Anda di halaman 1dari 8

Nama : Endah Retno Wulandari

Nim/Kelas : 17040284087 / 2017 A


Matkul : Sejarah Sosial

LAPORAN I
MADIUN DALAM KEMELUT SEJARAH : PRIYAYI DAN PETANI DI KERESIDENAN
MADIUN ABAD XIX
Oleh : Ong Hok Ham
Prolog : Peter Carey, Epilog : David Reeve
Didalam buku ini menjelaskan mengenai Madiun yang memiliki sejarah panjang, serta
mengungkap tentang Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun abad XIX.
Salah satu tradisi budaya Jawa yang terkenal adalah pertunjukan wayang. Dari tradisi
budaya wayang tersebut menghasilkan sebuah identifikasi politik dengan negara, secara singkat
dapat dikaitkan tentang negara dan pemerintahan. Kemudian tradisi ini diterarapkan pada
pemerintahan Jawa dari dinasti yang terakhir yaitu Mataram Islam. Puncak kekuasaan tertinggi
dipimpin sang raja. Ia adalah tuan dari kehidupan dan seluruh alam secra tertulis adalah
miliknya. Mataram Islam membentuk pemerintahan dengan doktrin mistik “Penyatuan dengan
Tuhan” yang didalam bahasa Jawa: manunggaling Kawula Gusti (penyatuan manusia dengan
Tuhan). Artinya didalam politik adalah penyatuan raja dengan rakyatya antara tuan dan
hambanya. Sesuai dengan Teori Perjuangan Kelas Vanguard dan hegemoni budaya yang di
ungkapkan oleh Karl Marx.
Dari teori ini menghasilkan sebuah konsep perjuangan kelas dimana pertentangan kelas yang
dilihat dari berbagai sudut pandang. Konsep ini muncul secara sendirinya ketika secara
sepontanitas terjadi penderitaan secara berkepanjangan. Adanya stratifikasi sosial juga dijelaskan
oleh Moertono tercermin dari kepercayaan yang teguh akan nasib dan takdir. Menurut Marx
masyarakat selalu terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu sebagi penindas atau ditindas. Sebagai
seorang manusia yang harus mengetahui tempatnya di masyarakat sebagai konsekuensinya ia
tidak memiliki kesempatan atau pilihan kecuali menjalankan tugasnya sesuai prinsip, namun
relasi sosial ini juga menghasilkan suatu hubungan yang erat antara bawahan dan tuannya, antara
raja dan hamba sahaya, dan lain-lain. Inilah yang menjadi dasar feodalisme.
Raja dan bangsawan adalah tingkatan tertinggi, diawahnya terdapat priyayi. Priyayi
menjadi penghubung antara kerajaan dengan rakyat. Priyayi adalah kelompok elit terbuka, yang
pada praktiknya ia berubah menjadi kelas tertutup berdasarkan keturunan yang diperkuat melalui
hubungan pernikahan. Kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai bawahan raja (kawula)
mereka terikat pada hubungan Kawula Gusti. Dapat diartikan rakyat jelata mengikatkan diri
mereka pada salah satu jabatan dan membentuk Kawula Gusti yang lain. Mereka tidak
membentuk hierarki tunggal melainkan sekelompok hierarki. Terdapat perbedaan secara nyata
antara priyayi dan rakyat biasa adalah priyayi tidak perlu mengerjakan lahan mereka, karena
mereka menerima pendapatan (tanah lungguh) dari raja dan memanfaatkannya dengan menyuruh
keluarga buruh tani. Tanah ini bukan dimiliki secara turun menurun melainkan apabila jabatan
digantikan secara otomatis tanah tersebut dikembalikan lagi kepada raja. Para pekerja yang
bekerja pada kaum priyayi seringkali diberikan sebidang tanah dan mendapatkan hak atas buruh
tani. Dari saling ketergantungan ini ada maksud-maksud tersembunyi dari kelas buruh.
