Anda di halaman 1dari 24

35

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LIAN
A. Pengertian Lian
Kata liandiambil dari kata al-lanu yang artinya jauh dan laknat atau
kutukan58, disebut demikian karena suami istri yang saling berlian itu berakibat
saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk
selama-lamanya, atau karena yang bersumpah lianitu dalam kesaksiannya yang
kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak
benar.59
Secara terminologi lianmerupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan oleh
seorang suami kepada istrinya dengan lima kali sumpah dan pada sumpah yang
terakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat kepadanya jika dia
dusta.60
Menurut istilah Hukum Islam, lian adalah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia
termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu.61

58

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Bogor, 2003, hlm. 238
Ibid., hlm. 238-239.
60
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh, Dar al-Fikr, Damsyik, 1984, hlm. 7092
61
Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit., hlm 239
59

35

Universitas Sumatera Utara

36

Lian merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang
telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi
alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan lian apabila telah menuduh
berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi
laki-laki.62
Lian merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam kepada
umat Islam, jika ditengah-tengah perjalanan suami merasakan ada kejanggalan
terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yang dapat dilakukan untuk
menyangkal anak tersebut yaitu dengan cara lian. Sayyid Sabiq mengatakan
bahwa:63
Jika suami melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain lebih baik dia
menthalaq istrinya, bukan melakukan lian. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki
yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina, dan boleh
tidak mengakui kehamilan istrinya, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena
ia merasa sama sekali belum pernah mencampuri istrinya sejak aqad nikahnya,
atau ia merasa mencampuri istrinya tetapi baru setengah tahun sedangkan
umur kandungannya tidak sesuai dengan usia pernikahannya.
Dari pendapat Sayyid Sabiq dapat dipahami bahwa lian merupakan salah satu
jalan jika suami tidak mau mengakui anak yang dikandung oleh istrinya.
Di dalam hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai lian tetapi
lebih dikhususkan kepada apa yang disebut dengan pengingkaran atau penyangkalan
anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

62

M. Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,
Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hlm. 153.
63
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,Juz II, Dar Al-Fath, Mesir, 1995, hlm. 139

Universitas Sumatera Utara

37

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan ketentuan Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 dan
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam.
Berikut akan diuraikan beberapa pengertian lian yang dibedakan menurut AlQuran dan Hadist dengan yang diatur dalam Ketentuan Perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
1.

Menurut Al-Quran dan Hadist


Lian merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-

Quran, ada beberapa ayat Al-Quran dan Hadist yang menjadi acuan sebagai dasar
atau asas dalam menentukan hukum lian. Adapun ayat tersebut yaitu :
Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 6-7 :
Dan orang-orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi
mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang
mereka ialah empat kesaksian dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima bahwa laknat Allah
atasnya, jika dia termasuk para pembohong.64
Ayat di atas menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat tersebut
menyatakan bahwa : Dan adapun sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh
istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan
tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka,
yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil
menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya
dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada

64

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Lentera
Hati, Jakarta, 2002, hlm. 290.

Universitas Sumatera Utara

38

istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging
sifat buruk itu dalam kepribadiannya.65
Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh
istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan
tuduhan suaminya.
Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 8-10 :
Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian
dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang
pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnyajika dia termasuk
orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri
kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha
Bijaksana.66
Ayat ini menyatakan apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami,
maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri
hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian
yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu
bahwa sesungguhnya dia yakin suaminya benar-benar termasuk kelompok orangorang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allahatasnya jika dia
yakin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar. Seandainya Allah
bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak
ada karunia Allah yang menurunkan Al-Quran atas diri kamu dan kalau juga tidak
ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan
65
66

Ibid., hlm. 290-291.


Ibid., hlm. 291.

