BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LIAN
A. Pengertian Lian
Kata liandiambil dari kata al-lanu yang artinya jauh dan laknat atau
kutukan58, disebut demikian karena suami istri yang saling berlian itu berakibat
saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk
selama-lamanya, atau karena yang bersumpah lianitu dalam kesaksiannya yang
kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak
benar.59
Secara terminologi lianmerupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan oleh
seorang suami kepada istrinya dengan lima kali sumpah dan pada sumpah yang
terakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat kepadanya jika dia
dusta.60
Menurut istilah Hukum Islam, lian adalah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia
termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu.61
58
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Bogor, 2003, hlm. 238
Ibid., hlm. 238-239.
60
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh, Dar al-Fikr, Damsyik, 1984, hlm. 7092
61
Abd. Rahman Ghazaly, Op.Cit., hlm 239
59
35
36
Lian merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang
telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi
alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan lian apabila telah menuduh
berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi
laki-laki.62
Lian merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam kepada
umat Islam, jika ditengah-tengah perjalanan suami merasakan ada kejanggalan
terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yang dapat dilakukan untuk
menyangkal anak tersebut yaitu dengan cara lian. Sayyid Sabiq mengatakan
bahwa:63
Jika suami melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain lebih baik dia
menthalaq istrinya, bukan melakukan lian. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki
yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina, dan boleh
tidak mengakui kehamilan istrinya, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena
ia merasa sama sekali belum pernah mencampuri istrinya sejak aqad nikahnya,
atau ia merasa mencampuri istrinya tetapi baru setengah tahun sedangkan
umur kandungannya tidak sesuai dengan usia pernikahannya.
Dari pendapat Sayyid Sabiq dapat dipahami bahwa lian merupakan salah satu
jalan jika suami tidak mau mengakui anak yang dikandung oleh istrinya.
Di dalam hukum positif di Indonesia juga ada diatur mengenai lian tetapi
lebih dikhususkan kepada apa yang disebut dengan pengingkaran atau penyangkalan
anak, seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
62
M. Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,
Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hlm. 153.
63
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,Juz II, Dar Al-Fath, Mesir, 1995, hlm. 139
37
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan ketentuan Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 dan
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam.
Berikut akan diuraikan beberapa pengertian lian yang dibedakan menurut AlQuran dan Hadist dengan yang diatur dalam Ketentuan Perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
1.
Quran, ada beberapa ayat Al-Quran dan Hadist yang menjadi acuan sebagai dasar
atau asas dalam menentukan hukum lian. Adapun ayat tersebut yaitu :
Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 6-7 :
Dan orang-orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi
mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang
mereka ialah empat kesaksian dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima bahwa laknat Allah
atasnya, jika dia termasuk para pembohong.64
Ayat di atas menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat tersebut
menyatakan bahwa : Dan adapun sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh
istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan
tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka,
yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil
menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya
dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada
64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Lentera
Hati, Jakarta, 2002, hlm. 290.
38
istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging
sifat buruk itu dalam kepribadiannya.65
Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh
istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan
tuduhan suaminya.
Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 8-10 :
Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian
dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang
pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnyajika dia termasuk
orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri
kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha
Bijaksana.66
Ayat ini menyatakan apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami,
maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri
hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian
yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu
bahwa sesungguhnya dia yakin suaminya benar-benar termasuk kelompok orangorang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allahatasnya jika dia
yakin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar. Seandainya Allah
bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak
ada karunia Allah yang menurunkan Al-Quran atas diri kamu dan kalau juga tidak
ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan
65
66
39
ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu maka pastilah
kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi
karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah
Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.67
Ayat ini turun berkenaan dengan Hillal Ibn Umayyah yang menuduh
dihadapan Nabi SAW bahwa istrinya menyeleweng. Nabi SAW menuntut darinya
empat orang saksi atau dicambuk. Ia mempertanyakan hal tersebut dan menyatakan
bahwa ketentuan itu tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami. Berikut
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari :68
Dari Ibnu Abbas bahwa Hillal bin Umayyah menuduh istrinya berzina
dihadapan Rasulullah SAW dengan Syuriak bin Sahma. Lalu Nabi SAW
bersabda : Tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya :
Wahai Rasulullah !, jika salah seorang di antara kami melihat istrinya jalan
di samping laki-laki lain, apakah akan diminta pula bukti?
Lalu Rasulullah SAW tetap bersabda : Tunjukkanlah bukti, kalau tidak
punggungmu didera!
Lalu sahutnya : Demi Tuhan ! yang mengutus tuan dengan sebenarnya.
Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayatnya
yang menolong saya dari hukuman had.
Lalu Jibril turun dan turunlah ayat.69
Kemudian Nabi SAW pergi kepada istri Hilal. Lalu Hilal datang dan
mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Maha Tahu,70kalau satu diantara kamu ini ada yang
berdusta. Apakah ada salah satu dari kamu ini yang bertaubat? Lalu istri
(Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya
sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. Kata Ibnu Abbas
: lalu istri (Hilal) tampak ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira
dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata : Saya tidak mau
67
40
b.
c.
Ulama dalam memandang lian sebagai sumpah atau kesaksian. Imam Maliki, Syafii
dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa lian adalah sumpah, sebab kalau dinamakan
kesaksian tentulah seseorang tidak pakai menyebut bersaksi bagi dirinya, karena
sabda Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas menyatakan :
Andaikata tidak karena sumpahnya tentulah masih ada persoalan
71
antara aku
Jika bukan karena sudah ada hukum Lian dalam Al-Quran, tentu ia akan dijatuhi hukuman
had zina.
72
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm.
1009.
41
dengannya (istri Hilal). Yang berpendapat lian sebagai sumpah berkata lian
dipandang sah antara suami istri sama-sama merdeka, atau sama-sama budak, atau
yang satu merdeka yang lain budak, atau sama-sama orang yang adil, atau sama-sama
orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka.73
Tetapi Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa lian adalah
kesaksian. Mereka beralasan firman Allah : ...maka kesaksian salah seorang dari
mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah...74, dan
juga Hadist Ibnu Abbas di atas yang menyebutkan : ...lalu Hilal datang, kemudian
mengucapkan kesaksian. Kemudian istrinya berdiri, lalu mengucapkan kesaksian
pula. Yang berpendapat lian sebagai kesaksian berkata tidak sah lian antara suami
istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya dapat diterima, karena itu
haruslah suami istri tersebut sama-sama orang yang merdeka dan muslim. Jika suamiistri sama-sama budak atau sama-sama pernah dihukum hadd karena menuduh orang
berbuat zina tanpa dapat menghadirkan empat saksi, maka mereka tidak boleh
melakukan lian. Begitu pula kalau salah seorang daripadanya kesaksian dapat
diterima dan lainnya tidak.75
Ibnu Qayyim berkata :
Yang benar ialah orang-orang yang bermulaanah harus sama-sama punya
hak sumpah dan kesaksian, maksudnya kesaksian yang dikuatkan dengan
sumpah, dan diucapkan berkali-kali dan sunpah berat yang disertai ucapan
73
42
Ibid.
Ibid., hlm. 141-142.
43
wanita baik-baik. Memang, yang dituntut terhadap suami dan istri sebanyak lima kali.
Yang kelima adalah pengukuhan terhadap syahadah/sumpah yang empat kali itu,
karena yang tampil disini hanya dia sendiri, sehingga sumpah/kesaksian yang kelima
berfungsi mengingat dampak buruk dari sumpahnya bila ia berbohong.78
Dalam mulaanah ini kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi
dengan kesaksian, dan orang-orang yang bermulaanah karena ucapannya yang
diterima maka kedudukannya sama dengan saksi. Maka jika istri
menerima
78
44
baiknya. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mulaanah sumpah berarti kesaksian
dan kesaksian berarti sumpah pula.79
2.
Tahun 1974 bersumber dari ketentuan Hukum Islam yang mengatur tentang
penyangkalan anak melalui cara lian. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tidak ada menyebutkan kata lian, tetapi menggunakan kata
penyangkalan anak, juga tidak menjelaskan pengertian lian secara eksplisit, tetapi
hanya menjelaskan makna secara global saja.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan :
seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
akibat daripada perzinahan tersebut.
Ketentuan pasal ini berlaku bagi suami yang ingin menyangkal anak yang dikandung
oleh istrinya dengan membuktikan bahwa istrinya berzina, dan dalam pasal yang
sama pada ayat (2) disebutkan tentang siapa yang berhak memutuskan terhadap sah
atau tidaknya anak tersebut :
pengadilan
memberikan
keputusan
tentang
sah/tidaknya
anak
atas
79
80
45
Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
46
dilakukan
di
depan
pengadilan
yang
dapat
juga
disertai
dengan
Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki
yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang
menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya
atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya
tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan
melian atau mengadakan mulaanah. Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang
menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina.82 Menurut ulama
Mazhab Maliki, suami yang mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan
tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan.83
Dalam hal ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya
tanpa disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung
82
83
47
ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai pemegang
hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan dapat pula tidak
mempergunakannya. Selama suami tidak mempergunakan haknya tersebut, maka
ia dianggap secara hukum menerima keadaan aquo dan kedudukan anak tetap
dipandang sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan
ayahnya.84
2.
Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Suami
boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena
ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya,
atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat
setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.85
Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak
yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan
bahwa :86
a. Suami belum pernah menjimaistrinya akan tetapi istri tibatiba melahirkan;
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima istrinya sedangkan
bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;
c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima suaminya.
3.
84
48
ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi.87 Kalau
suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah.
Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang
dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika
tuduhannya bohong/dusta, laknat Allah akan menimpa dirinya.88
Adapun pernyataan pengingkaran terhadap anak yang lahir dari rahim istrinya
harus dilakukan di hadapan hakim dengan ungkapan Anak ini atau kehamilan ini
bukan dari saya. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang waktu
pengingkaran terhadap anak tersebut. Beberapa Ulama Mazhab, seperti ulama
Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki tidak membolehkan
pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya setelah anak itu lahir. Sedangkan Ulama
Mazhab Syafii membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan ataupun
menunggu sampai kelahiran.89
Menurut Ulama Mazhab Hanafi, apabila pengingkaran itu dilakukan segera
setelah anak itu lahir atau pada masa proses kelahirannya, maka lian sah. Tetapi bila
dilakukan setelah itu, tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak dapat diterima.
Akibatnya, anak tersebut merupakan keturunannya, karena sebelumnya suami
tersebut diam saja dan sikap diam tersebut menunjukkan ridha suami.90
87
49
91
92
50
Pengingkaran yang diajukan setelah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.93 Ini
berarti bahwa Kompilasi Hukum Islam membolehkan dilakukannya pengingkaran
anak setelah kelahiran anak tersebut.
kedua suami istri itu adalah orang-orang yang sudah dewasa serta berakal sehat.
Sebab tidak ada beban (taklif) atas orang gila atau anak kecil, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW : pena itu diangkat dari tiga orang : dari anak kecil sampai ia
dewasa, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang yang tidur sampai ia
bangun.95
Adapun sebab lian adalah tuduhan suami terhadap istrinya bahwa istrinya itu
berbuat zina dan suami mengingkari terhadap sahnya anak dalam kandungan istrinya
93
51
atau yang telah lahir dari istrinya tersebut sebagai darah dagingnya. Pihak suami
harus mengadukan bahwa ia melihat istrinya melakukan zina. Dalam hal kehamilan,
ia juga harus mengajukan bukti yang menyatakan bahwa dia tidak pernah menggauli
istrinya itu atau ia tidak pernah menggaulinya selama usia kehamilan. Bila tidak ada
pengaduan suami, maka tuduh menuduh zina itu tidak terjadi antara suami istri
tersebut, karena lian tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan perkiraan belaka. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT :
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena
sebagian prasangka itu adalah dosa...96
Jika dilihat dari dasar lian dalam Al-Quran surah An-Nuur (24) ayat 6-7,
dapat diketahui bunyi dari lafal lian, yaitu :
bahwa suami mula-mula bersaksi di hadapan hakim dengan empat
pensaksian, yaitu dengan mengucapkan asyhadu billahi inni laminash
shadiqien (saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya saya adalah dari
orang-orang yang benar tentang apa yang saya tuduhkan kepada istri saya,
yaitu : zina), dan pada kali yang kelima dia mengatakan : lanatullahi alaiya
inkuntu minal kadzibiin (Kutukan Tuhan atasku jika aku dari orang yang dusta
tentang tuduhannya). Kemudian istrinya pula bersaksi dengan empat
pensaksian dengan mengucapkan asyhadu billahi innahu la minal kadzibiin
(saya bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah dari orang-orang
yang berdusta terhadap tuduhannya atas diriku), dan pada kali yang kelima dia
mengatakan : ghaddlaballahi alaiya in kana minash shadiqiin (kemarahan
Allah atas diriku jika dia (suaminya) dari orang yang benar dalam
tuduhannya).97
96
52
2.
3.
Pasangan tersebut masih berstatus suami istri, sekalipun istri belum digauli atau
istri masih dalam masa idah talak raji. Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan
bahwa lian tetap sah terhadap istri yang dalam talak bain.100
Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah. Tetapi menurut pendapat
beberapa kalangan jumhur ulama lian juga sah dilakukan dalam nikah fasid
karena adanya masalah nasab (keturunan) dalam nikah fasid tersebut.
Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian secara lisan.
Kalangan Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa suami adalah harus
98
53
4.
