MAKALAH
EPISTEMOLOGI
SAINS BARAT DAN ISLAM
Oleh:
HASINUDDIN
NIP: 198209152009011008
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
C. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Sains Barat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
B. Epistemologi Sains Barat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 6
C. Epistemologi Sains Islam dan Perbandingannya dengan
Epistemologi Sains Barat. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
BAB III : KESIMPULAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sains Modern/Sains Barat yang terlahir dari rahim gagasan renaisans sejak dulu
tidak terlepas dari sorotan tajam dan kritik di kalangan para ahli. Mereka bertolak dari
kesadaran bahwa sains modern dengan segala keterbatasannya, semakin diyakini telah
memiliki cacat yang cukup serius karena dianggap belum mampu menjawab
permasalahan dunia dan manusia dengan analisis sainsnya. Bahkan justru ia dituding
sebagai penyebab krisis global yang melanda masyarakat internasional1. Dalam konteks
ini menarik sekali untuk diungkapkan pernyataan Gregory Bateson : “Sudah jelas bagi
banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-
kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik,
ataupun kemungkinan mencairnya es antariksa”2.
Lebih jauh, implikasi dari kesadaran itu melahirkan penyangkalan atas klaim
objektifitas sains. Teori ilmu objektif yang dikembangkan Descartes tersebut antara lain
merujuk pada pola pembebasan realitas sains (netralisasi) dari berbagai hal termasuk
keyakinan dan agama (sekularisasi). Tetapi menurut M. Amin Abdullah menyatakan
bahwa klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif memungkinkan
adanya praktek manipulasi dengan proses rekayasa3.
Dengan demikian, banyak ilmuwan kemudian menyadari bahwa sains modern
bukanlah satu-satunya pilihan dalam pengembangan keilmuan. Berangkat dari keyakinan
bahwa dengan paradigma berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda pula maka,
dimulailah agenda pencarian alternatif-alternatif epistemologi baru. Mulai dari kelompok
humanis radikal, Marxisme, hingga kelompok yang lari ke dunia mistis4.
Namun begitu, eksistensi sains modern terus berkembang dengan semangat
sekularisasinya. Sebuah semangat revolusi sains yang berpijak pada ide pembebasan
rasio dari mitologi. Agama sebagai dasar fundamental dari keyakinan ditinggalkan.
Tuhan dianggap tidak memiliki andil dalam proses pengetahuan. Maka kemudian
1
Haidar Bagir dan Zainal Abidin, Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan? dalam Mahdi Ghulsyani,
Filsafat Sains dalam Al-Qur’an,Penerjemah: Agus Efendi. (Bandung:Mizan,1998). hal.7
2
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin,..... hal.7
3
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar,1995), hal.157
dalam Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dalam (ed) Akhyak, Meniti Jalan Pendidikan Islam,
(Yoqyakarta: Pustaka Pelajar,2003), hal.11
4
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ..., hal.20
3
timbullah pemikiran bahwa kehidupan ini berpusat pada manusia (antroposentris). Akal-
lah yang mampu mendapatkan segala pengetahuan (rasionalisme). Ilmu pengetahuan
tetap diposisikan secara netral. Agama dan ilmu dipisahkan.
Refleksi budaya Barat seperti itulah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia,
membentuk semacam imperialisme epistemologi. Tak terkecuali dunia Islam.
Masyarakat dunia kemudian percaya bahwa kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan
hanya dapat terlaksana jika mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan agama 5, karena
“hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat muncul dari
pendekatan non agama, jika bukan anti agama”6.
Paradigma seperti itu pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita Islam. Umat
muslim meyakini bahwa al-Qur’an, sebagai wahyu Allah, merupakan petunjuk bagi
mereka. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran normatif. Ajaran normatif inilah yang
ditransformasikan sebagai teori ilmu untuk kemudian diaktualkan langsung menjadi
prilaku. Itu berarti ajaran normatif pulalah yang dijadikan pondasi bagi konstruksi
bangunan pemikiran keislaman yang dimungkinkan mampu mendasari berbagai disiplin
ilmu7. Dengan demikian konsepsi Islam sampai pada kesimpulan bahwa antara ilmu dan
agama sama sekali tidak ada pertentangan.