Universitas Sumatera Utara

39

ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu maka pastilah
kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi
karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah
Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.67
Ayat ini turun berkenaan dengan Hillal Ibn Umayyah yang menuduh
dihadapan Nabi SAW bahwa istrinya menyeleweng. Nabi SAW menuntut darinya
empat orang saksi atau dicambuk. Ia mempertanyakan hal tersebut dan menyatakan
bahwa ketentuan itu tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami. Berikut
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari :68
Dari Ibnu Abbas bahwa Hillal bin Umayyah menuduh istrinya berzina
dihadapan Rasulullah SAW dengan Syuriak bin Sahma. Lalu Nabi SAW
bersabda : Tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya :
Wahai Rasulullah !, jika salah seorang di antara kami melihat istrinya jalan
di samping laki-laki lain, apakah akan diminta pula bukti?
Lalu Rasulullah SAW tetap bersabda : Tunjukkanlah bukti, kalau tidak
punggungmu didera!
Lalu sahutnya : Demi Tuhan ! yang mengutus tuan dengan sebenarnya.
Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayatnya
yang menolong saya dari hukuman had.
Lalu Jibril turun dan turunlah ayat.69
Kemudian Nabi SAW pergi kepada istri Hilal. Lalu Hilal datang dan
mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Maha Tahu,70kalau satu diantara kamu ini ada yang
berdusta. Apakah ada salah satu dari kamu ini yang bertaubat? Lalu istri
(Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya
sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. Kata Ibnu Abbas
: lalu istri (Hilal) tampak ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira
dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata : Saya tidak mau
67

Ibid., hlm. 291-292.


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Almaarif, Bandung, 1980, hlm. 135-138.
69
Ayat yang dimaksud adalah Surah An-Nuur (24) ayat 6-10.
70
Jika suami yang menuduh tak dapat ajukan saksi, dihukum dera. Tetapi jika dengan jalan
mulaanah tidak dihukum dengan dera ini.
68

Universitas Sumatera Utara

40

mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa. Lalu diteruskanlah


sumpahnya. Lalu Nabi SAW bersabda (kepada kaumnya): Perhatikanlah dia.
Jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya,
besar....., padat berisi kedua pahanya, berarti keturunan Syuraik bin Sahma.
Lalu ternyata lahirlah anak seperti tersebut. lalu Nabi SAW bersabda : Jika
bukan karena telah ada ketentuan lebih dulu dalam Al-Quran, tentulah aku
selesaikan urusannya dengannya71.
Ada beberapa definisi lian yang dikemukakan ulama fiqh, antara lain :72
a.

b.

c.

Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya dengan


persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan
dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal lian, yang ditanggapi dengan
kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hambali, lian juga berlaku
dalam keadaan nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah).
Bagi Ulama Mazhab Hanafi, lian tidak sah dalam nikah fasid.
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim
dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia
mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu,
kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat
kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah sahih maupun
nikah fasid. Bagi mereka, lian yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil,
orang gila, dan orang mabuk tidak sah.
Ulama Mazhab Syafii mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang
dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau
mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu.
Ada perbedaan pendapat dari para Ulama Mazhab dan beberapa Jumhur

Ulama dalam memandang lian sebagai sumpah atau kesaksian. Imam Maliki, Syafii
dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa lian adalah sumpah, sebab kalau dinamakan
kesaksian tentulah seseorang tidak pakai menyebut bersaksi bagi dirinya, karena
sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas menyatakan :
Andaikata tidak karena sumpahnya tentulah masih ada persoalan
71

antara aku

Jika bukan karena sudah ada hukum Lian dalam Al-Quran, tentu ia akan dijatuhi hukuman

had zina.
72

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm.

1009.

Universitas Sumatera Utara

41

dengannya (istri Hilal). Yang berpendapat lian sebagai sumpah berkata lian
dipandang sah antara suami istri sama-sama merdeka, atau sama-sama budak, atau
yang satu merdeka yang lain budak, atau sama-sama orang yang adil, atau sama-sama
orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka.73
Tetapi Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa lian adalah
kesaksian. Mereka beralasan firman Allah : ...maka kesaksian salah seorang dari
mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah...74, dan
juga Hadist Ibnu Abbas di atas yang menyebutkan : ...lalu Hilal datang, kemudian
mengucapkan kesaksian. Kemudian istrinya berdiri, lalu mengucapkan kesaksian
pula. Yang berpendapat lian sebagai kesaksian berkata tidak sah lian antara suami
istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya dapat diterima, karena itu
haruslah suami istri tersebut sama-sama orang yang merdeka dan muslim. Jika suamiistri sama-sama budak atau sama-sama pernah dihukum hadd karena menuduh orang
berbuat zina tanpa dapat menghadirkan empat saksi, maka mereka tidak boleh
melakukan lian. Begitu pula kalau salah seorang daripadanya kesaksian dapat
diterima dan lainnya tidak.75
Ibnu Qayyim berkata :
Yang benar ialah orang-orang yang bermulaanah harus sama-sama punya
hak sumpah dan kesaksian, maksudnya kesaksian yang dikuatkan dengan
sumpah, dan diucapkan berkali-kali dan sunpah berat yang disertai ucapan

73

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII,Op.Cit., hlm. 140-141.


