Anda di halaman 1dari 4

O Bia Moloku dan O Bia Mokara

O Bia Moloku dan O Bia Mokara adalah dua orang kakak-beradik yang menjadi
yatim-piatu tersebab tidak mau mendengar nasehat ibunya. Suatu hari, mereka
dinasehati oleh ibu mereka agar tidak memakan telur ikan pepayana yang ada di dalam
lemari makan. Karena mereka tidak menghiraukan nasehat itu, akibatnya kedua orang
tuanya pun meninggal dunia. Mengapa sang Ibu melarang O Bia Moloku dan O Bia
memakan telur ikan pepayana tersebut, sehingga ia dan suaminya meninggal dunia?
Ikuti kisahnya dalam cerita O Bia Moloku dan O Bia Mokara berikut ini!

Alkisah, di sebelah utara Kepulauan Maluku, Indonesia, terdapat sebuah


kampung yang bernama Tobelo. Di kampung tersebut hidup seorang nelayan yang
bernama Beto. Ia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya di sebuah rumah kecil
yang beratapkan daun rumbia. Anak sulungnya seorang gadis cantik bernama O Bia
Moloku, sedangkan yang bungsu seorang anak laki-laki yang baru berumur dua tahun
bernama O Bia Mokara.
Untuk menghidupi keluarganya, Beto mencari ikan di laut dengan menggunakan jala
dan perahu kecil. Siang dan malam ia bertempur melawan keganasan gelombang laut
dan cuaca buruk yang seringkali mengancam keselamatannya. Meski demikian, ia tidak
pernah gentar menghadapi ancaman tersebut, karena ia memiliki kebiasaan yang
dipercaya dapat menjaga keselamatannya, yaitu kebiasaan menyimpan telur ikan
pepayana di rumahnya sebelum berangkat melaut.
Pada suatu hari, cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut
sangat ganas. Usai sarapan bersama istri dan kedua anaknya, Beto bersiap-siap untuk
pergi melaut. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya agar menyimpan telur
ikan pepayana dengan baik.
“Istriku! Cuaca di laut hari ini sangat tidak bersahabat. Tolong telur ikan pepayana itu
disimpan dengan baik!” pesan Beto.
“Baik, Bang! Jaga diri Abang baik-baik! Doa Adik selalu menyertai Abang,” ucap istri
Beto dengan hati yang tulus.
Setelah Beto menghilang dari pandangannya, sang Istri pun segera membungkus telur
ikan pepayana itu dengan rapi, lalu menyimpannya di dalam lemari kayu yang sudah
mulai lapuk. Setelah itu, ia bersiap-siap pergi ke kebun untuk mengambil sayur-sayuran.
Sebelum meninggalkan rumah, ia menasehati kedua anaknya agar tidak memakan telur
ikan pepayana itu.
“Moloku..., Mokara..., Anakku! Ibu mau pergi ke kebun. Kalian jangan memakan telur
ikan pepayana yang Ibu simpan di dalam lemari makan! Jika kamu memakannya, ayah
kalian akan terancam bahaya di tengah laut.”
Moloku dan Mokara tidak begitu menghiraukan nasehat itu. Hingga ibunya berlalu
berangkat ke kebun, mereka tetap saja asyik bermain di halaman rumah dengan canda
dan tawa. Menjelang siang hari, O Bia Mokara tiba-tiba merasa lapar sekali.
“Kak, aku lapar,” rengek O Bia Mokara sambil mengelus-elus perutnya.
Mendengar rengekan adiknya, O Bia Moloku pun segera ke dapur untuk
mengambilkannya makanan. Ketika membuka lemari makan, ia hanya mendapati
sepiring nasi, sepotong kepala ikan, dan sebungkus telur ikan pepayana. Karena teringat
dengan nasehat ibunya, O Bia Moloku hanya memberikan lauk kepala ikan itu kepada
adiknya. Namun, Mokara masih saja merengek.
“Kak, aku tidak mau kepala ikan. Aku mau makan telur ikan pepayana,” O Bia Mokara
kembali merengek.
“Jangan, Adikku! Bukankah tadi Ibu berpesan untuk tidak memakan telur ikan pepayana
itu,” bujuk O Bia Moloku.
Karena permintaannya tidak dipenuhi, O Bia Mokara menangis tersedu-sedu. O Bia
Moloku terus berusaha membujuknya. Namun, O Bia Mokara bukannya diam, tapi justru
ia menangis semakin menjadi-jadi sambil berguling-guling di tanah. O Bia Moloku tidak
tega melihat adiknya menangis terus-menerus. Akhirnya, ia pun memberikan telur ikan
itu kepada adiknya. Sambil tertawa O Bia Mokara melahap telur ikan itu tanpa tersisa
sedikit pun. Usai makan, ia kembali bermain dengan perasaan riang dan gembira.
Tak berapa lama kemudian, ibu mereka kembali dari kebun membawa singkong,
pepaya dan sayur-sayuran. Usai membersihkan badannya, sang Ibu segera ke dapur.
Betapa terkejutnya ia ketika membuka lemari makannya. Telur ikan yang disimpannya
sudah tidak ada lagi. Ia hanya mendapati bungkusan telur ikan itu. Dengan wajah
memerah, ia segera memanggil anak sulungnya yang sedang bermain di depan rumah.
“Moloku...! Kemarilah sebentar!” serunya.
Rupanya, O Bia Moloku tidak mendengar panggilan ibunya, karena sedang asyik
bermain bersama adiknya. Sang Ibu pun mulai kesal. Ia kembali berteriak dengan suara
yang lebih keras lagi. Tak berapa lama kemudian, O Bia Moloku pun datang.
“Ada apa, Bu?” tanya O Bia Moloku.
“Mana telur ikan pepaya yang ibu simpan di lemari ini?” tanya ibunya.
O Bia Moloku hanya terdiam dan sambil menunduk. Dia tidak berani menjawab
pertanyaan ibunya, karena takut dimarahi.
“Moloku...!?? Apakah kamu tidak mendengar pertanyaan Ibu?” bentak ibunya.
“Iii...i... iya, Bu! Saya mendengarnya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
“Kenapa kamu tidak menjawabnya?” tanya ibunya dengan nada kesal.
“Be... begini, Bu! Tadi O Bia Mokara menangis merengek-rengek ingin makan telur ikan
itu. Saya tidak tega melihatnya menangis terus, jadi saya terpaksa memberikannya,”
jawab O Bia Moloku bertambah gugup.
Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir.
Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat
buruk terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia
selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur
ikan pepayana tersebut benar-benar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah
mendapat bencana saat pergi melaut. Oleh karena merasa tidak berhasil menyimpan
telur ikan itu, ia pun yakin bahwa suaminya pasti mendapat bencana, apalagi cuaca di
laut sedang buruk sekali. Walaupun hatinya sangat marah, namun ia tidak tega
melampiaskan kemarahannya dengan menghukum kedua anaknya. Ia hanya berpesan
kepada anak sulungnya, O Bia Moloku, agar menjaga adiknya.
“Maafkan Ibu, Anakku! Ibu harus pergi. Jaga dan rawatlah adikmu baik-baik!” pesannya
kepada O Bia Moluku.
“Ibu mau ke mana? Jangan tinggalkan kami, Bu!” rengek O Bia Moluku.
Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, perempuan paruh baya itu segera berlari
menuju ke pantai. Hatinya sangat sedih, karena kedua anaknya tidak mau lagi menuruti
nasehatnya. O Bia Moloku pun sangat menyesali perbuatannya dan berusaha untuk
mencegah ibunya agar tidak pergi meninggalkan mereka.
“Maafkan kami, Bu! Ibu... jangan pergi!” teriak O Bia Moloku sambil menangis.
Berkali-kali O Bia Moloku berteriak, namun ibunya tetap tidak menghiraukannya. O Bia
Moloku segera menggendong O Bia Mokara, lalu mengejar ibunya. O Bia Mokara pun
terus menangis di dalam gendongannya. Setibanya di pantai, mereka mendapati ibu
mereka telah berada di tengah laut.
“Ibu... Ibu... kembalilah! O Bia Mokara menangis ingin menyusu!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang-katang, ada air susunya!” seru perempuan paruh baya itu.
O Bia Moloku pun segera mencari daun katang-katang yang banyak terdapat di sekitar
pantai. Setelah tiga kali O Bia Moloku memberikan air susu dari daun katang-katang
kepada adiknya, ibu mereka pun berenang menuju ke tengah laut. Betapa terkejutnya ia,
tiba-tiba sebuah batu karang muncul dari dasar laut dan menghadangnya. Ia pun naik di
atas batu itu dan berseru, “Terbukalah agar aku dapat masuk!”
Begitu batu karang tersebut terbuka, perempuan paruh baya itu pun segera masuk ke
dalamnya, dan kembali berseru, “Tertutuplah!” Seketika itu pula, batu karang itu
tertutup untuk selama-lamanya tanpa meninggalkan bekas. Sejak itu, perempuan paruh
baya itu tidak pernah keluar dari batu itu. O Bia Moloku dan O Bia Mokara pun menjadi
yatim piatu. Ibu mereka tertelan batu tersebut, sedangkan ayah mereka meninggal
dunia karena tertimpa musibah saat sedang melaut.

