Anda di halaman 1dari 12

HAKIM, MAHKUM

FIH, MAHKUM ALAIH


HIMAYATUL ALIYAH
A. HAKIM

Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum.” Dalam istilah ikih kata
hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskkan hukum di pengadilan yang sama maknanya
dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, kata hakim di sini berarti pihak penentu dan pembuat
hukum syariat secara hakiki.
Secara hakikat hakim adalah Allah semata, tidak ada yang lain. Para utusan Allah hanya sekedar
menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau
menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka
juga bukan pencipta hukum syar'iat, sekalipun secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat
adalah Allah. Hal itu ditunjukan oleh Al-Qur’an dalam surah alAn’aam (6) ayat 57:

ْ ْ ْ ِ‫ِل يـقص‬ َ ْ ْ
• ‫ن‬
ِ ‫اص ِل‬
ِ ‫ف‬‫ال‬ ‫ر‬
ِ ‫يـ‬ ‫خ‬ ‫و‬
ِ ‫ه‬‫و‬ ِ
‫ق‬ ُ ‫ال‬ ِِ ِ ‫ل‬
ِ ‫إ‬ِ ُ‫ن ال‬
‫م‬
ِ ‫ك‬ ِ ِ ‫ ِإ‬...

... Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik.
Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas. Terbukti, mereka juga sepakat
memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau khitab al-Mujtahidin. Perbedaan
ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf,
apakah akal dengan sendirinya mampu mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara
para rasul untuk dapat mengetahuinya.
B. MAHKUM FIH

Mahkum Fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’”. Misalnya,
dalam surat al Maaidah (5) ayat 1 Allah befirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukalaf, yaitu perbuatan
menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.

Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pemnbebanan. Taklif
yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari
taklif ini tidak lain adalah sebagai bentuk uji coba/ibtila'dari Allah kepada para hambanya supaya
dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepada-Nya.
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang
mukallaf yang terkait dengan perintah syari (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan, meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhshah, sah dan batal. Contoh tuntutan mengerjakan tercantum dalam Q.S. al-Baqarah:
43, yaitu diperintahkan untuk mendirikan shalat.
C. MAHKUM' ALAIH

Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum 'Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
khitab Allah, yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani
hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum fih (subjek hukum).
Mahkum ‘alaih berarti “orang mukalaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi).” Seseorang baru
dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan, yaitu:

1. Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain
minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau Hadis Rasulullah.
Adanya kemampuan memahami hukum taklif itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal
yang sempurna.
2. Mempunyai ahliyat alada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban
taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya
diperhitungkan oleh hukum Islam, dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan
menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini baru dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia balig
berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut.
KESIMPULAN

• Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan
hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar
menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga terkadang
disebut hakim.

• Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah
ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya.

• Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan hukum dari syari’.

Anda mungkin juga menyukai