Al Quran Surah An-Nuur (24) ayat 6.
75
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Loc. Cit.
74

Universitas Sumatera Utara

42

kesaksian berulang kali guna memutuskan perkaranya dan memperkuat


pernyataannya.76
Ada sepuluh hal yang dianggap memperkuat pernyataan tersebut. Pertama,
dengan memakai kata-kata kesaksian. Kedua, mengucapkan sumpah dengan Nama
Allah. Ketiga, orang yang menyangkalnya dengan menggunakan kata-kata penguat,
seperti sesungguhnya..., kemudian diiringi dengan menyebut pelakunya orang yang
benar atau dusta, bukan perbuatannya yang dituduhkan itu benar atau palsu. Keempat,
mengulangi kata-kata kesaksian empat kali. Kelima, kelima kalinya suami melaknat
dirinya sendiri, yaitu mengatakan bahwa laknat Allah akan jatuh padanya kalau ia
dusta. Keenam, pada kelima kalinya hendaknya istri menyatakan dia bersedia
menerima siksaan Allah, siksaan di dunia yang diterimanya masih lebih ringan
daripada siksa di akhirat nanti. Ketujuh, mulaanahnya suami mengakibatkan
jatuhnya hukuman (siksaan) pada istri, entah nantinya dengan hukuman hadd atau
penjara, sedang mulaanahnya istri dimaksudkan untuk menolak hukuman atas
dirinya tersebut. Kedelapan, mulaanah ini mengakibatkan salah seorang dari mereka
ini akan mendapatkan siksaan, entah di dunia ini atau di akhirat nanti. Kesembilan,
antara suami istri yang bermulaanah dipisahkan, yaitu diceraikan. Kesepuluh, untuk
selama-lamanya tidak boleh kawin lagi antara mereka ini.77
Di dalam Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 6-10 tersebut di atas, menamai
sumpah dengan syahadah/kesaksian. Ini karena sumpah-sumpah yang dituntut ayat
ini berfungsi sebagai syahadah dalam kasus selain suami yang menuduh seorang
76
77

Ibid.
Ibid., hlm. 141-142.

Universitas Sumatera Utara

43

wanita baik-baik. Memang, yang dituntut terhadap suami dan istri sebanyak lima kali.
Yang kelima adalah pengukuhan terhadap syahadah/sumpah yang empat kali itu,
karena yang tampil disini hanya dia sendiri, sehingga sumpah/kesaksian yang kelima
berfungsi mengingat dampak buruk dari sumpahnya bila ia berbohong.78
Dalam mulaanah ini kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi
dengan kesaksian, dan orang-orang yang bermulaanah karena ucapannya yang
diterima maka kedudukannya sama dengan saksi. Maka jika istri

menerima

bermulaanah, berarti persaksiannya sah dan dapat dipakai kesaksiannya tersebut.


Sumpahnya suami berarti dua hal yaitu terlepasnya dia dari hukuman hadd, tetapi istri
yang akan kena hadd. Tetapi kalau istri menolak tuduhan suaminya dan
mengucapkan lian pula maka suami lepas dari tuntutan hukuman hadd dan begitu
pula istrinya. Dalam hal istri menolak seperti ini kesaksian dan sumpah yang
diucapkan dinisbahkan kepada suami, bukan istri. Jika suami hanya mengucapkan
sumpah saja, maka istri tidak dijatuhi hadd karena sumpah tersebut. Jika suami
menyatakan kesaksian saja, istri juga tidak dijatuhi hadd karena kesaksian tersebut.
Tetapi jika sumpah dan kesaksian kedua-duanya digunakan oleh suami, ini berarti
sebagai petunjuk secara lahir tentang kebenaran tuduhannya, dengan demikian suami
terlepas dari hukuman hadd dan kepada istri dikenakan hadd (bila istri tidak
mengucapkan sumpah nukul/sumpah balasan). Demikian hukum yang sebaik-

78

M. Quraish Shihab, Op.Cit., hlm. 292.

Universitas Sumatera Utara

44

baiknya. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mulaanah sumpah berarti kesaksian
dan kesaksian berarti sumpah pula.79
2.