Konsep agama dalam Islam tidak mengenal panteologisme atau pemikiran serba
teologi yang cenderung mengalienasi rasio. Hal tersebut tercermin dari ketegasan Al-
Qur’an untuk senantiasa menggunakan akal, observasi empiris, pengalaman bahkan
intuisi, untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Konsep seperti itu tidak
ditemukan di agama lain. Kristen misalnya yang cenderung panteologis memang sulit
menerima sistem pengetahuan rasional dan mengakibatkan konflik besar antara ilmu dan
agama8.
Dalam hal ini Islam dianggap mampu menjawab tantangan epistemologi sains
Barat tersebut. Karena, epistemologi Islam mempunyai citra tersendiri yang tak kalah
dari citra Barat. Oleh karenanya pemakalah ingin mencoba membandingkan
Epistemologi sains Barat dengan sains Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
5
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (ed) A.E. Priyono, (Bandung: Mizan,1998), hal.161
6
Ibid, Kuntowijoyo, ..., hal.168
7
Ibid, Mujamil Qomar, ..., hal. 3-4
8
Ibdi, Kuntowijoyo
4
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian sains
2. Mengetahui epistemologi sains Barat
3. Mengetahui epistemologi sains Islam dan perbadingannya dengan epistemologi sains
Barat
BAB II
5
PEMBAHASAN
9
http://repository.upi.edu/operator/upload/d_ipa_0707387_chapter3.pdf
6
salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan sebagian orang menyangka sains itu netral
atau bebas nilai.14
Selain pengetahuan sains itu rasional, empiris tetapi juga harus positif. positif
artinya sama dengan faktual, apa yang didasarkan kepada fakta-fakta. Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Pengetahuan sains
bukanlah pengetahuan yang empisris murni, karena empirisme masih mengakui dan
membenarkan adanya pengalaman batiniah. Pengalaman banitniah ini yang ditolak oleh
aliran positivisme karena tidak bisa dikaji dengan metode ilmiah.
Adapun struktu sains, secara garis besar dibagi menjadi dua:
1. Sains kealaman, diantaranya: (a) ilmu astronomi, (b) ilmu fisika diantaranya adalah
mekanika, bunyi, cahaya, optik, fisika nuklir. (c) ilmu kimia diantaranya kimia
organik dan kimia teknik. (d) ilmu bumi (paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia,
mineralogi, geografi). (e) Ilmu hayat (biofisika, botani, zoologi).
2. Sains Sosial, diantaranya: (a) Sosiologi, tercakup didalamnya sosiologi komunikasi;
sosiologi politik politik, sosiologi pendidikan. (b) Antropologi, tercakup didalamnya
anttopologi budaya, antropologi ekonomi, dan antropologi politik. (c) Psikologi,
(psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal). (d) Ekonomi: ekonomi
makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan. (e) Politik: politik dalam negeri,
politik hukum, politik internasoinal.15
Sains sangat berguna sekali bagi manusia. Kegunaan sains setidak-tidaknya
sebagai deskripsi, ekplanasi, prediksi, konfirmasi, dan pengontrol terhadap suatu
fenomena. Sains sebagai alat deskripsi dan ekplanasi, bisa menggambarkan dan
menjelaskan suatu fenomena. Dan sains merupakan suatu sistem yang paling dapat
diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa lampau,
sekarang, dan akan datang. Sebagai alat konfirmasi, sains bisa membenarkan apa yang
terjadi. Sebagai alat prediksi, sains bisa meramal apa yang akan terjadi dengan
mengunakan hukum kausalitas. Sebagai alat pengontrol, sains bisa digunakan oleh
manusia untuk mengontrol apa yang terjadi dan yang akan terjadi16.
14
Ibid. Ahmad Tafsir,..., Hal. 25
15
Ibid, Ahmad Tafsir, .... hal.25-26
16
Ibid, Ahmad tafsir, ..... hal.37-40
8
Objek yang diteliti sains ialah semua objek yang empiris-positif. Jujun S.
Suriasumantri mengatakn bahwa objek kajian sains hanyalah objek yang berada
dalam ruang lingkup pengalaman manusia yang dihasilkan oleh indera.17
Objek kajian sains haruslah objek-objek yang empiris. Bukti-bukti yang
empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasonal yang telah dirumuskan didalam
hipotesis.
