilkan bunyi pada alat musik. Alat- alat musik
memiliki lubang udara sehingga terjadi resonansi udara dan menghasilkan suara yang
merdu. Misalnya : bunyi merdu pada gitar dihasilkan oleh resonansi antara dawai dan kotak
resonansi. Ketika gitar di petik, udara di dalam kotak resonansi bergetar dengan frekuensi
yang sama dengan frekuensi dawai. Udara yang berada di dalam kendang juga ikut bergetar
ketika kendang dipukul. Jika tidak ada kolom udara pada alat musik, kita tidak dapat
mendengar merdunya suara musik.
Bunyi yang dihasilkan garpu tala sebenarnya tidak terlalu keras. Namun, ketika terjadi
resonansi dengan kolom udara, suara garpu tala menjadi cukup nyaring terdengar. Di sekitar
selaput suara manusia terdapat udara. Ketika selaput suara bergetar, udara ini akan ikut
bergetar. Getaran udara ini akan mengakibatkan suara manusia terdengar nyaring. Namun,
tidak selamanya resonansi menguntungkan. Bunyi ledakan bom yang sangat keras dapat
menimbulkan getaran yang dapat meruntuhkan gedung-gedung. Getaran dari bagian bagian
rumah yang ada di pinggir rel ikut bergetar takkala kereta api lewat. Jika hal ini terjadi terus-
menerus dan dalam waktu yang lama maka rumah akan cepat rusak karena proses resonansi.
Jembatan gantung daoat roboh akibat resonansi apabila frekuensi alami jembatan sama
dengan frekuensi langkah kaki sekelompok orang yang berjalan di atas jembatan. Resonansi
dapat memecahkan kaca jendela jika ada suara petir yang sangat keras. Hal ini karena ketika
ada petir maka frekuensi alami petir kaca sama dengan frekuensi petir sehingga kaca akan
ikut bergetar.
Dalam ilmu sosio-budaya-politik, resonansi ini beberapa kali dimuat untuk menunjukkan
adanya pengaruh suatu gejala/fenomena diakibatkan getaran yang ditimbulkan oleh suatu
gejala yang digetarkan. Kata resonansi bahkan bagian menarik dalam kolom republika.com.
Dalam pertemuan dan pembicaraan penulis Resonansi ini, Azyumardi Azra (Kamis, 13 April
2017, 06:00 WIB, Red: Maman Sudiaman) mengangkat isu Terorisme dan Islamofobia. Kata
resonansi juga menjadi judul dalam kolom di Jawa Post (20 Februari 2017) yang ditulis oleh
Redi Panuju Dekan Komunikasi Unitomo yang berjudul “Resonansi Komunikasi Jokowi-
SBY” yang membahas memprediksi konstalasi Pilkada Jakarta 2017.
Sementara itu dalam kajian gerakan sosial, resonansi gerakan IM yang menjelma dalam
gerakan tarbiyah jika menggunakan pemikiran Coleman (2014) dapat ditelisik dalam 5 hal.
1) Bagaimana fenomena resonansi dikonseptualisasikan dan didefinisikan? 2) Apa saja
mekanisme mediasi yang terkait dengan resonansi (dari fisik-saraf ke sosial-budaya) pada
tingkat analisis yang berbeda? 3) Apa yang tampaknya menjadi syarat pendahuluan yang
diperlukan dan cukup untuk terjadi resonansi? 4) Bagaimana resonansi diidentifikasi,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 127

terdeteksi atau diukur dan bagaimana metode penilaian? 5) Dapatkah resonansi dikelola,
dipupuk atau dikendalikan dengan cara tertentu? Jika ya, bagaimana? Praktik apa yang
terkait dengan ini? 6) Apa dinamika dan hasil utama yang terkait dengan resonansi (positif
dan negatif)?
Pertama, dari beberapa referensi rujukan dari Colemann, ada kecenderungan kognitif dan
tindakan yang diaktualisasikan melalui situasi resonansi sangat menonjol dalam penelitian
tentang gerakan sosial dan resonansi bingkai. Resonansi tersebut memberi semangat dan
memobilisasi orang untuk mendukung pergerakan dan tujuan gerakan tersebut.
Pendefinisian resonance frame sebagai sejauh mana kta dapat mengidentifikasi dengan
posisi bingkai yang dinyatakan. Gerakan dianggap bisa mencapai tujuannya dengan
resonansi. Gerakan revolusioner tidak menyebar oleh kontaminasi tapi dengan resonansi.
Sesuatu yang terbentuk di sini bergema dengan gelombang kejut yang dipancarkan oleh
sesuatu terbentuk di sana. Rasa resonansi antara unsur-unsur saling tergantung diyakini
penting bagi keberlanjutan dan fungsi anggota gerakan. Resonansi dalam sistem sosial
adalah bentuk energi emosi, kognitif, fisik atau sosial yang meningkat, bersama (kongruen)
melalui beberapa proses (seperti cerminan syaraf, simpati, empati, , sinkron, aliran,
hubungan baik, harmoni, seni, insentif, dan struktur) menghasilkan perasaan dan
menemukan koneksi dan koherensi. Konsep resonansi menjadi kompleks untuk
diperbicangkan. Namun, pada intinya, resonansi adalah bentuk energi tinggi yang
mendorong peningkatan koherensi yang memberikan rasa berbagi arah dan makna dalam
sistem sosial termasuk dalam gerakan.
Kedua, mekanisme resonansi dapat dijelaskan bahwa ketika satu objek bergetar pada
frekuensi alami yang sama dari benda kedua memaksa benda kedua tersebut menjadi
gerakan getaran. Oleh sebab itu, ada mekanisme utamanya, yaitu frekuensi alami suatu objek
dan interkoneksi dengan objek lain di mana objek kedua memiliki frekuensi yang sama.
Pekerjaan pada resonansi motor, misalnya, terlihat sebagai cermin neuron sebagai
mekanisme otomatis yang memungkinkan resonansi. Selain itu, resonansi kopling saraf, dua
atau lebih otak terhubung, atau selaras, melalui komunikasi terjadi hubungan emosional.
Adanya peningkatan oksitosin neuropeptida memainkan peran kunci dalam ikatan sosial dan
keterikatan. Mekanisme semacam ini seperti konsep intersubjektivity. Mekanisme resonansi
dalam Golemann dapat dilihat dalam empat dimensi : kesadaran diri, manajemen diri,
kesadaran sosial, dan manajemen hubungan. Dengan kata lain, keadaan resonansi antara
individu bukanlah hasil kausalitas, tapi adanya 'penyetelan' atau 'attunement'. Resonansi
terkait dengan seberapa penting gagasan, kepercayaan dan nilai bagi kehidupan seseorang,
kesesuaian pengalaman dan seberapa selarasnya bingkai dengan narasi dan pemahaman
budaya seseorang. Dalam perspektif ilmu sosial, resonansi bisa menjadi kompleks dan
dinamis. Seperangkat elemen yang berubah seiring waktu karena setiap elemen
menyesuaikan diri dengan berbagai pengaruh dari elemen lain yang membentuk sistem.
Unsur-unsur ini bisa berupa pikiran, perasaan, dan tindakan pada tingkat individu, orang,
kelompok dan norma di tingkat sosial, atau berbagai institusi seperti keluarga, media,
organisasi keagamaan, sekolah, dan lain-lain pada tingkat struktural yang lebih luas. Bahkan
elemen ini dapat dihambat melalui penghambatan umpan balik di mana satu elemen
menghambat yang lain. Dengan demikian, pemahaman potensi dalam sistem sosial untuk
128 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

resonansi berkenaan dengan gagasan atau tindakan tertentu mungkin memerlukan


pemahaman yang cukup mengenai struktur jaringan dari loop umpan balik yang membentuk
sistem.
Ketiga, di berbagai bidang dan disiplin ilmu, kondisi yang diperlukan dan cukup kondusif
untuk resonansi bervariasi sesuai dengan tingkat analisis yang berbeda. Dalam fisika,
resonansi terjadi ketika sebuah sistem mampu menyimpan dan mentransfer energi dengan
mudah antara dua atau lebih mode penyimpanan yang berbeda (seperti energi kinetik dan
energi potensial dalam kasus bandul). Pada tingkat intrapersonal, resonansi lebih mungkin
terjadi ketika orang memegang nilai bersama dari dorongan dan belas kasihan karena mereka
dapat mempengaruhi intensitas resonansi antara preferensi ideologis dan ciri kepribadian.
Interpersonal, resonansi telah terbukti lebih mungkin terjadi ketika individu memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan dan merasakan apa yang
orang lain rasakan, bukti kesadaran diri dan peraturan diri sendiri dan menunjukkan tingkat
empati dan reaktivitas emosional yang tinggi karena mempengaruhi perilaku subyektif
subyektif terhadap situasi eksternal yang dianggap positif atau negatif. Tingkat self-tuning
dan keterbukaan diri yang tinggi untuk menerima pola resonansi, simpati yang mengarah
pada respons emosional, empati atau kemampuan untuk menyesuaikan pola resonansi dalam
imajinasi, dan hubungan baik yang menghasilkan resonansi harmonis pada berbagai tingkat
sistemik hingga dihubungkan dengan resonansi. Selain itu, tingkat koneksi empati yang
tinggi sebagai akibat kesadaran akan faktor nonverbal, terutama refleksi postural, gestural,
dan wajah, attunement emosional dan kapasitas untuk mengartikulasikan pengalaman
emosional, sentuhan fisik, mendengarkan, tubuh, emosional, dan kesadaran spasial
kesadaran akan keadaan kognitif dan emosional internal dan eksternal dan attunement
terhadap 'lapangan interaktif' fenomena objektif subjektif dan luar subjektif telah ditemukan
untuk meningkatkan resonansi interpersonal. Dalam beberapa kelompok, beberapa faktor
meningkatkan resonansi intragroup, termasuk berbagi pemahaman identitas
multidimensional dan refleksif yang mencakup kedua faktor vertikal, seperti warisan
budaya, bahasa, dan sejarah leluhur, dan faktor horizontal yang terkait dengan situasi dan
hubungan individu saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Perspektif lainnya, resonansi
antarkelompok tergantung pada kapasitas kesadaran diri sendiri dan pengaturan status
emosional yang memungkinkan penilaian negara lain dan penggunaan strategi untuk
mengatasi tekanan dalam cara-cara pro-sosial. Teori resonansi morfologi mengatributkan
munculnya kasus telepati spontan dan 'keengganan yang jauh' dengan adanya medan
morfogenetik kolektif yang berisi memori kolektif atau gabungan yang mendorong
organisme untuk memilih pikiran dan perilaku yang telah dipilih paling sering. Dengan kata
lain, konsep kunci resonansi morfik adalah bahwa hal serupa mempengaruhi hal yang sama
baik pada ruang dan waktu, dan jumlah pengaruhnya bergantung pada tingkat kesamaan.
Dalam 'intentionality', sistem makna organik dapat menghasilkan bentuk resonansi yang
memotivasi mobilisasi dan perubahan sosial
Keempat, pengukuran resonansi juga beragam. Resonansi dapat diukur sebagai sejauh mana
fisiologis individu bereaksi serupa dengan pengalaman orang lain. Resonansi juga bisa
diukur seperti metafora antara orang tua dan anaknya sebagai resonansi ideo afektif, yaitu
antara respon dan keyakinan ideologis. Resonansi dapat dinilai sebagai pengalaman keadaan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 129

kesadaran yang berubah, sinkronisasi pola gerakan, tanggapan spontan langsung terhadap
ekspresi perasaan klien, dan merasakan sensasi tubuh. Resonansi dapat dinilai dengan
memperhatikan dampak kampanye demokratis, membandingkan hasil analisis konten
informasi yang digunakan dalam kampanye, dan membandingkannya dengan data
kependudukan yang menilai maksud pemungutan suara. Pengukuran resonansi dalam
praktik mikro, perlu menggunakan keterampilan pelacakan intuitif untuk merasakan
pergeseran dalam energinya. Pengukuran sejauh mana seseorang menunjukkan resonansi
dapat dilakukan dengan perspektif tertentu melalui menceritakan kembali pengalaman
seseorang. Resonansi dalam kelompok dapat diperhatikan dengan menganaliisi interaksi dan
relasi anggotanya bagaimana anggota membingkai ulang terkait dengan identitas mereka,
bagaimana mereka menjalin dan bergabung, bagaimana mereka mengenal dan menerima
satu sama lain dalam identitasnya. Pengukuran resonansi sebagai munculnya" ruang dialogis
umum "yang bergeser dari dialog tentang posisi atau kepentingan. Bagaimana menganalisis
antar anggota bertindak dengan anggapa selaras. Jika dikaitkan dengan resonansi frame,
tidak hanya bergantung pada faktor internal organisasi, tetapi tergantung pada legitimasi dan
kredibilitas pembuat klaim yang berbeda dalam konteks tertentu.
Kelima, meski ada perbedaan dalam konseptualisasi resonansi dalam antar disiplin ilmu,
tetapi nampaknya ada ada kesamaan di antara perspektifnya. Karakterisasi resonansi sebagai
fenomena yang dinamis. Resonansi dapat menjadi strategi untuk meningkatkan pengaturan
diri, atau kemampuan individu untuk mengendalikan keterampilan, proses emosional dan
afektif, dan tingkat kesadaran sosial. Resonasi berfungsi untuk meningkatkan regulasi diri
sebagai suatu pemahaman. Resonansi ‘menuntut’ konteks bagaimana penggunanya secara
emosional menciptakan koneksi yang memungkinkan. Dengan demikian ada sebuah
kesadaran dinamis dalam praktiknya yang mungkin sangat berbeda dengan keadaan yang
sebenarnya, selain dialog ada juga bingkai ulang. Posisi antagonis versus refleksivitas, mes-
kipun terasa jauh tetapi sangatlah dekat.

Keenam, resonansi bisa menjadi mesin yang luar biasa jika dikaitkan dengan manfaat di
berbagai pengalaman. Ada sinkronitas (termasuk gerakan) yang dapat meningkatkan
kepercayaan dan kerja sama satu sama lain. Resonansi secara positif mendorong
pertumbuhan, ketahanan, dan momen keintiman. Resonansi dianggap penetral dari suatu
yang berkonflik. Sebaliknya secara negatif, resonansi dapat berbahaya karena dapat
dipandang sebagai antagonime ataupun anti sosial. Resonansi sering kali menjadi konsep
ekslusif yang manipualsi oleh aktor pemilik kuasa.
3. FREKUENSI IKHWANUL MUSLIMIN (IM) DI INDONESIA
Frekuensi dalam konteks sosial-budaya-politik memiliki pemahaman yang cukup luas dari
arti kekerapan. Dalam bagian ini frekuensi penulis gunakan untuk memberikan pengertian
refleksi dari sinyal getaran keberadaan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Indonesia dan
hubungannya dengan kesejarahannya serta bagaimana aktivitas mereka.
Fenomena globalisasi tidak berhenti dengan memisahkan isu keagamaan dengan sosio-poli-
tik. Meski terlihat dengan berbagai pro dan kontra mendekatkan konsep agama (religi)
130 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

dengan aspek sosio-politik, tetapi faktanya agama tidak akan terlepas dari kehidupan manu-
sia.1 Dalam pandangan gerakan politik-keagamaan yaitu Islam, penolakan terhadap sekular-
isme yang dianggap berasal dari gagasan masyarakat Barat justru menjadi gagasan berdiri
dan keberlanjutannya gerakan kontemporer transnasional. Gagasan sekularisme dianggap
menyebabkan kapitalisme, kolonialisme, dan imperalisme di zaman modern ini. Hal ini di-
anggap tidak sesuai dengan al-Qur’an dan syari’at Islam yang mengakibatkan kemunduran
umat (Abdullah, 2016).
Di Indonesia, gerakan sosio-politik Islam berideologi transnasional muncul dipopulerkan
pertama kali oleh Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi (yang wafat 16 Maret 2017)
pada pertengahan 2007 silam. Istilah ini merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara
yang sengaja diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia. 2 Menariknya, ideolog ini
menurut Hasyim Muzadi tidak hanya datang dari Timur Tengah, tapi juga dari Barat. Jika
secara substansial, pengertian transnasional sejalan dengan Islamisme, maka fenomena
gerakan ini bisa ditarik ke belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pembaruan Islam
yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-18. Gerakan yang dikembangkan Abdul
Wahab untuk kembali pada ajaran “Islam asli” ini membayang-bayangi lahirnya Ikhwanul
Muslimin (IM) oleh Hassan al-Banna di Mesir pada 1928. Setelah kematiannya di akhir 50-
an, gagasan ideologi selanjutnya dikobarkan oleh Sayyid Qutb.3 Referensi lain juga me-
nyebutkan bahwa Hizbt Tahrir (Hizb al Tahrir) merupakan pecahan dari Ikhwanul Muslimin
(IM).

1
Setidaknya inilah isu yang dikait-kaitan sebagian orang mengenai berkembangnya simbol agama di ruang pub-
lik, aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016. Sebuah
prediksi pun terlontar menjelang Pilkada 2017 dan pemilu 2019 nanti diduga isu agama akan selalu dibawa-bawa
ke ranah politik untuk menggalang dukungan massa. Kedua aspek itu pada akhirnya saling memengaruhi, bahkan
tak terpisahkan. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai
sekarang senantiasa menyatu (Hidayat, 2017). Secara sosial, agama mempunyai wajah ganda, di satu sisi agama
menumbuhkan keteraturan sosial, di sisi lain Yunaato dalam tulisan tentang radikalisasi mengatakan bahwa
agama juga menciptakan perang dan revolus meski menganjurkan praktik-praktk moralitas yang baik denngan
adanya kesadaran kolektif (Yunanto, 2017:73).
2
Kelompok yang bersifat transnasional mempunyai arti bersifat transnasional dengan pertimbangan, yaitu
Ideologi gerakan tidak lagi bertumpu pada konsep nation-state, melainkan konsep umat, didominasi oleh
corak pemikiran skripturalis, fundamentalisme atau radikal, secara parsial mengadaptasi gagasan dan
instrumen modern. Menurut edaran dari Badan Intelijen Negara (BIN), setidaknya ada enam kelompok keislaman
yang termasuk dalam kategori Islam Transnasional, yakni; Ikhwanul Muslimin (IM), Kelompok Jihadi, Hizbut
Tahrir (HT), Kelompok Salafi, Jamaah Tabligh (gerakan Dakwah), serta Syiah.
3
Dalam kaitannya dengan politik, kekuatan politik Islam di Indonesia pun berevolusi dalam bentuk munculnya
dua kubu gerakan yang saling berkompetisi keras untuk memperebutkan dukungan dan simpati umat (massa)
sebanyak-banyaknya, yaitu Islam politik dan Islam Kultural. Kelompok Islam di Indonesia menggunakan kon-
sepsi politik dalam pergerakaannya sebut saja misalnya gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan Ikhwanul muslimin
dengan konteks Indonesia gerakan Tarbiyah. Selain itu, hampir dari semua kelompok Islam tersebut mengklaim
diri mereka sebagai bagian dari salaf al shalih (generasi dahulu yang shalih) yaitu generasi tabi’it al-tabi’in
yang hidup dan berguru kepada generasi tabi’in sebagai pengikut para nabi Allah. Tiga generasi tersebut (sa-
habat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in) dianggap sebagai generasi yang memiliki akidah dan manhaj serta
pengetahuan tentang Islam yang murni karena mereka bersentuhan langsung dengan orisinalitas Islam. Arti
kaum salafi adalah orang yang berusaha untuk menjaga Islam dengan mengggunakan properti intelektual dari
kaum muslimin (Sholahuddin, 2013 : 52). Nama gerakan salafi kontemporer di dunia Islam tidak tunggal
melainkan bermacam-macam (Meijer, 2009: 7 dalam Sholahuddin 2013).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 131

Pintu utama bagi mengalirnya pengaruh mereka dianggap menyebarkan Wahabisme ke


Indonesia melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang did-
irikan oleh Mohammad Nasir (1908-1993), dan para mantan pemimpin Masyumi
lainnya pada tahun 1967. Melalui jaringan da‟i dan masjid mereka menyebarkan gagasan
Ikhwanul Muslimin dan Jama‟at Islamiyah, yang diwakili oleh tulisan-tulisan para ideolog
Islamis. DDII kemudian mulai berani mengkritik secara terbuka kebijakan-kebijakan rezim
Soeharto (Sholahuddin 2013). Setelah mampu meningkatkan revitalisasi Islam, DDII
melakukan kegiatan lanjutan yaitu membidik kampus-kampus universitas sebagai target
dakwah yang sangat penting. Kader DDII yang umumnya alumni universitas-universitas
di Timur Tengah berperan dalam Program bina masjid kampus. Mereka memberikan
program latihan kepada mahasiswa dan memperkenalkan kepada mereka pemikiran
para ideologi Islamis terkemuka secara lebih sistematis.
Dari masjid kampus ini, lahir gerakan Harakah Tarbiyah dengan tokoh seperti Abu
Ridho. Muncul Hizbut Tahrir yang diperkenalkan oleh Abdurrahman alBaghdadi,
seorang aktivis dari Australia. Juga muncul gerakan Jamaah Tabligh dan gerakan NII
(Negara Islam Indonesia) (Noorhaidi Hasan, 2008 dalam Sholahuddin 2013). Tumbangnya
Orde Baru Soeharto yang membendung kelompok formalis bermain dalam kancah
politik memunculkan beberapa partai Islam, organisasi-organisasi Islam dan maraknya
gerakan Islam radikal seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan lain sebagainya
yang menyuarakan penegakan sharî’ah Islam dan bersuara keras terhadap paham-paham
dan pemikiran yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam seperti
Ahmadîyah dan Shîah Mereka meggunakan konsepsi jihad dalam pergerakannya. Jihad,
hal ini dapat dipahami dari corak pemikiran para intelektual Muslim yang beragam.
Masing-masing punya kecenderungan sesuai dengan masalah dan tantangan yang dihadapi
umat Islam dalam menawarkan konsepsi jihad (Anwar, 2014).
Ikhwanul Muslimin dianggap merupakan gerakan dengan jejaring transnasional. Nama
gerakannya berbeda-beda di setiap negara, tetapi disatukan oleh pemikiran dan metodologi
Ikhwan. 4 Kekuatan utama gerakan ini ada pada kelompok-kelompok pengajian (halaqoh).
Menurut BIN Persebarannya IM kurang lebih di 70 negara, mulai dari Eropa, Timur
Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara hingga Amerika Serikat dan Kanada. Hingga
kini pusat jaringan di IM Mesir. Secara umum, gerakan Ikhwan sekarang ini terbelah dalam
dua arus besar, yaitu Ikhwan Tarbiyah dan Ikhwan Jihad. Ikhwan versi tarbiyah merupakan
tidak terlalu radikal,t etap memiliki tujuan utama untuk membentuk “daulah Islamiyah”
dengan cara non-kekerasan dan memanfaatkan instrumen demokrasi untuk mewujudkan

4
Pada tahun 16 Oktober 1945 di Gedung Jami’ah Sjubban Muslimin Kairo (Pusat Perhimpunan Pemuda Islam)
berkumpul wakil organisasi sosial dan politik Mesir. Perkumpulan itu mendirikan Lajnatud Difa’I’an Indonesia
(Komite Pembela Indonesia), sebuah organisasi yang menghimpun dukungan rakyat Mesir bagi kemerdekaan
indonesia. Salah satu anggota Komite Pembela Indonesia adalah Taufik Syawi, ulama dan cendekiawaan dari
Ikhwanul Muslimin. Lihat Tempo, 30 September 2001, hal 82. Sebagai organisasi yang salah satu tujuannya
adalah melawan kolonialisme barat, Ikhwan menaruh perhatian pada Indonesia. Hasan Al-Banna, pendiri
Ikhwan, yang menemui Sutan Syahrir dan H. Agus Salim ketika keduanya berkunjung ke Mesir. Itulah
persinggungan pertama ikhwan dengan Indonesia.
132 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

cita-cita tersebut. Efektivitas melalui bahwa jalur tarbiyah, moderat dan parlementarian
dapat dilihat dari momentum penting kemenangan partai Ikhwan di Aljazair, FIS. 5
Gerakan Tarbiyah disebut-sebut memiliki korelasi yang kuat dengnan Ikhwanul Muslimin.
Dalam sejarahnya, terdapat perubahan-perubahan metode, materi dan nama atas identitas
gerakan tarbiyah ini, terutama sebelum reformasi berlangsung (Qodir, 2008). 6 Selanjutnya
pada 1998 pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagian
pemimpinnya mendirikan PKS, dulu Partai Keadilan. Menurut Nuryaddin (2005),
keterkaitan atau antara gerakan Tarbiyah dengan Ikhwanul Muslimin dapat dilihat dari
doktrin dan pengorganisasiannya, hubungan organisasi, program-program yang
dilaksanakan dan transformasinya dalam pembentukan PKS7. Sementara itu Akbar (2002),
dibentuknya Partai Keadilan sebagai tranformasi gerakan dakwahnya dengan pertimbangan
momentum reformasi Partai Keadilan sering disebut sebagai Ikhwanul Musliminnya
Indonesia karena dinilai memiliki berbagai kesamaan dalam beberapa hal, seperti konsep
pemikiran, sistem kaderisasi, periode pergerakan, jenjang keanggotaan, serta sikap terhadap
politik dan sistem kepartaian.
Gerakan Tarbiyah sebagai sebutan dari Ikhwanul Muslimin Indonesia dapat digambarkan
sebagai berikut.
1. Doktrin, Konsep Pemikiran, dan Sikap
Meski dinyatakan oleh beberapa informan bahwa pemikiran Hassan Al-Banna
(1905-1949) bukan satu-satunya rujukan bagi pembinaan tarbiyah, tetapi buku ten-
tang pemikiran Al Banna pendiri Ikhwanul Muslimin (1928) menjadi referensi pent-
ing dalam diskusi dalam liqo’ (pertemuan untuk pembinaan) lanjutan dari anggota

5
Model tarbiyah kemudian diterima secara luas di beberapa negara, termasuk di Indonesia. sekarang menjadi
katup penyelamat penting, tatkala Ikhwan Jihadi sedang terpukul di beberapa negara. Perkembangan mutakhir
memperlihatkan, gerakan Ikhwan Tarbiyah telah memperoleh kursi di parlemen secara cukup meyakinkan;
diantaranya adalah : Mesir, 88 kursi (20 persen), Aljazair, 38 kursi (7 persen), Bahrain, 4 kursi dari 12 kursi (33
persen), Jordania, 20 kursi dari 84 kursi (23 persen), Kurdistan, 13 persen dari 275 (5 persen), Kuwait, 4 kursi
dari 50 ( 8 persen), Maroko, 42 kursi dari 325 ( 13 persen), Palestina, 74 kursi dari 132 (56 persen), Tunisia, (14
persen), Yaman, 46 kursi dari 301 (22,6 persen), Turki, (34 persen), Bangladesh, 18 dari 300 kursi (6 persen),
Indonesia, 45 kursi dari 550 kursi (8 persen). Jalur Tarbiyah memasuki Indonesia pada dekade 1980-an. Tokoh
penting yang mengusung jalur ini adalah Rahmat Abdullah dan Hilmi Aminudin Hasan. Ada tiga jalur
penting pengembangan Ikhwan Tarbiyah di Indonesia, Kelompok Usroh di kampus, alumni Timur Tengah,
Alumni LPPIA. Pertemuan tiga jalur inilah yang selanjutnya melahirkan PKS sekarang ini. Di Kampus IPB
tersebut nama IPB AM Saefuddin dan Soleh Widodo. Lihat Makalah Diskusi Serial Terbatas Islam, Ham Dan
Gerakan Sosial Di Indonesia Gerakan Islam Politik Kontemporer di Indonesia Oleh: Zuly Qodir Yogyakarta, 13
– 14 Agustus 2008.
6
Dalam masa Orde Baru, aktivis jamaah Tarbiyah terjaring penangkapan dan penyiksaan, misalnya Wahyono
Syafii, Nurfalah, Slamet Riyanto, Sujiman, Suyud bin Rahmat. Selain itu, Shabarin Syakur seorang mahasiswa
UGM berusia 28 tahun dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dengan tuduhan mengedarkan bulletin Al-Ikhwan.
Gerakan ini di Indonesia menggunakan perangkat pergerakan seperti pembentukan media Islam, seperti Sabili,
Inthilaq, Islah, dan Ummi; lembaga pendidikan seperti Nurul Fikri; Lembaga Dakwah yaitu Lembaga pengkajian
dan Pengembangan Da’wah Khairu Ummah (LPPD Khairu Umma/KU; SIDIK, Al-Hikmah dan Al-Mannar, dan
lembaga kemahasiswaan KAMMI (Akbar, 2002).
7
Lihat Nuryaddin, Eko. 2005. Partai Keadilan Sejahterah: Studi Keterkaitan Antara Ikhwanul Muslimin dengan
Gerakan Tarbiyah. Skripsi. Depok: UI
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 133

gerakan Tarbiyah. 8 Al Banna telah mewariskan sejumlah karya, dua diantaranya


adalah : Mudzakiraat Ad-Dakwah wa Da’iyah dan Majmu’ah Rasail. Ia menjelas-
kan kaitan antara aqidah dan aktivitas politik. Keislaman seseorang menuntutnya
untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsanya ( Ruslan,
2000). Upaya memikirkan persoalan internal dan eksternal umat, memberikan
perhatian kepadanya, dan bekerja demi kebaikan seluruhnya merupakan definisi
politik. Ia berkaitan dengan aqidah dan akhlak serta bertujuan untuk melakukan
perubahan melalui dakwah islamiyah bahwa Islam adalah nilai yang komprehensif
mencakup seluruh dimensi kehidupan. Asas-asas masyarakat muslim sebagai dasar
reformasi sosial. 9 Penekanan terhadap pendidikan (tarbiyah) adalah jalan utama
(thariq asasi) untuk mewujudkan masyarakat muslim. 10
Proses tarbiyah terjadi terus menerus dimana para anggota akan dididik melalui
proses pendidikan sampai pada tingkatan anggota tertinggi yang siap menjalankan
tugas yang lebih besar. Selain itu, para kader yang telah akan menjadi penyeru
sekaligus pendidik (murabbi) Islam di lingkungannya. Melalui tarbiyah yang
sistematis dan berkesinambungan dengan berpedoman pada Al Quran, Hadis, dan
kehidupan para salafus sholih (orang saleh terdahulu), serta berpegang pada ushul
fiqih (dasar-dasar hukum fiqih) dan qowa’id syar’iyyah (kaidah syariah) diharapkan
dapat membentuk suatu kebangkitan dan kekuatan umat untuk mengibar-
kan fikroh (pemikiran) Islam.
Sikap gerakan terhadap pemerintahan, berkaitan erat dengan pemahaman akan
esensi Islam dan aqidahnya. Pemerintahan Islam sebagai salah satu pilarnya sebagai
konsekuensi penolakan ide pemisahan antara agama dengan negara, atau dengan
politik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Pilar pemerintahan Islam
mengacu pada tanggung jawab pemerintah kepada Allah, kesatuan umat, dan
penghormatan terhadap aspirasi rakyat. Degan pandangan tersebut mereka meyakini
bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan. 11 Dengan demikian maka sistem politik
atau pemerintahan diselenggarakan sesuai dengan kerangka landasan musyawarah
(syura), kebebasan (hurriyah), persamaan (musawah), keadilan (adl), kepatuhan
(ta’ah), dan amar ma’ruf nahi munkar (Ruslan, 2000).
Kekuasaan negara menurut pandangan Ikhwan, kekuasaan negara (Islam) ada lima,
yaitu eksekutif (tanfidziyah ), legislatif (tasyri’iyah), yudikatif (qhadaiyah),
kekuasaan kontrol dan evaluasi, serta kekuasaan moneter. Eksekutif dijabat oleh

8
Ikhwanul Muslimin memiliki Lambang Organisasi berupa dua pedang melintang menyangga al-Qur’an terdapat
lafaz ‫واعدوا‬,‫ حق‬,‫ ق وة‬, ‫ حري ة‬. Terdapat dua pedang tersebut melambangkan bahwa gerakan ini siap mengangkat
senjata untuk berjihad kapan saja dan dimana saja demi berdirinya negara Islam.8 Lihat Zusiana Elly Trian-
tini, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir : Ikhwanul Muslimin, Jurnal AL-A’RAF Vol.III, N0. 2 Jan-
Juni 2007
9
Hasan Al-Banna. 2001. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata. Solo:Intermedia
10
Hasan Al-Banna. 2005. Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, Khozin, penj. Jakarta: Al-I’Tishom
Cahaya Umat
11
Muhammad Ma’mun Hudaiby. 2013. Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin. Bandung:
PT.Syamil Cipta Media
134 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh para menteri yang
membawahi berbagai departemen. Presiden bisa saja disebut hakim, imam, atau
khalifah. Penegakan kepala negara adalah fardhu Kifayah. tindakan-tindakannya
dalam mengurus negara dari kepala negara, baik secara politik maupun secara
hukum dipertanggungjawabkan kepada Dewan Umat. Ikhwan menyebutkan bahwa
kepala negara adalah wakil. Karena itu, bila ia tidak memenuhi syarat
wakalah (perwakilan), sepantasnya diturunkan dari jabatannya (Ruslan, 2000).

2. Organisasi dan Jejaringnya


Hai’ah Ta’sisiyah atau Dewan Pendiri adalah dewan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam Al Ikhwan Al-Muslimun, dalam organisasi lain setara dengan Jam’iyah
‘Umumiyah yang merupakan Dewan Syuro Umum. Dewan ini terdiri atas anggota
Al-Ikhwan AlMuslimun yang telah lama berjuang dalam dakwah. Tugasnya
mengawasi secara umum perjalanan Al-Ikhwan Al-Muslimun, memiliki anggota
Maktab Al-Irsyad, memilih pengawas keuangan, dan lain-lain.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui gerakan tarbiyahnya di Indonesia dianggap
paling banyak mengambil konsep perjuangan, sistem gerakan, dan pola pikir
Ikhwanul Muslimin. Selain tarbiyah, ada beberapa aspek gerakan Ikhwanul
Muslimun yang ditiru oleh PKS, diantaranya adalah: Syarikat ekonomi, tarikat
sunnah, fikrah kemasyarakatan, institusi politik, organisasi ilmiah dan pengetahuan,
klub olahraga, dakwah salafiyah, dan hakikat sufi.
Masjid Kampus adalah salah satu aspek utama dalam jaringan Tarbiyah PKS.
Masjid kampus menjadi fokus kelembagaan jejaring sosial dan keagamaan jemaah
Tarbiyah. Tumbuhnya minat dalam mempelajari agama dan meperaktikannya bisa
difasilitasi melalui masjid kampus. Namun, dalam akhir 10 tahun ini, masjid bukan
satu-satunya kelembagaan dan instansi menjadi bagian membangun jejaring antar
jamaah Tarbiyah. Kampus misalnya dengan pemberian beasiswa ke luar negeri
terutama ke Timur Tengah pengkaderan Tarbiyah dijalankan karena mereka diikat
untuk kembali di Indonesia dan mengajarkan pengetahuannya, sementara itu
terdapat wacana bagaimana sistem seleksi dosen di dalamnya yang mengindikasi
kemungkinan besar akan lulus jika mereka telah mengetahui bahkan memahami
pembinaan Tarbiyah atau bergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Selain itu jejaring Tarbiyah juga dilakukan dengan pembentukan KAMMI
(Kesatuan Aski mahasiswa Islam) sebagai bentuk perjuangan dalam institusi formal
kemahasiswaan.
3. Pola gerakan dan Strateginya
Pola gerakan dan strategi gerakan Gerakan Tarbiyah yang berkembang pesat khu-
susnya di kampus dapat digambarkan sebagai berikut.
a. Strategi pengkaderan melalui pembinaan (halaqah) Intensif.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 135

Strategi kaderisasi, yakni dengan melakukan pertemuan intensif untuk anak-anak,


remaja, mahasiswa, dan masyarakat. Komunikasi secara intensif antar anggota
(murabbi) dan calon anggota dilakukan melalui halaqah dengan liqo nya. Halaqah
inilah adalah strategi utama dalam transmisi ide pemikiran tentang pendidikan islam
(tarbiyah), dari murabbi (pembina) dan mutarabbi (yang dibina). Halaqah
merupakan strategi kaderisasi yang berbeda dengan organisasi intra kampus seperti
MAPABA oleh PMII, LK oleh HMI. Pembinaan intensif, seperti pemberian materi
tentang ibadah hingga tajwid dan iqro. Jamaah tarbiyah menyediakan pendidik-pen-
didik Iqra untuk anak-anak, guru-guru TK, SD dan SMP sampai juru masak untuk
ibu-ibu dan remaja muslim.
Salah satu cara untuk mengimplementasikan tarbiyah yakni dengan melaksanakan
halaqoh. Halaqoh berasal dari kata liqo yang berarti pertemuan atau perjumpaan.
Pada dasarnya, halaqoh adalah kelompok pembinaan yang dilakukan untuk
mengkader orang-orang yang mau untuk ikut mempelajari Islam dengan jumlah
yang terbatas, biasanya satu kelompok itu 10-12 orang, dibimbing oleh satu fasili-
tator yang disebut dengan murabbi. Halaqoh berfungsi sebagai sarana pembinaan
akidah, ibadah, akhlak, dan wawasan seseorang sehingga dapat mengaplikasikan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Dalam setiap halaqoh biasanya terdapat murabbi yang berperan sebagai pemimpin
dan pembina halaqoh, dan mutarabbi yang berperan sebagai peserta didik. Oleh ka-
rena itu, halaqoh dapat berperan seperti keluarga, sekolah, maupun kelompok per-
gaulan. Biasanya halaqoh berdurasi 2 hingga 3 jam diisi dengan pembacaan Al
Quran, pemberian materi oleh murabbi, dan penyampaian tausiyah (nasihat).
Halaqoh ini dapat dilaksanakan di masjid, kelas, taman, ataupun rumah anggotanya
secara bergantian. Metode halaqoh ini mirip dengan metode usrah yang diadopsi
dari IM karena tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan Tarbiyah banyak mendapatkan
pengaruh dari pemikiran-pemikiran IM.
b. Membuat Program tarbiyah (pendidikan)
Gerakan yang mereka lakukan dengan cara peneyelenggaraan program pendidikan,
seperti training keislaman di sekolah-sekolah, pelatihan Islam awal mula (training
islam for beginner), kajian fikih perempuan (fikh nissa), bimbingan belajar, kursus-
kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku-buku dan memberikan ce-
ramah-ceramah (gratis), menyediakan khotib siapa pakai, pembinaan anak-anak
(TK-SD), mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK Islam Terpadu) memberikan kur-
sus-kursus pada ibu-ibu rumah tangga, kursus-kursus untuk remaja muslim, pengi-
riman buku-buku, stiker, selebaran pada masyarakat (ke rumah-rumah), penterjema-
han buku-buku berbahasa arab, dokumentasi kegiatan, dan kosnultasi-konsultasi.
Di kampus, Lembaga Dakwah kampus menjadi aktivis tarbiyah juga masuk dengan
memanfaatkan organisasi internal kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasisw (DPM) kampus.

c. Media Massa untuk Mensosialisasi Gagasan


136 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gerakan tarbiyah menggunakan media massa untuk mensosialisasikan gagasan-ga-


gasannya. Gerakan tarbiyah membuat penerbitan seperti majalah, Hidayatullah, An
Nida, Ummi, dan An Nissa, Sabili, penerbitan Gema Insyani Press, Pustaka Al-
Kautsar, Robbani Press, Al-Ishlahy Press, I’Tishom, Era Intermedia, dan As-
Syamil. Para aktivisnya juga menyamoaikan pemikirannya melalu media sosial
seperti facebook dan twitter.
Media massa menjadi penting dalam proses penyebaran gagasan. Dalam tulisan
Benedict Anderson, media massa dengan bahasa massalnya menjadi katalis penting
dalam print capitalism pada era modern, karena mempunyai kemampuan
membangun nasionalisme dengan konsepsi imajined community, komunitas
terbayang yang dibayangkan. Media massa adalah medan komunikasi anggota
kelompok dengan bahasa yang relatif stabil memungkinkan reproduksi teks
melintasi ruang dan waktu (Anderson, 1991). Dengan pemahaman ini media massa
bagi gerakan Tarbiyah difungsikan untuk berdakwah dan membangun kesadaran
pendidikan ummah yang islami, pembangunan identitas Muslim, dan mengingatkan
kembali akan kemakmuran umat Islam masa Rasulullah dan kekhalifahannya.

Banyak dari informan dari jamaah Tarbiyah yang membagi berita dari tokoh PKS,
misalnya pemikiran dari eramuslim.com. Ini menunjukkan bahwa media
difungsikan sebagai PKS Lovers yang juga memiliki kepercayaan loyal terhadap
pemimpin partai. Meskipun juga m,emunculkan PKS haters menilai bahwa PKS
Lovers ini terlalu berlebihan, mereka selalu mengkritisi tindakan dari PKS Lovers,
memposting yang berseberangan dengan masuk dalam komentar PKS Lovers.

d. Masjid sebagai instrumen pengembangan jejaring


Dalam kampus ditengarahi menggunakan masjid untuk mengembangkan jejaring
gerakan masjid disebut sebagai sarana ibadah sekaligus jaringan organik yang
menghubungkan komunitas Tarbiyah dari berbagai tempat. Keterlibatan komunitas
Tarbiyah dengan masjid berawal dari hubungan emosional dan personal antara kader
dan pengurus masjid. Jika dilihat dari sejarahnya contoh Masjid Salman menjadi
penting dalam pengembangan dakwahnya di kampus. Meskipun pada faktanya
misalnya periode 2002-2006 dan 2009-2010 pada penelitian saya mereka dalam
masjid dan musalla Universitas Indonesia juga berada dalam ‘kebersamaan dengan
jamaah Hizbut Tahrir Indonesia dan Salafi Dakwah.
Bangunan dalam antropologi bukan sekedar materi tanpa fungsi, tetapi cultural
material dengan design arsitekturnya dalam antropologi berperan sebagai simbol
sekaligus identitas. Begitu pula masjid adalah materi budaya bagi keagamaan kaum
muslim. Dalam pandangan jamaah tarbiyah, eksistensi masjid perlu direkonstruksi
sebagaimana pernan amasjid dalam zaman Rasulullah Muhammad SAW. Masjid
zaman itu memiliki banyak nilai strategis sebagai pusat peradaban.masjid berperan
penting dalam upaya pendidikan umat. Masjid juga merepresentasikan integrasi dari
penyelesaian konflik pemikiran. Masjid kampus adalah jejaring Tarbiyah.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 137

e. Memanfaatkan relasi personal (Pertemanan dan Keluarga)


Hubungan personal, baik pertemanan mapun keluarga memiliki pengaruh yang
besar terhadap ketersediaan anggota gerakan Tarbiyah. Pendekatan yang dilakukan
dengan berbagai bentuk, sharing pengalaman pribadi misalnya awal ketertarikan
ikut dalam pembinaan tarbiyah hingga pinjam meminjam buku juga sms (short mes-
sage system) pengingat untuk berperangai islami. Sementara itu hubungan keluarga
seringkali dengan proses ta’aruf, yang akan memungkinkan munculnya pernikahan
anggota gerakan Tarbiyah. Selain itu kader juga diminta mensosislisasi ide
pemikiran Tarbiyah khususnya pemikiran Hasan Al-Banna ke keluarganya dan
teman-temannya di kosan dan tempat lainnya bahkan para dosennya.
Meskipun ini terlihat bukan luar biasa, tetapi relasi personal inilah menjadi dasar
emosional dan pskologi dari para anggota untuk terus berlanjut bersama-sama
dakwah Tarbiyah. Relasi personal tidak sekedar mengikat rasionalitas pengetahuan
tetapi mengikat pengetahuan tentang rasionalitas kebersamaan mereka. Bahkan,
konsepsi ta’aruf menjadi konsep elegan dari kebersamaan. Ta’aruf yang biasanya
dilandasai dengan kata pernikahan sekufu yang diartikan sebagai sepemahaman da-
lam konteks agama inilah menjadi trend baik di antara mereka. Ibarat bangunan kin-
ship terjalin dengan aspek lainnya, dalam pandangan fungsionaisme Malinowski
atau functional theory of culture ini menciptakan keteraturan yang kuat (solid). .

4. RESONANSI GERAKAN IKHWANUL MUSLIMIN DI INDONESIA?


Untuk menjelaskan posisi gerakan Ikhwanul Muslimin, kita perlu menempatkan konsep
globalisasi secara dinamis. Dinamisasi ini berkelidan dengan konteks dan proses. Lalu,
bagaimana dengan resonansi Gerakan Ikhwanul Muslimin? Berdasarkan pemikiran Cole-
man, Cunningham, dan Merry, maka resonansi IM di Indonesia dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Berbagai Perspektif Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Salah satu pandangan tentang IM versi tarbiyah Indonesia muncul dari Randi
MU/randi96 di kompasiana.com (3 November 2016, 17:22:56) yang memberi judul
tulisannya “Ambiguitas Visi Dakwah Parpol Tarbiyah”, judul lanjutan dari tulisan
sebelumnya yang berjudul “ Hai Para Pendakwah Hindari Sifat-sifat Golongan
Perusak Agama”. Tulisan yang diakui oleh penulisanya sebuah uneg-uneg yang
dituangkan dalam sebuah tulisan dari sebuah pengalaman penulis selama
mengemban sebagai pendakwah tarbiyah. Ada banyak hal yang menurut
pengamatan dan pengalaman Randi sangatlah kontradiktif dengan pesan luhur
dakwah itu sendiri sehingga membuat ia keluar dari barisan dakwah tarbiyah ini. Ia
menyampaikan bahwa dengan mengikuti sistem pengkaderan ala Ikhwanul
Muslimin di Mesir seperti yang akrab dikalangan mereka disebut halaqah, daurah,
liqa’, ta’lim, mukhayyam, mabit dan juga usroh, organisasi ini cukup mampu
menarik minat (atau bisa juga dikatakan ‘ditarik’) mahasiswa untuk ikut bergabung.
Randi menyampaikan bahwa gerakan tarbiyah ini sejatinya merupakan alat untuk
pemanfaatan politik, hal ini dikarenakan gerakan tarbiyah sebenarnya ialah gerakan
138 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

politik berbasis dakwah, bukan gerakan dakwah berbasis politik seperti yang selama
ini orang-orang awam mengira. Karena gerakan tarbiyah ini merupakan gerakan
politik, maka tujuan akhirnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencari
simpati publik untuk meraih kekuasaan. Sementara aktivitas dakwah yang dilakukan
oleh para kader-kadernya tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai alat atau
kedok untuk meraih hati orang-orang agar bersimpati. Ambiguitas para aktivis
dakwah tarbiyah ini semakin terasa kental disaat mereka selalu meneriakkan dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dengan visi mereka untuk menjadikan masyarakat yang
madani dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman di segala sendi
kehidupan mereka, lagi-lagi kenyataan di lapangan dalam membimbing binaannya
tak sejalan. Al-Qur’an dan Hadits yang selama ini dikatakan sebagai acuan dalam
berkehidupan agar terhindar dari kesesatan, namun ternyata banyak dari aktivis
mereka yang malah terjebak dalam lingkaran yang seharusnya dihindari oleh umat
Islam semisalnya saja ‘virus TBC (tahayul, bid’ah dan churafat)’.
Sementara itu, tanggapan berbeda muncul dari Facebook dari penelusuran "KATA-
KATA HIKMAH" menerbitkan sebuah catatan pada 11 September 2013 pukul
13:58; dengan judul MENGENAL IKHWANUL MUSLIMIN. Pandangan yang
mengomentari pandangan miring—dalam komentar ditulis fitnah—terhadap
gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin) yang didirikan oleh
Hasan Al-Banna. Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyyah, Mesir
pada tahun 1928 yaitu 4 tahun selepas kejatuhan sistem khalifah Islam terakhir yaitu
Khalifah Turki Uthmaniyyah oleh Hasan Al-Banna. Ikhwanul Muslimin menolak
segala bentuk penjajahan dan monarki yang pro-Barat. Di berbagai media
khususnya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering dikait-kaitkan
dengan Al-Qaeda. Pada faktanya, AlQaeda berbeda dengan Ikhwanul Muslimin.
Ideologi, sarana, dan aksi yang dilakukan oleh Al-Qaeda secara tegas ditolak oleh
pimpinan Ikhwanul Muslimin. Kekerasan atau radikalisme bukan jalan perjuangan
Ikhwanul Muslimin, kecuali jika negara tempat Ikhwanul Muslimin berada
terancam penjajahan dari bangsa lain.
Kedua pandangan tersebut adalah realitas yang muncul dari hampir sebagian besar
gerakan dalam dinamikanya. Pro dan kontra terhadap aktivisme nya menjadi hal
yang dianggap lumrah. Namun, jika kita tanyakan secara langsung dari para
aktivisme gerakan, sisi murabbi (mentor) dan mutarabbi (menti), tentu keberagaman
jawaban pun akan kita akan peroleh. Ini relevan jika kita mencoba menganalisisnya
dengan resonansi gerakan bukan tanpa kompleksitas. Keberagaman pandangan
teersebut tidak hanya terjadi pada orang di luar gerakan tarbiyah tetapi juga internal,
pengalaman mengikuti kajian liqo, terdapat bervariasi pemahaman tentang gerakan
ini terutama ketika awal halaqoh.

2. Gerakan Tarbiyah adalah Replikasi IM yang hibrid

Resonansi menempatkan sebuah replika tetapi bersifat hibrid. Standar-standar


internasional, ide gagasan dan praktik Ikhwanul Muslimin di Mesir bergetar tidak
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 139

secara homogen tetapi heterogen yang nampak di Indonesia. Kontekstualisasi dalam


ranah nasional dan lokal akan terjadi karena proses vernakulasi, ini akan nampak
jika melihat keragaman aktivisme IM di antara kampus negeri di Indonesia semisal
UI dan IPB, membandingkan dengan kampus berbasis agama, membandingkan
dengan di sekolah-sekolah, membandingkan dalam politik kota dan desa, serta
membandingkannya dalam konteks sosial lainnya.
Penerjemahan dari para aktivisme yang bereksistensi dalam gerakan ini menjadi
penting untuk dilihatnya. Dengan peran merekalah kita akan dapat melihat bentuk
transformasi gerakan Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Identitas Ikhwanul Muslim
yang dalam fase sejarah terdahulu tidak diakui oleh para aktivisi gerakan Tarbiyah
karena terkait dengan strategi gerakan. Gerakan Tarbiyah dalam fase sejarah
terdahulu mempunyai ‘perbedaan’ sekaligus persamaan dengan yang saat ini.
Perbedaannya di Indonesia gerakan ini bernama gerakan Tarbiyah bukan Gerakan
Ikhwanul Muslimin tetapi ide gagasannya diakui sebagian besar berasal dari ide-ide
gerakan IM. Gerakan Tarbiyah di Indonesia merupakan kebangkitan Islam untuk
gerakan kembali pada islam sejati atau murni. Dalam Yavuz dikatakan bahwa tidak
ada yang namanya Islam 'murni' yang ada di luar proses perkembangan sejarah. Pen-
galaman hidup sejati Islam selalu secara kultural dan historis spesifik dan terikat
oleh keadaan langsung lokasinya di tempat dan waktu (Yavuz, 2013).
Pengakuan ini muncul dari artikel yang berjudul “Ikhwanul Muslimin Inspirasi
Gerakan Tarbiyah” di Jarimanis Indonesia, 5 years ago, tentang Syaikhut
Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: Dalam publikasi acara Seminar Nasional
“Tarbiyah di Era Baru” di Masjid UI, Kampus UI Depok, ustadz keturunan Betawi
ini ditetapkan sebagai pembicara utama (keynote speaker) serta disebut
sebagai Syaikhut Tarbiyah; sebuah jabatan yang belum populer di telinga
masyarakat, termasuk di kalangan aktivis da’wah dan harakah (pergerakan) selama
ini. Mengingat di kepengurusan Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat
sebagai Ketua Majelis Syuro dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti
dimaklumi, PK didirikan dan disokong oleh para kader Tarbiyah. Rahmat
mengawali acara dengan orasi bertajuk “Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah
di Indonesia dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan” pada seminar nasional
yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah. Dalam kesempatan tersebut
dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di
Indonesia. Dalam kancah pergerakan Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah
belum populer di kalangan masyarakat awam. Kata dilekatkan orang pada sebuah
ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat dan pernah menjadi partai Islam yaitu
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Namun bagi orang yang akrab dengan gerakan
da’wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan itu. Karena akrabnya aktivis
Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, di era ’80-an dan ’90-an
gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, sebuah gerakan Islam di Mesir yang
pengaruhnya telah mendunia. Dituliskan bahwa tentu saja itu semua bukan cuma
hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di Tarbiyah. Tapi
harus diakui bahwa perjalanan da’wah yang mengesankan di zamrud katulistiwa
140 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

tercinta ini adalah saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain telah
memberi itsar (bekas). Bagaimana sejarah bermulanya harakah ini? Apakah benar
terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kiai
yang ramah ini membeberkannya kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi
Utomo dan Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang
sederhana nan asri di Kompleks Islamic Village Iqro’, Pondok Gede, Bekasi,

Dari hasil wawancara dengan tokoh Tarbiyah tersebut kutipan dari sekitar tiga jam
perbincangan. Namun, dalam perbincangan tersebut, ada beberapa hal yang bisa
diungkapkan. Pertama, bahwa dilihat dari referensi dari gerakan ini memang di
antaranya merujuk kepada gerakan yang berkembang di Mesir melalui buku-buku
yang dibawa mahasiswa yang belajar di sana yang dikirimkan di pesantren-pe-
santren di Indonesia. Misalnya tiga kitab risalah Hasan Al-Banna, yaitu Bainal Amsi
wal Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini), Da’watuna (Dakwah Kami di Era Baru)
dan Risalah Ta’lim. Kedua, gerakan tarbiyah bukan hanya gerakan agama tetapi
politik dengan pandangan dakwah sebagai bentuk pengaturan masyarakat adalah
politik. Ketiga, bahwa IM berdasarkan buku tulisan Yusuf Qaradhawi adalah
imtidad yaitu jamaah wahidah yang diikat oleh rabithul aqidah, di manapun mereka
berada tetap dalam satu ikatan yang kokoh dengan semangat. Namun, di luar negeri
seperti di Yordan dan Sudan, Ikhwanul Muslimin bergerak dengan bendera formal,
tetapi di sebagian negeri yang lain tidak menggunakan nama Ikhwanul Muslimin.
Gerakan Tarbiyah, tidak pernah diperkenalkan dengan satu tokoh, berbeda dengan
IM di Mesir sebagai monumen tempat lahirnya gerakan yang tidak tersembunyi un-
tuk eksistensi jama’ah.