Akibatnya meskipun secara formal mereka bukan priyayi, mereka di anggap sebagai priyayi oleh
petani pengarap. Pada kenyataanya praktek kekuasaan raja seringkali tidak sesuai posisinya
secara politik kadang-kadang disokong oleh orang kaya dan orang serakah.
Munculnya kelas-kelas ini didasari oleh factor ekonomi yang menjadikan ketimpangan
antara kelas atas dan kelas bawah. Kemudian muncullah gerakan sosial akibat dari penindasan
yang dilakukan.
Pada masa Mataram Islam untuk memperluas daerah kekuasaan Raja membuat
kebijakan berupa mengangkat seorang Bupati. Bupati ini bisa diangkat dari elit local dan yang
menikah dengan keluarga kerajaan, atau orang kepercayaan bukan bangsawan yang diberi status
priyayi oleh raja. Dengan mengangkat bupati yang baru dapat menciptakan seorang pengawas
bagi kekuatan politik local. Politik pecah belah harus dilakukan untuk memperlancar dominasi
kerajaan di Jawa. Bupati sebagai perwakilan raja atau guberur merupakan cerminan dari struktur
spiritual dan administratif keraton. Tempat tinggal resmi seorang Bupati disebut kabupaten dan
memiliki sebuah pendapa. Pemerintahan Bupati terdiri atas seorang patih (Perdana Menteri),
wedana (pejabat dibawah bupati), mantra (pejabat rendahan yang memegang janggung jawab
khusus seperti irigasi, hutan, dll), jaksa dang penghulu. Namun tidak semua bupati memiliki
kekuasaan dan status yang sama. Pada kenyataannya bupati adalah seorang raja kecil di
wilayahnya. Oleh sebab itu sebagai seorang raja kecil ia bisa meningkatkan kekuasaannya dan
kekuatannya di wilayahnya tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Hubugan keluarga dan
perkawinan bisa dipakai untuk meningkatkan kedudukan mereka. Fungsi yang paling penting
seorang bupati sebagai wakil keraton adalah menarik pajak dalam bentuk padi dan hasil lainnya.
Setiap tahun dalam periode tiga bulan bupati harus menghadap ke istana dengan priyayi
utamanya, kepala desa dan petani. Mereka bersedia dipakai sebagai tenaga kerja untuk
membangun atau memperbaiki istana. Pada masa ini bupati bertanggung jawab untukmemberi
makan seluruh rombongannya. Bagi petani penggarap yang mengikuti bupati terpaksa
meninggalkan lahan pertanian. Akibatnya sawah mereka di rumah terancam gagal panen.
Kurangnnya peraturan yang dibuat serta perintah yang dilakkan secara sepihak membuat salah
satu pihak dirugikan. Pajak dalam bentuk uang tidak ada tapi digantikan dengan barang ataupun
upeti dan tenaga kerja. Akibatnya hubungan yang terjadi antara raja dan bupati hanya sebatas
relasi patron-klien. Dengan cara yang sama kendali bupati diwilayahnya didasarkan pada aliansi
perkawinan dan hubungan personal priyayi bawahannya dan orang penting di desa.

LAPORAN II
Masyarakat Jawa dikelolah melalui perantara antarinstitusi, baik di tingkat desa atau lokal
atau diantara petani, sehingga para perantara ini bertindak sebagai makelar. Kelas sosial antara
kekuasaan dan rakyat petani membutuhkan adanya seorang pnghubung yaitu makelar. Artinya
seorang kepala desa menjadi penghubung antara desa dengan dunia luar, namun disetiap desa di
Jawa juga terdapat Jago (kepala desa, priyayi, bupati) antara kepala desa dan penduduk yang
disebut Jago Desa. Jago Desa yang memiliki pengaruh dapat menjadi ancaman bagi kepala desa,
ia juga memiliki akses ke dunia luar dengan melompati hirarki desa. Terdapat juga para
pensiunan priyayi atau bahkan keturunan pangeran yang juga bisa memainkan peran sebagai
pemimpin dan penghubung desa bahkan langsung ke istana. Hubungan interaksi yang buruk
tentang jago hanyalah sebuah fenomena dari struktur kolonial konservatif yang dimunculkan
kalangan priyayi dan pejabat Belanda. Perlahan lahan masyaraat melekatkan konsep kesucian
terhadap Jago yaitu kebal. Pada awal abad ke-20 dengan tumbuhnya prosedur birokrasi kolonial
para Jago mendapat pelabelan buruk sebagai preman lokal yang memeras penduduk desa.
