menafkahkan harta di waktu lapang dan sempit. Tentunya kita sudah sering mendengar cerita
bagaimana ketika Sayyidina Ali Bin Abi Thalib melakukan puasa nazarnya selama tiga hari
berturut-turut ketika Allah SWT berikan kesembuhan kepada kedua anaknya, yaitu sayyidina
Hasan dan sayyidina Husein. Dalam riwayat diceritakan bahwa Sayyidina Ali melakukan
puasa bersama istrinya, yaitu sayyidah Fatimah Azzahra dan kedua anaknya. Dalam tiga hari
tersebut, keluarga mulia ini selalu didatangi oleh orang-orang yang meminta shadaqah saat
berbuka puasa. Sementara makanan buka puasa mereka itulah rezeki yang mereka miliki saat
itu, dan makanan buka puasa itu hanyalah sepotong kurma dan sedikit air. Namun, kondisi
seperti ini tidak menghalangi sayyidina Ali untuk memberikan kurma yang menjadi makanan
buka puasanya tersebut kepada miskin, yatim, dan tawanan perang yang mendatangi
rumahnya selama tiga hari berturut-turut. Bahkan istri dan kedua anaknya pun ikut
memberikan kurma bagiannya kepada orang-orang tersebut.
Sepotong kurma yang menjadi satu-satunya makanan berbuka puasa diberikan
kepada mereka yang membutuhkan. Kondisi sempit seperti itu mampu dilalui oleh sayyidina
Ali dan keluarganya dengan tetap menafkahkan apa yang mereka miliki saat itu. Di sana kita
belajar tentang pengorbanan dan ikhlas dalam amal. Tentunya ini menjadi renungan bagi kita
untuk mencapai predikat taqwa tersebut dengan menafkahkan sebagian harta kita tidak hanya
di waktu lapang, namun juga di waktu sempit.
Kedua, Allah katakan dalam ayat 134, menahan amarah yang kemudian
dilanjutkan dengan memaafkan sesama. Menahan amarah dan memaafkan merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Dalam kehidupan sosial, disadari atau tidak,
kita sebagai manusia tentu pernah mendapatkan masalah. Selesai satu masalah, kemudian
datang masalah yang lain. Masalah-masalah ini tentunya menguji kesabaran kita. Ada yang
mampu bersabar, ada juga yang meluapkannya dengan amarah. Dalam sabdanya, Rasulullah
Saw mengatakan bahwa, orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang berkelahi,
tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya di waktu marah (H.R.
Bukhari). Setelah menahan amarah, sikap memaafkan meninggikan derajat manusia di
hadapan Allah SWT sebagai manusia bertaqwa. Dalam Al-Quran tidak ditemukan satu
ayatpun yang memerintahkan manusia untuk meminta maaf kepada sesamanya. Namun
begitu banyak ayat dalam Al-Quran yang memerintahkahkan manusia untuk memaafkan.
Memaafkan tentunya dengan ikhlas tanpa mengungkit-ungkit kembali permasalahan yang
telah kita maafkan tersebut. Karena ada saja kita yang mampu menahan amarah tetapi tidak
memaafkan, atau memaafkan tetapi tidak mau bersilaturahim dan tegur sapa. Tentunya tidak
2 | Page
demikian yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini. Memaafkan berarti melupakan kesalahan
orang yang kita maafkan tanpa syarat apapun.
Ketika kejahatan kita balas dengan kejahatan, penghinaan kita balas dengan
penghinaan, fitnah kita balas dengan fitnah, membeberkan aib kita balas dengan
membeberkan aib, apa gunanya kita sekolah tinggi-tinggi dan belajar agama yang banyak
kalau kita hanya meniru keburukan orang lain. Sebetulnya kita belajar dan kita meningkatkan
pemahaman agama itu agar kita bisa berbuat lebih baik. Orang menghina, kita bisa berkata
dengan lebih baik. Tahukah kita kalau Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Alihi Wasallam tidak
pernah membalas keburukan dengan keburukan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra
ayat 7, Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika
kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri .... Ini adalah sebuah ayat
yang secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa kebaikan itu kembali kepada
pembuatnya dan keburukan kembali kepada pelakunya. Jadi jika ada yang berbuat buruk
kepada kita dengan perkataan dan sikap buruk, tanpa kita balas pun itu sudah pasti kembali
kepada dirinya, dan yang kembali kepada kita adalah sikap kita sendiri. Penghinaan tidak
akan pernah mencelakakan kita kecuali mencelakakan dirinya sendiri. Kita hanya akan hina
dan celaka kalau kita berperilaku hina dan menghina orang lain. Oleh karena itu, jangan galau
dengan keburukan orang, tapi galaulah ketika kita berhati buruk, berpikir buruk, berbicara
buruk, dan bersikap buruk, karena itulah yang sebenarnya menjadi petaka bagi diri kita
sendiri. Percayalah dan yakinlah, tidak ada yang tertukar, setiap perbuatan kembali kepada
pelakunya.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk melakukan tiga hal yang
ada pada surat Al-Imran ayat 134 ini. Semoga kita semua mampu meraih predikat taqwa di
sisi Allah SWT. Wallahu Alam Bish-Shawab.
3 | Page