Anda di halaman 1dari 9

Sistem Sewa Tanah Dan Tanam Paksa

A. Sistem Sewa Tanah


1. Latar Belakang
Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintahan Inggris, yaitu pada
tahun 1811, Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Indonesia.  Pada masa pemerintahan
Inggris yang paling terkenal adalah masa pemerintahan Raffles. Masa pemerintahan Inggris
terbilang cukup singkat yaitu hanya lima tahun terhitung mulai tahun 1811 sampai dengan 1816.
Tujuan utama Raffles adalah untuk mengembangkan kekuasaan Inggris. Kebijakan Rafles
yang terkenal adalah sistem sewa tanah, yaitu sistem pertanian dimana para petani atas
kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops) yang dapat diekspor keluar negeri.
Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali dikuasai
oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua” penjajahan ini, yang sangat terkenal
adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Pelaksanaannya pun dimulai
pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut.
Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-
penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles
serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak
yang tidak sedikit bagi kehidupan gangsa Indonesia.
Sistem sewa tanah dijalankan oleh Inggris, yaitu pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Stamford Raffles. Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang
baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas, antara lain:
a) Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan
rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi
kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam;
b) Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka
dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pememrintahan
yang sesuai, perhatian mereka harus terpusat pada pekerjaan-pekerjaan umum yang dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c) Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah.
Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas
pemakaian tanah pemerintah.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a) Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto;
b) Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto;
c) Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.

2. Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah


Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816)
oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa tanah dari
sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran pokok
mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya
bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada mulanya
dapat dibayar dalam bentuk uang atau barang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya lebih
banyak berupa pembayaran uang. Pengalaman dan pelaksanaan sewa tanah ini, oleh Gubernur
Jenderal Stamford Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman penerapan perkembangan
perekonomian colonial pada masa penguasaan Inggris di India. Gubernur Jenderal Stamford
Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan,
dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Rafflesingin memberikan kepastian
hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal
Stamford Rafflesini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan
semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie
(persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana
unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana
Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai perangkat
(struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah.
Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai
penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan
melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :
a) Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yang dulu
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern
yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena rafles sendiri adalah seorang liberal.
Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan
kepala tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka
dikurangi ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut
digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
b) Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian
pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi  seluruh desa. Dalam
mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desa diberikan kebebaskan oleh VOC untuk
menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. pada
masa  sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan
seluruh desa.
c) Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport.
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang
merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah
mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual
tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri
tanaman yang mereka tanam.

3. Tujuan Sistem Sewa Tanah


Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford
Raffles mengandung tujuan sebagai berikut:
a. Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotovasi
mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik;
b. Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli baranng-barang
industri Inggris;
c. Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap;
d. Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani;
e. Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.
Perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah, dapat
dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan yang
sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara pemerintah dan rakyat.
Jadi, perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara ekonomi, tetapi juga perubahan
sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang
belum pernah dikenal. Yaitu, digantikannya sistem tradisional yang berdasarkan atas hukum
feodal, menjadi sistem ekonomi yang didasarkan atas kebebasan. Secara singkat perubahan
tersebut, antara lain:

a. Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebas sukarela;


b. Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang berdasarkan
perjanjian;
c. Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi semakin longgar, akibat pengaruh
barat.

4. Kegagalan Sistem Sewa Tanah


Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilaksanakanan oleh Gubernur Jenderal Stamford
Raffles, menemui beberapa kegagalan. Dalam melaksanakan sistem sewa tanah tersebut, Jenderal
Stamford Raffles menemui banyak hambatan-hambatan yang berakibat gagalnya system sewa
tanah. Hamatan-hambatan yang dihadapinya antara lain:

a. Keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap jumlahnya terbatas;


b. Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat India yang sudah mengenal perdagangan
ekspor. Masyarakat Jawa pada abad IX masih bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
belum banyak mengenal perdagangan;
c. Sistem ekonomi desa pada waktu itu belum memungkinkan diterapkannya ekonomi uang;
d. Adanya pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup;
e. Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak digarap.