Semua yang ada itu bisa diteliti sains. Dari penelitian itulah muncul teori-teori
sains. Teori-teori tersebut dikelompokkan kedalam masing-masing cabang sains
sebagaimana yang ada di struktur sains.18
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material
terbatas alam dan manusia. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek
formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni
masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan
dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Objek sains terbatas pada objek fisik yang sifatnya measurable sacara statistik
atau yang psositif. Sehingga pengertian sains hanya dibatasi pada pengetahuan yang
positif dan dapat dijangkau oleh indra manusia.
17
Ibid, Jujun S. Suriasumantri, .... Hal. 105
18
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 27-28
9
setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama, yaitu dengan logika. Akal inilah
yang paling disepakati. Maka Humanisme melahirkan Rasionalisme.19
Rasionalisme merupakan paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah
alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan pengukur pengetahuan. Menurut
Ahmad Tafsir, Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Alat dalam berpikir adalah kaedah-kaedah logis atau logika. Tokoh aliran ini
adalah Rene Descartes dan Libniz. Descartes berusaha menemukan kebenaran yang
benar-benar meyakinkan, sehingga dengan menggunakan metode deduktif semua
pengetahuan dapat disimpulkan. Descartes memahami Rasio sebagai sejenis
perantara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan ditelusuri
dengan penalaran logis yang bertumpu pada metode deduktif.20
Dalam proses pembuatan aturan, ternyata temuan akal sering kali
bertentangan. Maka diperlukan alat lain, yaitu pengalaman indrawi.
Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
yang logis dan ada bukti empirisnya.21 Tokoh aliran ini adalah John Lock. Menurut
aliran ini, tanpa pengalaman rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
gambaran tertentu, kalaupun menggambarkan, itu hanyalah khayalan belaka.
Pengetahuan muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat
dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Akal merupakan tempat
penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti
semua pengetahuan manusia -betapun rumitnya- dapat dilacak kembali sampai pada
pengalaman-pengalaman indrawi yang telah tersimpan rapi didalam akal. Inilah
kelemahan akal.22
Pengetahuan yang dihasilkan oleh empirisme masih bersifat umum dan belum
oprasional. Karena pengetahuan yang dihasilkan itu masih belum terukur. Maka
dibutuhkan alat yang kemudian disebut dengan Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran itu harus logis, ada bukti
empirisnya dan terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting dari positivisme 23. Aliran
ini diperkenalkan oleh Augus Conte (1798-1857). Menurut Juhaya positif artinya
sama dengan faktual, apa yang didasarkan kepada fakta-fakta. Menurut positivisme,
19
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 29-30
20
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hal 84
21
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 31
22
Ibid, Ahmad Saebani, .....hal.94-95
23
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 32
10
Metode Metode
Humanism Rasionalisme Empirisisme Posititvisme Riset
Ilmiah
e n
Ilmu Pengetahuan
24
Ibid, Ahmad Saebani, .....95-96
25
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 33-34
11
teori-teori tentang bumi. Ilmu Hayat membicarakan tentang makhluk hidup. Jadi isi
ilmu adalah teori.
Ada teori sains Ekonomi yang mengatakan bila penawaran sedikit, permintaan
banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena saking kuatnya maka ia
ditingkatkan menjadi hukum, yang disebut hukum penawaran dan permintaan.
Berdasarkan hukum ini maka barangkali benar dihipotesiskan: jika hari hujan terus,
mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk
membuktikan hipotesis ini benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah.
Pertama, kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika hujan terus harga gabah
akan naik?
Jika hari hujan terus maka orang tidak dapat menjemur padi, panawaran beras
akan menurun, jumlah orang yang memerlukan beras tetap, orang berebutan membeli
beras, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pedagang beras untuk memperoleh untung
sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga
beras akan naik. Hipotesis itu lulus ujian logika. Kedua, uji empiris. Adakan
eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak
diaktifkan, beras di daerah lain tidak masuk. Periksa pasar, apakah harga beras naik?
Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya
karena banyak orang mengganti makanannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu
dikontrol dengan ketat, hipotesis itu pasti didukung dengan kenyataan. Jika didukung
oleh kenyataan dan terbukti beras naik maka hipotesis itu menjadi teori. Jika suatu
teori selalu benar dan selalu terbukti secara empiris, maka teori itu naik
kedudukannya menjadi hukum atau aksioma.
Hipotesis (dalam sains) adalah pernyataan yang sudah benar menurut logika,
tetapi belum ada bukti empirisnya. Hipotesis benar bila logis. Tidak adanya bukti
empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Maka tidak benar orang
yang mengatakan bahwa hipotesis itu mungkin benar mungkin salah atau orang yang
mengatakan hipotesis itu kemungkinan benar dan salahnya sama besar26.
Jadi, ukuran kebenaran yang digunakan dalam sains modern adalah kebenaran
ilmiah, yaitu kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ilmiah,
menyangkut relevansi antara teori dengan kenyataan hasil penelitian di lapangan.27
26
Ibid, Ahmad Tafsir, ... hal. 35-36
27
Ibid, Ahmad Saebani , ....hal.9
12
28
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 59.
29
Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2002). Hal. 57-
58
30
Ibid, Kuntowijoyo, .... hal.168
31
Ibid, Mujamil Qomar, ..., hal. 13
13
dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi
sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam.
Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada
wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-
empiris? Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memiliki keterbatasan kemampuan
untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang
telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit
dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari
kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Allah.
Allah telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo
mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat
observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.32
Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-
nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita
mengenal adanya konsep tawhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan
Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa
Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang
Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya
yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah
kepada-Nya.33
Adapun jelasnya nilai-nilai yang ada dalam sains Islam yang menjadi pijakannya
diantaranya sebagai paradigma dasar: 1) Tawhid (keesaan Allah); meyakini hanya ada 1
Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya. 2) Khilafah (kekhalifahan manusia); manusia berada
di bumi sebagai wakil Allah dan segalanya sesuai keinginan-Nya. 3) Ibadah (ibadah);
keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah. Sebagai Sarana: 4) `Ilm
(pengetahuan); tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material,
tapi juga yang metafisik. Sebagai Penuntun: 5) Halal (diperbolehkan); 6) Adl (keadilan);
semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu terhadap suatu kaum
membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan
rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan; 7)
ishtishlah (kemaslahatan umum). Sebagai Pembatas: 8) Haram (dilarang); 9) Zhulm
32
Ibid, Kuntowijoyo, ...., hal. 169
33
Ibid, Kuntowijoyo, ...., hal .228-229
14
34
Jalaluddin Rahmat, Prinsip-prinsip Epistemologi Islam, dalam (ed) Taufiq Ismail, Horison Esai Indonesia 2,
(Jakarta: Horison, 2004), hal. 249-250
35
Ibid, Mujamil Qomar, ....hal. 16
36
Ibid, Kuntowijoyo, .
15
37
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, .... hal. 33.
38
Lihat Gustave Le Bone, The World of Islamic Civilization, Genewa: Tudor Publishing Company 1974
(Penerjemah: Moh. Nurhakim), (Malang: UMM-Press, 2001), hal. 80-87
39
Ibid, Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ... hal. 33
40
Mujamil Qomar dalam Intuisi sebagai Pendekatan Epistemologi Pendidikan Islam, dalam (ed) Akhyak,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). hal. 40-84
16
ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya.41 Namun pada dasarnya
dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang
mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan
inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.42 Atau dalam bahasa al-
Jabiri, Bayani, Burhani, dan Irfani.
Dalam epistemologi Barat menurut Mulyadhi, hanya terbatas pada objek-objek
fisik, bukan noninderawi, nonfisik, dan metafisika yang dapat diketahui secara ilmiah.
Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat diketahui.
Dan status ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara
inderawi - konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh- adalah real.
Dalam Islam untuk memahami hal-hal metafisik menggunakan metode intuitif
dan tidak bisa didekati dengan metode observasi empiris yang menjadi dasar sains Barat.
Makanya asumsi sains Barat yang menyatakan bahwa dunia fisik merupakan realitas
terakhir yang independen tidak akan pernah diterima dalam persektif Islam. Dalam
persektif Islam semua yang ada adalah ciptaan Allah dan terkait erat kepada kekuasaan
Allah, dan realitas yang ada adalah tanda-tanda (ayat-ayat) yang menunjukkan keberadaan
dan kekuasaan Allah43.
Tentang metodologi, Mulyadhi dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan
bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan
para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau
hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau
disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif
(‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati44.
Maka dalam epistemologi sains Barat, objeknya adalah realitas empirik-fisik.
Adapun alat atau sumbernya adalah pancaidera dan akal manusia. Sedangkan metode yang
digunakan dalam sains barat adalah metode deduksi-induksi atau yang disebut dengan
metode ilmiah. Sedangkan dalam persepektif Islam, objek sains adalah realitas empirik
dan metaempirik. Sedangkan alat yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
dalam sains Islam adalah panca Indera, akal dan intuisi (fuad/Qalbu).
41
Ibid, Mujamil Qomar, Epistemologi Islam,...hal. 24-25
42
Ibid, Muhammad Djakfar,....hal. 20
43
Mulyadhi Kartanegara. Menyingkap Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.(Bandung: Mizan,
2002). Hal. 133
44
Ibid, Mulyadhi kartanegara, Menembus Batas Waktu, hal 61
17
Metode bayani banyak dikembangkan oleh fuqaha’. Sistem berpikir ini sangat
bergantung pada teks; teks berada diatas akal (filsafat). Ilmu fiqh, tafsir, filologi, menurut
Jabiri, merupakan produk episteme ini yang disebutnya sebgai al-ma’qul al-dini (religious
rasionalitas). Karakteristik utama episteme ini adalah ketergantungannya pada teks, bukan
pada akal. Yang dimaksudkannya dengan teks disini adalah al-Qur’an dan Sunnah.45
Adapun episteme burhani, Ibn Rushd menurut Jabiri merupakan sosok yang
paling sempurna merepresentasikan tipe burhani ini. Tipologi sistem ini tidak berpegang
pada nash (teks) semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya. Inilah yang membuat
barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat telah dengan jitu mengaplikasikan
semangat rasionalisme Jabiri dan emperisismenya dalam sistem peradaban mereka. Oleh
sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus
dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga emperisisme.46
Adapun sistem episteme ‘irfani adalah sistem filsafat yang dikembang oleh para
sufis yang dipengaruhi dimana intuisi memegang peran penting dalam menggapai
kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada ketika ini, menurut Jabiri, menjadi pensiun
(al-‘aql al-mustaqil). Sistem ini disebut Jabiri sebagai alla ma’qul ‘aqli. Menutunya lagi
sistem ini dianut oleh pemikir seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Shi’ah Isma’iliyyah, dan al-
imamiyyah. Bagi Jabiri sistem inilah yang menjadi biang kedok kejumudan Islam.47
Dari sisi aksiologi, dalam sains Barat, ilmu tidak berimplikasi pada penguatan
iman dan amal. Ilmu hanya berkutat pada kebahagiaan material dan kepuasan intelektual
(dunia semata). Sedangkan dalam Islam, ilmu berimplikasi pada penguatan iman dan
peningkatan amal, karena ilmu berorentasi kepada kebahagiaan material, intelektual,
moral dan spiritual bahkan berorientasi pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sains sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam selama tidak menabrak atau
tidak bertentangan dengan dasar-dasar pokok agama Islam. Kenyataannya sains Barat
dengan epistemologinya yang seperti itu menolak dan menentang adanya eksistensi
Tuhan, malaikat, hari akhir, kenabian, dan lain-lain.
Hukum Gravitasi Newton misalnya, bisa saja diterima asal tidak diasumsikan
hukum tersebut tidak berjalan secara independen tanpa adanya campur tangan Tuhan
(dalam bentuk apapun). Kalau diyakini hukum itu berjalan secara independen tanpa
45
Lihat Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, Dasar-Dasar Epistemologi Islam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001. Hal 334
46
Ibid, Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, ...., hal. 352
47
Ibid, Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin, ...., hal. 348
18
adanya campur tangan Tuhan, maka secara otomatis Tuhan akan disingkirkan sebagai
sesuatu yang tidak diperlukan.