5.
seorang muslim, tetapi tidak bagi Ulama Mazhab Syafii dan Hambali, yang
menajdi patokan bagi mereka adalah bahwa suami adalah orang yang cakap
menjatuhkan talak kepada istrinya.
Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri
Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum lian.
Adapun syarat sahnya proses lian menurut kalangan ulama Mazhab Hambali
101
102
54
anak tersebut. setelah itu barulah istri mengemukakan kesaksiannya dengan nama
Allah SWT empat kali dengan pernyataan bahwa ia (suami) termasuk orang yang
berdusta
terhadap
tuduhannya
atau
pengingkarannya
terhadap
anak
yang
Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran
anak tersebut, diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata laknat Allah atas
dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.
103
Cara seperti inilah yang dinyatakan dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 6-9 dan cara ini
pula yang dipraktekkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar.
104
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Op.Cit., hlm. 219.
55
b.
c.
d.
Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali
dengan kata tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti
sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut benar.
Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap
tidak terjadi lian.105
Dengan selesainya diucapkan sumpah lian, maka hakim kemudian
menceraikan kedua suami istri yang bermulaanah tersebut dan diantara keduanya
tidak boleh terjadi perkawinan lagi untuk selama-lamanya yang didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW :
Suami istri yang saling mengutuk itu, apabila telah bercerai, maka keduanya
tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya. (Hadist Riwayat Al-Turmudzi).106
Hal tersebut juga dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125 yang
menyebutkan bahwa lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri
untuk selama-lamanya.107
Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan lian hanya sah apabila
dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, atau dengan perkataan lain di
lakukan di muka hakim. Dengan pelaksanaan lian di hadapan sidang pengadilan
akan dapat diberikan surat keterangan telah terjadinya lian dan dapat diketahui
akibat-akibat hukumnya yang timbul. Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur
105
56
bahwa lian harus dilakukan di hadapan sidang adalah dengan menggunakan metode
istislah atau sering disebut mashlahah mursalah. Secara teknis hukum Islam tidak
menjelaskan konkret tentang adanya lian di hadapan sidang. Namun demikian,
karena kemashlahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan lian di depan sidang
tersebut sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan
pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut harus ditempuh.108
D. Alasan Lian Dapat Mencegah Hak Waris Anak Dari Ayah Biologisnya
Telah diuraikan sebelumnya bahwa lian membawa dampak yang sangat besar
baik bagi kedua suami istri yang bermulaanah tersebut, yaitu terputusnya
perkawinan antara mereka untuk selama-lamanya, juga terhadap anak-anak yang
dinafikan di dalam sumpah lian tersebut. Bila ada anak yang dinafikan, maka tidak
dapat lagi diakui oleh suami sebagai anaknya.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW :109
bahwasanya seorang laki-laki telah melakukan mulaanah (melian)
terhadap istrinya dan menolak untuk mengakui anak yang lahir dari istrinya
itu. Lalu Rasulullah SAW menceraikan kedua suami istri tersebut, selanjutnya
anak itu dihubungkan untuk perempuan itu110 (Hadist Riwayat Bukhari dan
Muslim).
108
Departemen Agama RI, Al-Quran al Karim dan Terjemahnya, Karya Putra Toha,
Semarang, 1996, hlm. 232.
109
Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya,
Padang, 1985, hlm. 246-247.
110
Maksudnya adalah bahwa nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya. Ahmad Rofiq,
Fiqh Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.131
57
Hadist ini juga dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak adalah
hanya bagi suami yang setempat tidur. Padahal disini tak ada suami yang setempat
tidur karena suami telah menyangkalnya melalui sumpah lian.111
Hal tersebut tentunya dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya,
karena telah diketahui bahwa anak yang dinafikan tersebut, untuk selanjutnya setelah
perkawinan putus karena lian, dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Abu
bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang dilian itu putus
hubungannya dengan dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan diantara
keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan lian tidak disebutkan
menafikan anak. Hal ini didasarkan pada Hadist riwayat antara Hilal bin Umayyah
dengan Syuraik as-Shama bahwa Rasulullah SAW sendiri menafikan anak dari lakilaki yang dilian dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu
ucapan lian dari suami tersebut tidak menyebutkan penafikan si anak.112
Sebuah riwayat oleh Amr bin Syuaaib dari bapaknya, dari datuknya, ia
berkata :
Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami istri yang
bermulaanah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat
warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina (tanpa
dapat mengajukan empat orang saksi) adalah baginya delapan puluh kali
dera (Hadist Riwayat Ahmad).113
111
58
114