3. Gerakan versi Tarbiyah-PKS di Indonesia adalah bentuk Resonansi Gerakan IM


Gerakan Tarbiyah jika menggunakan pemikiran Coleman (2014) maka akan nam-
pak sebuah resonansi. Getaran tentang Ikhwanul Muslimin terasa karena dikaitkan
dengan isu radikalisme, getaran ini merujuk ada kesejarahan mengeksplorasi
keberadaannya meski pendirinya telah tiada. Intelektualitas dalam era globalisasi
juga membawa mereka dalam perdebatan yang tak berhenti, media yang mengaitkan
dengan gerakan Islam transnasional lainnya, mengkomparasikan di antara mereka,
yang intinya justru membuat kuasa wacana mereka kuat di Indonesia meski dalam
bentuknya yang tersamar, dengan perspektif cultural relativism.
Getaran dari gerakan Ikhwanul Muslimin nampaknya begitu terasa dalam gerakan
Tarbiyah atau yang dikenali kader PKS. Meskipun ada analisis yang bervariasi ter-
hadap gerakan tarbiyah ini tetapi nampaknya semangat dan mobilisasi (misalnya
aksi ke jalan) yang dilakukan oleh gerakan ini bertujuan seperti halnya yang ada
dalam gagasan Ikhwanul Muslimin. Karakter dan cara-cara yang berasal dari gaga-
san Hassan Al Banna menjadi pemikiran dari gerakan Tarbiyah. Meskipun sulit
mengukur sejauh mana para anggotanya mengindetifikasi persis sama dengan
Ikhwanul Muslimin Mesir dan negara lainnya-- dalam keterbatasan tulisan ini-- ka-
rena pasti ada variasinya tetapi sebagian anggota liqo dalam pengajaran dan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 141

diskusikan akan ditanamkan sisi positif dari figure Hassan Al Banna dan rekan-
rekan dari gerakan. Tentu saja menjadi keyakinan oleh para anggota karena mereka
hampir setiap waktu menerima wacana ini. Seperti sebuah gelombang, gema
gerakan IM terpancar oleh para anggota gerakan tarbiyah khususnya yang telah di-
akui sebagai kader “setia” . Tidak hanya energi kognisi yang terisi karena “sharing”
ilmu tentang gagasan dan gerak dari IM tetapi emosi dan persaudaraan di antara
mereka terasa lekat melintasi batas wilayah lokal, nasional, dan regional. Sink-
ronisasi gerakan hingga sampai tingkat lokal mereka upayakan bersifat harmoni. In-
tinya rasa kebersamaan diusahakan oleh anggota gerakan tarbiyah berkoherensi
dengan gerakan IM.
Nampaknya sekali para aktivisme gerakan Tarbiyah yang terkonektivitas dengan
gerakan IM. Gagasan persaudaraan muslim dunia nampak ketika umat muslim men-
galamai ‘musibah’ dan mereka harus ditolong. Seperti sebuah cermin, aktivis
gerakan tarbiyah mencoba selaras dengan para aktivsime IM di seluruh dunia.
Komunikasi yang mereka jalankan tidak hanya berbentuk materi uang tetapi emosi
keagamaan dari mereka. Keterikatan mereka akan semakin meningkat manakala ak-
tivis IM di luar Indonesa mengalami keterancaman. Kesadaran untuk menjadi ba-
gian dari gagasan IM, memanajemen diri seperti tidak nampak berbeda dengan IM.
Gerakan Tarbiyah pun seperti halnya gerakan Ikhwanul Muslimin adalah gerakan
untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan Islami. Selain tujuan, taktik dan
beberapa atribut dari gerakan Tarbiyah serupa dengan Ikhwanul Muslimin Kemam-
puan untuk ‘bermanuver’, membangun basis dukungan dengan kesabaran, memilih
di antara moderat atau penggunaan ‘kekerasan’ dan taktik mobilisasi (Rubbin,
2010).
Gerakan Tarbiyah di Indonesia yang pernah peroleh selama bergaul dan ikut serta
dalam liqa, nampak membawa misi persaudaraan seperti halnya Ikhwanul Mus-
limin di Mesir, pada titik-titik tertentu, kegiatan media harus disensor agar sesuai
dengan pandangan dan pendidikan Islami. Demikian juga, kontruksi perempuan
adalah sebagai ibu rumah tangga di rumah meskipun sebagian juga menduduki se-
bagai wakil rakyat dengan dukungan PKS. Prinsip-prinsip Islamisme menjadi dasar
untuk gerakan Tarbiyah.
Namun, karena sejarah juga ikut serta melakukan perubahan, dinamisasi dan kom-
pleksitasnya bukan hanya sebuah kausalitas. Pengaturan suatu negara yang berbeda
juga akan berdampak yang berbeda. Dulu para aktivime gerakan tarbiyah akan men-
coba menolak bahwa mereka bukan anggota IM karena konteks maka tentu saja
akan berbeda dengan waktu yang sekarang. Apakah selalu demikian? Internalisasi
keluarga yang multietnis dan institusinaliasi pendidikan tentu berbeda satu sama
lain antara aktivisme gerakan Tarbiyah tentu memungkinkan adanya perbedaan da-
lam bentuk resonansinya, belum lagi sebagian dari yang mereka yang berada dalam
pembinaan memasuki beberapa organisasi lain yang menjadi keputusan personal in-
dividu.
142 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gerakan Tarbiyah mungkin saja selaras dengan gerakan IM, tetapi dalam beberapa
waktu seringkali aktivisme gerakan Tabiyah mempunyai kekhasan yang tidak ada
di gerakan IM Mesir. Nilai-nilai yang sama sebagai anutan para aktivisme gerakan
Tarbiyah, tetapi kemampuan gerakan Tarbiyah kemungkinan berbeda dengan
gerakan IM di negara lain. Proses adaptasi juga mempengaruhi pola-pola aktivisme
gerakan Tarbiyah. Ini juga ditunjang dari kesadaran dari para aktivis dari gerakan
rabiyah itu sendiri. Isu Indonesia menjadi salah satu partikular dari gerakan Tarbi-
yah.
Apakah konsep reaksi gerakan Tarbiyah sama persis dengan gerakan IM di Mesir
yang juga diikuti oleh gerakan IM di negera lain? Sebagai gerakan yang ingin di-
anggap istiqomah, nampaknya gerakan Tarbiyah akan mencoba mensikronisasi pola
gerakannya dengan gerakan IM di Mesir dan di tempat yang lain, tetapi sebagai se-
buah anak yang mengalami masa pertumbuhan dan pematangan maka akan men-
coba ingin seperti ayah ibunya, bahkan ingin menjalin hubungan yang intim dengan
para saudara sekandung dan kerabatnya. Ini miri[ dengan hubungan mereka dalam
sebuah kinship. Jika saudara kandung dan para kerabatnya terluka mereka pun iku-
tserta membantu dan mengobati lukanya. Tentu saja jika mengikuti dinamika kin-
ship itu sendiri, tidak semua saudara kandung dan kerabat tanpa konflik, tetapi jika
pun itu terjadi maka kalimat indah adalah “ janganlah memakan daging dan mem-
inum saudaranya, satu keturunan harus saling menjaga. Pengaturan ini nampaknya
semacam koneksi emosi yang mencoba menselaraskan antara kondisi ideal dan
praktiknya. Dialog terjadi dalam satu buah bingkai foto.
Bentuk keselarasan gerakan tarbiyah dan gerakan IM di Mesir menjadi daya
kekuatan sendiri. Kebersatuan mereka dalam dunia global menjadi semakin mening-
katkan kepercayaan dan kerja sama di antara mereka, seindah hubungan teman se-
jati. Lalu apakah hubungan ini juga seperti hubungan patron-klien? Mungkin, jika
patron klien dipahami dinamis, Ketergantungan gerakan Tarbiyah terhadap gerakan
IM di Mesir mungkin terjadi, artinya jika para aktivis gerakan Tarbiyah ingin
dikatakan dari bagian dari gerakan IM dengan gagasan yang sama maka tidak hanya
gagasan dan cara beraktivis yang harus diminta tetapi dukungan lain pun juga.
Namun, ibarat seorang penerjemah, aktivisme gerakan Tarbiyah mempunyai peran
ganda dan dilemma. Ia dapat saja menjadi penerjemah yang baik jika ia mampu
menggunakan wacana lokal, nasional, sekaligus transnasional. Ia juga harus
menerjemahkan dengan baik ide gagasan dari gerakan Tarbiyah jika aktivis mereka
ingin diklaim beridentitas sama dengan IM dan tidak dikatakan sebagai ambigu
dalam praktik akvisme gerakannya. Ini seperti yang diinginkan oleh Randi, mantan
aktivis gerakan tarbiyah yang keluar dari gerakan ini karena dianggap ambigu. Agar
terjadi kesamaan tentang mabda (ideologi) dan Manhaj (konsep)nya gerakan IM
maka mereka tidak boleh memutuskan hubungan pemahaman aktivis gerakan Tarbi-
yah tidak ambigu. Namun, identitas Tarbiyah akan menjadi identitas tersendiri yang
mungkin akan berbeda dengan Ikhwanul Muslimin jika memang para aktivis
gerakan Tarbiyah ingin mencipatkan identitas baru yang lebih terlihat lebih dari
sekedar resonansi.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 143

Seperti halnya konsepsi disonansi nampaknya gerakan Tarbiyah mencoba


mengkombinasikan beberapa gagasan IM dengan praktik gerakan Tarbiyah di Indo-
nesia sendiri tetapi belum ada semacam protes dari para aktivis gerakan Tarbiyah
terhadap gagasan gerakan IM di Mesir, jika pun ada itu justru diakui sebagai ‘man-
tan’ gerakan Tarbiyah sebagai kegagalan aktivis gerakan tarbiyah ketidakmampu-
annya untuk menerjemahkan mabda (ideologi) dan Manhaj (konsep) nya gerakan
IM sehingga serasa ambigu. Sentimen semacam itu mengidentifiaksi bahwa keha-
rusan aktivis gerakan Tarbiyah yang lebih banyak belajar lagi tentang gagasan IM
dengan ‘benar’. Variasi yang muncul gerakan IM misalnya di Aljazair, yang ada di
beberapa negara diakui karena latar belakang sejarah dan budaya.
Gerakan Tarbiyah di Indonesia bukan penganut arus besar madrasah hudaybiyah
yang tidak begitu radikal dengan komando gerakannya di Mesir dan bukan
madasrah quthbiyah yang radikal. Aktivis gerakan Tarbiyah di Indonesia nampak
seperti Ikhwan Hudaybiyah yang tetap mau menerima sebagian sistem modern,
seperti partai politik dan organisasi meskipun dengan cita-cita politik Islam tanpa
kompromi, yaitu Daulah Islamiyah. Namun, cara yang di tempuh bersifat non
kekerasan dan terlihat masih tersamar. Mereka memanfaatkan instrumen demokrasi
untuk mewujudkan cita-cita gerakan.
Selain itu, para aktivis inti dengan metode salah sau dengan liqo nya terus senantiasa
mengupayakan aktivisme gerakannya selaras dengan pemikiran IM dan bukan men-
ampakkan bukan perwujudan ketidaksesuaian dengan IM di Mesir. Jikapun strategi
yang digunakan berbeda bukan dalam bentuk defleksi, simpulannya tetap memung-
kinkan untuk sejajar dengan ideologinya. Jika pun memang memungkinkan perlu
dibuktikan dengan penelitian yang mengisyaratkan adanya penyimpangan, perbe-
daan mendasar kedua hal. Ideologi menjadi proses bingkai yang senatiasa dilakukan
sebagai upaya hegemoni terjadi, membangun semangat dan motivasi untuk proses
mobilisasi massa,

5. KESIMPULAN
Wacana gerakan Islam akan terus muncul karena akan terus menarik untuk dikaji. Gerakan
Tarbiyah adalah salah satu wujud praksis di mana wacana itu muncul dalam globalisasi.
Seperti udara, gerakan semacam ini sulit diprediksikan kapan berakhirnya tetapi akan se-
makin lebih mudah jika kita mampu memahami efek dari konsep resonansi.
Resonansi meskipun nampak seperti konsep alamiah, tetapi dalam praktiknya dapat didopsi
dalam kajian ilmu sosial budaya. Dalam pemahaman terhadap konsep tersimpan banyak re-
fleksi dari para aktivis dan para peneliti untuk mencoba memperkaya konsep ini. Resonansi
meskipun seringkali tidak dapat dilepaskan dengan konsep disonansi karena ada banyak hal
yang memungkinkan tetapi untuk kasus gerakan Tarbiyah saat ini nampaknya resonansi
lebih memungkinkan untuk menjelaskan fenomena kemunculannya dan gerakannya.
144 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

DAFTAR REFERENSI
Adamec, Ludwig W. 1992. Historical Dictionary of Islam. United States of America: Scarecrow
Press, Inc.
Anderson, B. 1991. “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism”.
New York, Verso: 48-59.
Armajani, Jon. 2012. Modern Islamist Movements: history, religion, and politics. USA: Blackwell
Publishing
Berbrier Mitch. 1998. “Half the Battle’: Cultural Resonance, Framing Processes, and Ethnic
Affectations in Contemporary White Separatist Rhetoric.” Social Problems 45:431–50
Byman, Daniel. 2015. Al Qaeda, the Islamic State, and the Global Jihadist Movement. New York:
Oxford University Press
Castells, M. 2010. Volume II: The Power of Identity. 2nd Ed. West Sussex: Blackwell Publishing.
Coleman P. T., Mazzaro K., Ben-Yehuda R., Redding N., Burns D., Bartoli A., Yee A. 2014. “Reso-
nance in complex social systems”. Manuscript in preparation. Retrieved form Google Scholar on
……2017.
Cunningham, H. 1999. “The ethnography of transnational social activism: understanding the global
as local practice.” American Ethnologist 26 (3): 583-604.
Daniels, Timothy. P (Peny). Islamic Law and Sociological Processes. New York: Palgrave Macmillan
Merry, S. E. 2006. “Transnational Human Rights and Local Activism: Mapping the
Middle”, American Anthropologist 108 (1): 38-51
Moghadam, Valentine M., 2009. Globalization and Social Movements: Islamism, Feminism, And
The Global Justic Movement. United States of America: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Nuryaddin, Eko. 2005. Partai Keadilan Sejahterah: Studi Keterkaitan Antara Ikhwanul Muslimin
dengan Gerakan Tarbiyah. Skripsi. Depok: UI

Rosyad, Rifki. 1995. A Quest for True Islam: A study of the Islamic resurgance movement among the
youth in Bandung, Indonesia. Canberra: The Australian National University E- Press
Rubin, Barry. 2010. The Muslim Brotherhood: The Organization and Policies of A Global
Islamist Movement. The United State: Palgrave Macmillan
Saifuddin. 2011. “Radikalisme Islam Di Kalangan Mahasiswa (Sebuah Metamorfosa Baru)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Analisis”,Volume XI, Nomor 1, Juni 2011
Scott, J.C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Connecticut: Yale
University
Tarrow, S. G. 2011. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge:
Cambridge University Press. . 3rd Edision. Introduction; Contentious Politics and Social Move-
ments; Part I the birth of the modern Social Movement: hal 1 – 91.
Wilson, B. 2006. “Ethnography, the internet, and Youth Culture: Strategies for examining social
resistance and “online-offline” relationships” , Canadian Journal of Education 29 (1): 307-328.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 145

Yavuz, M. Hakan. 2013. Toward an Islamic Enlightenment: The Gülen movement. New York: Oxford
University Press
Zakariyya, Fouad. 2005. Myth and Reality In The Contemporary Islamist Movement London: Pluto
Press

https://satuislam.org/opini/agama-di-ruang-publik/ diakses pada tanggal 21 Juli 2017


https://profkomar.wordpress.com/2017/01/ diakses pada tanggal 10 Mei 2017
http://www.muslimat-nu.com/hti-studi-kasus-di-jawa-barat/ diakses pada tanggal 18 Juli 2017

BIOGRAFI PENULIS
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya disapa Irna lahir pada 8 September 1983.
Ia merupakan lulusan S1 dan S2 Antropologi Universitas
Indonesia (UI) dengan predikat cum laude. Kini, ia
melanjutkan S3 Antropologi UI kembali. Kajian yang
diminatinya adalah terkait dengan antropologi religi
khususnya gerakan sosial tema tesis S1 tentang Hizbut tah-
rir Indonesia (HTI) dan S2 tentang Himpunan Mahasiswa
Indonesia (HMI).
Sewaktu S1, ia aktif di dalam dan di luar organisasi kampus,
mengikuti kompetisi MaPres, FISIP Award, dan lomba
penulisan (esai) serta menjadi panelis (juri) di beberapa
kompetisi debat. Lulus S1, ia bekerja sebagai editor buku di
Penerbit Yudhistira Ghalia dan PustakaWidyautama. Di sela-sela itu ia mengajar di Univer-
sitas Jakarta dan berkesempatan menulis Buku Antropolgi untuk SMA. Kini ia bekerja di
institusi bidang kebudayaan, dengan rutinitasnya, meluangkan waktu menulis di blog dan
majalah/jurnal seperti Museografia, sesekali dilibatkan dalam penelitian terkait, dan mem-
bantu mengkoordinir kegiatan di unit kerjanya. Kini, harapannya, ia dapat meluangkan
kebersamaan dengan anak-anaknya yang masih kecil dan menambah referensi dengan Tugas
Belajar nya di S3 Antropologi UI.
146 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Kajian Faktor Kesiapan Lingkungan Dalam Rangka Peningkatan


Implementasi E-Goverment Indonesia Yang Lebih Baik

Rika Yuliana1
1
UIN Ar-Raniry, Kopelma, Darussalam, Banda Aceh
Email: 1rika.yuliana03@gmail.com

Abstrak
Sangat mengejutkan melihat fakta bahwa Indonesia menempati peringkat EGDI (E-Gover-
ment Development Index) ke 116 berdasarkan survey yang dilakukan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), turun 10 peringkat dari tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa
ada asumsi dan aktivitas implementasi yang belum tepat dalam proses transformasi digital
di Pemerintahan, khususnya dalam skala nasional. Oleh karena itu, artikel ini dibuat dengan
tujuan mengkaji kembali faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tersebut dengan
metode riset kepustakaan (library research), khususnya faktor-faktor kesiapan lingkungan,
sehingga dapat dijadikan pedoman oleh Pemerintah. Dengan asumsi dasar bahwa Indonesia
sebagai negara berkembang, maka dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen tersebut
terdiri dari kualitas sistem, politik, sosial, ekonomi, teknologi dan demografi. Dalam masing-
masing komponen tersebut mengandung beberapa variabel dan parameter yang digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai efisiensi dan efektifitas dari proses kesiapan lingkungan
dalam rangka pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia.
Kata kunci: Pengembangan Implementasi E-Goverment, Indonesia, Kesiapan Lingkungan
Abstract
It is very surprising to see the fact that Indonesia is ranked as the 116th of EGDI (E-Gov-
ernment Development Index) based on a survey conducted by United Nations (UN), moved
down 10 ratings from 2014. This indicates that there are improper implementation and ac-
tivities in the process of digital transformation in Government, especially on a national
scale. Therefore, this article was created with the aim of reviewing the influencing factors in
the process through library research method, especially the factors of environmental readi-
ness, so that it can be used as a guide by the Government. With the basic assumption that
Indonesia as a developing country, it can be concluded that these components consist of
system quality, politics, social, economics, technology and demography. In each component
contains several variables and parameters used as a benchmark to assess the efficiency and
effectiveness of the environmental preparedness process in order to develop the implemen-
tation of e-Government in Indonesian.
Keywords: development of the E-Goverment implementation, Indonesia, Environmental
Readiness
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 147

1. PENDAHULUAN
Lembaga-lembaga yang bernaung di bawah pemerintahan Indonesia dituntut mampu
menghasilkan layanan dan kebijakan kepada publik secara efektif, efisien, akuntabel dan
transparan melalui penerapan digital goverment (e-goverment) secara sinergis. Namun, In-
donesia menempati peringkat EGDI (E-Goverment Development Index) ke 116 berdasarkan
survey yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turun 10 peringkat dari ta-
hun 2014. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, akan tetapi belum memberikan
pengaruh positif terhadapnya karena tidak dilakukan secara bersinergi dan berkesinambun-
gan/bertahap (Yuliana, 2017). Oleh karena itu, artikel ini menitikberatkan pada upaya
peningkatan implementasi e-goverment di Indonesia ke arah yang lebih baik, khususnya
dalam hal kesiapan lingkungan pemerintahan.
Teknologi digital menawarkan peluang yang signifikan dan luas untuk membuat dunia men-
jadi tempat yang lebih baik, tetapi menyadari peluang tersebut berarti mengevaluasi tan-
tangan yang akan ditimbulkan oleh teknologi baru. Dengan memperhatikan posisi Indonesia
sebagai negara berkembang, beserta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam proses im-
plementasi e-goverment maka Indonesia perlu melakukan penyesuaian dalam menyusun
tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pemerintah dalam skala nasional. Jurriens & Tapsell
(2017) juga berpendapat bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meletakkan
gagasan "revolusi" teknologi ke dalam perspektif kritis dengan memposisikan realitas dunia
digital dalam konteks perpaduan antara lingkungan sosial-politik, budaya dan alam. Salah
satu tantangan terbesar di Indonesia adalah memastikan bahwa internet tidak semakin
mengarah pada masyarakat yang ‘terbagi-bagi’ (divide) dan tidak merata, karena pengguna
di daerah perkotaan dengan akses yang lebih baik ke internet berkecepatan tinggi beradaptasi
dengan dunia digital lebih cepat daripada sesama warga di daerah pedesaan. Tantangan lain
yang ditimbulkan oleh digitalisasi dalam bentuk konektivitas yang luas dan intensif adalah
dapat memunculkan informasi yang keliru, miskomunikasi dan perbedaan sosial-politik.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Wang, Sun & Yan (2012) membuktikan bahwa kapabilitas
tata kelola e-goverment, kesiapan lingkungan, dan dukungan organisasi berkorelasi positif
dengan efektivitas pelaksanaan e-goverment. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Gichoya (2005), Gil-Garcia (2005), Seddon (1997) melaporkan bahwa efektivitas penerapan
e-goverment mengacu pada kualitas sistem dan efisiensi dalam implementasi e-goverment
pada organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa efektivitas dari
pelaksanaan e-government dipengaruhi oleh berbagai faktor baik di dalam (internal) maupun
di luar (eksternal) organisasi.
Kesiapan lingkungan eksternal mengacu pada kesiapan faktor politik, sosial, ekonomi,
teknologi dan faktor lainnya di luar organisasi pemerintah. Seddon (1997), Gil-Garcia
(2005), Gichoya (2005), Kraemer (1979) dan Perry (1980) berpikir bahwa faktor eksternal
dibentuk oleh orientasi kebijakan pada otoritas yang lebih tinggi, yaitu pada tingkat ekonomi
regional, sehingga pengembangan standar teknis dan lainnya akan berdampak pada penera-
pan efektifitas teknologi informasi dalam organisasi pemerintah.
Tingkat dukungan lingkungan internal terhadap pelaksanaan e-government mengacu pada
148 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

tingkat dukungan dari kepala eksekutif, lingkungan manajemen informasi, sumber infor-
masi, dan berbagai personil manajemen di dalam organisasi pemerintah (Wang, Sun, & Yan,
2012). Kamal (2006) dan Svara (2008) berpendapat bahwa lingkungan organisasi internal
seperti dukungan dari semua jenis peran dalam organisasi dan status kepemilikan sumber
informasi dalam organisasi memiliki pengaruh penting terhadap efektivitas pelaksanaan e-
government.

2. KUALITAS SISTEM
Kualitas sistem dalam implementasi e-goverment terkait dengan tingkat/level hasil penguku-
ran berbagai komponen dari sistem tersebut terhadap parameter kualitas sistem (Tabel 1).
Adapun komponen sistem e-goverment terdiri dari Legal Framework untuk mendukung E-
Transactions, keamanan informasi, Application dan Services, teknologi dan metodologi
(Yung, 2003). Sedangkan ukuran parameter kualitas e-goverment terdiri dari Process
Performance, System Performance, Site Quality, Customer Satisfaction (Halaris, Magoutas,
Papadomichelaki, & Mentzas, 2007). Kondisi e-goverment yang berkualitas tercermin dari
e-goverment maturity level. Jika e-goverment maturity level tinggi, ini berarti implementasi
e-goverment tersebut memiliki standar kualitas yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Oleh
karena itu, peningkatan implementasi e-goverment harus dilakukan secara menyeluruh
dengan memperhatikan semua komponen/faktor yang terkait dalam sistem tersebut.

3. KESIAPAN LINGKUNGAN EKSTERNAL


Kesiapan lingkungan eksternal yang berkaitan dengan faktor politik, ekonomi, sosial,
teknologi dan demografi akan dijelaskan secara rinci beserta ukuran parameternya masing-
masing.

3.1 Politik
Tan, Zhao & Zhang (2016) menemukan bahwa implementasi teknologi informasi dalam
organisasi pemerintah adalah proses mikro politik dengan karakteristik situasional praktis
yang kuat. Yakni, berpusat pada proposisi organisasi untuk mengatasi ketidakpastian
teknologi informasi, pelaku inti dalam tingkat yang berbeda membentuk kognisi dasar
tentang teknologi informasi, dan melaksanakan interaksi strategis dalam hubungan
kekuasaan (power) yang kompleks, sehingga membentuk ruang lingkup aplikasi dan
pengaruh terhadap teknologi informasi. Bagi aktor yang berbeda, teknologi informasi
memiliki arti yang berbeda, sehingga dapat membentuk kognisi subyektif dan penilaian yang
berbeda.

Tabel 1. Penggerak Nilai, Dimensi Kualitas dan Level Analisis (Misuraca & Viscusi,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 149

2014)
Penggerak Nilai Dimensi Kualitas Level Analisis
Kinerja Efisiensi Legal framework
Layanan
Teknologi
Effektifitas Layanan
Organisasi
Openness Transparansi Layanan
Organisasi
Akuntabilitas Organisasi
Legal framework
Accessibility Organisasi
Informasi
Teknologi
Inclusion Accessibility Layanan
Teknologi
Equity Organisasi
Informasi

Kepemimpinan politik sangat mempengaruhi perkembangan implementasi e-goverment di


beberapa negara. Hal ini disebabkan olek kebijakan (policy) dan peraturan perundang-
undangan (legal) yang dibuat. Adapun peran dari politisi umumnya sebagai pengambil
keputusan melalui kebijakan dan peraturan menurut Omar, Weerakkody & Millard (2016),
secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
- Mengkaji bersama pengguna terkait transformasi yang diinginkan
- Membuat indikasi dari milestone proyek sehingga akan membantu semua pihak
untuk memiliki pemahaman yang sama terhadap kemajuan proyek dan tindakan
yang diperlukan
- Memiliki definisi pelaksana dan pengguna yang lebih luas, untuk memasukkan
semua aktor potensial dan juga mengukur persyaratan yang berbeda
- Melibatkan pelaksana dan pengguna dalam perancangan proyek, untuk
menghasilkan struktur dan pengambilalihan yang sesuai dengan rencana
- Mengembangkan pemahaman bersama antara pengambil keputusan, pelaksana dan
pengguna dengan cara memiliki sebuah platform komunikasi yang resmi
150 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

- Mengevaluasi dan mengenali tantangan potensial dalam program transformasi


dengan mengadakan proyek percontohan dan studi kelayakan sebelum pelaksanaan
proyek
- Menetapkan dukungan (contohnya informasi, teknologi, keterampilan) untuk
pelaksana dan pengguna
- Membuat kemitraan dengan instansi pemerintah daerah atau perwakilan dalam
mengembangkan program transformasi yang terkait dengan mereka untuk
meningkatkan pengambil-alihan dan pengaruh dari sumber daya selama proses
institusionalisasi
- Mempromosikan berbagi pengetahuan sebagai 'mekanisme belajar mandiri'.
- Menetapkan kesepakatan atau target dengan pelaksana tentang format, metodologi
dan deliverables dari program transformasi.
- Menentukan kepemilikan program.
3.2 Sosial
Pemerintah di seluruh dunia berusaha untuk memahami, memanfaatkan dan mengelola sis-
tem sosio-teknis secara proaktif agar lebih efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat. E-goverment harus memiliki potensi dan menjamin “sistem-sistem yang
bermunculan”, khususnya konsep “mesin sosial”, dalam rangka untuk lebih menanggapi si-
fat dinamis masyarakat dan untuk mengakomodasi kompleksitas dari interaksi dan jasa yang
dibutuhkan (Tiropanis, Rowland-Campbell, & Hall, 2014).
Singh (2013) mengatakan bahwa sistem sosio-teknik sebagai sistem cyber-fisik multipihak.
Gagasan-gagasan dari para pemangku kepentingan yang dimodelkan sebagai prinsipil
otonom berdasar pada norma-norma, yang diwakili secara komputasi sebagai agen yang
melakukan interaksi gabungan. Oleh karena itu, tata kelola diperlukan untuk
mempertimbangkan berbagai kepentingan (interest) dalam sistem e-goverment sehingga
mampu mengurangi terjadinya konflik. Secara umum, konsep ini dapat dilihat pada Gambar
1.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 151

Gambar 1. Model konseptual sederhana yang berpusat pada pemerintah (Singh, 2013)
Permasalahan sosial dalam e-goverment juga diperkuat dengan penrnyataan Grundén (2009)
bahwa peningkatan pengetahuan tentang aspek dan dampak sosial dapat diintegrasikan
dalam proses pengembangan dan implementasi oleh penyedia (serta kelompok kepentingan
lainnya), untuk menghindari masalah sosial terkait pelaksanaan e-Government. Dalam
konteks negara Indonesia, aspek sosial ini berkaitan dengan asas negara kita yang berbentuk
negara demokrasi. Gruden juga mengidentifikasi beberapa problem sosial yang terkait dalam
implementasi e-goverment:
1. Meningkatnya strategi dalam penanganan dan pelaksanaan oleh personil seiring
dengan meningkatnya stres/tekanan selama proses implementasi.
2. Kecenderungan meningkatnya kesenjangan digital internal dan eksternal antar
kelompok yang berbeda.
3. Meningkatnya fokus manajemen pada aspek efisiensi dalam membuat tujuan lain
sebagai tujuan sekunder (seperti kualitas layanan kepada klien dan kualitas situasi
kerja untuk staf).

3.3 Ekonomi
Faktor ekonomi secara keseluruhan terdiri dari dua komponen, yaitu ekonomi konvensional
dan ekonomi digital. Zhao, Wallis, & Singh (2015) menemukan bahwa faktor ekonomi yang
diukur melalui GNI perkapita dan secara signifikan mempengaruhi pengembangan
implementasi e-goverment, bukanlah faktor yang utama. Hal tersebut dapat disebabkan
faktor ekonomi dapat digantikan atau berperan secara tidak langsung terhadap
pengembangan e-goverment dibandingkan dengan faktor lain, yaitu efektivitas pemerintah,
usia penduduk, dan budaya. Dengan kata lain, kekayaan secara ekonomi belum tentu
mengarah pada pengembangan e-government. Fenomena ini mungkin mencerminkan sifat
multidimensional dari pengembangan e-government di mana banyak faktor cenderung
berperan dan beberapa lainnya lebih utama daripada yang lain. Disamping faktor ekonomi
152 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

konvensional, e-goverment juga dipengaruhi oleh beberapa variabel ekonomi digital (Tabel
2), antara lain: konektivitas dan infrastruktur teknologi; lingkungan bisnis; lingkungan sosial
dan budaya; lingkungan hukum; kebijakan dan visi pemerintah; dan daya serap konsumen
dan bisnis.
Tabel 2. Ringkasan Dari Ukuran-Ukuran Yang Digunakan Oleh EIU Untuk
Peringkat Ekonomi Digital
Variabel Indikator Utama
Konektivitas dan Penetrasi broadband, penetrasi ponsel, penetrasi pengguna
infrastruktur teknologi internet
Lingkungan bisnis Lingkungan makro ekonomi, peluang pasar, pasar tenaga kerja
Lingkungan sosial dan Tingkat pendidikan, tingkat kewiraswastaan dan inovasi,
budaya tingkat literasi internet
Lingkungan hukum Efektivitas kerangka hukum tradisional, hukum yang
mencakup internet
Kebijakan dan visi Belanja pemerintah untuk ICT sebagai bagian dari PDB,
pemerintah strategi pengembangan digital
Daya serap konsumen dan Penggunaan internet oleh konsumen, penggunaan layanan
bisnis online oleh warga negara dan pelaku usaha
Sumber: Economist Intelligence Unit (2010)

3.4 Teknologi
Keberhasilan implementasi e-government bergantung pada penilaian kesiapan dari aspek
teknologi guna merealisasikan manfaat e-government dan mengurangi potensi kegagalan
implementasi e-government. Faktor kesiapan dari teknologi untuk e-government adalah:
Software; perangkat keras; komunikasi; operasi; keamanan; dukungan teknis; tingkat
kesenjangan digital (digital divide); komputasi awan; pusat data; dan standar teknologi
informasi (Tabel 3). Diperkirakan bahwa faktor teknologi tersebut akan membantu
pemerintah untuk mengidentifikasi dan memahami aspek teknologi yang harus dipertim-
bangkan saat menilai situasi terkait dengan penerapan inisiatif e-government dari perspektif
teknologi. Selain itu, daftar faktor kesiapan teknologi dapat digunakan oleh perancang,
pengembang dan peneliti sebagai pedoman untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi
yang diperlukan untuk implementasi e-government. (M. Baeuo, Binti AB. Rahim, &
Alaraibi, 2017).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 153

Tabel 3. Faktor-Faktor Dari Teknologi Beserta Deskripsinya (M. Baeuo, Binti AB.
Rahim & Alaraibi, 2017)
Faktor-faktor Deskripsi
Teknologi

Software Program atau sumber daya soft computing yang tersedia melalui komputer
atau teknologi informasi dan komunikasi

Hardware Peralatan fisik komputer dan periferal yang terkait.

Communication Kumpulan link terminal yang terhubung untuk memungkinkan komunikasi


antara orang-orang. Hal ini dapat mendukung organisasi yang berusaha
untuk meningkatkan kehidupan dalam hal kekuatan komunikasi melalui
router dan server yang berdedikasi.

Operations Kumpulan proses yang menyediakan pekerjaan sehari-hari yang dibutuhkan


untuk memantau dan memelihara infrastruktur dan sistem operasi TIK
secara terus menerus.
Security Keamanan adalah tingkat resistensi terhadap, atau perlindungan dari, se-
rangan digital.
Technical Bantuan untuk individu yang memiliki masalah teknis dengan perangkat el-
support and ektronik seperti komputer dan produk perangkat lunak, dan keahlian teknis
expertise yang mencakup apapun dari tips dan saran hingga eksploitasi dan pengopti-
malan.

Digital divide Berarti kesenjangan antara orang-orang yang memiliki akses terhadap
teknologi dan mereka yang tidak.
Cloud computing Sebuah model untuk memberikan layanan teknologi informasi di mana sum-
ber dayanya diambil dari internet melalui alat dan aplikasi berbasis web,
bukan koneksi langsung ke server.

Data centers Sebuah repositori terpusat, baik fisik maupun virtual, untuk penyimpanan,
pengelolaan, dan penyebaran data dan informasi yang diatur berada di
sekitar body of knowledge tertentu atau yang berkaitan dengan bisnis ter-
tentu.

Standar Varietas dan perkembangan teknologi informasi yang terus berlanjut yang
Teknologi dapat menyebabkan berbagai organisasi berpotensi mengadopsi jenis
Informasi teknologi yang berbeda.
154 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.5 Demografi
Zhao, Wallis & Singh (2015) memverifikasi secara empiris bahwa faktor demografi yang
diukur berdasarkan struktur umur secara signifikan mempengaruhi perkembangan e-
government. Dengan kata lain, populasi orang dengan persentase yang tinggi antara usia 15
dan 64 adalah faktor kontekstual utama terhadap digitalisasi layanan pemerintah. Namun,
mereka tidak menemukan bahwa gender memiliki pengaruh signifikan terhadap
perkembangan e-government. Temuan yang tidak konsisten dari studi tersebut dapat
dijelaskan dengan perbedaan antara penggunaan Internet secara umum dan penggunaan e-
government serta faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya. Williams & Dwived (2007)
menyimpulkan bahwa karakteristik demografi seperti usia dan pendidikan memiliki peran
penting dalam membantu memahami tingkat adopsi dari layanan e-government yang
muncul. Temuan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa terdapat adopsi yang tidak setara
atau heterogen (atau perbedaan digital) dalam berbagai dimensi demografis termasuk usia
dan pendidikan.

4. PENGARUH FAKTOR KESIAPAN LINGKUNGAN UNTUK PENINGKATAN


IMPLEMENTASI E-GOVERMENT DI PEMERINTAHAN NASIONAL
INDONESIA
Kondisi pemerintahaan indonesia saat ini berada dalam tahap pengembangan menuju
implementasi e-goverment yang lebih baik. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah seperti membuat layanan-layanan konvensional menjadi
berbentuk digital. Namun demikian, sampai saat ini upaya tersebut belum memberikan hasil
yang memuaskan sebagaimana terlihat dalam peringkat EGDI. Hal tersebut disebabkan
karena kurangnya tingkat daya dukung dari faktor kesiapan lingkungan dalam proses
transformasi digital di Pemerintah Indonesia secara nasional. Oleh karena itu, Pemerintah
harus memperhatikan bagaimana tingkat kesiapan linkungan dapat meningkatkan
implementasi e-goverment di Indonesia dengan cara menelaah kembali bagaimana kualitas
sistem pemerintahan dan pengaruh faktor politik, sosial, ekonomi, teknologi dan demografi
dapat secara sinergi dan berkesinambungan dalam meningkatkan implementasi e-goverment
di Indonesia. Hal ini harus dilakukan secara menyeluruh oleh semua kementerian/lembaga
yang terkait agar dapat menyajikan informasi/layanan/kebijakan yang transparan dan
produktif. Apabila tingkat kesiapan lingkungan tinggi, maka Pemerintah dapat dengan
mudah mencapai tujuan tersebut.

5. KESIMPULAN
Faktor kesiapan lingkungan dalam pemerintahan skala nasional sangat berpengaruh terhadap
pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia. Dengan memperhatikan posisi
Indonesia sebagai negara berkembang, maka hal ini menjadi ciri khas tersendiri yang
membutuhkan pertimbangan khusus untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah sebagai
pondasi/asumsi dasar dari aktivitas pengembangan di masa depan. Komponen-komponen
dari faktor kesiapan lingkungan ini tidak bisa berdiri sendiri, mereka terkait satu sama lain
saling mendukung untuk mampu berkontribusi positif dalam pengembagan implementasi e-
goverment di Indonesia. Komponen-komponen tersebut terdiri dari kualitas sistem, politik,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 155

sosial, ekonomi, teknologi dan demografi. Dalam masing-masing komponen tersebut


mengandung beberapa variabel dan parameter yang digunakan sebagai tolak ukur untuk
menilai efisiensi dan efektifitas dari proses kesiapan lingkungan dalam rangka
pengembangan implementasi e-goverment di Indonesia.

DAFTAR REFERENSI
Gichoya, D. (2005). Factors Affecting The Successful Implementation Of ICT Projects In Goverment.
Electronic Journal Of E-Government 3(4), 175–184.
Gil-Garcia, J. P. (2005). E-government success factors: Mapping practical tools to theoretical
foundations. Government Information Quarterly 22(2), 187–216.
Grundén, K. (2009). A Social Perspective on Implementation of e-Government - a Longitudinal Study
at the County Administration of Sweden. Electronic Journal of e-Government Volume 7 Issue
1, 65-76.
Halaris, C., Magoutas, B., Papadomichelaki, X., & Mentzas, G. (2007). Classification and synthesis
of quality approaches in e-government services. Internet Research, 378-401.
Jurriens, E., & Tapsell, R. (2017). Challenges and Opportunities of The Digital 'Revolution' in
Indonesia. In E. Jurriens, & R. Tapsell, Digital Indonesia: Connectivity and Dovergence (pp.
1-20). Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Kamal, M. (2006). IT innovation adoption in the government sector: identifying the critical success
factors. Journal of Enterprise Information Management 19(2), 192–222.
Kraemer, K. P. (1979). The federal push to bring computer applications to local goverments. Public
Administration Review, 260–270.
M. Baeuo, M. O., Binti AB. Rahim, N. Z., & Alaraibi, A. A. (2017). Technology FactorsInfluencing
E-Goverment Readiness. Journal of Theoretical and Applied Information Technology Vol 95
no.8, 1637 -1645.
Misuraca, G., & Viscusi, G. (2014). Digital governance in the public sector: challenging the policy-
maker's innovation dilemma. 8th International Conference on Theory and Practice of
Electronic Governance (pp. 146-154). Guimaraes, Portugal: ACM.
Omar, A., Weerakkody, V., & Millard, J. (2016). Digital-enabled Service Transformation in Public
Sector: Institutionalization as a Product of Interplay Between Actors and Structures During
Organisational Change. 9th International Conference on Theory and Practice of Electronic
Governance (pp. 305-312). Montevideo, Uruguay: ACM.
Perry, J. D. (1980). The Adoptability of Inno Va Tions: An Empirical Assessment of Computer
Applications in Local Governments. Administration & Society 11(4), 461.
Seddon, P. (1997). A respecification and extension of the DeLone and McLean model of IS Success.
Information Systems Research 8(3), 240–253 .
Singh, M. P. (2013). Norms as a basis for governing sociotechnical systems. ACM Transactions on
Intelligent Systems and Technology (TIST) , Volume 5 Issue 1 Article no.21.
Svara, J. (2008). Strengthening Local Government Leadership and Performance: Reexamining and
Updating the Winter Commission Goals. Public Administration Review 68, 537–549.
156 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tan, H., Zhao, X., & Zhang, N. (2016). Technology Symbolization: Exploring the Political
Mechanism of IT Implementation in Local e-Government Projects. 17th International
Digital Government Research Conference on Digital Government Research (pp. 12-19).
Shanghai, China: ACM.
Tiropanis, T., Rowland-Campbell, A., & Hall, W. (2014). Government as a Social Machine in an
Ecosystem. 23rd International Conference on World Wide Web (pp. 903-904). Seoul, Korea:
ACM.
Wang, T., Sun, B., & Yan, Z. (2012). IT Governance: The Key Factor of E-Government
Implementation in China. In Z. D. Shaw M. J., Web-Enabled Convergence of Commerce,
Work and Social Life. WEB 2011. Lecture Notes in Business Information Processing (Vol.
108, pp. 274-285). Berlin, Heidelberg: Springer.
Williams, M., & Dwived, Y. (2007). The Influence of Demographic Variables on Citizens' Adoption
of E-Government. Americas Conference on Information Systems (p. 309). AIS Electronic
Library (AISeL).
Yuliana, R. (2017). Prinsip Dasar Tata Kelola TIK di Pemerintahan Tingkat Nasional Indonesia. In A.
A. all, Bunga Rampai Semangat Publikasi Dalam Membangun Peradaban Negeri (pp. 186-
194). Jawa Timur: Penerbit Wade.
Yung, M. (2003, June 3). e-Government System - A Practitioner Perspective. Retrieved September
11, 2017, from isaca: http://www.isaca.org.hk/document/cisa_slide/ISACA%20e-
gov%20seminar/
Zhao, F., Wallis, J., & Singh, M. (2015). E-government development and the digital economy: a
reciprocal relationship. Internet Research, Vol. 25 Issue: 5, 734-766.

BIOGRAFI PENULIS
Rika Yuliana, MT
Rika Yuliana menyelesaikan studi tingkat master bidang
Teknik Informatika di Institut Teknologi Bandung pada
tahun 2012 dan sarjana bidang Teknologi Industri Pertanian
di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Saat ini aktif
menjadi staf pengajar dan peneliti di Fakultas Sains dan
Teknologi (FST) Universitas Islam negeri (UIN) Ar-Raniry
Banda Aceh. Bidang riset yang dilakukan antara lain
Arsitektur Teknologi Informasi di Organisasi baik
Perusahaan maupun Pemerintahan.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 157

Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Ekstrak Metanol


Daun Kemangi (Ocimum Citriodorum)

Yusnita Rifai1,Mirna Makmur1 Mufidah2


1
Laboratorium Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin
2
Laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin
email : 1yusnita@fmipa.unhas.ac.id

Abstrak
Nanopartikel perak telah disintesis menggunakan metode reduksi. Dalam penelitian ini,
ekstrak metanol daun Kemangi (Ocimum citriodorum) digunakan sebagai agen pereduksi
untuk prekursor AgNO3. Sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan mencampurkan laru-
tan AgNO3 1mM dengan filtrat ekstrak daun kemangi. Hasil karakterisasi UV-Vis menun-
jukkan bahwa nilai absorbansi meningkat dengan meningkatnya waktu kontak reaksi. Pun-
cak absorbansi spektrum UV-Vis dari sampel biosintesis nanopartikel perak berkisar pada
427-439 nm selama 1 hari dengan pengadukan dan penyimpanan. Ukuran nanopartikel perak
ditentukan menggunakan Pengukur Ukuran Partikel (PSA) dengan rata-rata distribusi uku-
ran partikel sebesar 57,38 nm. Efek mekanik dalam proses biosintesis nanopartikel perak
cenderung mempercepat pembentukan nanopartikel perak. Hasil karakterisasi menggunakan
Difraksi Sinar-X (XRD) diketahui kristalit yang terbentuk memiliki intensitas terbesar pada
sudut 38° dengan nilai FWHM 0,66310 (ukuran 0,3 nm) dalam sistem kristal kubik.
Kata kunci: Biosintesis, Nanopartikel Perak, Ocimum citriodorum, Karakterisasi

Abstract
Synthesis of silver nanoparticles by using the reduction method with methanol extract basil
(Ocimum citriodorum) leaves, which acted as a reducing agent for AgNO3 precursor have
been conducted. Synthesis nanoparticles was carried out by mixing the solution of AgNO 3
1mM with filtrate extract of Ocimum leaves. The results of characterization showed that
absorbance values increased with the increase in reaction time. Peak of UV-Vis absorption
spectrum of biosynthesis sample of silver nanoparticles with stirring and storage each at a
wavelength 427-439 nm for 1 day. Silver nanoparticles size was determined by using PSA
(Particles Size Analyzer) with an average particle size distribution of 57,38 nm. Mechanical
effect in biosynthesis process of silver nanoparticles tends to speed up the formation of silver
nanoparticles. The result of characterization by using X-Ray Diffraction (XRD) described
that the formed crystal had the angle of 38° with the value of FWHM 0,66310 (sixe 0.3 nm)
in cubic crystal system.
Key word: Biosynthesis, Silver Nanoparticles, Ocimum citriodorum, Characterization.
158 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN
Selama satu dekade terakhir ini, penelitian di bidang nanopartikel menjadi topik yang sangat
populer. Nanopartikel adalah partikel yang sangat halus berukuran orde nanometer atau
partikel yang ukurannya dalam interval 1-100 nm dan minimal dalam satu dimensi. Nano-
partikel tersebut dapat berupa logam, oksida logam, semikonduktor, polimer, material kar-
bon, senyawa organik, dan biologi seperti DNA, protein, atau enzim (1).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk sintesis nanopartikel, diantaranya dari logam
mulia, seperti emas, perak, dan platina (2). Nanopartikel perak merupakan salah satu logam
yang paling intensif dikaji pada bidang nanoteknologi karena telah diketahui efektif untuk
aplikasi biomedis (3). Aplikasi nanopartikel perak dalam bidang medis akhir-akhir ini ban-
yak dikembangkan berkaitan dengan sifat antimikroba (4). Nanopartikel perak umumnya
lebih kecil dari 100 nm dan mengandung 20-15.000 atom. Pada skala nanometer, perak
memiliki sifat fisik, kimia dan biologis yang khas dan aktivitas anti bakteri (5).

Secara garis besar, sintesis nanopartikel perak dapat dilakukan dengan metode top-down
(fisika) dan metode bottom-up (kimia). Metode top-down yaitu reduksi ukuran partikel men-
jadi nanopartikel secara mekanik. Sedangkan metode bottom-up dimulai dari molekul-
molekul yang direaksikan atau dikembangkan menjadi nanopartikel (6).

Selama satu dekade ini, mulai dikembangkan pemanfaatan agen biologis seperti tanaman
dan mikroorganisme untuk sintesis nanopartikel logam. Sintesis nanopartikel logam
menggunakan mikroorganisme memiliki kelemahan, seperti pemeliharaan kultur yang sulit
dan waktu sintesis yang lama. Sedangkan sintesis menggunakan ekstrak tanaman saat ini
banyak dimanfaatkan (7). Keuntungan menggunakan tanaman untuk sintesis nanopatikel
yaitu mudah tersedia, aman untuk ditangani, dan dapat menjadi produksi nanopartikel yang
ramah lingkungan karena mampu meminimalisir penggunaan bahan-bahan anorganik yang
berbahaya dan sekaligus limbahnya (8).

Beberapa tanaman yang berhasil digunakan untuk sintesis nanopartikel misalnya getah
Jatropha curcas (9), ekstrak daun Acalypha indica (10), dan ekstrak daun selasih Ocimum
basillicum (11) untuk sintesis nanopartikel perak. Metode tersebut ternyata dapat menjadi
alternatif produksi nanopartikel yang ramah lingkungan, biaya rendah, dan tidak perlu
tekanan energi, dan temperatur yang tinggi, serta tidak perlu bahan kimia yang beracun (12).

Peneliti sebelumnya melakukan penelitian tentang sintesis nanopartikel logam dengan me-
manfaatkan tanaman yang berperan sebagai pereduksi, seperti daun Mimba (Azadirachta
indica) yang mengandung flavonoid atau terpenoid yang terabsorbsi pada permukaan na-
nopartikel logam (13).Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tana-
man Kemangi (Ocimum citriodorum) yaitu berupa senyawa flavonoid, saponin, polivenol
dan minyak atsiri (14).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah yang timbul apakah metode yang
digunakan mampu mereduksi ukuran nanopartikel perak. Untuk itu telah dilakukan sintesis
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 159

nanopartikel perak menggunakan ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum citriodorum)


dengan tujuan untuk mensintesis nanopartikel perak sehingga dapat digunakan untuk proses
uji aktivitas antibakteri, bioavailabilitas dan formulasi.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pengaduk, beaker gelas, botol
semprot, cawan petri, cawan porselin, corong, erlenmeyer, gelas arloji, gelas ukur, kamera
digital, kuvet, pipet tetes, pot sampel, sendok tanduk, vial, timbangan analitik serta alat-alat
ukur seperti Spektrofotometer UV-Vis, Particle Size Analysis (PSA) dan X-Ray Diffraction
(XRD)

Bahan yang digunakan adalah aquadest, air irigasi, ekstrak serbuk kering daun kemangi
(Ocimum citriodorum), kertas saring Whatman no. 1, perak nitrat (AgNO3).

2.2 Metode Kerja


2.2.1 Persiapan Sampel
Sampel yang digunakan diperoleh dari ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum cotrio-
dorum). Ekstrak metanol daun kemangi (Ocimum citriodorum) adalah koleksi Laborato-
rium Biofarmaka Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin dalam bentuk ekstrak serbuk
kering.
2.2.2 Pembuatan Larutan Stok 1 mM AgNO3 (8)
Larutan stok AgNO3 1 mM dibuat dengan menimbang 0,085 g serbuk AgNO 3 (Dhucefa
Biochemies), kemudian dilarutkan ke dalam 500 mL air irigasi lalu dikocok. Selanjutnya,
larutan perak nitrat dapat digunakan langsung atau disimpan dalam lemari es ketika tidak
dipakai.
2.2.3 Pembuatan filtrate ekstrak daun kemangi (11)
Ekstrak serbuk kering daun kemangi ditimbang sebanyak 10 gram, lalu ditambahkan 100
ml aquades dalam erlenmeyer kemudian dipanaskan selama 10 menit pada suhu 800C.
Setelah mencapai waktu yang ditentukan air pemanasan dituang dan disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman No. 1. Filtrat air selanjutnya disimpan selama 1
hari.
2.2.4 Sintesis nanopartikel perak (2,11)
Sebanyak 90 ml larutan AgNO 3 1 mM dicampurkan dengan 10 ml filtrat esktrak daun
kemangi dalam erlenmeyer. Campuran filtrat ekstrak kemangi dan AgNO 3 diaduk dengan
magnetik stirrer selama 1-2 jam (8). Larutan perak yang dihasilkan menunjukkan ter-
bentuk nanopartikel perak. Inilah yang diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis. Selan-
jutnya larutan warna coklat ditampung, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5000
160 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

rpm selama 20 menit dan suspense yang dihasilkan didispersikan kembali dalam 10 ml
air suling steril. Proses sentrifugasi dan pendispersian diulang sebanyak tiga kali. Enda-
pan dan supernatan kemudian diliofilisasi untuk mendapatkan serbuk kering. Nano-
partikel kering yang diperoleh digunakan untuk pengukuran pada X-Ray Difraction
(XRD).
2.2.5 Pengukuran dengan Spektrofotometer UV-Vis
Pengukuran spektroskopi UV-Vis dilakukan untuk melihat serapan-serapan utama dari
senyawa nanopartikel yang terbentuk. Setelah 1 jam, 2 jam (saat pengadukan) dan setelah
disimpan selama 24 jam. Nanopartikel perak yang terbentuk pada spektrum UV-Vis be-
rada pada kisaran panjang gelombang 400 – 500 nm (31).
2.2.6 Pengukuran dengan Particle Size Analyzer (PSA)
Uji ukuran partikel dilakukan menggunakan mikroskop digital serta pengujian Particle
Size Analyzer (PSA). Sampel larutan diambil kemudian dimasukan ke dalam tabung
dengan tinggi larutan maksimum 15 mm. Lalu sampel diukur distribusi diameternya
menggunakan VASCO Nano Particle Analyzer.
2.2.7 Pengukuran dengan X-Ray Diffraction (XRD)
Setelah terbentuk serbuk nanopartikel, struktur dan komposisi nanopartikel perak dapat
dianalisis dengan XRD. Pengukuran dilakukan pada 2θ. Ukuran kristal diperoleh dari
lebar puncak difraksi sinar-X, menggunakan rumus Debye Scherrer’s
Keterangan:
D : rata-rata ukuran kristal tegak lurus yang mencerminkan puncak XRD
λ : panjang gelombang sinar-X (1,54056 Å)
β : total lebar pada setengah maksimum (FWHM)
θ : sudut difraksi
2.2.8 Pengumpulan dan Analisis Data
Data berupa retensi waktu, λ max dari spektrum UV-Vis, distribusi ukuran partikel dari
PSA dan lebar puncak dari XRD dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan
software MATCH.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini dilakukan sebagai pemodelan untuk mereduksi ukuran ekstrak serta menge-
tahui kemampuannya dalam mensintesis nanopartikel perak (NPP) terhadap ekstrak metanol
daun kemangi (Ocimum citriodorum). Ekstrak yang dipilih berdasarkan penelitian sebe-
lumya tentang sintesis nanopartikel perak menggunakan air rebusan ekstrak daun selasih
(Ocimum basillicum). Diharapkan ekstrak yang dipilih dari spesies Ocimum lainnya dapat
memiliki potensi yang sama (11).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 161

Tahapan awal dalam penelitian ini adalah pembuatan nanopartikel perak dengan memanfaat-
kan ekstrak sebagai reduktor. Sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan mencampurkan
larutan AgNO3 1 mM dengan filtrat ekstrak daun kemangi pada perbandingan 1:9.