Begitu juga teori evolusi, baik evolusi geologis maupun evolusi biologis,
sebenarnya dapat diterima, asal saja tidak diasumsikan bahwa kekuatan yang
mengerakkan evolusi tersebut bersifat independen atau otonom, seperti “seleksi alamiah”
yang dipandang hukum otonom oleh Darwin dan bertanggung jawab kepada evolusi
organik, termasuk penciptaan spesies-spesies. Kalau tidak, orang akan mudah
menyingkirkan Tuhan sebagai pencita. Dalam Kasusnya Laplace, mengatakan peran
Tuhan sebagai pengatur, pemelihara alam telah digantikan oleh “hukum mekanik”48.
Ternyata respon para ilmuwan muslim terhadap sains sangat beragam dan
membentuk sebuah spektrum yang lebar. Pendapat paling ekstrim menganggap sains
modern bersifat universal, netral dan bebas nilai (free Value), karena itu hanya ada satu
sains. Menurut mereka rasionalitas sains tidak bisa dikompromikan dengan urusan-urusan
keagamaan yang berdimensi lain. Islamisasi sains, bagi mereka berarti mengorbankan
obyektivitas dan netralitas sains.
Di ujung ekstrim yang lain, pendapat ilmuwan yang mengatakan bahwa sains
modern adalah sains Barat yang tumbuh dari akar budaya Barat yang sekuler. Bagi mereka
sains bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan terikat dengan asumsi-
asumsi epistemologis tertentu.49
Diantara dua kutub pendapat ekstrim tersebut terdapat beberapa pendapat lain
yang lebih moderat, Ali Kattani berpendapat bahwa sains Islam tidak berbeda secara
radikal dengan sain Barat, hanya saja prioritas riset dan penekanannya yang berbeda.
Begitu pula tujuan- tujuan pemakaiannya. Begitu juga Dr. Abdussalam (ilmuwan Pakistan
pemegang hadiah Nobel bidang fisika l979) yang menganggap isi sain bersifat universal,
tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan islami.
Secara umum sikap ilmuwan muslim dalam merespon sains dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok:
1. Kelompok muslim apologetic, yaitu kelompok yang mengganggap sains modern itu
bersifat universal dan netral. Selanjutnya kelompok ini berusaha melegitimasi produk-
produk sains modern kepada nash-nash Al-Quran
48
Ibid, Mulyadhi Kartanegara, Menyingkap Tirai Kejahilan, ...hal, 134
49
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (Penerjemah: Agus Efendi), (Bandung: Mizan, 1998).
Hal.88
19
2. Kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha mempelajari
sejarah dan filsafat ilmu guna menyaring elemen-elemen yang tidak islami. Dalam
kelompok ini kita kenal al-Kattani, Abdussalam
3. Kelompok yang percaya adanya sains islam dan berusaha membangunnya. Dalam
kelompok ini kita mengenal nama-nama seperti Seyyed Hoesin Nasr, Nawab Haider
Naqvi dengan gagasan ekonomi islamnya. Ismail Al-Fauqi, Ali Syaria’ati, Murtadha
Mutahhari dan Basyarat Ali yang berusaha meng-islamisasi ilmu-ilmu sosial, serta
Ziauddin Sarda, Anees, Meryll Wynn Dayies dan Gulzar Haidar dalam bidang-bidang
seperti biologi, antropologi, lingkungan, perkotaan dan pemukiman.
Terkait dengan netralitas sains. Sains itu ibarat pisau. Pisau bisa digunakan apa
sajaterserah penggunanya. Pisau bisa digunakan untuk membunuh dan juga bisa
digunakan untuk kebaikan lainnya. Makanya sains dikatakan netral atau tidak memihak
atau bisa disebut bebas nilai (value free). Sedangkan lawannya terikat nilai (value bound).
Keuntungan sains itu netral adalah perkembangan sains akan cepat terjadi. Karena
tidak ada yang menghambat atau menghalangi ketika peneliti: 1) memilih dan menetapkan
objek yang hendak dikaji. 2) cara meneliti, dan 3) ketika menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sains itu tidak netral, ia akan dibatasi oleh nilai dalam 1)
memilih objek penelitian, 2) cara meneliti, dan 3) menggunakan hasil penelitian.
Ketika meneliti cara kerja jantung manusia, orang yang beraliran sains tidak netral
mungkin akan mengambil jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang mirip dengan
manusia. Orang yang beraliran sains netral mungkin akan mengambil orang gelandangan
untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sains tidak netral akan meneliti jantung
dengan tidak menyakitkan kelinci tersebut. Sedang orang yang beraliran sains netral tidak
akan mepedulikan apakah objek penelitiannya menderita atau tidak. Orang yang menganut
sains value free akan menggunakan hasil penelitiannnya secara bebas, sedang orang yang
bermadhab sains terikat nilai akan menggunakan produk sains untuk kebaikan saja.