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi


Hukum Islam (KHI).
Pengertian lian yang diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 bersumber dari ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang
penyangkalan anak melalui cara lian. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tidak ada menyebutkan kata lian, tetapi menggunakan kata
penyangkalan anak, juga tidak menjelaskan pengertian lian secara eksplisit, tetapi
hanya menjelaskan makna secara global saja.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan :
seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
akibat daripada perzinahan tersebut.
Ketentuan pasal ini berlaku bagi suami yang ingin menyangkal anak yang dikandung
oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya berzina, dan dalam pasal yang
sama pada ayat (2) disebutkan tentang siapa yang berhak memutuskan terhadap sah
atau tidaknya anak tersebut :
pengadilan

memberikan

keputusan

tentang

sah/tidaknya

anak

atas

permintaan pihak yang berkepentingan.80

79
80

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 142-143.


Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Universitas Sumatera Utara

45

Meski ketentuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk


mengingkari anaknya, namun si ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinahan itu. Artinya, bila suami atau ayah
dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat, maka pengingkaran
tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk
mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang
sah/tidaknya anak tersebut.81
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, sedikit lebih jelas disebutkan
mengenai pengertian lian walaupun tidak secara eksplisit. Pada Pasal 101 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan :
seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lian.
Kemudian di dalam Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih jelas
disebutkan :
lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari
anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri
menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa lian juga
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.
Dari keterangan pasal-pasal di atas, baik yang terdapat pada Undang-Undang
Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, dapat diambil suatu kesimpulan
sebagai penjelasan bahwa lian merupakan salah satu bentuk perceraian yang
81

Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Universitas Sumatera Utara

46

dilakukan

di

depan

pengadilan

yang

dapat

juga

disertai

dengan

penyangkalan/pengingkaran oleh suami terhadap sahnya anak dalam kandungan


ataupun yang sudah lahir dari istrinya karena tuduhan zina yang memiliki serangkaian
ketentuan ataupun mekanisme tertentu untuk melakukan lian tersebut.
B. Bentuk-Bentuk Lian
Jika dilihat dari pengertian lian sebagai suatu tuduhan suami terhadap istrinya
bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata : Aku melihatnya sedang berzina
!, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya, maka lian
dapat dibedakan menjadi tiga macam :
1.

Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki
yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang
menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya
atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya
tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan
melian atau mengadakan mulaanah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang
menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina.82 Menurut ulama
Mazhab Maliki, suami yang mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan
tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan.83
Dalam hal ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya
tanpa disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung

82
83

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 138-139.


Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., hlm. 1009.

Universitas Sumatera Utara

47

ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai pemegang
hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan dapat pula tidak
mempergunakannya. Selama suami tidak mempergunakan haknya tersebut, maka
ia dianggap secara hukum menerima keadaan aquo dan kedudukan anak tetap
dipandang sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan
ayahnya.84
2.

Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami
boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena
ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya,
atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat
setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.85
Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak
yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan
bahwa :86
a. Suami belum pernah menjimaistrinya akan tetapi istri tibatiba melahirkan;
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima istrinya sedangkan
bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;
c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima suaminya.

3.

Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh istrinya


berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya, dan

84

Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam Jilid II, Loc.Cit.


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Loc.Cit.
86
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2004, hlm. 284.
85

Universitas Sumatera Utara

48

ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi.87 Kalau
suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah.
Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang
dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika
tuduhannya bohong/dusta, laknat Allah akan menimpa dirinya.88
Adapun pernyataan pengingkaran terhadap anak yang lahir dari rahim istrinya
harus dilakukan di hadapan hakim dengan ungkapan Anak ini atau kehamilan ini
bukan dari saya. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang waktu
pengingkaran terhadap anak tersebut. Beberapa Ulama Mazhab, seperti ulama
Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki tidak membolehkan
pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya setelah anak itu lahir. Sedangkan Ulama
Mazhab Syafii membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan ataupun
menunggu sampai kelahiran.89
Menurut Ulama Mazhab Hanafi, apabila pengingkaran itu dilakukan segera
setelah anak itu lahir atau pada masa proses kelahirannya, maka lian sah. Tetapi bila
dilakukan setelah itu, tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak dapat diterima.
Akibatnya, anak tersebut merupakan keturunannya, karena sebelumnya suami
tersebut diam saja dan sikap diam tersebut menunjukkan ridha suami.90