Gambar 1. Sebelum pencampuran; (a) larutan AgNO3 1mM; (b) filtrat ekstrak daun kemangi

Terbentuknya nanopartikel perak secara umum ditandai dengan adanya perubahan warna
bening menjadi kuning hingga coklat pekat dari waktu ke waktu (9,13). Larutan AgNO 3
dengan filtrat ekstrak metanol daun kemangi pada awal pencampuran (5 menit) berwarna
kuning terang.Setelah pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 1 jam dan 2 jam
warna larutan berubah. Seiring berjalannya waktu, proses perubahan warna terlihat lebih
jelas setelah disimpan selama 24 jam. Perubahan warna yang terjadi pada proses pencampu-
ran AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi disebabkan karena proses reduksi ion perak,
sehingga terbentuk nanopartikel perak (Gambar 1).
5 menit 1 jam 2 jam 24 jam

Gambar 2. Proses perubahan warna dari waktu ke waktu pada sintesis nanopartikel perak dari
campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi; (a) campuran pada waktu 5 menit per-
tama, (b) proses pengadukan selama 1 jam, (c) proses pengadukan selama 2 jam, (c) penyimpanan
selama 24 jam.

Terbentuknya nanopartikel perak tidak hanya ditandai dengan perubahan warna larutan, na-
mun juga dengan munculnya puncak absorbansi pada kisaran λmaks 400-500 nm pada
spektrum UV-Vis (15). Karakterisasi spektrum serapan nanoparikel perak dilakukan seiring
orde waktu saat 5 menit, pengadukan selama 1 jam, 2 jam, dan disimpan selama 24 jam
setelah pencampuran.
162 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Berdasarkan spektrum absorbansi UV-Vis, larutan AgNO3 1 mM sebelum direaksikan mem-


iliki puncak spektrum pada daerah 263 nm, sedangkan filtrat ekstrak metanol daun kemangi
hanya memiliki puncak spektrum pada daerah 291 nm (Gambar 2).

Gambar 3. Hasil spektrum UV-Vis AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi saat sebelum
pencampuran

Setelah kedua larutan dicampurkan, pada saat 5 menit pencampuran, absorbansi pada daerah
400-500 nm belum terbentuk. Setelah mengalami proses pengadukan selama 1 jam, 2 jam
dan penyimpanan selama 24 jam spektrum absorbansi semakin meningkat masing-masing
pada daerah 427 nm, 431 nm, dan 439 nm (Gambar 3).

Gambar 4. Hasil spektrum UV-Vis pencampuran AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi pada saat
pengadukan 1 jam, 2 jam dan penyimpanan 24 jam
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 163

Hasil tersebut sesuai dengan hasil pada daerah absorbsi nanopartikel perak (15). Waktu
reaksi sangat mempengaruhi nanopartikel perak yang terbentuk. Absorbansi semakin mem-
besar dengan pertambahan waktu. Besar absorbansi berhubungan dengan jumlah nano-
partikel perak yang terbentuk, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses reaksi pemben-
tukan nanopartikel perak dengan metode biosintesis menggunakan filtrat daun kemangi
mempunyai orde waktu (8).
Konfirmasi terbentuknya NPP berdasarkan korelasi λmaks pada spektrum UV-Vis juga
dipastikan dengan menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) (Gambar 4).

Tabel 1. Analisis hasil spektrum UV-Vis nanopartikel perak ekstrak daun kemangi
164 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5. Hasil distribusi nanopartikel perak menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
Berdasarkan Gambar 5, terbukti bahwa terdapat korelasi antara λmaks dengan ukuran
nanopartikel perak. Dari spektrum absorbansi nanopartikel perak hasil sintesis, diperoleh
panjang gelombang pada absorbansi maksimum 423-441 nm, diperkirakan memiliki ukuran
partikel 50-60 nm (16). Hasil spektrum campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun
kemangi memiliki panjang gelombang maksimum 427-439 nm dengan hasil analisis PSA
selama 1 hari, diketahui rata-rata distribusi ukuran partikel sebesar 57,38 nm.
Pengujian XRD dilakukan untuk memperoleh data kualitatif dan kuantitattif dari sampel uji
nanopartikel perak. Dengan pengujian difraksi sinar-X dapat diketahui struktur kristal,
menganalisis komposisi fasa, ukuran dan bentuk kristal, dan bidang kisi dari suatu sampel.
Sampel uji XRD meliputi sampel hasil proses pengeringan (Freeze dryer) dari supernatan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 165

dan endapan hasil sentrifus pencampuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi
dan digunakan sampel awal berupa serbuk kering ekstrak daun kemangi sebagai pemband-
ing.
Untuk pengujian XRD dibutuhkan sampel berupa serbuk minimal 500 mg. Dengan menge-
tahui posisi 2θ pada tiap puncak yang terdeteksi oleh XRD, maka dapat diketahui senyawa
apa yang terbentuk dari hasil sintesis yang dilakukan. Dengan menggunakan program Match
Yang menggunakan Crystallography Open Database (COD) sebagai referensi database kisi
kristal berbagai senyawa, maka diperoleh nilai 2 theta yang bersesuaian untuk masing-
masing kristal. Dengan menggunakan panjang gelombang yang disesuaikan dengan alat
XRD yaitu sebesar 1,5406 Angstrom.
Salah satu karakteristik pola difraksi sinar-X dimana material menunjukkan sifat kekrista-
lannya adalah bentuk puncak difraksi yang tinggi dan tajam, sedangkan untuk material yang
bersifat amorf, bentuk puncak difraksi akan cenderung melebar. Dari hasil difraktogram
sampel ekstrak awal, terlihat dari hasil peaknya masih dalam bentuk amorf, sedangkan untuk
supernatan dan endapan hasil sentrifus campuran larutan AgNO3 dan filtrat ekstrak daun
kemangi terlihat bahwa peak yang terbentuk dalam bentuk kristal (Gambar 6).

Gambar 6. Difraktogram XRD; ekstrak awal daun kemangi, supernatan dan endapan hasil pen-
campuran AgNO3 dan filtrat ekstrak metanol daun kemangi

Dengan analisis data menggunakan program Match dari XRD menunjukkan bahwa kristal
pada endapan kemangi terdeteksi adanya senyawa logam perak (Ag) sedangkan pada su-
pernatan tidak terdeteksi adanya perak (Ag). Hal tersebut terbukti dari kemunculan pun-
cak-puncak difraksi dengan bidang hkl (Indeks Miller) (111), (200), (202), dan (311)
(Gambar 7).
166 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 7. Pola peak fasa Ag dengan bidang hkl dari endapan hasil sentrifus campuran larutan
AgNO3 dan filtrat ekstrak daun kemangi dari data XRD

Dari data XRD dapat diketahui juga nilai FWHM (Full Width of Half Maksimum) yang
merupakan lebar puncak pada setengah maksimum dan sudut yang terbentuk
Tabel 2. Analisis data XRD dan ukuran kristal pada endapan hasil sentrifus campu-
ran larutan AgNO3 + filtrat ekstrak daun kemangi

Kristalit dengan intensitas terbesar untuk keseluruhan data terdeteksi pada sudut 38° dengan
nilai FWHM 0,66310. Dari hasil analisis data tersebut dapat dihitung ukuran kristal
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 167

menggunakan persamaan Scherrer. Didapatkan ukuran kristal nanopartikel perak dari inten-
sitas yang tertinggi yaitu sebesar 0,3 nm (Tabel 2).

4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa nopartikel perak (NPP) dapat dis-
intesis dengan metode reduksi menggunakan ekstrak serbuk kering daun kemangi (Ocimum
citriodorum). Ukuran kristal nanopartikel perak dengan peak yang tertinggi yaitu 0,3 nm
dengan sistem kristal berbentuk kubik.

DAFTAR REFERENSI
Anonim. Determinasi Tanaman. Kota batu. UPT Materia Medica Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Ti-
mur. 2012
Bar, H., Bhui, D. K., Sahoo, G.P., Sarkar, P., De, S. P. Dan Misra, A. Green synthesis of silver na-
noparicles using latex of Jatropha curcas. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and
Engineering Aspects,. 2009. 339. Hal. 134–139
Chudasama, B. Vala, A.K. Andhariya, N. Mehta, R.V. Upadhyay, R.V. Highly bacterial resistant
silver nanoparticles: synthesis and antibacterial activities, J Nanopart Res. (12). Hal. 2861–
2868
Duran, N. Antibacterial Effect of Silver Nanoparticles Produced by Fungal Process on Textile Fabrics
and Their Effluent Treatment. Journal of Biomedical Nanotechnology, Vol 3. 2007. Hal. 203–
208
Elumalai, E.K., et al. A Bird’s Eye View on Biogenic Silver Nanoparticles and Their Applications.
Der Chemica Sinic. 2011. 2 (2). Hal. 88–97
Handayani, W., et al. Potensi Ekstrak Beberapa Jenis Tumbuhan sebagai Agen Pereduki untuk Bi-
osintesis Nanopartikel Perak. Seminar Nasional Biologi, Fakultas Biologi UGM. Bandung.
2010. Hal. 15
Korbekandi, H and Siavash Iravani. Silver Nanoparticles. Isfahan University of Medical Sciences.
Iran. 2012. Hal. 3
Krishnaraj, C., Jagan, E.G., Rajasekar, S., Selvaumar, P., Kalaichelvan , P.T., Mohan, N., Synthesis
of silver nanoparticles using Acalypa Indica leaf extracts and its antibacteial activity against
water borne pathogenesis. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces. 2010. 76. Hal. 50–56
KS, Mukunthan, Elumalai EK, Trupti N Patel, and V Ramachandra Mutty. Catharanthus roseus: a
natural source for the synthesis of ilver nanoparticles. Asian Pacific Journal of Tropical Bio-
medicine. 2011. 1(4). Hal. 270-274
Leela, A. Dan Vivekanandan, M. Tapping the unexploited plant resources for the synthesis of silver
nanoparticles. African Journal of Biotechnology. 2008. Hal. 3162–3165
Nagarajan, R. and T.A. Hatton (eds.). Nanoparticles: Synthesis, Stabilization, Passivation, and Func-
tionalization. DC: American Chemical Society. Washington. 2008. Hal. 1–14.
Shankar, S.S., Rai, A., Ahmad, A., dan Sasty, M. Rapid synthesis of Au, Ag, and bimetallic Au core-
Ag shell nanoparticles using Neem (Azadirachta indica) leaf broth. Journal of colloid and
interface science. 2004. 275(4). Hal. 496–502.
Sivaranjani, K and M. Meenakshisundaram. Biological synthesis of silver nanoparticles using Oci-
mum Basillicum leaf extract and their antimicrobial activity. International Research Journal
of Pharmacy. 2013. 4(1). Hal. 225–229
168 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Skoog, D. A., West, D. M., dan Holler, F. J. Fundamentals of Analytical Chemistry. Edisi ke-7.
Sounders College. USA. 1996. Hal. 22–26
Solomon, S.D., M. Bahadory., A.V. Jeyarajasingam., S.A. Rutkowsky. C. Boritz., and L. Mulfinger.
Synthesis and study of silver nanoparticles. Journal of Chemical Education. 2007. 84(2). Hal.
322–325.
Theivasanthi, T and M. Alagar. Journal: Anti-bacterial Studies of Silver Nanoparticles. India. 2008.
Hal. 1–5

BIOGRAFI PENULIS
Yusnita Rifai, M.Pharm., Ph.D., Apt.
Penulis menyelesaikan S2 dan S3 masing-masing di Flinders Univer-
sity (Australia) dan Chiba University (Japan) dan memiliki kompe-
tensi keilmuan bidang sintesis obat terkait natural product chemistry.
Materi biosintesis nanopartikel adalah salah satu roadmap yang telah
dikembangkan oleh laboratorium kimia farmasi fakultas farmasi Uni-
versitas Hasanuddin sejak tahun 2012.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 169

Pengembangan Vaksin Hepatitis B Generasi Ke Tiga dan Vaksin


Terapi Berbasis Protein Rekombinan
Subunit Indonesia

Neni Nurainy1,2,3) Dicky M. Taryono1) Acep R. Wijayadikusumah1) Eka Ramadhani1) Faisal


Assegaf1)
David H. Muljono Turyadi 4) Meta Dewi Tedja4) Susan Irawati4)
4)

Tarwadi5) Danang Waluyo 5) Vanny Narita5,6)


Ernawati Arifin Giri Rahman7) Debbie Soffie Retnoningrum7) Dessy Natalia7)
Fernita Puspasari7)
1)
PT. Bio Farma (Persero), Jalan Pasteur No. 28, Bandung, Jawa Barat 40171, Indonesia.
2)
ForMIND Institute, Jalan Dago Barat, Bandung, Jawa Barat
3)
ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia), Jalan Medan Merdeka Sel. No 11, Gambir,
DKI Jakarta 10110
4)
Lembaga Eijkman, Jl. P. Diponegoro No.69, RW. 5, Kenari, Senen, RW.5, Kenari, Senen,
Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430, Indonesia.
5)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl. M.H. Thamrin No.8,
RT.8/RW.10, Kp. Bali, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10340, Indonesia.
6)
Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), Jl. Hang Lekiu I No.6A Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120, Indonesia.
7)
Institut Teknologi Bandung (ITB), Jl. Ganesha No.10, Lb. Siliwangi, Coblong, Bandung,
Jawa Barat 40132, Indonesia
email : 1nur.ainy@biofarma.co.id,

Abstrak
Dalam rangka penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) melalui peningkatan sinergi,
produktivitas, dan pendayagunaan sumberdaya litbang nasional, serta peningkatan peran
sektor produksi/swasta dalam program litbang terutama dalam bidang kesehatan, telah ter-
bentuk konsorsium riset vaksin Hepatitis B (Hep B). Konsorsium ini merupakan kolaborasi
dari beberapa institusi yang terdiri dari PT Bio Farma (Persero), Lembaga Eijkman, Pusat
Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, dan ITB. Pengembangan dan produksi vaksin Hepa-
titis B generasi ke tiga dan vaksin terapi berbasis protein subunit rekombinan ini adalah
kegiatan multi-years. Konsorsium Hep B melakukan pengembangan lanjut dari hasil
penelitian sebelumnya (periode tahun 2012-2014) yang telah menghasilkan vaksin generasi
ke dua Hepatitis B berupa small Hepatitis B antigen (sHBsAg). Penelitian dimulai pada ta-
hun 2015 dengan pembuatan konstruksi klon di Pichia pastoris untuk vaksin Hep B generasi
ke tiga berupa Middle (M) dan Large (L)-HBsAg serta vaksin Hepatitis B untuk terapi
menggunakan kombinasi HBsAg dan Hepatitis B core Antigen (HBcAg). Pada tahun 2016,
hasil menunjukkan bahwa protein M dan L HBsAg dapat terekspresi di Pichia pastoris dan
HBcAg di E.coli dan telah dilakukan validasi karakterisasi protein M/L-HBsAg dan HBcAg.
170 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pada tahun 2017, Konsorsium sedang melakukan tahap purifikasi lanjut protein, formulasi
dengan adjuvant dan uji in vitro serta in vivo pada hewan model. Sasaran luaran yang ditar-
getkan adalah tersedianya kandidat vaksin Hepatitis B generasi ke tiga dan vaksin terapetik
yang siap diserap oleh industri. Vaksin yang dikembangkan akan meningkatkan kemandirian
Indonesia dalam menghadapi Hepatitis. Selain itu produksi vaksin Hepatitis B memiliki po-
tensi keuntungan ekonomi karena dapat dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan baik di da-
lam dan luar negeri.
Kata kunci:Vaksin Hepatitis B, Protein rekombinan, sHBsAg, HBcAg, M HBsAg, L
HBsAg, Pichia pastoris, E.coli.
Abstract
In strengthening National Innovation System (Sistem Inovasi Nasional, SINas) through im-
provement of synergy, productivity and utilization of national resources as well as partner-
ships with industry/private sector in research and development particularly in health sector,
a hepatitis B consortium has been established. This consortium is a collaboration between
several institutions including PT. Bio Farma (Persero), Lembaga Eijkman, Pusat Teknologi
Farmasi dan Medika BPPT, and ITB. Development and production of recombinant protein-
based hepatitis B vaccines in this consortium is a multi-year program where in 2012-2014
periods it has generated the second generation of hepatitis B vaccines. As a continuation of
the program, construction of clones for expression of M HBsAg and L HBsAg in Pichia pas-
toris for the third generation of hepatitis B vaccines, and development of a therapeutic hep-
atitis B vaccine comprising of HBsAg and HBcAg were done in 2015. Expression of M and
L HBsAg in Pichia pastoris and HBcAg in E. coli and characterization of these proteins
were then completed in 2016. In 2017, the purification of the proteins, formulation develop-
ment involving adjuvants, in vitro and in vivo evaluations of the formulation in animal model
were performed. The expected outcome of the program is to generate the second-generation
vaccine and therapeutic vaccine candidates against hepatitis B, which could be transferred
to industrial applications. The vaccines that are being developed are essential in enhancing
Indonesian self-reliance in combating hepatitis B disease. Besides, production of these vac-
cines offers enormous economical benefits since the products can be marketed to fulfill both
national and global demands.
Keywords: Hepatitis B vaccine, Recombinant Protein, sHBsAg, HBcAg, M HBsAg, L
HBsAg, Pichia pastoris, E.coli.

1. PENDAHULUAN
Hepatitis B merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia, termasuk juga di
Indonesia. Pada skala global, WHO melaporkan diperkirakan sepertiga dari populasi di
dunia terinfeksi virus Hepatitis B (VHB). Di Indonesia, karier Hepatitis dilaporkan berkisar
antara 4 sampai 20,3% [Khan et al 2004, Mulyanto et al 2009]. Vaksinasi merupakan usaha
preventif paling efektif dan terbukti dapat mengurangi jumlah penderita hepatitis B. Di In-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 171

donesia, vaksinasi telah dimulai sejak tahun 1997 dan telah menjadi program imunisasi na-
sional [Shepard et al 2006]. Pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan Program Indo-
nesia Sehat yang bebas dari Hepatitis B [Depkes RI 2014]. Meskipun demikian, Indonesia
belum dapat memproduksi vaksin Hepatitis B lokal, meskipun negara dengan populasi 250
juta jiwa seharusnya memiliki vaksin hepatitis B lokal seperti yang direkomendasikan oleh
WHO dan UNICEF [WHO, 2017]. Berdasarkan fakta tersebut, dilakukan usaha untuk
mengembangkan vaksin Hepatitis lokal berbasis rekombinan Hepatitis B Surface Antigen
(HBsAg) untuk vaksin yang selama ini diimpor.
Imunisasi dan proteksi terhadap VHB yang efektif diperoleh melalui vaksinasi intramuscu-
lar yeast-derived recombinant smallHepatitis B Surface Antigen (s-HBsAg). S-HBsAg
merupakan protein permukaan pada virus hepatitis B, dan agar memiliki sifat imunogenik,
polipeptida s-HBsAg harus membentuk Virus Like Particles (VLP) dengan diameter 20–22
nm [Cabral et al 1978]. VLP s-HBsAg tidak dapat dihasilkan di Escherichia coli (E.coli)
[Charnay et al 1980, Edman et al 1981, Fujisawa et al 1983], namun dapat dihasilkan di ragi
[Vietheer et al 2007].
Dalam beberapa tahun terakhir, ragi methylotrophic Pichiap pastoris (P. pastoris) telah men-
jadi sistem yang unggul untuk produksi tinggi beberapa protein rekombinan. Sistem ini dapat
menghasilkan ekspresi yang tinggi dengan regulasi ketat menggunakan induksi metanol
pada promoter alkohol (AOX1) [Cheregino et al 2000]. Oleh karena itu, merupakan suatu
keuntungan untuk mengembangkan sistem P.pastoris yang ekonomis untuk produksi vaksin
Hepatitis B dalam skala besar [Bo et al 2005, Vassileva et al 2001].
Hingga saat ini, tiga generasi teknologi pembuatan vaksin hepatitis B telah dikembangkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Krugman yang menemukan tentang tingginya
immunogenisitas dari HBsAg dan daya proteksi dari antibodi anti-HBsAg dalam melawan
hepatitis B menginisiasi pembuatan vaksin hepatitis B generasi pertama [Edey et al 2010]
yang mengandung protein HBsAg yang diisolasi dari plasma darah penderita hepatitis B.
Vaksin ini dibuat oleh Merck dan Pasteur institute yang kemudian dilisensikan untuk
digunakan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat pada tahun 1981
[Edey et al 2010]. Adanya teknologi DNA rekombinan mengawali munculnya vaksin
hepatitis B generasi kedua yang mengandung HBsAg diekspresikan pada sel ragi
Saccharomyces cerevisiae [Rezaee-Zavareh et al 2014]. Vaksin hepatitis B yang banyak
digunakan saat ini termasuk pada kategori vaksin generasi kedua ini. Vaksin hepatitis B
generasi ketiga mengandung tiga komponen antigen yaitu HBsAg, pre-S1 dan pre-S2 yang
memiliki immunogenisitas lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin generasi sebelumnya.
Antigen-antigen tersebut dihasilkan menggunakan teknologi DNA rekombinan [Edey et al
2010, Aspinnal et al 2011]. Sci-B-Vac® merupakan vaksin dari generasi ketiga yang telah
mendapat approval untuk digunakan di Israel dan 14 negara lainnya [Shouval et al 2015].
Pengembangan dan produksi vaksin Hepatitis B generasi berbasis protein subunit rekombi-
nan telah dilakukan oleh Konsorsium Hepatitis B dan dimulai sejak tahun 2012 melalui
pendanaan InSinas. Konsorsium Hepatitis B merupakan kolaborasi dari beberapa institusi
yang terdiri dari PT Bio Farma, Lembaga Eijkman, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
BPPT, ITB dan Universitas Al Azhar Indonesia (pada awal pendirian). Sinergi antara
172 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

pemerintah, akademisi dan bisnis dilakukan dalam rangka percepatan pengembangan vaksin
Hepatitis B di Indonesia.
Program penelitian Konsorsium Hepatitis B merupakan kegiatan multi-years. Pada tahun
2012 sampai 2014 telah dihasilkan vaksin Hep B generasi ke dua sHBsAg yang diekspresi-
kan pada Pichia pastoris. Karakterisasi genetik clone dan karakterisasi protein telah memen-
uhi persyaratan regulasi WHO untuk produk protein rekombinan, namun dari segi hasil
(yield) masih rendah jika dibandingkan klon yang dihasilkan pada Hansenulla polymorpha.
Konsorsium Hepatitis B kemudian melakukan penelitian lanjutan untuk periode Insinas
2015-2017 dengan tujuan untuk menghasilkan vaksin generasi ketiga Hep B berupa M/L-
HBsAg dan vaksin terapetik yang merupakan gabungan antigen HBsAg dan HBcAg. Vaksin
generasi ketiga ini diberikan pada individu yang memiliki toleransi terhadap vaksin generasi
kedua dan tidak membentuk titer antibodi yang baik, dan ditemui pada 5% partisipan yang
disebut sebagai non-responder [Poland et al 2004]. Vaksin terapetik ditujukan untuk mem-
perbaiki sel imun pada penderita hepatitis B kronis, sehingga bila digunakan pada pasien
tersebut akan memperbaiki kemampuan sel T dalam menyerang VHB [Kutscher et al 2012].
Pada tahun 2015 telah berhasil dilakukan deteksi, isolasi, dan karakterisasi molekuler gen
Pre-S1 dan Pre-S2 Hepatitis B dalam rangka persiapan target gen untuk vaksin Hepatitis B
generasi ketiga serta konstruksi klon M/L HBsAg di P.pastoris dan klon HBcAg di E.coli.
Pada tahun 2016, ekspresi protein M/L-HBsAg di P. pastoris telah berhasil dilakukan dan
diperoleh target protein M/L-HBsAg. Ekspresi protein HBcAg di E.coli telah diperoleh dan
dilakukan karakterisasi protein yang memenuhi persyaratan. Pada tahun 2017 sedang dil-
akukan penelitian lanjutan dengan target keluaran sebagai berikut: 1) Produksi dan purifikasi
protein M/L-HBsAg di Pichia pastoris dan karakterisasi lanjut , 2) Produksi dan purifikasi
protein HBcAg, 3) Formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant, 4) Karakterisasi hasil
formulasi, dan 5) Uji repon imun humoral dan selular pada hewan model.
Pada penelitian pengembangan vaksin Hep B ini, Konsorsium dihadapkan dengan tantangan
yaitu telah dipatenkannya sebagian besar proses dan dirasakan menghambat penelitian yang
sedang berlangsung, oleh karena itu kemampuan untuk mengkonstruksi dan memiliki paten
vektor ekspresi dan galur-galur sel inang sangatlah penting untuk kemandirian bangsa. Ter-
lebih diprediksikan biaya produksi vaksin di Indonesia akan menjadi sangat tinggi karena
keharusan membayar royalti paten vektor dan galur sel inang. Kenyataan yang harus
diterima adalah hampir semua konstruk vektor dan galur telah dipatenkan oleh negara lain.
Namun di pihak lain, Indonesia memiliki sumber daya genetika mikroba yang sangat tinggi
dan merupakan nilai tambah yang harus dimanfaatkan. Dengan demikian pada tahun 2015
ini salah satu satu tujuan penelitian adalah melakukan rekayasa genetik sel inang Hansenula
polymorpha (H.polymorpha) untuk ekspresi protein rekombinan khususnya HBsAg. Pada
capaian penelitian tahun 2015 Konsorsium Hepatitis B telah berhasil mengkonstruksi dan
membuat sintetis vektor terkait promoter dan marker yang sesuai dengan sel inang H.poly-
morpha dan genetically modified H.polymorpha yang dapat digunakan sebagai sistem ek-
spresi protein rekombinan.
Dalam rangka percepatan penguasaan teknologi pengembangan vaksin Hepatitis B patut di-
pertimbangkan langkah strategis berupa akuisisi satu atau lebih teknologi yang telah terbukti
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 173

keuntungannya baik secara ekonomis maupun leverage know how pada kemampuan peneliti
dalam penguasaan suatu teknologi. Cara ini dimungkinkan dengan adanya transfer teknologi
maupun pembelian license pada satu atau lebih teknologi yang dimiliki hak kekayaan intel-
ektualnya oleh seseorang atau suatu institusi. Diharapkan dengan cara ini didapatkan suatu
lompatan yang signifikan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari teknologi yang telah
ada. Licencing pada pengembangan vaksin Hepatitis B ini dapat berupa pembelian sebagian
teknologi atau secara seluruhnya dengan mempertimbangkan aspek keilmuan dan teknologi
maupun aspek komersialisasi.
Dalam makalah ini akan dibahas metode kerja sinergi antar institusi, hasil yang diperoleh
dan saran untuk kegiatan lanjutan dari Konsorsium Hepatitis B.

2 METODE
2.2 Deteksi, isolasi, dan karakterisasi molekuler gen Pre-S1, Pre-S2, dan Core
Protein virus Hepatitis B
Virus akan diisolasi dan diamplifikasi dari serum pasien asal isolat Indonesia. Karakterisasi
sampai tingkat molekuler dilakukan terhadap semua isolat yang mewakili setiap kelompok
antigen. Hasil karakterisasi molekular akan dijadikan dasar untuk memilih galur dan sekuens
gen Pre-S1, Pre-S2, dan Core yang dianggap paling sesuai maupun untuk penyusunan
sekuens konsensus untuk pengembangan benih protein Pre-S1, Pre-S2, dan Core untuk
vaksin rekombinan. Isolasi, amplifikasi, dan karakterisasi isolat virus Hepatitis B telah
dilakukan di fasilitas kultur sel Lembaga Eijkman. Kloning, sekuensing dan analisa gen akan
dilakukan oleh tim peneliti Lembaga Eijkman.

2.3 Konstruksi rekombinan M /L-HBsAg dan HBcAg pada shuttle vector ekspesi di
Escherichia coli
Kloning M-HBsAg dan L-HBsAg pada shuttle vector di Escherichia coli sebagai langkah
awal untuk mengoptimalkan ekspresi antigen vaksin Hepatitis B generasi baru. Dengan ting-
kat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan kloning sHBsAg, pada tahun 2015 kon-
struksi rekombinan M dan L-HBsAg pada shuttle vector pJ902-AOX1-zeodi E.coli dengan
satu kaset M dan L-HBsAg. Diharapkan dengan diperolehnya rekombinan satu kaset di ta-
hun itu, peningkatan jumlah kaset ekspresi dapat ditingkatkan pada tahun berikutnya. Klon-
ing single copy dan multi copy M-HBsAg dan L-HBsAg pada plasmid pJ902-AOX1-zeo di
Escherichia coli akan dilakukan oleh tim peneliti dari ITB dan BPPT. Sedangkan untuk
HBcAg dilakukan oleh tim peneliti ITB. Pendekatan lain untuk vaksin terapetik adalah
berbasis peptida HBcAg yang dilakukan oleh tim peneliti Lembaga Eijkman.

2.4 Produksi M/L-HBsAg dalam Pichia pastoris melalui optimasi kultivasi, ekspresi
dan purifikasi
Setelah pada tahun 2015 didapatkan Klon gen Hepatitis B (S, PreS1 dan PreS2 VHB) yang
berasal dari strain VHB asli Indonesia yang ditransformasi ke dalam Pichia pastoris (P.
pastoris), selanjutnya pada tahun 2016, dalam rangka untuk mendapatkan transforman
dengan ekspresi tinggi, akan dilakukan kembali transformasi ke P. pastoris dengan 1 sampai
174 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4 kaset ekspresi M/L-HBsAg Indonesia dengan kondisi yang telah diperoleh sebelumnya.
Analisis awal integrasi multi kaset ekspresi M/L-HBsAg pada yeast dan stabilitasnya dil-
akukan menggunakan metode southern blot. Selanjtnya dilakukan pula pemodelan kultivasi
dan overekspresi P. pastoris terintegrasi multi kaset M/L-HBsAg, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan model bagi kondisi dan strategi kultivasi P. pastoris-M/L-HBsAg yang dapat
diterapkan pada proses kultivasi skala pilot. Ekspresi, purifikasi dan verifikasi awal telah
dilakukan oleh tim peneliti ITB, BPPT dan PT. Bio Farma.
2.5 Produksi HBcAg pada E.coli melalui optimasi kultivasi, ekspresi dan purifikasi
Setelah pada tahun pertama 2015 didapatkan Klon gen Hepatitis B yang berasal dari strain
virus Hepatitis B asli Indonesia yang ditransformasi ke dalam E.coli selanjutnya pada tahun
2016 telah dilakukan pemodelan kultivasi dan overekspresi HBcAg di E.coli hal ini dil-
akukan untuk mendapatkan model bagi kondisi dan strategi kultivasi HBcAg/E.coli yang
dapat diterapkan pada proses kultivasi skala pilot. Ekspresi, purifikasi dan verifikasi awal
akan telah dilakukan oleh tim peneliti ITB dan PT. Bio Farma.

2.6 Tahap formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant untuk mendapatkan
kandidat vaksin terapetik Hepatitis B
Dalam rangka percepatan penelitian vaksin Hepatitis B sampai di industri, PT Bio Farma
akan mengambil langkah Licensing terhadap suatu teknologi proses produksi atau sebagian
produk. Proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang akan mendukung dalam
pengambilan keputusan licensing tersebut, diantaranya: Penelusuran komprehensif pada
paten/IP yang menjadi acuan secara internasional terhadap penelitian vaksin Hepatitis B,
juga dengan mempertimbangkan kebutuhan akan penguasaan teknologi yang tidak bisa
didapatkan pada konsorsium karena terkait patent issue dan penelaahan secara menyeluruh
pada aspek komersial dan kesiapan kontribusi PT Bio Farma pada teknologi yang akan di-
ambil. Bekerjasama dengan University of Melbourne, PT Bio Farma melakukan
pengembangan adjuvant yang berperan dalam meningkatkan respon imun humoral dan
selular vaksin terapetik. Adjuvant yang digunakan adalah turunan Pam2Cys yang merupakan
Toll-Like Receptor 2 (TLR2) agonist yang dapat mengantarkan antigen ke sel dendritik dan
mengaktifkan respon imun yang spesifik [Chua et al 2011].
Formulasi masing-masing antigen HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant Pam2Cys serta
antigen dalam bentuk kombinasi sedang dioptimasi pada tahun 2017 melalui karakterisasi
fisikokimia dan uji respon imun secara in vivo pada hewan model. Hasil uji respon humoral
dan selular pada formulasi terpilih pada hewan uji menunjukkan formulasi dengan adjuvant
berpotensi untuk menghasilkan kandidat vaksin yang baik untuk profilaktik maupun
terapetik Hepatitis B.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


Luaran utama dari penelitian tahun 2015-2017 adalah tersedianya protein M/LHBsAg hasil
ekspresi dan purifikasi dari inang yang sesuai sebagai bahan antigen yang akan dijadikan
kandidat vaksin rekombinan Hepatitis B generasi ketiga. Selain itu ditargetkan tersedianya
klon HBcAg yang diekspresikan dan dipurifikasi pada sel E.coli serta tersedianya kandidat
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 175

formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant sebagai kandidat vaksin terapeutik. Adapun
indikator luaran adalah sebagai berikut: minimal 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin
Hepatitis B Generasi 3 dan 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Terapetik Hepatitis B
serta proses teknologi Kultivasi dan purifikasi protein rekombinan khususnya untuk vaksin
Hepatitis B. Berikut adalah hasil penelitian dari masing-masing institusi.

3.2 PT. Bio Farma


Optimasi ekspresi protein HBcAg
Hingga bulan Juli 2017, telah dilakukan beberapa optimasi kultivasi E. Coli/HBcAg
sebanyak 6 batch. Kultivasi E. coli dilakukan dengan menggunakan klon E.coli-
BL21(DE3)/pET28a-HBcAg pada fermentor 5 L. Media yang digunakan untuk kultivasi
adalah media cair LB yang telah ditambahkan antibiotik kanamisin. Pada fermentor, kultur
E. coli ditumbuhkan hingga nilai OD mencapai 0,5-0,6. Setelah itu, dilakukan induksi
dengan penambahan IPTG dengan konsentrasi tertentu. Sesaat sebelum induksi, sebagian
kultur dikeluarkan dari fermentor dan kembali ditumbuhkan pada labu Erlenmeyer sehingga
dapat diamati perbedaan profil pertumbuhan E. coli antara yang diinduksi dengan yang tidak.
Pellet sel E. coli hasil induksi yang didapat selanjutnya diproses ke tahap purifikasi. Profil
pertumbuhan E. coli pada keseluruhan batch kultivasi dapat dilihat pada gambar 1.
Pellet hasil kultivasi selanjutnya di-lisis secara enzimatik. Hasil lisat selanjutnya dianalisis
dengan SDS PAGE untuk menentukan keberadaan protein HBcAg.

Gambar 1. Kurva pertumbuhan E.coli BL21(DE3)/pET28a-HBcAg dan induksi ekspresi protein


Analisis SDS PAGE menunjukkan keberadaan pita protein pada posisi yang sama dengan
pita kontrol positif HBcAg. Pita ini diharapkan merupakan pita protein HBcAg. Pellet hasil
176 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

kultivasi selanjutnya diproses untuk purifikasi protein HBcAg.


Optimasi Purifikasi Protein HBcAg
Proses purifikasi Hepatitis B core Antigen (HBcAg) dalam E.coli diawali dengan proses lisis
sel. Pada jumlah sel E. coli yang masih relatif sedikit (hasil kultivasi 1 L), proses lisis dapat
menggunakan metode enzimatik. Pellet E. coli ditambahkan buffer lysis yang terdiri dari cell
lytic B, 10X buffer stock, lysozyme, protease inhibitor, dan benzonase. Proses lisis
berlangsung dengan inkubasi pada roller mixer sekitar 3 jam – 5 jam untuk memperoleh sel
yang terlisis sempurna.
Indikator proses lisis yang baik yaitu setelah proses inkubasi akan terlihat DNA kemudian
ditambahkan benzonase nuclease untuk menghilangkan DNA yang ada. Campuran lisis
diperoleh berwarna bening kekuningan. Campuran lisis disentrifugasi untuk memisahkan
supernatan dan pellet. Target HBcAg terdapat dalam supernatan lisat.

Gambar 2. Hasil purifikasi protein HBcAg menggunakan single step purifikasi purifikasi
menghasilkan protein yang cukup murni. Tanda kotak pada gambar menunjukkan pita protein target
HBcAg.
Supernatan lisat berisi target protein HBcAg ditambahkan ammonium sulfat sebesar 30%
(g/v). Penghitungan bobot ammonium sulfat sesuai perhitungan online ammonium sulfate
calculator (www.proteinchemist.com/cgi-bin/s2.pl) dengan target konsentrasi akhir
ammonium sulfat adalah 30% dalam 40 ml, sehingga bobot yang ditimbang sebanyak 6,56
gram. Penambahan ammonium sulfat berfungsi untuk membersihkan protein pengotor yang
berasal dari sel inang E. coli. Penambahan ammonium sulfat dengan konsentrasi 30% (g/v)
dilakukan atas dasar percobaan optimasi. Proses presipitasi menghasilkan pellet yang berisi
protein target HBcAg. Pellet berwarna putih dan supernatan yang berwarna kekuningan
menunjukkan proses purifikasi berjalan baik. Pellet berisi protein target HBcAg dilarutkan
dengan Buffer A untuk dilanjutkan dalam proses kromatografi. Ion Exchange
Chromatography (Anion Exchange) digunakan sebagai tahap purifikasi selanjutnya sebab
sesuai dengan karakter HBcAg, memiliki titik Isoelektrik sebesar 4.7 [Zheng et al 1992].
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 177

Prinsip kromatografi penukar ion yang digunakan khususnya Anion Exchange yaitu pada pH
sampel, pH 8,0, protein target bermuatan negatif sehingga akan berinteraksi dengan resin
kolom kromatografi DEAE Sepharose yang bermuatan positif dan akan turun saat dielusi
dengan Buffer B. Hasil purifikasi menggunakan IEC menghasilkan protein dengan tingkat
kemurnian di atas 85%.
Telah diperoleh formulasi HBsAg dan HBcAg dengan adjuvant untuk kandidat vaksin
terapeutik dan menghasilkan respon imun humoral dan selular yang diperlukan untuk
mengontrol dan mengeliminasi virus Hep B pada model hewan uji dengan Hepatitis B
chronis (data tidak disampaikan pada makalah ini).

3.3 Lembaga Eijkman


Dalam studi ini telah di dapat informasi sekuens Pre-S1, Pre-S2 dan Core dari 44 isolat dari
Indonesia wilayah Barat, Tengah dan Timur. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan sekuens
yang representatif dari isolat Indonesia untuk dijadikan acuan dalam pembuatan vaksin
rekombinan. Berdasarkan studi di tahun 2012, genotipe adw-B3 isolat Indonesia dijadikan
acuan untuk pembuatan s-HBsAg. Demikian pula untuk sekuens Pre-S1 dan Pre-S2 genotipe
B-3 dijadikan untuk konstruksi gen vaksin Hepatitis B generasi ketiga. Data sekuens gen
core yang menyandi protein HBcAg dari sampel VHB isolat Indonesia yang telah diketahui
genotipe dan subtipenya digunakan untuk memprediksi peptida-peptida nanomer dan deka-
mer dengan affinitas terhadap molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I
yang dilaporkan di Indonesia pada penelitian sebelumnya (Yuliwulandari et al., 2009; Ange-
lina, 2011; Wijaya, 2012, unpublished data) dengan menggunakan perangkat lunak NetCT-
Lpan, IEDB, dan netMHCI. Peptida dipilih berdasarkan penilaian algoritme dan IC50 yang
kurang dari 50nM. Hasil dari prediksi ini selanjutnya dilakukan uji binding affinity pada
HLA II menggunakan perangkat lunak net MHCII untuk menghitung nilai peptide binding
probability. Hasil sekuens peptida hasil seleksi dilakukan uji kemiripan dengan sekuens pep-
tida manusia dengan perangkat BLAST. Peptida yang mirip disingkirkan karena berpotensi
menimbulkan autoimun. Peptida terpilih dipetakan pada posisi asam amino HBcAg, dan
konservasi maupun variasi dari epitop yang dipetakan tersebut dianalisa dengan
menggunakan perangkat BioEdit, untuk menyeleksi epitop dengan IC50 yang relatif konsis-
ten walaupun dengan variasi sampel.Lebih lanjut lagi, juga dipilih epitop yang memiliki nilai
population coverage tertinggi dengan perangkat IEDB.

Gambar 3. Sebaran sampel untuk isolasi gen Pre-S1 dan Pre-S2 virus Hepatitis B di Indonesia.
178 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sampel berasal dari 44 isolat dari berbagai wilayah di Indonesia. Lingkaran biru menunjukkan
genotipe B, merah genotipe C dan kuning genotipe D.
Pengujian kandidat peptida untuk vaksin terapeutik menggunakan test pada sampel darah
tepi atau Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) dari individu penderita hepatitis B
akut yang telah dinyatakan sembuh secara klinis. Untuk sampel darah tepi, akan dilakukan
pemeriksaan lanjutan tanpa prosedur tambahan. Untuk siapan PBMC, diperlukan metode
isolasi PBMC dengan menggunakan Ficoll paque. Selain itu dilakukan uji tantang
menggunakan peptida terpilih terhadap sediaan darah tepi atau PBMC dengan inkubasi 6 –
18 jam dengan beberapa konsentrasi berbeda. Keberadaan CTL spesifik VHB diperiksa
dengan metode flow cytometry. Hasil menunjukkan ada enam kandidat peptida yang sangat
penting dan berpotensi untuk digunakan pada vaksin Hep B terapetik.

3.4 ITB
Sintesis, Konstruksi dan Transformasi HBcAg di E.coli
Berdasarkan urutan HBcAg virus Hepatitis B isolate Indonesia yang diperoleh dari Lembaga
Eijkman, telah dilakukan optimasi kodon, Analisis TSS (Transcription Start Site), RBS dan
Analisis Kemungkinan Terbentuknya Struktur Sekunder mRNA (Efisiensi Inisiasi Translasi),
telah didapatkan konstruk pada pET28a (resistensi kanamisin) dan pET16b (resistensi
ampisilin).
Setelah diperoleh konstruksi hasil sintesis tersebut oleh Genscript, kemudian dilakukan
perbanyakan pada E.coli TOP10/E.coli DH5α. Plasmid kemudian diisolasi dan dikonfirmasi
ulang urutan nukleotidanya menggunakan analisis sekuensing (Macrogen). Hasil sekuensing
menunjukkan bahwa rekombinan tersebut mengandung DNA pengkode HBcAg dan asam
amino yang 100% identik dengan desain sebelumnya. Konstruksi yang sudah diidentifikasi
memiliki urutan nukleotida yang sesuai dengan desain semula, kemudian digunakan untuk
transformasi E. coli BL21(DE3). Hasil transformasi kemudian dikonfirm kembali dengan
PCR, untuk mengetahui apakah E.coli tersebut sudah mengandung plasmid konstruksi
tersebut. Hasil menunjukkan bahwa amplifikasi dengan PCR menghasilkan pita dengan
yang sesuai dengan kontrol positif masing-masing konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa
E.coli BL21(DE3) telah berhasil ditransformasi oleh pET28a-HBcAg (Gambar 4) dan
pET16b-HBcAg (Gambar 5).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 179

Gambar 4. Konfirmasi hasil transformasi E.coli BL21(DE3) dengan konstruksi pET28a-HBcAg

Gambar 5. Konfirmasi hasil transformasi E.coli BL21(DE3) dengan konstruksi pET16b-HBcAg

Sintesis, Konstruksi dan Transformasi multi-copy L HBsAg di Pichia Pastoris


Konstruksi multi-copy L-HBsAg telah dicoba dilakukan dengan beberapa kondisi ligasi
dengan transfromasi menggunakan metode heat shock dan electroporation. Telah diperoleh
kandidat klon yang mengandung dua multikaset L-HBsAg yang telah diverifikasi
menggunakan analysis enzim restriksi.
180 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.5 BPPT
Sintesis, Konstruksi dan Transformasi M-HBsAg di Pichia pastoris
Konstruksi multi-copy M-HBsAg telah dicoba dilakukan dengan beberapa kondisi ligasi
dengan transfromasi menggunakan metode heat shock dan electroporation.Telah diperoleh
kandidat klon yang mengandung dua multikaset M-HBsAg dan telah diverifikasi
menggunakan analysis enzim restriksi.

Gambar 6. Hasil purifikasi L-HBsAg dengan SEC menggunakan AKTA Purifer


Keterangan: lajur M (marker); lajur 1-14 (fraksi-fraksi SEC)

Optimasi ekspresi dan purifikasi L-HBsAg


Dalam rangka optimasi kondisi purifikasi protein L-HBsAg rekombinan, pada tahap pertama
dilakukan persiapan produksi biomasa mikroba Pichia pastoris rekombinan yang
mengekspresikan protein L-HBsAg. Kemudian dilakukan optimasi purifikasi HBsAg
meliputi optimasi lisis sel, optimasi purifikasi menggunakan kolom kromatografi dengan
metode IEC dan SEC (Size Exclusion Gel Chromatography). Hasil menunjukkan tingkat
kemurnian L-HBsAg sesuai persyaratan seperti yang digambarkan pada gambar 6.

4 KESIMPULAN DAN SARAN


Pada program InSinas 2015-2017, Konsorsium Hepatitis B telah memperoleh capaian yang
diharapkan yaitu minimal 1 (satu) buah prototype Kandidat Vaksin Generasi 3 Hepatitis B
(diperoleh 4 klone yaitu M dan L-HBsAg masing-masing single dan multi-copy) dan 1 (satu)
buah prototype Kandidat Vaksin Terapetik Hepatitis B dan proses dari teknologi kultivasi
dan purifikasi protein rekombinan khususnya pada proses produksi antigen untuk vaksin
terapeutik Hepatitis B.
Selain itu diperoleh luaran tambahan berupa 1 publikasi international, 2 publikasi national,
6 proceeding international. Makalah dipublikasi international adalah sebagai berikut:
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 181

1. Christian Heryakusuma, Fernita Puspasari, Ihsanawati Ihsanawati, Ernawati Arifin


Giri Rahman, Neni Nurainy, Dessy Natalia. Cloning and Expression of Small
Hepatitis B Surface Antigen (sHBsAg) In Hansenula polymorpha. Microbiology
Indonesia,Vol 10, No 4 (2016).
2. Ernawati Arifin Giri-Rachman Indah Woro Utami, Shinta Kusumawardani, Debbie
Soefie Retnoningrum, Dessy Natalia, Nurfitriani, Gilang Nadia, Patricia Gita
Naully, Neni Nurainy. Construction and expression of Multicassettes Encoding
Indonesian Small Hepatitis B Surface Antigen (s-HBsAg) in Methylotropic Yeast
Pichia pastoris. Biotechnology, 2015. DOI: 10.3923/biotech.2015
Adapun kandidat patent yang telah didaftarkan ke Dirjen HKI adalah sebagai berikut:
1. Vektor ekspresi rekombinan untuk produksi berlebih HBsAg di Hansenula
polymorpha, telah didaftarkan di Dirjen HKI dengan nomor P00201407051
2. Produksi protein Small Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)-Virus Like Particle di
pichia pastoris, telah didaftarkan di Dirjen HKI dengan nomor P00201504908
3. Plasmid rekombinan yang berfungsi sebagai vektor expresi untuk produksi middle
dan large Hepatitis B surface antigen (M-HBsAg dan L-HBsAg) spesifik Indonesia
di P.pastoris (telah didaftarkan no masih dalam konfirmasi)
4. Drafting untuk genetic modified organism (GMO)Hansenula polimorpha untuk
ekspresi protein rekombinan

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini di biayai dengan Dana Insentif Riset Nasional 2015-2017 dari Kementrian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan PT. Bio Farma (Persero).

DAFTAR REFERENSI
Aspinall EJ, Hawkins G, Fraser A, Hutchinson SJ, Goldberg D. Hepatitis B prevention, diagnosis,
treatment and care: a review. Occup Med (Lond). 2011; 61 (8): 531–40. doi: 10.1093/oc-
cmed/kqr136.
Bo, H., Minjian, L., Guoqiang, L., Zhaoxia, L., Zhenyu, Z., and Lin, L., (2005) Expression of Hepa-
titis B Virus S Gene in P.pastoris and Application of the Product for Detection of Anti-HBs
Antibody. Journal of Biochemistry and Molecular Biology : 38 (3) : 294-299.
DOI : 10.5483/BMBRep.2005.38.6.683.
Cabral GA, Marciano-Cabral F, Funk GA, Sanchez Y, Hollinger FB, Melnick JL.1978. Cellular and
humoral immunity in guinea pigs to two major polypeptides derived from hepatitis B surface
antigen. Journal of General Virology : 38:339-350. doi:10.1099/0022-1317-38-2-339.
Charnay, P., Gervais, M., Louise, A., Galibert, F., and Tiollais, P.1980. Biosynthesis of hepatitis B
virus surface antigen in Escherichia coli. Nature 286, 893–895.doi:10.1038/286893a0.
182 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Cheregino, J.L., dan Cregg, J.M. 2000. Heterologous Protein Expression in The Methylotrophic Yeast
P.pastoris.FMES Microbiology Reviews 24: 45-66.DOI: 10.1111/j.1574-
6976.2000.tb00532.x.
Chua BY, Pejoski D, Turner SJ, Zeng W, Jackson DC. Soluble proteins induce strong CD8+ T cell and
antibody responses through electrostatic association with simple cationic or anionic lipopep-
tides that target TLR2. J Immunol 2011; 187: 1692–1701.doi:10.4049/jimmunol.1100486.
Depkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.Situasi dan Analisis Hepati-
tis.http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hepatitis.pdf.
Diakses pada tanggal 13 September 2017.
Edey M, Barraclough K, Johnson DW. Review article: Hepatitis B and dialysis. Nephrology (Carl-
ton). 2010;15(2):137–45. doi: 10.1111/j.1440-1797.2009.01268.x
Edman, J. C., Hallewell, R. A., Valenzuela, P., Goodman, H. M., and Rutter, W. J.1981.Synthesis of
hepatitis B surface and core antigens in E. coli.Nature 291, 503–506. DOI: 10.1038/291503a0.
Fujisawa, Y., Ito, Y., Sasada, R., Ono, Y., Igarashi, K., Marumoto, R., Kikuchi, M., and Sugino, Y.
1983. Direct expression of hepatitis B surface antigen gene in E. coli. Nucleic Acids Res. 11,
3581–3591.https://doi.org/10.1093/nar/11.11.3581
Khan M, Dong JJ, Acharya SK, Dhagwahdorj Y, Abbas Z, Jafri SMW, Mulyono DH, Tozun N, Sarin
SK. 2004. Hepatology issues in Asia: perspectives from regional leaders. J Gastroenterol
Hepatol 19:S419–S430.doi: 10.1111/j.1440-1746.2004.03728.x.
Mulyanto, Depamede SN, Surayah K, Tsuda F, Ichiyama K, Takahashi M, Okamoto H. A nationwide
molecular epidemiological study on hepatitis B virus in Indonesia: identification of two novel
subgenotypes, B8 and C7. 2009. Arch Virol. 154(7):1047-59. Epub 2009 Jun 5.doi:
10.1007/s00705-009-0406-9.
Poland GA, Jacobson RM. Clinical practice: prevention of hepatitis B with the hepatitis B vaccine.
2004. New England Journal of Medicine 351: 2832-2838. DOI:10.1056/NEJMcp041507.
Rezaee-Zavareh, M. S., & Einollahi, B. (2014). Hepatitis B Vaccination: Needs a Revision. Hepatitis
Monthly, 14(3), e17461. http://doi.org/10.5812/hepatmon.17461
Sarah Kutscher, Tanja Bauer, Claudia Dembek, Martin Sprinzl and Ulrike Protzer. 2012. Design of
therapeutic vaccines: hepatitis B as an example. Microbial Biotechnology 5(2), 270–282.
doi: 10.1111/j.1751-7915.2011.00303.x
Shepard, CW. Simard, EP, Finelli, L, Fiore AF and Bell BP. 2006. Hepatitis B Virus Infection: Epide-
miology and Vaccination. Epidemiol Rev 28 (1): 112-125.doi: 10.1093/epirev/mxj009.
Shouval, D., Roggendorf, H., & Roggendorf, M. (2015). Enhanced immune response to hepatitis B
vaccination through immunization with a Pre-S1/Pre-S2/S Vaccine. Medical Microbiology and
Immunology, 204, 57–68. http://doi.org/10.1007/s00430-014-0374-x
Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Effect of Copy Number on the Ex-
pression Levels of Hepatitis B Surface Antigen in the Methylotrophic Yeast P.pastoris.Protein
Expression and Purification21 :71–80. DOI:10.1006/prep.2000.1335
Vietheer PT, Boo I, Drummer HE, Netter HJ. (2007). Immunizations with chimeric hepatitis B virus-
like particles to induce potential anti-hepatitis C virus neutralizing antibodies.Antivir. ther.
12(4):477-87.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 183

WHO. 2013. Hepatitis. http://www.who.int/immunization/topics/hepatitis/en/. Diakses pada tanggal


13 September 2017.
WHO. 2017. Hepatitis B. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/. Diakses pada tanggal
13 September 2017.
Zheng J., Schodel F., Peterson D. L. 1992. The Structure of Hepadnaviral Core Antigens. Identifica-
tion of free thiols and determination of the disulfide bonding pattern. The journal of Biological
Chemistry. Vol. 267, No. 13 Issue May 5, pp 9422-9429.