5. Dampak Sistem Sewa Tanah


  Diperkenalkannya sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi
dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah
dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun.
Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras
dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah
dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka
yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu
itu hanyalah primus inter pares (yang pertama diantara lain-lainnya yang sederajat) dari penduduk
desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa
adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak mendapat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas
pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.

B. Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)


1. Latar Belakang Tanam Paksa
a. Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah
Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut
semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah
berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan
semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan
jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan
pendapatan utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini
berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan
keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang
Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi
perlawanan dari pihak pribumi.

b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa


Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.
Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang
berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara)
tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksaKetentuan pokok
sistem tanam paksa, antara lain:
 Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami
tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu
tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
 Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
 Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
 Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya
tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam
supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
 Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang
memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik.
Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja
sepanjang tahun terus-menerus;
 Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
 Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik
pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
 Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai
Eropa hanya sebagai pengawas.

2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa


a. Penyimpangan Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa
yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam
paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1) Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya
dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal
seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah
mereka;
2) Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun
dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah
3) Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun
dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;
4) Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal
manakan harus disediakan sendiri;
5) Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai
dengan perjanjian;
6) Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7) Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu
memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak;
8) Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri.
Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga
hasilnya kurang maksimal;
9) Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.

b. Luas Penanaman Dan Jenis Tanaman


Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenarnya tak pernah
mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya
menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada.
Sekalipun areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi
seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833: 

Jenis Tanaman Luas Tanah (dalam bahu)


Tebu 32,722
Nila (indigo) 22,141
Teh 324
Tembakau 286
Kayu Manis 30
Kapas 5
Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain
kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang
terpenting adalah tebu dan nila (indigo)

3. Penghapusan Sistem Tanam Paksa

A. Dampak Sistem Tanam Paksa

Dampak dari diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa dapat dirangkum sebagai berikut:

1) Produksi tanaman perdagangan untuk pasar Eropa meningkat luar biasa. Produksi padi
dan tanaman perdagangan untuk pasar lokal mandek atau memburuk
2) Meningkatnya tekanan atas tanah, tetapi tekanan atas tenaga kerjalah yang melupakan ciri
paling penting dari sistem ini.
3) Permintaan yang meningkat akan tenaga kerja ini tidak hanya melupakan akibat dari
sistem baru berupa kerja paksa, tetapi juga akibat meningkatnya ketergantungan pada kerja
kuli membangun jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan, benteng, gedung, dan pabrik, serta
permintaan akan transportasi dan tenaga kerja di bidang industry. Prasarana yang lebih
baik merupakan salah satu dampak sampingan itu.
4) Moneterisasi yang semakin meningkat adalah soal lain lagi. Ini tentu tidak berarti bahwa
jawa sebelum 1830 adalah sebuah Naturalwirtschaft.
5) Kedudukan para bupati dinaikan bersamaan dengan penerimaan mereka pada budi daya
dan peran baru mereka sebagai pengawas tanaman yang diwajibkan sistem tanam paksa.
6) Kepala desa kini diawasi lebih ketat, terutama oleh pengumpul pajak dari pihak belanda.
Keadaan ekonomi pengumpul pajak ini mengalami perbaikan karena ia juga mendapat
bagian dari barang rampasan itui (persentase budi daya).
7) Perubahan pemilikan tanah pribumi secara turun temurun tetap berjalan
8) Sistem ini menghasilkan cukup banyak bahan statistic. Di sini saya hanya menyebut
laporan budidaya tahunan (cultuur verslag, disingkat CV) sejak tahun 1834, dan laporan
Kolonial tahunan (koloniaal verslag, disingkat KV) sejak 1849.

Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak
Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan
yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup.
Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan oleh
bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1. Bagi Belanda

 Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran
Eropa;
 Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa
tanam paksa mendapatkan keuntungan;
 Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada
tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta
gulden.

2. Bagi Indonesia
 Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
 Beban pajak yang berat
 Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;
 Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
 Jumlah penduduk Indonesia menurun;
 Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
 Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.

Anda mungkin juga menyukai