Adanya kepala desa atau Jago yang menjadi kebal, membuat mereka berguru pada orang yang
sama. Melalui gurunya ia mencoba mengendalikan unsur-unsur yang sulit diduga. Guru-guru
lokal seringkali menciptakan agama sempalan yang menjadi bagian politik priyayi dan pedesaan.
Runtuhnya tradisi spiritual dan eskatologis yang mengharapkan sebuah masa dimana suatu
negara didirikan oleh ratu adil. Dari sini muncul gerakan mesianistis secara kolektif yang
biasanya disebut sebagai Gerakan Ratu Adil. Ratu Adil dipercaya akan datang untuk
mensejahterakan lahir batin, menggantikan situasi yang susah dengan keadaan yang damai.
Gerakan ini merupakan gerakan yang berasal dari Teori Pilihan Rasional yang memandang
berbagai bentuk perlawanan masyarakat secara kolektif terhadap lembaga-lembaga negara,
korporasi atau organisasi keagamaan dan sosial. Kerasionalan gerakan ini untuk kepentingan
pribadinya. Didasari atas keagamaan.
Pada masa kolonial, Belanda membuat kebijakan untuk menghapuskan beberapa
kabupaten dan menerapkan prinsip turun-temurun tentunya menimbulkan reaksi di kalangan
priyayi. Keluarga bupati yang kabupatennya dihapus diberikan pensiun serta hak ataskerja bakti
dan mendapatkan poisi di pemerintahan. Beberapa ada yang bekerja sebagai priyayi rendahan
atau menjadi kepala desa. Kebijakan yang dikeluarkan Belanda ini berbadingterbalik dengan
kebijakan Mataram. Mataram menciptakan kabupaten baru jika dimungkinkan karena untuk
memberikan posisi atau melemahkan seseorang yang kuat di Mancanegara. Perbedaan kebijakan
ini memiliki pengaruh bedar terhadap struktur politik. Sistem Belanda bergantung pada jumlah
keluarga priyayi dan bupati yang kecil. Aspek relasi patron-relasi tidak pernah hilang
sepenuhnya, ada nilai-nilai yang lahir dalam hirarki birokrasi dan melebarkan jarak antara
pemimpin dan rakyat. Stratifikasi sosial masih mempengaruhi dalam sistem birokrasi.
Jatuh bangunnya keluarga bangsawan jawa bukan menjadi rahasia, masyarakat umumnya tidak
memperdulian. Meskipun demikian hubugan Belanda dengan Priyayi masih didasarkan aliansi
dua kepentingan. Pada masa Tanam Paksa yang dilakukan Belanda, sistem ini menggantikan
pajak tanah dengan menanam tanaman ekspor milik pemerintah. Sistem ini menjadikan Jawa
sebagai perkebunan raksaksa milik pemerintah. Selama pelaksanaannya pejabat lokal belanda
bertanggung jawab untuk berkonsultasi dengan priyayi setempat guna memutuskan apa yang
harus ditanam. Gaji yang diberikan kepada residen dan bupati tidak begitu berbeda, tetapi
seorang BB (Binnenlandsch Bestuur) rendahan berdarah Eropa dari sekretaris bahkan kontrolir
digaji lebih baik daripada priyayi rendahan. Dari pendapatan dan gaya hidup seorang BB
menyamai kasta priyayi yang paling tinggi dibawah bupati. Seorang BB banyak mengetahui
tindakan-tindakan buruk yang dilakukan para Priyayi.