BIOGRAFI PENULIS
DR. Neni Nurainy, Apt
Neni Nurainy adalah ahli vaksionologi dan saat ini bekerja
sebagai Project Integration Manager Research and Develop-
ment Division PT. Bio Farma dan merupakan lulusan Sarjana
Farmasi dan Apoteker di ITB pada tahun 1996, Doktor bi-
dang Ilmu Biomedik Fakultas Kedoketeran Universitas Indo-
nesia tahun 2005, dan Post Doctoral Research Fellow di Uni-
versity of Meulborne pada tahun 2009. Beberapa penelitian
yang pernah dilakukan adalah Cloning and Expression of
Small Hepatitis B Surface Antigen (sHBsAg) in Hansenula
polymorpha, dan Cloning, Intracellular Expression, and
Characterization of Recombinant mHBsAg from Hepatitis B
Virus Isolate Indonesia in Pichia pastoris. Ia pernah me-
menangkan Bronze Innovation Award untuk kategori
pengembangan dari PT. Bio Farma dan Gold Innovation Award untuk kategori riset dari PT.
Bio Farma pada tahun 2016. Saat ini Neni aktif di penelitian mengenai new TB vaccine,
Hepatitis B therapeutic vaccine, Dengue vaccine, Protein therapeutic, dan Monoclonal An-
tibody.
184 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Polimorfisme Gen N-Asetiltransferase 2 (NAT2) dan


Implementasi Farmakogenomik dalam pengobatan Tuberkulosis

Rika Yuliwulandari1,2, Kinasih Prayuni2


1
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta Pusat, DKI
Jakarta
2
Pusat Penelitian Genetik, YARSI Research Institute, Universitas YARSI, Jakarta Pusat,
DKI Jakarta
email :1rika.yuliwulandari@yarsi.ac.id, 2kinasih.prayuni@yarsi.ac.id

Abstrak
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Enzim N-asetil-
transferase 2 (NAT2) telah diketahui memainkan peranan penting dalam proses metabolism
obat anti tuberkulosis, terutama Isoniazid. Polimorfisme NAT2 dilaporkan memiliki asosiasi
dengan resiko toksisitas obat dan perkembangan berbagai penyakit. Anti-TuberculosisDrug-
induced liver injury (AT-DILI) merupakan efek samping yang biasanya terjadi pada pen-
gobatan tuberkulosis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan fenotipe aset-
ilator NAT2 lambat sangat rentan terhadap perkembangan AT-DILI. Penelitian kami sebe-
lumnya menunjukkan bahwa frekuensi asetilator NAT2 lambat di Indonesia cukup tinggi,
pada etnis Jawa-sunda sebesar 33% dan pada etnis Melayu 38%. Oleh karena itu, kesadaran
masyarakat terhadap kerentanan AT-DILI harus di tingkatkan. Penelitian kami terbaru
menunjukkan bahwa NAT2*6A, yang merupakan alel asetilator lambat, memiliki asosiasi
yang signifikan terhadap AT-DILI (p=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Selain
itu, pasien dengan fenotipe asetilator lambat menunjukkan risiko AT-DILI lebih tinggi
dibandingkan pasien dengan fenotipe cepat atau intermediet (p = 1,7 × 10-4, OR = 3,45
(1,79-6,67)). Farmakogenomik merupakan suatu studi variasi ekspresi gen individu terkait
kerentanan terhadap penyakit dan respon terhadap obat baik pada individu itu sendiri mau-
pun pada populasi. Penelitian dan penerapan farmakogenomik dapat membantu menentukan
pengobatan yang terbaik untuk pasien dan memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kita perlu mendorong pengembangan penelitian farmakogenomik,
mengusulkan kolaborasi baik secara nasional maupun internasional dan membuat
masyarakat Indonesia menyadari betapa pentingnya penerapan farmakogenomik dalam
kehidupan mereka.
Kata kunci: NAT2, Asetilator lambat, AT-DILI, Farmakogenomik

Abstract
Tuberculosis (TB) is still remains as a major health problem in Indonesia. The enzyme N-
Acetyltransferase 2 (NAT2) has been known to play an important role in metabolizing anti-
tuberculosis drugs, especially isoniazid. Polymorphisms of NAT2 are reportedly associated
with the risk of drug toxicities and development of various diseases. Anti-Tuberculosis Drug-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 185

induced liver injury (AT-DILI) is the most common adverse drug reaction in the treatment
of tuberculosis (TB). Several studies showed that a patient with slow acetylator phenotype
has a high susceptibility to AT-DILI. Our research on the Indonesian population, in Javanese
and Sundanese dan Malay ethnics showed 33% and 38% NAT2 slow acetylator phenotype,
respectively. Therefore, Indonesia populations have to be aware with the development of
AT-DILI. Our recent study showed thatNAT2*6A as a slow acetylator allele was signifi-
cantly associated with AT-DILI (P=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Addi-
tionally, patients with slow acetylator phenotype showed higher risk of AT-DILI than pa-
tients with the rapid acetylator or intermediate acetylator phenotypes
(P=1.7×10−4,OR=3.45 (1.79–6.67)). Pharmacogenomics is a study of the variation of in-
dividual gene expression related to susceptibility to disease and response to drugs both in
the individual itself and population. Pharmacogenomics research and implementation can
help to select the best therapeutic option for patients suffering from certain diseases that are
both cost effective and having higher chance of success. Therefore, we need to foster phar-
macogenomics research development, propose collaboration both nationally and interna-
tionally and make the Indonesia society realize how important pharmacogenomics imple-
mentation is in their life.
Keywords: NAT2, Slow acetylator, AT-DILI, Pharmacogenomics

1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksi dengan insiden tertinggi di dunia. Pada
tahun 2015, World Health Organization (WHO) melaporkan terjadinya kasus TB baru pada
sekitar 10.4 juta orang. Indonesia menjadi negara terbesar kedua dalam hal insiden TB dan
menyumbang sekitar 60% kasus TB baru di dunia (World Health Organization, 2016). Reg-
imen standar lini pertama untuk pengobatan TB terdiri dari pemakaian kombinasi isoniazid,
rifampicin, pirazinamid, dan ethambutol (World Health Organization, 2010).
Penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) tersebut dapat menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan yaitu drug-induced liver injury (DILI) atau hepatotoksisitas (Saukkonen et
al., 2006). Beberapa gen telah dilaporkan terkait dengan resiko DILI karena penggunaan
OAT (AT-DILI), yaitu N-acetyltransferase 2 (NAT2) (Leiro-Fernandez et al. 2011; Teixeira
et al. 2011; Huang et al. 2002; Santos et al. 2013), cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) ( Huang
et al., 2003; Santos et al., 2013; Tang et al., 2012; Teixeira et al., 2011), dan glutathione S-
transferase mu-1/glutathione S-transferase theta (GSTM1/GSTT) (Kim et al., 2010; Tang
et al., 2012; Teixeira et al., 2011). Diantara obat TB lini pertama, Isoniazid (INH) merupakan
penyebab utama timbulnya hepatotoksisitas. Jalur metabolisme utama dari INH adalah aset-
ilasi oleh NAT2 (Gambar 1).
186 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1. Jalur metabolism Isoniazid oleh NAT2


(Roy et al., 2008)

Metabolisme utama INH dilakukan melalui proses asetilasi yang berlangsung terutama di
hati dan mukosa usus oleh NAT2 menghasilkan asetilisoniazid yang kemudian dihidrolisis
menjadi asam isonikotinik dan monoasetilhidrazin (MAH). Isoniazid juga mengalami reaksi
hidrolisis yang dikatalisasi oleh isoniazid hidrolase dan membentuk hidrazin, yang
kemudian dimetabolisme menjadi MAH oleh NAT2. Monoasetilhidrazim dapat diasetilasi
menjadi diasetilhidrazin yang merupakan senyawa tidak beracun atau dioksidasi oleh cyto-
chrome P4502E1 (CYP2E1) menjadi senyawa intermediet beracun pada hati. Asetilhidrazin
dapat dihidrolisis menjadi hidrazin yang dapat menginduksi CYP2E1 dan meningkatkan
produksi metabolit beracun. Hidrazin, MAH, dan asam isonikotik merupakan metabolit
beracun yang potensial dihasilkan pada metabolism INH. Akumulasi dari senyawa beracun
tersebut dapat menyebabkan efek samping yang merugikan dan dikenal sebagai AT-DILI
(Roy et al, 2008).
Polimorfisme NAT2 telah banyak dilaporkan terkait erat dengan timbulnya AT-DILI di
berbagai populasi dunia. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa single nucleotide poly-
morphism (SNP) gen NAT2 pada daerah ekson, yang menyebabkan fenotipe asetilator lam-
bat, memiliki kerentanan lebih besar untuk berkembang menjadi AT-DILI (Ohno et al. 2000;
Fountain et al. 2005; Khalili et al. 2011; Leiro-Fernandez et al. 2011; Du et al. 2013; Singla
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 187

et al. 2014). Di Indonesia sendiri polimorfisme gen NAT2 telah dipetakan pada populasi suku
Jawa dan Sunda (Yuliwulandari et al., 2008)serta Melayu (Susilowati et al., 2017) dan
diketahui bahwa genotipe asetilator lambat terkait kuat dengan AT-DILI (Yuliwulandari et
al., 2016). Dengan adanya data tersebut, pengembangan metode NAT2 genotyping mungkin
akan bermanfaat untuk memprediksi kerentanan pasien terhadap AT-DILI sebelum pen-
gobatan sehingga efek samping yang tidak diinginkan dapat dihindari selama pengobatan
tuberkulosis. Hal ini juga mendukung upaya implementasi farmakogenomik menuju person-
alized medicine di Indonesia. Selain itu pemetaan pada etnis lain di Indonesia menjadi sangat
penting sehingga didapatkan data yang komprehensif terkait polimorfisme NAT2 di Indone-
sia. Hal tersebut mendorong pengembangan database dan kit yang komprehensif untuk pop-
ulasi Indonesia.

2. GEN N-ASETILTRANSFERASE 2
Gen arylamine N-acetyltransferase 2 (NAT2) merupakan gen yang terlibat dalam respon
fisiologi manusia untuk metabolism berbagai senyawa xenobiotik termasuk obat yang
berguna secara klinis dan berbagai senyawa kimia eksogenous dalam makanan dan ling-
kungan. Gen NAT2 terletak pada posisi kromosom 8p22 dan memiliki ukuran 870 bp. Gen
ini memiliki 2 ekson, namun hanya 1 ekson yang mengkode protein (Gambar 1). Ekspresi
gen NAT2 ditemukan terutama di hati, usus kecil, dan jaringan usus besar dan dianggap se-
bagai enzim yang khas untuk metabolism senyawa xenobiotik. Meskipun demikian level
mRNA NAT2 basal dapat ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh.

Gambar 2. Struktur gen NAT2


(dimodifikasi dari Yuliwulandari et. al, 2008)

Polimorfisme genetik pada lokus NAT2 mempengaruhi variasi individu dalam kerentanan
terhadap kanker, respon pada racun lingkungan, dan efektivitas pengobatan yang direse-
pkan.Di samping relevansi terhadap bidang medis, NAT2 juga dipertimbangkan untuk
digunakan dalam bidang genetik evolusi dan beberapa penelitian telah berusaha untuk men-
guraikan peran NAT2 pada sejarah populasi dan seleksi alam dalam membentuk variasi ge-
netik. Polimorfisme NAT2 bertanggung jawab atas variasi kemampuan dalam proses aseti-
lasi. Berdasarkan kemampuan asetilasi, maka polimorfisme NAT2 dapat dibagi menjadi be-
berapa fenotipe yang dapat diklasifikasikan secara bimodal maupun trimodal. Klasifikasi
secara bimodal membagi fenotipe NAT2 menjadi dua bagian, yaitu asetilator cepat dan lam-
bat, sedangkan klasifikasi secara trimodal membagi fenotipe NAT2 menjadi 3 asetilator ce-
pat, menengah, dan lambat. Fenotipe asetilator NAT2 ditentukan dari genotipe NAT2. Geno-
tipe NAT2 sendiri terdiri dari dua alel NAT2 yang merupakan kombinasi SNP tertentu, yang
188 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

disebut dengan haplotipe (Kuznetsov et al., 2009). SNP yang biasanya digunakan untuk
menentukan alel adalah 7 SNP sebagai berikut: rs1041983, rs1801280, rs1799929,
rs1799930, rs1208 dan rs1799931. Beberapa kombinasi SNP (haplotipe) yang menentukan
alel NAT2 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kombinasi SNP pada NAT2 yang menentukan alel NAT2 pada individu*
Kombinasi SNP (Haplotipe) Alel
rs1041983 rs1801280 rs1799929 rs1799930 rs1208 rs1799931 NAT2
C T C G A G NAT2*4
C T C G G G NAT2*12A
C T C A A G NAT2*6B
C C T G G G NAT2*5B
T T C G A G NAT2*13
T T C G A A NAT2*7B
T T C A A G NAT2*6A
*dimodifikasi dari Susilowati et al, 2017

Fenotipe asetilator NAT2 ditentukan berdasarkan konfigurasi dua alel NAT2 yang dinamakan
diplotipe. Diplotipe homozigot dari dua alel asetilator cepat, yaitu NAT2*4, diklasifikasikan
sebagai asetilator cepat dan merupakan alel wild type. Diplotipe heterozigot yang terdiri dari
satu alel cepat dan satu alel lambat diklasifikasikan sebagai asetilator intermediet dalam
klasifikasi trimodal. Diplotipe homozigot dari dua alel NAT2 asetilator lambat
diklasifikasikan sebagai asetilator lambat.Seiring dengan perkembangan dalam penelitian
NAT2, ditemukan alel-alelcepat lainnya selain NAT2*4 yang diantaranya yaitu NAT2*11A,
NAT2*12A, NAT2*13A dan NAT2*18. Beberapa contoh fenotipe asetilator lambat yang
ditemukan di dunia adalah NAT2*5A, NAT2*6A, NAT2*7B (NAT2 database,
http://nat.mbg.duth.gr/Human%20NAT2%20alleles_2013.htm).

3. NAT2 PADA SUKU JAWA-SUNDA DAN MELAYU DI INDONESIA

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan lebih
dari 300 bahasa yang berasosiasi dengan etnis tertentu. Setidaknya terdapat 6 suku besar di
Indonesia dengan komposisi sebagai berikut: Jawa (40%), Sunda (15.50%), Melayu (3.7%),
Batak (3.58%), Madura (3 %), dan Betawi (2,88%) (Ananta et al., 2010). Keragaman etnis
tersebut memberikan kesempatan untuk mempelajari keragaman genetik dari masing-mas-
ing etnis, terutama yang terkait dengan penyakit dan kerentanan terhadap efek samping obat
tertentu, salah satunya gen NAT2.

Pemetaan keragaman genetik NAT2 telah dilakukan oleh Yuliwulandari et al(2008) dan
Susilowati et al (2017) pada suku Jawa-Sunda dan Melayu. Berdasarkan distribusi trimodal,
frekuensi dari fenotipe asetilator cepat, intermediet dan lambat pada etnis Jawa-Sunda adalah
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 189

13,6%, 50.8%, dan 35.6% (Yuliwulandari et al., 2008). Pada suku Melayu, komposisi aseti-
lator cepat, intermediet dan lambat adalah 10%, 52%, dan 38%.Frekuensi fenotipe asetilator
lambat yang ditemukan di Indonesia cukup besar, sehingga harus menjadi pertimbangan un-
tuk mencegah terjadinya hepatotoksisitas dalam pengobatan TB. Dalam beberapa penelitian
diketahui bahwa individu dengan fenotipe asetilator lambat memiliki resiko lebih tinggi un-
tuk terkena hepatotoksisitas yang diinduksi oleh isoniazid (Huang et al.,2002). Pola distri-
busi asetilator lambat di Indonesia memiliki kemiripan dengan yang ada pada populasi di
Asia Tenggara lainnya, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribution of NAT2 alleles in various human population


Populasi SA1 NAT2*4 NAT2*5 NAT2*6 NAT2*7 Alel n2
Lainnya
Melayu Indonesia 0,38 0,31 0,07 0,39 0,18 0,05 100
Jawa-Sunda 0,36 0,37 0,09 0,37 0,15 0,02 424
Thai 0,36 0,38 0,04 0,33 0,20 0,005 470
Melayu Malaysia 0,35 0,41 0,12 0,38 0,09 - 292
Filipino 0,37 0,40 0,07 0,36 0,18 - 200
Indian 0,31 0,44 0,20 0,32 0,04 - 278
Korean 0,10 0,66 0,02 0,20 0,12 0,01 2000
Chinese 0,17 0,64 0,03 0,21 0,12 - 240
Japanese 0,11 0,65 0,01 0,25 0,06 0,03 218
Egyptian 0,92 0,215 0,497 0,260 0,028 - 400
Moroccan 0,72 - 0,53 0,25 0,02 0,04 326
Black South Afri-
0,40 0,13 0,32 0,19 - 0,36 202
can
Argentina 0,54 0,30 0,37 0,26 0,08 0,01 370
Portuguese 0,64 0,211 0,433 0,328 0,027 - 256
UK Caucasian 0,66 0,20 0,52 0,25 0,02 0,01 224
1
SA: Fenotipe asetilator lambat
2
n: Total alel dalam penelitian

4. NAT2 DAN IMPLEMENTASI FARMAKOGENOMIK


Selesainya era Human Genome Project (Lander et al., 2001; Venter et al., 2001) dan HapMap
Project (The International HapMap Consortium, 2007), menjadi awal derasnya informasi
terkait kerentanan genetik terhadap berbagai penyakit dan variasi genetik terhadap respon
obat. Hal ini membuat peneliti di bidang biomedis tertarik untuk melakukan penelitian
190 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

terhadap hal tersebut. Data genomik menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengembangan
obat modern. Istilah farmakogenomik dan farmakogenetik dalam penelitian biomedis
menjadi tidak asing dan menjadi dasar dalam penerapan personalize medicine.
Istilah farmakogenomik diperkenalkan pada akhir tahun 1990 dalam dunia medis. Pada saat
itu tidak ada definisi yang pasti mengenai farmakogenomik dan istilah ini sering digunakan
bergantian dengan istilah farmakogenetik (Mini & Nobili, 2009). The European Agency for
the Evaluation of Medicinal Products (EMEA) mendefinisikan farmakogenetik sebagai
studi variasi interindividu pada sekuen DNA yang terkait dengan respon terhadap obat dan
farmakogenomik sebagai studi dari variasi ekspresi gen individu terkait kerentanan terhadap
penyakit dan respon obat pada tingkat sel dan jaringan pada tingkatan individu atau populasi.
Dari definisi tersebut farmakogenomik dapat disimpulkan sebagai evolusi farmakogenetik
dalam skala genomik.
Penelitian awal terkait NAT2 sebagai faktor resiko DILI yang disebabkan isoniazid
melaporkan peningkatan insiden DILI karena isoniazid pada tipe asetilator lambat dan be-
berapa pada asetialtor cepat. Penelitian tersebut hanya menentukan fenotipe NAT2 tetapi
penelitian selanjutnya melibatkan metode genotyping yang mengkonfirmasi bahwa asetila-
tor lambat menunjukkan peningkatan terhadap resiko DILI karena isoniazid. Penelitian
percobaan klinis di Jepang melibatkan dosis isoniazid yang berbeda berdasarkan genotipe
NAT2, dan hasilnya dilaporkan bahwa insiden AT-DILI berkurang ketika asetilator lambat
diberikan dosis yang rendah dari standar normal dosis rekomendasi WHO (Ohno et al., 2000;
Azuma et al., 2012).
Penelitian DILI yang disebabkan isoniazid dan terkait dengan asetilator lambat di Indonesia
telah dilakukan oleh Yuliwulandari et al (2016). Yuliwulandari et al (2006) melaporkan
bahwa NAT2*6A memiliki keterkaitan signifikan terhadap DILI yang diinduksi isoniazid
(P=7.7×10−4, odds ratio (OR)=4.75 (1.8–12.55)). Penelitian juga menunjukkan bahwa
pasien dengan TB dan memiliki fenotipe asetilator lambat lebih memiliki kecenderungan
untuk mengembangkan DILI dibandingkan pasien dengan fenotipe asetilator intermediet
dan asetilator (P=1.7×10−4,OR=3.45 (1.79–6.67)).

Implementasi farmakogenomik terkait NAT2 sangat penting untuk diterapkan di Indone-


sia.Dengan demikian pengembangan kit diagnostic terkait polimorfisme NAT2 perlu segera
dilakukan. Kit tersebut akan memudahkan klinisi dalam memprediksi resiko pasien yang
akan diberikan pengobatan tuberkulosis sehingga akan membantu dalam pemilihan terapi
yang tepat dan aman untuk pasien, yang
mendukung proses kemajuan pengobatan klinis Indonesia kearah personalized medicine.

5. KESIMPULAN
Penelitian terkait polimorfisme genetik NAT2 sangat penting dilakukan untuk mencegah ter-
jadinya efek obat yang tidak diinginkan pada pasien tuberkulosis di Indonesia.Individu
dengan fenotipe asetilator lambat di Indonesia memiliki frekuensi cukup tinggi dan individu
tersebut memiliki resiko lebih tinggi untuk mengembangkan AT-DILI. Oleh karena itu,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 191

pengembangan kit diagnostik dari penelitian tersebut sangat mendesak untuk dilakukan ka-
rena bermanfaat sebagai prediktor untuk pasien yang rentan terhadap AT-DILI.

DAFTAR REFERENSI
Ananta, A., Arifin, E. N., Hasbullah, M. S., Handayani, N. B., dan Pramono. 2013. A. Changing
Ethnic Composition: Indonesia, 2000-2010. Proceeding of The XXVII IUSSP International
Population Conference, Busan, Korea:26–31 August 2013.
Azuma, J., Ohno, M., Kubota, R., Yokota, S., Nagai, T., Tsuyuguchi, K., Okuda, Y., Takashima, T.,
Kamimura, S., Fujio, Y., dan Kawase, I. 2013. NAT2 genotype guided regimen reduces isoni-
azid-induced liver injury and early treatment failure in the 6-month four-drug standard treat-
ment of tuberculosis: A randomized controlled trial for pharmacogenetics-based therapy. Eu-
ropean Journal of Clinical Pharmacology. Vol. 69: hal. 1091-1101.
http://doi.org/10.1007/s00228-012-1429-9
Du, H., Chen, X., Fang, Y., Yan, O., Xu, H., Li, L., dan Huang, W. 2013. Slow N-acetyltransferase 2
genotype contributes to anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity: a meta-analysis. Mo-
lecular Biology Reports.Vol. 40, No. 5: hal. 3591–3596. http://doi.org/10.1007/s11033-012-
2433-y
Fountain, F. F., Tolley, E., Chrisman, C. R., dan Self, T. H. 2005. Isoniazid hepatotoxicity associated
with treatment of latent tuberculosis infection: a 7-year evaluation from a public health tuber-
culosis clinic. Chest.Vol. 128, No. 1: hal. 116–123. http://doi.org/10.1378/chest.128.1.116
Huang, Y. S., Chern, H. D., Su, W. J., Wu, J. C., Chang, S. C., Chiang, C. H., Chang, F. Y., dan Lee,
S. D. 2003. Cytochrome P450 2E1 genotype and the susceptibility to antituberculosis drug-
induced hepatitis. Hepatology. Vol.37, No. 4: hal. 924–930.
http://doi.org/10.1053/jhep.2003.50144
Huang, Y.S., Chern, H. D., Su, W. J., Wu, J. C., Lai, S. L., Yang, S. Y., Chang, F. Y., dan Lee, S. D.
2002. Polymorphism of the N-acetyltransferase 2 gene as a susceptibility risk factor for an-
tituberculosis drug-induced hepatitis. Hepatology. Vol. 35, No. 4: hal. 883–889.
http://doi.org/10.1016/j.patbio.2011.07.001
Khalili, H., Fouladdel, S., Sistanizad, M., Hajiabdolbaghi, M., dan Azizi, E. 2011. Association of N-
acetyltransferase-2 genotypes and anti-tuberculosis induced liver injury; first case-controlled
study from Iran. Current Drug Safety. Vol. 6, No. 1: hal. 17–22.
http://10.2174/157488611794479946
Kim, S. H., Kim, S. H., Yoon, H. J., Shin, D. H., Park, S. S., Kim, Y. S., Park, J. S., dan Jee, Y. K.
2010. GSTT1 and GSTM1 null mutations and adverse reactions induced by antituberculosis
drugs in Koreans. Tuberculosis. Vol. 90, No. 1: hal. 39–43.
http://doi.org/10.1016/j.tube.2009.12.001
Leiro-Fernandez, V., Valverde, D., Vázquez-Gallardo, R., Botana-Rial, M., Constenla, L., Agúndez,
J. A., dan Fernández-Villar, A. 2011. N-acetyltransferase 2 polymorphisms and risk of anti-
tuberculosis drug-induced hepatotoxicity in Caucasians. International Journal of Tuberculosis
and Lung Disease. Vol. , No. 10: hal. 1403–1408. http://doi.org/10.5588/ijtld.10.0648
Mini, E. dan Nobili, S. 2009. Pharmacogenetics: implementing personalized medicine.Clinical Cases
in Mineral and Bone Metabolism. Vol. 6, No. 1: hal. 17-24.
192 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Ohno, M., Yamaguchi, I., Yamamoto, I., Fukuda, T., Yokota, S., Maekura, R., Ito, M. Yamamoto,
Y., Ogura, T., Maeda, K., Komuta, K., Igarashi, T., dan Azuma, J. 2000. Slow N-acetyltrans-
ferase 2 genotype affects the incidence of isoniazid and rifampicin-induced hepatotoxicity. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol. 4, No. 3: hal. 256–261. Re-
trieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10751073
Roy, P. Das, Majumder, M., dan Roy, B. 2008. Pharmacogenomics of anti-TB drugs-related hepato-
toxicity. Pharmacogenomics. Vol.9, No. 3: hal. 311–321. http://doi.org/
10.2217/14622416.9.3.311
Santos, N. P., Callegari-Jacques, S. M., Ribeiro Dos Santos, A. K, Silva, C. A, Vallinoto, A. C.,
Fernandes, D. C., de Carvalho, D. C., Santos, S. E., dan Hutz, M. H. 2013) N-acetyl transferase
2 and cytochrome P450 2E1 genes and isoniazid-induced hepatotoxicity in Brazilian patients.
The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol.17, No. 4: hal. 499–504.
http://doi.org/10.5588/ijtld.12.0645
Saukkonen, J. J., Cohn, D. L., Jasmer, R. M., Schenker, S., Jereb, J. A., Nolan, C. M., Peloquin, C.
A., Gordin, F. M., Nunes, D., Strader, D. B., Bernardo, J., Venkataramanan, R., dan Sterling,
T. R. 2006. An official ATS statement: Hepatotoxicity of antituberculosis therapy. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. Vol. 174, No. 8: hal. 935–952.
http://doi.org/10.1164/rccm.200510-1666ST
Singla, N., Gupta, D., Birbian, N., dan Singh, J. (2014). Association of NAT2, GST and CYP2E1
polymorphisms and anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity. Tuberculosis. Vol. 94, No.
3: hal. 293–298. http://doi.org/10.1016/j.tube.2014.02.003
Susilowati, R. W., Prayuni, K., Razari, I., Bahri, S., dan Yuliwulandari, R. 2017. High frequency of
NAT2 acetylator alleles in Malay Population of Indonesia: an awareness to the anti-tubercu-
losis drug induced liver injury and cancer. Medical Journal od Indonesia. Vol. 26, No. 1: 7-
13. http://dx.doi.org/10.13181/mji.v26i1.1563
Tang, S. W., Lv, X. Z., Zhang, Y., Wu, S. S., Yang, Z. R., Xia, Y. Y., Tu, D. H., Deng, P. Y., Ma, Y.,
Chen, D. F., Zhan, S. Y. 2012. CYP2E1, GSTM1 and GSTT1 genetic polymorphisms and
susceptibility to antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: A nested case-control study.
Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics. Vol. 37, No. 5: hal. 588–593.
http://doi.org/10.1111/j.1365-2710.2012.01334.x
Teixeira, R. L. D. F., Morato, R. G., Cabello, P. H., Muniz, L. M. K., Moreira, A. D. S. R., Kritski,
A. L., Mello, F. C., Suffys, P. N., Miranda, A. B., dan Santos, A. R. 2011. Genetic polymor-
phisms of NAT2, CYP2E1 and GST enzymes and the occurrence of antituberculosis drug-
induced hepatitis in Brazilian TB patients. Memorias Do Instituto Oswaldo Cruz. Vol.106, No.
6: hal. 716–724. http://dx.doi.org/10.1590/S0074-02762011000600011
World Health Organization. 2010. Treatment of tuberculosis: guidelines (4Th Edition). Geneva, Swit-
zerland.
World Health Organization. 2016.Global Tuberculosis Report 2016. Geneva, Switzerland.
Yuliwulandari, R., Sachrowardi, Q., Nishida, N., Takasu, M., Batubara, L., Susmiarsih, T. P., Ro-
chani, J.T., Wikaningrum, R., Miyashita, R., Miyagawa, T., Sofro, A.S.M., Tokunaga, K.
2008. Polymorphisms of promoter and coding regions of the arylamine N-acetyltransferase 2
(NAT2) gene in the Indonesian population: Proposal for a new nomenclature. Journal of Hu-
man Genetics, Vol. 53, No. 3: hal. 201–209. http://doi.org/10.1007/s10038-007-0237-z
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 193

Yuliwulandari, R., Susilowati, R. W., Wicaksono, B. D., Viyati, K., Prayuni, K., Razari, I., Kristin,
E., Diana, E.S., Setiawati, A., Ariyani, A. Mahasirimongkol, S., Yanai, H., Mushiroda, T.,
Tokunaga, K. 2016. NAT2 variants are associated with drug-induced liver injury caused by
anti-tuberculosis drugs in Indonesian patients with tuberculosis. Journal of Human Genetics,
Vol. 61, No. 6: hal. 533–537. http://doi.org/10.1038/jhg.2016.10

BIOGRAFI PENULIS
dr. Rika Yuliwulandari, Ph.D
dr. Hj. Rika Yuliwulandari, Ph.D merupakan alumnus S1
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, S2 dan S3 De-
partment of Human Genetics, Graduate School of Medicine,
The University of Tokyo. Saat ini menjabat sebagai Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dan ketua Pusat
Penelitian Genetik/Genomik, YARSI Research Institute
serta aktif sebagai pengajar Farmakologi dan peneliti.
Bidang riset yang ditekuni adalah genomic medicine dengan
spesifikasi farmakogenetik dan farmakogenomik. Riset
yang telah dilakukan antara lain studi populasi pada suku-
suku besar di Indonesia (Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Bugis) terkait gen-gen yang berperan
dalam metabolisme obat tuberkulosis dan Human Leukocyte Antigen (HLA), studi gen
terkait efek samping obat, studi asosiasi, dan database genomik.

Kinasih Prayuni, M.Si


Kinasih Prayuni, M.Si, menyelesaikan program Sarjana
Biologi (2008) di Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia dan
program Master Bioteknologi (2014) di Sekolah Ilmu
Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Sempat
bergabung dengan PT. Pandu Biosains yang merupakan
distributor Illumina, memberikan keahlian dalam
menjalankan Next generation Sequencing. Saat ini aktif
sebagai asisten riset pada Pusat Penelitian Genetik/Genomik,
YARSI Research Institute, Universitas YARSI dengan fokus
penelitian di bidang farmakogenetik dan farmakogenomik.
194 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Umbi Batang Tumbuhan


Sarang Semut (Myrmecodia Pendens Merr. & L. M. Perry)
Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus
Ardianti Febriana1, Sulistianingsih2,Yasmiwar Susilawati3
1
Fakultas Farmasi, Konsentrasi Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor -
Sumedang
2
Fakultas Farmasi, Departemen Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor –
Sumedang
3
Fakultas Farmasi, Departemen Biologi Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor -
Sumedang
email : 1ardianti.febriana@yahoo.com

Abstrak
Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) secara empiris
digunakan sebagai obat yang memiliki aktivitas antibakteri. Namun, belum pernah diteliti
mengenai aktivitas antibakteri tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas
antibakteri umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) terhadap
bakteri Gram negatif dan Gram positif yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus, menentukan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM), dan nilai banding ak-
tivitas antibakterinya terhadap tetrasiklin-HCl. Hasil pengujian aktivitas antibakteri umbi
batang sarang semut menunjukkan bahwa ekstrak umbi batang sarang semut memiliki ak-
tivitas antibakteri terhadap kedua bakteri tersebut. Konsentrasi hambat tumbuh minimum
(KHTM) ekstrak umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry)
terhadap Pseudomonas aeruginosa terletak pada konsentrasi 0,83 % , sedangkan pada Staph-
ylococcus aureus terletak pada konsentrasi 0,8 %. Hasil uji banding ekstrak umbi batang
sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) dengan tetrasiklin-HCl terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus berturut-turut sebesar 1 : 6,709 x 10-4
dan 1 : 1,038 x 10-5. Penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak umbi batang sarang
semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) mengandung flavonoid dan polifenol.
Kata kunci: Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry, Aktivitas antibakteri, Pseudomo-
nas, Staphylococcus
ABSTRACT
The ant plant (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry) is one of plant applied as tradi-
tional medicine. Empirically, the tuber of the ant plant have antibacterial activity. However,
the examination of antimicrobial activity from extract of the tuber has never been reported.
The research was done to know the activity of antimcrobial againts Gram positive and Gram
negatif bacteria such as Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus, to determine
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the tuber, and comparative value antibacterial
activity with tetracycline-HCl. The result revealed that the tuber of the ant plant (Myrmeco-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 195

dia pendens Merr. & L. M. Perry) has antibacterial activity againts those bacteria. The Min-
imum Inhibitory Concentration of extract from the tuber of ant plant to Pseudomonas aeru-
ginosa was in range 8,2x103-8,3x103 ppm of concentration, and to Staphylococcus aureus
was in range 7,5x103-8x103 ppm of concentration. Comparative value of extract from the
tuber of ant plant with tetracycline-HCl againts Pseudomonas aeruginosa and Staphylococ-
cus aureus were respective 1:.6.709 x 10-4 and :1.038 x 10-5. Phytochemical screening
showed that the extract of the tuber contains flavonoid and polifenol.
Keywords: Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry, Antibacterial activity, Pseudomonas,
Staphylococcus

1. PENDAHULUAN
Di samping kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan juga
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia karena dengan kondisi kesehatan yang baik
dan kondisi tubuh yang prima, manusia dapat melaksanakan proses kehidupan, tumbuh dan
menjalankan aktivitasnya dengan baik. Apabila terjadi suatu keadaan sakit atau gangguan
kesehatanmaka obat akan menjadi suatu bagian penting yang berperan dalam upaya
pemulihan kondisi sakit tersebut (Maheshwari, 2002).
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu
gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri adalah salah
satu ancaman terbesar di bidang kesehatan di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Infeksi
dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, antara lain Pseudomonas aeruginosa dan Staphy-
loccus aureus(Utama, 2006).
Salah satu bahan alam yang telah diteliti aktivitas antimikrobanya adalah tumbuhan sarang
semut. Menurut penelitian tersebut, spesies Hydnophytum formicarum Jack. memiliki ak-
tivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram positif dan Gram negatif (Prachayasit-
tikul, et al., 2008).
Dari literatur tercatat hanya ada satu spesies Hydnophytum dan satu spesies Myrmecodia
yang digunakan sebagai bahan obat oleh penduduk lokal suatu daerah tertentu di Asia
Tenggara, yaitu Hydnophytum formicarum Jack. dan Myrmecodia tuberosa Jack. Di Indo-
nesia, Hydnophytum formicarum bentuk pastanya digunakan untuk mengobati pembengka-
kan, sakit kepala dan rematik. Sedangkan air rebusannya digunakan untuk mengobati hernia
dan maag. Di Filipina, air rebusannya digunakan untuk mengobati liver dan masalah pen-
cernaan. Di Thailand, serbuknya digunakan untuk antelmintik (obat cacing), tonik jantung,
penyakit tulang, penyakit kulit, penyakit paru-paru, sakit di persendian dan sebagai bahan
campuran untuk obat antidiabetes. Di Malaysia, air rebusannya digunakan untuk mengobati
kanker. Di Vietnam, tumbuhan ini digunakan untuk mengobati hepatitis, rematik dan diare.
Di Indonesia pasta dari spesies Myrmecodia tuberosa digunakan untuk mengobati pem-
bengkakan dan sakit kepala. Selain itu, spesies lain Myrmecodia pendens juga digunakan
secara tradisional oleh penduduk lokal tertentu di Papua untuk menyembuhkan beragam
gangguan kesehatan, namun tidak jelas jenis-jenis penyakit yang dapat disembuhkan oleh
sarang semut jenis ini (Subroto, 2009).
196 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Sarang semut (Myrmecodia) merupakan salah satu tumbuhan epifit dari Hydnophytinae (Ru-
biaceae) yang dapat berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit, artinya tum-
buhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara parasit pada tumbuhan
inangnya, hanya sebagai tempat menempel (Subroto dan Saputro, 2006).
Uji penapisan kimia dari tumbuhan Myrmecodia pendens menunjukkan bahwa tumbuhan ini
mengandung senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid merupakan go-
longan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang merupakan pigmen tumbuhan.
Fungsi flavanoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan, melindungi struktur sel,
memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), anti-
inflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Subroto dan Saputro, 2006).
Staphylococcus aureus adalah spesies yang merupakan kelompok genus stafilokokus. Ciri
khas organisme stafilokokus adalah sel sferis Gram-positif, biasanya terdapat dalam ke-
lompok seperti anggur yang tidak teratur, tidak motil dan tidak membentuk spora. Hal yang
membedakan antara S.aureus dengan spesies lainnya adalah sifat koagulase positifnya. S.au-
reus merupakan flora normal kulit dan membran mukosa manusia (Brooks et al., 2007;
Pelczar dan Chan, 2006).
Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif yang berbentuk batang (basil), motil,
bersifat aerob danbanyak ditemukan di tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan binatang. P.aeru-
ginosa adalah bakteri obligat aerob yang dapat tumbuh dengan mudah pada banyak jenis
medium biakan. P.aeruginosa sering terdapat di dalam flora normal usus dan pada kulit
manusia dalam jumlah kecil serta merupakan patogen utama dalam kelompok Pseudomonas
(Brooks, et al., 2007).
Berdasarkan kandungan flavonoidnya yang dapat berfungsi sebagai antibiotik dan hasil
penelitian aktivitas antimikroba terhadap spesies Hydonophytum formicarum Jack. (Pracha-
yasittikul, et al., 2008) maka muncul hipotesis bahwa spesies Myrmecodia pendens kemung-
kinan juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylo-
coccus aureus. Sehingga, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas
antibakteri umbi batang tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.& Perry) ter-
hadap kedua bakteri tersebut.

2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah simplisia umbi batang tumbuhan sarang
semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry). Simplisia ini didapatkan dari perkebunan di
Wamena, Papua. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Pseudomonas aeru-
ginosa dan Staphylococcus aureus yang diperoleh dari Bagian Patologi Klinik Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. Bakteri-bakteri ini ditumbuhkan dalam medium agar nutrien/NA
(Pronadisa) dengan konsentrasi 23 g/l dan kaldu nutrien/NB (Pronadisa) dengan konsentrasi
8 g/l. Antibiotika pembanding yang digunakan adalah antibiotika tetrasiklin-HCl (Sanbe).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 197

2.2 Pengumpulan Bahan dan Determinasi Tumbuhan


Sampel berupa simplisia umbi batang tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendens Merr.&
Perry) yang diperoleh dari perkebunan di Wamena, Papua.Determinasi sarang semut (Myr-
mecodia pendens Merr.& Perry) dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor.

Gambar 1. Simplisia umbi batang sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry)
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi atau perendaman. Metode ini dipilih untuk
mencegah kerusakan senyawa-senyawa komponen oleh suhu tinggi. Pelarut yang digunakan
adalah pelarut etanol yang merupakan pelarut umum untuk menarik senyawa polar dan non-
polar. Proses ini dilakukan dengan perendaman serbuk simplisia sarang semut selama 3x24
jam dalam maserator dengan penggantian pelarut setiap 24 jam. Ekstrak ditampung dalam
labu dasar bundar, kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu kurang
dari 600C.
198 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 2. Ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut

2.4 Penapisan Fitokimia


Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam
ekstrak sarang semut. Kandungan yang diperiksa adalah golongan alkaloid, flavanoid, kui-
non, polifenol, saponin, tanin, triterpenoid, steroid, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid.
2.5 Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum
Penetapan konsentrasi hambat tumbuh minimum (KHTM) dilakukan dengan metode difusi
agar terhadap ekstrak etanol dari umbi batang tumbuhan sarang semut. Pada proses peneta-
pan KHTM, dibuat larutan sampel dengan beberapa variasi konsentrasi terkecil yang masih
memiliki aktivitas. Suspensi bakteri digoreskan ke dalam cawan petri yang telah berisi cam-
puran media dan ekstrak dengan variasi konsentrasi tertentu kemudian diinkubasi pada suhu
370C selama 24 jam dan diamati pertumbuhan bakterinya.
2.6 Uji Banding Aktivitas Antibakteri
Uji banding dilakukan terhadap sampel yang memiliki aktivitas antibakteri dan tetrasiklin
dengan variasi konsentrasi. Kemudian ekstrak dan tetrasiklin-HCl dimasukkan ke dalam
lubang yang terdapat pada media uji dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.Nilai
uji banding diperoleh dengan membandingkan respon berupa nilai hambatan pertumbuhan
bakteri dari sampel terhadap respon zat pembanding pada kondisi dan perlakuan yang sama.
Lalu diukur diameter dari zona bening yang dihasilkan dan dibuat grafik log konsesntrasi
terhadap diameter hambat.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 199

3. HASIL
Dari hasil ekstraksi dengan menggunakan simplisia sebanyak 370,25 g diperoleh ekstrak
kering sebanyak 51, 836 g sehingga rendemennya adalah 14,00%. Adapun karakteristik dari
ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut adalah kering, berwarna merah kecoklatan.

3.1 Penapisan Fitokimia

Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Umbi Batang Tumbuhan Sarang Semut

Golongan Senyawa Ekstrak


Alkaloid -
Flavonoid +
Kuinon -
Polifenol +
Saponin -
Tanin -
Triterpenoid -
Steroid -
Monoterpen & Seskuiterpen -

Keterangan : + = terdeteksi
- = tidak terdeteksi

Gambar 3. Hasil penapisan fitokimia (a) blanko, (b) kuinon, (c) polifenol, (d) tanin, (e) saponin, (f)
flavonoid
200 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.2 Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak


Tabel 2. Hasil Uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak ter-
hadap Pseudomonas aeruginosa

Konsentrasi Ekstrak (ppm) Hasil Uji


6000 +
8000 +
8100 +
8200 +
8300 -
8400 -

Keterangan :+ = ada pertumbuhan bakteri


- = tidak ada pertumbuhan bakteri
Tabel 3. Hasil Uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) Ekstrak ter-
hadap Staphylococcus aureus

Konsentrasi Ekstrak (ppm) Hasil Uji


6500 +
7000 +
7500 +
8000 -
8200 -

Keterangan : + = ada pertumbuhan bakteri


- = tidak ada pertumbuhan bakteri

Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Baku Pembanding Tetrasiklin-HCl

Tabel 4. Hasil Penetapan Diameter Hambat Tetrasiklin-HCl terhadap Bakteri Pseu-


domonas aeruginosa

Konsentrasi Tetrasiklin-HCl (ppm) Diameter Hambat (mm)


Konsentrasi Log Konsentrasi
100 2 14,34
120 2,079 14,86
140 2,146 15,26
160 2,204 15,92
180 2,255 16,14
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 201

Tabel 5. Hasil Penetapan Diameter Hambat Tetrasiklin-HCl terhadap Bakteri Staph-


ylococcus aureus

Konsentrasi Tetrasiklin-HCl (ppm) Diameter Hambat (mm)


Konsentrasi Log Konsentrasi
1 0 12,02
2 0,301 15,50
3 0,477 17,02
4 0,602 18.50
5 0,699 20,02

(a) (b)
Gambar 4. Hasil uji banding ekstrak dengan tetrasiklin-HCl terhadap (a) Pseudomonas
aeruginosa dan (b) Staphylococcus aureus
Diameter Hambat (mm)

Log Konsentrasi (ppm)

Gambar 1. Kurva hubungan antara logaritma konsentrasi (ppm) tetrasiklin-HCl dengan diameter
daya hambat (mm) tetrasiklin-HCl terhadap Pseudomonas aeruginosa dengan persa-
maan y = 7,319x - 0,335 dan r = 0,993
202 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Diameter Hambat (ppm)

Log Konsentrasi

Gambar 2. Kurva hubungan antara logaritma konsentrasi (ppm) tetrasiklin-HCl dengan diameter
daya hambat (mm) tetrasiklin-HCl terhadap Staphylococcus aureus dengan persa-
maan y = 12,001x + 11,089 dan r = 0,997

Tabel 6. Hasil Pengukuran Diameter Daya Hambat Ekstrak Umbi Batang Tum-
buhan Sarang Semut terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococ-
cus aureus

Konsentrasi (ppm) Diameter Hambat (mm)


Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus
500.000 17,54 19,6
18.3 19,86
18,6 19,6
Rata-rata 18,15 19,67

Dari data Tabel 6 pada konsentrasi 500.000 ppm ekstrak umbi batang sarang semut
memberikan diameter hambat rata-rata terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa sebesar
18,15 mm. Nilai ini kemudian distubtitusikan dengan menggunakan persamaan Gambar 4.1
didapatkan nilai x = 18,15 dan antilog = 335,443 sehingga didapatkan data bahwa 1 bagian
ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseu-
domonas aeruginosa yang setara dengan 6,709 x 10-4 bagian tetrasiklin-HCl. Nilai banding
ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap Pseudomonas
aeruginosa adalah 1:6,709 x 10-4, yang artinya untuk menghasilkan diameter hambat yang
sama, 1 bagian ekstrak sebanding dengan 6,709x 10-4 bagian tetrasiklin-HCl.
Dengan menggunakan cara yang sama, dari Tabel 6 pada konsentrasi 500.000 ppm ekstrak
umbi batang sarang semut memberikan rata-rata diameter hambat terhadap bakteri Staphy-
lococcus aureussebesar 19,67 mm. Nilai ini kemudian distubtitusikan dengan menggunakan
persamaan Gambar 4.2 didapatkan nilai x = 0,715 dan anti log = 5,188 sehingga didapatkan
data bahwa ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut memiliki aktivitas antibakteri
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 203

terhadapStaphylococcus aureus yang setara dengan 1,038 x 10-5 bagian tetrasiklin-HCl. Nilai
banding ekstrak umbi batang tumbuhan sarang semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap
Staphylococcus aureus adalah 1:1,038 x 10-5, yang artinya untuk menghasilkan diameter
hambat yang sama, 1 bagian ekstrak sebanding dengan 1, 038 x 10-5 bagian tetrasiklin-HCl.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi batang sarang semut
(Myrmecodia pendens Merr. & L. M. Perry)memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Konsentrasi hambat minimum
ekstrak umbi batang sarang semut terhadap Pseudomonas aeruginosa terletak pada rentang
konsentrasi 8200-8300 ppm sedangkan pada Staphylococcus aureus terletak pada konsen-
trasi 7500-8000 ppm. Hasil uji banding aktivitas ekstrak umbi batang tumbuhan sarang
semut dengan tetrasiklin-HCl terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococ-
cus aureus berturut-turut sebesar 1:6,709 x 10-4 dan 1:1,038 x 10-5. Hasil penapisan fitokimia
dari ekstrak etanolumbi batang sarang semut mengandung flavonoid dan polifenol.

DAFTAR REFERENSI
Brooks, G. F., J. S. Butel., and S. A. Morse. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedok-
teran. Edisi 23. Diterjemahkan oleh Huriawati Hertanto, Chaerunnisa Rachman,Alifa Dimanti,
Aryana Diani. EGC. Jakarta. hlm. 149-160,169-170,25-231,266-268.
Brooks, G. F., J. S. Butel., and L. N. Ornston. 1996. Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedok-
teran. Edisi 20. Diterjemahkan oleh Edi Nugroho, RF Maulany. EGC. Jakarta. hlm. 155
Maheshwari, Hera. 2002. Pemanfaatan Obat Alami: Potensi dan Prospek Pengembangannya. Tersedia
di: http://rufyct.com[Diakses tanggal 23 Desember 2009].
Pelczar, M. J. Dan E. C. S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi I. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta. hlm. 100-101; 169-170; 175; 225-231; 266-268.
Pelczar, M. J. Dan E. C. S. Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi II. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta. hlm. 452-454.
Prachayasittikul, Supaluk., P. Buraparuangsang., A. Worachartcheewan., C. Isarankura-Na-Ayudhya.,
S. Ruchirawat and V. Prachayasittikul. Antimicrobial and Antioxidative Activities of Bioactive
Constituents from Hydnophytum formicarum Jack. Molecules 2008. 13 (4) : 904-921. Available
at: http://www.mdpi.com [Diakses tanggal 13 November 2009].
Subroto, M. Ahkam. 2009. Obat Alternatif: Sarang Semut Penakluk Penyakit Maut. Tersedia di:
http://kajuali.com[Diakses tanggal 23 Desember 2009].
Subroto, M. Ahkam dan Hendro Saputro. 2006. Gempur Penyakit dengan Sarang Semut. Penebar
Swadaya. Jakarta. hlm. 11-15; 27-30; 41-46.
Utama, H. W. 2006. Infeksi Nosokomial. Tersedia di: http://rudyct.com[Diakses tanggal 23 Desember
2009].
204 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

BIOGRAFI PENULIS
Dra. Rr. Sulistiyaningsih, M.Kes., Apt
Dra. Rr. Sulistiyaningsih, M.Kes., Apt merupakan Lektor pada Departemen Biologi Farmasi,
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran yang menempuh pendidikan sarjana di Fakultas
Farmasi dan pasca sarjana di Fakultas Kedokteran, Ilmu Kesehatan Dasar, Universitas
Padjadjaran.
Dr. Yasmiwar Susilawati, M.Si., Apt.
Dr. Yasmiwar Susilawati, M.Si., Apt.merupakan Lektor pada Departemen Biologi Farmasi,
Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran yang menempuh pendidikan sarjana di Fakultas
Farmasi Universitas Padjadjaran dan pasca sarjana Program Magister&Doktor di Fakultas
Farmasi, Institut Teknologi Bandung.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 205

Aplikasi Smartphone dalam Pembelajaran Biologi


Iwan Setia Kurniawan1 dan Topik Hidayat2
1
Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pasundan, Bandung
2
Departemen Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
email : 1iwansetiakurniawan@yahoo.com, 2topikhidayat@upi.edu

Abstrak
Ulasan ini menginformasikan mengenai penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelaja-
ran. ulasan ini mencakup tiga bahasan utama yaitu: aplikasi smartphone, kemampuan iden-
tifikasi dan literasi konservasi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan aplikasi
smartphone yang diintegrasikan dalam pembelajaran lebih baik daripada pembelajaran
dengan cara tradisional. Selain itu aplikasi smartphone efektif untuk meningkatkan hasil
belajar siswa, meningkatkan kolaborasi, meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran,
meningkatkan pemahaman konseptual, meningkatkan kemampuan identifikasi siswa
mengenai berbagai spesies dan meningkatkan literasi konservasi serta membantu memper-
mudah akses materi pembelajaran secara online. Aplikasi smartphone yang dikembangkan
dengan prosedur yang tepat akan membantu dalam pembelajaran. Dalam hal ini, beberapa
penelitian menunjukan dengan menggunakan aplikasi smartphone siswa memiliki kemam-
puan identifikasi yang baik, hal ini penting karena kemampuan identifikasi sangat dibutuh-
kan dalam upaya konservasi. Pembelajaran inovatif sudah seharusnya mengembangkan
teknologi khususnya smartphone untuk menunjang pembelajaran. Studi lebih lanjut diper-
lukan untuk mengembangkan berbagai aplikasi smartphone dalam pembelajaran.
Kata kunci: Aplikasi Smartphone, Inovasi Pembelajaran, Keterampilan Identifikasi,
Literasi Konservasi
Abstract
This review informs about the use of smartphone applications in learning. This review covers
three main topics, namely: applications of smartphones, the ability of identification and con-
servation literacy. Some studies showed that the use of smartphone applications that are
integrated in learning is better than learning in a traditional way. In addition, smartphone
applications are effectively able to improve student learning outcomes, collaboration, stu-
dent motivation in learning, conceptual understanding, identification skill of students on a
variety of species conservation, and promote literacy and facilitate access to online learning
materials. Smartphone applications developed with proper procedures will assist in learn-
ing. In this regard, several studies have shown using smartphone applications students have
proper identification ability, this is important because the ability of identification is required
in conservation efforts. Innovative learning should develop technologies to support learning,
especially smartphone. Further studies are needed to develop a variety of smartphone ap-
plications in learning.
Keywords: Conservation Literacy, Identification Skills, Innovative Learning, Smartphone
Applications,
206 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi telepon seluler pada saat ini terjadi begitu pesat secara tidak langsung
berpengaruh pada semua aspek kehidupan. Salah satu contohnya kemunculan beberapa
smartphone dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilengkapi dengan berbagai fitur-fitur
yang semakin lengkap dan canggih. Kecanggihan fitur dalam smartphone tentu saja mem-
iliki tujuan untuk mempermudah pengguna dalam segala hal, secara khusus bertujuan untuk
memberikan kepuasan kepada pengguna. Berbagai aplikasi dengan mudah dapat diunduh
pada konten-konten yang tersedia seperti pada Google Play Store atau Apps Store. Namun,
penggunaan fitur-fitur canggih dalam smartphone belum maksimal terutama yang berhub-
ungan dengan pembelajaran. Beberapa aplikasi dalam smartphone lebih banyak digunakan
sebagai alat komunikasi atau media sosial (facebook, twiter, whatsapp, line, messenger, dll.).
Kurangnya penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelajaran tentu saja sangat meru-
gikan, seharusnya beberapa aplikasi dalam smartphone dapat digunakan dalam menunjang
pembelajaran di kelas bahkan dapat dijadikan sebagai metode pembelajaran inovatif dengan
mengintegrasikan kemajuan teknologi.
Ekologi merupakan cabang ilmu biologi yang berhubungan langsung dengan alam. Pada
kegiatan perkuliahan, mempelajari ekologi sering dilakukan dengan metode langsung yaitu
kuliah lapangan. Kuliah lapangan (fieldtrip) merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang
berhubungan langsung dengan alam. Dalam pembelajaran sains khususnya biologi, kegiatan
kuliah lapangan sudah menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan karena biologi berhub-
ungan dengan kehidupan mahluk hidup yang berada di alam. Kegiatan kuliah lapangan su-
dah seharusnya dikembangkan dengan berbagai metode atau pendekatan baru seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Salah satunya dengan menggunakan
dan mengembangkan aplikasi smartphone. Dengan demikian kegiatan kuliah lapangan dapat
memberikan suasana baru yang lebih inovatif dari yang biasanya dilakukan.
Kuliah lapangan ekologi dengan menggunakan aplikasi smartphone akan mempermudah
mahasiswa dalam melakukan identifikasi dan klasifikasi dari beberapa spesies, contohnya
burung. Kemampuan identifikasi dan klasifikasi mahasiswa dalam ekologi sangat dibutuh-
kan karena akan menunjang dalam upaya konservasi. Dengan bekal kuliah lapangan dimana
mahasiswa akan langsung berhubungan dengan alam diharapkan dapat memiliki literasi kon-
servasi yang baik sehingga dapat menunjang upaya konservasi khususnya konservasi bu-
rung. Proses identifikasi dan klasifikasi dengan menggunakan aplikasi smartphone diharap-
kan dapat membantu mengetahui status beberapa burung dengan cepat dan efektif.

