Tanya:
Bolehkah menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat dalam keluarga kita di
mana kita menganggapnya seperti anak sendiri? Lalu bagaimana hijab dengannya
bila si anak sudah baligh?
Jawab:
Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai
nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak
untuk menghapuskan semua anggapan orang-orang jahiliah tersebut berkaitan
dengan anak angkat. Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini
berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:
صيَبُهْم
ِ ت َأْيَماُنُكْم َفآُتوُهْم َن
ْ عَقَد
َ ن
َ َواّلِذي
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berilah kepada mereka bagiannya3.” (An-Nisa’: 33)
طًرا
َ ض ٰى َزْيٌد ِمْنَها َو
َ شاهُۖ َفَلّما َق
َخْ ن َت
ْ َق أ
ّح
َ ل َأ
ُّ س َوا
َ شى الّنا
َخْ ل ُمْبِديِه َوَت
ُّ ك َما ا
َس
ِ خِفي ِفي َنْف
ْ ل َوُت
َّ ق ا
ِ ك َواّت
َج
َ َْزو
“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum mukminin
untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak angkat tersebut telah
menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka (telah bercerai).” (Al-Ahzab:
37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-
wanita yang haram dinikahi:
صلَِبُكْم
ْ ن َأ
ْ ن ِم
َ ل َأْبَناِئُكُم اّلِذي
ُ لِئ
َحَ َو
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang
menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat
Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku,
yaitu:
ن آَباِئُكْم
ْع
َ غُبوا
َ ن َتْر
ْ ن آَباِئُكْم َفِإّنُه ُكْفٌر ِبُكْم َأ
ْعَ غُبوا
َ ل َتْر
َ َو
ن آَباِئُكْم
ْع
َ غُبوا
َ ن َتْر
ْ ن آَباِئُكْم َفِإّنُه ُكْفٌر ِبُكْم َأ
ْعَ غُبوا
َ ل َتْر
َ َو:ُكّنا َنْقَرُأ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab)
dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian
benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
حَراٌم
َ عَلْيِه
َ جّنُة
َ غْيُر َأِبْيِه َفاْل
َ غْيِر َأِبْيِه َوُهَو َيْعَلُم َأّنُه
َ عى ِإَلى
َ ن اّد
ِ َم
Tersisa sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak
kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan berikut
ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan/sebutan
‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang sebenarnya) untuk memuliakan dan
menyatakan kecintaannya kepada si anak, hal ini tidaklah termasuk dalam
larangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-
Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
خاَذَنا
َ خ َأْف
ُطَ ل َيْل
َ جَع
َ َف،جْمٍع
َ ن ْ ت َلَنا ِم
ٍ حمَُرا
ُ عَلى
َ ب ِ طِل
ّ عْبِد اْلُم
َ غْيِلَمَة َبِني
َ سّلَم ُأ
َ عَلْيِه َو
َ ل
ُ صّلى ا
َ ل
ِ لا
ُ سْو
ُ َقّدَمَنا َر
ُشْمس ّ طُلَع ال
ْ حّتى َت َ َجْمَرةُ ل َتْرُموا اْل َ –صِغيُر اْبِني
ْ ي –َت ّ ُأَبْينِـ:ل
ُ َوَيُقْو
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika
hajjatul wada’(haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan sebutan yang mengandung
penasaban kepada selain ayahnya, seperti Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu
‘anhu yang lebih masyhur dengan Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-
hampir ia tidak dikenal kecuali dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi
Yaghuts yang di masa jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun
ayat yang melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad
dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad terus
berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud penasaban.
Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi,
dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubirahimahullahu bahwa
tidak pernah didengar dari orang terdahulu yang menganggap orang yang
dipakaikan baginya sebutan tersebut telah berbuat maksiat.10”
Footnote:
جْوِفِه
َ ن ِفي
ِ ن َقْلَبْي
ْ ل ِم
ٍجُ ل ِلَر
ُّ ل ا
َ جَع
َ َما
َ جِري
ن ِ ن َواْلُمَها
َ ن اْلُمْؤِمِني
َ ل ِم
ِّ ب ا
ِ ض ِفي ِكَتا
ٍ ضُهْم َأْوَل ٰى ِبَبْع
ُ حاِم َبْع
َ لْر
َْ َوُأوُلو ا
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin (yang lain
yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang Muhajirin….”
َ لْقَرُبو
ن َْ ن َوا
ِ ك اْلَواِلَدا
َ ي ِمّما َتَر
َ جَعْلَنا َمَواِل
َ ل
ّ َوِلُك
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
5 Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat bagian fardh
danta’shib dari harta warisan.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang
tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan
tidak ada penentuannya.
6 ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta warisan tanpa
ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia berhak mendapat semua
harta si mayit.
(Sumber: Majalah Asy Syariah vol. iv/no. 46/1429H/2008M, hal. 86-89, dicopy
dari http://akhwat.web.id)