Upaya yang dilakukan Belanda untuk menghadapi Bupati pembangkang adalah dengan tindakan
politik bupati yang mengeksploitasi rakyat, memanfaatkan kekuasaan, dan lain lain akan dipecat
dan diasingkan. Jabatan bupati yang kosong harus diisi oleh pewaris yang sah dan seorang
residen harus memberikan alasan yang kuat jika memilih calon. Residen juga membuat laporan
tentang perilaku terkait karakter seorang bupati baik sebagai individu dan sebagai seorang
pejabat. Salah satu contoh laporan rahasia 9 Juni 1855 no. 303 :
Bupati Ngawi (47) : berperilaku baik, karakternyalembut, sopan, dan memiliki sifat baik. Tidak
terlalu rajin dan amat malas karena keningratannya.
Adanya stratifikasi sosial selama Tanam Paksa dibagi mejadi empat yaitu yang pertama
residen Belanda kemudian yang kedua para bupati yang ketiga perintah untuk menjaga
keamanan dan ketertiban dan pengelola sistem produksi yang keempat adalah priyayi tingkat
bawah. Selama abad ke-19 adanya kesenjangan sosial antara bupati dengan priyayi tingkat
dibawahnya seperti patih (pembantu utama bupati), jaksa, penghulu, mantri, juru tulis dan
lainnyaa. Perbedaannya dapat dilihat dari gaji, perumahan, gaya hidup, hak atas kerja, simbol-
simbol hirarki, dan lain-lain.
Bupati hidup di Kabupaten dengan pendopo yang luas. Pada singkatnya otoritas colonial
meningkatkan posisi bupati menyerupai seorang raja. Terdapat dua kelas bupati yaitu (1) Adipati
atau Ario diangkat menjadi pangern oleh Belanda sebagai sumber kekuasaan di Jawa. (2)
Tumenggung artinya baru ditunjuk sebagai bupati. Biasanya bergelar raden, raden mas jika
berdarah biru. Apabila ia sudah memerintah lama maka ia akan diperomosikan menjadi adipati.
Bupati dan priyayi rendahan secara fungsional dibagi mejadi dua yaitu, (1) birokrat, patih (wakil
bupati, pimpinan birokrasi) tetapi tidak memiliki wilayah kekuasaan, kliwon, kurir. Bupati
bertanggung jawab mengawasi kerja bakti di kabupaten dan menyediakan transportasi bagi para
tamu. Mantri polisi, mantra ulu-ulu, mantra hutan dan kepala jaksa dibawah residen, jaksa
dibawah bupati dan para pembantu jaksa. (2) teritorial, para wedana (polisi, pertanian,
perhitungan, penarikan sewa tanah dan irigasi) dan asisten wedana (camat).
Diantara para priyayi, posisi bupati diangkat secara khusus yang tidak diangkat berdasarkan
tradisi. Kedudukan adat seorang bupati lebih terintegrasi dengan priyayi rendah dan petani ada
relasi bangsawan dan masyarakat desa.
Desa digambarkan oleh Belanda sebagai tempat yang suram, penindasan oleh priyayi
maupun kepala desa, selain makin tingginya permintaan Belanda lewat kerja bakti dan pajak.
Politik pedesaan hanyalah sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hanyalah mimpi.
Karena pada intinya mereka hanya mencoba untuk menghindari diri dari kemungkinan yang
lebih buruk. Politik tidak berevolusi karena harapan dan optimisme, melainan karena pesimisme
dan usaha untuk mencegah keburukan lebih jauh. Upaya untuk memerdekakan diri dari situasi
yang tidak lahir dari negara yang ada, maka akan timbul Gerakan Ratu Adil. Gerakan ini timbul
akibat adanya kesadaran masyarakat tentang adanya sesuatu yang harus diperjuangkan
menimbulkan kegaduhan dan ada yang diuntungkan yaitu masyarakat petani.