2 SMARTPHONE DALAM PEMBELAJARAN


Pembelajaran abad 21 mengharuskan adanya integrasi teknologi dalam proses pembelajaran.
Smartphone dan perangkat digital lainnya dapat dijadikan sumber yang cukup potensial
dalam menunjang pembelajaran. Perangkat mobile seperti laptop, smartphone, digital
assistant memiliki potensi besar dalam menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas
(Sung et al., 2015). Hal ini tentu saja jika aplikasi smartphone diimplementasikan dalam
pembelajaran lebih menguntungkan dari pada pembelaran secara tradisional, secara tidak
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 207

langsung akan meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Aplikasi smartphone


dapat membantu siswa dengan cepat untuk memahami konsep baru secara jelas dan
meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dibandingkan dengan daripada siswa yang
mendapatkan pembelaran secara tradisional, menggabungkan aplikasi smartphone dalam
pembelajaran memiliki potensi positif yang dapat mempengaruhi belajar siswa (Shih et al.,
2006). Sejumlah aplikasi smartphone dapat menyelaraskan kerjasama antar kelompok dalam
pembelajaran, menambah pengalaman dan membantu siswa dalam meningkatkan
pembelajaran kolaboratif. Selain itu smartphone dapat digunakan untuk mencari referensi
dalam pembelajaran sains yang tepat sehingga membantu mahasiswa membangun
profesionalisme guru (Alqaryan et al., 2016; Zhai et al., 2016).
Biologi merupakan cabang ilmu pengetahuan alam yang berhubungan langsung dengan
mahluk hidup yang berada di alam. Keterkaitan biologi dengan alam mengharuskan
siswa/mahasiswa belajar langsung dengan alam. Selain akan memberikan pengalaman
belajar yang baik, kuliah lapangan juga akan memberikan efek positif bagi siswa/mahasiswa.
Kuliah lapangan banyak memberikan manfaat positif bagi mahasiswa karena secara
langsung mahasiswa dapat mengamati objek yang sebenarnya yang dapat mereka temukan
dilapangan (Thomas & Fellowes, 2016). Di era yang serba canggih ini sudah selayaknya
aplikasi smartphone dapat diimplementasikan dalam praktek lapangan secara maksimal,
tentu saja harus dikembangkan terlebih dahulu sesuai dengan konteksnya. Aplikasi
smartphone dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan platform untuk meningkatkan
pembelajaran sehinggga proses pembelajaran akan lebih cepat dan efektif (Li et al., 2016).
Kemajuan dalam teknologi digital salah satunya teknologi mobile dapat dikembangkan
untuk membantu siswa dalam melakukan eksperimen penyelidikan berbasis lingkungan,
memfasisitasi belajar siswa sehingga dapat meningkatkan kinerja belajar kelompok
eksperimen dan mengembangkan sikap positif dalam penyelidikan (Ahmed & Parsons,
2013).
Selain memberikan pengalaman baru dengan mengintegrasikan aplikasi smartphone,
siswa/mahasiswa juga akan lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan keterlibatan merekan dalam pembelajaran. pengembangan aplikasi
smartphone banyak dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai spesies atau ekosistem di
alam. Hal ini akan lebih menarik bagi siswa/mahasiswa sehingga pemahaman mereka akan
lebih baik. Penggunaan aplikasi smartphone dalam pembelajaran biologi untuk
mengidentifikasi beberapa spesies dapat meningkatkan prestasi dan motivasi siswa
dibandingkan dengan siswa yang menggunakan buku teks (Jeno et al., 2017). Beberapa
aplikasi dirancang dan dikembangkan untuk membantu praktek lapangan yang bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap ekosistem salahsatunya dengan aplikasi
Ecomobile (Kamarainen et al., 2013). Selain itu, aplikasi mobile dapat dikembangkan
dengan aplikasi mobile 3D untuk meningkatkan hasil belajar yang lebih baik daripada
metode standard dan dapat diintegrasikan dalam kurikulum (Noguera et al., 2013).
Efektifitas penggunaan aplikasi smartphone secara umum dari beberapa penelitian
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan pembelajaran secara
tradisional. Selain itu terjadi peningkatan prestasi dan motivasi dalam belajar. Motivasi
siswa akan meningkat dengan sebuah metode pembelajaran baru, dengan meningkatnya
208 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

motivasi dalam belajar maka akan mendorong prestasi yang lebih baik (Su & Cheng, 2015)
membangun motivasi dan kompetensi siswa kearah yang lebih baik (Jeno et al., 2017) dan
membatu meningkatkan melek digital, inkuiri serta kemampuan berpikir kritis siswa (Marty
et al., 2013). Dampak lain yang dapat dirasakan dengan menggunakan aplikasi smartphone
dalam pembelajaran yaitu peningkatan kepercayaan diri pada siswa, mampu mempelajarai
materi baru dengan lebih cepat dan efektif. Aplikasi smartphone akan membantu siswa lebih
cepat mempelajari konsep baru dan meningkatkan kepercayaan diri dalam kemampuan
mereka untuk materi baru sehingga proses belajar akan lebih cepat dan efektif (Shih et al.,
2006; Noguera et al., 2013; Li et al., 2016).
Salah satu contoh integrasi smartphone di dalam pembelajaran yaitu dengan Mobilized 5E
(Engagement/Exploration/Explanation/Elaboration/Evaluation) Science Curriculum
(M5ESC) (Looi et al., 2014). Prinsip yang dikembangkan oleh M5ESC di antarannya:
a. Engagement (keterlibatan)
Akses untuk mengetahui pengetahuan siswa dan keterlibatan siswa dalam fenomena
ilmu pengetahuan.
b. Exploration (eksplorasi)
Peluang yang disediakan bagi siswa untuk menyelidiki fenomena ilmu pengetahuan
atau prinsip dari ilmu pengetahuan.
c. Explanation (penjelasan)
Siswa didorong untuk menafsirkan pemahaman mereka tentang fenomena ilmu
pengetahuan dan prinsip-prinsip atau konsep yang relevan.
d. Elaboration (elaborasi)
Pemahaman siswa dari fenomena ilmu pengetahuan yang diperdalam melalui
sebuah pengalaman baru.
e. Evaluation (evaluasi)
Pemahaman siswa dinilai dengan metode penilaian yang tepat.

Prinsip 5E ini dapat dimodifikasi dengan mengintegrasikan smartphone dalam pembelajaran


sebagaimana disajikan menggunakan media tools seperti pada Gambar 1.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 209

Gambar 1. MyDesk Portal Guru (kiri) dan Mydesk Modul Siswa (kanan)
Tools yang tersedia pada smartphone dikembangkan dalam pembelajaran dengan
menggunakan prinsip M5ESC (Looi et al., 2014) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Tools pembelajaran pada sistem pembelajaran Mydesk
Tools Fungsi Aktifitas Mobile
KWL Sebuah alat refleksi diri mendukung yang Engagement: siswa menanggapi “apa
siswa untuk memikirkan mengenai proses yang saya sudah tahu” di KWL.
belajar dan perubahan konseptual dengan
Exploration: siswa menanggapi “apa
menanggapi pertanyaan (yaitu apa yang
yang saya ingin tahu” di KWL.
saya sudah tahu? apa yang saya ingin
tahu? Evaluation: siswa menanggapi “Apa
Apa yang telah saya pelajari?). Untuk yang telah saya pelajari”
memungkinkan siswa untuk belajar
dalam selfregulated
Sketchbook Animasi/gambar dan gambar anotasi alat Engagement: siswa mencatat setiap
untuk membantu siswa membangun perubahan menggunakan Sketchbook.
hubungan antara pengetahuan yang
dipelajari di kelas dan pengetahuan
diterapkan di luar kelas.
Map It Sebuah alat peta konsep yang Elabortion: siswa menggambar peta
memungkinkan siswa untuk konsep menggunakan MapIt
mengembangkan pemahaman konseptual
melalui kreasi, sharing, dan
mengeksplorasi peta konsep.
Blurb Sebuah alat konfigurasi pertanyaan yang Eksploration: siswa menanggapi
memfasilitasi guru untuk mengatur pertanyaan-pertanyaan pada Blurb
pertanyaan khusus untuk meminta siswa
untuk memberikan pendapat singkat atau
umpan balik pada kegiatan penyelidikan
mereka atau pemahaman mereka tentang
pengetahuan
Recorder Sebuah alat perekam suara bagi siswa Eksploration: siswa mencatat
untuk merekam proses eksperimen, pertanyaan mereka ketika mengamati
fieldtrip dan pengamatan demonstrasi dengan menggunakan perekam
210 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tools Fungsi Aktifitas Mobile


guru, dan refleksi serta kesimpulan, siswa (Recorder).
juga dicatat sebagai
data untuk guru untuk meninjau kemajuan
dan perbaikan dalam penyelidikan.
Notepad Sebuah alat perekaman data bagi siswa Engagement: siswa menuliskan hasil
untuk mencatat hasil atau proses pengamatan dengan menggunakan
eksperimen, fieldtrip, dan observasi guru Notepad.
demonstrasi.

3 IMPLIKASI APLIKASI SMARTPHONE


Aplikasi smartphone pada beberapa penelitian cukup efektif untuk mencapai tujuan dalam
pembelajaran. Aplikasi smartphone dapat dikembangkan untuk meningkatkan pembelajaran
sehinggga proses pembelajaran akan lebih cepat dan efektif, memiliki potensi besar dalam
menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas, meningkatkan prestasi dan motivasi
siswa, efektifitas praktik atau pembelajaran inovatif memberikan implikasi positif dalam
pembelajaran di masa yang akan datang (Looi et al., 2014; Sung et al., 2015; Li et al., 2016;
Jeno et al., 2017). Selain itu, aplikasi mobile dapat membantu siswa dengan cepat untuk
memahami konsep baru secara jelas dan meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi, untuk
meningkatkan hasil belajar yang lebih baik, membantu siswa dalam mempelajari dan
berpartisipasi dalam penyelidikan ilmiah yang langsung berhubungan dengan lingkungan,
meningkatkan keterampilan mendokumentasikan hasil penyelidikan ilmiah dan
meningkatkan melek digital siswa (Shih et al., 2006; Marty et al., 2013; Noguera et al.,
2013). Dalam perspektif pembelajaran abad 21, perangkat yang lebih mudah digunakan dan
kompatibel dengan tugas-tugas belajar akan berdampak positif terhadap motivasi siswa
untuk menggunakan perangkat mobile seperti laptop, smartphone, digital assistant memiliki
potensi besar dalam menunjang pembelajaran di dalam dan di luar kelas (Sung et al., 2015;
Hopkins et al., 2016).
Smartphone sangat membantu dalam mencari berbagai informasi dan referensi untuk
menunjang kebutuhan dalam pembelajaran. Smartphone banyak digunakan untuk mencari
referensi yang tepat sehingga membantu mahasiswa membangun profesionalisme,
mengakses sumber daya dan dan komunitas peneliti dengan topik yang lebih luas sehingga
dapat memunculkan berbagai ide dan membangun pengetahuan baru, membantu mahasiswa
dalam pembelajaran sains (Alqaryan et al., 2016; Jackson et al., 2016; Zhai et al., 2016).
Untuk itu potensi smartphone disaran kan untuk diintegrasikan dan dikembangkan dalam
kurikulum. Inovasi kurikuler menggunakan perangkat mobile telah dikembangkan dalam
konteks belajar satu kelas dan evaluasi empiris kurikulum yang dimobilisasi telah
menunjukkan potensinya untuk efektivitas belajar, membantu untuk membangun dasar yang
kuat untuk tetap belajar pada abad 21 dengan mengembangkan desain perangkat lunak untuk
merancang aplikasi pendidikan dengan tujuan meningkatkan hasil belajar dibandingkan
dengan metode tradisional (Looi et al., 2014; Perry & Klopfer, 2014; So, 2016; Papadakis et
al., 2017).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 211

4 PENUTUP
Aplikasi smartphone dapat dikembangkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa, evaluasi,
game atau simulasi interaktif, motivasi siswa dan memupuk kerjasama. Pada beberapa
penelitian menunjukan bahwa penggunaan aplikasi smartphone dapat meningkatkan
kemampuan identifikasi siswa terhadap berbagai spesies dengan baik. Kemampuan
identifikasi sangat menunjang dalam upaya konservasi, dengan asumsi bahwa kemampuan
identifikasi yang baik akan meningkatkan literasi konservasi.
Penelitian lebih lanjut diperlukan terutama pada kajian konservasi. Bagaimana aplikasi
smartphone dapat memberikan konstribusi positif terhadap upaya konservasi khususnya
konservasi beberapa spesies yang terancam punah. Selain itu, bagaimana aplikasi
smartphone dapat dapat dikembangkan untuk meningkatkan literasi konservasi terhadap
siswa dan masyarakat pada umumnya. Semua ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya
alam yang semakin terancam dari tahun ke tahun.

DAFTAR REFERENSI
Ahmed, S., & Parsons, D. (2013). Abductive science inquiry using mobile devices in the classroom.
Computers and Education, 63, 62–72. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2012.11.017.
Alqaryan, S., Alkhalifa, M., Alharbi, M., Alabaishi, S., & Aldrees, T. (2016). Smartphones and
professionalism : A cross-sectional study on interns and final-year medical students, (5),
198–202.
France, D., Powell, V., Mauchline, A. L., Welsh, K., Park, J., Whalley, W. B., & Rewhorn, S. (2016).
Ability of students to recognize the relationship between using mobile apps for learning
during fieldwork and the development of graduate attributes. Journal of Geography in Higher
Education, 8265(March), 1–11. https://doi.org/10.1080/03098265.2016.1154931
Hopkins, N., Tate, M., Sylvester, A., & Johnstone, D. (2016). Motivations for 21st century school
children to bring their own device to school. Information Systems Frontiers, (Douglas 2011),
1–13. https://doi.org/10.1007/s10796-016-9644-z
Jackson, E. A., Sc, B., Gardens, A., & Da, K. (2016). M-Learning devices and thier impact on
postgraduate researchers scope for improved intergration in the research community. The
Online Journal of New Horizons in Education, 6(1), 104–113.
Jeno, L. M., Grytnes, J.-A., & Vandvik, V. (2017). The effect of a mobile-application tool on biology
students’ motivation and achievement in species identification: A Self-Determination Theory
perspective. Computers & Education, 107, 1–12.
https://doi.org/10.1016/j.compedu.2016.12.011
Kamarainen, A. M., Metcalf, S., Grotzer, T., Browne, A., Mazzuca, D., Tutwiler, M. S., & Dede, C.
(2013). EcoMOBILE: Integrating augmented reality and probeware with environmental
education field trips. Computers and Education, 68, 545–556.
https://doi.org/10.1016/j.compedu.2013.02.018
Li, Y., Guo, A., Ling Chin, C., & Lim, J.-H. (2016). A platform for creating Smartphone apps to
enhance Chinese learning using augmented reality. Scientific Phone Apps and Mobile
Devices. https://doi.org/10.1186/s41070-016-0007-4
212 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Looi, C. K., Sun, D., Wu, L., Seow, P., Chia, G., Wong, L. H., & Norris, C. (2014). Implementing
mobile learning curricula in a grade level: Empirical study of learning effectiveness at scale.
Computers and Education, 77, 101–115. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2014.04.011
Marty, P. F., Alemanne, N. D., Mendenhall, A., Maurya, M., Southerland, S. A., Sampson, V., …
Schellinger, J. (2013). Scientific inquiry, digital literacy, and mobile computing in informal
learning environments. Learning, Media & Technology, 38(4), 407–428.
https://doi.org/10.1080/17439884.2013.783596
Noguera, J. M., Jiménez, J. J., & Osuna-Pérez, M. C. (2013). Development and evaluation of a 3D
mobile application for learning manual therapy in the physiotherapy laboratory. Computers
& Education, 69, 96–108. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2013.07.007
Papadakis, S., Kalogiannakis, M., & Zaranis, N. (2017). Designing and creating an educational app
rubric for preschool teachers. Education and Information Technologies, 1–19.
https://doi.org/10.1007/s10639-017-9579-0
Perry, J., & Klopfer, E. (2014). UbiqBio: Adoptions and Outcomes of Mobile Biology Games in the
Ecology of School. Computers in the Schools, 31(1/2), 43–64.
https://doi.org/10.1080/07380569.2014.879771
Shih, B.-Y., Chen, C.-Y., & Chen, Z.-S. (2006). An Empirical Study of an Internet Marketing Strategy
for Search Engine Optimization. Human Factors and Ergonomics in Manufacturing, 16(1),
61–81. https://doi.org/10.1002/hfm
So, S. (2016). Mobile instant messaging support for teaching and learning in higher education. The
Internet and Higher Education, 31, 32–42. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2016.06.001
Su, C. H., & Cheng, C. H. (2015). A mobile gamification learning system for improving the learning
motivation and achievements. Journal of Computer Assisted Learning, 31(3), 268–286.
https://doi.org/10.1111/jcal.12088
Sung, Y.-T., Chang, K.-E., & Liu, T.-C. (2015). The Effects of Integrating Mobile Devices with
Teaching and Learning on Students’ Learning Performance: A Meta-Analysis and Research
Synthesis. Computers & Education, 94, 252–275.
https://doi.org/10.1016/j.compedu.2015.11.008
Thomas, R. L., & Fellowes, M. D. E. (2016). Effectiveness of mobile apps in teaching field-based
identification skills. Journal of Biological Education, 9266(July), 1–8.
https://doi.org/10.1080/00219266.2016.1177573
Zhai, X., Zhang, M., & Li, M. (2016). One-to-one mobile technology in high school physics
classrooms: Understanding its use and outcome. British Journal of Educational Technology,
0(0). https://doi.org/10.1111/bjet.12539
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 213

BIOGRAFI PENULIS
Iwan Setia Kurniawan, MPd
Iwan Setia Kurniawan, MPd merupakan staf dosen di Program
Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Pasundan, Bandung.
Gelar SPd dan MPd diselesaikan masing-masing di Universitas
Pasundan dan Universitas Pendidikan Indonesia. Saat ini sedang
menempuh pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana UPI.
Tema riset disertasi yang diambil adalah Aplikasi IT dalam
perkuliahan Zoologi di bawah bimbingan Topik Hidayat, PhD.

Topik Hidayat, PhD


Topik Hidayat, PhD merupakan staf dosen di Departemen
Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung. Gelar Sarjana diraih tahun 1995di bidang Pendidikan
Biologi, IKIP Bandung. Gelar Magister penulis diperoleh dari ITB
Bandung di bidang Biologi (2001). Gelar Ph.D. diraih penulis pada
tahun 2005 dari The University of Tokyo, Japan di bidang Botani.
Minat riset meliputi biosistematik molekuler, biologi evolusi,
biomarker, bioteknologi dan pendidikan Biologi.
214 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan

Mohd. Yunus
Pusat Studi Lingkungan Hidup-Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang
Baru, Pekanbaru 28293, Riau, Indonesia
email: mohdyunus@asia.com

Abstrak
Degradasi lingkungan yang terjadi selama ini bermuara kepada manusia, baik sebagai
penyebab maupun sebagai penerima dampak. Kajian mengenai praktik-praktik berkelanju-
tan yang dilaksanakan dengan mengintegrasikan antara budaya dan ekologi mutlak diper-
lukan, salah satunya Suku Talang Mamak. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talang Ged-
abu, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada bulan Oktober
2016 sampai Januari 2017. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara, Fo-
cus Group Discussion (FGD) dan studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
secara deskriptif untuk mengungkap, menelaah dan memahami gejala-gejala dalam
penelitian. Komponen pengelolaan meliputi: (a) perencanaan; (b) pemanfaatan; (c) pengen-
dalian; (d) pemeliharaan; (e) pengawasan; (f) penegakan hukum. Budaya ekologi Suku Ta-
lang Mamak dalam pengelolaan hutan mengandung berbagai nilai-nilai yang meliputi
pengetahuan lokal dalam aspek perencanaan. Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan
dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Pengendalian
meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan melalui pantang larang dengan
kendali pimpinan adat. Pemeliharaan meliputi upaya konservasi, pencadangan dan peles-
tarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan kepercayaan akan mitos dan adanya
hukum adat yang mengatur tentang keberadaan tanah keramat.
Kata kunci: Adat, Budaya ekologi, Pengelolaan hutan, Suku Talang Mamak

Abstract
Environmental degradation that occurred during this time leads to humans, both as the
cause and as the recipient of the impact. A study of sustainable practices implemented by
integrating culture and ecology is absolutely necessary, one of which is Suku Talang Mamak.
This research was conducted in Talang Gedabu Village, Rakit Kulim Sub-district, Indragiri
Hulu Regency, Riau Province from October 2016 until January 2017. This research was
conducted by survey method, interview, Focus Group Discussion (FGD) and literature study.
Data obtained then analyzed descriptively to reveal, review and understand the symptoms in
the study. Management components include: (a) planning; (b) utilization; (c) control; (d)
maintenance; (e) supervision; (f) law enforcement. The ecological culture of Suku Talang
Mamak in forest management contains various values that include local knowledge in the
planning aspect. Utilization of forest resources is carried out by considering the sustaina-
bility, function, and productivity of forests. Control includes prevention, mitigation, and re-
covery through prohibition with the control of adat leaders. Maintenance includes conser-
vation, reserve and forest conservation through a system of mutual cooperation and belief
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 215

in the myth and the existence of customary law governing the existence of sacred land (tanah
keramat).
Keywords: Customs, Cultural ecology, Forest management, Talang Mamak

1 PENDAHULUAN
Kajian mengenai hubungan antara budaya dan lingkungan menjadi sangat penting untuk
memahami dan menemukan solusi terhadap permasalahan kontemporer yang terjadi saat.
Isu deforestasi (Margono et al 2014), hilangnya spesies (Jenkins et al, 2016; Uryu et al,
2008), kelangkaan sumber daya air (Fulazzaky, 2014), dan degradasi ekosistem gambut
(Miettinen & Liew, 2010) berkaitan erat dengan manusia, baik sebagai penyebab maupun
sebagai penerima dampak. Praktik-praktik pemanfaatan yang dilakukan selama ini jauh dari
prinsip keberlanjutan. Kita perlu merenung dan menyadari bahwa kita memiliki posisi yang
sama dengan alam, perpaduan antara fisik dan jiwa.
Provinsi Riau merupakan wilayah yang di lingkupi suatu adat tradisi yang berkembang
secara turun temurun. Salah satu suku yang tetap memegang teguh sistem tersebut adalah
Suku Talang Mamak (Melalatoa, 1995). Interaksi yang sangat kuat dan lama antara masyara-
kat Suku Talang Mamak dengan lingkungannya memunculkan suatu budaya lokal yang
sesuai dengan lingkungannya. Masyarakat Suku Talang Mamak menggantungkan hidupnya
dari mengelola dan memanfaatkan hutan. Hutan menurut mereka berfungsi sebagai habitat
warisan yang harus dipertahankan. Mengingat pentingnya fungsi hutan bagi kelangsungan
komunitas tersebut, sehingga berkembang budaya ekologi yang dijadikan pedoman dalam
pengelolaan hutan.

2 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talang Gedabu, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten
Indragiri Hulu, Provinsi Riau pada bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017. Penelitian ini
dilakukan dengan metode survei, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan studi
pustaka. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengungkap, men-
elaah dan memahami gejala-gejala dalam penelitian. Komponen pengelolaan meliputi: (a)
perencanaan; (b) pemanfaatan; (c) pengendalian; (d) pemeliharaan; (e) pengawasan; (f)
penegakan hukum.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Budaya ekologi yang berkembang pada Suku Talang Mamak merupakan sistem nilai dan
norma yang mengedepankan aspek keberlanjutan dan merupakan modal utama masyarakat
dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini terjadi karena ketergantungan mereka yang sangat tinggi terhadap sumber
daya hutan. Pengelolaan hutan berbasis budaya ekologi ini merupakan warisan budaya yang
menjunjung asas saling percaya, asas timbal balik serta norma umum lain yang merupakan
unsur modal sosial yang diperlukan bagi kelangsungan suatu tatanan pengelolaan yang baik.
216 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Budaya ekologi Suku Talang Mamak dalam pengelolaan hutan dapat dibagi menjadi be-
berapa komponen, antara lain: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan dan penegakan hukum seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Budaya Ekologi Suku Talang Mamak Dalam Pengelolaan Hutan
No. Komponen Deskripsi
1 Perencanaan Masyarakat Talang Mamak memiliki pengetahuan lo-
kal (tata ruang lahan yaitu permukiman, perladangan,
perkebunan dan tanah keramat dan kalender musim
tradisional)
2 Pemanfaatan Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan
mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produk-
tivitas hutan (sistem agroforestry)
3 Pengendalian Adanya upaya pencegahan, penanggulangan dan pem-
ulihan melalui pantang larang dengan kendali pimpi-
nan adat.
4 Pemeliharaan Adanya upaya konservasi, pencadangan dan peles-
tarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan
kepercayaan akan mitos
5 Pengawasan Struktur dan fungsi pimpinan adat
6 Penegakan Hukum Hukum adat Talang Mamak mengatur tentang
keberadaan tanah keramat

Masyarakat Suku Talang Mamak menganggap bahwa hutan beserta isinya bukan hanya
sekadar sumber nafkah, tetapi juga menjadi sumber budaya dan simbol-simbol falsafah,
bahkan menjadi “jati diri” dan “marwah”nya. Unsur budaya dan simbol-simbolnya menun-
jukkan bersatunya mereka dengan alam, yang mereka terjemahkan dengan berbagai ungka-
pan adat, upacara, dan tradisi. Perencanaan dan konsep dalam pengelolaan hutan berbasis
budaya dapat dilihat dari tata guna lahan Suku Talang Mamak, yang meliputi permukiman,
perladangan, perkebunan, dan tanah keramat. Tata guna ini didasarkan pada pengaturan hak,
nilai penting sejarah dan budaya, sifat ekologis serta pemanfaatan ekonomi dan spiritual.
Keberadaan hutan dengan status seperti tanah keramat di Suku Talang Mamak ini kerap
dijumpai di daerah lain, seperti hutan keramat Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat
(Wadley & Colfer, 2004), masyarakat Baduy di Banten (Senoaji, 2004), Ethiopia (Woods et
al, 2017), dan India (Ormsby & Bhagwat, 2010). Kawasan hutan ini memiliki daya akses
minimal, sehingga gangguan terhadap struktur dan fungsi ekosistemnya dapat dicegah. Hal
ini penting, mengingat fungsi hutan sebagai penunjang produktivitas mereka dan habitat
warisan yang harus dipertahankan.
Pemanfaatan sumber daya hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan,
fungsi dan produktivitas hutan. Salah satu upaya yang dilakukan Suku Talang Mamak adalah
membuat kebun campuran dengan tanaman hutan, atau dalam istilah ilmiah disebut agrofor-
estry. Kebun campuran ini terbentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar. Pada
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 217

awal musim hujan, lahan ditanami padi yang disisipi tanaman semusim lainnya (misalnya
jagung, ubi, mentimun dan cabai). Setelah itu, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan
dengan menanam pepohonan misalnya karet atau tanaman keras lainnya. Pada saat pohon
sudah dewasa, masyarakat Suku Talang Mamak memadukan bermacam-macam tanaman
tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya. Tumbuhan asli asal hutan yang
bermanfaat tetap dibiarkan kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman
utama.
Integrasi antara perladangan, perkebunan dan hutan pada sistem agroforestry memung-
kinkan terjadinya berbagai interaksi positif, antara lain: (a) daun dari pepohonan yang gugur
ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan
penyediaan hara yang berguna bagi tanaman semusim; (b) akar pepohonan membantu dalam
daur ulang hara (Rowe et al, 1998; Suprayogo et al, 2010); (c) menekan populasi gulma
melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi risiko kebakaran karena kelem-
baban yang lebih terjaga; (d) menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan angin,
meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial); (e) mempertahankan
kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga dapat mengu-
rangi bahaya erosi (Atangana et al, 2014).
Hampir seluruh aspek kehidupan Suku Talang Mamak selalu berkaitan dengan hasil hutan,
baik untuk kebutuhan primer seperti pangan dan tempat tinggal maupun kebutuhan sekunder
seperti anyaman, perkakas dan ritual adat. Berbagai sumber daya hutan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat Suku Talang Mamak ini dihasilkan dari tanah keramat dan lahan bera, yaitu
lahan pertanian yang sedang tidak ditanami pada periode tertentu, dengan tujuan mengem-
balikan kesuburannya. Sebagian besar pemanfaatan hanya bersifat subsisten (dipergunakan
hanya untuk keperluan sehari-hari). Hal ini secara tidak langsung akan menjamin keber-
lanjutan, fungsi dan produktivitas hutan. Karena tidak terjadi eksploitasi sumber daya hutan
secara berlebihan.
Pengendalian dalam pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Talang
Mamak melibatkan semua komponen masyarakat dan pimpinan adat. Pengendalian ini
dipimpin oleh Batin dan jajarannya. Batin memegang peranan penting seperti dalam ungka-
pan berikut “menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut, meluruskan yang beng-
kok, menarah yang berbongkol, mengampelas yang kesat”. Sebelumnya, yang memegang
peranan penting dalam adat adalah Patih, namun pada pewarisan selanjutnya, setelah gen-
erasi ketiga (cucu Datuk Perpatih nan Sebatang), terjadi perubahan di mana pola kepem-
impinannya diwariskan tidak melalui anak lagi, melainkan melalui jalur keponakannya,
maka gelar tertinggi pemimpin tidak lagi Patih melainkan berubah menjadi Batin. Batin yang
ada di komunitas Talang Mamak sekitar 29 orang, diantaranya Gajian (Batin Gedabu), Irasan
(Batin Paret) dan Iskandar (Batin Pejangki).
Upaya pencegahan seperti dilarang menebang pohon yang sedang berbunga dan berbuah,
pohon yang jenisnya tinggal sedikit dan pohon sialang. Hal ini didasari kesadaran mereka
bahwa segala sumber daya hutan ini merupakan titipan leluhur dan akan diwariskan kepada
keturunan mereka. Upaya penanggulangan seperti pantang larang dalam berladang yang se-
bagian besar menggunakan lahan di areal hutan, pembukaan dan pemanfaatan lahan harus
218 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

meminimalisir terjadinya kerusakan. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya perladangan yang
merupakan inti budaya mereka.
Perkakas dan peralatan yang digunakan masyarakat Suku Talang Mamak dalam bekerja telah
dirancang dan digunakan dengan sudut pandang yang berwawasan alam. Perkakas dan
peralatan yang digunakan seperti beliung (untuk menebang), kampak (untuk membelah),
parang (untuk menebas), tajak (untuk menyiang), sabit (untuk memotong rumput) dan tem-
bilang (untuk menggali). Perkakas dan peralatan ini tidak ada yang berpotensi merusak ling-
kungan, sebab kemampuan daya jangkaunya yang sangat sederhana dan ditentukan oleh
tenaga manusia yang menggunakannya.

(a) (b)
Gambar 1. Pemanfaatan (a) melambas (b) sistem kerja basolang menugal

Mitos yang terkait pengelolaan hutan dapat dilihat dari berbagai ritual yang mereka lak-
sanakan seperti melambas untuk membuka lahan, yaitu membakar kemenyan dan meletak-
kan sajian di lokasi yang akan dibersihkan dan dibiarkan selama tiga hari. Jika sajian tetap
utuh, maka tandanya diperbolehkan untuk membersihkan lahan. Mitos juga mengiringi ke-
lestarian berbagai jenis pohon sialang, jenis pohon ini sangat dilindungi bahkan seringkali
dipercaya sebagai tempat keramat. Masyarakat Suku Talang Mamak percaya bahwa hanya
pohon-pohon yang ada “penunggu”nya (yang dihuni makhluk halus) yang akan di datangi
lebah untuk membuat sarang, “penunggu” itulah yang melindungi sarang-sarang lebah dari
gangguan. Oleh karena itu, ketika masyarakat Suku Talang Mamak melaksanakan kegiatan
menjumbai (pemanenan madu), harus mendapat izin pimpinan adat dan pelaksanaannya
dipimpin oleh juagan. Dalam praktik pengerjaan ladang, Suku Talang Mamak selalu ber-
gotong royong, di dalam istilah mereka disebut dengan Basolang menugal yang dil-
aksanakan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat pada awal pembukaan la-
han sampai selesai.
Masyarakat Suku Talang Mamak berpegang teguh pada adat istiadat dan tradisi leluhur da-
lam mengelola hutan sebagai sumber kehidupan. Suku Talang Mamak memiliki pemimpin
yang disebut Batin, Batin dan jajarannya bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dan menentukan segala peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Gelar Batin diwariskan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 219

kepada kemenakan atau cucu yang memiliki tanda-tanda atau disebut “pulai berpangkat
naik, tinggal ruas dengan buku, manusia berpangkat turun, tinggal aras dan pepatah, yang
bertunas tabu itam, aur tumbuh dimatonyo, karambia tumbuh dijurungnya”, maksudnya
orang yang menjadi pewaris gelar tersebut sudah dapat dilihat dari ciri-ciri pribadinya dan
tidak setiap orang bisa menjadi Batin.
Sistem nilai Suku Talang Mamak bertumpu kepada adat dan resam (tradisi). Adat dilindungi
oleh lembaga adat yang dipimpin oleh Batin dengan jajaran Ketua Adat yang membantunya.
Adat yang sudah diwariskan secara turun temurun ini terdiri dari norma dan sanksi dan dil-
aksanakan dengan asas “berjenjang naik bertangga turun”. Maksudnya, tiap perkara harus
lebih dahulu diselesaikan di lapisan kekuasaan yang paling bawah/rendah. Jika tidak selesai,
maka dilanjutkan ke jenjang di atasnya. Kepemilikan bersama (common property) tidak serta
merta membuat sumber daya hutan memiliki akses yang terbuka. Lembaga adat Suku Talang
Mamak memenuhi prasyarat mendasar mengenai pengelolaan sumber daya alam milik ber-
sama yang dirumuskan oleh Ostrom (1990) yaitu: (1) tapal batas yang jelas; (2) aturan
mengenai pengelolaan sesuai dengan kondisi setempat dan (3) sejumlah sanksi diterapkan
jika ada pelanggaran aturan.
Hukum adat Suku Talang Mamak menjelaskan bahwa untuk memutuskan sesuatu harus me-
lalui musyawarah dan mufakat oleh pimpinan adat yang berhak untuk menolak atau
menerima suatu putusan, dan inilah yang disebut dalam ungkapan adat "raja adil raja dis-
embah, raja zalim raja disanggah". Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang
banyak dapat diuji kebenarannya, adil, patut atau pantas, sehingga pemimpin tidak ke-
hilangan kepercayaan dari masyarakat, maka seorang pemimpin/penguasa yang adil dan
patut atau pantas dalam memutuskan disebutkan dalam adat "kalau bulat dapat digulingkan,
pipih dapat dilayangkan, putih berkeadaan, merah dapat dilihat, panjang dapat diukur, be-
rat dapat ditimbang".
Hukum adat diberlakukan sangat ketat dan berlaku tetap (tidak turun tidak naik). Hukum
adat Suku Talang Mamak berupa aturan tertulis dan verbal (petatah petitih). Masyarakat
yang melakukan perusakan hutan seperti penebangan, pembukaan lahan maupun perburuan
hewan liar secara berlebihan akan dilakukan penindakan dan diproses secara bertingkat mu-
lai dari tingkat desa sampai tingkat adat. Hukum adat Suku Talang Mamak mengatur tentang
keberadaan tanah keramat, bagi yang mengambil hasil hutan atau menebang pohon akan
dikenakan denda yang disebut pancung alas.

4 KESIMPULAN DAN SARAN


Budaya ekologi Suku Talang Mamak dalam pengelolaan hutan mengandung berbagai nilai-
nilai yang meliputi pengetahuan lokal dalam aspek perencanaan. Pemanfaatan sumber daya
hutan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan, fungsi dan produktivitas hutan.
Pengendalian meliputi upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan melalui pantang
larang dengan kendali pimpinan adat. Pemeliharaan meliputi upaya konservasi, pen-
cadangan dan pelestarian hutan melalui sistem kerja gotong royong dan kepercayaan akan
mitos dan adanya Hukum adat Talang Mamak yang mengatur tentang keberadaan tanah
keramat. Budaya ekologi STM ini merupakan warisan yang harus kita lestarikan, kita bisa
220 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

mengambil pelajaran dari nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya untuk kita imple-
mentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari bahwa keserakahan telah me-
nyengsarakan kita semua, egosentrisme telah membuat kita lupa dan “membelakangi” alam.
Dalam tataran teknis, kita perlu melakukan revitalisasi terhadap berbagai budaya ekologi
yang tersebar di Indonesia. Database kearifan lokal, etnoekologi, etnobotani, dan aspek
terkait lainnya bisa dimanfaatkan untuk menyarikan praktik-praktik terbaik dalam mengel-
ola lingkungan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

DAFTAR REFERENSI
Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Ecological Interactions and Productivity
in Agroforestry Systems. In Tropical Agroforestry (pp. 151–172). Dordrecht: Springer Neth-
erlands. https://doi.org/10.1007/978-94-007-7723-1_7
Fulazzaky, M. A. 2014. Challenges of Integrated Water Resources Management in Indonesia. Water,
6(7), 2000–2020. https://doi.org/10.3390/w6072000
Jenkins, C. N., Vijay, V., Pimm, S. L., Jenkins, C. N., & Smith, S. J. 2016. The Impacts of Oil Palm
on Recent Deforestation and Biodiversity Loss The Impacts of Oil Palm on Recent Deforesta-
tion and Biodiversity Loss, (October), 1–19. https://doi.org/10.5061/dryad.2v77j
Margono, B. A., Potapov, P. V, Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M. C. 2014. Primary forest cover
loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4(June), 1–6.
https://doi.org/10.1038/NCLIMATE2277
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, hal 817-819
Miettinen, J., &Liew, S. C. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and
Kalimantan. AMBIO: A Journal of the Human Environment, 39(5–6), 394–401.
https://doi.org/10.1007/s13280-010-0051-2
Ormsby, A. A., &Bhagwat, S. A. (2010). Sacred forests of India: a strong tradition of community-
based natural resource management. Environmental Conservation, 37(3), 320–326.
https://doi.org/10.1017/S0376892910000561
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Polit-
ical Economy of Institutions and Decisions. Cambridge: Cambridge University Press.
https://doi.org/DOI: 10.1017/CBO9780511807763
Rowe, E. C., Hairiah, K., Giller, K. E., Van Noordwijk, M., & Cadisch, G. (1998). Testing the safety-
net role of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths. Agroforestry Sys-
tems, 43(1), 81–93. https://doi.org/10.1023/A:1022123020738
Senoaji, G. (2004). Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan.
Manusia Dan Lingkungan, XI(3), 143–149.
Suprayogo, D., Hairiah, K., Noordwijk, M. Van, & Cadisch, G. (2010). Agroforestry Interactions in
Rainfed Agriculture : Can Hedgerow Intercropping Systems Sustain Crop Yield on an Ultisol
in Lampung ( Indonesia )? Agrivita, 32(3), 205–216.
Uryu, Y., Mott, C., Foead, N., Yulianto, K., Budiman, A., Takakai, F., …Stüwe, M. 2008. Deforesta-
tion, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 221

WWF Indonesia Technical Report. Jakarta. Retrieved from http://assets.panda.org/down-


loads/riau_co2_report__wwf_id_27feb08_en_lr_.pdf
Wadley, R. L., &Colfer, C. J. P. (2004). Sacred Forest, Hunting, and Conservation in West Kalimantan,
Indonesia. Human Ecology, 32(3), 313–338.
https://doi.org/10.1023/B:HUEC.0000028084.30742.d0
Woods, C. L., Cardelús, C. L., Scull, P., Wassie, A., Baez, M., &Klepeis, P. (2017). Stone walls and
sacred forest conservation in Ethiopia. Biodiversity and Conservation, 26(1), 209–221.
https://doi.org/10.1007/s10531-016-1239-y

BIOGRAFI PENULIS
Mohd. Yunus, S. Pd
MOHD. YUNUS lahir di Sei. Gergaji, Kabupaten Indragiri
Hilir, Provinsi Riau pada tanggal 05 Januari 1992. Ia
menempuh pendidikan S-1 di Program Studi Pendidikan Bi-
ologi, FKIP Universitas Riau (2010-2014).Setelah lulus, ia
bekerja sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Lingkungan
Hidup, LPPM Universitas Riau (2014-sekarang). Penulis
memiliki perhatian terhadap penelitian dengan tema ke-
bijakan lingkungan, khususnya pengelolaan hutan. Berbagai
tulisannya telah dipublikasikan di dalam buku, jurnal ilmiah,
dan prosiding. Penulis juga pernah mengikuti berbagai sem-
inar dan konferensi di tingkat lokal, nasional, dan inter-
nasional. Penulis juga terlibat di dalam berbagai organisasi
profesi dan keahlian, seperti Asosiasi Ahli Perubahan Iklim
dan Kehutanan (APIK) Indonesia, Himpunan Pendidik dan Peneliti Biologi Indonesia,
World Association for Scientific Research and Technical Innovation (WASRTI), dan Global
Association for Humanities and Social Science Research (GAHSSR)
222 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pemetaan Bangunan Tiga Dimensi Untuk Pemodelan Jalur


Evakuasi Darurat

Debby Nurliza Ulhaq1, Budhy Soeksmantono2, Ketut Wikantika2


1
Teknik Geodesi dan Geomatika, Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains
Informasi Geografis, Institut Teknologi Bandung
2
Centre for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung
1
derlizau@gmail.com, 2budhy4771@gmail.com, 2wikantika.ketut@gmail.com

Abstrak
Mitigasi bencana merupakan salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan terutama
dalam konstruksi bangunan karena hal tersebut cukup rumit terlebih apabila dikaitkan
dengan fakta tidak adanya informasi yang dapat digunakan untuk orang-orang
menyelamatkan diri mereka sendiri. Maka dari itu, makalah ilmiah ini memperkenalkan
mengenai network analysist untuk rute evakuasi darurat yang bertujuan untuk mencari rute
terbaik menuju tempat aman seperti titik berkumpul tergantung pada situasi terkini.
Pembuatan keputusan berdasarkan rute yang tepat akan dipilih berdasarkan kategori usia
korban dan kondisi saat bencana terjadi, sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang
akan muncul. Algoritma Dijkstra menunjukan suatu algoritma perncarian rute terpendek
antara gedung dan titik berkumpul dengan menghubungkan keduanya melalui data jalan.
Model rute evakuasi ini dibentuk dengan menggunakan kombinasi antara model bangunan
tiga dimensi yang dibangun dari data LiDAR, orthophoto, dan data lainnya yang berkaitan
dengan pemodelan. Bangunan tiga dimensi dapat digunakan dalam manajemen bencana dan
respon darurat karena dapat menyediakan informasi penting seperti lokasi bangunan.
Evaluasi dari model yang diajukan meningkatkan kemampuan penyelamatan diri sendiri
yang mengarah pada berkurangnya dampak buruk yang akan terjadi.
Kata kunci: Evakuasi Darurat, Algoritma Dijkstra, LiDAR, pemodelan bangunan 3D

Abstract
Mitigation is an important thing to be considered especially in building construction because
it is quite complicated due to the fact that much of the information is unavailable for people
to rescue themselves. Hence, this paper introduces about network analysis for evacuation
emergency route which aims at finding the best route to the secured place such as the closest
assembly point depends on the situation. Thus, decision making regarding the proper route
to be chosen depends of the victim age category and current condition to minimize impact
that can be generated. Dijkstra’s Algorithm is presented an algorithm for finding the shortest
paths between building and assembly point by linking them through road data. This
emergency evacuation route model is constructed by combining with three dimensional
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 223

building model which constructed by using LiDAR data, orthophoto, and the other related
data. Three dimensional geo data can be used in disaster management and emergency
response because they may provide valuable information such as location of the building.
The evaluation of the proposed model for a case study building improve self-sustaining
which lead to chances of less adverse effects can appear.
Keywords: Emergency Evacuation, Dijkstra’s Algorithm, LiDAR, 3D building model

1. PENDAHULUAN
Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi kerugian baik properti maupun
hilangnya nyawa dengan mengurangi dampak bencana, untuk mengurangi kerugian tersebut
dilakukan analisis risiko, pengurangan risiko, dan pemastian penanggulangan risiko. Penting
untuk diketahui bahwa bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja dan jika
persiapannya tidak baik, ini akan berakibat fatal (FEMA, 2017). Maka dari itu, mitigasi
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan terutama dalam pembangunan gedung
karena cukup rumit dan berdasarkan fakta banyak informasi yang tidak tersedia bagi
masyarakat untuk menyelamatkan diri. Pengembangan infrastruktur bangunan merupakan
indikator yang mengindikasikan bahwa bangunan mengalami peningkatan dalam hal
kualitas dan juga harus didukung dengan perencanaan mitigasi yang lebih baik seperti
pemodelan rute evakuasi darurat, oleh karena itu dampak pengembangan infrastruktur
terhadap keselamatan masyarakat dapat diatasi (Tang et al., 2014). Hal tersebut dikarenakan
walaupun sudah banyak penelitian yang mengkaji terkait evakuasi dalam bangunan, tidak
hanya model evakuasi yang menyediakan informasi penting yang diabaikan, namun juga
tidak seluruh orang mengetahui posisi mereka dan harus kemana saat bencana terjadi,
terlebih miskomunikasi sering terjadi. Maka dari itu rute evakuasi ini diharapkan dapat
membantu orang-orang mengevakuasi diri mereka menuju tempat aman dengan cepat karena
faktanya kurangnya manajemen waktu dapat mengurangi kemampuan persiapan untuk
bertindak cepat saat bencana terjadi (Tashakkori dkk. 2016), serta rute evakuasi tersebut
dapat pula digunakan oleh regu penyelamat untuk mengevakuasi korban, sehingga hal
tersebut dapat membuat evakuasi berjalan lebih cepat dan kesempatan untuk menyelamatkan
lebih banyak korban akan meningkat (Tashakkori dkk. 2015).
Model bangunan 3D dapat digunakan dalam manajemen bencana dan tanggap darurat karena
dapat memberikan informasi yang berguna. Berdasarkan keuntungan penggunaan model
bangunan 3D untuk pemodelan rute evakuasi darurat, makalah ilmiah ini diharapkan dapat
digunakan untuk menggambarkan gagasan dan dapat dijadikan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan terkait dengan sistem pengembangan mitigasi atau mungkin dapat
menjadi salah satu solusi yang disarankan untuk memodelkan masalah rute evakuasi darurat.
2. METODE DAN DATA
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan 3D bangunan dengan
menggunaka data LiDAR. Data LiDAR tersebut diklasifikasikan menjadi titik ground dan
bangunan, lalu selanjutnya dilakukan pemodelan bangunan 3D dengan bantuan ortofoto.
Bangunan hasil pemodelan 3D selanjutnya dikombinasikan dengan data jalan, titik
224 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

berkumpul, kategori usia, dan Digital Terrain Model (DTM) untuk memodelkan rute
evakuasi darurat menggunakan Algoritma Dijkstra. Alur dari metodologi penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penelitian


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 225

2.1Light Detection and Ranging (LiDAR)


LiDAR merupakan sensor aktif yang memancarkan pulsa laser dan mengukur waktu dari
dipancarkannya pulsa hingga kembalinya pulsa tersebut kepada sensor menggunakan jam
dengan akurasi sangat tinggi. Ketika laser dipantulkan oleh target, posisi horizontal dan
vertikal dari laser dikunci dan koordinat vertikal akan dikoreksi selanjutnya. Prinsip kerja
dari LiDAR sendiri adalah pulsa akan dikirimkan menuju objek dan waktu akan direkam
dengan jam presisi, ketika pulsa mengenai objek maka pulsa akan dipantulkan balik menuju
sensor dan selang waktu tersebut akan digunakan untuk menghitung jarak miring dari objek
menuju sensor karena pemancaran pulsa menggunakan kecepatan yang konstan yaitu
kecepatan cahaya, lalu akan dikonversikan menjadi jarak vertikal dengan bantuan Inertival
Navigation System (INS). Jarak vertikal akan digunakan untuk mengoreksi koordinat Z dari
GPS. Prinsip kerja dari LiDAR ditunjukan pada Gambar 2. Pulsa-pulsa hasil pantulan dari
targetlah yang disebut dengan point clouds.

Gambar 2. Ilustrasi prinsip kerja LiDAR (Source: LIDAR.ihrc.fiu.edu)


Sistem laser dapat mengakuisisi data siang dan malam dan dapat melakukan pengukuran
pada area apapun selama cahaya dapat menembus area tersebut. Secara teori, LiDAR dapat
digunakan selama 24 jam setiap harinya, namun LiDAR tidak dapat digunakan diatas awan
yang tertutup oleh kabut, asap, hujan, dan badai salju. Kualitas dari sebaik apa representasi
objek bergantung kepada resolusi. Resolusi LiDAR menunjukan jumlah pulsa per satuan
meter persegi (densitas point cloud), semakin tinggi jumlah point clouds per satuan unit area
maka semakin tinggi resolusi yang dihasilkan begitu pula sebaliknya.
Laser scanner, Global Positioning System (GPS), dan Inertial Navigation System (INS)
merupakan tiga komponen utama dari Airborne Laser Scanner (ALS). Laser scanner
dipasang di pesawat, helikopter, atau satelit dan memancarkan pulsa menuju objek di
permukaan bumi. INS digunakan untuk mengoreksi pergerakan wahana yaitu pitch, roll, dan
yaw. Sehingga ketelitian dari koordinat masing-masing tinggi (koordinat Z) sangat
dipengaruhi oleh seberapa teliti GPS dan INS.
226 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Perbedaan waktu antara waktu pemancaran pulsa dan kembalinya pulsa tersebut pada sensor
akan dihitung menggunakan perangkat lunak khusus untuk mengonversi data tersebut
menjadi jarak terukur (Center, 2012) dengan formula (1):
D = c. Δt/2 (1)
dimana D = jarak antara objek dan sensor di wahana; c= kecepatan cahaya (3x10 8m/s); t=
total waktu tempuh.
2.2Model Permukaan
Digital Surface Model (DSM) yang sering disebut sebagai model permukaan bumi yang
mencakup fitur medan, bangunan, vegetasi, dan saluran listrik dll, oleh karena itu DSM dapat
merepresentasikan topografi dari permukaan bumi. Sedangkan, Digital Terrain Model
(DTM) digunakan untuk mewakili permukaan terrain dari bumi atau permukaan tanah. DTM
merupakan representasi statistik permukaan kontinu tanah dari sekumpulan besar titik yang
terpilih dengan koordinat x, y, z dengan referensit tertentu (Kennie dan Petrie, 1990).
Perbedaan antara DSM dan DTM dalam merepresentasikan objek di lapangan dapat dilihat
pada Gambar 3. DSM merepresentasikan seluruh objek di atas permukaan tanah sedangkan
DTM hanya merepresentasikan permukaan tanah saja.

Gambar 3. Ilustrasi dari DSM dan DTM (Source: http://www.uav-indonesia.com)

2.3Data dan Wilayah Studi


Wilayah studi terletak di Institut Teknologi Bandung, Lebak Siliwangi, Coblong Jawa Barat,
Indonesia seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 4, Gambar 4 menunjukkan data ortofoto
daerah studi dengan format .ecw. Data diperoleh dari PT Karvak Nusa Geomatika yang
diakuisisi pada bulan Mei 2013 dengan format .las, data terdiri dari titik mentah awan yang
berarti belum diklasifikasikan. Kepadatan titik adalah ± 2-3 points/ m2.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 227

Tabel 1.Spesifikasi data LiDAR dan koordinat area penelitian

Koordinat Area Penelitian


Lintang 6° 53' 34.44" S
Bujur 107° 36' 39.6"E
Spesifikasi Data
Sumber data PT Karvak Nusa Geomatika
Densitas titik ± 2-3 points/m2
Waktu akuisisi Mei 2013
Jumlah titik 2.534.054 points
Datum WGS84
Satuan Meters
Luas 33,06 Hectare
Rata-rata elevasi (ellipsoid) meter

Gambar 4. Data orthofoto dari area studi


2.4 Pengolahan Data LiDAR
Pengolahan data LiDAR terdiri dari dua tahapan pengolahan utama yaitu klasifikasi titik dan
pemodelan bangunan 3D. Pengolahan tersebut dijelaskan sebaagai berikut:
a. Klasifikasi point clouds
Klasifikasi terbagi menjadi dua jenis yaitu klasifikasi semi otomatis dan manual. Klasifikasi
semi otomatis dilakukan oleh perangkat lunak karenanya diperlukan input parameter.
Klasifikasi semi otomatis memiliki kekurangan yaitu dapat terjadi kesalahan dalam
pengklasifikasian titik sesuai kelas yang seharusnya, maka harus dilakukan klasifikasi
manual. Klasifikasi manual dilakukan untuk memastikan bahwa setiap titik telah masuk ke
dalam kelas yang seharusnya. Klasifikasi ground harus dilakukan pertama kali sebagai
acuan dari klasifikasi bangunan. Hasil dari klasifikasi ground dan bangunan ditunjukan oleh
Gambar 5.
228 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(a). Hasil klasifikasi ground

(b) Hasil klasifikasi bangunan


Gambar 5. Hasil klasifikasi (a) ground dan (b) bangunan

b. Model bangunan 3D
Proses utama yang dilakukan dalam pembentukkan model bangunan tiga dimensi adalah
dengan interseksi dari muka bidang, yang memiliki rangkain proses pendeteksian dari muka
bidang atap, interseksi dari muka atap, penentuan kerangka atap (Maas dan Vosselman,
1999). Pendeteksian yang digunakan dengan menentukan cluster dari setiap muka bidang.
Proses clustering didasarkan pada pembentukan dari TIN pada bidang atap. Semua TIN yang
merupakan bagian dari muka atap yang sama merupakan sekelompok bidang yang sama,
proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 229

Gambar 6. Clustering dan menghubungkan komponen dengan menggunakan TIN (Maas dan
Vosselman, 1999)
Terdapat dua garis besar dalam interseksi antar muka, yang pertama adalah menyatukan
perpotongan tepi atap yang berada pada cluster berbeda dan tepi yang perpotongan langsung
dengan objek yang lain atau biasa disebut kerangka atap. Untuk menggabungkan
persimpangan antara tepi atap pada setiap cluster, persimpangan yang berisi titik yang
terletak pada batas antar kelompok harus didefinisikan terlebih dahulu. Dari titik batas yang
berada di tepi cluster akan terhubung ke cluster berikutnya. Setelah semua cluster saling
terhubung satu sama lain, formasi rangka atap dilakukan dan karena diasumsikan bahwa
tembok tersebut terletak persis di persimpangan antara atap tepi dan ujung tanah, model
bangunan tiga dimensi sudah selesai. Proses pembentukan rangka atap ditunjukkan pada
Gambar 7, pada bagian kiri saat atap sudah terhubung, bagian tengah pada saat pendekatan
dengan aproksimasi titik tepi, dan bagian kanan setelah dilakukan penghalusan titik
kerangka atap menggunakan metode perataan kuadrat terkecil.