Demikian kisah O Bia Moloku dan O Bia Mokara dari daerah Maluku, Indonesia.
Cerita di termasuk kategori mitos yang hingga kini masih dipercayai oleh masyarakat
setempat. Cerita di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang tidak mau
mendengar nasehat atau petuah orang tua akan ditimpa musibah. Hal ini tercermin
pada perilaku O Bia Moloku dan O Bia Mokara yang tidak mau mendengar nasehat
ibunya untuk tidak memakan telur ikan pepayana yang disimpan dalam lemari.
Akibatnya, mereka pun menjadi yatim piatu. Ibu mereka meninggal karena tertelan batu
karang, sedangkan sang Ayah tewas akibat diterpa badai di tengah laut.
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat tidak mau mendengar nasehat orang lain,
khususnya nasehat orang tua, merupakan sifat tercela dan sangat dipantangkan, karena
sifat ini dapat mendatangkan malapetaka baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau tak mau mendengar nasehat,
alamat celaka dunia akhirat

kalau tak mendengar petuah orang,


martabat habis, marwah pun hilang
SEJARAH
INDONESIA
CERITA SEJARAH DI MALUKU DAN ATAU MALUKU UTARA
“O Bia Moloku dan O Bia Mokara”

DI SUSUN OLEH :
NAMA : KHUMAIRAH MOHTAR
KELAS : XII-MIPA1
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 8 KOTA
TERNATE
TAHUN AJARAN 2016/2017

Anda mungkin juga menyukai