Anda di halaman 1dari 4

RESENSI KUMPULAN CERPEN BALI

RESENSI KUMPULAN CERPEN

Judul buku : Kumpulan Cerpen “Bali” 1)

Pengarang : Putu Wijaya

Penerbit : Kompas

Cetakan :I

Tebal Buku : vi + 218 halaman

Sebagai orang Bali, Putu Wijaya mengakui bahwa dinamika menjadi unsur penting dalam berekspresi.
Karena itu, karya-karyanya memperlihatkan tempo yang cepat dan penuh daya kejut. Seperti buku
kumpulan cerpen Bali yang dibuatnya sangat berbeda dengan cerpen yang telah dibuat sebelumnya.
Di tangan Putu Wijaya, sebuah ide dapat berkembang ke arah yang takterduga.

Putu Wijaya menggunakan teknik penceritaan melalui alur. Ini terlihat dalam cerpen yang berjudul
”Orang Bali”. Ia telah berhasil membangun irama keterkejutan kepada pembaca. Teknik yang
dipaparkannya berhasil menimbulkan rasa penasaran.

Dalam buku ini, cerpen yang paling menarik adalah ”Tragedi Bali” dan juga cerpen yang berjudul
”Bom”. Dalam kedua cerpen itu, Putu Wijaya mampu membuat pembaca berimajinasi akan kejadian
itu dan ceritanya dibuat berlanjut. Putu Wijaya berusaha memperlihatkan bagaimana keadaan Bali
yang sebenarnya. Ia juga berusaha agar tidak terjadi kesalahpahaman pembaca.
Banyak cerita cerpen yang berlanjut dalam buku ini. Misalnya ”Kekerasan” berlanjut pada cerpen
”Kekejaman”. Cerpen yang berjudul ”Perawan” berlanjut pada cerpen ”Bekas”. Putu Wijaya
mendapat nilai plus karena cerita yang dibuat dapat berlanjut seperti contoh cerpen di atas.

Cerpen yang berjudul ”Poliandri” sangat bagus karena Putu Wijaya mengambil contoh kisah
Mahabarata ”Drupadi” yang bersuami lima orang pendawa. Cerpen ini mengambil nilai budaya Bali.
Yang tidak kalah menarik adalah cerpen ”Nafsu”. Di sini, Putu Wijaya mengambil contoh nafsu
menurut generasi sekarang. Bukan nafsu yang lain, melainkan nafsu untuk bersemangat membuat
ide atau sesuatu yang baru untuk meraih kesuksesan.

Menurut saya, buku kumpulan cerpen ini sangat bagus untuk dibaca para remaja karena di dalam
buku ini banyak terdapat pesan moral yang harus dimiliki remaja masa kini. Buku ini tidak kalah
menarik dengan buku kumpulan cerpen lain seperti buku kumpulan cerpen Cinta. Pembaca cerpen-
cerpen Putu Wijaya pasti akan terpana terhadap cerita-ceritanya dan akan penasaran dengan cerita
selanjutnya.

Hal yang perlu dikritik adalah cara penyampaiannya. Putu Wijaya terlalu menggebu-gebu dalam
membuat cerpen sehingga lupa memilih kata-kata yang digunakannya. Kadang-kadang kita sukar
memahami kata-kata tersebut. Namun, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena Putu wijaya akan
menjelaskan pada cerita berikutnya. Selain itu, penjelasan tema yang merupakan inti cerpen harus
dikuasai pembaca dengan baik. Magfira Ulfa XII IPA2

II

Judul buku : Kumpulan Cerpen “Bali” 2)

Pengarang : Putu Wijaya

Penerbit : Kompas

Cetakan : I, 2004

Tebal Buku : vi + 218 halaman


Cerita dalam kumpulan cerpen ini mengisahkan seorang Bali yang hanya merasa diri Bali. Bali
mempunyai sejarah yang panjang, mulai dari bentrokan-bentrokan antarkerajaan, sesudah masa
kemerdekaan, saat pemilu pun bentrokan terjadi. Dari situlah Ami sebagai anak muda sangat prihatin
melihat Bali membiarkan diri dijadikan arena perkelahian.

Bali adalah satuan aturan. Bali adalah satuan idiom. Idiom hidup yang sudah mati, adat istiadat yang
beku, tata cara yang kaku. Anak Ami yang berpikir demikian berhenti menjadi orang Bali. Toh ia tetap
tidak tahu apakah ia orang Bali atau bukan. Dengan merasa diri Bali anak Ami tidak lagi peduli karena
tidak ada yang berubah yang disebut sebagai orang Bali atau bukan.