Gambar 7. Ilustrasi aproksomasi pembentukan model atap (tampak atas) (Maas dan Vosselman,
1999)

2.5 Algoritma Dijkstra


Algoritma Dijkstra adalah algoritma untuk mencari jalur terpendek antara node dalam grafik
dengan nilai positif, yang dapat mewakili, misalnya jaringan jalan. Untuk sumber node
dalam grafik, algoritma menemukan jalur terpendek antara node tersebut dan lainnya
(Mehlhorn & Sanders, 2008) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Ini juga dapat
230 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

digunakan untuk menemukan jalur terpendek dari node tunggal ke node tujuan tunggal
dengan menghentikan algoritma setelah jalur terpendek ke node tujuan yang telah
ditentukan. Dalam penelitian ini, algoritma ini digunakan untuk menentukan rute terpendek
(rute evakuasi darurat) antara satu bangunan dan titik berkumpul terdekat. Jika node
mewakili bangunan dan titik berkumpul dan garis mewakili jarak dan waktu antara
bangunan dan titik berkumpul yang dihubungkan oleh jalan (garis) secara langsung.

Gambar 8. Contoh pencarian rute dengan menggunakan Algoritma Dijkstra (Sumber: Wikipe-
dia.com)
Algoritma Dijkstra akan menetapkan beberapa nilai jarak awal dan akan mencoba
memperbaikinya secara bertahap. Langkah-langkah dari algoritma Dijkstra sendiri ialah
sebagai berikut:
1. Tetapkan nilai jarak tentatif dari setiap node: set ke nol untuk node awal dan tak
terhingga untuk semua node lainnya.
2. Tetapkan node awal sebagai node terkini. Tandai semua node lain yang belum
dikunjungi. Buat satu set node-node yang belum dikunjungi sebagai himpunan yang
belum dikunjungi.
3. Untuk node terkini, pertimbangkan semua node tetangganya dan hitung jarak
tentatifnya. Bandingkan jarak tentatif yang baru dihitung dengan nilai yang ditetapkan
saat ini dan tetapkan yang lebih kecil. Misalnya, jika node terkini bernilai 3 ditandai
dengan jarak 9, dan garis yang menghubungkannya dengan node tetangga 6 memiliki
panjang 2, maka jarak ke 6 (sampai 3) akan menjadi 9 + 2 = 11. Jika sebelumnya
node 6 ditandai dengan jarak yang lebih besar dari 11 maka ubah menjadi 11. Jika
tidak, simpan nilai saat ini..
4. Ketika telah selesai menentukan node lanjutan dari node terkini, tandai node lanjutan
tersebut menjadi node terkunjungi dan hapus node tersebut dari himpunan node belum
terkunjungi.
5. Jika node tujuan telah ditandai dikunjungi (saat merencanakan rute antara dua node
tertentu) atau jika jarak tentatif terkecil diantara node dalam himpunan yang tidak
dikunjungi tidak terhingga (saat merencanakan traversal yang lengkap; terjadi bila
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 231

tidak ada hubungan antara node awal dan node yang belum dikunjungi), maka
berhenti. Sebuah algoritma telah selesai.
6. Jika tidak, pilih node yang belum dikunjungi yang ditandai dengan jarak tentatif
terkecil, tetapkan sebagai "node terkini" baru, dan kembali ke langkah 3.
2.6 Uji Cooper
Uji Cooper adalah tes kebugaran fisik dan dirancang oleh Kenneth H. Cooper pada tahun
1968 untuk penggunaan militer AS (Cooper, 1969). Tes ini dimaksudkan untuk mengukur
kondisi orang yang menjalani tes tersebut dan oleh karena itu seharusnya dijalankan dengan
kecepatan tetap. Uji Cooper yang digunakan adalah 2,4 km lari dengan interpretasi tabel
hasil ditunjukkan pada Tabel 2. Hasilnya akan digunakan sebagai kategori umur untuk pa-
rameter waktu kedatangan dalam analisis jaringan. Kategori umur dibagi menjadi 6 kelas
(kategori usia A hingga kategori usia F) dan untuk kebutuhan perhitungan, nilai yang
digunakan adalah kategori wanita dengan klasifikasi very poor karena untuk evakuasi da-
rurat diasumsikan bahwa waktu kedatangan menunjukkan waktu terakhir untuk men-
gevakuasi orang sehingga digunakan klasifikasi terlama dan untuk faktor keamanan.
Tabel 2. Cooper 2.4 km uji coba dengan unit menit dan detik (Sumber:
http://www.topendsports.com)
Pria
Klasifikasi A (..’..”) B (..’..”) C (..’..”) D (..’..”) E (..’..”) F (..’..”)
(13-19 y.o) (20-29 y.o) (30-39 y.o) (40-49 y.o) (50-59 y.o) (>60 y.o)
Very Poor >15 31 >16 01 >16 31 >17 31 >19 01 >20 00
Poor 12 11 -15 30 14 01-16 00 14 45 -16 30 15 36-17 30 17 01-19 00 19 01-20 00
Average 10 49-12 10 12 01-14 00 12 31-14 45 13 10-15 35 14 31-17 00 16 16-19 00
Good 09 41-10 48 10 46-12 00 11 01-12 30 11 31-13 00 12 31-14 30 14 00-16 15
Very Good 08 37 -09 40 09 45-10 45 10 00-11 00 10 30-11 30 11 00-12 30 11 15-13 59
Excellent <08 37 <09 45 <10 00 <10 30 <11 00 <11 15
Wanita
Very Poor >18 31 >19 01 >19 31 >20 01 >20 31 >21 01
Poor 16 55-18 30 18 31-19 00 19 01-19 30 19 31-20 00 20 01-20 30 21 31-21 00
Average 14 31-16 54 15 55-18 30 16 31-19 00 17 31-19 30 19 01-20 00 19 31-20 30
Good 12 30-14 30 13 31-15 54 14 31-16 30 15 56-17 30 16 31-19 00 17 31-19 30
Very Good 11 50-12 29 12 30-13 30 13 00-14 30 13 45-15 55 14 30-16 30 16 30-17 30
Excellent <11 50 <12 30 <13 00 <13 45 <14 40 <16 30

Untuk kebutuhan perhitungan, nilai waktu pada Tabel 2 harus diubah menjadi kecepatan
dengan menggunakan persamaan (2) dan hasil kecepatan setiap kategori umur ditunjukkan
pada Tabel 3.
𝑑
𝑐= (2)
𝑡
Dimana c = kecepatan (meter / menit), d = jarak (2,4 km = 2400 meter), dan t = waktu
(menit).
232 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 3. Hasil kecepatan setiap kategori umur

Kategori Usia A B C D E F
Waktu (..'..") 18’31” 19’01” 19’31” 20’01” 20’31” 21’01”
Waktu dalam
desimal 18.51667 19.01667 19.51667 20.01667 20.51667 21.01667

kecepatan (m/min) 129.6130 126.2051 122.9718 119.9001 116.9781 114.1951

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 LiDAR Data Processing Result
Hasil Klasifikasi Point Clouds
Pada awalnya data point cloud LiDAR terklasifikasikan pada kelas default, baru selanjutnya
diklasifikasikan menjadi kelas ground dan bangunan. Kelas default dari area penelitian
ditunjukan pada Gambar 9.

Gambar 9. Data LiDAR area studi dalam kelas default

Hasil dari Pemodelan Bangunan 3D


Setelah dilakukan klasifikaasi semi otomatis dan manual, dilakukan pemodelan bangunan
3D dengan menggunakan kelas bangunan. Input parameter untuk pemodelan 3D tergantung
pada jenis bangunan pada area penelitian dan hasil dari pemodelan bangunan 3D (vektorisasi
bangunan) ditunjukan pada Gambar 10.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 233

Gambar 10. Hasil dari vektorisasi bangunnan

Tidak seluruh hasil vektorisasi bangunan pada Gambar 10 serupa dengan bentuk asli
bangunan tersebut, maka harus dilakukan pemeriksaan secara manual dari masing-masing
bangunan dengan manual checking. Kesalahan tersebut dapat dikarenakan oleh densitas titik
yang kurang memadai, klasifikasi titik yang tidak cukup detail, parameter yang tidak sesuai
dengan karakteristik bangunan, dan lain lain. Pemeriksaan secara manual dapat dilakukan
dengan bantuan ortofoto untuk interpretasi bangunan. Proses dari pemeriksaan manual dapat
dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Proses Manual checking dari model bangunan


234 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pembuatan Digital Terrain Model (DTM)


Sebelum pembuatan DTM, produksi Triangulated Irregular Network (TIN) harus dilakukan
sebelumnya. TIN dibentuk untuk menghubungkan data point clouds pada kelas ground,
point clouds tersebut membentuk jaringan segi tiga untuk merepresentasikan permukaan
rupa bumi (terrain). Hasil dari pembuatan TIN ditampilkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hasil pembuatan TIN

Hasil dari Tumpang Tindih DTM, Model Bangunan 3D, dan Ortofoto
Hasil dari pembuatan DTM akan digunakan untuk proses tumpang tindih antara ortofoto dan
model bangunan 3D. Tujuannya adalah untuk mengetahui kesesuaian antara model
permukaan (terrain) dan model bangunan.Hasil dari tumpang tindih data dapat dilihat pada
Gambar 13 dan Gambar 14.

Gambar 13. Hasil dari tumpang tindih antara model bangunan dan model permukaan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 235

Gambar 14. Hasil dari tumpang tindih data DTM, ortofoto, dan model bangunan 3D
3.2 Hasil Pemodelan Rute Evakuasi Darurat
Hasil akhir dari pemodelan bangunan 3D terdiri dari 4 layer yaitu titik, polyline, poligon,
dan multipatch seperti yang ditampilkan pada Gambar 15. Namun untuk pemodelan rute,
layer yang digunakan adalah multipatch karena menunjukan dimensi padat dari model
bangunan 3D. Layer tersebut digabungkan dengan data DTM, data jalan, kategori usia, dan
data titik kumpul terdekat untuk digunakan pada pemodelan rute evakuasi darurat.
Pemodelan rute evakuasi darurat menggunakan network analyst tool dengan metode Dijkstra
Algoritma. Pada penelitian ini, pemodelan rute evakuasi didasari oleh parameter jarak
(panjang) dan waktu yang berasal dari kategori usia. Hasil dari pemodelan rute evakuasi
adalah rute evakuasi dan waktu kedatangan di titik berkumpul, hasil dari rute evakuasi
sendiri dapat dilihat pada Gambar 16. Pada satu rute yang sama dapat dihasilkan waktu
kedatangan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan pada Tabel 4 dari rute pada Gambar
16.

(a) Model bangunan dengan layer lengkap


236 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(b) Model bangunan dengan multipatch layer


Gambar 15. Model bangunan dengan layer (a) lengkap dan (b) multipatch

(a) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 2D

(b) Hasil rute evakuasi dalam visualisasi 3D


Gambar 16. Hasil rute evakuasi dalam visuaslisasi (a) 2D and (b) 3D
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 237

Tabel 4. Waktu kedatangan berdasarkan kategori usia pada rute yang sama
A B C D E F
Kategori Usia (13-19 (20-29 (30-39 (40-49 (50-59 (>60
tahun) tahun) tahun) tahun) tahun) tahun)
Waktu 08:05:43 08:05:52 08:06:01 08:06:20 08:06:29
08:06:11 AM
kedatangan AM AM AM AM AM
Akumulasi
5.716641 5.869767 6.023073 6.1773799 6.331685 6.48599
waktu (min)

3.3 Pembahasan
Pada penelitian ini, densitas point clouds yang digunakan adalah 2 points/m2 , sedangkan
untuk pemodelan bangunan 3D yang lebih detail atau pemodelan vegetasi densitas yang ha-
rus digunakan berada pada rentang 5-6 points/m2 (Vosselman dan Dijkman, 2001). Hal ter-
sebut dikarenakan semakin rapat densitas point clouds yang digunakan maka semakin detail
model yang dapat direpresentasikan sesuai dengan model asli di lapangan, terlebih dalam
mengidentifikasi batas di sekitar bangunan atau vegetasi tinggi. Untuk menjaga kualitas dari
hasil pemodelan, harus digunakan data tambahan yang dapat memudahkan dalam inter-
pretasi objek seperti ortofoto dari daerah penelitian.
Dalam pemodelan bangunan 3D terdapat kesulitan dalam pemodelan atap berbentuk kurva
karena belum ada persamaan yang cukup baik dalam mendeskripsikan atap kurva terutama
di area perkotaan, terkecuali geometri standar seperti silinder, kerucut, dan bola. Hingga
sekarang belum ada solusi otomatis yang dapat digunakan, sehingga solusi satu-satunya
adalah melakukan pemeriksaan secara manual (HUANG, 2013).
Penggunaan data jalan harus sangat memerhatikan penggunaan segmen (arc). Hal tersebut
dikarenakan node harus bertemu lagi dengan node lainnya dan tidak boleh ada percabangan
yang tidak menggunakan node sebagai penghubung antar segmen karena hal tersebut dapat
berdampak pada rute yang dihasilkan serta waktu kedatangan. Segmen sendiri terdiri dari 2
node yaitu pada bagian awal segmen dan akhir segmen. Setiap segmen memiliki nilai
panjang masing-masing dan akan memengaruhi dalam perhitungan jarak total dari rute serta
waktu kedatangan. Diasumsikan bahwa setiap bangunan telah memiliki titik berkumpul
terdekat dengan radius 100 meter, namun bukan berarti bangunan yang memiliki lebih dari
satu titik berkumpul memiliki rute yang harus melalui seluruh titik berkumpul tersebut,
Algoritma Dijkstra dapat digunakan untuk mencari rute terpendek dari satu titik ke satu
tujuan yang telah ditentukan dengan menghentikan algoritma ketika titik tujuan telah dilalui.
Pemodelan rute evakuasi ini merupakan kelanjutan dari Search and Rescue Procedures
(SRP). Prosedur pencarian dan penyelamatan didefinisikan sebagai rute optimum untuk
jumlah minimum responden utama yang mencari dan menjelajahi semua titik di dalam
gedung untuk menyelamatkan korban dalam waktu tercepat (Tashakkori, 2016). Jadi setelah
berhasil keluar dari gedung, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pergi ke
tempat aman terdekat seperti titik berkumpul. Hasil kedatangan waktu dalam satu rute akan
berbeda di setiap kategori umur karena masing-masing kategori umur memiliki kecepatan
238 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

sendiri, hasilnya dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan dimana titik


berkumpul yang cukup sesuai untuk kondisi saat bencana terjadi.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Data LiDAR dan ortofoto dapat digunakan dalam pemodelan bangunan 3D, untuk daerah
perkotaan densitas point clouds sebaiknya dalam rentang 5-6 points/m2 dan pada penelitian
ini digunakan densitas point clouds 2-3 point/m2. Hal tersebut yang menyebabkan
pemodelan atap berbentuk kurva cukup sulit dilakukan, tidak hanya karena densitas titik
yang tidak cukup rapat, namun juga karena belum ada model matematika yang dapat
mendeskripsikan bentuk atap tersebut dengan baik. Disamping itu pemodelan bangunan 3D
pada daerah penelitian ini dapat dikatakan cukup baik dikarenakan tata letak bangunan di
daerah penelitian yang tidak terlalu padat, terstruktur, dan cukup besar. Sehingga dengan
densitas point clouds 2 points/m2 dan bantuan ortofoto sudah cukup untuk memodelkan
bangunan 3D pada daerah penelitian.
Hasil dari pemodelan bangunan 3D digabungkan dengan data DTM, titik berkumpul,
kategori usia, dan data jalan dari daerah penelitian. Hasil pemodelan rute evakuasi dapat
dikatakan sebagai lanjutan dari SRP. Pemodelan rute pada penelitian ini menggunakan
Algoritma Dijkstra, sehingga rute hasil pemodelan merupakan jalur terpendek dari bangunan
menuju tempat aman seperti titik berkumpul. Jalur terpendek dipercaya dapat digunakan
untuk membantu para korban mengevakuasi diri mereka masing-masing. Hasil dari model
rute evakuasi sendiri ialah rute itu sendiri dan waktu keatangan. Waktu kedatangan untuk
satu rute yang sama akan berbeda-beda tergantung kategori usia karena setiap kategori usia
memiliki kecepatan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.
4.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil pemodelan bangunan 3D yang lebih detail terutama di daerah
perkotaan disarankan menggunakan densitas point clouds 5-6 points/m2. Hal tersebut
dilakukan untuk meningkatkan resolusi, mempermudah konstruksi model, dan lebih
merepresentasikan model bangunan 3D dengan bentuk asli di lapangan. Data tambahan juga
dapat membantu dalam melakukan pemodelan yang lebih baik, tidak hanya ortofoto, namun
juga dapat berupa peta 2D seperti peta kadaster, peta topografi atau data lainnya. Untuk data
ortofoto, semakin besar resolusi dari data ortofoto maka semakin memudahkan dalam
melakukan interpretasi objek.
Untuk melengkapi pemodelan rute, Search and Rescue Procedures (SRP) atau model
evakuasi dalam bangunan lainnya disarankan dilakukan sehingga dapat menjadi satu
kesatuan model evakuasi yang utuh. Rute evakuasi dalam bangunan membutuhkan data
lengkap terkait tangga, lantai bangunan, ruangan, jendela, and aspek lainnya di dalam
bangunan dan koordinat presisi dari setiap objek tersebut. Maka dari itu Level of Detail dari
model evakuasi dalam gedung adalah LoD 4. Sehingga, hasil dari pemodelan rute dapat
akurat, terpercaya, dan dapat digunakan untuk menjadi salah satu pertimbangan terkait aspek
mitigasi.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 239

DAFTAR PUSTAKA
Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications.
Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center.
Cooper, Kenneth H. (1969). Aerobics. Bantam Books. ISBN 978-0-553-14490-1.
FEMA. (2017). What is Mitigation?. https://www.fema.gov/what-mitigation. Accessed at August,
12th 2017.
International Hurricane Research Center. (-). LiDAR Techology. http:// LIDAR.ihrc.fiu.edu. Accessed
at January, 20th 2017.
Kennie, T.J., and Petrie, G. (1990). Engineering Survey Technology. Blackie, Glasgow.
Mehlhorn, Kurt and Sanders, Peter (2008). Algorithms and Data Structures: The Basic Toolbox.
Springer.
Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2016). Facilitating the 3D Indoor Search and Rescue
Problem: An Overview of the Problem and an Ant Colony Solution Approach. ISPRS Annals
of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume IV-2/W1,
2016 11th 3D Geoinfo Conference, 20-21 October 2016. Athens, Greece.
Tashakkori, H., A. Rajabifard, and M. Kalantari. (2015). A New 3D Indoor/ Outdoor Spatial
Model for Indoor Emergency Response Facilitation. Building and Environment, 89, 170–
182.
Vosselman, G. (1999). Building Reconstruction using Planar Faces in Very High Density Height
Data. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing, 87-92.

BIOGRAFI PENULIS

Debby Nurliza Ulhaq


Penulis lahir di Bandung, 10 Desember 1996 dan merupakan anak
kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2013, penulis lulus dari
SMAN 11 Bandung dan pada tahun 2017 penulis menjadi lulusan
Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung.
Penulis merupakan Ketua Divisi Hubungan Alumni Badan
Pengurus Harian Ikatan Mahasiswa Geodesi (IMG)-ITB periode
2016-2017 dan merupakan Ketua Divisi Acara pada Rangkaian
Acara Wisuda IMG-ITB pada tahun 2015.
240 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng.


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bi-
dang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial
termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, per-
tanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta pe-
rubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk
kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Univer-
sitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS
Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsyl-
vania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi
pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 241

Teknik Pencocokan Citra dalam Fotogrametri untuk Dokumentasi


Cagar Budaya

Arnadi D. Murtiyoso1, 2 dan Deni Suwardhi2


1
Grup Fotogrametri Arsitektural dan Geomatika, Laboratorium ICube UMR 7357 INSA
Strasbourg,
24 Boulevard de la Victoire, 67084 Strasbourg, Perancis
2
Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa 24, Bandung,
Indonesia
email: arnadi.murtiyoso@insa-strasbourg.fr, deni@gd.itb.ac.id

Abstrak
Dewasa ini teknik pencocokan citra banyak dimanfaatkan dalam fotogrametri. Metode yang
berasal dari ranah penglihatan komputer ini dapat mempermudah sejumlah tugas dalam
fotogrametri yang sebelumnya harus dikerjakan secara manual. Fotogrametri sendiri
merupakan teknik yang sering digunakan dalam dokumentasi cagar budaya dan arkeologi
untuk menghasilkan model trimatra (3D). Fotogrametri dapat menjadi alternatif ataupun
komplemen dari teknik pemindaian laser dalam menghasilkan model 3D yang akurat.
Makalah ini bermaksud merangkum secara umum teknik pencocokan citra otomatis yang
banyak digunakan di perangkat lunak fotogrametri modern, dengan menyertakan sejumlah
contoh kasus untuk penggunaannya dalam rangka dokumentasi cagar budaya.
Kata kunci: Pencocokan Citra, Fotogrametri, Cagar Budaya, Dokumentasi, Model 3D

Abstract
Today the image matching technique is used extensively in photogrammetry. This method,
which originated from the computer vision domain, facilitates several tasks within the
photogrammetric workflow which previously had to be performed manually.
Photogrammetry itself is a technique which is often employed in the documentation of
heritage as well as archaeology in order to create 3D models. Photogrammetry can be an
alternative or a complement to laser scanning in producing accurate and reality-based 3D
models. This paper will summarize the state of the art of the image matching technique often
used in modern photogrammetry software packages. Several case studies of its use in the
area of heritage documentation will also be presented.
Keywords: Image Matching, Photogrammetry, Heritage, Documentation, 3D Model

1. PENDAHULUAN

Saat ini dokumentasi cagar budaya semakin penting untuk dilakukan, terutama dengan
semakin banyaknya situs bersejarah yang terancam. Ancaman ini dapat bersifat antropologis
(Grussenmeyer dan Al Khalil, 2017) maupun alamiah (Achille et al., 2015; Baiocchi et al.,
2013). Untuk itu, rekonstruksi trimatra (3D) dari objek-objek bersejarah perlu dilakukan
242 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

agar dapat dilakukan analisa dan interpretasi, dan jika dibutuhkan rekonstruksi fisik
(Barsanti et al., 2014). Dewasa ini pekerjaan dokumentasi 3D untuk keperluan cagar budaya
dilakukan dengan menggunakan teknik berbasis jarak seperti pemindai laser terestris, atau
teknik berbasis citra seperti fotogrametri (Remondino et al., 2012).
Fotogrametri merupakan teknik yang telah lama digunakan untuk mendokumentasikan cagar
budaya (Grussenmeyer et al., 2002). Teknik penginderaan jauh ini mampu menghasilkan
data 3D dari citra dwimatra (2D). Fotogrametri sering menjadi alternatif dari pemindaian
laser, atau bisa juga melengkapi teknik tersebut (Grenzdörffer et al., 2015; Grussenmeyer et
al., 2010; Remondino, 2011). Melalui perkembangan yang pesat di bidang penglihatan
komputer, fotogrametri semakin lama semakin marak digunakan karena kemampuannya
untuk menghasilkan produk 3D yang teliti. Selain itu, dengan menggunakan algoritma
pencocokan rapat, fotogrametri mampu menyaingi pemindai laser dalam perihal
menghasilkan awan titik 3D untuk objek yang kompleks (Remondino et al., 2013).
Perkembangan di bidang penglihatan komputer telah banyak membantu dan melengkapi
teknik fotogrametri klasik. Teknik pencocokan citra memungkinkan dilakukannya tugas-
tugas dalam fotogrametri yang sebelumnya harus dilakukan secara manual, misalnya saja
pemilihan titik ikat. Selain itu, teknik pencocokan rapat juga semakin maju dan
memungkinkan dilakukannya rekonstruksi 3D suatu objek dalam bentuk awan titik rapat.
Makalah ini akan menjelaskan secara umum mengenai teknik pencocokan citra dalam
kaitannya dengan fotogrametri, dengan tujuan utama dokumentasi cagar budaya. Selain itu
sejumlah contoh perangkat lunak fotogrametri modern yang menerapkan teknik ini, baik
yang bersifat komersil maupun sumber terbuka, akan dijelaskan. Terakhir, sejumlah contoh
kasus akan disajikan di akhir makalah.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fotogrametri
Dalam alur kerja fotogrametri yang sering ditemui dalam perangkat lunak modern,
umumnya dimulai dengan pencarian dan pencocokan titik ikat berdasarkan fitur secara
otomatis. Dalam hal ini fitur yang dimaksud merupakan deskriptor dari sebuah titik pada
sebuah citra (Lowe, 2004). Hal ini dilanjutkan oleh deteksi dan eliminasi ketat titik-titik
pencilan, serta perataan berkas untuk menghitung posisi dan orientasi dari setiap kamera
(Chiabrando et al., 2015; Remondino et al., 2012). Kemudian tahap ini dapat dilanjutkan
dengan penerapan algoritma pencocokan rapat untuk menghasilkan awan titik rapat, sampai
dengan satu titik untuk setiap piksel (Achille et al., 2015).
Bagian penting dari alur kerja fotogrametri adalah orientasi luar (Gambar ) atau triangulasi
udara, yang bertujuan menentukan hubungan antara sistem citra dan sistem objek. Hubungan
ini digambarkan oleh posisi dan orientasi pusat proyeksi kamera dalam sistem koordinat
objek (Schenk, 2005). Secara matematik, hubungan ini dinyatakan dalam enam parameter
orientasi luar: 3 translasi (𝑋𝑚 , 𝑌𝑚 , 𝑍𝑚 ) dan 3 rotasi (ξ, η, ζ).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 243

Gambar 1. Ilustrasi orientasi luar, disadur dari Luhmann et al. (2014)


Perlu dicatat bahwa dalam bidang penglihatan komputer, keenam parameter orientasi luar
ini juga dikenal sebagai parameter ekstrinsik (Granshaw, 2016). Terdapat sejumlah
pendekatan yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah orientasi luar, diantaranya:
1. Persamaan kesegarisan: Persamaan kesegarisan merupakan relasi matematik yang
menghubungkan sebuah titik dalam sistem objek, proyeksi citranya, dan pusat
proyeksi citra dalam sebuah garis yang sama. Secara matematik, kondisi kesegarisan
ini dijabarkan dalam kedua persamaan dalam Persamaan (1) (Fraser, 2013; Hastedt
dan Luhmann, 2015; Wolf et al., 2014):
𝑟11 (𝑋 − 𝑋𝑠 ) + 𝑟12 (𝑌 − 𝑌𝑠 ) + 𝑟13 (𝑍 − 𝑍𝑠 )
𝑥 ′ + ∆𝑥 = 𝑥0 − 𝑓.
𝑟31 (𝑋 − 𝑋𝑠 ) + 𝑟32 (𝑌 − 𝑌𝑠 ) + 𝑟33 (𝑍 − 𝑍𝑠 )
(1)

𝑟21 (𝑋 − 𝑋𝑠 ) + 𝑟22 (𝑌 − 𝑌𝑠 ) + 𝑟23 (𝑍 − 𝑍𝑠 )
𝑦 + ∆𝑦 = 𝑦0 − 𝑓.
𝑟31 (𝑋 − 𝑋𝑠 ) + 𝑟32 (𝑌 − 𝑌𝑠 ) + 𝑟33 (𝑍 − 𝑍𝑠 )
Di mana :
𝑓 : panjang fokal lensa
𝑥0 , 𝑦0 : koordinat titik pusat proyeksi citra
𝑥 ′ , 𝑦′ : koordinat titik pada sistem koordinat citra
∆𝑥, ∆𝑦 : parameter koreksi terhadap distorsi lensa
𝑟 : matriks rotasi
𝑋, 𝑌, 𝑍 : koordinat titik pada sistem koordinat objek
𝑋𝑠 , 𝑌𝑠 , 𝑍𝑠 : koordinat pusat proyeksi citra pada sistem koordinat objek
Perlu dicatat bahwa Persamaan (1) tidak linier sehingga dalam perhitungan perataan
berkas dibutuhkan nilai pendekatan untuk setiap parameter yang dicari. Selain itu,
Persamaan (1) merupakan persamaan kesegarisan “kedang” yang mencakup di
dalamnya parameter orientasi dalam (atau parameter kalibrasi) seperti koefisien
244 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

distorsi lensa.
2. Persamaan kesebidangan: Dalam kebanyakan proyek fotogrametri, sebuah titik
akan diproyeksikan pada dua citra atau lebih. Untuk dua citra yang bertampalan,
kedua berkas yang keluar dari titik objek yang sama ke arah proyeksinya di tiap citra
membentuk sebuah bidang koplanar. Formulasi matematik dari kondisi ini
terkandung di dalam persamaan kesebidangan, seperti terlihat dalam Persamaan (2).
Persamaan ini sering digunakan dalam melakukan orientasi relatif antara dua citra
(Grussenmeyer dan Al Khalil, 2002; Luhmann et al., 2014).
(𝑏 × 𝑟 ′ ) ∙ 𝑟" = 0 (2)
Di mana :
𝑏 : vektor basis citra antara foto 1 dan foto 2
𝑟′ : vektor antara pusat proyeksi foto 1 ke titik objek
𝑟" : vektor antara pusat proyeksi foto 2 ke titik objek
Dalam bidang penglihatan komputer, permasalahan orientasi luar dipecahkan dengan
melalui matriks fundamental (F). Matriks fundamental merupakan representasi aljabar dari
geometri kesebidangan (Hartley dan Zisserman, 2003), sehingga dapat dikatakan kurang
lebih analog dengan prinsip kesebidangan dalam fotogrametri klasik (Granshaw, 2016).
Konsep yang masih berhubungan dengan matriks fundamental yakni matriks esensiil (E).
Perbedaan utama diantara keduanya adalah keberadaan matriks kalibrasi (K) dalam matriks
F. Hubungan matematis yang melibatkan matriks F dan koordinat citra dapat dilihat pada
Persamaan (3) (Hartley dan Zisserman, 2003; Luhmann et al., 2014).
𝑥′𝑇 𝐹𝑥 = 0 (3)
Di mana :
𝑥 : vektor koordinat homolog titik dalam sistem citra 1
𝑥′ : vektor koordinat homolog titik dalam sistem citra 2
𝐹 : matriks fundamental (3x3)
Orientasi luar untuk banyak citra umumnya dipecahkan dengan menggunakan metode
perataan berkas (Luhmann et al., 2014; Wolf et al., 2014). Metode perataan berkas klasik
merupakan suatu bentuk dari perataan kuadrat terkecil sebagaimana dijabarkan dalam
algoritma Gauss-Markov. Namun demikian, pendekatan ini terkadang tidak cukup untuk
menghasilkan konvergensi dalam proses iterasi. Untuk itu, modifikasi pada algoritma Gauss-
Markov dapat dilakukan dalam rangka mengurangi risiko divergensi. Beberapa modifikasi
dari algoritma dasar Gauss-Markov misalnya metode Gauss-Newton-Armijo, Levenberg-
Marquadt, ataupun Levenberg-Marquadt dengan tambahan Powell (Börlin dan
Grussenmeyer, 2013).

2.2 Pencocokan Citra


Sebagian besar perangkat lunak yang melakukan rekonstruksi 3D berbasis citra dilengkapi
dengan fitur pencocokan citra otomatis. Dari sejumlah besar algoritma pencocokan citra
yang ada, Remondino et al. (2014, 2013) telah berusaha mengklasifikasikannya. Klasifikasi
yang paling dasar meliputi pencocokan yang berbasis fitur (dengan kata lain, perbandingan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 245

deskriptor) dan pencocokan yang berbasis nilai abu piksel dalam sebuah jendela pencarian.
Setelah pencocokan dilakukan, perhitungan ikatan ke muka sederhana dapat dilakukan untuk
memperoleh koordinat 3D dari titik-titik tersebut.
Algoritma untuk pencocokan berbasis area (PBA) mampu mencapai ketelitian hingga 1/50
piksel. Namun demikian, PBA membutuhkan objek yang bertekstur dan nilai pendekatan
untuk melakukan pencocokan. Sebaliknya, pencocokan berbasis fitur (PBF) tidak terlalu
tergantung pada tekstur objek, namun awan titik yang dihasilkan seringkali tidak cukup
rapat. Gambar 2 menunjukkan klasifikasi umum ini dalam bentuk skema.

Gambar 2. Klasifikasi metode pencocokan citra, disadur dari Remondino et al. (2014, 2013);
Szeliski (2010)
2.2.1 Pencocokan Berbasis Fitur (PBF)
Sejumlah contoh pencocokan citra berbasis fitur antara lain metode Harris (Harris dan
Stephens, 1988), metode SIFT (Scale Invariant Feature Transform) (Lowe, 2004),
ataupun SURF (Speeded Up Robust Features) (Bay et al., 2006). Metode Harris
merupakan perbaikan dari metode Moravec, yang menghitung nilai minimal dalam
sebuah jendela piksel dan membandingkannya terhadap sebuah nilai ambang. SIFT
melakukan ekstrasi titik fitur melalui empat tahapan utama. Pertama, algoritma ini
menghitung diferensial dari fungsi Gauss untuk mengidentifikasi kandidat titik fitur.
Selanjutnya penyaringan dilakukan; titik dengan kontras yang lemah akan dihapus.
Kemudian matriks Hessian digunakan untuk menghitung nilai kelengkungan dari setiap
titik. Sebuah nilai ambang untuk kelengkungan digunakan untuk menjaring sekali lagi
kandidat fitur. Selanjutnya, histogram arah dihasilkan dari gradien arah untuk daerah di
sekitar setiap titik. Dari histogram ini, sebuah vektor arah dihasilkan untuk tiap titik yang
kemudian menjadi deskriptor titik tersebut.
Namun demikian, SIFT dapat memakan waktu yang cukup lama. Untuk itu, SURF
dikembangkan dengan tujuan utama mempercepat proses pencocokan. SURF melakukan
ini dengan menambahkan sejumlah parameter seperti penggunaan matriks Laplacian.
SURF mampu melakukan pencocokan hingga tiga kali lebih cepat dibandingkan SIFT.
SURF lebih cocok digunakan untuk citra yang buram atau terputar, namun kurang baik
246 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

untuk perubahan mendadak dari posisi pengambilan citra atau pencahayaan (Chiabrando
et al., 2015).
2.2.2 Pencocokan Berbasis Area (PBA)
PBF dapat digunakan untuk menghasilkan awan titik renggang, yang kemudian dapat
digunakan sebagai nilai pendekatan untuk pencocokan rapat dengan menggunakan
pendekatan pencocokan berbasis area (PBA) (Szeliski, 2010). Dilihat dari sistem ruang
mana yang digunakan, terdapat dua sub-kategori PBA. Sub-kategori yang pertama
menggunakan garis-garis epipolar pada sistem citra untuk melakukan pencocokan.
Terdapat pendekatan lokal dan global dalam sub-kategori ini. Dalam pendekatan lokal
(didasarkan atas penggunaan jendela pencarian), nilai paralaks untuk setiap piksel
dihitung. Penggunaan jendela pencarian mengimplikasikan proses penghalusan, yang
mengakibatkan tepian-tepian objek menjadi terlalu halus (Hirschmüller, 2011).
Sebaliknya pendekatan global menghitung minimalisasi energi pada keseluruhan citra,
dengan penghalusan eksplisit. Selain itu terdapat pula metode pencocokan semi-global
(PSG) yang dikembangkan oleh Hirschmüller (2005). Metode ini menghitung
minimalisasi energi pada garis epipolar dan empat arah lainnya di sekitar piksel.
Sub-kategori lainnya dalam PBA melakukan pencocokan pada sistem objek. Dalam sub-
kategori ini, awan titik renggang harus diperoleh terlebih dahulu untuk dijadikan nilai
pendekatan. Ketika awan titik renggang tersedia, pendekatan ini akan mengklasifikasikan
setiap citra berdasarkan posisinya relatif terhadap objek. Kemudian pencocokan rapat
dilakukan pada sebuah petak pada objek yang terlihat oleh salah satu kelompok citra
(Furukawa dan Ponce, 2009). Prosedur ini kemudian diulangi untuk petak-petak lainnya
sehingga melingkupi seluruh objek.

2.3 Dokumentasi Cagar Budaya


Dokumentasi adalah proses penting dalam konservasi cagar budaya. Pencatatan,
dokumentasi, dan survei terhadap bangunan dan benda-benda cagar budaya adalah penting
dalam rangka menunjang riset, pelestarian, dan konservasi. Dokumentasi yang mendetail
secara 3D adalah prasyarat untuk berbagai analisis dan interpretasi lebih lanjut (Barsanti et
al., 2014). Hal ini juga tertuang secara resmi dalam Kesepakatan Venesia (1964) pasal 16,
yang utamanya menyatakan bahwa dalam setiap pekerjaan pelestarian, restorasi, dan
ekskavasi monumen bersejarah, harus senantiasa disertai oleh dokumentasi yang teliti
(ICOMOS, 1964).
Terdapat tiga metode utama yang umumnya digunakan dalam dokumentasi cagar budaya
secara 3D: pemindaian laser, fotogrametri rentang dekat, atau gabungan keduanya (Lerma
et al., 2010). Makalah ini akan berfokus kepada teknik fotogrametri, yakni teknik yang
berdasarkan pada citra. Namun demikian, perlu dicatat bahwa penggunaan metode gabungan
(fotogrametri dan pemindaian laser) sangat umum dilakukan (Grenzdörffer et al., 2015;
Grussenmeyer et al., 2008; Lerma et al., 2010; Remondino, 2011) .
Metode fotogrametri sendiri telah banyak dimanfaatkan dalam banyak jenis cagar budaya,
misalnya saja dokumentasi artefak (Lachat et al., 2015), monumen (Barsanti et al., 2014),
bangunan (Achille et al., 2015; Grenzdörffer et al., 2015; Murtiyoso et al., 2017a, 2016),
situs-situs di bawah tanah (Grussenmeyer et al., 2012; Lerma et al., 2010; Murtiyoso et al.,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 247

2017b) maupun keseluruhan kompleks bersejarah (Chiabrando et al., 2015; von Schwerin
et al., 2013). Di Indonesia, beberapa contoh situs bersejarah yang telah didokumentasikan
dengan menggunakan teknik fotogrametri diantaranya Candi Borobudur (Suwardhi et al.,
2015) dan perkampungan Batak Toba (Hanan et al., 2015).
Terdapat beberapa contoh protokol pengambilan dan pengolahan data yang dapat ditemukan
dalam literatur yang berkaitan dengan pemanfaatan fotogrametri untuk dokumentasi cagar
budaya (lihat juga Gambar ), misalnya peraturan 3x3 dari CIPA (Waldhäusl et al., 2013),
TAPENADE (Tools and Acquisition Protocols for Enhancing Artifacts Documentation)
(Nony et al., 2012), dan protokol “One panorama each step” (Wenzel et al., 2013a). Ketiga
protokol ini memiliki sejumlah persamaan. Pertama, kalibrasi kamera dengan menggunakan
jaringan konvergen senantiasa dianjurkan dibanding kalibrasi diri in situ. Kedua,
dokumentasi prosedural seperti sketsa situasi dan metadata objek cagar budaya juga
merupakan sesuatu yang penting namun sering dilupakan. Ketiga, semua protokol
menganjurkan dua jenis pengambilan citra; citra umum atau global dengan sudut-sudut yang
konvergen untuk membantu proses perataan berkas, dan citra detil dengan persentase
pertampalan besar yang bertujuan untuk membantu proses pencocokan rapat.

Gambar 3. Contoh protokol pengambilan dan pengolahan data fotogrametri untuk dokumentasi
cagar budaya.
3. CONTOH PERANGKAT LUNAK
3.1 Komersil
3.1.1 Agisoft Photoscan1
Agisoft Photoscan (PS) adalah sebuah perangkat lunak yang melakukan pengolahan
fotogrametri dengan tujuan menghasilkan data 3D. Berbasis di St. Petersburg, Rusia,
248 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

perusahaan Agisoft didirikan pada tahun 2006 sebagai perusahan yang berfokus di
penglihatan komputer. Perangkat lunak Photoscan merupakan produk utamanya, dan
dapat digunakan untuk citra udara maupun terestris. Penggunaan PS cukup sederhana;
hal ini bisa menjadi kelebihan bagi banyak pengguna awam namun kekurangan bagi
pengguna yang memiliki kebutuhan lebih spesifik. Karena sifatnya yang “kotak hitam”,
algoritma yang digunakan PS sulit untuk dipelajari. Namun demikian beberapa aspek dari
algoritma PS dapat disimpulkan dari pengamatan empiris. Misalnya saja, penggunaan
metode serupa PSG dalam algoritma pencocokan rapat PS dan diikuti oleh penyaringan
berdasarkan konstrain sebidangan, senada dengan pengamatan Remondino et al. (2014).
Selain itu, PS nampaknya menggunakan metode Poisson untuk menghasilkan model 3D
jaring.
3.1.2 EcoSystems Photomodeler2
Perangkat lunak Photomodeler (PM) dikembangkan oleh perusahaan asal Kanada
EosSystems. Perangkat lunak ini cukup dikenal untuk aplikasinya di bidang arkeologi
dan arsitektur (Grussenmeyer et al., 2002). Dengan basis utama di bidang fotogrametri,
perangkat lunak ini memberikan kontrol yang lebih leluasa bagi pengguna dalam
menghasilkan data 3D (Remondino et al., 2012). Sejak tahun 2014, PM dilengkapi
dengan modul pencocokan citra, baik PBF untuk orientasi luar maupun PBA untuk
pencocokan rapat. Selain itu, PM memungkinkan pengguna untuk melakukan pemodelan
3D melalui digitalisasi objek vektor langsung pada citra (Remondino, 2011; Remondino
et al., 2011). Cukup unik di antara perangkat lunak lainnya, PM juga memungkinkan
pengguna untuk memilih algoritma pencocokan rapat yang ingin diterapkan. PM
memiliki modul pencocokan rapat berbasis pasangan stereo (mirip dengan metode PSG)
dan modul lain yang berbasis objek (mirip dengan metode PMVS).
3.1.3 Pix4D3
Perangkat lunak Pix4D (P4D) dikembangkan oleh sebuah perusahaan sempalan dari
Ecole Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL), Swiss. Perangkat lunak ini memiliki
sejumlah modul dengan sejumlah spesialisasi, khususnya untuk penggunaan dalam
bidang pertanian. Sebagai perangkat lunak komersil, algoritma P4D disembunyikan dan
tidak dapat dipelajari secara langsung. Namun demikian, P4D menghasilkan laporan
hasil yang cukup lengkap di akhir setiap tahapan pemrosesan. Laporan ini dapat
digunakan untuk melakukan verifikasi hasil dan kontrol kualitas. Dalam hal pencocokan
rapat, P4D kemungkinan menggunakan pendekatan yang menyerupai metode berbasis
petak, dengan metode PSG tersedia dalam bentuk fungsi tambahan.

1
http://www.agisoft.com/ diakses 13 Juli 2017
2
http://www.photomodeler.com/ diakses 13 Juli 2017
3
https://pix4d.com/ diakses 13 Juli 2017
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 249

3.1.4 SURE4
SURE adalah sebuah perangkat lunak pencocokan rapat yang dikembangkan oleh Institut
Fotogrametri Universitas Stuttgart (IfP Stuttgart). Perangkat lunak ini memiliki tujuan
utama untuk melakukan pencocokan rapat berkualitas tinggi dengan memanfaatkan citra-
citra dengan daerah pertampalan yang besar serta parameter orientasi luar mereka
(Wenzel et al., 2013b). SURE menggunakan pendekatan PSG yang dimodifikasi agar
dapat mempercepat waktu pemrosesan (Remondino et al., 2014). SURE merupakan
perangkat lunak yang berfokus pada pencocokan rapat; oleh karena itu informasi
mengenai parameter orientasi luar setiap citra harus diperoleh melalui perangkat lunak
perataan berkas pihak ketiga (contoh: PS, VisualSFM, Inpho, dll.). SURE merupakan
perangkat lunak komersil, namun lembaga-lembaga riset dapat meminta lisensi tanpa
bayar untuk tujuan penelitian.

3.2 Sumber Terbuka


3.2.1 Apero dan MicMac5
Apero (AP) dan MicMac (MM) adalah kumpulan perangkat lunak yang dikembangkan
oleh laboratorium MATIS dari badan pemetaan nasional Perancis IGN (Institut National
de l’Information Géographique et Forestière). AP terdiri dari modul Pastis yang
bertujuan melakukan pencocokan citra secara PBF. AP sendiri memiliki tujuan utama
untuk melakukan perataan berkas dengan memanfaatkan metode Levenberg-Marquadt
dengan menggunakan titik-titik ikat yang telah dihitung oleh Pastis (Pierrot-Deseilligny
dan Clery, 2012). Hasil dari AP kemudian dapat digunakan oleh MM untuk melakukan
pencocokan rapat. MM menggunakan pendekatan “kasar ke halus”; citra yang tersedia
pertama-tama melalui proses pengurangan resolusi dalam beberapa tingkat sehingga
menciptakan struktur piramid citra. Pencocokan rapat dilakukan pertama-tama terhadap
citra dengan resolusi paling rendah, kemudian hasilnya digunakan untuk memandu
proses pencocokan rapat di tingkat piramid berikutnya, dan demikian seterusnya (Pierrot-
Deseilligny et al., 2011; Remondino et al., 2014).
3.2.2 GRAPHOS6
GRAPHOS merupakan proyek penelitian yang didukung oleh Inisiatif Sains ISPRS.
Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah solusi sumber terbuka untuk
fotogrametri yang mengutamakan otomatisasi melalui antarmuka grafis yang mudah
digunakan, fleksibilitas penggunaan, kualitas dan ketelitian hasil, serta keandalan
fotogrametri sebagai sebuah teknik. GRAPHOS menawarkan sejumlah algoritma pra-
pengolahan citra seperti misalnya penyaringan Wallis, sejumlah metode PBF seperti
SIFT, ASIF, dan MSD, algoritma perataan berkas, serta dua metode pencocokan rapat
(dengan mengintegrasikan MM dan PMVS). GRAPHOS juga memungkinkan integrasi
dengan SURE apabila pengguna memiliki akun lisensi penggunaannya (González-
Aguilera et al., 2016).
4
http://www.nframes.com/ diakses 13 Juli 2017
5
http://logiciels.ign.fr/?Micmac diakses 13 Juli 2017
6
https://github.com/itos3d/GRAPHOS diakses 13 Juli 2017
250 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3.2.3 VisualSFM7 dan PMVS8


VisualSFM (VSFM) merupakan perangkat lunak sumber terbuka yang dikembangkan
oleh Changchang Wu. Perangkat lunak ini pada dasarnya merupakan antarmuka grafis
untuk algoritma PBF SIFT, yang kemudian dilanjutkan oleh proses perataan berkas.
PMVS (Patch-Based Multi-View Stereo) sendiri merupakan algoritma pencocokan rapat
yang menggunakan pendekatan petak-petak. Pencocokan dimulai dari hasil SIFT dari
VSFM yang digunakan sebagai nilai pendekatan. PBA kemudian dilakukan untuk setiap
“petak” di sekitar setiap titik ikat SIFT. “Petak-petak” ini kemudian semakin lama
semakin diperbesar sampai dengan memenuhi keseluruhan objek yang akan
direkonstruksi (Furukawa dan Ponce, 2009).
4. CONTOH KASUS
4.1 Arca Ganesa, Bandung, Indonesia
Data pertama merupakan sebuah Arca Ganesa yang terletak di Jalan Dago, Bandung,
Indonesia. Arca ini difoto dengan menggunakan kamera Panasonic DMC-LX3 dengan
panjang fokal 5 mm dan ukuran piksel 3 mikron. Foto diambil dari jarak kurang lebih antara
1 sampai 2 meter dari objek, sehingga ukuran piksel-objek rata-rata adalah 1 mm. Objek ini
dipilih untuk merepresentasikan sistem jaringan kamera konvergen, yang sering kali
ditemukan dalam rekonstruksi 3D artefak atau monumen.
Terhadap data ini, perangkat lunak PS, AP/MM, VSFM/PMVS dan SURE digunakan
sebagai ujicoba. Untuk SURE, data parameter orientasi luar yang digunakan adalah hasil
dari PS. Untuk keperluan analisis, perangkat lunak CloudCompare digunakan. Parameter
pencocokan rapat merupakan hal yang cukup sulit untuk dibandingkan, namun demikian
dalam analisis ini parameter dari keempat perangkat lunak diusahakan agar semirip mungkin
(lihat juga Murtiyoso dan Grussenmeyer (2017) untuk referensi lebih lanjut). Sebagai data
referensi, permukaan rerata untuk keempat hasil dihasilkan dengan cara membuat model
jaring Poisson dari gabungan seluruh data. Hasil dari masing-masing perangkat lunak
kemudian dibandingkan terhadap model jaring referensi ini untuk melihat ketelitian mereka.
Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 4.

7
http://ccwu.me/vsfm/ diakses 13 Juli 2017
8
http://www.di.ens.fr/pmvs/ diakses 13 Juli 2017
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 251

Model jaring bertekstur (PS) PS, μ= 0.0 mm, σ = 0.4 mm MM, μ= 0.1 mm, σ = 0.6 mm

PMVS, μ= 0.1 mm, σ = 0.8 mm SURE, μ= 0.0 mm, σ = 0.5 mm


Gambar 4. Perbandingan hasil pencocokan rapat untuk data Ganesa dari empat perangkat lunak
yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah simpangan
baku.
Terlihat bahwa keempat perangkat lunak yang diujicobakan semuanya mampu mencapai
ketelitian yang tinggi jika dibandingkan dengan ukuran piksel-objek (1 mm). PS dan SURE
memberikan hasil terbaik diantara keempatnya, dengan MM dan PMVS hanya sedikit saja
di belakang. Namun demikian, dari sisi densitas awan titik, tampak bahwa PS memberikan
hasil paling rapat dan PMVS paling renggang. Baik SURE maupun MM menunjukkan
beberapa area yang kosong. Perangkat lunak komersil seperti PS terkadang memiliki
pengolahan data terselubung seperti ekstrapolasi dan/atau interpolasi, sehingga pengguna
sebaiknya berhati-hati dalam pemakaiannya untuk proyek yang membutuhkan ketelitian
tinggi (Lachat et al., 2017).
252 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

4.2 Relief Awalokiteswara, Candi Sewu, Indonesia


Data kedua yang dianalisis adalah sebuah relief sisi utara candi perwara no. 72 kompleks
Candi Sewu. Relief ini menggambarkan Bodhisatwa Awalokiteswara dan dibuat pada abad
ke-8 Masehi. Candi perwara no. 72 adalah salah satu dari candi yang masih utuh di kompleks
Candi Sewu, dan relief ini dapat menjadi studi kasus untuk sistem jaringan kamera paralel
dalam fotogrametri rentang dekat. Konfigurasi paralel ini lebih sering digunakan dalam
fotogrametri udara, namun dalam konteks fotogrametri arsitektural konfigurasi ini sering
digunakan untuk mendokumentasikan fasad bangunan. Kamera yang digunakan dalam data
ini adalah Nikon D3200 dengan panjang fokal lensa 23 mm dan ukuran piksel 7 mikron.
Ukuran piksel-objek rata-rata berdasarkan jarak kamera ke objek (antara 2 dan 3 meter) ialah
0.7 mm. Seperti halnya data Ganesa, data ini diolah dengan menggunakan perangkat lunak
PS, AP/MM, VSFM/PMVS, dan SURE. Serupa juga dengan data Ganesa, sebuah
permukaan referensi dihasilkan dengan membuat model jaring Poisson dari gabungan awan
titik yang dihasilkan keempat perangkat lunak. Hasil perbandingan dapat dilihat pada
Gambar 1.

Model jaring bertekstur (PS)

PS, μ= 0.1 mm, σ = 2.3 mm MM, μ= 0.1 mm, σ = 2.7 mm


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 253

PMVS, μ= 0.9 mm, σ = 4.2 mm SURE, μ= 0.0 mm, σ = 1.9 mm


Gambar 1. Perbandingan hasil pencocokan rapat untuk data Sewu dari empat perangkat lunak
yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah simpangan
baku.
Dalam kasus ini, PMVS menunjukkan hasil yang paling buruk dengan adanya kesalahan
sistematik hingga 0.9 mm. Nilai simpangan baku untuk PMVS juga menunjukkan nilai yang
cukup tinggi yakni 4.2 mm. Sedangkan PS dan MM menghasilkan nilai yang cukup serupa,
dan SURE sedikit lebih teliti dari keduanya. Sekali lagi PS menghasilkan awan titik yang
lebih lengkap dibandingkan MM dan SURE (perhatikan bagian atas dan samping relief).
Selain itu, awan titik yang dihasilkan oleh PMVS jauh lebih renggang dibandingkan hasil
yang lainnya. Ini dapat dijelaskan melalui perbedaan pendekatan PMVS dalam melakukan
pencocokan rapat, dimana PMVS menggunakan pendekatan pencocokan pada sistem objek
sedangkan PS, MM dan SURE pada sistem citra (lihat Gambar 2).
4.3 Gerbang Barat Laut Katedral, Reims, Perancis
Data ketiga diambil di Gereja Katedral Notre-Dame de Reims, Perancis yang dibangun pada
abad ke-13 Masehi. Data diambil dari gerbang barat laut gereja ini yang memiliki ukiran,
patung, dan relief yang kompleks. Foto diambil dengan menggunakan kamera Nikon D3200
dengan panjang fokal lensa 23 mm dan ukuran piksel 7 mikron. Jarak rerata dari objek ke
kamera adalah sekitar 5 meter, sehingga ukuran piksel-objek rata-rata yang dapat diperoleh
dari data ini adalah 1.5 mm. Pada data ini, perangkat lunak yang diujicobakan yaitu PS, AP,
PM, dan VSFM. Analisis dilakukan tidak terhadap hasil pencocokan rapat, melainkan pada
hasil PBF dari masing-masing perangkat lunak. Sebagai data referensi, hasil PBF dari keem-
pat perangkat lunak digabungkan dan dibentuk menjadi model jaring.