Kehidupan para elit dibedakan dari struktur sosial paling bawah lewat gaya hidup dan atribut
kekuatan magis dan spiritual mereka. Seorang kepala desa juga dapat dibedakan melalui
karakteristiknya. Bupati memberikan bantuan dan perlindungan kepada lurah dan sebaliknya.
Hubungan timbal balik yang dilakukan ini tidak jarang membuat lurah sedikit tertekan tidak
berdaya dibawah kendali patron.
Masyarakat pedesaan era sebelum Belanda pembagian kelas secara jelas dalam
masyarakat didasarkan pada pembagian lahan, dan yang paling penting siapa yang berhak
meggerakkan tenaga kerja. Petani yang kaya memegang kelas pertama atas lahan garapan desa,
karena ia adalah cikal bakal para pembuka desa dan keturunannya. Kelompok ini disebut sikep.
Tanah yang dikelolah ini disebut tanah pusaka. Adapula dua kelas lain penduduk desa dengan
tanggung jawab lebih sedikit tetapi statusnya juga lebih rendah. Mereka adalah petani hanya
memiliki rumah dan pekarangan dan penduduk yang hanya memiliki rumah tetapi tidak memiliki
lahan sehinga hidupnya bergantung pada pekrjaan non pertanian seperti pengrajin. Kelompok
sikep harus membayar pajak, sesuai dengan struktur sosial dan politik patron dan klien. Upeti
dikenakan kepada inividu bukan pada wilayah yang dikuasai desa.
Di desa kelompok pemilik tanah atau sikep hilang. Pembagian tanah di atur oleh kepala
desa dengan arahan para tetua. Perubahan-perubahan desa ini menjadi dasar bagi restrukturisai
total masyarakat dengan kepala desa sebagai pemeritah. Masyarakat desa masih menganut politik
patronase dan patron-klien dengan priyayi. Akan tetapi pada abad ke-19 hilangnya masyarakat
Jawa prakolonialisme.

LAPORAN III
Pada masa perubahan ekonomi kapitaslime Belanda mulai terlihat di Jawa. Setelah
penghapusan Tanam Paksa, ekonomi petani menjadi bergantung pada uang. Pembayaran pajak
berupa uang, semua transaksi yang dilakukan menggunakan uang. Boeke mengakatan bahwa
pada awalnya, pada akhir abad ke-19 penduduk desa harus “membeli uang”. Desa semakin
membutuhkan uang untuk membeli kebutuhan pangan dan komoditas lainnya. Pada tahun 1890
Belanda merasa jumlah penduduk yang padat membuat keadaan menjadi memburu. Hal ini
melahirkan Politik Etis pada 1990, usaha untuk mengurangi kemiskinan dan depresi ekonomi di
pedesaan. Pada masa ekonomi liberal ini terjadi konflik antara pihak Belnda dengan para
investor sehingga timbul pembedaan dikalangan masyarakat Belanda antara pihak swasta dan
pejabat. Dibawah Residen Madiun V.J.Hofland (1907-1914) pasukan polisi menjaga perkebunan
tebu dibentuk. Pada 1911 terjadi kenaikan drastic pembakaran kebun, sehingga pada 1912
pemilik pabrik setuju membayar petugas khusus untuk menjaga perkebunan tebu yang di
organisasikan priyayi dibawah bupati atu wedana setempat. Belanda menyadari bahwa adanya
konflik kepentingan antara pabik gula dengan petani menyebabkan adanya kerusuhan. Sesuai
dengan teori sosial pilihan rasioal karena pembakaran yang dilakukan petani terhadap perkebuan
gula adalah bentuk protes karena petani merasa tidak didengar oleh para pemilik pabrik. Petani
dalam aksinya melakukan pembakaran dilakukan secara sadar sebagi bentuk dari
kerasionalitasnya. Kesadaran masyarakat ada sesuatu yang diperjuangkan menimbulkan konflik
da nada pihak yang di untungkan yaitu Belanda, dilihat dari pemerintah Residen Madiun
V.J.Hofland yang membuat kebijakan pembentukan pasukan polisi untuk menjaga perkebunan.
