Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan.
Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama
hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat
kelak.[2]
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
b. Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual
muslim,[4] terdiri atas:
- Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
- Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
- Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari
filsafat.
a. Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh:
ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali,
dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
b. Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya,
maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung
dan perdagangan.
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode
etik peserta didik.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan
al-Quran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan
adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a. Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat
di akhirat.