PS, μ= 1.3 cm, σ = 5.6 cm


254 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Model jaring bertekstur (PS) AP, μ= 0.8 cm, σ = 11.6 mm

PM, μ= 0.5 mm, σ = 5.1 mm VSFM, μ= 1.8 mm, σ = 7.6 mm


Gambar 2. Perbandingan hasil pencocokan berbasis fitur untuk data Reims dari empat perangkat
lunak yang diujicobakan terhadap permukaan rerata; μ adalah kesalahan rerata dan σ adalah
simpangan baku.
Terlihat pada Gambar 6, PS dan VSFM meberikan hasil yang cukup serupa. Dari sisi kesala-
han rerata, AP dan PM memberikan hasil yang paling baik, namun demikian AP
menghasilkan persebaran yang lebih luas, dengan nilai standar deviasi lebih dari 10 mm.
Sebaliknya PM memiliki nilai standar deviasi yang lebih rendah, namun hal ini juga disebab-
kan oleh kurangnya titik di beberapa bagian fasad. PS dan VSFM menghasilkan awan titik
yang lebih bersih dengan persebaran yang relatif rendah, namun demikian kesalahan siste-
matik pada kedua kasus ini cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kesalahan rerata yang
mencapai 1.8 mm untuk VSFM).
5. KESIMPULAN

Teknik pencocokan citra merupakan kemajuan teknologi yang sangat penting dalam ranah
ilmu fotogrametri dan penglihatan komputer. Teknik ini memungkinkan dihasilkannya awan
titik rapat yang berasal dari citra 2D. Dalam konteks dokumentasi cagar budaya, teknik ini
membuka peluang untuk dilakukannya dokumentasi 3D dari benda-benda cagar budaya; hal
yang selama ini lebih sering dilakukan secara 2D (melalui gambar, sketsa, foto, dll.).
Lebih jauh, kemungkinkan untuk menggunakan perangkat yang relatif berbiaya rendah
membuka peluang bagi konservator, surveyor, atau arkeolog untuk melakukan dokumentasi
dengan mudah. Dalam hal ini peralatan minimal yang dibutuhkan adalah kamera, komputer,
dan alat pengukur untuk memberikan faktor skala pada objek. Hal ini merupakan terobosan
besar dalam ranah dokumentasi 3D, sebagai alternatif (atau komplemen) terhadap teknik
pemindaian laser.
Seperti dapat terlihat dalam makalah ini, teknik korespondensi citra sendiri terbagi dalam
beberapa kategori seperti PBF dan PBA. Penggunaan untuk masing-masing kategori perlu
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Selain itu, protokol pengambilan dan pen-
golahan data juga merupakan bagian penting dari sebuah proyek dokumentasi cagar budaya.
Protokol yang sistematis dapat membantu agar pelaksanaan proyek berjalan lancar, tanpa
perlu pengambilan ulang data ke lapangan.
Berbagai solusi perangkat lunak pencocokan citra dapat ditemui di pasaran, seperti telah
dibahas dalam makalah ini. Beberapa diantaranya bersifat komersil dan menawarkan solusi
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 255

yang cepat, namun demikian pengguna sebaiknya tetap berhati-hati dalam pemakaiannya.
Di lain pihak, sejumlah perangkat lunak sumber terbuka juga dapat memberikan hasil yang
sangat baik dan sebanding dengan hasil dari perangkat lunak komersil. Dengan demikian,
pemilihan perangkat lunak yang digunakan dalam sebuah proyek dokumentasi cagar budaya
harus disesuaikan dengan kebutuhan dengan melihat sejumlah faktor seperti anggaran, ting-
kat kemampuan pengguna, ataupun hasil akhir yang diinginkan.
DAFTAR ISTILAH DAN PADANAN KATA
awan titik : point cloud
pencocokan berbasis area : Area-Based Matching (ABM)
pencocokan berbasis fitur : Feature-Based Matching (FBM)
pencocokan citra : image matching
pencocokan rapat : dense matching
pencocokan semi-global : Semi-Global Matching (SGM)
model jaring : mesh model
pemindai laser terestris : terrestrial laser scanner (TLS)
penglihatan komputer : computer vision
persamaan kesebidangan : coplanarity equation
persamaan kesegarisan : colinearity equation
ukuran piksel-objek : Ground Sampling Distance (GSD)

DAFTAR REFERENSI
Achille, C., Adami, A., Chiarini, S., Cremonesi, S., Fassi, F., Fregonese, L., Taffurelli, L., 2015. UAV-
based photogrammetry and integrated technologies for architectural applications -
methodological strategies for the after-quake survey of vertical structures in Mantua (Italy).
Sensors (Switzerland) 15, 15520–15539.
Baiocchi, V., Dominici, D., Mormile, M., 2013. UAV application in post-seismic environment. ISPRS
- International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information
Sciences XL-1/W2, 21–25.
Barsanti, S.G., Remondino, F., Fenández-Palacios, B.J., Visintini, D., 2014. Critical factors and
guidelines for 3D surveying and modelling in Cultural Heritage. International Journal of
Heritage in the Digital Era 3, 141–158.
Bay, H., Tuytelaars, T., Van Gool, L., 2006. SURF: Speeded up robust features. Lecture Notes in
Computer Science 3951 LNCS, 404–417.
Börlin, N., Grussenmeyer, P., 2013. Bundle adjustment with and without damping. Photogrammetric
Record 28, 396–415.
Chiabrando, F., Donadio, E., Rinaudo, F., 2015. SfM for orthophoto generation: a winning approach
for cultural heritage knowledge. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-5/W7, 91–98.
Fraser, C., 2013. Automatic Camera Calibration in Close Range Photogrammetry. Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing 79, 381–388.
Furukawa, Y., Ponce, J., 2009. Accurate, dense, and robust multi-view stereopsis. IEEE Transactions
on Pattern Analysis and Machine Intelligence 32, 1362–1376.
256 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

González-Aguilera, D., López-Fernández, L., Rodriguez-Gonzalvez, P., Guerrero, D., Hernandez-


Lopez, D., Remondino, F., Menna, F., Nocerino, E., Toschi, I., Ballabeni, A., Gaiani, M., 2016.
Development of an all-purpose free photogrammetric tool. International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives 41, 31–
38.
Granshaw, S.I., 2016. Photogrammetric Terminology: Third Edition. The Photogrammetric Record
31, 210–252.
Grenzdörffer, G.J., Naumann, M., Niemeyer, F., Frank, A., 2015. Symbiosis of UAS Photogrammetry
and TLS for Surveying and 3D Modeling of Cultural Heritage Monuments - a Case Study About
the Cathedral of St. Nicholas in the City of Greifswald. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-1/W4, 91–96.
Grussenmeyer, P., Al Khalil, O., 2017. From metric image archives to point cloud reconstruction: case
study of the Great Mosque of Aleppo in Syria, in: Proceedings of the 26th CIPA Symposium,
28th August - 1st September 2017, Ottawa, Canada.
Grussenmeyer, P., Al Khalil, O., 2002. Solutions for exterior orientation in photogrammetry: a review.
The Photogrammetric Record 17, 615–634.
Grussenmeyer, P., Burens, A., Moisan, E., Guillemin, S., Carozza, L., Bourrillon, R., Petrognani, S.,
2012. 3D multi-scale scanning of the archaeological cave les Fraux in Dordogne (France).
Lecture Notes in Computer Science (including subseries Lecture Notes in Artificial Intelligence
and Lecture Notes in Bioinformatics) 7616 LNCS, 388–395.
Grussenmeyer, P., Hanke, K., Streilein, A., 2002. Architectural Photogrammety, in: Kasser, M., Egels,
Y. (Ed.), Digital Photogrammetry. Taylor & Francis, hal. 300–339.
Grussenmeyer, P., Landes, T., Alby, E., Carozza, L., 2010. High Resolution 3D Recording and
Modelling of the Bronze Age Cave “Les Fraux” in Perigord (France). Proceedings of the Isprs
Commission V Mid-Term Symposium Close Range Image Measurement Techniques 38, 262–
267.
Grussenmeyer, P., Landes, T., Voegtle, T., Ringle, K., 2008. Comparison methods of terrestrial laser
scanning, photogrammetry and tachometry data for recording of cultural heritage buildings.
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information
Sciences - ISPRS Archives Vol. XXXVI, 213–218.
Hanan, H., Suwardhi, D., Nurhasanah, T., Bukit, E.S., 2015. Batak Toba Cultural Heritage and Close-
range Photogrammetry. Procedia - Social and Behavioral Sciences 184, 187–195.
Harris, C., Stephens, M., 1988. A Combined Corner and Edge Detector. Procedings of the Alvey
Vision Conference 1988 147–151.
Hartley, R., Zisserman, A., 2003. Multiple View Geometry in Computer Vision, 2nd ed. Cambridge
University Press.
Hastedt, H., Luhmann, T., 2015. Investigations on the Quality of the Interior Orientation and Its
Impact in Object Space for UAV Photogrammetry. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-1/W4, 321–328.
Hirschmüller, H., 2011. Semi-Global Matching Motivation, Developments and Applications.
Photogrammetric Week 173–184.
Hirschmüller, H., 2005. Accurate and efficient stereo processing by semi-global matching and mutual
information. IEEE International Conference on Computer Vision and Pattern Recognition 2,
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 257

807–814.
ICOMOS, 1964. The Venice Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites.
Lachat, E., Landes, T., Grussenmeyer, P., 2017. First Experiences with the Trimble SX10 Scanning
Total Station for Building Facade Survey. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.
Lachat, E., Macher, H., Mittet, M.A., Landes, T., Grussenmeyer, P., 2015. First experiences with
kinect V2 sensor for close range 3D modelling. International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives 40, 93–100.
doi:10.5194/isprsarchives-XL-5-W4-93-2015
Lerma, J.L., Navarro, S., Cabrelles, M., Villaverde, V., 2010. Terrestrial laser scanning and close range
photogrammetry for 3D archaeological documentation: the Upper Palaeolithic Cave of Parpallo
as a case study. Journal of Archaeological Science 37, 499–507.
Lowe, D.G., 2004. Distinctive image features from scale invariant keypoints. International Journal of
Computer Vision 60, 91–110.
Luhmann, T., Robson, S., Kyle, S., Boehm, J., 2014. Close-Range Photogrammetry and 3D Imaging,
2nd ed. De Gruyter.
Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., 2017. Documentation of Heritage Buildings using Close Range
UAV Images: Dense Matching Issues, Comparison, and Case Studies. The Photogrammetric
Record 32.
Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Freville, T., 2017a. Close Range UAV Accurate Recording and
Modeling of St-Pierre-le-Jeune Neo-Romanesque Church in Strasbourg (France). ISPRS -
International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences
XLII-2/W3, 519–526.
Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Guillemin, S., Prilaux, G., 2017b. Centenary of the Battle of Vimy
(France, 1917): Preserving the Memory of the Great War Through 3D Recording of the Maison
Blanche Souterraine, in: Proceedings of the 26th CIPA Symposium, 28th August - 1st
September 2017, Ottawa, Canada.
Murtiyoso, A., Grussenmeyer, P., Koehl, M., Freville, T., 2016. Acquisition and Processing
Experiences of Close Range UAV Images for the 3D Modeling of Heritage Buildings, in:
Ioannides, M., Fink, E., Moropoulou, A., Hagedorn-Saupe, M., Fresa, A., Liestøl, G., Rajcic,
V., Grussenmeyer, P. (Ed.), Digital Heritage. Progress in Cultural Heritage: Documentation,
Preservation, and Protection: 6th International Conference, EuroMed 2016, Nicosia, Cyprus,
October 31 -- November 5, 2016, Proceedings, Part I. Springer International Publishing, hal.
420–431.
Nony, N., De Luca, L., Godet, A., Pierrot-Deseilligny, M., Remondino, F., Van Dongen, A., Vincitore,
M., 2012. Protocols and assisted tools for effective image-based modeling of architectural
elements. Progress in Cultural Heritage Preservation 7616 LNCS, 432–439.
Pierrot-Deseilligny, M., Clery, I., 2012. Apero, an Open Source Bundle Adjusment Software for
Automatic Calibration and Orientation of Set of Images. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XXXVIII, 269–276.
Pierrot-Deseilligny, M., De Luca, L., Remondino, F., 2011. Automated image-based procedures for
accurate artifacts 3D modeling and orthoimage generation. Proceedings of the XXIIIrd
International CIPA Symposium.
258 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Remondino, F., 2011. Heritage recording and 3D modeling with photogrammetry and 3D scanning.
Remote Sensing 3, 1104–1138.
Remondino, F., Barazzetti, L., Nex, F., Scaioni, M., Sarazzi, D., 2011. UAV photogrammetry for
mapping and 3D modeling - current status and future perspectives. ISPRS - International
Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XXXVIII,
25–31.
Remondino, F., Del Pizzo, S., Kersten, T.P., Troisi, S., 2012. Low-cost and open-source solutions for
automated image orientation–a critical overview. Progress in Cultural Heritage Preservation
7616 LNCS, 40–54.
Remondino, F., Spera, M.G., Nocerino, E., Menna, F., Nex, F., 2014. State of the art in high density
image matching. The Photogrammetric Record 29, 144–166.
Remondino, F., Spera, M.G., Nocerino, E., Menna, F., Nex, F., Gonizzi-Barsanti, S., 2013. Dense
image matching: Comparisons and analyses. Proceedings of the Digital Heritage 2013 1, 47–
54.
Schenk, T., 2005. Introduction to Photogrammetry. Department of Civil and Environmental
Engineering and Geodetic Science, The Ohio State University.
Suwardhi, D., Menna, F., Remondino, F., Hanke, K., Akmalia, R., 2015. Digital 3D Borobudur -
Integration of 3D Surveying and Modeling Techniques. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XL-5/W7, 417–423.
Szeliski, R., 2010. Computer Vision : Algorithms and Applications. Springer.
von Schwerin, J., Richards-Rissetto, H., Remondino, F., Agugiaro, G., Girardi, G., 2013. The
MayaArch3D project: A 3D webGIS for analyzing ancient architecture and landscapes. Literary
and Linguistic Computing 28, 736–753.
Waldhäusl, P., Ogleby, C., Lerma, J.L., Georgopoulos, A., 2013. 3 x 3 rules for simple
photogrammetric documentation of architecture.
Wenzel, K., Rothermel, M., Fritsch, D., Haala, N., 2013a. Image acquisition and model selection for
multi-view stereo. ISPRS - International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences XL, 251–258.
Wenzel, K., Rothermel, M., Haala, N., Fritsch, D., 2013b. SURE – The IfP software for dense image
matching. Photogrammetric Week 2013 59–70.
Wolf, P., DeWitt, B., Wilkinson, B., 2014. Elements of Photogrammetry with Applications in GIS,
4th ed. McGraw-Hill Education.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 259

BIOGRAFI PENULIS

Arnadi Dhestaratri Murtiyoso


Lulus dari program S-1 Teknik Geodesi dan Geomatika ITB
(Institut Teknologi Bandung) pada tahun 2011 dan kemudian
menyelesaikan program Diplôme d’ingénieur topographe
dari Institut Nasional untuk Sains Terapan (INSA) Strasbourg
(Perancis) pada tahun 2016. Saat ini tengah menjalani studi
doktoral di Universitas Strasbourg (Perancis) di bidang
fotogrametri arsitektural dan geomatika. Bidang riset yang
diminati mencakup dokumentasi cagar budaya, fotogrametri,
pemindaian laser, dan Historical Building Infomation
Modeling (HBIM).

Deni Suwardhi
Lulus dari program S-1 Teknik Geodesi dan Geomatika
ITB pada tahun 1993. Pada tahun 1996 mendapatkan gelar
Magister di bidang Teknik Informatika ITB. Gelar Doktor
kemudian diperoleh pada tahun 2008 dari Universiti
Teknologi Malaysia, Johor Bahru, Malaysia. Bidang riset
yang diminati yaitu pengembangan metode untuk survei,
pemodelan, penyimpanan, analisis, dan visualisasi spasial,
temporal, dan semantik beresolusi tinggi. Sejak 1996
menjabat sebagai dosen di Kelompok Keahlian
Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis ITB, dan
pernah menjadi peneliti pasca-doktoral di Unit Survei dan
Geoinformasi Universitas Innsbruck, Austria pada tahun
2013.
260 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Pemanfaatan Teknologi Light Detection And Ranging (Lidar) Da-


lam Pemodelan Banjir Akibat Luapan Air Sungai

Nur Asriyah1, Agung Budi Harto1,2, Ketut Wikantika1,2


1
Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu
dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
2
Center for Remote Sensing (CRS), Institut Teknologi Bandung
email : 1nurasriyah@s.itb.ac.id, 2agung@gd.itb.ac.id, 3ketut@gd.itb.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membuat model genangan banjir akibat luapan air sungai
Cikapundung dari data DEM hasil pengukuran teknologi LIDAR untuk menunjukkan kawa-
san berpotensi banjir sehingga dapat membantu dalam upaya mitigasi bencana banjir.Ana-
lisis pemodelan banjir memerlukan data topografi yang akurat untuk mendukung kualitas
hasil pemodelan banjir. Saat ini, LIDAR merupakan teknologi penginderaan jauh terbaik
yang digunakan untuk membuat relief permukaan bumi dalam bentuk tiga dimensi yang di-
mana sering disebut sebagai DEM (Digital Elevation Model). Tugas akhir ini membahas
tentang pemanfaatan teknologi LIDAR dalam analisis genangan banjir akibat luapan sungai
berdasarkan simulasi model hidrodinamik. Pemetaan genangan banjir berdasarkan simulasi
model hidrodinamik dapat memberikan gambaran yang cukup baik mengenai daerah-daerah
di sekitar sungai yang berpotensi tergenang banjir. Hasil pemetaan genangan banjir dalam
penelitian ini sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana banjir pada daerah studi.
Kata kunci: LIDAR, DEM, Simulasi model hidrodinamik.

Abstract
The purpose of this thesis is to create a model of flooding caused by flood waters of Cika-
pundung River from DEM data of LIDAR technology measurement to show potential flood
areas so that it can assist in mitigation of flood disaster.Flood analysis requires accurate
topographic data to obtain a good overview of flood inundation. At this time, LIDAR is the
best technology of remote sensing for collecting elevation data from earth surface. This ele-
vation data can be used to create relief of the earth’s surface in three-dimensional format
which is often referred to as a DEM. This undergraduate thesis dealt with the utilization of
LIDAR technology in analysis of flood inundation due to overflowing river based on simu-
lation of hydrodynamic model. The flood inundation map based on simulation of hydrody-
namic model can show the potential flood areas around the river pretty good. The result of
flood inundation map in this thesis can be used for flood disaster mitigation on study area.
Keywords: LIDAR, DEM, Simulation of hydrodynamic model.

1. PENDAHULUAN
Bencana banjir merupakan salah satu bencana yang sering terjadi pada kota-kota besar di
Indonesia. Hal ini menunjukkan kurangnya penanggulangan dari pihak pemerintah selaku
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 261

pengelola area. Selain itu bencana banjir tentunya menyebabkan kerugian seperti terjadinya
kerusakan infrastruktur, kerusakan lingkungan, kerusakan pemukiman dan lain-lain (Al
Amin, 2015).

Seiring dengan kejadian tersebut, diperlukan sebuah rencana mitigasi yang tepat agar
musibah banjir tidak terjadi lagi. Salah satu upaya untuk merencanakan mitigasi bencana
banjir adalah dengan melakukan serangkaian analisis mengenai dampak genangan banjir
terhadap daerah-daerah di sekitar sungai. Untuk melakukan hal itu diperlukan sebuah model
banjir yang didasari oleh data DEM di kawasan terkait. Peta DEM dapat menunjukkan relief
permukaan bumi serta dapat memberikan geometri penampang sungai dan daerah-daerah di
sekitar sungai. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membuat peta DEM, diantaranya pen-
gukuran manual di lapangan, penggunaan citra satelit seperti SRTM (Shuttle Radar Topog-
raphy Mission) dan ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radi-
ometer), teknologi IFSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar), dan LIDAR. Namun
kelemahan pengukuran manual adalah membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh
hasil yang cukup akurat, sedangkan kelemahan citra satelit SRTM dan ASTER adalah
resolusi yang relatif rendah untuk analisis genangan banjir yang detil, yaitu hanya berkisar
30 m x 30 m. Teknologi IFSAR dapat menghasilkan DEM dengan resolusi yang akurat,
namun umumnya digunakan untuk daerah yang cukup luas. Untuk daerah yang lebih spe-
sifik, terutama dengan tingkat densitas vegetasi yang cukup tinggi, IFSAR tidak dapat
digunakan (Mercer, 2001; Hodgson, et al., 2003; National Research Council of The National
Academies, 2007). Pada saat ini, teknologi LIDAR dianggap yang terbaik dalam
menghasilkan peta DEM yang akurat dengan resolusi yang sangat tinggi, yaitu dapat men-
capai 1 m x 1 m dan bahkan kurang dari 1 m. (Al Amin, 2015)
Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan pembuatan DEM dan model banjir akibat lua-
pan air sungai dengan menggunakan teknologi LIDAR. Penelitian ini diharapkan dapat
membantu dalam mencari solusi untuk mitigasi bencana banjir.

2 METODE DAN DATA


Secara umum, metodologi penelitian yang dilakukan dalam pembuatan tugas akhir ini dapat
dilihat pada Gambar 1.1.
262 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1.1 Diagram alur penelitian


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 263

1. Data-data titik ketinggian LIDAR diperoleh berdasarkan data point cloud yang telah
diukur oleh PT Karvak sebelumnya. Data LIDAR tersebut perlu dilakukan koreksi
atau kliring data agar data point cloud yang eror dapat dihilangkan sehingga diperoleh
data LIDAR yang lebih akurat.
2. Pembuatan DEM dilakukan menggunakan perangkat lunak Global mapper 16 ber-
dasarkan titik-titik ketinggian untuk klasifikasi ground pada data LIDAR. DEM yang
telah dibuat selanjutnya diekspor ke dalam format raster dengan ekstensi *.GeoTiff.
3. DEM yang telah dibuat selanjutnya dibuka pada perangkat lunak ArcGIS 10. Modul
HEC-GeoRAS yang telah diinstal di ArcGIS 10 digunakan untuk membuat model ge-
ometri sungai, di antaranya alur saluran utama dan bantaran sungai, serta penampang
melintang sungai.
4. Model geometri sungai disimulasikan menggunakan perangkat lunak HEC-RAS 4.0.
Simulasi dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi tertentu seperti nilai kekasaran man-
ning untuk setiap land use, dan nilai variasi debit banjir.
5. Hasil simulasi profil banjir untuk setiap debit banjir selanjutnya diimpor ke dalam
HEC-GeoRAS sehingga diperoleh batas-batas dan kedalaman genangan banjir.
6. Hasil delineasi genangan banjir selanjutnya di-overlay dengan foto udara yang sudah
ortofoto sehingga dapat diperoleh gambaran daerah-daerah di sekitar sungai yang
tergenang banjir.
2.2 Light Detection and Ranging (LIDAR)
LIDAR merupakan suatu sistem pengindraan jauh dengan sensor aktif yang mengukur
pantulan cahaya untuk mencari jangkauan dan jarak dari suatu target (Measures, 1984). LI-
DAR memiliki efisiensi dan validitas yang baik sebagai sumber data untuk ketinggian medan
rupa bumi. (Center, 2012).Terdapat 3 komponen utama dalam sistem LIDAR, yaitu Sensor
LIDAR, GPS (Global Positioning System), dan IMU (Inertial Measuring Unit) (Van-
nessyardi, 2011).Pemetaan mengunakan data LIDAR merupakan suatu metode yang
diterima dalam mengumpulkan informasi spasial secara presisi dan langsung tergeoreferensi
mengenai karakteristik objek dan permukaan bumi (Center, 2012). Cakupan area yang luas
dalam sekali pengambilan data pun turut menjadi poin lebih dari pemanfaatan LIDAR. Hal
ini akan memberi banyak keuntungan terutama dalam efektivitas biaya maupun volume
kerja dari suatu proyek.
Secara umum prinsip kerja LIDAR adalah gelombang laser memancarkan pulsa dan memin-
dai objek pada permukaan bumi, kemudian akan diukur waktu tempuh pulsa laser menuju
suatu objek sampai kembali ke sensor. Hasil ukuran waktu tempuh tersebut dapat digunakan
untuk menghitung jarak sensor ke objek. Setelah itu nilai jarak dan sudut pancaran akan
dikoreksi menggunakan IMU untuk mendapatkan koreksi pergerakan wahana. Posisi tiga
dimensi setiap titik yang direkam datanya akan didapatkan dari IMU yang diintegrasikan
dengan GPS. GPS digunakan untuk terus mengatur ulang IMU agar mampu mendapatkan
posisi dengan akurasi tinggi. Posisi GPS telah diikatkan pada sebuah stasiun pengamat, dan
stasiun ini memberikan faktor koreksi bagi unit GPS yang terpasang di wahana. Ilustrasi
prinsip kerja LIDAR ditunjukan pada Gambar 1.2.
264 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 1.2 Ilustrasi prinsip kerja LIDAR (Center, 2012)


Perbedaan waktu antara ketika sinar laser dipancarkan dan ketika sinar laser diterima oleh
receiver optis dikalkulasi oleh perangkat lunak khusus untuk memproses dan mengkonversi
data tersebut menjadi jarak terukur (Center, 2012):
𝐷 = 𝑐. ∆𝑡/2 (1.1)
Pada persamaan (1.1) diketahui bahwa D adalah jarak antara sensor dan objek yang diukur,
c merupakan kecepatan cahaya, dan t adalah jarak tempuh sinyal pada pengukuran dengan
pulsa laser.
LIDAR dapat menghasilkan kerapatan titik (point cloud) 1-9 titik/𝑚 2, hal ini bergantung
dari beberapa faktor, di antaranya adalah metode akuisi (tinggi terbang, jenis konfigurasi
sensor dan jenis permukaan), sudut pandang sensor ke permukaan bumi (field of view) (Kan-
dia, 2012). Akurasi vertikal dari data LIDAR adalah kurang dari 20 cm dan untuk horizon-
talnya adalah 30-50 cm dalam range 15-24 cm dan horizontal 30-64 cm (Center, 2012).
2.3 Pengolahan Data LIDAR dan Pembentukan Model DTM
Pada tugas akhir ini, data LIDAR diolah untuk menghasilkan DTM yaitu suatu model tiga
dimensi yang menggambarkan permukaan tanah dari area studi tersebut. Model ini nantinya
digunakan untuk membuat model dataran banjir akibat luapan air sungai. Sebelum mencapai
hasil akhir tersebut diperlukan proses panjang untuk data mentah LIDAR yang digunakan.
Beberapa tahapan dilakukan penulis dalam tugas akhir ini antara lain klasifikasi titik dan
pembentukan model DTM.
Pada intinya melakukan klasifikasi pada penelitian ini adalah membedakan kelas ground
dengan kelas non ground. Terdapat parameter-parameter yang digunakan sebagai ambang
batas penentuan titik mana yang diklasifikasikan sebagai ground dan non ground. Setelah
penentuan parameter tersebut maka proses iterasi akan terus dilakukan sampai semua titik
telah terklasifikasi sebagai ground dan non ground. Dalam penelitian ini klasifikasi dil-
akukan dengan dua tahapan yaitu klasifikasi semi-automatis dan manual. Parameter-param-
eter yang digunakan dalam melakukan klasifikasi ke dalam kelas ground ditunjukkan dalam
Tabel 1.1
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 265

Tabel 1.1 Nilai parameter dalam klasifikasi semi-automatis untuk kelas ground

Parameter Value
Minimum Height Departure from Local
0.25 Meters
Mean
Maximum Height Delta 100 Meters
Terrain Slope 5 Degrees

Nilai-nilai parameter tersebut di atas akan menentukan kualitas dari hasil klasifikasi. Nilai-
nilai tersebut didapatkan setelah dilakukan beberapa kali iterasi hingga didapat hasil klasifi-
kasi yang terbaik.
Hasil dari Klasifikasi Semi-automatis adalah data point clouds terbagi ke dalam kelas-kelas
ground dan non ground berdasarkan kesamaan karakteristik titik-titik tersebut. Namun dari
hasil klasifikasi tersebut terlihat masih ada beberapa titik yang dianggap tidak sesuai dengan
kelas di sekitarnya. Untuk mengantisipasi hasil klasifikasi semi-automatis yang belum se-
luruhnya benar, maka diperlukan suatu proses pengecekan ulang terhadap klasifikasi data
point clouds yang dilakukan secara manual. Biasanya manual classification dilakukan
dengan menyandingkan potongan melintang dari area studi dengan ortofoto yang ada agar
bisa dilihat kesesuaian pembagian kelas dengan keadaan sebenarnya.
Data point clouds yang telah terklasifikasi menjadi kelas ground akan dibentuk menjadi
DTM. Dari hasil tersebut maka bentuk geometri dari area studi dapat terlihat. DTM diperoleh
melalui interpolasi titik-titik ground tersebut.
2.3 Pembuatan Model Dataran Banjir
Dalam penelitian ini pembuatan model dataran banjir akibat luapan air sungai dilakukan
dengan dua tahap yaitu tahap pembuatan model geometri sungai, serta tahap pembuatan
model hidrodinamik.
Model geometri sungai dalam penelitian ini meliputi panjang alur utama sungai, bantaran
sungai, serta elevasi untuk setiap penampang melintang sungai. Pembuatan model geometri
sungai dilakukan menggunakan modul HEC-GeoRAS 10.1 yang dipasang dalam perangkat
lunak ArcGIS 10. Pembuatan model geometri sungai diawali dengan impor DTM ke dalam
ArcGIS 10. Selanjutnya dilakukan digitasi alur utama sungai, dan bantaran kiri serta kanan
sungai. Kemudian dilakukan digitasi kembali untuk penampang-penampang melintang
sungai. Alur dan penampang sungai secara otomatis akan mengikuti topografi dari DEM
yang telah diimpor sebelumnya. Data geometri sungai seperti stasiun, panjang, dan elevasi
untuk setiap penampang sungai secara otomatis dibuat berdasarkan hasil digitasi. Selain data
geometri sungai, pada tahap ini juga diperlukan data landuse yang memiliki nilai kekasaran
manning. Data ini diperlukan karena pada saat simulasi profil muka air banjir dilakukan,
kecepatan aliran air dari luapan sungai akan dipengaruhi oleh nilai kekasaran manning ter-
sebut.
Di Baldassarre (2012) menjelaskan bahwa HEC-RAS merupakan salah satu model hidro-
dinamik yang dapat digunakan untuk simulasi hidrolika profil aliran dan dataran banjir
dengan penerapannya pada sungai dengan panjang puluhan sampai dengan ratusan kilometer
266 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

tergantung pada ukuran daerah aliran sungai (DAS). Al Amin, et al. (2015) menjelaskan
potensi genangan banjir di sepanjang sungai dapat divisualisasikan melalui penelusuran ban-
jir di sepanjang sungai menggunakan HEC-RAS. Luasan genangan banjir dimodelkan se-
bagai tampungan reservoir, dimana geometrinya didefinisikan menggunakan hubungan level
muka air terhadap volume.
2.4 Pemetaan Genangan Banjir
Batas-batas genangan banjir yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pemetaan genangan
banjir. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat overlay antara batas-batasgenangan dengan
foto udara. Foto udara yang digunakan harus ortofo yaitu hasil foto udara yang sudah melalui
proses sehingga proyeksinya ortogonal. Selanjutnya pemetaan genangan banjir dibuat
dengan mengikuti kaidah kartografi agar informasi lokasi genangan banjir dapat ter-
sampaikan dengan baik melalui peta tersebut sehingga dapat memberikan gambaran
mengenai daerah-daerah di sekitar sungai yang berpotensi tergenang banjir.
2.5 Area Studi dan Data Penelitian
Penelitian ini berlokasi diKota Bandung di wilayah kecamatan Coblong dan Cihampelas
dimana pada area tersebut terdapat anak Sungai Cikapundung. Seperti diitunjukkan pada
Gambar 1.3 berikut adalah lokasi area penelitian dalam tugas akhir ini.

Gambar 1.3 Area lokasi penelitian dilakukan


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 267

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Data yang diperlukan dalam penelitian


No. Data Yang Diper- Sumber Kegunaan Keterangan
lukan Data
1. Data LIDAR PT Kar- Untuk membuat model Waktu akuisisi data: tahun
vak DTM 2012
Kerapatan: ± 1-2 points/m2
Referensi koordinat:
WGS84 UTM Zona 48S
2. Ortofoto PT Kar- Untuk uji kualitas Waktu akuisisi data:
vak DTM, untuk membantu
Tahun 2012
dalam pembuatan
model geometri sungai, Resolusi:
untuk pemetaan ge-
nangan banjir. 0.1 x 0.1 meter
Referensi koordinat:
WGS84 UTM Zona 48S
3. Nilai kekasaran man- Digitasi Untuk pemodelan ge- Digitasi dilakukan
ning dari landuse area sendiri ometri sungai dan hi- menggunakan Software
studi drodinamik ArcGIS dan nilai kekasa-
ran manning didapatkan
dari literatur-literatur.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil Klasifikasi Point Clouds LIDAR
Pada tahap klasifikasi point clouds mengalami dua jenis klasifikasi yaitu klasifikasi semi-
automatis dan klasifikasi manual. Point clouds dibagi menjadi dua kelas yaitu non ground
dan ground. Terlihat pada Gambar 3.1 di bahwa dimana titik-titik berwarna coklat menun-
jukkan kelas ground dan warna abu menunjukkan kelas non ground.
268 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 3.1 Gambaran titik-titik hasil klasifikasi pada area studi


3.2 Hasil Pembentukan Model DTM
Selanjutnya setelah titik-titik terklasifikasi sebagai kelas ground dan non ground akan diben-
tuk suatu model DTM yang berasal dari kelas ground. Model DTM yang dihasilkan dalam
penelitian ini merupakan model DTM dalam bentuk Grid. Untuk DTM yang dihasilkan oleh
struktur data grid ditunjukkan pada Gambar 3.2. Warna berada pada tampilan greyscale
yang mana semakin gelap maka semakin menujukkan area dengan nilai ketinggian lebih
kecil.

Gambar 3.2 Hasil model DTM dalam bentuk grid

3.3 Hasil Pemodelan Geometri Sungai


Setelah DTM dari area studi terbentuk, DTM digunakan dalam pembuatan model geometri
sungai pada area studi. DTM di-overlay dengan ortofoto area studi untuk memudahkan da-
lam melakukan digitasi geometri sungai seperti alur utama sungai, bantaran sungai, dan pen-
ampang melintang sungai. Gambar 3.3 menunjukkan hasil digitasi alur dan penampang
sungai.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 269

(a) (b)
Gambar 3.3 (a) Hasil digitasi alur dan penampang sungai di HEC-GeoRAS 10.1, dan (b) model ge-
ometri sungai di HEC-RAS 4.1

3.4 Hasil Pemodelan Hidrodinamik


Hasil pemodelan geometri sungai selanjutnya digunakan untuk membuat pemodelan hidro-
dinamik yaitu simulasi profil muka air banjir dari luapan air sungai menggunakan HEC-RAS
4.1. Untuk melakukan simulasi profil muka air banjir tersebut dibutuhkan data debit air dan
kemiringan topografi rata-rata sepanjang sungai. Kemiringan topografi rata-rata sepanjang
sungai didapat sebesar 0.0125. Nilai kemiringan topografi rata-rata tersebut didapat darii
hasil perhitungan manual oleh penulis.
Pada tahap ini telah dilakukan iterasi untuk melihat nilai debit air pada saat air memenuhi
sungai, pada saat air mulai meluap dan pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai.
Setelah dilakukan iterasi untuk beberapa nilai debit air, didapat nilai debit air pada saat air
memenuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air mulai meluap adalah
sebesar 25 m3/s dan nilai debit air pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai adalah
sebesar 110 m3/s.
Hasil simulasi profil muka air banjir untuk penampang melintang salah satu crossline dan
perspektif tiga dimensi di sepanjang sungai untuk masing-masing debit ditunjukkan dalam
Gambar 3.4

(a)
270 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(b)

(c)

Gambar 3.4. Tinggi muka air banjir di penampang melintang sungai salah satu crossline
(a) saat debit air sungai 20 m3/s, (b) saat debit air sungai 25 m3/s, dan
(c) saat debit air sungai 110 m3/s

3.5 Hasil Delineasi Genangan Banjir


Profil muka air banjir yang telah disimulasikan selanjutnya diimpor ke dalam HECGeoRAS,
sehingga dapat dilakukan delineasi genangan banjir berdasarkan ketinggian muka air di
sepanjang sungai. Delineasi genangan banjir menghasilkan batas-batas dan kedalaman ge-
nangan banjir. Hasil delineasi genangan banjir ditunjukkan pada Gambar 3.5.

(a) (b)
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 271

(c)
Gambar 3.5. Hasil delineasi genangan banjir untuk debit air sebesar (a) 20 m3/s, (b) 25 m3/s
dan (c) 110 m3/s
3.6 Hasil Pemetaan Genangan Banjir
Batas-batas genangan yang telah diperoleh dari proses delineasi genangan banjir dapat
digunakan untuk membuat peta genangan banjir.Hal ini dapat dilakukan dengan membuat
overlay antara batas-batas genangan dengan foto udara. Gambar 3.6 di bawah ini menun-
jukkan hasil pemetaan genangan banjir.

(a) (b)
272 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(c)
Gambar 3.6. Hasil pemetaan genangan banjir untuk debit air sebesar (a) 20 m3/s, (b) 25 m3/s
dan (c) 110 m3/s
3.7 Analisis
Titik-titik di dalam area penelitian ini dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas ground dan non
ground. Namun dari hasil klasifikasi semi-automatis masih sering ditemukan kesalahan
pengklasifikasian. Ada titik-titik yang seharusnya masuk ke dalam kelas ground namun ma-
suk ke dalam kelas non ground, ataupun sebaliknya. Hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai
parameter yang belum tentu sesuai di seluruh area. Maka perlu dilakukan klasifikasi jenis
kedua yaitu secara manual. Klasifikasi manual dilakukan dengan memanfaatkan potongan
melintang suatu bagian dari area kemudian menyandingkan potongan melintang dari area
tersebut dengan ortofoto yang ada agar bisa dilihat kesesuaian pembagian kelas dengan
keadaan sebenarnya. Klasifikasi manual akan rentan terhadap kesalahan operator apabila
tidak secara cermat menandai titik mana yang dianggap salah kelas. Secara keseluruhan
dengan menggunakan data LIDAR dan perangkat lunak pengolah data LIDAR pembagian
kelas untuk area yang relatif luas lebih mudah dilakukan. Selain itu dengan adanya dua taha-
pan dalam melakukan klasifikasi maka hasil klasifikasi menjadi lebih akurat serta lebih efek-
tif jika dilihat dari segi waktu pengerjaan.
DTM yang dihasilkan akan erat kaitannya dengan hasil klasifikasi yang dilakukan sebe-
lumnya. Apabila masih terdapat titik-titik yang masuk ke dalam kelas yang salah dapat men-
imbulkan beberapa spikes dan mengakibatkan DTM yang dihasilkan tidak mendekati bentuk
permukaan yang sebenarnya. Bentuk DTM yang dihasilkan kemudian dicocokan dengan or-
thophoto yang ada. Hasil pun menunjukkan bahwa DTM menyerupai keadaan permukaan
bumi yang sebenarnya namun belum secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan nilai kerapatan
data LIDAR yang hanya sebesar ± 1-2 points/m2 kurang mendukung dalam pembuatan
model DTM yang lebih akurat dan lebih detail. Namun hasil model DTM dirasa cukup me-
wakili untuk dijadikan data dalam penelitian.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 273

Pemodelan geometri sungai seperti alur utama sungai, bantaran sungai, dan penampang
melintang sungai dilakukan dengan cara digitasi manual oleh penulis. Dalam hal ini proses
digitasi dibantu dengan menggunakan ortofoto agar posisi dan bentuk sungai dapat terlihat
lebih jelas dan detail. Proses digitasi dilakukan dengan menggunakan aturan-aturan tertentu
agar hasil yang didapat dapat merepresentasikan kondisi sungai dan topografi sekitar sungai
dengan baik. Aturan-aturan tersebut memberikan pengaruh yang cukup siginifikan terhadap
hasil pemodelan geometri sungai. Dalam penelitian ini penulis telah melakukan digitasi
mengikuti aturan-aturan yang ada sehingga hasil pemodelan geometri sungai cukup merep-
resentasikan kondisi sungai dan topografi sekitar sungai yang sebenarnya. Namun pada be-
berapa lokasi terdapat digitasi batas sungai yang masih belum sesuai dengan kondisi sungai
sebenarnya, hal ini dikarenakan ketelitian penulis dalam melakukan digitasi masih belum
baik serta terdapat batas sungai yang terhalangi oleh pepohonan pada ortofoto.
Setelah dilakukan proses pemodelan hidrodinamik didapat nilai debit air pada saat air me-
menuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air mulai meluap adalah 25
m3/s serta nilai debit air pada saat air meluap pada keseluruhan batas sungai dari hulu hingga
hilir adalah sebesar 110 m3/s. Data debit ini bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana yaitu
mengevaluasi dan memonitor data curah hujan dan debit air. Selain itu, dapat dilihat pada
Gambar 3.4 profil muka air banjir pada saat debit 20 m3/s berada hampir tepat dengan batas
sungai yang ditandai oleh titik dan garis merah, hal ini menunjukkan air sudah mencapai
batas sungai namun belum meluap. Sedangkan profil muka air banjir pada saat debit 25 m3/s
berada mulai melebihi batas sungai. Selain itu profil muka air banjir pada saat debit 110 m3/s
berada diatas garis batas sungai, hal ini menunjukkan air telah meluap dari hulu sampai hilir.
Hasil delineasi genangan banjir menunjukkan bagian genangan dari yang terdalam sampai
terdangkal. Kemudian penulis melakukan pengecekan kebenaran hasil delineasi tersebut
dengan melihat profil penampang melintang dari beberapa crossline untuk mengecek apakah
variasi kedalaman genangan hasil pemodelan telah sesuai dengan kondisi topografi sungai
dan sekitarnya. Setelah dilakukan pengecekan, hasil delineasi genangan banjir pada
penelitian ini telah sesuai dengan kondisi topografi sungai pada DTM yang telah dibuat
sebelumnya.
Hasil pemetaan genangan banjir yang telah di-overlay dengan ortofoto menunjukkan daerah
mana saja yang tergenang dan berpotensi terkena banjir. Pada penelitian ini dihasilkan
pemetaan genangan banjir dengan debit 20 m3/s, 25 m3/s dan 110 m3/s. Setelah dilakukan
pengecekan secara manual terhadap hasil pemetaan genangan banjir saat debit sebesar 110
m3/s, terdapat sekitar 108 rumah warga yang terendam oleh genangan banjir dengan jarak
genangan dari batas sungai sepanjang 1 hingga 16 meter. Hal ini tentunya menjadi perhatian
warga sekitar untuk melakukan mitigasi bencana banjir sedini mungkin terutama pada ka-
wasan berpotensi banjir yang berada di sepanjang pesisir sungai.
3.8 Validasi
Hasil pemodelan genangan banjir perlu divalidasi untuk memperoleh gambaran apakah hasil
pemodelan sudah representatif. Validasi hasil pemodelan pada penelitian ini dilakukan
dengan cara membuat pemodelan menggunakan data debit sungai Cikapundung yang di-
peroleh dari Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat. Karena data LIDAR dan foto
udara yang digunakan dalam penelitian diambil pada tahun 2012, maka data debit sungai
Cikapundung yang digunakan merupakan data debit tahun 2012.
274 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, selama
tahun 2012 debit terbesar sungai Cikapundung sebesar 22.83 m3/s namun belum pernah ada
bencana banjir di daerah studi selama tahun 2012. Pada tahap validasi dibuat model ge-
nangan banjir dengan debit sebesar 22.83 m3/s kemudian dilakukan pengecekan pada hasil
pemodelan apakah genangan meluap dari sungai atau tidak. Hasil pemodelan dikatakan
masih menyimpang atau belum 100% representatif apabila hasil pemodelan menunjukkan
adanya luapan air sungai di sekitar sungai pada daerah studi.
Untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan pada hasil pemodelan dalam penelitian ini,
maka digunakan metode perhitungan RMSE (Root Mean Square Error). Perhitungan RMSE
dilakukan dengan cara menghitung beda jarak antara batas genangan yang meluap dengan
batas sungai pada beberapa titik sebagai sampel. Perhitungan jarak dilakukan secara manual
oleh penulis menggunakan tool measure pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah dilakukan
perhitungan jarak tersebut didapat 60 data beda jarak. Kemudian dilakukan perhitungan
RMSE dengan persamaan sebagai berikut
RMSE2 = Σ (d2) / n (3.1)
Dimana d adalah besar beda jarak dalam satuan meter dan n adalah jumlah sampel.
Setelah dilakukan perhitungan RMSE berdasarkan perasamaan (3.1), didapat nilai RMSE
adalah sebesar ± 1.97 meter. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemodelan dalam penelitian
ini memiliki standar deviasi atau penyimpangan sebesar ± 1.97 meter.

4 KESIMPULAN DAN SARAN


4.2 Kesimpulan
Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan kesimpulan, yaitu:
a) Data LIDAR dalam penelitian ini dapat digunakan untuk membuat DTM dengan
ketelitian yang cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mendukung pembuatan
pemodelan banjir akibat luapan air sungai. Namun akan lebih baik jika digunakan
data LIDAR dengan nilai kerapatan yang lebih besar agar DTM yang dihasilkan
lebih akurat dan detail. Selain data LIDAR, data ortofoto yang digunakan dalam
penelitian ini juga sangat berfungsi untuk membantu dalam tahap klasifikasi titik
LIDAR serta pembuatan alur sungai secara cepat dan akurat. Klasifikasi terhadap
data LIDAR juga turut mempengaruhi bentuk permukaan DTM yang dihasilkan.

b) Setelah dilakukan proses pemodelan hidrodinamik didapat nilai debit air pada saat
air memenuhi sungai adalah sebesar 20 m3/s, nilai debit air pada saat air sungai mulai
meluap adalah sebesar 25 m3/s, dan nilai debit air pada saat air meluap pada kese-
luruhan batas sungai dari hulu hingga hilir adalah sebesar 110 m3/s.

c) Pemetaan genangan banjir berdasarkan simulasi model hidrodinamik dapat mem-


berikan gambaran yang cukup baik mengenai daerah-daerah di sekitar sungai yang
berpotensi tergenang banjir. Maka dari itu hasil pemetaan genangan banjir dalam
penelitian ini sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi bencana banjir pada daerah
studi.
d) Hasil pemodelan dalam penelitian memiliki nilai standar deviasi atau penyimpangan
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 275

sebesar ± 1.97 meter. Penyimpangan tersebut dapat dikarenakan data LIDAR yang
digunakan hanya memiliki nilai kerapatan kecil sehingga DTM yang dihasilkan be-
lum memiliki ketelitian yang sangat baik dan masih kurang detail, ketelitian pada
saat dilakukan digitasi batas sungai masih kurang, serta masih kurangnya ketelitian
pada saat digitasi landuse untuk nilai kekasaran manning.
4.3 Saran
Berdasarkan pengerjaan penelitian ini, didapatkan saran, yaitu:
a) Sebaiknya data LIDAR yang digunakan memiliki nilai kerapatan yang lebih besar
agar DTM yang dihasilkan lebih akurat dan detail.

b) Dalam tahap klasifikasi titik LIDAR perlu dilakukan uji coba lebih banyak dalam
mencari nilai parameter-parameter yang dimasukkan ketika melakukan klasifikasi.
Hal ini dikarenakan kesesuaian nilai parameter akan berpengaruh terhadap pemba-
gian kelas ground dan non ground dan tentu saja berkaitan dengan pembentukan
permukaan DTM yang dihasilkan.
c) Lebih baik jika ditunjang dengan data terestris yang telah dilakukan di area
penelitian sebelumnya. Agar dapat digunakan sebagai data pembanding sehingga
keakuratan data lebih terjamin kualitasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al Amin, M.B. (2015). Pemanfaatan Teknologi LIDAR dalam Analisis Genangan Banjir Akibat Lua-
pan Air Sungai Berdasarkan Simulasi Model Hidrodinamik. INFO TEKNIK Vol. 16 N0. 1.
Al Amin, M.B. (2015). Visualisasi Potensi Genangan Banjir di Sungai Lambidaro Melalui Pene-
lusuran Aliran Menggunakan HEC-RAS (Studi Pendahuluan Pengendalian Banjir Berwawa-
san Lingkungan). Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil I (SeNaTS I), Denpasar, pp. 123-
132.
Center, N. C. (2012). Lidar 101: An Introduction to Lidar Technology, Data, and Applications.
Charleston: SC: NOAA Coastal Services Center.
Di Baldassare, G. (2012). Floods in a Changing Climate: Inundation Modeling. Cambridge University
Press, New York.
Kandia, P. (2012). Pembentukan Model untuk Estimasi Kelapa Sawit Menggunakan Data Light De-
tection and Ranging (LIDAR). Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Measures, R. (1984). Laser Remote Sensing. Krieger Publishing Company.
Meiza, A. (2009). Teknologi LIDAR dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara. Bandung: Insti-
tut Teknologi Bandung.
Mercer, B. (2001. Comparing LIDAR and IFSAR: What Can You Expect?. Proceedings of Photogram-
metric Week, Stuttgart.
National Research Council of The National Academies. (2007). Elevation Data for Floodplain Map-
ping, The National Academies Press, Washington, D.C.
Merwade, V., 2012, Tutorial on Using HEC-GeoRAS with ArcGIS 10 and HEC-RAS Modeling,
School of Civil Engineering, Purdue University.
276 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Vannessyardi, M. A. (2011). LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Di-
mensi (Studi Kasus: Kota Davao, Filipina). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

BIOGRAFI PENULIS
Nur Asriyah
Nur Asriyah lahir di Sukabumi pada tanggal 27 September
1995. Selama kuliah penulis juga aktif berkegiatan organisasi
dan kepanitiaan khususnya kegiatan di himpunan, selain itu
penulis juga pernah memiliki pengalaman sebagai asisten prak-
tikum mata kuliah Fotogrametri I, serta memiliki pengalaman
kerja praktik di PT Pertamina UTC. Penulis menyelesaikan
studi sarjananya di Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng.


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bi-
dang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial
termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, per-
tanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta pe-
rubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk
kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Univer-
sitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS
Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsyl-
vania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi
pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 277

Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode Object


Based Image Analysist(Obia)
(Studi Kasus: Pidie Jaya, Aceh)
Prila Ayu Dwi Prastiwi1, Riantini Vitriana2, Dandy Aditya N.2, Agung Budi Harto2, Ketut
Wikantika2
Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 1
Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung, Indonesia2
Jalan Ganesha No.10, Kota Bandung, Jawa Barat 40132 Indonesia
e-mail: prilaayu@gmail.com

Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui oleh pertemuan tiga lempeng aktif, yai-
tuLempeng Indo-Australia, Lempeng Euro-Asia, danLempengPasifik. Kondisiitumenjadis-
alahsatupenyebab seringterjadinyabencanaalam, khususnyagempabumi. Padatanggal 7
Desember 2016 Kota Aceh kembali diguncang gempa bumi dengan kekuatan 6,5 skala
richter. Gempa bumi tersebut mengakibat ratusan bangunan mengalami kerusakan. Saat ini
teknologi penginderaan jauh sangat berperan dalam melakukan identifikasi kerusakan akibat
gempa. Penelitian kali ini akan berfokus pada identifikasi kerusakan bangunan yang
diakibatkan oleh gempa bumi dengan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi, yaitu citra
Pleiades yang diambil tanggal 7 Desember 2016. Metode yang digunakan untuk identifikasi
kerusakan bangunan adalah metode Object Based Image Analysist (OBIA). Pada proses
klasifikasi, metode OBIA memandang objek tidak hanya berdasarkan nilai piksel saja
melainkan berdasarkan bentuk, luasan, dan tekstur disekitarnya. Berdasarkan penelitian ini
didapatkan bahwa metode OBIA terbukti dapat mengidentifikasi kerusakan bangunan pasca
gempa bumi secara cepat.
Kata kunci: OBIA, Citra satelit, Klasifikasi, Kerusakan pasca gempa bumi

Abstract
Indonesia is located in a meeting point of three active tectonic plates, the Indo-Australian
Plate, Euro-Asia Plate, and the Pacific Plate. This condition causes frequent occurrence of
natural disasters, especially earthquakes. On December 7, 2016 Aceh was hit by an earth-
quake with a magnitude of 6.5 richter scale. The earthquake affected damaged hundreds of
buldings. Nowadays remote sensing technology can be used to identify damage caused by
the earthquake. This research is focused on post-earthquake damage identification using
high resolution satellite imagery, the Pleiades image taken on December 7, 2016. The
method used to identify the damaged buildings is the Object Based Image Analysist (OBIA)
method. In the classification process, the OBIA method distinguish objects not only based
on pixel values but also on the basis of the shape, area, and texture around them. This re-
search has proven that OBIA method quickly identifies the damage buildings caused by the
earthquake.
Keywords: OBIA, Satellite Imagery, Classification, Post-Earthquake Damage
278 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

1. PENDAHULUAN
Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu
Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng
Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan
sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia dan menimbulkan
gempa bumi, jalur gunung api dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) lempeng
Indo-Australia yang bergerak relative ke utara dengan lempeng Eurasia yang berkerak ke
selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau
Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal tersebut yang membuat Indonesia
dikenal sebagai negara yang berada diwilayahring of fire, yaituwilayah yang seringter-
jadibencanagempabumi(Amri, dkk. 2016).
Aceh merupakan salah satu provinsi yang paling sering mengalami bencana gempa bumi.
Masih teringat gempabumi yang mengguncang Aceh pada tahun 2004 yang disusul dengan
tsunami setelahnya. Pada tanggal 7 Desember 2016 gempabumi kembali mengguncang
Aceh, tepatnya di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Menurut Djatmiko (2016), gempabumi
berkekuatan 6.5 skala richter ini berpusat di koordinat 5.25° LU dan 96.24° BT dengan
kedalamam 15 km. Pusat gempa yang berada di daratan menyebabkan gempa bumi ini tidak
menimbulkan tsunami. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
sedikitnya 104 orang meninggal akibat gempa ini. Selain korban jiwa, gempa bumi ini juga
menyebabkan berbagai properti, seperti rumah, ruko, sarana dan prasarana mengalami
kerusakan yang cukup parah.
Saat ini, teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk melakukan pengambilan data
dalam penentuan keputusan secara cepat tanpa melakukan peninjauan langsung ke lokasi
bencana. . Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui dampak dari gempa bumi, analisis
bahaya, kerentanan, hingga resiko tsunami. Pemanfaatan data penginderaan jauh dapat
menampilkan hampir semua hal yang tampak di permukaan bumi, sehingga data tersebut
dapat digunakan untuk analisis fisik alam dan buatan yang dapat menggambarkan kondisi
kerusakan pasca bencana (Kardono, dkk. 2010).
Saat ini terdapat berbagai macam citra satelit beresolusi tinggi yang dapat menghasilkan
informasi secara visual mengenai daerah pasca gempa yang diinginkan, seperti citra satelit
Pleiades dan citra SPOT-6. Namun, diperlukan sebuah interpretasi untuk menampilkan hasil
visual dari citra tersebut sehingga diperoleh informasi mengenai daerah bahaya dan
kerusakan akibat bencana. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat memberikan
intepretasi secara otomatis dari citra yang dihasilkan untuk identifikasi kerusakan pasca
gempa. Metode yang dapat digunakan untuk identifikasi kerusakan pasca gempa adalah
metode Object Based Image Analysis (OBIA). Metode OBIA merupakan suatu pendekatan
yang proses klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral, melainkan aspek
spasial objek pun dimasukkan kedalamnya. Secara umum proses klasifikasi dengan metode
OBIA dilakukan dengakan dua tahapan utama, yaitu segmentasi citra dan klasifikasi tiap
segmen (Xiaoxia et al,. 2004).
Berdasarkan hal tersebut, ini bertujuan untuk mengidentifikasi bangunan yang mengalami
kerusakan akibat gempa bumi dari citra satelit resolusi tinggi yaitu Pleiades dengan metode
OBIA.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 279

2. METODOLOGI
Metodologi penelitian yang digunakan adalah dengan pengumpulan data dari pihak terkait,
dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis data dengan menggunakan perangkat lunak
e-Cognition, ENVI Classic, dan Arc GIS 10.3.
Tahap awal yang akan dilakukan adalah pengadaan data dengan mengumpulkan data citra
satelit Pleiades, citra SPOT-6, dan peta citra satelit daerah terdampak gempa bumi
Kabupaten Pidie Jaya. Tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Pada penelitian ini,
pengolahan data dibagi menjadi lima tahap yaitu pra pengolahan citra, segmentasi,
pengambilan training sample, klasifikasi, dan validasi data. Proses pra pengolahan citra yang
dilakukan adalah koreksi geometrik, pemotongan area citra, dan peningkatan kualitas citra.
Setelah dilakukan kelima tahap tersebut dapat dihasilkan Peta Penilaian Kerusakan Pasca
Gempa Bumi.Untuk mengetahui tahapan yang lebih jelas mengenai prosedur penelitian,
berikut ditampilkan diagram alur penelitian pada Gambar 2.1.