Pada abad ke-19, golongan elit masih menjadi kelompok elit yang kecil dan memiliki
hubungan erat. Di Karesidenan Madiun jumlahnya keluarga tidak lebih dari 350 keluarga atau
kurangdari 0,3% dari total jumlah penduduk, sebagai orang Jawa terhormat (priyayi) selain
kepala desa dan pemuka agama. Diantara 350 keluarga priyayi hanya sedikit yang berada pada
urutan pertama keturunan bupati sesuai dengan prinsip keturunan. Anak laki-laki akan mengikuti
orang tuanya dan menjadi pegawai pemerintahan sedangkan anak perempuan harus mendapatkan
suami seorang priyayi.
Selama masa kolonial terjadi pemberontakan, gerakan sosial, kejahatan dan keagamaan
yang bersifat politis. Pihak Belanda menerapkan dua cara yaitu pertama, dengan mencegahnya
dan yang kedua, melalui priyayi menggunakan kekuatan untuk mengamankannya. Dari cara
pertama yang dilakukan menghasilkan sebuah masyarakat yang telalu diatur. Ketertiban dan
kerapihan desa disamakan mulai dari tinggi pagar, jalanan lurus, ternak yang ditempatkan di
kandang hingga keluar masuk desa membutuhkan dokumen atau surat jalan. Dalam mnangkap
penjahat jatuh kepada priyayi. Kegagalan dalam menangkap penjahat akan membuat mereka di
pecat begitu pula sebaliknya keberhasilan dapat menaikkan jabatan. Dalam pelaksanaannya
priyayi tidak memiliki polisi professional sehingga tidak dapat melakukan penyelidikan,
sehingga sebagai gantinya istri, ibu, anak atau simpanan pelaku dijadikan tersangka dan ditahan.
Pemukulan dan penyiksaan serig terjadi kepada pelaku yang ditahan. Pada akhirnya keberhasilan
priyayi unruk menjaga desa bergantung pada relasi tradisional mereka dengan pemimpin desa
yaitu jago. Jago dipekerjakan sebagi mata-mata priyayi, mencari informasi tentang para
pelanggar hukum di desa.
Penekanan yang dilakukan pemerintahan pada birokrasi dan regulasi membuat
ketegangan antara pemimpin desa dan pemerintah. Ketegangan yang terjadi antara pimpinan
desa dan pemerintah adalah pemimpin-pemimpin desa yang saling bertikai dan terlibat dalam
intri para priyayi. Pejabat Belanda menjaga jarak dan tidak mau menggunakan mereka sebagai
alat. Belanda memanfaat para informan secara lagsung atau melalui priyayi. Terdapat beberapa
pejabat Belanda yang mampu menjauh, namun juga ada beberapa diantara mereka tidak dapat
menahan diri untuk melawan para priyayi. Ada salah satu gambaran peristiwa yaitu Kasus Candu
di Magetan. Peristiwa ini menjadi peringatan bagi para informan, dan kaena peristiwa ini terjadi
seorang penjahat modern Belanda yang teliti tidak bisa dijadikan korban atu dipermalukan oleh
seorang bupati.
Pada dasarnya ada perkembangan dualistik pada sektor administrasi di Jawa. Di pihak
Belanda yang menekankan prosedur sementara pada para priyayi yang masih bergantung pada
struktur tradisional dan karismanya. Sehingga menciptakan ketegangan antara tiga elemen
masyarat yaitu Belanda, priyayi, dan pemimpin desa.

Anda mungkin juga menyukai