87

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Op.Cit., hlm. 405


Bermulaanah (melakukan lian) seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Quran surah AnNur (24) ayat 6-7.
89
Abdul Azis Dahlan, Loc.Cit.
90
Ibid.
88

Universitas Sumatera Utara

49

Ulama Mazhab Maliki, meskipun sependapat dengan Ulama Mazhab Hanafi,


tetapi disertai dengan pensyaratan dua hal dalam tuduhan suami dan pengingkaran
suami terhadap anak yang dilahirkan istrinya, yaitu pertama, suami tidak melakukan
senggama dengan istrinya selama masa yang diduga bisa menimbulkan kehamilan,
yaitu satu kali haid, dan kedua, pengingkaran anak tersebut dilakukan sebelum anak
itu lahir. Apabila suami diam saja tanpa alasan sampai anak itu lahir, walaupun satu
hari, maka lian tidak sah dan suami tersebut bahkan dikenakan hukuman tuduhan
berbuat zina91.
Sedangkan ulama Mazhab Syafii membolehkan pengingkaran dilakukan
selama kehamilan atau menunggu sampai kelahiran. Alasannya adalah sebuah
riwayat ketika Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya melakukan zina dengan Syuraik
as-Samha di hadapan Rasulullah SAW. Ulama Mazhab Syafii mengatakan bahwa
dibolehkannya tuduhan sampai kelahiran anak yang dikandung istri itu bertujuan agar
tuduhan dapat dikemukakan secara meyakinkan.92
Dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai waktu
pengingkaran anak ini telah diatur bahwa suami yang akan mengingkari seorang anak
yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka
waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau
setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat
yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

91
92

Ibid., hlm. 1010


Ibid.

Universitas Sumatera Utara

50

Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.93 Ini
berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam membolehkan dilakukannya pengingkaran
anak setelah kelahiran anak tersebut.

C. Rukun, Syarat dan Cara Melakukan Lian


Rukun merupakan sesuatu yang harus ada atau yang harus dilakukan untuk
sahnya perbuatan atau pekerjaan yang kita lakukan. Seperti halnya dalam
menjalankan shalat bagi umat Muslim ada rukun-rukun shalat yang harus dilakukan,
demikian pula halnya apabila hendak melakukan lian atau bermulaanah. Para
jumhur ulama mengemukakan empat rukun lian94, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Suami yang melakukan lian


Istri yang dilian
Sebab lian
Lafal lian
Terhadap rukun lian yang pertama dan kedua tersebut diatas, hendaknya

kedua suami istri itu adalah orang-orang yang sudah dewasa serta berakal sehat.
Sebab tidak ada beban (taklif) atas orang gila atau anak kecil, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW : pena itu diangkat dari tiga orang : dari anak kecil sampai ia
dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia
bangun.95
Adapun sebab lian adalah tuduhan suami terhadap istrinya bahwa istrinya itu
berbuat zina dan suami mengingkari terhadap sahnya anak dalam kandungan istrinya
93

Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam (KHI).


Abdul Aziz Dahlan, Loc.Cit.
95
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 218.
94

Universitas Sumatera Utara

51

atau yang telah lahir dari istrinya tersebut sebagai darah dagingnya. Pihak suami
harus mengadukan bahwa ia melihat istrinya melakukan zina. Dalam hal kehamilan,
ia juga harus mengajukan bukti yang menyatakan bahwa dia tidak pernah menggauli
istrinya itu atau ia tidak pernah menggaulinya selama usia kehamilan. Bila tidak ada
pengaduan suami, maka tuduh menuduh zina itu tidak terjadi antara suami istri
tersebut, karena lian tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan perkiraan belaka. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT :
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena
sebagian prasangka itu adalah dosa...96
Jika dilihat dari dasar lian dalam Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 6-7,
dapat diketahui bunyi dari lafal lian, yaitu :
bahwa suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat
pensaksian, yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash
shadiqien (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya saya adalah dari
orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya,
yaitu : zina), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : lanatullahi alaiya
inkuntu minal kadzibiin (Kutukan Tuhan atasku jika aku dari orang yang dusta
tentang tuduhannya). Kemudian istrinya pula bersaksi dengan empat
pensaksian dengan mengucapkan asyhadu billahi innahu la minal kadzibiin
(saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang
yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia
mengatakan : ghaddlaballahi alaiya in kana minash shadiqiin (kemarahan
Allah atas diriku jika dia (suaminya) dari orang yang benar dalam
tuduhannya).97

