Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“ATRIBUSI SOSIAL”
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial Islam
Dosen Pengampu: Aisyah Khumairo, M.Pd.I.

Disusun oleh
Kelompok 4

Fitri Taf Dilla (1904032007)


Lena Liana (1904030005)
Intan Wulandari (1904030004)

KELAS A
JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)
FALKUTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG
2020 M/1441 H

2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt. kami panjatkan puji dan


syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Psikologi Sosial Islam tentang “Atribusi Sosial”.
Makalah ini telah kami susun sebaik mungkin dan tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memperlancar kami
dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua ini, kami
menyadari bahwasannya kami masih memiliki banyak kekurangan
dalam menyusun makalah ini. Maka dari itu, kami dengan terbuka
menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki kesalahan dalam makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang atribusi
sosial yang telah kami susun dapat bermanfaat dan menginspirasi
para pembaca sekalian.

Metro, 16 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Atribusi Sosial..............................................................................3
B. Kapan Atribusi Sosial Dilakukan?.................................................................6
C. Menganalisis Faktor Penyebab......................................................................7
1. Sumber Faktor Penyebab (Locus of Causality) ......................................7
2. Stabilitas Faktor Penyebab (Stability) ....................................................8
3. Kemampuan Mengendalikan (Controllability) ......................................9
D. Teori-teori Atribusi Sosial..............................................................................9
1. Theory of Naive Psychology....................................................................10
2. Correspondent Inference Theory............................................................12
3. Covariation Theory.................................................................................13
E. Kesalahan-kesalahan Atribusi Sosial.............................................................15
1. Kesalahan Dasar Atribusi........................................................................15
2. Actor-Observer Effect.............................................................................15
3. Self Serving Bias......................................................................................16
4. False Consensus Effect............................................................................19
5. Self-Centered Bias...................................................................................19
6. Blaming The Victim.................................................................................20

ii
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................21
B. Saran...............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kehidupan sosial itu merupakan
kompleks yang mengandung banyak informasi yang kadang tidak jelas
keterkaitannya satu sama lain. Untuk menyederhanakan proses pengolahan
informasi dan membuat komunikasi sosial lebih efisien, kita kemudian
membuat skema sosial dan melakukan kategorisasi. Dengan proses tersebut,
kita berharap dapat memahami dan mempunyai kendali terhadap lingkungan
sosial dengan lebih baik.
Selain itu, sebenarnya terdapat proses lain yang tidak kalah pentingnya,
yaitu upaya kita memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu
kejadian atau sering disebut causal attribution. Kita selalu berusaha tahu
tentang motivasi di balik perilaku-perilaku, faktor-faktor yang mendorong
suatu perilaku muncul, dan mengambil kesimpulan mengenai karakteristik
dari orang-orang yang ada di balik perilaku tersebut. Proses ini dalam
psikologi sosial disebut atribusi sosial.
Dalam pokok bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai atribusi
sosial dimana kita melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Atribusi sosial
bisa akurat atau keliru. Supaya atribusi sosial kita terhindar dari kesalahan
ada baiknya kita memerhatikan stabilitas faktor penyebab, sumber faktor
penyebab, dan kemampuan mengendalikan faktor penyebab.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan atribusi sosial?
2. Kapan atribusi sosial dilakukan?
3. Bagaimana cara menganalisis faktor penyebab?
4. Apa saja teori-teori atribusi sosial?
5. Apa saja kesalahan-kesalahan dalam atribusi sosial?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian atribusi.
2. Untuk mengetahui kapan atribusi sosial dilakukan.
3. Untuk mengetahui cara menganalisis faktor penyebab.
4. Untuk mengetahui teori-teori atribusi sosial.
5. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan dalam atribusi sosial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Atribusi Sosial


Menurut Baron & Byrne dari Heider dalam Trope & Gount. atribusi
sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari perilaku
orang lain sehingga mendapatkan pengetahuan mengenai karakteristik stabil
dari orang tersebut. Atribusi sosial ini bersifat abstrak, ambigu, dan normatif.
Abstrak berarti atribusi merupakan abstraksi mental yang berusaha mengubah
sesuatu yang sifatnya konkret-kontekstual menjadi sesuatu yang sitatnya
abstrak dan umum; ambigu berarti atribusi merupakan proses pereduksian
informasi yang sifatnya tidak pasti. Trope & Gount berpendapat bahwa
perilaku yang sifatnya kompleks direduksi sedemikian rupa menjadi
representasi yang bersifat abstrak. Tentu hal itu dilakukan setelah
menghilangkan beberapa bagian dari konteks perilaku yang dianggap tidak
penting; dan normatif berarti atribusi melibatkan proses penilaian yang
kemudian akan dipakai di dalam memahami, memprediksi, dan
mengendalikan lingkungan.
Atribusi tampak merupakan proses yang cenderung subjektif. Atribusi
boleh jadi didasarkan pada informasi-informasi yang bersifat objektif, tapi
kemudian informasi tersebut mengalami reduksi dan simplikasi. Dalam
melakukan atribusi, kita kadang menganggap cukup dengan informasi-
informasi yang tersedia dalam kognisi kita. Kita tidak merasa perlu untuk
memvalidasi ketercukupan dan kebenaran informasi tersebut. Berdasarkan
informasi tersebut, kita kemudian melakukan penilaian normatif yang tentu
saja dipengaruhi oleh norma subjektif yang diyakini. Dalam konteks ini,
perbedaan individual akan sangat berpengaruh terhadap variabilitas atribusi
yang dilakukan. Pujian yang disampaikan orang lain pada kita, misalnya, bisa
diatribusikan sebagai ungkapan yang tulus, munafik, atau biasa-biasa saja.
Kita melakukan atribusi karena ingin mengetahui faktor penyebab dari
suatu perilaku. Kita ingin mengetahui mengapa orang tua tidak pernah

3
memberikan pujian, mengapa seorang teman selalu menunjukkan perhatian
pada kita, mengapa seorang guru tampak murung di suatu kesempatan, atau
mengapa serentetan musibah menimpa tetangga kita. Faktor penyebab dari
suatu perilaku tentu sangat beragama. Tapi menurut Pennington, penyebab
secara umum dari suatu perilaku bisa bersifat internal (dispositional
attribution) atau eksternal (situational attribution); spontan (spontaneous
attribution) atau pertimbangan (deliberative attribution); terencana
(voluntary attribution) atau tidak terencana (non voluntary attribution).1
Kita boleh jadi mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor internal
atau eksternal. Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang melekat
pada diri kita seperti pengetahuan, emosi, keterampilan, kepribadian,
motivasi, kemampuan motorik, ataupun usaha, sedangkan faktor penyebab
eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri kita seperti situasi dan
kondisi, cuaca, orang laih, alam, dan lain-lain. Di saat mendapatkan nilai
ujian yang tidak sesuai dengan harapan, kita biasanya mencari-cari faktor-
faktor penyebab yang dapat menjelaskan kejadian yang dianggap tidak
menyenangkan tersebut. Kemudian, berdasarkan pemrosesan kognitif yang
dilakukan, kita bisa saja berkesimpulan bahwa nilai buruk tersebut karena kita
memang kurang sungguh-sungguh dalam belajar (internal atau dispositional
attribution) atau karena soal yang diberikan dosen memang memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi (eksternal atau situational attribution).
Atribusi sosial bisa juga berlangsung secara spontan atau melalui
pertimbangan dan proses berpikir yang panjang. Faktor motivasi, potensi
risiko, kemampuan, dan/atau keterlibatan personal sangat berpengaruh pada
apakah atribusi tersebut itu dilakukan dengan pertimbangan yang mendalam
atau dengan pertimbangan spontan. Untuk hal-hal yang dinilai tidak terlalu
penting, atribusi sosial kadang hanya didasarkan pada stereotip, kesan
pertama, ataupun shortcut mental lainnya. Faktor lainnya yang berpengaruh
pada atribusi adalah gaya atribusi. Sebagian orang memang memiliki gaya

1
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 102-103.

4
atribusi yang sifatnya spontan. la mengatribusikan banyak hal secara spontan.
Sebaliknya, ada juga orang yang gaya atribusinya penuh pertimbangan.
Orang dengan gaya atribusi penuh pertimbangan memikirkan dengan
saksama setiap atribusi yang dilakukannya.
Terakhir, atribusi sosial bisa dilakukan secara terencana atau tidak
terencana. Perilaku-perilaku yang disebabkan oleh faktor emosi, misalnya,
sering kali diatribusikan sebagai tidak terencana dan pelaku tidak memiliki
control terhadap perilakunya.
Berkaitan dengan atribusi sosial, Islam memberikan perhatian yang
cukup besar terhadap atribusi sosial ini. Sebagai realitas yang alami, manusia
tidak bisa mengelak dari atribusi sosial. Maka, Islam memberikan pesan
moral untuk hati-hati dalam melakukan atribusi sosial ini. Islam mengajarkan
pada kita untuk tidak berburuk sangka dalam QS. Al-Hujuraat [49]: 6;
menjauhi persangkaan tanpa pengetahuan dalam QS. A1-Hujuraat [49]: 9;
tidak mudah percaya pada informasi dari orang fasik; dan tidak menuduh
tanpa bukti dalam QS. An-Nur [24]: 4.2

ِ ُ‫ق بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَ ْن ت‬


‫ َعلَ ٰى‬J‫ بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوا‬J‫صيبُوا قَوْ ًما‬ ٌ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس‬
َ‫َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين‬

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.3

‫َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى‬ ْ ‫ بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ‬J‫َوإِ ْن طَائِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا‬
ۖ ‫ت فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا‬ْ ‫فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي َحتَّ ٰى تَفِي َء إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء‬
َ‫إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬

2
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial... Op. Cit., hlm. 103-105.
3
Al-Qur’an, 49; 6.

5
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itiu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.4

‫م ثَ َمانِينَ َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَلُوا‬Jُْ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأَرْ بَ َع ِة ُشهَدَا َء فَاجْ لِدُوه‬
ِ ‫صنَا‬َ ْ‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ ْال ُمح‬
َ‫اسقُون‬ ِ َ‫ك هُ ُم ْالف‬ َ ِ‫لَهُ ْم َشهَا َدةً أَبَدًا ۚ َوأُو ٰلَئ‬

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat


zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-
orang yang fasik.5

B. Kapan Atribusi Sosial Dilakukan?


Atribusi sosial tidak dilakukan setiap saat. Menurut Taylor, Peplau, dan
Sear, paling tidak ada dua situasi yang sering kali mengundang dilakukannya
atrribusi sosial, yaitu:
1. Situasi yang tidak diharapkan atau tidak biasa. Sesuatu yang terjadi
sesuai dengan harapan, biasanya tidak mengundang atribusi sosial,
sedangkan situasi yang tidak diharapkan akan menggoda kita untuk
mengetahui penyebab-penyebab dari situasi tersebut. Seorang teman
yang dikenal penyabar, tapi tiba-tiba menunjukkan perilaku agresif akan
memaksa kita melakukan atribusi mengenai perilaku agresifnya tersebut.
2. Situasi negatif, menyakitkan, dan tidak menyenangkan. Seorang
mahasiswa yang optimis akan mendapatkan nilai A, karena merasa bisa
mengerjakan semua soal yang diujikan akan melakukan atribusi sosial

4
Al-Qur’an, 49; 9.
5
Al-Qur’an, 24; 4.

6
jika ternyata ia mendapatkan nilai C atau D. la akan mencari-cari
jawaban dari peristiwa yang tidak sesuai harapan tersebut.6

C. Menganalisis Faktor Penyebab


Perilaku selalu merupakan bentukan darı faktor-taktor penyebab tertentu.
Untuk memahami suatu perilaku dengan baik, maka faktor-faktor penyebab
perilaku tersebut sebaiknya dianalisis dengan baik pula.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam rangka menganalisis
faktor penyebab suatu perilaku. Menurut Taylor, Peplau, dan Sear, terdapat
tiga dimensi kausalitas. Pertama, locus of causality atau apakah faktor
penyebab perilaku itu bersumber dari faktor eksternal atau faktor internal.
Kedua, stability atau apakah faktor penyebab tersebut bersifat stabil atau tidak
stabil dan ketiga controllability atau apakah faktor penyebab tersebut dapat
dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan?

1. Sumber Faktor Penyebab (Locus of Causality)


Dimensi ini mengacu pada pertanyaan apakah factor penyebab
perilaku itu bersumber dari faktor internal atau faktor eksternal. Atribusi
terhadap sumber penyebab dari suatu perilaku mempunyai dua alternatif,
yaitu apakah perilaku tersebut dikarenakan faktor internal atau karena
faktor eksternal. Jika teman kita yang biasanya disiplin tiba-tiba
terlambat masuk kantor. Kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan
“mengapa teman kita itu terlambat?” bisa mengacu pada penyebab
perilaku yang bersifat internal (misal: telat bangun tidur, sakit, sengaja
sebagai protes terhadap sistem kerja baru, atau lagi malas masuk kantor)
atau penyebab perilaku yang bersifat eksternal (misal: terjebak macet,
anaknya sakit, ban mobilnya kempes, atau mengantar anak ke sekolah).
Yang harus diingat adalah bagaimana kita menentukan sumber
faktor penyebab suatu perilaku, apakah internal ataupun eksternal, akan
memengaruhi kesan kita terhadap seseorang. Biasanya, perilaku buruk

6
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial... Op. Cit., hlm. 106.

7
yang diatribusikan karena faktor internal akan menimbulkan kesan
negatif; perilaku buruk yang diatribusikan karena faktor eksternal tidak
akan menimbulkan kesan negatif; perilaku baik yang diatribusikan
karena faktor internal, akan menimbulkan kesan positif; dan perilaku
baik yang diatribusikan karena faktor eksternal, akan menimbulkan kesan
negatif.

2. Stabilitas Faktor Penyebab (Stability)


Selain pertanyaan “apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh faktor
internal atau faktor eksternal?”, pertanyaan lain yang harus dijawab
dalam rangka menganalisis perilaku adalah “apakah faktor penyebab
perilaku tersebut bersifat stabil atau tidak stabil?”. Stabil-tidak stabil
disini bersifat relatif. Misalnya, “terlambat karena macet” bisa dianggap
karena faktor eksternal yang sifatnya stabil atau tidak stabil. Jika
macetnya sudah menjadi kebiasaan, maka macet bisa dianggap faktor
penyebab eksternal yang bersifat stabil. Lain lagi, jika macet tersebut
karena ada kecelakaan lalu lintas, maka macet tersebut termasuk faktor
penyebab eksternal yang bersifat tidak stabil.
Apakah faktor penyebab tersebut bersifat stabil atau tidak stabil
berpengaruh terhadap bagaimana kita menilai orang lain. Jika perilaku
teman yang telat masuk kantor karena macet tersebut, kita anggap karena
faktor eksternal stabil, penilaian kita akan lebih negatif daripada kita
anggap karena faktor eksternal tidak stabil. Hal ini karena berhubungan
dengan kemampuan di dalam mengendalikan faktor penyebab.
Asumsinya, faktor penyebab eksternal yang bersifat stabil mestinya dapat
diantisipasi. Jika berangkat kantor jam enam pagi selalu telat karena
macet, maka berangkat kantor lebih pagi mungkin akan menyelesaikan
masalah.

8
3. Kemampuan Mengendalikan (Controllability)
Dimensi ini menunjuk pada sejauh mana faktor penyebab perilaku
dapat kita kendalikan. Baik faktor penyebab internal-eksternal maupun
stabil-tidak stabil bisa bersifat dapat dikendalikan atau tidak dapat
dikendalikan. Faktor penyebab internal yang dapat dikendalikan
berhubungan dengan sejauh mana usaha yang kita keluarkan, sedangkan
faktor penyebab internal yang tidak dapat dikendalikan berhubungan
dengan keterbatasan fisik, tingkat kecerdasan, atau hambatan mental.
Faktor penyebab eksternal yang dapat dikendalikan berhubungan dengan
faktor-faktor eksternal yang masih bisa diantisipasi atau diatasi,
sedangkan faktor penyebab eksternal yang tidak dapat dikendalikan
seperti bencana alam, sakit, atau peristiwa-peristiwa mendadak lainnya.7

D. Teori-Teori Atribusi Sosial


Teori ini merupakan teori yang ingin menjelaskan tentang perilaku
seseorang. Apakah perilaku ini disebabkan oleh faktor dalam, yaitu yang
merupakan disposisi internal, missal sikap, sifat-sifat tertentu ataupun aspek-
aspek internal yang lain, ataukah disebabkan oleh keadaan eksternal, missal
situasi. Teori ini dikemukakan oleh Fritz Heider dalam Baron & Byrne, yang
menurutnya perilaku manusia itu dapat disebabkan karena faktor internal, dan
ini disebut atribusi internal, atau dapat disebabkan oleh faktor eksternal, dan
ini yang disebut atribusi eksternal. Dalam teori atribusi ini ada dua teori yang
menonjol, yaitu teori yang dikemukakan oleh Jones dan Davis, dan teori yang
dikemukakan oleh Kalley dalam Baron & Byrne.
Untuk mengetahui tentang orang-orang yang ada disekitar kita dapat
melalui beberapa macam cara, yaitu:
1. Dengan melihat apa yang ditampakkan oleh orang yang bersangkutan
secara fisik, seperti cara berpakaian, dan cara penampilan diri.
2. Langsung menanyakan kepada yang bersangkutan, missal tentang
pemikirannya, dan tentang motifnya.

7
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial... Op. Cit., hlm. 106-109.

9
3. Dari perilaku orang yang bersangkutan, overt action, ini merupakan
sumber yang penting dari yang bersangkutan.
Kelihatannya hal ini merupakan keadaan yang sederhana, namun
sebenarnya merupakan hal yang cukup sulit. Hal tersebut karena orang sering
mencari jalan untuk mengelabuhi orang lain, sehingga apa yang ada dalam
dirinya yang sebenarnya akan ditutupi, karenanya ada kemungkinan orang
lain dapat terkecoh. Di samping itu perilaku sering bersumber pada keadaan
eksternal diluar kontrol individu yang bersangkutan, tidak dari sifatnya atau
diposisinya.
Misalnya, seorang calon (dalam pemilihan) mencium anak yang
digendong, dan juga menyalami orang-orang yang ada disekitarnya. Apakah
orang ini secara internal merupakan orang yang ramah, yang semanak, atau
karena faktor lain, yaitu agar orang yang bersangkutan memilih dirinya.
Dengan demikian timbul pertanyaan apakah perilaku individu itu merupakan
perilaku yang didasarkan atas sifat-sifat internal, atau karena faktor eksternal
yang bersifat temporer (misalnya karena ada pemilihan).8
Untuk sampai pada kesimpulan mengenai penyebab perilaku orang lain,
ada beberapa informasi yang bisa digunakan supaya kesimpulan kita menjadi
lebih akurat. Allah Swt. mengisyaratkan bahwa kita tidak boleh hanya
mengikuti persangkaan belaka, tanpa didukung oleh pengetahuan.9
Supaya bisa memahami dengan baik bagaimana proses atribusi sosial itu
dilakukan ada baiknya disampaikan lima teori atribusi berikut ini: Theory of
Naive Psychology dari Fritz Heider, Correspondent Inference Theory dari
Jones dan Davis, dan Covariation Model dari Harold Kelley.

1. Theory of Naive Psychology


Menurut Heider, kita secara alamiah dapat mengetahui hubungan
sebab-akibat antara beberapa informasi. Kita selalu menarik makna dari
kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita dan menggunakannya untuk

8
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 59-60.
9
Al-Qur’an, 53; 2.

10
memahami dunia sosial. Oleh karena itu, untuk memahami dunia sosial
dengan baik, kita bisa meminta bantuan Common Sense Psychology atau
Naive Psychology.
Dengan menggunakan common sense, kita membuat kesimpulan-
kesimpulan seperti:
a. Waktu antara dua peristiwa berpengaruh pada apakah suatu
hubungan sebab-akibat dapat disimpulkan atau tidak. Dua peristiwa
yang terjadi dalam waktu yang berdekatan lebih berpotensi
disimpulkan mermpunyai hubungan sebab akibat daripada dua
peristiwa yang terjadi dalam waktu yang berjauhan.
b. Urutan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya juga
berpengaruh pada penentuan peristiwa mana yang diduga sebagai
penyebab, dan peristiwa mana yang diduga sebagai akibat. Peristiwa
yang terjadi duluan berpotensi dianggap sebagai penyebab,
sedangkan peristiwa yang terjadi kemudian berpotensi dianggap
sebagai akibat.
c. Kesamaan antara dua perisiwa berpengaruh pada apakah suatu
hubungan sebab-akibat dapat diketahui atau idak. Dua peristiwa
yang memiliki kesamaan berpotensi disimpulkan mempunyai
hubungan sebab akibat daripada dua peristiwa yang tidak memiliki
kesamaan.
d. Suatu peristiwa sering kali dianggap sebagai akibat dari penyebab
tunggal. Akibatnya, kita sering kali overestimate terhadap pengaruh
satu faktor penyebab terhadap suatu peristiwa dan mengabaikan
faktor-faktor penyebab lain yang berpotensi berpengaruh.
Heider juga tertarik untuk menjelaskan persepsi terhadap tingkat
pertanggungjawaban dari suatu perilaku. Menurutnya, terdapat tingkat
pertanggungjawaban dari suatu perilaku: association responsibility yaitu
pertanggungjawaban yang dibebankan pada orang yang tidak melakukan;
causal responsibility without foreseeability, causal responsibility with
foreseeability, intensional responsibility, justifiable responsibility.

11
2. Correspondent Inference Theory
Teori Correspondent Inference dikemukakan oleh Edward E. Jones
dan Keith Davis pada tahun 1965. Teori ini merupakan sistematisasi dari
teori Hieder dalam Augoustious & Walker. Menurut Bordens &
Horowitz dalam Augoustious & Walker, teori ini menjelaskan proses
yang digunakan orang-orang di dalam melakukan atribusi internal
terutama ketika perilaku yang diamatinya tidak mudah dipahami. Teori
ini dinamai correspondent inference theory karena berpandangan bahwa
kita mempunyai kecenderungan untuk menyimpulkan perilaku orang lain
disebabkan oleh karakteristik internal atau keyakinan yang dimilikinya.
Asumsi dasar dari teori correspondent inference adalah bahwa perilaku
merupakan sesuatu yang mempunyai makna. Dengan menganalisis
perilaku, kita bisa mendapatkan penjelasan disposisional arau
karakteristik internal dari pelakunya. Asumsi yang lain adalah bahwa kita
memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menyimpulkan
karakteristik orang lain berdasarkan perilaku yang ditampakkannya.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka analisis informasi mengenai suatu
perilaku menjadi sangat penting dan dapat dimanfaatkan unuk
mengetahui karakteristik internal dari pelaku.
Jone & Davis dalam Augoustious & Walker berpendapat ada tiga
faktor yang harus diperhatikan ketika mengatribusikan suatu perilaku
dikarenakan faktor disposisional atau internal, yaitu sebagai berikut:
a. Non-common effect. Kita cenderung memilih perilaku yang lumrah
dan mengandung konsekuensi yang sifatnya umum. Ketika
seseorang melakukan suatu tindakan yang mengandung risiko yang
tidak biasa maka kita bisa mengatribusikan perilaku itu diduga
dikarenakan faktor disposisional atau internal. Artinya orang tersebut
memang memiliki niat untuk melakukan perilaku tersebut dan
perilaku tersebut muncul karena karakteristik internal darí orang
tersebut.

12
b. Low-social desirability. Kita mempunyai kecenderungan untuk
melakukan perilaku-perilaku yang secara sosial diharapkan. Ketika
ada orang yang melakukan tindakan-tindakan yang secara sosial
diharapkan, maka kita tidak bisa mengatribusikan perilaku orang
tersebut karena faktor disposisional ataupun internal. Sebab, perilaku
tersebut boleh saja karena keinginan untuk konform terhadap
harapan-harapan masyarakat. Sebaliknya, orang yang menunjukkan
perilaku yang bertentangan dengan harapan masyarakat, maka
perilaku itu bisa diduga karena faktor disposisional atau internal.
c. Hedonic relevance atau personalism. Kita mempunnyai
kecenderungan melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan
bagi diri kita sendiri. Perilaku yang relevansi hedoniknya tinggi
cenderung dikarenakan faktor internal, sebaliknya perilaku yang
dapat merugikan diri sendiri cenderung dikarenakan faktor eksternal.
Jadi, menurut teori ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena
faktor internal jika penilaku tidak umum, rendah nilai harapan sosialnya,
dan memiliki relevansi hedonik yang tinggi.

3. Covariation Theory
Covariation theory dikemukakan oleh Harold Kelley pada tahun
1967. Menurut Bordens & Horowitz, berbeda dengan correspondent
inference yang menjelaskan penyebab internal dari suatu perilaku,
covariation theory menjelaskan penyebab eksternal atau situasional dari
perilaku. Augoustious & Walker berpendapat bahwa asumsi dasar dari
teori covariation theory adalah dua kejadian bisa dikatakan memiliki
hubungan sebab akibat jika di antara keduanya covary satu sama lain atau
jika yang satu berubah, maka yang satunya lagi pun akan berubah.
Menurut Kelley, dalam Augoustious & Walker, teori ini
mengemukakan tiga faktor yang dapat digunakan sebagai petunjuk dalam
melakukan atribusi. Ketiga faktor tersebut penting di dalam menentukan
kovariasi, dan perbedaan kombinasi dari ketiga faktor tersebut akan

13
menyebabkan atribusi kausalitas yang berbeda. Ketiga faktor tersebut
adalah:
a. Konsensus, yaitu apakah respon seseorang terhadap suatu stimulus
tertentu sama dengan respon orang lain terhadap sumulus tersebut.
b. Konsistensi, yaitu apakah respon seseorang terhadap suatu stimulus
tertentu sama di setiap waktu dan tempat.
c. Daya beda, yaitu sejauh mana seorang memberikan respon yang
berbeda terhadap suatu stimulus tertentu dengan terhadap stimulus
lainnya.
Menurut teori ini, suatu perilaku dapat diatribusikan karena faktor
internal yang sifatnya stabil jika dimensi konsensus dan daya beda
rendah, sedangkan dimensi konsistensi tinggi. Sebaliknya, atribusi
situasional dapat dilakukan jika semua dimensi tinggi.10

KONSISTENSI
TINGGI

ATRIBUSI
KONSENSUS DAYA BEDA
SITUASIONAL
TINGGI TINGGI

Gambar 1
Faktor-faktor Atribusi Situasional

KONSISTENSI
TINGGI

ATRIBUSI
KONSENSUS DAYA BEDA
PERSONAL
RENDAH RENDAH
Gambar 2
Faktor-faktor Atribusi Personal

10
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial... Op. Cit., hlm. 109-113.

14
E. Kesalahan-kesalahan Atribusi Sosial
1. Kesalahan Dasar Atribusi
Perilaku sosial sering kali merupakan produk dari faktor individu
dan situasi. Namun, dalam melakukan persepsi sosial, kita kadang
melakukan kekeliruan, salah satunya dalam bentuk kesalahan dasar
atribusi (fundamental attribution error). Kesalahan dasar atribusi berarti
kecenderungan kita untuk mengatribusikan perilaku orang lain karena
faktor karakteristik individual daripada karena faktor situasi.
Menurut Fiske & Taylor, kita kadang menilai orang lain memiliki
kebebasan untuk berperilaku dan perilaku tersebut mewakili karakteristik
asli dari orang tersebut. Misal, kita cenderung menilai pegawai yang
datang terlambat masuk kerja sebagai pegawai yang tidak disiplin; atau
menilai anak yang memecahkan piring sebagai anak yang tidak hati-hati;
atau menilai siswa yang tidak naik kelas karena anak tersebut malas dan
tidak bisa diandalkan.
Kesalahan dasar atribusi terjadi karena ketika melakukan atribusi,
kita lebih fokus pada faktor-faktor yang menonjol dan menarik perhatian.
Menurut Fiske & Taylor, faktor yang menonjol dan menarik perhatian
tersebut adalah perilaku. Faktor situasi yang mungkin memengaruhi
munculnya perilaku kurang menarik perhatian kita sehingga cenderung
diabaikan.

2. Actor-Observer Effect
Actor-observer effect adalah kecenderungan untuk menjelaskan
perilaku orang lain karena faktor individu, sedangkan perilaku diri
sendiri karena faktor situasi. Fiske dan Taylor menjelaskan dua faktor
yang menyebabkan kesalahan ini. Pertama, perilaku orang lain dipandang
lebih menonjol dan menarik dibanding perilaku diri sendiri sehingga
perilaku orang lain dihubungkan dengan faktor individu, dan perilaku diri
sendiri dihubungkan dengan faktor situasi.

15
Kedua, pelaku dan pengamat memiliki informasi yang berbeda.
Pelaku mengetahui banyak hal mengenai faktor-faktor yang mendorong
perilaku sosialnya, sedangkan pengamat tidak demikian. Pemahaman
yang terbatas tersebut bisa mendorong pengamat melakukan kesalahan di
dalam melakukan atribusi.

3. Self Serving Bias


Self serving bias adalah kecenderungan kita untuk menilai
kesuksesan orang lain dikarenakan faktor eksternal, dan kegagalan orang
lain dikarenakan faktor internal, sebaliknya menilai kesuksesan diri
sendiri karena faktor internal dan kegagalan diri sendiri karena faktor
eksternal. Kesalahan ini didasari oleh dua kebutuhan, yaitu kebutuhan
untuk meningkatkan harga diri (self enhancing bias) dan kebutuhan
untuk melindungi harga diri (self protective bias).
Kesalahan-kesalahan atribusi seperti yang sudah dijelaskan juga
tergambar dalam Al-Qur'an surat Al-Imran [3] ayat 165 dan Al-A’raf [7]
ayat 131:

‫م ِم ْثلَ ْيهَا قُ ْلتُ ْم أَنَّ ٰى ٰهَ َذا ۖ قُلْ ه َُو ِم ْن ِع ْن ِد أَ ْنفُ ِس ُك ْم ۗ إِ َّن‬Jُْ‫ص ْبت‬
َ َ‫صيبَةٌ قَ ْد أ‬ َ َ‫أَ َولَ َّما أ‬
ِ ‫صابَ ْت ُك ْم ُم‬
‫ر‬Jٌ ‫هَّللا َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدي‬

Dan mengapa kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal


kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat pada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar). Kamu berkata: “Dari mana datangnya
(kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.11

۟ ‫ص ْبهُ ْم َسيِّئَةٌ يَطَّيَّر‬


‫ى َو َمن َّم َع ٓۥهُ ۗ أَٓاَل‬Jٰ ‫ُوا بِ ُمو َس‬ ِ ُ‫وا لَنَا ٰهَ ِذِۦه ۖ َوإِن ت‬ ۟ ُ‫فَإِ َذا َجٓا َء ْتهُ ُم ْٱل َح َسنَةُ قَال‬
ٓ
َ‫م ِعن َد ٱهَّلل ِ َو ٰلَ ِك َّن أَ ْكثَ َرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون‬Jُْ‫إِنَّ َما ٰطَئِ ُره‬

11
Al-Qur’an, 3; 165.

16
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran mereka berkata:
“Ini adalah karena (usaha) kamı”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang
yang bertanya. Ketahuilah sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.12

Hal ini dapat dijelaskan secara kognitif dan secara motivasional.


Secara kognitif, kita memang sangat mengharapkan kesuksesan dan
mempunyai kecenderungan untuk mengalamatkan kesuksesan tersebut
pada faktor internal daripada faktor eksternal. Secara motivasional, kita
mempunyai kebutuhan untuk tampak lebih sukses dan untuk melindungi
serta memelihara harga diri kita. Kebutuhan tersebut, salah satunya dapat
dipenuhi dengan self serving bias.
Contohnya ketika seseorang dalam ujian memperoleh nilai baik,
maka ia akan menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena
belajarnya baik, intelegensinya tinggi, dan sebagainya, yang pada
pokoknya menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan karena faktor
dalam (internal). Namun sebaliknya bila ia memperoleh nilai yang jelek,
maka ia akan menyatakan bahwa soalnya terlalu sulit, dosennya pelit,
dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa hal tersebut
disebabkan karena faktor luar (eksternal), bukan karena faktor dalam
yang ada pada dirinya. Mengapa orang mengambil sikap yang demikian
itu, hal tersebut ada beberapa pendapat yaitu:
a. Orang mengambil sikap demikian untuk mempertahankan harga
dirinya, yaitu bahwa seakan-akan sesuatu yang tidak baik itu
disebabkan oleh faktor-faktor yang ada diluar dirinya. Dengan
demikian harga dirinya tidak jatuh.
b. Bahwa dengan mengambil sikap yang demikian itu orang lain akan
tetap respek kepadanya, karena hal-hal yang tidak baik itu
disebabkan oleh faktor-faktor yang berada diluar dirinya, sehingga

12
Al-Qur’an, 7; 131.

17
dengan demikian masyarakat akan tetap menghargainya, dan ini
yang disebut self-presentation.
Namun demikian apakah memang benar bahwa dengan atribusi
demikian itu orang lain akan tetap mempunyai respek kepada individu
yang bersangkutan. Ini merupakan suatu pertanyaan yang cukup menarik.
Penelitian Carlston dan Shovar dalam Baron &Byrne, menunjukkan hasil
yang tidak demikian. Memang dengan taktik atau cara self-serving
tersebut, orang lain akan memberikan atribusi bahwa orang yang
bersangkutan tersebut kurang jujur dan kurang adanya kesopanan.
Penelitian tersebut dapat diikuti seperti berikut.
Pada sejumlah subjek diberikan penjelasan bahwa orang asing
memperoleh tes, dan hasil tes tersebut ada yang baik dan ada juga yang
tidak baik. Kemudian diinformasikan bahwa hasil tersebut disebabkan
karena faktor internal, tetapi juga faktor eksternal. Setelah mendapatkan
informasi tersebut, maka subjek penelitian disuruh mengadakan rating
terhadap hasil orang asing tersebut. hasil rating dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

Various demensions
Attributions
Ability honesty modesty
Successful stranger
Stranger attributes success to 7,60 6,34 4,85
internal causes
Stranger attributes success to 7,12 6,76 6,00
exsternal causes

Unsuccessful stranger
Stranger attributes failure to 2,64 6,32 5,78
internal causes
Stranger attributes failure to 3,24 5,25 4,67
exsternal causes
Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bagaimana srategi self-
serving, dengan maksud agar orang lain tetap respek kepada individu
yang bersangkutan tidak dapat dipenuhi seluruhnya. Seperti telah
dipaparkan di depan dengan strategi self-serving orang lain akan melihat

18
seseorang mempunyai lebih dalam ability, namuh di segi lain dipandang
kurang jujur dan juga kurang adanya kesopanan (modesty). Oleh karena
itu, dengan srategi self-serving tersebut akan lebih tepat bila hal tersebut
untuk melindungi harga diri, seperti juga telah dipaparkan di depan.13

4. False Consensus Effect


False consensus effect adalah kecenderungan kita untuk
menggunakan penilaian pada diri sendiri sebagai dasar dalam melakukan
penilaian terhadap orang lain. Menurut Fiske & Taylor, ada beberapa hal
yang bisa menjelaskan kesalahan ini. Pertama, kita mempunyai
kecenderungan untuk mencari teman yang memiliki kesamaan, dan
berperilaku seperti halnya kita. Kedua, penilaian terhadap diri kita
merupakan faktor yang menonjol dan lebih disadari. Ketiga, kita
cenderung menjelaskan hal-hal yang tidak pasti mengenai orang lain
dengan hal-hal yang menarik bagi kita. Ketika memprediksikan perilaku
orang lain, kita cenderung menggunakan prediksi berdasarkan
pengalaman yang dimiliki.

5. Self-Centered Bias
Self-centered bias adalah kecenderungan kita untuk merasa lebih
berkontribusi terhadap suatu hasil yang dikerjakan bersama orang lain
daripada apa yang sungguh-sungguh dilakukannya. Pertengkaran antara
suami istri, misalnya, sering kali dipengaruhi oleh kesalahan ini. Suami
kadang mengklaim sebagai orang yang paling berjasa terhadap
kehidupan rumah tangganya, sebaliknya istri pun demikian. Fiske dan
Taylor menjelaskan self-centered bias terjadi karena beberapa faktor
berikut:
a) Kita lebih mudah mengenali kontribusi diri sendiri daripada
kontribusi orang lain,

13
Bimo Walgito, Psikologi Sosial..., Op. Cit., hlm. 63-64.

19
b) Kita lebih mudah mengingat kontribusi diri sendiri daripada
kontribusi orang lain,
c) Kita kadang memiliki perbedaan pemahaman mengenai siapa yang
sebenarnya berkontribusi dalam suatu kasus tertentu,
d) Kita kadang memiliki motivasi tertentu sehingga tidak fair di dalam
melakukan atribusi,
e) Kita kadang berpikir bahwa kita sudah melakukan banyak hal, dan
memiliki kontribusi yang lebih besar dibanding yang lainnya.

6. Blaming The Victim


Blaming the victim adalah kecenderungan kita untuk menyalahkan
korban atas nasib yang menimpa dirinya. Kita mengatribusikan musibah
yang dialami orang lain sebagai karena kesalahan dan tanggung jawab si
korban. Menurut Fiske dan Taylor, kesalahan atribusi ini terjadi terutama
jika korbannya diketahui, ada keyakinan bahwa korban sebenarnya dapat
mengendalikan situasi, persepsi bahwa tindakan korban tidak
dikendalikan oleh faktor situasi, dan persepsi bahwa korban memiliki
kebebasan untuk memilih suatu tindakan.14

14
Agus Abdul Rahman, Psikologi Sosial... Op. Cit., hlm. 114-117.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Atribusi sosial merupakan proses yang kita lakukan untuk memahami
penyebab perilaku orang lain. Atribusi sosial terjadi terutama pada situasi
yang tidak biasa dan tidak menyenangkan. Atribusi sosial merupakan
sesuatu yang terjadi secara alamiah. Kita melakukannya dalam
kehidupan sehari-hari. Atribusi sosial bisa akurat atau keliru. Supaya
atribusi sosial kita terhindar dari kesalahan ada baiknya kita
memerhatikan stabilitas faktor penyebab, sumber faktor penyebab, dan
kemampuan mengendalikan faktor penyebab.
2. Correspondent inference theory dan covariation theory juga
menyampaikan hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
atribusi social. Menurut kedua teori tersebut, ada beberapa informasi
yang bisa digunakan supaya atribusi kita tidak keliru, seperti informasi
mengenai kebebasan memilih, konsistensi, konsensus, ataupun
kesesuaian dengan harapan sosial.
3. Dalam melakukan atribusi, kita kadang melakukan kesalahan-kesalahan
yang kadang secara otomatis terjadi. Kesalahan tersebut antara lain
mengatribusikan perilaku orang lain karena faktor internal,
mengatribusikan kesuksesan orang lain karena faktor eksternal
sedangkan kesuksesan diri sendiri karena faktor internal, mengatribusi
orang lain dengan menggunakan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya,
mengklaim kontribusi yang lebih besar dibanding apa yang
sesungguhnya dilakukan, atau mengatribusikan kemalangan yang dialami
korban sebagai tanggung jawab korban sendiri.

21
B. Saran
Demikianlah makalah yang sederhana ini kami susun semoga dapat
bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Akhirnya kami merasa kerendahan hati sebagai manusia yang mempunyai
banyak sekali kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran bahkan yang tidak
membangun sekalipun kami tunggu demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Semoga niat baik kita diridhoi oleh Allah Swt. Amin.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu


dan Pengetahuan Empirik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Walgito, Bimo. 1990. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Jakarta: Andi
Offset.

23

Anda mungkin juga menyukai