Gambar 1. Diagram alir penelitian


280 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

3. DATA DAN AREA PENELITIAN


3.1 Data Penelitian
Data yang digunakan dalan penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
a. Citra satelit Pleiades tanggal 7 Desember 2016 (pasca gempa bumi) untuk wilayah
Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Data tersebut telah mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem koordinat
geografik WGS 1984. Data citra yang diperoleh terdiri atas 3 band visible light (merah,
hijau, dan biru) dan 1 band infrared (near infrared).
b. Citra satelit SPOT-6 tanggal 10 September 2016 (sebelum gempa bumi) untuk wilayah
Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Data tersebut mengacu pada datum geodetik WGS 1984 dengan sistem proyeksi
Universal Transverse Mercator zona 47 bagian utara. Data citra yang diperoleh terdiri
atas 3 band visible light (merah, hijau, dan biru) dan 1 band infrared (near infrared).
c. Peta Citra Satelit Daerah Terdampak Gempa Bumi Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang
didapatkan dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional).
3.2 Area Penelitian
Daerah penelitian yang dilakukan pada studi kasus ini adalah daerah Kabupaten Pidie Jaya,
Provinsi Aceh. Kabupaten Pidie Jaya terletak di koordinat 04° 06ʹ - 04° 47ʹ LU dan 95° 56ʹ
- 96° 30ʹ BT. Area penelitian yang terpilih merupakan area yang mengalami kerusakan yang
cukup parah, yaitu Gampong Keude Ulee Glee dan Gampong Muko Kuthang, kedua
gampong tersebut berada di Kecamatan Bandar Dua. Lokasi dari area penelitian dapat dilihat
pada gambar 3.1 dibawah ini.

Gambar 2. Area Penelitian


Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 281

4. PENGOLAHAN DATA
Secara umum, prosedur dari metode OBIA adalah sebagai berikut: (1) Pra Pengolahan Citra,
(2) Segmentasi, (3) Pengambilan Sampel, (4) Penentuan Parameter Klasifikasi, (5)
Klasifikasi, dan (6) Validasi Data (Marpu, et al. 2006).
4.1 Pra Pengolahan Citra
Pra pengolahan citra merupakan tahapan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan
proses pengklasifikasian. Pada metode OBIA, tahapan ini diperlukan untuk menghilangkan
kesalahan sistematis dari citra dan mempunyai bentuk yang sedekat mungkin dengan bentuk
aslinya di permukaan bumi. Pada penelitian ini, tahapan pra pengolahan citra yang dilakukan
adalah koreksi geometrik, pemotongan citra, dan peningkatan kualitas citra.

Koreksi geometrik dilakukan agar bentuk dijital dari citra dapat lebih representatif dan
memiliki sistem koordinat yang terkait dengan bumi itu sendiri. Pada penelitian ini koreksi
geometrik dilakukan dengan metode image to image rectification, yaitu proses
membandingkan pasangan titik-titik pada objek yang dapat diidentifikasi dengan mudah
pada kedua citra. Objek yang dipilih pada proses rektifikasi ini biasanya adalah objek yang
mudah diidentifikasi, seperti bangunan, ujung jalan, atau objek lainnya. Tingkat ketelitian
dari koreksi geometrik yang telah dilakukan dapat diketahui dengan menghitung nilai root
mean square (RSMe). Nilai RMSe dapat mengindikasikan akurasi dari citra yang telah
dikoreksi terhadap nilai koordinat geografik yang dianggap benar. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan menggunakan perangkat lunak, ENVI, didapatkan nilai RMS Error nya
sebesar 0.441722. . Secara umum RSMe memiliki nilai kurang dari 1 piksel dan apabila nilai
RMSe lebih dari 1 piksel kemungkinan bahwa citra tersebut masih mengalami distorsi
(Purwadhi, dkk. 2008).
Peningkatan kualitas foto adalah suatu proses untuk mengubah sebuah foto menjadi foto
baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Peningkatan kualitas citra yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah proses peregangan kontras (contrass strecthing)
(Lillesand dan Ralph, 1994). Hal ini dilakukan untuk mengatur kontras dari keseluruhan
citra/foto sehingga didapatkan citra yang lebih baik.
4.2 Segmentasi
Pada metode OBIA, segmentasi merupakan tahapan pertama dan paling penting yang akan
menentuntukan proses pengklasifikasian selanjutnya. Segmentasi dilakukan dengan
membedakan objek pada citra menjadi area-area yang terpisah dalam bentuk poligon sesuai
dengan karakteristiknya masing-masing.Pada penelitian ini proses segmentasi dibagi
menjadi dua, yaitu segmentasi berbasis piksel dan segmentasi berbasis objek.
Segmentasi berbasis piksel dilakukan dengan ini menggunakan algoritma multiresolution
segmentation. Segmentasi multiresolusi merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang
secara lokal meminimumkan rata-rata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu
resolusi tertentu (Parsa, 2013). Parameter yang digunakan dalam prosedur segmentasi
multiresolusi antara lain scale, shape dan compactness. Parameter yang paling penting
adalah scale parameter dimana parameter ini menentukan seberapa banyak jumlah piksel
yang menyusun satu buah objek (Parsa, 2013).
282 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Segmentasi berbasis objek pada dasarnya menggunakan hasil dari segmentasi berbasis
piksel. Pada tahap ini semua objek yang tersegmentasi pada level berbasis piksel akan
diproses kembali untuk menghasilkan objek yang baru. Tahap segmentasi ini termasuk
kedalam proses generalisasi objek, yaitu akan dilakukan perbandingan suatu objek dengan
sekitarnya untuk mengetahatui apakah objek tersebut adalah objek yang sama atau tidak.
Metode yang digunakan pada segmentasi ini adalah metode spectral difference segmentation
(SDS). Menurut Wasil (2013), metode spectral difference segmentation akan menyatukan
image object yang telahterbentuk berdasarkan kemiripan nilai spektralnya. Image object
dengan nilai batastertentu akan dikelompokkan menjadi satu poligon yang sama. Tujuan
diterapkannya metode ini yaitu agar terbentuknya suatu kesatuan objek yang utuh
berdasarkan nilai spektralnya.
4.3 Pengambilan Sampel
Pemilihan training sample ini dilakukan secara visual dengan memilih beberapa objek hasil
segmentasi yang dapat diidentifikasi jenis objeknya secara jelas. Pemilihan training sample
harus mewakili berbagai macam karakteristik dari objek, karena sangat berpengaruh untuk
keberhasilan dari klasifikasi (Lumbantobing, dkk. 2010). Pada penelitian ini, acuan dari
pemilihan training sample didasarkan pada data Peta Citra Satelit Daerah Terdampak
Gempa Kabupatern Pidie Jaya, Aceh.

Gambar 3. Peta Citra Satelit Daerah Terdampak Gempa Bumi, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 283

4.5 Klasifikasi
Tahapan paling utama dan terpenting dari metode OBIA ini adalah tahap klasifikasi.
Klasifikasi bertujuan untuk mengidentifikasi suatu objek agar dihasilkan objek unik yang
berbeda dengan objek lainnya. Proses klasifikasi menggunakan metode OBIA berbasis pada
karakteristik setiap objek yang akan diklasifikasikan. Pada metode ini karakteristik objek
citra dapat terlihat tidak hanya dari nilai digital number saja, melainkan terdapat beberapa
parameter lainnya yang digunakan seperti bentuk, ukuran, luas, dan lain-lain.
Pada penelitian ini, klasifikasi yang dilakukan berdasarkan jenis tutupan lahan dari wilaya,
yaitu lahan vegetasi dan lahan non vegetasi. Setelah itu dilakukan pemilihan training sample
area. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode nearest neighbor, dimana klasifikasi
dilihat berdasarkan kedekatan nilai parameter-parameter dari training sample yang dipilih.
Parameter yang digunakan pada tahap klasifikasi ini adalah parameter transformasi spektral,
layer value, dan geometry.Data diproses menggunakan sofware Ecognition Developer 8.7.
4.6 Validasi Data
Tahapan uji akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kebenaran
klasifikasi yang dilakukan dengan metode klasifikasi OBIA dengan kondisi sebenarnya. Uji
akurasi yang benar dilakukan dengan cara menumpangsusunkan peta hasil klasifikasi
dengan peta referensi yang dijadikan sebagai acuan. Metode yang dilakukan pada tahapan
uji akurasi ini adalah metode koefisien Kappa, yaitu membandingkan hasil klasifikasi pada
masing-masing citra dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Pemilihan koefisien ini
didasarkan pada dua sisi, yaitu producer’s accuracy (sisi penghasil peta) dan user’s
accuracy (sisi pengguna peta).
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Segmentasi
Pada penelitian ini terdapat dua hasil segmentasi, yaitu hasil segmentasi berbasis piksel dan
segmentasi berbasis objek. Segmentasi terbaik pada penelitian ini berada pada set Level 50B
yaitu dengan nilai parameter yang tertera pada Tabel 1. Pada set level tersebut didapatkan
segmentasi objek sebanyak 6.402. Pada tahap segmentasi ini, parameter yang paling
memengaruhi proses ini adalah scale parameter dan color. Color akan mendefinisikan
jumlah poligon berdasarkan heterogenitas warna. Semakin besar nilai color, maka semakin
peka poligon yang terbuat berdasarkan perbedaan nilai warna atau rona. . Pada penelitian ini
nilai color yang digunakan sebesar 0.5 karena jika dipilih nilai tertinggi, yaitu 0.9, maka satu
objek yang sama akan terbagi menjadi beberapa segmen. Begitupun sebaliknya jika dipilih
nilai terendah, yaitu 0.1, maka segmentasi antar objek menjadi lebih sedikit sehingga
terdapat beberapa objek yang berbeda berada dalam satu segmen yang sama. Oleh karena
itu, pemilihan nilai tengah pada range color ini digunakan untuk menghasilkan proses
segmentasi yang terbaik untuk semua objek penelitian.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 287

Tabel 1. Kombinasi parameter kombinasi


Level Scale Color Shape Compactness

A 35 10% 10% 10%


B 50 50% 50% 50%

C 75 90% 90% 90%

Setelah dilakukan segmentasi berbasi piksel dilanjutkan dengan segmentasi berbasis objek.
Hasil dari segmentasi berbasis piksel dilakukan pengolahan data kembali karena ada
beberapa objek yang sama tersusun dari beberapa segmentasi. Objek yang dimaksud paling
banyak ditemukan pada kelas hutan, sawah, dan jalan. Oleh karena itu, untuk memudahkan
proses klasifikasi dilakukan segmentasi lanjutan berbasis objek dengan menggunakan
metode Spectral Difference Segmentation (SDS). Hasil dari segmentasi objek ini adalah
objek-objek yang memiliki nilai spektral yang sama tergabung kedalam satu segmentasi,
sehingga objek segmentasi yang dihasilkan sebanyak 5.761 objek. Nilai spectral difference
yang terbaik pada penelitian ini sebesar 15. Pada nilai tersebut objek sawah dan hutan
masing-masing tergabung kedalam satu area yang lebih besar, sehingga dapat memudahkan
dalam proses klasifikasi. Perbedaan dari hasil segmentasi berbasi piksel dan segmentasi
berbasis objek dapat terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbedaan Segmentasi Berbasis Piksel (Kiri) dan Segmentasi Berbasis Objek
(Kanan)

5.2 Hasil Klasifikasi


Pada tahap klasifikasi pertama dilakukan pemisahan antara objek vegetasi dengan non
vegetasi. Pengkalsifikasian ini didasarkan pada perhitungan nilai NDVI. Berdasarkan hasil
perhitungan dapat diklasifikasikan bahwa untuk area vegetasi memiliki nilai NDVI lebih
besar atau sama dengan 0.23, sedangkan untuk area non vegetasi memiliki nilai NDVI lebih
kecil dari 0.23. Hasil pengklasifikasian objek berdasarkan jenis areanya, yaitu vegetasi dan
non vegetasi dapat terlihat pada Gambar 5.3.
288 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Gambar 5. Hasil Klasifikasi Berdasarkan Jenis Lahan


Pada penelitian ini objek sawah terklasifikasi menjadi lahan non vegetasi karena memiliki
nilai NDVI dibawah 0.23. Jika dilihat secara visualisasi langsung pada citra, area sawah
memiliki tingkat kehijauan sedikit dan hampir tidak ada. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa
objek sawah adalah objek temporal coverage.
Tahap selanjutnya adalah pemisahan objek berdasarkan jenis dari lahan tersebut. Lahan
vegetasi tidak dilakukan pemisahan objek, sementara lahan non vegetasi dibagi menjadi
beberapa kelas berdasarkan jenis dari lahannya. Pada tahap klasifikasi ini digunakan training
sample yang telah dilakukan setelah tahap segmentasi. Setelah dilakukan pengambilan
training sample selanjutnya adalah ditetapkan pemilihan parameter-parameter yang dapat
mengklasifikasikan objek sesuai dengan kelas-kelasnya. Parameter yang digunakan pada
proses klasifikasi ini adalah parameter layer value dan geometry. Parameter geometry yang
digunakan yaitu area, length, width, length/width, border length, shape index, compactness,
dan average length of edges. Sedangkan untuk parameter layer value sendiri terdiri dari
mean setiap band (Red, Green, Blue, NIR) , standard deviation setiap band (Red, Green,
Blue, NIR), brigthness value.
Sifat fisis suatu objek menjadi salah satu dasar penentuan paramater klasifikasi yang akan
dilakukan. Kombinasi dari berbagai parameter dapat merepresentasikan objek-objek sesuai
dengan kelasnya masing-masing. Oleh karena itu, pemilihan parameter ini menjadi hal yang
cukup penting pada tahap klasifikasi. Berdasarkan hasil yang ada, didapatkan kombinasi
parameter beserta nilai ambang batas yang dapat mengklasifikasikan objek-objek
berdasarkan karakteristiknya seperti pada Tabel 2. dan Tabel 3.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 289

Tabel 2. Ambang Batas Nilai Klasifikasi Bangunan Rusak


Parameter Nilai Tertinggi Nilai Terendah
Area 3166 400

Length 162 28
Width 70.5 33.82
Length/Width 3 1
Border Length 404 98
Shape Index 3.6 1.15
Average Length of 12.15 4.85
Edges

Tabel 3. Ambang Batas Nilai Klasifikasi Bangunan


Parameter Nilai Tertinggi Nilai Terendah
Area 4897 330

Length 157 20
Width 70 30.5
Length/Width 3.87 1
Border Length 394 24
Shape Index 2.6 1

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa penentuan parameter penyusun objek
bangunan rusak dan bangunan tidak rusak hampir sama, karena kedua objek tersebut
memiliki karakteristik yang tidak begitu jauh. Hal yang membedakan antara bangunan rusak
dan bangunan tidak rusak terletak dari adanya parameter tambahan berupa average length
of edges.
Parameter average length of edges merupakan parameter yang memberikan nilai
ketidakteraturan bentuk suatu objek. Karena bentuk dari bangunan rusak memiliki bentuk
yang tidak teratur dibandingkan bangunan tidak rusak, maka parameter ini dapat dijadikan
sebagai salah satu parameter acuan untuk proses klasifikasi bangunan rusak. Selain itu, nilai
yang berbeda dari dua pengklasifikasian objek di atas terlihat pada parameter border length
dan shape index. Kedua parameter tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi untuk objek
bangunan rusak daripada objek bangunan tidak rusak. Hal tersebut disebabkan karena
tingkat kompleksitas bentuk dari bangunan rusak lebih tinggi dengan bentuk yang lebih tidak
teratur.
5.3 Uji Akurasi
Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah hasil klasifiaksi didapat adalah perhitungan
akurasi. Perhitungan akurasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar seberapa besar
tingkat kebenaran klasifikasi yang dilakukan menggunakan metode klasifikasi OBIA dengan
kondisi sebenarnya. Uji akurasi dilakukan dengan cara mengambil titik-titik sampel objek
pada peta referensi yang dijadikan sebagai acuan, sampel yang diambil berupa semua objek
yang di klasifikasi. Kemudian sampel titik-titik tersebut dibandingkan dengan hasil
klasifikasi pada OBIA yang disajikan pada matriks kesalahan di bawah ini.
290 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 4. Matriks Kesalahan Validasi Hasil Klasifikasi

Data Acuan (diambil kembali dari sampel)


Bangunan Total
Rusak Bangunan Sawah Jalan Sungai Baris
Bangunan
Hasil Klasifikasi

Rusak 89 6 0 1 0 96
Bangunan 9 85 4 0 0 98
Sawah 0 4 32 0 0 36
Jalan 0 0 2 15 3 20
Sungai 0 0 1 2 12 15
Total Kolom 98 95 39 18 15 265
Berdasarkan matriks kesalahan tersebut dapat dilakukan perhitungan nilai producer
accuracy, user, accuracy, overall accuracy, hingga koefisien kappa. Nilai overall accuracy
yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebesar 88% dengan nilai koefisien kappa sebesar
0,8287. Untuk nilai producer dan user accuracy masing-masing objek dapat terlihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Producer dan User Accuracy
Kelas Producer Accuracy (%) User Accuracy (%)
Bangunan Rusak 91 93
Bangunan Tidak Rusak 89 87
Sawah 82 89
Jalan 83 75
Perairan (Sungai) 80 80
Pada tabel di atas dapat terlihat bahwa pada kelas bangunan rusak memiliki nilai yang
tertinggi dibandingkan dengan kelas lainnya baik pada akurasi penghasil peta maupun
akurasi pengguna peta. Hal tersebut berarti tingkat ketepatan klasifikasi menggunakan
metode OBIA untuk objek bangunan rusak cukup tinggi, walaupun masih terdapat beberapa
objek diluar bangunan rusak yang teridentifikasi sebagai bangunan rusak. Producer
accuracy memperlihatkan seberapa besar kemungkinan lahan di lapangan terklasifikasi
ssecara tepat di dalam citra. Sedangkan user accuracy memperlihatkan seberapa besar
kemungkinan klasifikasi dalam citra terklasifikasi secara tepat di lapangan (Wasil, 2012).
Setelah tahap uji akurasi dilakukan, hasil klasifikasi disusun menjadi sebuah peta yaitu Peta
Penilaian Kerusakan Pasca Gempa Bumi seperti pada gambar 7 di bawah ini.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 291

Gambar 6. Peta Penilaian Kerusakan Pasca Gempa Bumi Pidie Jaya

6. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat diambil
beberapa kesimpulan antara lain:
1) Metode OBIA dapat digunakan sebagai salah satu metode yang cukup akurat dan cepat
untuk identifikasi kerusakan pasca bencana. Namun terdapat beberapa syarat seperti citra
yang digunakan berupa citra satelit resolusi tinggi dengan kondisi yang terbebas dari
gangguan seperti awan dan kondisi wilayah, khususnya pemukiman yang homogen.
Kondisi tersebut akan memudahkan proses segmentasi dan klasifikasi dengan metode
OBIA.
2) Hasil dari klasifikasi sangat dipengaruhi oleh segmentasi yang dibentuk. Oleh karena itu,
untuk identifikasi objek yang sedikit kompleks seperti bangunan rusak diperlukan
kombinasi segmentasi pada level data yang berbeda. Hal tersebut bertujuan agar hasil
segmentasi dapat membagi secara tepat setiap objek yang akan diklasifikasi.
6.2 Saran
1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penambahan data DEM dan DSM,
sehingga dapat diketahui perbedaan objek bangunan rusak dan bangunan tidak rusak.
2) Penentuan parameter klasifkasi beserta rentang nilainya perlu dilakukan studi lebih lanjut
untuk meminimalisir terjadinya missed classification.
292 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

DAFTAR REFERENSI

Amri, M. Robi., Yulianti, Gita., dkk. 2016. Risiko Bencana Indonesia. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. Jakarta
Djatmiko, Hary Tirto. 2016. Gempabumi Kuat M=6.5 Guncang Pidie Jaya Provinsi Aceh Dipicu
Akibat Aktivitas Sesar Aktif. http://www.bmkg.go.id/press-release/ (diakses tanggal 01 Juni
2017)

Kardono, P. dan P, Sridewanto Edi. 2010. Penginderaan Jauh Untuk Penanggulangan Bencana.
Jurnal Dialog PenanggulanganBencana, Vol.1, No.2.
Lillesand, M. T., & Kiefer Ralph, W. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation ( Third Edition
ed.). New York: John Wiley & Son, Inc.
Lumantobing, Marlonroi., Wikantika, Ketut., dan Harto, Agung Budi. 2010. Peningkatan Akurasi
Interpretasi Foto Udara Menggunakan Metoda Pembobotan Berbasis Objek untuk Pembuatan
Peta 1:5000. Bandung.

Marpu Prashanth R., Nussbaum Sven, dan Niemeyer Irmgard. 2006. Towards Automation in Object-
Based Classification. India

Parsa M., 2013. Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan
Citra Satelit Landsat (Studi Kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat Dan Tanggamus,
Lampung, Jurnal Inderaja dan Lahta Citra Digital, Vol.10, No.1, pp.31-39.

Purwadhi, Sri Hardiyanti dan Sanjoto, Tjaturahono Budi. 2008. Pengantar Interpretasi Citra
Penginderaan Jauh. Jakarta. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas
Negeri Semarang.

Wasil A.R. 2012. Identification of Paddy Field from very high resolution image using object based
image analysis method (A case study iniRancaekek, Bandung, West Java, Indonesia).
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Wasil, R. A. (2013): Kombinasi Pohon Keputusan dan Analisis Citra Hirarki Berbasiskan Objek
untuk Pemetaan Tutupan Lahan sesuai SNI 7645:2010, Tesis Magister Teknik, Institut
Teknologi Bandung.

Xiaoxia, S., Jixian, Z., dan Zhengjun, L., 2004. A Comparison of Object-Oriented and PixelBased
Classification Approachs Using Quickbird Imagery.Chinese Academy of Surveying and
Mapping,Beijing, China.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 293

BIOGRAFI PENULIS

Prila Ayu Dwi Prastiwi

Penulis bernama Prila Ayu Dwi Prastiwi, lahir di Bandung


pada tanggal 25 Mei 1994. Saat ini penulis sedang
menyelesaikan pendidikan tahap sarjana di Teknik Geodesi
dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Penelitian Tugas
Akhir yang diambil penulis untuk meraih gelar sarjana adalah
“Identifikasi Kerusakan Pasca Gempa Menggunakan Metode
OBIA”. Pada tahun 2016 penulis mendapatkan kesempatan
menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh
Lingkungan. Saat ini, penulis sedang melakukan penelitian
ilmiah mengenai identifikasi vegetasi menggunakan metode
OBIA untuk area penelitian Desa Sayang.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng.


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bi-
dang penelitiannya adalah pendekatan-pendekatan geospasial
termasuk aplikasi penginderaan jauh untuk demografi, per-
tanian, kehutanan, tutupan lahan dan tata guna lahan serta pe-
rubahannya, biogeografi dan biodiversiti termasuk
kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Univer-
sitas Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS
Jepang, Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsyl-
vania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi
pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
294 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Identifikasi dan Estimasi Biomassa Hutan Mangrove dengan


Menggunakan Citra Landsat
(Studi Kasus : Kabupaten Subang, Jawa Barat)

Saddam Chair1, Ketut Wikantika2, Soni Darmawan3


1
Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung
2
Center for Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung
3
Teknik Geodesi, ITENAS
1
saddamchair03@gmail.com, 2ketut@gd.itb.ac.id, 3soni_darmawan@yahoo.com

Abstrak
Hutan mangrove memiliki kandungan hutan terpadat di wilayah tropis. Biomassa
berhubungan dengan perubahna iklim dan memiliki peran penting dalam siklus kar-
bon. Kerusakan mangrove mengakibatkan bertambahnya kandungan karbon pada at-
mosfer. Karena itu diperlukan analisis lahan mangrove dan biomassanya untuk men-
gurangi dampak kerusakan mangrove. Penelitian dilakukan dengan metode klasifi-
kasi terbimbing untuk mendapatkan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada
tahun 1993, 2003 dan 2013. Metode klasifikasi terbimbing yang digunakan adalah
Support Vector Machine karena memiliki akurasi terbaik. Estimasi biomassa dil-
akukan dengan menggunakan persamaan allometrik dari nilai NDVI mangrove untuk
dilihat persebarannya pada Kabupaten Subang. Hasil penelitian menunjukkan
penurunan luas hutan mangrove dari tahun 1993 dibandingkan dengan tahun 2003
dan tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2003. Rata-rata biomassa hutan man-
grove pada Kabupaten subang pada tahun 1993, 2003 dan 2013 berkisar antara 4-5
ton/hektar.
Kata kunci: Mangrove, Biomassa, Landsat, Kabupaten Subang, NDVI.
Abstract
Mangrove is the most carbon-rich forest in tropical area. Biomass is related to cli-
mate change and has an important role in carbon cycle. Damage to mangrove can
increase the amount of carbon in the atmosfer. It is important to analyze mangrove
forest and estimate the biomass to reduce the impact of mangrove forest. This research
use supervised classification to get mangrove area in Subang regency from 1993,
2003 and 2013. Support vector machine is used because it has the highest accuracy
between the other supervised classification. Allometrik equation that based on NDVI
is used to estimate the biomass of mangrove. The research result shows mangrove
forest in Subamg regency is decreased from 1993 to 2013. The biomass average in
Subang regency is ranged between 4-5 ton/hectare.
Keywords: Mangrove, Biomass, Landsat, Subang regency, NDVI.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 295

1. PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan hutan dengan kandungan karbon terpadat di wilayah tro-
pis. Lahan ini menyimpan lebih dari tiga kali rata-rata karbon per hektar hutan tropis
daratan (Donato dkk., 2011). Namun banyaknya spesies dan besarnya kapasitas hutan
mangrove dalam menyimpan karbon tidak sebanding dengan fakta bahwa dalam tiga
dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% hutan mangrove atau sekitar 1% per-
tahunnya (FAO, 2007) yang berarti Indonesia memiliki kecepatan kerusakan man-
grove terbesar di dunia (Campbell & Brown, 2001). Menurut penelitian yang dil-
akukan oleh Novianty dkk (2011) didapatkan bahwa vegetasi mangrove di Pantai
Utara Kabupaten Subang kondisinya rusak dengan 2 faktor utama penyebab kerusa-
kannya adalah manusia dan alam. Biomassa berhubungan dengan isu perubahan iklim
dan memiliki peran penting dalam siklus karbon. Jika terjadi kerusakan hutan,
permbakaran, pembalakan dan sebagainya yang merusak hutan, akan mengeluarkan
karbon yang berlebih yang berada pada atmosfer. Biomassa merupakan total bahan
organik yang dihasilkan oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat
kering persatuan luas (Brown, 1997).
Untuk keselarasan lingkungan dari emisi karbon yang berlebihan, diperlukan stok
karbon pada suatu vegetasi khususnya pohon, karena pohon dan organisme foto-oto-
trof lainnya mengalami proses fotosintesis pada siang hari, dan proses tersebut me-
merlukan komponen penting yaitu CO2 dari atmosfer. Oleh karena itu hutan dianggap
menjadi salah satu komponen dalam mekanisme pengurangan emisi (mitigasi) karbon
jika dilakukan secara lestari karena hutan sebagai sistem yang dinamis memiliki
peranan yang sangat besar terhadap lingkungan (Frananda dkk.,2015). Penginderaan
jauh dapat dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi hutan mangrove, hal ini didasar-
kan pada dua sifat penting bahwa mangrove memiliki zat hijau daun (klorofil) dan
mangrove tumbuh pada wilayah pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas yaitu klorofil
dapat menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan kuat spektrum hijau (Susilo,
2000).
Estimasi biomassa menggunakan teknologi penginderaan jauh dapat dilakukan
dengan pendekatan indeks vegetasi. Indeks vegetasi memiliki nilai yang dapat
menginterpretasikan objek vegetasi dan non-vegetasi, nilai dari indeks vegetasi
memiliki hubungan yang erat dengan biomassa, dengan meningkatnya nilai indeks
vegetasi maka akan semakin besar biomassanya. Dengan begitu dapat dibuat model
persamaan allometrik untuk menyusun hubungan indeks vegetasi dengan biomassa
(Yusandi, 2015).
Banyaknya manfaat hutan mangrove terutama dalam mengurangi emisi gas rumah
kaca di Indonesia membuat pengelolaan berkelanjutan menjadi sangat penting. Da-
lam pengelolaan hutan mangrove diperlukan suatu metode untuk mengidentifikasi
daerah hutan mangrove dan perhitungan luasnya. Berdasarkan fakta berkurangnya
hutan mangrove di Indonesia yang mencapai 40% dalam tiga dekade terakhir (FAO,
2007) maka diperlukan pehitungan mengenai perubahan luas daerah hutan mangrove
agar dapat dijadikan pertimbangan untuk pengelolaan lebih lanjut. Biomassa berhub-
ungan dengan siklus karbon, kadar karbon yang tinggi dalam atmosfer dapat berba-
296 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

haya bagi manusia. Karena itu diperlukan estimasi biomassa untuk melihat kemam-
puan dari hutan mangrove dalam menyimpan karbon. Pembuatan peta persebaran bi-
omassa juga diperlukan untuk melihat dimana hutan mangrove dengan biomassa ren-
dah dan tinggi sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan menggunakan citra Land-
sat dan menghitung perubahan luas daerah mangrove dari tahun 1993, 2003 dan 2013
dengan menggunakan citra Landsat 5 dan 7 ETM+ serta Landsat 8 OLI/TIRS. Selain
itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi biomassa mangrove dan per-
sebarannya dari tahun 1993, 2003 dan 2013 pada Kabupaten Subang, Jawa Barat.

2 DATA DAN METODE


Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa citra Landsat 8 OLI (Oper-
ational Land Imager)/TIRS (Thermal Infrared Sensor), Landsat 5 dan 7 ETM+ (En-
hanced Thematic Mapper Plus) yang didapat dari situs https://earthex-
plorer.usgs.gov/ serta citra dari perangkat lunak Google Earth. Daerah studi kasus dari
penelitan ini yaitu pada Kabupaten Subang, Jawa Barat yang terbentang dari
6°17'5.19" LS ̶ 107°38'9.14" BT hingga 6°9'59.49" LS ̶ 107°56'56.02"
BT.Kabupaten Subang terletak pada Provinsi Jawa Barat dengan dibatasi Laut
Jawa dibagian utara, Kabupaten Indramayu dibagian timur, Kabupaten
Sumedang dibagian tenggara, Kabupaten Bandung Barat dibagian selatan dan
Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang dibagian Barat. Wilayah Ka-
bupaten Subang terbagi menjadi 3 bagian wilayah, yaitu wilayah selatan, wila-
yah tengah dan wilayah utara. Bagian selatan wilayah Kabupaten Subang
terdiri atas dataran tinggi/pegunungan, bagian tengah wilayah Kabupaten
Subang berupa daratan, sedangkan bagian Utara merupakan dataran rendah
yang mengarah langsung ke Laut Jawa. Wilayah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Studi wilayah penelitian

Untuk melakukan identifikasi dan estimasi biomassa hutan mangrove dengan


menggunakan citra Landsat, diperlukan beberapa langkah pengolahan. Pengolahan
citra dibagi menjadi 2 bagian utama; yaitu pra-pengolahan data dan pengolahan data.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 297

Pra-pengolahan data kali ini hanya meliputi koreksi atmosferik saja karena citra
Landsat yang digunakan merupakan level L1T dan untuk citra Landsat 7 tidak ter-
dapat gangguan SLC-OFF. Proses pengolahan data meliputi pemilihan metode klas-
ifikasi yang menghasilkan akurasi terbaik, identifikasi kawasan mangrove dengan
menggunakan NDVI dan estimasi nilai biomassa serta pembuatan peta persebaran
biomassa di wilayah studi.
2.1 Pra-pengolahan Data
Rekaman nilai piksel pada suatu daerah yang diamati dengan penginderaan jauh
bukan merupakan nilai tanah sebenarnya pada saat perekaman. Sinyal yang dipantul-
kan tanah akan mengalami atenuasi akibat kemampuan absorbsi dari atmosfer. Arah
dari penghamburan sinyal pun akan berubah. Sensor dari wahana penginderaan jauh
dapat menerima komponen sinyal yang bukan merupakan benda aslinya. Semua
sinyal yang terlihat berasal dari satu titik pengamatan pada kenyataannya juga meru-
pakan pantulan sinyal dari benda-benda di sekitarnya. Benda-benda disekitar titik
pengamatan dapat memancarkan energi yang dapat diterima sensor wahana penga-
matan sehingga dapat mengurangi akurasi, energi hamburan ini biasa disebut dengan
environmental radiance (Mather, 2004).
FLAASH merupakan alat pemodelan koreksi atmosfer untuk mengambil reflektansi
spektral dari pancaran citra. Metode ini dapat secara akuran mengimbangi efek
atmosfer, mengoreksi panjang gelombang yang terlihat melalui near-infrared hingga
3 milimeter dan menghitung visibilitas tampilan rata-rata (aerosol / jumlah kabut).
FLAASH merupakan teknik paling canggih untuk menangani khususnya
menekankan kondisi atmosfer, seperti adanya awan (ENVI, 2009).
Model FLAASH ini menurut modul FLAASH menggunakan persamaan standar dari
radiansi spektral piksel yang diterima dengan lambertian planar standard yang
mengacu kepada spektrum matahari oleh sensor yang ditulis pada persamaan (1) se-
bagai berikut :
𝐴ρ 𝐵ρ
𝐿=( )+( ) + Lɑ (1)
1−𝜌e𝑠 1−𝜌e𝑠

Dengan :
L = Radiansi spektral pada sensor
ρ = Reflektansi permukaan pada piksel
ρe= Rata – rata reflektansi permukaan
S = Albedo pada atmosfer
Lɑ = Radiansi hamburan balik atmosfer
A,B= Koefisien dari kondisi atmosfer dan geometrik
𝐴ρ
1−𝜌e𝑠
= Energi radiansi yang dipantulkan dari objek
𝐵ρ
= Energi radiansi yang dihamburkan oleh atmosfer
1−𝜌e𝑠
298 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Nilai A, B dan S ditentukan dari perhitungan MODTRAN4 yang menggunakan sudut


pengamatan, sudut matahari dan ketinggian. FLAASH menggunakan rata-rata radi-
ansi untuk memperkirakan reflektansi dengan persamaan :
(𝐴+𝐵)ρe
𝐿e = ( 1−𝜌e𝑠
) + Lɑ (2)

Model atmosfer yang digunakan pada FLAASH merupakan model atmosfer standar
dari metode MODTRAN4 (ENVI, 2009).
2.2 Klasifikasi Terbimbing
Metode klasifikasi terbimbing didasari dengan pengetahuan luar mengenai daerah
penelitian. Klasifikasi terbimbing membutuhkan masukan dari pengguna sebelum
menggunakan algoritma yang dipilih. Masukan ini dapat berupa hasil lapangan, ana-
lisis foto udara, laporan, atau hasil studi daerah penelitian. Implementasi dari klasifi-
kasi terbimbing menggunakan algoritma statistikal dan algoritma neural. Algoritma
statistikal menggunakan parameter yang didapat dari sampel data dalam bentuk train-
ing classes, seperti nilai minimum dan maksimum dari fitur, atau nilai rata-rata dari
individu klaster, atau matriks mean dan variansi-kovariansi dari masing-masing ke-
las. Metode neural tidak bergantung kepada informasi statistikal dari sampel data,
namun diambil sampel dari datanya langsung. Semua metode klasifikasi
menggunakan training sample untuk mempertimbangkan karakteristik data (Mather,
2004).
Penelitian kali ini dilakukan dengan membandingkan tiga metode klasifikasi
terbimbing untuk dipilih metode terbaik. Tiga metode klasifikasi terbimbing yang
digunakan yaitu support vector machine, mahalanobis distance dan maximum
likelihood. Metode klasifiksi terbaik memiliki tingkat akurasi tertinggi setelah
dilakukan uji akurasi dengan confusion matrix untuk mendapatkan overall accuracy
dan kappa koefisiennya. Metode klasifikasi terbimbing terbaik digunakan pada
proses selanjutnya untuk mendapatkan luas hutan mangrove.
2.3 Estimasi Biomassa
Dalam melakukan estimasi biomassa pada penelitian ini, digunakan persamaan al-
lometrik yang menggunakan NDVI dalam perhitungannya. Penetapan persamaan al-
lometrik yang digunakan dalam estimasi biomassa merupakan salah satu tahapan
yang penting. Setiap persamaan allometrik dikembangkan sesuai dengan kondisi te-
gakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pemakaian
suatu persamaan yang digunakan pada suatu lokasi tertentu belum tentu cocok apabila
diterapkan pada lokasi lain. Sebagai contoh, persamaan-persamaan yang digunakan
dan dikembangkan pada wilayah yang memiliki iklim sedang dengan komposisi veg-
etasi cenderung homogen akan kurang tepat jika diterapkan pada daerah tropika yang
memiliki variasi spesies tinggi. Persamaan yang digunakan dan dikembangkan pada
daerah lembab/basah juga tidak cocok bila diterapan di daerah kering atau sebaliknya
(Sutaryo, 2009).
Nilai indeks vegetasi adalah suatu formula yang digunakan agar dapat menggam-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 299

barkan keadaan vegetasi lebih baik. Selama ini umumnya digunakan nilai indeks veg-
etasi yang dikenal dengan NDVI. Penggunaan NDVI selama ini dianggap mampu
menjelaskan dengan baik karakteristik vegetasi yang diamati, seperti kerapatan, bio-
massa, dan LAI (Leaf Area Index). Salah satu persamaan allometrik yang
menggunakan NDVI adalah (Budi, 2000).

6,3601029-10,209898NDVI
y= 1-0,72390943NDVI-1,4204177NDVI2
(3)
dengan :
Y = Biomassa (Ton/ha)

Nilai R2 dari persamaan allometrik ini sebesar 83,7%. Nilai R 2 mencerminkan


besarnya variasi peubah indeks vegetasi dalam menerangkan peubah biomassa. Se-
makin tinggi nilai R2 ini maka model akan semaik handal (Budi, 2000). Dengan
menggunakan persamaan allometrik ini didapatkan bahwa semakin kecil nilai NDVI
akan memberikan nilai biomassa yang semakin besar.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Uji Akurasi Geometrik

Uji akurasi geometrik menggunakan metode image to image dengan citra Landsat 8
sebagai acuannya. Dalam uji akurasi digunakan Independent Control Point (ICP)
yang tersebarkan secara merata pada citra. Uji akurasi geometrik pertama yaitu Land-
sat 7 ETM+ tahun 2003 dengan Landsat 8 OLI/TIRS sebagai acuannya. ICP yang
digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar merata pada citra. Berdasarlkan hasil
perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dihasilkan nilai sebesar 20,01 meter.
Resolusi dari citra Landsat yang digunakan adalah 30 meter untuk 1 pikselnya,
dengan hasil RMSE sebesar 20,01 meter maka dapat dianggap citra terbebas dari
kesalahan geometrik. Uji akurasi geometrik kedua yaitu Landsat 5 TM tahun 1993
dengan Landsat 8 OLI/TIRS sebagai acuannya. ICP yang digunakan sebanyak 14 titik
yang tersebar merata pada citra. Berdasarkan hasil perhitungan RMSE dihasilkan
nilai sebesar 19,80 meter. Oleh karena itu citra dapat dianggap bebas dari kesalahan
geometrik.
3.2 Koreksi Atmosferik
Koreksi atmosferik yang dilakukan menggunakan metode FLAASH (Fast Line-of-
sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes). Hasil dari koreksi atmosferik
citra tahun 2013 ditunjukkan pada Gambar 2, tahun 2003 pada Gambar 3, dan tahun
1993 pada Gambar 4.
300 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(a)

(b)
Gambar 2. Citra tahun 2013 sebelum(a) dan sesudah (b) koreksi atmosferik

(a)

(b)
Gambar 3. Citra tahun 2003 sebelum (a) dan sesudah (a) koreksi atmosferik
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 301

(a)

(b)
Gambar 4. Citra tahun 1993 sebelum (a) dan sesudah (b) koreksi atmosferik
Berdasarkan hasil statistik semua band pada semua citra memiliki nilai antara 0 sam-
pai 1 yang berarti citra sudah terbebas dari gangguan atmosferik. Berdasarkan visual
juga dapat dilihat tampilan citra menjadi lebih jelas setelah dilakukan koreksi at-
mosferik sehingga menjadi lebih mudah untuk dilakukan interpretasi pada citra.

3.3 Proses Klasifikasi Terbimbing


Identifikasi kawasan mangrove dilakukan melalui proses klasifikasi dengan
menggunakan nilai NDVI sebagai acuannya. Proses klasifikasi dilakukan dengan
memilih metode klasifikasi yang terbaik dengan membandingkan 3 metode klasifi-
kasi terbimbing yaitu Support Vector Machine (SVM), Mahalanobis Distance dan
Maximum Likelihood. Dalam memilih metode klasifikasi termbimbing terbaik
digunakan citra Landsat 5 TM tahun 1993 kawasan Kabupaten Subang. Klasifikasi
dilakukan dengan mengambil training sampel berdasarkan nilai NDVI. Klasifikasi
dibagi menjadi 4 kelas yaitu mangrove, vegetasi non-mangrove, pemukiman dan
perairan. Hasil klasifikasi ketiga metode ditunjukkan pada gambar 5.
302 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

(a)

(b)

(c)
Gambar 5.Hasil klasifikasi metode SVM (a), mahalanobis distance (b), dan maximum likeli-
hood (c).
Selanjutnya dilakukan uji akurasi dengan membandingkan hasil klasifikasi ketiga
metode menggunakan nilai NDVI, dengan ground truth menggunakan citra google
earth wilayah Kabupaten Subang. Uji akurasi dilakukan dengan menghitung confu-
sion matrix dari ketiga metode. Hasil akurasi ketiga metode ditunjukkan pada Tabel
1.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 303

Tabel 1. Perbandingan Akurasi Ketiga Metode


Klasifikasi Overal Accuracy (%) Kappa Coefficient
SVM 92,78 0,8813
Maximum Likelihood 89,27 0,8256
Mahalanobis Distance 85,98 0,7713

Dengan metode SVM menghasilkan nilai akurasi terbaik, maka untuk klasifikasi citra
Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2013 akan menggunakan
metode SVM. Dari hasil perhitungan confusion matrix didapatkan akurasi kese-
luruhan dari tahun 2003 sebesar 84,42% dengan koefisien kappa 0,7567, sedangkan
untuk tahun 2013 menghasilkan akurasi keseluruhan sebesar 85,44% dengan
koefisien kappa sebesar 0,7648. Perhitungan tersebut menghasilkan nilai presentasi
yang tinggi dengan koefisien kappa yang mendekati 1, oleh karena itu hasil klasifikasi
dapat diterima untuk pengolahan selanjutnya.
3.4 Perubahan Luas Hutan Mangrove
Setelah dilakukan klasifikasi pada citra tahun 1993, 2003 dan 2013, dilihat persebaran
hutan mangrove pada Kabupaten Subang dari tahun 1993, 2003 dan 2013 untuk dil-
akukan analisis perubahan hutan mangrove. Selain dengan melihat perubahan per-
sebaran hutan mangrove, perhitungan perubahan luas hutan mangrove juga dapat dil-
akukan untuk menganalisis. Perhitungan luas dilakukan dengan membandingkan luas
hutan mangrove dari tahun 1993, 2003 dan 2013. Hasil perhitungan luas hutan
mangrove diberikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Luas Hutan Mangrove Kabupaten Subang
Tahun Luas Hutan Mangrove (ha)
1993 3985,74
2003 3223,62
2013 1496,43

Hasil perhitungan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993, 2003
dan 2013 menunjukan tahun 1993 memiliki luas hutan mangrove terbesar dengan luas
3985,74 hektar dan tahun 2013 memiliki luas hutan mangrove paling kecil dengan
luas 1496,43 hektar. Grafik perubahan luas hutan mangrove ditunjukan pada Gambar
6untuk melihat tren perubahannya. Sumbu-X menunjukan tahun sedangkan sumbu-
Y menunjukan luas hutan mangrove.
304 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

6000
Perubahan Luas Hutan Mangrove
(Ha)
4000

2000

0
1993 2003 2013
Gambar 6. Grafik perubahan luas hutan mangrove Kabupaten Subang
Grafik perubahan luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993, 2003
dan 2013 menunjukan tren yang menurun. Hal ini menunjukan dalam 20 tahun, luas
hutan mangrove pada Kabupaten Subang terus menurun. Pada tahun 2003 luas hutan
mangrove menurun sebesar 19,12% atau 762,12 hektar dari tahun 1993, sedangkan
pada tahun 2013 luas hutan mangrove menurun sebesar 53,58% atau 1727,19 hektar
dari tahun 2003 dan berkurang sebesar 2489,31 hektar atau 62,46% dari tahun 1993.
Tahun 2013 menunjukan nilai penurunan luas hutan mangrove yang cukup tinggi
hingga lebih dari 50% luas hutan mangrove pada 2003, hal ini dikarenakan banyak
kawasan mangrove di Kabupaten Subang yang dijadikan tambak dan peternakan
udang. Perubahan menjadi kawasan tambak ini juga dapat dilihat dari nilai NDVI
pada kawasan yang secara visual menunjukan warna hijau namun memiliki nilai
NDVI mendekati 0 hingga -1 yang menunjukan daerah perairan. Kurangnya perawa-
tan dan tinggina aktivitas masyarakat sekitar khususnya di wilayah pesisir juga turur
berpengaruh dalam mengurangnya kawasan mangrove pada Kabupaten Subang.
3.5 Estimasi Biomassa Mangrove
Setelah didapatkan persebaran hutan mangrove Kabupaten Subang tahun 1993, 2003
dan 2013, dilakukan estimasi nilai biomassa dari hutan mangrove tersebut. Estimasi
biomassa dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik dengan nilai NDVI.
Tahun 1993, 2003 dan 2013 memiliki interval nilai NDVI yang berbeda-beda. Nilai
NDVI mangrove pada Kabupaten Subang tahun 1993, 2003 dan 2013 ditunjukkan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai NDVI Mangrove
NDVI
Tahun
Minimum Maksimum
2013 0,15 0,79
2003 0,21 0,73
1993 0,18 0,83
Dengan dilakukan perhitungan biomassa dari citra pada tahun 1993, 2003 dan 2013
dan di tumpang-tindihkan dengan tutupan lahan hutan mangrove, didapatkan rata-
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 305

rata estimasi biomassa dari hutan mangrove pada Kabupaten Subang untuk tahun
1993, 2003 dan 2013 dalam Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Biomassa Mangrove

Tahun Rata-rata Biomassa (Ton/ha)

1993 4,914
2003 4,803
2013 4,344
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata biomassa mangrove pada Kabupaten Subang
tahun 1993, 2003 dan 2013 didapatkan bahwa tahun 2013 memiliki nilai rata-rata
paling tinggi sedangkan tahun 1993 memiliki nilai rata-rata paling rendah.
3.6 Persebaran Biomassa Mangrove
Sebaran biomassa hutan mangrove Kabupaten Subang dilakukan dengan membagi
nilai biomassa mangrove menjadi 3 kelas dengan interval sama yaitu kelas pertama
dengan nilai biomassa 0-5 ton/hektar, kelas kedua dengan nilai biomassa 5-10
ton/hektar, kelas ketiga dengan nilai biomassa >10 ton/hektar. Distribusi biomassa
mangrove Kabupaten Subang tahun 1993 ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Distribusi biomassa mangrove Kabupaten Subang tahun 1993


Pada tahun 1993 distribusi biomassa mangrove terbanyak berada pada range
0 – 5 ton/ha jika dilihat visualisasinya, sedangkan terendah berada pada
range> 10 ton/ha karena tidak terlihat secara kasat mata. Jika dihitung luas
dari setiap kelas nilai biomassa didapatkan nilai yang ditunjukkan pada Tabel
5.
306 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Tabel 5. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 1993


Range Biomassa ( Ton/ha ) Luas ( ha )
0-5 2364,93
5-10 1620,54
>10 0

Selanjutnya dilanjutkan dengan melihat persebaran biomassa hutan mangrove pada


tahun 2003. Distribusi biomassa mangrove pada tahun 2003 ditunjukan pada Gambar
8.

Gambar 8. Distribusi biomassa tahun 2003 Kabupaten Subang


Distribusi biomassa mangrove pada tahun 2003 ini memiliki visualisasi yang serupa
dengan tahun 1993 yaitu range 0–5 ton/ha memiliki jumlah kawasan yang paling be-
sar, begitu pula dengan range >10 ton/ha yang tidak tampak visualisasinya. Dari hasil
perhitungan luas berdasarkan range biomassanya, didapatkan luas masing-masing
range biomassa ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 2003
Range Biomassa ( Ton/ha ) Luas ( ha )

0-5 2271,42
5-10 948,51
>10 0,81

Untuk persebaran biomassa tahun 2013 diguanakan range nilai biomassa yang sama
dengan tahun 1993 dan 2003 yaitu 0 hingga 5 ton/hektar, 5 hingga 10 ton/hektar dan
>10 ton/hektar. Hasil distribusi biomassa hutan mangrove pada Kabupaten Subang
tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 9.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 307

Gambar 9. Distribusi biomassa tahun 2013 Kabupaten Subang


Dari hasil distibusi biomassa mangrove tahun 2013 didapatkan secara visualisasi,
pada bagian timur wilayah lebih banyak mangrove dengan nilai biomassa 0–5 ton/ha,
sedangkan mangrove dengan biomassa > 10 ton/ha tidak terlihat secara kasat mata.
Dari hasil perhitungan luas mangrove berdasarkan range biomassa didapatkan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Biomassa Mangrove dan Luas Tahun 2013
Range Biomassa (Ton/ha) Luas (ha)
0-5 1449
5-10 41,31
>10 2,25

4 KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Citra Landsat dapat digunakan untuk identifikasi hutan mangrove dengan


metode klasifikasi terbimbing. Metode klasifikasi terbimbing terbaik yaitu
Support Vector Machine (SVM) dengan Overall Accuracy sebesar 92,78%
dan koefisien kappa 0,8813.
2. Luas hutan mangrove Kabupaten Subang pada tahun 1993 sebesar 3985,74
hektar sedangkan pada tahun 2003 sebesar 3223,62 hektar dan 1496,43
hektar pada tahun 2013. Terjadi penurunan luas hutan mangrove sebesar
19,12% pada tahun 2003 jika dibandingkan dengan tahun 1993 dan terjadi
penurunan sebesar 53,58% luas hutan mangrove pada tahun 2013 jika
dibandingkan dengan tahun 2003.
3. Pada tahun 1993 rata-rata biomassa hutan mangrove sebesar 4,914 ton/ha se-
dangakan pada tahun 2003 rata-rata biomassa mangrove mengalami
308 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

penurunan yaitu menjadi 4,803 ton/ha dan pada tahun 2013 rata-rata bio-
massa hutan mangrove kembali mengalami penurunan yaitu menjadi 4,334
ton/ha.
4. Pada tahun 1993 dan 2003 nilai biomassa mangrove terbanyak berada pada
range 0 – 5 ton/ha dengan 2364,93 hektar pada tahun 1993 dan 2271,42
hektar pada tahun 2003. Pada tahun 2013 nilai biomassa terbanyak berada
pada range 0 – 5 ton/ha dengan luas 1449 hektar.

DAFTAR REFERENSI
Budi, Chandra. 2000. Model Penduga Biomassa dan Indeks Luas Daun Menggunakan Data
Landsat iThematic Mapper (TM) dan SPOT Multispektral (XS) Di Hutan Mangrove (Studi
Kasus Segara Anakan, Cilacap). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Brown, Sandra. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer.
(FAO Forestry Paper - 134). Roma : FAO.
Donato, Daniel C., J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Sti-
dham, and Markku Kanninen. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forest in the
tropics. Macmillan Publishers Limited.
ENVI. 2009. Atmospheric Correction Module : QUAC and FLAASH User's Guide. ENVI.
FAO. 2007. The World's Mangroves 1980-2005. Roma: Food and Agriculture Organization of
The United Nations.
Frananda, Hendry, Hartono, and Retnadi Heru Jatmiko. 2015. “Komparasi Indeks Vegetasi
Untuk Estimasi Stok Karbon Hutan Mangrove Kawasan Segoro Anak Pada Kawasa Ta-
man Nasional Alas Purwo Banyuwangi, Jawa Timur.” 113-123.
Mather, Paul M. 2004. Computer Processing of Remotely-Sensed Images. Chichester: John
Wiley & Sons Ltd.
Novianty, Riny, Sukaya Sastrawibawa, and Donny Juliandri Prihadi. 2011. Identifikasi Keru-
sakan dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Subang.
Paper, Jatinangor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran.
Susilo, S. B. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sutaryo, Dandun. 2009. Penghitungan Biomassa : Sebuah pengantar untuk studi karbon dan
perdagangan karbon. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.

Yusandi, Sendi. 2015. Model Penduga Biomassa Hutan Mangrove Menggunakan Citra
Resolusi Sedang Di Areal Kerja BSN Group Kalimantan Barat. Bogor: Fakultas Kehu-
tanan.
Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017 309

BIOGRAFI PENULIS
Saddam Chair
Saddam Chair lahir di Surakarta (21) saat ini sedang men-
jalani studi sarjana di Teknik Geodesi dan Geomatika,
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung. Penulis pernah menjadi asisten prak-
tikum pada mata kuliah Penginderaan Jauh pada program
studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.

Prof. Dr. Ir. Ketut Wikantika, M.Eng.


Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam
bidang Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Ban-
dung (ITB). Bidang penelitiannya adalah pendekatan-
pendekatan geospasial termasuk aplikasi penginderaan
jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan la-
han dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeo-
grafi dan biodiversiti termasuk kebencanaan. Ketut
Wikantika sudah melakukan kerjasama dengan institusi
luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas Tot-
tori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang, Universitas Oklahoma,
AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta Pennsylvania State University.
Kecintaannya terhadap bidang penelitian membuatnya menjadi pendiri Forum
Peneliti Indonesia Muda (ForMIND).
310 Bunga Rampai Forum Peneliti Muda Indonesia 2017

Anda mungkin juga menyukai