96

Al-Quran surah Al-Hujarat ayat 12.


T.M Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syariat Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm. 283
97

Universitas Sumatera Utara

52

Dalam prakteknya di pengadilan, lafal lian yang sering digunakan adalah


sebagai berikut :98
Suami terlebih dahulu mengucapkan sumpah lian di muka sidang,
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
WALLAHI,
WABILLAHI,
WATALLAHI., DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH BAHWA
ISTERISAYA TELAH BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG
DILAHIRKAN ISTERI SAYA ADALAH BUKAN ANAK SAYA. (Empat
kali).
SAYA BERSEDIA MENERIMA LAKNAT ALLAH BILA SAYA
BERDUSTA. (Satu kali).
Lalu dilanjutkan dengan sumpah lian (sumpah balasan) dari istri,
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
WALLAHI,
WABILLAHI,
WATALLAHI, DEMI ALLAHSAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA
TIDAK BERBUAT ZINA DAN ANAK YANG SAYA LAHIRKAN
ADALAH ANAK SUAMI SAYA (Empat kali).
SAYA BERSEDIA MENERIMA MURKA ALLAH, BILA SAYA
BERDUSTA. (Satu kali).
Mengenai syarat lian, para ulama membaginya menjadi dua bentuk, yaitu
syarat wajibnya lian dan syarat sahnya melakukan lian. Berdasarkan pendapat para
ulama, syarat wajibnya lian dapat diuraikan menjadi :99
1.

2.

3.

Pasangan tersebut masih berstatus suami istri, sekalipun istri belum digauli atau
istri masih dalam masa idah talak raji. Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan
bahwa lian tetap sah terhadap istri yang dalam talak bain.100
Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah. Tetapi menurut pendapat
beberapa kalangan jumhur ulama lian juga sah dilakukan dalam nikah fasid
karena adanya masalah nasab (keturunan) dalam nikah fasid tersebut.
Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara lisan.
Kalangan Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa suami adalah harus
98

Putusan Pengadilan Agama Buol Nomor 017/Pdt.G/2010/PA Buol


Abdul Azis Dahlan, Op.Cit., hlm 1010-1011
100
Didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 6 yang artinya : Dan
orang-orang yang menuduh istrinya.... Kata istri menurut ulama menunjukkan bahwa status mereka
masih suami istri.
99

Universitas Sumatera Utara

53

4.
5.

seorang muslim, tetapi tidak bagi Ulama Mazhab Syafii dan Hambali, yang
menajdi patokan bagi mereka adalah bahwa suami adalah orang yang cakap
menjatuhkan talak kepada istrinya.
Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri
Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum lian.
Adapun syarat sahnya proses lian menurut kalangan ulama Mazhab Hambali

ada enam, yaitu :101


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Lian dilakukan dihadapan hakim.102


Lian dilaksanakan suami setelah diminta oleh hakim.
Lafal lian yang lima kali diucapkan secara sempurna.
Lafal yang dipergunakan dalam lian itu sesuai dengan yang dituntunkan AlQuran.
Proses lian harus berurut, dimulai dengan sumpah suami empat kali dan yang
kelima suami melaknat dirinya, tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh diubah.
Jika suami istri itu hadir dalm persidangan lian, keduanya boleh mengajukan
isyarat untuk menunjuk pihak lainnya. Tetapi jika ada diantara mereka yang
tidak hadir, maka penunjukkan harus dilakukan dengan penyebutan nama dan
identitas lengkap. Kalangan ulama Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan
bahwa proses lian tidak harus dihadiri oleh kedua belah pihak, diikuti pula
dengan perbedaan pendapat dalam hal diperlukannya kehadiran saksi ketika
terjadinya lian. Ulama Mazhab Maliki berpendapat lian harus dihadiri banyak
orang dan paling tidak empat orang yang adil, sementara Ulama Mazhab Syafii
dan Hambali menyatakan bahwa lian dianjurkan dihadiri oleh jemaah umat
Islam.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, maka hakim menetapkan