Jika rakyat semua sama seperti anak Ami, kekerasan antarsesama orang Bali tidak akan terjadi.
Seperti yang terjadi pada masa kerajaan, pada masa pemilu, bahkan sampai sekarang antara PNI dan
Golkar. Namun, tidak ada usaha-usaha untuk mulai mencegah agar budaya kekerasan itu tidak
berkembang.

Seperti halnya ajaran karma-pala sebenarnya bukan sekadar ajaran moral yang membimbing
manusia menjadi tetap sabar dan santun di tengah-tengah kebiadaban, melainkan sebuah kiat
ketatanegaraan yang membuat rakyat percaya bahwa proses terus berlangsung dan cepat akan
menempatkan segala sesuatu pada tempat yang benar. Demikianlah, semua ”kebijakan lokal” bukan
hanya ajaran moral, melainkan tuntunan dalam kehidupan modern yang sangat bermanfaat apabila
diberikan pemaknaan baru. Hanya saja tidak ada yang kompeten untuk melakukannya.

Terlihat pada ”Tragedi Bali” ada tiga hal penting yang dapat diambil hikmahnya. Pertama, perbuatan
biadab yang merenggut hampir 200 jiwa. Kedua, api jahat yang selama ini ikut berserak dalam
berbagai keributan seperti yang sudah terjadi pada tahun 1998 di Jakarta yang tidak terjadi dalam
tragedi Bali. Ketiga, ternyata tragedi Bali dikutuk oleh seluruh dunia. Namun, penagkuan langsung
dari para turis yangtidak akan menghentikan cintanya kepada Bali dan berjanji akan kembali ke Bali
menjelaskan bahwa cinta tidak bisa dihancurkan dengan bom. Cinta tidak bisa ditakut-takuti dengan
teror. Tragedi Bali adalah sebuah model bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah bencana.

Dikisahkan dalam ”Tragedi Bali” pengeboman yang amat dahsyat itu diangkat untuk cover story
minggu lalu. Polisi mengumpul bahan berita yang akurat dan berimbang karena untuk mengisi cover
story haruslah ada bukti yang nyata.

Sebagai bumerang, adat istiadat dan tradisi yang sudah tertanam, berakar dengan baik, akan dengan
mudah membawa anggota masyarakat dalam kesesatan apabila tidak disertai dengan kejernihan
dalam menangani kebangkitan dan mengaplikasikannya.
Banyak macam cerpen karya Putu Wijaya ini yang dapat membawa pembaca ke dalam cerita itu
sendiri. Pembaca pun merasa tergelitik setelah membaca cerpen Putu Wijaya seperti salah satu
cerpennya yang berjudul Nafsu. Mungkin, pembaca bisa melesetkan bacaan dan kata nafsu ke hal-hal
yang jauh di sana. Namun, nafsu di sini adalah nafsu kawula muda dalam membruu sukses dalam
waktu yang cepat.

Itulah Bali yang tidak dapat di”kerjain” karena kepercayaan mendasar pada karma-pala yang bukan
sekadar ajaran moral. Bukan persoalan kembali kepada-Nya atau pun ke sisi-Nya. Pernyataan
tersebut dinilai secara logika merupakan pernyataan yang sama maknanya.

Membaca kumpulan cerpen ini sangat penting artinya. Pengalaman mengenal dunia pertunjukan dan
perjuangan hidup seorang pengarang sangatlah penting, terutama remaja yang jelas menjadi
generasi penerus harus banyak tahu tentang dunia. Di samping mengenal kehidupan orang Bali,
remaja juga diantar untuk mengetahui pentingnya mempertahankan hak milik negara. Sebab,
pengarang menceritakan kisah yang sedikit meleset dari yang sebenarnya, namun kenyataan.

Bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan dipahami baik tua maupun muda. Bayangan seorang
Bali di mata pengarang digambarkan secara jelas. Putu wijaya mengakui bahwa dinamika menjadi
unsur penting dalam berekspresi. Oleh karena itu, karya-karyanya memperlihatkan tempo yang
cepat, penuh hentakan, dan daya kejut.

Semestinya cerita ini lebih panjang agar pembaca lebih tertarik membacanya. Melalui buku ini
rupanya penulis ingin memperkenalkan karya tulisnya yang berdurasi sangat cepat pada pembaca.
Hal ini tampak pada pengenalan orang Bali yang tidak hanya cukup dengan merasa diri Bali.

Cerita ini berkembang ke arah yang takterduga, mendistorsi, dan meneror pembacanya. Namun,
pengarang mengakui “teror mental” yang ia kembangkan lewat ide-ide dalam karya-karyanya itu
hanya kejutan untuk menuju pencerahan batin. *** Leni Yuniarti, XII IPA2

Anda mungkin juga menyukai