Anda di halaman 1dari 26

0

MAKALAH

EPISTEMOLOGI
SAINS BARAT DAN ISLAM

Oleh:

HASINUDDIN
NIP: 198209152009011008

(PENYULUH AGAMA ISLAM FUNGSIONAL)

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA


KABUPATEN JEMBER
2018
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
C. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Sains Barat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
B. Epistemologi Sains Barat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 6
C. Epistemologi Sains Islam dan Perbandingannya dengan
Epistemologi Sains Barat. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
BAB III : KESIMPULAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sains Modern/Sains Barat yang terlahir dari rahim gagasan renaisans sejak dulu
tidak terlepas dari sorotan tajam dan kritik di kalangan para ahli. Mereka bertolak dari
kesadaran bahwa sains modern dengan segala keterbatasannya, semakin diyakini telah
memiliki cacat yang cukup serius karena dianggap belum mampu menjawab
permasalahan dunia dan manusia dengan analisis sainsnya. Bahkan justru ia dituding
sebagai penyebab krisis global yang melanda masyarakat internasional1. Dalam konteks
ini menarik sekali untuk diungkapkan pernyataan Gregory Bateson : “Sudah jelas bagi
banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-
kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik,
ataupun kemungkinan mencairnya es antariksa”2.
Lebih jauh, implikasi dari kesadaran itu melahirkan penyangkalan atas klaim
objektifitas sains. Teori ilmu objektif yang dikembangkan Descartes tersebut antara lain
merujuk pada pola pembebasan realitas sains (netralisasi) dari berbagai hal termasuk
keyakinan dan agama (sekularisasi). Tetapi menurut M. Amin Abdullah menyatakan
bahwa klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif memungkinkan
adanya praktek manipulasi dengan proses rekayasa3.
Dengan demikian, banyak ilmuwan kemudian menyadari bahwa sains modern
bukanlah satu-satunya pilihan dalam pengembangan keilmuan. Berangkat dari keyakinan
bahwa dengan paradigma berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda pula maka,
dimulailah agenda pencarian alternatif-alternatif epistemologi baru. Mulai dari kelompok
humanis radikal, Marxisme, hingga kelompok yang lari ke dunia mistis4.
Namun begitu, eksistensi sains modern terus berkembang dengan semangat
sekularisasinya. Sebuah semangat revolusi sains yang berpijak pada ide pembebasan
rasio dari mitologi. Agama sebagai dasar fundamental dari keyakinan ditinggalkan.
Tuhan dianggap tidak memiliki andil dalam proses pengetahuan. Maka kemudian
1
Haidar Bagir dan Zainal Abidin, Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan? dalam Mahdi Ghulsyani,
Filsafat Sains dalam Al-Qur’an,Penerjemah: Agus Efendi. (Bandung:Mizan,1998). hal.7
2
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin,..... hal.7
3
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar,1995), hal.157
dalam Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dalam (ed) Akhyak, Meniti Jalan Pendidikan Islam,
(Yoqyakarta: Pustaka Pelajar,2003), hal.11
4
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ..., hal.20
3

timbullah pemikiran bahwa kehidupan ini berpusat pada manusia (antroposentris). Akal-
lah yang mampu mendapatkan segala pengetahuan (rasionalisme). Ilmu pengetahuan
tetap diposisikan secara netral. Agama dan ilmu dipisahkan.
Refleksi budaya Barat seperti itulah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia,
membentuk semacam imperialisme epistemologi. Tak terkecuali dunia Islam.
Masyarakat dunia kemudian percaya bahwa kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan
hanya dapat terlaksana jika mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan agama 5, karena
“hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat muncul dari
pendekatan non agama, jika bukan anti agama”6.
Paradigma seperti itu pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita Islam. Umat
muslim meyakini bahwa al-Qur’an, sebagai wahyu Allah, merupakan petunjuk bagi
mereka. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran normatif. Ajaran normatif inilah yang
ditransformasikan sebagai teori ilmu untuk kemudian diaktualkan langsung menjadi
prilaku. Itu berarti ajaran normatif pulalah yang dijadikan pondasi bagi konstruksi
bangunan pemikiran keislaman yang dimungkinkan mampu mendasari berbagai disiplin
ilmu7. Dengan demikian konsepsi Islam sampai pada kesimpulan bahwa antara ilmu dan
agama sama sekali tidak ada pertentangan.
Konsep agama dalam Islam tidak mengenal panteologisme atau pemikiran serba
teologi yang cenderung mengalienasi rasio. Hal tersebut tercermin dari ketegasan Al-
Qur’an untuk senantiasa menggunakan akal, observasi empiris, pengalaman bahkan
intuisi, untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Konsep seperti itu tidak
ditemukan di agama lain. Kristen misalnya yang cenderung panteologis memang sulit
menerima sistem pengetahuan rasional dan mengakibatkan konflik besar antara ilmu dan
agama8.
Dalam hal ini Islam dianggap mampu menjawab tantangan epistemologi sains
Barat tersebut. Karena, epistemologi Islam mempunyai citra tersendiri yang tak kalah
dari citra Barat. Oleh karenanya pemakalah ingin mencoba membandingkan
Epistemologi sains Barat dengan sains Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

5
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (ed) A.E. Priyono, (Bandung: Mizan,1998), hal.161
6
Ibid, Kuntowijoyo, ..., hal.168
7
Ibid, Mujamil Qomar, ..., hal. 3-4
8
Ibdi, Kuntowijoyo
4

1. Bagaimana pengertian sains Barat?


2. Bagaimana epistemologi sains Barat?
3. Bagaimana epistemologi sains Islam dan perbandinganya dengan epistemologi Sains
Barat?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian sains
2. Mengetahui epistemologi sains Barat
3. Mengetahui epistemologi sains Islam dan perbadingannya dengan epistemologi sains
Barat

BAB II
5

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SAINS BARAT


Istilah sains berasal dari kata bahasa inggris ‘science’. Istilah ‘science’ diambil
dari bahasa latin ‘scientia’. Istilah ‘scientia’ diturunkan dari kata ‘scire’ yang berarti to
learn (belajar) dan to know (mengetahui). Hasil dari aktivitas atau proses mengetahui
adalah pengetahuan. Secara epistemologi, pengetahuan manusia dipisahkan menjadi
pengetahuan biasa yang merupakan hasil seseorang yang disebut pengetahuan,
sedangkan pengetahuan manusia yang sudah terorganisasi, tersistematisasi, dan
terstruktur dalam cara kerjanya disebut ilmu atau ilmu pengetahuan. Sains adalah jenis
pengetahuan manusia yang terorganisasi, tersistematisasi, dan verifiable, sehingga sains
dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmiah (saintifik). Sebagai pengetahuan ilmiah,
sains melahirkan teori, dalil, hukum, atau model yang dapat berfungsi sebagai
deskripsi, eksplanasi, konfirmasi, dan prediksi atas fenomena alam semsta ini.
Kerlinger menjelaskan bahwa tujuan akhir dari sains adalah teori. Teori adalah
penjelasan-penjelasan terhadap fenomena ilmiah. teori berupa sekumpulan proposisi
atau konsep tertentu yang saling berhubungan. Kemudian Konsep-konsep tersebut akan
menyajikan suatu pandangan yang sistematis tentang fenomena tertentu, sehingga dapat
mendiskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Teori-teori ini adalah inti
dari proses saintifikasi, sehingga sains pada dasarnya adalah kumpulan teori-teori yang
merupakan hasil kerja pikiran manusia. Selanjutnya teori-teori inilah isi dari ilmu
pengetahuan atau sains.9
Istilah sains seringkali digunakan dan untuk menunjuk pada ilmu-ilmu
kealaman atau natural science. Awalnya, kajian-kajian sain terbatas pada gejala-gejala
alam semesta, tetapi dalam perkembangannya objek sains menjangkau pada gejala-
gejala sosial. Saat ini, sains dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan
objektif menganai alam semesta atau masyarakat.

B. EPISTEMOLOGI SAINS BARAT

9
http://repository.upi.edu/operator/upload/d_ipa_0707387_chapter3.pdf
6

Menurut William S. Sahakian epistemologi merupakan “pembahasan mengenai


bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber pengetahuan? Apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan
untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia.10
Secara terminologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang
berarti pengetahuan. Dalam hal ini ada beberapa persoalan pokok yang secara garis besar
terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance)
versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber
pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar
pengetahuan? Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?.
Kedua, tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar
(valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?. 11 Epistemologi
Ilmu selalu berkaitan dengan Ontologi Ilmu, dan Aksiologi Ilmu12.
Secara ontologis, hakekat pengetahuan sains hanya terbatas pada pengetahuan
yang rasional- empiris-positivistik.
Rasional maksudnya pengetahuan sains harus didasarkan pada rasio.
Pengetahuan sains dicapai dengan diawali dengan pengajuan hipotesis. Dan hipotesis itu
harus rasional dalam artian bisa dipahami oleh akal manusia. Setelah itu hipotesis harus
bisa diuji kebenarannya, dengan kata lain pengetahuan sains harus empiris. Hipotesis
harus diuji dengan mengikuti metode ilmiah dengan cara eksperimen. Rumus baku
metode ilmiah adalah “logico-hypothetico-verificatif” (buktikan bahwa itu logis, tarik
hipotesis, ajukan bukti empiris).13
Pada dasarnya cara kerja sains adalah mencari hubungan sebab-akibat atau
mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains adalah tidak ada
kejadian tanpa sebab. Asumsi itu benar bila memiliki hubungan sebab akibat.
Ilmu atau sains berisi tentang teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan
hubungan sebab akibat. Sains tidak memberikan nilai baik dan buruk, halal atau haram,
sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah. Sains hanya memberikan nilai benar dan
10
Jujun S. Suriasumantri,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003, hal.
119
11
Muhammad Djakfar, Pengembangan Ilmu Agama Islam Dalam Perspektif Filsafat Ilmu, dalam El-Jadid,
(Malang: UIN, vol.2 no.3, 2004), hal. 5
12
Ibid, Jujun S. Suriasumantri, ....hal.33
13
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2010 Cet.V) hal. 22-24.
7

salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan sebagian orang menyangka sains itu netral
atau bebas nilai.14
Selain pengetahuan sains itu rasional, empiris tetapi juga harus positif. positif
artinya sama dengan faktual, apa yang didasarkan kepada fakta-fakta. Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Pengetahuan sains
bukanlah pengetahuan yang empisris murni, karena empirisme masih mengakui dan
membenarkan adanya pengalaman batiniah. Pengalaman banitniah ini yang ditolak oleh
aliran positivisme karena tidak bisa dikaji dengan metode ilmiah.
Adapun struktu sains, secara garis besar dibagi menjadi dua:
1. Sains kealaman, diantaranya: (a) ilmu astronomi, (b) ilmu fisika diantaranya adalah
mekanika, bunyi, cahaya, optik, fisika nuklir. (c) ilmu kimia diantaranya kimia
organik dan kimia teknik. (d) ilmu bumi (paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia,
mineralogi, geografi). (e) Ilmu hayat (biofisika, botani, zoologi).
2. Sains Sosial, diantaranya: (a) Sosiologi, tercakup didalamnya sosiologi komunikasi;
sosiologi politik politik, sosiologi pendidikan. (b) Antropologi, tercakup didalamnya
anttopologi budaya, antropologi ekonomi, dan antropologi politik. (c) Psikologi,
(psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal). (d) Ekonomi: ekonomi
makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan. (e) Politik: politik dalam negeri,
politik hukum, politik internasoinal.15
Sains sangat berguna sekali bagi manusia. Kegunaan sains setidak-tidaknya
sebagai deskripsi, ekplanasi, prediksi, konfirmasi, dan pengontrol terhadap suatu
fenomena. Sains sebagai alat deskripsi dan ekplanasi, bisa menggambarkan dan
menjelaskan suatu fenomena. Dan sains merupakan suatu sistem yang paling dapat
diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau,
sekarang, dan akan datang. Sebagai alat konfirmasi, sains bisa membenarkan apa yang
terjadi. Sebagai alat prediksi, sains bisa meramal apa yang akan terjadi dengan
mengunakan hukum kausalitas. Sebagai alat pengontrol, sains bisa digunakan oleh
manusia untuk mengontrol apa yang terjadi dan yang akan terjadi16.

1. Objek Pengetahuan Sains

14
Ibid. Ahmad Tafsir,..., Hal. 25
15
Ibid, Ahmad Tafsir, .... hal.25-26
16
Ibid, Ahmad tafsir, ..... hal.37-40
8

Objek yang diteliti sains ialah semua objek yang empiris-positif. Jujun S.
Suriasumantri mengatakn bahwa objek kajian sains hanyalah objek yang berada
dalam ruang lingkup pengalaman manusia yang dihasilkan oleh indera.17
Objek kajian sains haruslah objek-objek yang empiris. Bukti-bukti yang
empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasonal yang telah dirumuskan didalam
hipotesis.
Semua yang ada itu bisa diteliti sains. Dari penelitian itulah muncul teori-teori
sains. Teori-teori tersebut dikelompokkan kedalam masing-masing cabang sains
sebagaimana yang ada di struktur sains.18
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material
terbatas alam dan manusia. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek
formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni
masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan
dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Objek sains terbatas pada objek fisik yang sifatnya measurable sacara statistik
atau yang psositif. Sehingga pengertian sains hanya dibatasi pada pengetahuan yang
positif dan dapat dijangkau oleh indra manusia.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sains


Perkembangan sains didorong oleh paham Hunanisme. Humanisme adalah
faham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam.
Humanisme telah muncul pada Zaman Yunani Kuno. Untuk menjamin tegaknya
kehidupan yang teratur maka diperlukan aturan. Untuk membuat aturan tidak bisa
dibuat berdasarkan mitos dan agama, karena akan sulit sekali menghasilan aturan
yang disepakati bersama. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber
membuat aturan untuk mengatur manusia. Kedua, mitos itu tidak mencukupi untuk
dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau aturan itu dibuat
berdasarkan agama. Kesulitannya adalah agama yang mana? Masing-masing agama
menyatakan dirinya benar, dan yang lainnya salah. Maka jika aturan itu dibuat
berdasarkan agama tentu banyak orang yang menolaknya. Maka alat untuk membuat
aturan harus bersumber pada akal. Pertama, akal dianggap mampu. Kedua, akal pada

17
Ibid, Jujun S. Suriasumantri, .... Hal. 105
18
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 27-28
9

setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama, yaitu dengan logika. Akal inilah
yang paling disepakati. Maka Humanisme melahirkan Rasionalisme.19
Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah
alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan pengukur pengetahuan. Menurut
Ahmad Tafsir, Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir adalah kaedah-kaedah logis atau logika. Tokoh aliran ini
adalah Rene Descartes dan Libniz. Descartes berusaha menemukan kebenaran yang
benar-benar meyakinkan, sehingga dengan menggunakan metode deduktif semua
pengetahuan dapat disimpulkan. Descartes memahami Rasio sebagai sejenis
perantara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan ditelusuri
dengan penalaran logis yang bertumpu pada metode deduktif.20
Dalam proses pembuatan aturan, ternyata temuan akal sering kali
bertentangan. Maka diperlukan alat lain, yaitu pengalaman indrawi.
Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
yang logis dan ada bukti empirisnya.21 Tokoh aliran ini adalah John Lock. Menurut
aliran ini, tanpa pengalaman rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan, itu hanyalah khayalan belaka.
Pengetahuan muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat
dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Akal merupakan tempat
penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti
semua pengetahuan manusia -betapun rumitnya- dapat dilacak kembali sampai pada
pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapi didalam akal. Inilah
kelemahan akal.22
Pengetahuan yang dihasilkan oleh empirisme masih bersifat umum dan belum
oprasional. Karena pengetahuan yang dihasilkan itu masih belum terukur. Maka
dibutuhkan alat yang kemudian disebut dengan Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu harus logis, ada bukti
empirisnya dan terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting dari positivisme 23. Aliran
ini diperkenalkan oleh Augus Conte (1798-1857). Menurut Juhaya positif artinya
sama dengan faktual, apa yang didasarkan kepada fakta-fakta. Menurut positivisme,
19
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 29-30
20
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hal 84
21
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 31
22
Ibid, Ahmad Saebani, .....hal.94-95
23
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 32
10

pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, pengetahuan


empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivisme menolak
filsafat metafisika, karena semuanya kebohongan. Yang termasuk ilmu pengetahuan
hanyalah fakta-fakta dan hubungan diantara fakta-fakta yang ada. Positivisme tidak
seperti Emperisisme yang menerima pengalaman batiniah. Bagi positivisme, hanya
pengalaman indra yang benar-benar sebagai sumber pengetahuan yang faktual,
sedangkan yang lainnya tidak berarti apa-apa.24
Positivisme sudah dapat disetujuai untuk memulai upaya membuat aturan
untuk mengatu manusia dan alam. Metode ilmiah, sebenarnya hanya mengulang dari
ajaran Positivisme, tetapi lebih oprasional. Metode ilmiah mengatakan untuk
memperoleh pengetahuan yang benar perlu melakukan langkah berikut: logico-
hypothetico-verificatif. Maksudnya, mula-mula buktikan itu logis, kemudia ajukan
hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara
empiris.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
1. Menemukan dan merumuskan masalah
2. Menyusun kerangka teoritis
3. Membuat hipotesis
4. Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
5. Menarik kesimpulan.
Metode ilmiah secara rinci dan tehnis dijelaskan dalam satu bidang ilmu
yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan model-model penelitian.
Adapun Urutan proses terwujudnya ilmu pengetahuan sebagai berikut25:

Metode Metode
Humanism Rasionalisme Empirisisme Posititvisme Riset
Ilmiah
e n

Ilmu Pengetahuan

3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sains


Ilmu berisi tentang teori-teori. Jika kita membuka Ilmu (sains) pendidikan,
maka kita akan menjumpai teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan

24
Ibid, Ahmad Saebani, .....95-96
25
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 33-34
11

teori-teori tentang bumi. Ilmu Hayat membicarakan tentang makhluk hidup. Jadi isi
ilmu adalah teori.
Ada teori sains Ekonomi yang mengatakan bila penawaran sedikit, permintaan
banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena saking kuatnya maka ia
ditingkatkan menjadi hukum, yang disebut hukum penawaran dan permintaan.
Berdasarkan hukum ini maka barangkali benar dihipotesiskan: jika hari hujan terus,
mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk
membuktikan hipotesis ini benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah.
Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika hujan terus harga gabah
akan naik?
Jika hari hujan terus maka orang tidak dapat menjemur padi, panawaran beras
akan menurun, jumlah orang yang memerlukan beras tetap, orang berebutan membeli
beras, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pedagang beras untuk memperoleh untung
sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga
beras akan naik. Hipotesis itu lulus ujian logika. Kedua, uji empiris. Adakan
eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak
diaktifkan, beras di daerah lain tidak masuk. Periksa pasar, apakah harga beras naik?
Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya
karena banyak orang mengganti makanannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu
dikontrol dengan ketat, hipotesis itu pasti didukung dengan kenyataan. Jika didukung
oleh kenyataan dan terbukti beras naik maka hipotesis itu menjadi teori. Jika suatu
teori selalu benar dan selalu terbukti secara empiris, maka teori itu naik
kedudukannya menjadi hukum atau aksioma.
Hipotesis (dalam sains) adalah pernyataan yang sudah benar menurut logika,
tetapi belum ada bukti empirisnya. Hipotesis benar bila logis. Tidak adanya bukti
empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Maka tidak benar orang
yang mengatakan bahwa hipotesis itu mungkin benar mungkin salah atau orang yang
mengatakan hipotesis itu kemungkinan benar dan salahnya sama besar26.
Jadi, ukuran kebenaran yang digunakan dalam sains modern adalah kebenaran
ilmiah, yaitu kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ilmiah,
menyangkut relevansi antara teori dengan kenyataan hasil penelitian di lapangan.27

26
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 35-36
27
Ibid, Ahmad Saebani , ....hal.9
12

C. EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN


EPISTEMOLOGI SAINS BARAT
Konsep ilmu-ilmu ke-Islam-an, oleh beberapa pemikir Muslim juga bisa disebut
dengan "sains Islam".28 Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu.
Seperti science, kata ‘ilm dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan
biasa, tetapi, seperti yang didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami
sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti science
dibedakan dengan knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan
opini (ra’y). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada
bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat
diterapkan dengan sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun
nonfisik atau metafisis. Jadi, kata science bisa diterjemahkan dengan ilmu, dengan syarat
bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik,
seperti dalam epistemologi Barat.29
Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari
epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya.
Metode eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis
dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah
membuktikan dengan ditemukannya aljabar, manthiq, ilmu falak dan lain-lain di dunia
Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen30 dan hanya terkungkung pada
corak berpikir monolinear antara rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan
peran ajaran agama (sekularisme).
Di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta
membedakannya dari epistemologi Barat yang sekuler adalah masuknya nilai-nilai ajaran
normatif agama secara signifikan sebagai prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-
Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi,
mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus
ditujukan31. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains

28
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 59.
29
Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2002). Hal. 57-
58
30
Ibid, Kuntowijoyo, .... hal.168
31
Ibid, Mujamil Qomar, ..., hal. 13
13

dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi
sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam.
Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada
wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-
empiris? Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memiliki keterbatasan kemampuan
untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang
telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit
dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari
kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Allah.
Allah telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo
mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat
observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.32
Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-
nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita
mengenal adanya konsep tawhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan
Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa
Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang
Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya
yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah
kepada-Nya.33
Adapun jelasnya nilai-nilai yang ada dalam sains Islam yang menjadi pijakannya
diantaranya sebagai paradigma dasar: 1) Tawhid (keesaan Allah); meyakini hanya ada 1
Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya. 2) Khilafah (kekhalifahan manusia); manusia berada
di bumi sebagai wakil Allah dan segalanya sesuai keinginan-Nya. 3) Ibadah (ibadah);
keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah. Sebagai Sarana: 4) `Ilm
(pengetahuan); tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material,
tapi juga yang metafisik. Sebagai Penuntun: 5) Halal (diperbolehkan); 6) Adl (keadilan);
semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu terhadap suatu kaum
membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan
rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan; 7)
ishtishlah (kemaslahatan umum). Sebagai Pembatas: 8) Haram (dilarang); 9) Zhulm

32
Ibid, Kuntowijoyo, ...., hal. 169
33
Ibid, Kuntowijoyo, ...., hal .228-229
14

(kezaliman); 10) Dhiya (kecerobohan, pemborosan). Janganlah boros, meskipun berwudhu


dengan air laut”.
Dalam Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah;
bahwa semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan,
Pengatur dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. 34
Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha
menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan
hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi
Islam.
Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tawhid menjadi prinsip
pokok dalam epistemologi Islam. Epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan arah
kepastian kebenaran, yang berangkat dan berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya
memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan
pengamatan yang disandarkan pada wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini
bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat
(bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat).35
Sebenarnya konsep tawhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep
panteologisme yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan
teosentris. Namun, paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris
agama lain dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia.
Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Inti dari perintah zakat –misalnya– adalah
iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan
demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia harus
memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia
sendiri (amal).36 Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia;
sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil
Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan
lingkungannya (beramal).

34
Jalaluddin Rahmat, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam, dalam (ed) Taufiq Ismail, Horison Esai Indonesia 2,
(Jakarta: Horison, 2004), hal. 249-250
35
Ibid, Mujamil Qomar, ....hal. 16
36
Ibid, Kuntowijoyo, .
15

Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk


kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan?
Pada awalnya, epistemologi Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang
berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran
Rasionalisme yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran Realisme yang
dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya saling
memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun mencari
alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga lahirlah
metode eksperimen.37
Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-
12M, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam (Alhazen) yang melahirkan karya tentang
teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar (Geber) yang lahir pada
pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih
banyak ilmuwan lainnya.38
Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu
bentuk epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan
melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis),
bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber
kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu
(al-Qur’an dan Hadits).39
Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan
istilah lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy).40 Terminologi
tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk
wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) yang diterima oleh nabi, dengan pengetahuan intuitif yang
berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari
keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia berbeda.
Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti
nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil,

37
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, .... hal. 33.
38
Lihat Gustave Le Bone, The World of Islamic Civilization, Genewa: Tudor Publishing Company 1974
(Penerjemah: Moh. Nurhakim), (Malang: UMM-Press, 2001), hal. 80-87
39
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ... hal. 33
40
Mujamil Qomar dalam Intuisi sebagai Pendekatan Epistemologi Pendidikan Islam, dalam (ed) Akhyak,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). hal. 40-84
16

ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya.41 Namun pada dasarnya
dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang
mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan
inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.42 Atau dalam bahasa al-
Jabiri, Bayani, Burhani, dan Irfani.
Dalam epistemologi Barat menurut Mulyadhi, hanya terbatas pada objek-objek
fisik, bukan noninderawi, nonfisik, dan metafisika yang dapat diketahui secara ilmiah.
Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat diketahui.
Dan status ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara
inderawi - konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh- adalah real.
Dalam Islam untuk memahami hal-hal metafisik menggunakan metode intuitif
dan tidak bisa didekati dengan metode observasi empiris yang menjadi dasar sains Barat.
Makanya asumsi sains Barat yang menyatakan bahwa dunia fisik merupakan realitas
terakhir yang independen tidak akan pernah diterima dalam persektif Islam. Dalam
persektif Islam semua yang ada adalah ciptaan Allah dan terkait erat kepada kekuasaan
Allah, dan realitas yang ada adalah tanda-tanda (ayat-ayat) yang menunjukkan keberadaan
dan kekuasaan Allah43.
Tentang metodologi, Mulyadhi dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan
bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan
para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau
hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau
disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif
(‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati44.
Maka dalam epistemologi sains Barat, objeknya adalah realitas empirik-fisik.
Adapun alat atau sumbernya adalah pancaidera dan akal manusia. Sedangkan metode yang
digunakan dalam sains barat adalah metode deduksi-induksi atau yang disebut dengan
metode ilmiah. Sedangkan dalam persepektif Islam, objek sains adalah realitas empirik
dan metaempirik. Sedangkan alat yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
dalam sains Islam adalah panca Indera, akal dan intuisi (fuad/Qalbu).

41
Ibid, Mujamil Qomar, Epistemologi Islam,...hal. 24-25
42
Ibid, Muhammad Djakfar,....hal. 20
43
Mulyadhi Kartanegara. Menyingkap Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.(Bandung: Mizan,
2002). Hal. 133
44
Ibid, Mulyadhi kartanegara, Menembus Batas Waktu, hal 61
17

Metode bayani banyak dikembangkan oleh fuqaha’. Sistem berpikir ini sangat
bergantung pada teks; teks berada diatas akal (filsafat). Ilmu fiqh, tafsir, filologi, menurut
Jabiri, merupakan produk episteme ini yang disebutnya sebgai al-ma’qul al-dini (religious
rasionalitas). Karakteristik utama episteme ini adalah ketergantungannya pada teks, bukan
pada akal. Yang dimaksudkannya dengan teks disini adalah al-Qur’an dan Sunnah.45
Adapun episteme burhani, Ibn Rushd menurut Jabiri merupakan sosok yang
paling sempurna merepresentasikan tipe burhani ini. Tipologi sistem ini tidak berpegang
pada nash (teks) semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya. Inilah yang membuat
barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat telah dengan jitu mengaplikasikan
semangat rasionalisme Jabiri dan emperisismenya dalam sistem peradaban mereka. Oleh
sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus
dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga emperisisme.46
Adapun sistem episteme ‘irfani adalah sistem filsafat yang dikembang oleh para
sufis yang dipengaruhi dimana intuisi memegang peran penting dalam menggapai
kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada ketika ini, menurut Jabiri, menjadi pensiun
(al-‘aql al-mustaqil). Sistem ini disebut Jabiri sebagai alla ma’qul ‘aqli. Menutunya lagi
sistem ini dianut oleh pemikir seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Shi’ah Isma’iliyyah, dan al-
imamiyyah. Bagi Jabiri sistem inilah yang menjadi biang kedok kejumudan Islam.47
Dari sisi aksiologi, dalam sains Barat, ilmu tidak berimplikasi pada penguatan
iman dan amal. Ilmu hanya berkutat pada kebahagiaan material dan kepuasan intelektual
(dunia semata). Sedangkan dalam Islam, ilmu berimplikasi pada penguatan iman dan
peningkatan amal, karena ilmu berorentasi kepada kebahagiaan material, intelektual,
moral dan spiritual bahkan berorientasi pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sains sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam selama tidak menabrak atau
tidak bertentangan dengan dasar-dasar pokok agama Islam. Kenyataannya sains Barat
dengan epistemologinya yang seperti itu menolak dan menentang adanya eksistensi
Tuhan, malaikat, hari akhir, kenabian, dan lain-lain.
Hukum Gravitasi Newton misalnya, bisa saja diterima asal tidak diasumsikan
hukum tersebut tidak berjalan secara independen tanpa adanya campur tangan Tuhan
(dalam bentuk apapun). Kalau diyakini hukum itu berjalan secara independen tanpa

45
Lihat Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001. Hal 334
46
Ibid, Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, ...., hal. 352
47
Ibid, Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, ...., hal. 348
18

adanya campur tangan Tuhan, maka secara otomatis Tuhan akan disingkirkan sebagai
sesuatu yang tidak diperlukan.
Begitu juga teori evolusi, baik evolusi geologis maupun evolusi biologis,
sebenarnya dapat diterima, asal saja tidak diasumsikan bahwa kekuatan yang
mengerakkan evolusi tersebut bersifat independen atau otonom, seperti “seleksi alamiah”
yang dipandang hukum otonom oleh Darwin dan bertanggung jawab kepada evolusi
organik, termasuk penciptaan spesies-spesies. Kalau tidak, orang akan mudah
menyingkirkan Tuhan sebagai pencita. Dalam Kasusnya Laplace, mengatakan peran
Tuhan sebagai pengatur, pemelihara alam telah digantikan oleh “hukum mekanik”48.
Ternyata respon para ilmuwan muslim terhadap sains sangat beragam dan
membentuk sebuah spektrum yang lebar. Pendapat paling ekstrim menganggap sains
modern bersifat universal, netral dan bebas nilai (free Value), karena itu hanya ada satu
sains. Menurut mereka rasionalitas sains tidak bisa dikompromikan dengan urusan-urusan
keagamaan yang berdimensi lain. Islamisasi sains, bagi mereka berarti mengorbankan
obyektivitas dan netralitas sains.
Di ujung ekstrim yang lain, pendapat ilmuwan yang mengatakan bahwa sains
modern adalah sains Barat yang tumbuh dari akar budaya Barat yang sekuler. Bagi mereka
sains bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan terikat dengan asumsi-
asumsi epistemologis tertentu.49
Diantara dua kutub pendapat ekstrim tersebut terdapat beberapa pendapat lain
yang lebih moderat, Ali Kattani berpendapat bahwa sains Islam tidak berbeda secara
radikal dengan sain Barat, hanya saja prioritas riset dan penekanannya yang berbeda.
Begitu pula tujuan- tujuan pemakaiannya. Begitu juga Dr. Abdussalam (ilmuwan Pakistan
pemegang hadiah Nobel bidang fisika l979) yang menganggap isi sain bersifat universal,
tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan islami.
Secara umum sikap ilmuwan muslim dalam merespon sains dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok:
1. Kelompok muslim apologetic, yaitu kelompok yang mengganggap sains modern itu
bersifat universal dan netral. Selanjutnya kelompok ini berusaha melegitimasi produk-
produk sains modern kepada nash-nash Al-Quran

48
Ibid, Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan, ...hal, 134
49
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (Penerjemah: Agus Efendi), (Bandung: Mizan, 1998).
Hal.88
19

2. Kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha mempelajari
sejarah dan filsafat ilmu guna menyaring elemen-elemen yang tidak islami. Dalam
kelompok ini kita kenal al-Kattani, Abdussalam
3. Kelompok yang percaya adanya sains islam dan berusaha membangunnya. Dalam
kelompok ini kita mengenal nama-nama seperti Seyyed Hoesin Nasr, Nawab Haider
Naqvi dengan gagasan ekonomi islamnya. Ismail Al-Fauqi, Ali Syaria’ati, Murtadha
Mutahhari dan Basyarat Ali yang berusaha meng-islamisasi ilmu-ilmu sosial, serta
Ziauddin Sarda, Anees, Meryll Wynn Dayies dan Gulzar Haidar dalam bidang-bidang
seperti biologi, antropologi, lingkungan, perkotaan dan pemukiman.
Terkait dengan netralitas sains. Sains itu ibarat pisau. Pisau bisa digunakan apa
sajaterserah penggunanya. Pisau bisa digunakan untuk membunuh dan juga bisa
digunakan untuk kebaikan lainnya. Makanya sains dikatakan netral atau tidak memihak
atau bisa disebut bebas nilai (value free). Sedangkan lawannya terikat nilai (value bound).
Keuntungan sains itu netral adalah perkembangan sains akan cepat terjadi. Karena
tidak ada yang menghambat atau menghalangi ketika peneliti: 1) memilih dan menetapkan
objek yang hendak dikaji. 2) cara meneliti, dan 3) ketika menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sains itu tidak netral, ia akan dibatasi oleh nilai dalam 1)
memilih objek penelitian, 2) cara meneliti, dan 3) menggunakan hasil penelitian.
Ketika meneliti cara kerja jantung manusia, orang yang beraliran sains tidak netral
mungkin akan mengambil jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang mirip dengan
manusia. Orang yang beraliran sains netral mungkin akan mengambil orang gelandangan
untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sains tidak netral akan meneliti jantung
dengan tidak menyakitkan kelinci tersebut. Sedang orang yang beraliran sains netral tidak
akan mepedulikan apakah objek penelitiannya menderita atau tidak. Orang yang menganut
sains value free akan menggunakan hasil penelitiannnya secara bebas, sedang orang yang
bermadhab sains terikat nilai akan menggunakan produk sains untuk kebaikan saja.
Pada aspek aksiologinya, penganut sains netral akan menggunakan hasil
penelitiannya utuk kepentingan apa saja tanpa mempertimbangkan nilai. Paham sains
netral sebanarnya telah melawan dan menyimpang dari maksud penciptaan sains. Tadinya
sains dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini
sebenarnya telah bermakna bahwa sains tidak netral. Sains memihak pada kegunaan
20

membantu manusia menyelesaikan masalahnya. Paham sanis netral, justru akan


memberikan tambahan kesulitan bagi manusia50.
Sains Barat yang materialistik-mekanistik, dikembangkan dari pandangan bahwa
Alam semesta terdiri dari tiga unsur: materi, ruang dan waktu. Materi terdiri dari atom-
atom yang saling terikat satu sama lainnya. Sedangkan ruang dan waktu bersifat absolute,
artinya akan ada selalu andaikata materi di alam raya ini musnah. Ruang dan waktu tidak
terbatas, universal dan tidak dapat berubah.
Semua hal itu terlaksana dalam hukum-hukum fisika yang mengatur persoalan
materi dalam ruang dan waktu yang absolute. Implikasinya ilmuwan hanyalah sekedar
penonton yang berada diluar sistem tersebut. Seluruh alam semesta dan materi dapat
dimengerti tanpa harus diantar oleh pikiran. Salah satu tokoh yang menegaskan
pentingnya materi adalah Descartes yang melihat bahwa semua makhluk material adalah
semacam mesin yang diatur oleh hukum-hukum mekanis yang sama; tubuh manusia
terdiri atas materi yang tidak lebih daripada hewan dan tumbuhan. Realitas ini merupakan
awal dari adanya era skularisme.
Keberhasilan sains modern didukung oleh kelompok Borjuis yang mempunyai
kepentingan untuk mengekpolitasi alam demi mengeruk keuntungan sebsar-besarnya dan
menganggap alam sebagai benda mati. Implikasinya, dunia modern telah menempatkan
semua realitas kehidupan manusia dengan ukuran rasionalitas yang otonom dengan
berdasarkan pada bukti-bukti empiris saja.
Dalam perkembangannya berikutnya Sains Barat hanya mengenal eksperimen dan
ilmu, sedang yang tidak berdasarkan ekpserimen tidak ilmiah. Pendekatan ini juga telah
menyebabkan reduksi besar-besaran sains (ilmu pengetahuan). Pendekatan sains (analitis)
memecahkan masalah menjadi unit-unit paling sederhana, lalu menyusun kembali menjadi
kesatuan.51
Keyakinan sains Islam bahwa sains tidak bebas nilai memang bertentangan
dengan keyakinan Barat yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values
free). Dan keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Adapun karakteristik sains
Barat dan sains Islam menurut Nasim Butt sebagai berikut.

50
Ibid, Ahmad Tafsir,.... hal. 46-48
51
Moh. Dahlan, Makalah dengan Judul Relasi Sains Barat dan Sains Islam, Suatu Upaya Pencarian
Paradigma Baru,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/444/451_umm_scientific_journal.pdf. hal. 70
21

Ukuran Sains Barat:


1. Percaya pada rasionalitas.
2. Sains untuk sains.
3. Satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas.
4. Netralitas emosional sebagai pr-asyarat kunci menggapai rasionalitas.
5. Tidak memihak, seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru
dan akibat-akibat penggunaannya.
6. Tidak adanya bias, validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti
penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya.
7. Penggantungan pendapat, pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti
yang meyakinkan.
8. Reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, karenanya harus dibagi
kedalam disiplin-disiplin dan subdisiplin-subdisiplin.
10. Universalisme, meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya bagi mereka yang
mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak.
11. Individualisme, yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan
permasalahan sosial, politik, dan ideologis.
12. Netralitas, sains adalah netral, sains bebas dari nilai, hanya menentukan benar dan
salah.
13. Loyalitas kelompok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas
terpenting dan perlu dijunjung tinggi.
14. Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus
dilawan.52
15. Tujuan membenarkan sarana, karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi
kesejahteraan umat manusia, setiap sarana, termasuk pemanfaatan hewan hidup,
kehidupan manusia, dan janin, dibenarkan demi penelitian sains.

Ukuran Sains Islam:


1. Percaya Pada wahyu.
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang
memiliki fungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-
sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual
maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka
seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya, dan hasil-hasilnya;

52
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), Hal. 73-74
22

6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah
pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan
dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada
penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang
tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga
pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika
bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi
akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan
nilai-nilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan
yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah),
baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya
interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa
baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara
memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas
ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi
bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah
usaha golongan tertentu.
14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang-
buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik
dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains.
Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan
moralitas.53

53
Ibid, Nasim Butt, ......hal. 74-75
23

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

Sains Modern adalah produk asli dari peradaban Barat yang dibangun atas dasar
sekularisasi epistemologinya. Konsep sekularisasi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Islam karena akan mengakibatkan putusnya hubungan antara Tuhan dan manusia.
Kenyataan tersebut terjadi karena agama dianggap tidak memiliki peran signifikan bagi ilmu
pengetahuan. Sebaliknya dalam Islam, ajaran Agama tidak bertentangan dengan ilmu, begitu
juga ilmu tidak menentang agama, maka lahirlah sains Islami.

Dalam sejarah masa klasik, Islam telah menunjukkan keyakinannya tentang eratnya
hubungan agama dan ilmu yang telah dicontohkan oleh kreativitas ilmuwan Muslim dalam
pengembangan sains dengan cara mensinergikan fungsi akal (rasio), kenyataan alam (empiri)
dan bersandarkan pada petunjuk wahyu, ilham atau intuuisi; berbentuk konsep epistemologi
eksperimentasi. Contoh produknya adalah ditemukannya ilmu kimia, fisika, falak,
kedokteran, irigasi, arsitektur, sistem mekanik dan lain-lain.

Dalam Epistemologi Sains Barat, secara singkat objek kajian sains barat adalah relitas
empirik, sedangkan alat atau sumber yang digunakan untuk mencari pengetahuan adalah akal
dan pancaindra dengan menggunakan metode ilmiah. Sedangkan epitemologi sains Islam,
objek kajiannya adalah ralitas empiraik dan metaemiprik atau fisik dan metafisik, sedangkan
alat/ sumber yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan adalah akal, pancaindra dan
24

hati dengan menggunakan metode induksi, deduksi, intuitif atau dalam bahasanya al-Jabiri
bayani, burhani, dan irfani.

Dalam menanggapi isu sains ini ternyata para ilmuwan muslim memperlihatkan
respon yang beragam. Kini terjadi dialog yang panjang diantara mereka dan melahirkan
berbagai lembaga yang secara serius melakukan riset di bidang. Yang jelas ilmu dalam
konsep Al Qur’an akan membawa manusia semakin dekat dengan Tuhannya, bukan menjauh
bahkan mengingkari sebagaimana dampak dari konsep sains modern.

Perbedaan karakteristik sains Barat dan Islam sangat mencolok sekali. Sains Barat,
materialistik, mekanistik dan atomistik. Sedangkan sains Islam dilandasi oleh semangat
tawhid. Sain Barat bebas nilai sedang sains Islam sarat dengan nilai. Nilai pijakan sains Islam
antara lain adalah tawhid, khilafah,’ibadah, ‘ilm, halal, ‘adl, istishlah, haram, zhulm, dan
dhiya’.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, 1995. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, dalam Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dalam Akhyak (ed),
Meniti Jalan Pendidikan Islam, 2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan? dalam
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, 1998. (Penerjemah: Agus
Efendi).Bandung: Mizan.
Bone, Gustave Le, The World of Islamic Civilization, 2001. Genewa: Tudor Publishing
Company 1974, (Penerjemah: Moh. Nurhakim), Malang: UMM-Press.
Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, 1996. Bandung: Pustaka Hidayah
Dahlan, Moh., Makalah dengan Judul Relasi Sains Barat dan Sains Islam, Suatu Upaya
Pencarian Paradigma Baru,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/444/451_umm_scientific_jo
urnal.pdf.
Djakfar, Muhammad, Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu, dalam El-
Jadid 2004. Malang: UIN, Vol.02 No.3
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, 1998. (Penerjemah: Agus Efendi).
Bandung: Mizan.
Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, 2002. Bandung: Mizan.
---------------------------- , Z, 2002. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, 1998. A.E. Priyono (Ed), Bandung: Mizan.
Qomar, Mujamil, Intuisi sebagai Pendekatan Epistemologi Pendidikan Islam, dalam Akhyak
(ed), Meniti Jalan Pendidikan Islam,2003. Yoqyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalaluddin, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam, dalam Taufiq Ismail (Ed), Horison
Esai Indonesia 2, 2004. Jakarta: Horison.
Ridwan, Hasan, Ahmad, dan Safruddin, Irfan, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, 2001.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Saebani, Ahmad, Beni, Filsafat Ilmu, 2009. Bandung: Pustaka Setia.
25

Suriasumantri, Jujun S.,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2003. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan, 2010.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet V
http://repository.upi.edu/operator/upload/d_ipa_0707387_chapter3.pdf.

Anda mungkin juga menyukai