agar mereka saling melakukan lian (bermulaanah). Hakim memerintahkan suami


untuk bersaksi empat kali dengan nama Allah SWT bahwa ia termasuk orang yang
benar dalam tuduhan atau pengingkarannya terhadap anak yang dikandung istrinya
itu. Pada yang kelima kali ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT akan menimpanya
jika ia berdusta dengan tuduhannya terhadap istrinya dan pengingkarannya terhadap

101
102

Abdul Azis Dahlan, Op.Cit, hlm. 1011.


Sejalan dengan kasus Hilal Ibn Umayyah dengan Syuraik as-Samha.

Universitas Sumatera Utara

54

anak tersebut. setelah itu barulah istri mengemukakan kesaksiannya dengan nama
Allah SWT empat kali dengan pernyataan bahwa ia (suami) termasuk orang yang
berdusta

terhadap

tuduhannya

atau

pengingkarannya

terhadap

anak

yang

dikandungnya. Kemudian pada yang kelima kalinya ia menyatakan bahwa kemarahan


Allah SWT akan menimpanya jika ia (suami) termasuk orang yang benar terhadap
tuduhan dan pengingkarannya terhadap anak tersebut.103
Dalam proses lian tersebut hakim hendaknya memberi peringatan kepada si
suami seperti peringatan yang disabdakan Rasulullah SAW :
Siapa saja lelaki yang menolak anaknya, padahal sebenarnya ia
mengakuinya, maka Allah tidak akan melihatnya dan ia akan dihinakan di
hadapan orang-orang terdahulu maupun orang-orang terkemudian (Hadist
Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban menyatakan
sahih).
Kemudian hakim hendaknya juga memperingatkan istri dengan sabda
Rasulullah SAW :
Barangsiapa diantara perempuan memasukkan suatu kaum yang bukan
ahlinya (suaminya), maka hal itu tidak jadi masalah bagi Allah, tetapi Allah
tidak akan memasukkannya ke surga. (Hadist Riwayat Abu Dawud, Nasai,
dan Ibnu Majjah. Ibnu Hiban menyatakan sahih).104
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 127 juga ada diatur mengenai
tata cara lian dengan tetap berdasarkan kepada Al-Quran surah An-Nur ayat 6-9,
yaitu :
a.

Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran
anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata laknat Allah atas
dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.

103

Cara seperti inilah yang dinyatakan dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 6-9 dan cara ini
pula yang dipraktekkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar.
104
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 219.

Universitas Sumatera Utara

55

b.

c.
d.

Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti
sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut benar.
Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap
tidak terjadi lian.105
Dengan selesainya diucapkan sumpah lian, maka hakim kemudian

menceraikan kedua suami istri yang bermulaanah tersebut dan diantara keduanya
tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW :
Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka keduanya
tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya. (Hadist Riwayat Al-Turmudzi).106
Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125 yang
menyebutkan bahwa lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri
untuk selama-lamanya.107
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan lian hanya sah apabila
dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain di
lakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan lian di hadapan sidang pengadilan
akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya lian dan dapat diketahui
akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur
105

Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Loc.Cit.
107
sebab sudah terjadi saling membenci, padahal dalam kehidupan perkawinan memerlukan
ketenangan, kasih sayang dan saling cinta mencintai, sedangkan pada kedua suami istri yang telah
melaksanakan lian sudah hilang dasar-dasar tersebut. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel
Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hlm.150.
106