Pada aspek aksiologinya, penganut sains netral akan menggunakan hasil
penelitiannya utuk kepentingan apa saja tanpa mempertimbangkan nilai. Paham sains
netral sebanarnya telah melawan dan menyimpang dari maksud penciptaan sains. Tadinya
sains dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini
sebenarnya telah bermakna bahwa sains tidak netral. Sains memihak pada kegunaan
20
50
Ibid, Ahmad Tafsir,.... hal. 46-48
51
Moh. Dahlan, Makalah dengan Judul Relasi Sains Barat dan Sains Islam, Suatu Upaya Pencarian
Paradigma Baru,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/444/451_umm_scientific_journal.pdf. hal. 70
21
52
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), Hal. 73-74
22
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah
pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan
dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada
penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang
tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga
pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika
bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi
akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan
nilai-nilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan
yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah),
baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya
interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa
baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara
memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas
ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi
bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah
usaha golongan tertentu.
14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang-
buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik
dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains.
Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan
moralitas.53
53
Ibid, Nasim Butt, ......hal. 74-75
23
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Sains Modern adalah produk asli dari peradaban Barat yang dibangun atas dasar
sekularisasi epistemologinya. Konsep sekularisasi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Islam karena akan mengakibatkan putusnya hubungan antara Tuhan dan manusia.
Kenyataan tersebut terjadi karena agama dianggap tidak memiliki peran signifikan bagi ilmu
pengetahuan. Sebaliknya dalam Islam, ajaran Agama tidak bertentangan dengan ilmu, begitu
juga ilmu tidak menentang agama, maka lahirlah sains Islami.
Dalam sejarah masa klasik, Islam telah menunjukkan keyakinannya tentang eratnya
hubungan agama dan ilmu yang telah dicontohkan oleh kreativitas ilmuwan Muslim dalam
pengembangan sains dengan cara mensinergikan fungsi akal (rasio), kenyataan alam (empiri)
dan bersandarkan pada petunjuk wahyu, ilham atau intuuisi; berbentuk konsep epistemologi
eksperimentasi. Contoh produknya adalah ditemukannya ilmu kimia, fisika, falak,
kedokteran, irigasi, arsitektur, sistem mekanik dan lain-lain.
Dalam Epistemologi Sains Barat, secara singkat objek kajian sains barat adalah relitas
empirik, sedangkan alat atau sumber yang digunakan untuk mencari pengetahuan adalah akal
dan pancaindra dengan menggunakan metode ilmiah. Sedangkan epitemologi sains Islam,
objek kajiannya adalah ralitas empiraik dan metaemiprik atau fisik dan metafisik, sedangkan
alat/ sumber yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan adalah akal, pancaindra dan
24
hati dengan menggunakan metode induksi, deduksi, intuitif atau dalam bahasanya al-Jabiri
bayani, burhani, dan irfani.
Dalam menanggapi isu sains ini ternyata para ilmuwan muslim memperlihatkan
respon yang beragam. Kini terjadi dialog yang panjang diantara mereka dan melahirkan
berbagai lembaga yang secara serius melakukan riset di bidang. Yang jelas ilmu dalam
konsep Al Qur’an akan membawa manusia semakin dekat dengan Tuhannya, bukan menjauh
bahkan mengingkari sebagaimana dampak dari konsep sains modern.
Perbedaan karakteristik sains Barat dan Islam sangat mencolok sekali. Sains Barat,
materialistik, mekanistik dan atomistik. Sedangkan sains Islam dilandasi oleh semangat
tawhid. Sain Barat bebas nilai sedang sains Islam sarat dengan nilai. Nilai pijakan sains Islam
antara lain adalah tawhid, khilafah,’ibadah, ‘ilm, halal, ‘adl, istishlah, haram, zhulm, dan
dhiya’.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S.,Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2003. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan, 2010.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet V
http://repository.upi.edu/operator/upload/d_ipa_0707387_chapter3.pdf.