Universitas Sumatera Utara

56

bahwa lian harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan menggunakan metode
istislah atau sering disebut mashlahah mursalah. Secara teknis hukum Islam tidak
menjelaskan konkret tentang adanya lian di hadapan sidang. Namun demikian,
karena kemashlahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan lian di depan sidang
tersebut sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan
pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut harus ditempuh.108
D. Alasan Lian Dapat Mencegah Hak Waris Anak Dari Ayah Biologisnya
Telah diuraikan sebelumnya bahwa lian membawa dampak yang sangat besar
baik bagi kedua suami istri yang bermulaanah tersebut, yaitu terputusnya
perkawinan antara mereka untuk selama-lamanya, juga terhadap anak-anak yang
dinafikan di dalam sumpah lian tersebut. Bila ada anak yang dinafikan, maka tidak
dapat lagi diakui oleh suami sebagai anaknya.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW :109
bahwasanya seorang laki-laki telah melakukan mulaanah (melian)
terhadap istrinya dan menolak untuk mengakui anak yang lahir dari istrinya
itu. Lalu Rasulullah SAW menceraikan kedua suami istri tersebut, selanjutnya
anak itu dihubungkan untuk perempuan itu110 (Hadist Riwayat Bukhari dan
Muslim).

108

Departemen Agama RI, Al-Quran al Karim dan Terjemahnya, Karya Putra Toha,
Semarang, 1996, hlm. 232.
109
Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya,
Padang, 1985, hlm. 246-247.
110
Maksudnya adalah bahwa nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya. Ahmad Rofiq,
Fiqh Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.131

Universitas Sumatera Utara

57

Hadist ini juga dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak adalah
hanya bagi suami yang setempat tidur. Padahal disini tak ada suami yang setempat
tidur karena suami telah menyangkalnya melalui sumpah lian.111
Hal tersebut tentunya dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya,
karena telah diketahui bahwa anak yang dinafikan tersebut, untuk selanjutnya setelah
perkawinan putus karena lian, dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Abu
bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang dilian itu putus
hubungannya dengan dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan diantara
keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan lian tidak disebutkan
menafikan anak. Hal ini didasarkan pada Hadist riwayat antara Hilal bin Umayyah
dengan Syuraik as-Shama bahwa Rasulullah SAW sendiri menafikan anak dari lakilaki yang dilian dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu
ucapan lian dari suami tersebut tidak menyebutkan penafikan si anak.112
Sebuah riwayat oleh Amr bin Syuaaib dari bapaknya, dari datuknya, ia
berkata :
Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami istri yang
bermulaanah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat
warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina (tanpa
dapat mengajukan empat orang saksi) adalah baginya delapan puluh kali
dera (Hadist Riwayat Ahmad).113

111

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm 149.


Ibnu Qudamah, Al-Mughniy VI, Maktabah Al-Qahiriyah, Kairo, 1970, hlm. 340-341.
113
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 148-149.
112

Universitas Sumatera Utara

58

Demikian pula Hadist Riwayat Abu Dawud mengatakan :114


Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak lian (mulaanah) kepada
ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya.
Namun demikian, walau hak waris anak tercegah dari ayah biologisnya karena
sebab lian tersebut, tetapi jika dilihat dari segi ketentuan Allah, maka anak tersebut
tetap sebagai anaknya sendiri. Oleh sebab itu, anak tersebut tidak boleh menerima
zakat yang dikeluarkan ayah biologisnya, jika ayahnya membunuhnya tak ada
hukuman qishashnya antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya yang menjadi
muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di pengadilan, tidak dianggap tak dikenal
nasabnya, tidak boleh mengakui orang lain sebagai ayahnya. 115
Jika di kemudian hari suami mencabut tuduhannya116, maka anaknya sah
nasabnya dengannya, anak itu menjadi lebih berhak kepada ayahnya, dan sekalian
akibat lian terhapus dari anaknya.117

114

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Loc.Cit.


Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Op.Cit., hlm. 149-150.
116
Menurut pendapat Imam Abu Hanafiah, jika suami mencabut tuduhannya,berarti ia telah
mendustakan dirinya dan dikenakan hukuman hadd cambuk, setelah itu ia boleh kawin lagi dengan
bekas istrinya dengan akad baru. Alasannya, jika suami mendustakan diri dengan mencabut tuduhan
lian, tentu lian menjadi batal. Sebagaimana anak kembai hubungan keturunan kepadanya, maka istri
pun kembali padanya. Sebab yang mengharamkan itu adalah ketidakpastian siapa diantara mereka
yang benar dan salah. Maka jika kepastian telah diperoleh, dengan sendirinya terangkatlah hukum
haram itu. H.A Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada
Jalan Keluar, Pustaka Al- Husna, Jakarta, 1994, hlm. 160
117
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 220.
115

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai