1
Wahbah, Konsep Darurat..., 30.
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, ter. Saefullah Ma’shum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), cet.
ix, 481.
3
Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), vol. II, 573.
4
CD. Al-Maktabah Shamilah, al-Ashbah wa al-Naza’ir, vol. I, 138.
1
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.5
Ayat tersebut menjadi penutup dari penjelasan tentang hukum-hukum wudlu, mandi
jinabat, dan tayammum ketika tidak ditemukan adanya air atau berhalangan untuk
menggunakannya. Ayat tersebut menjelaskan tentang taklif yang disertai dengan keringanan
hukum dalam thaharah dan menjelaskan tentang penyempurnaan ni’mat yang dikaruniakan Allah
terhadap hamba-Nya dengan adanya keringanan hukum dalam kondisi-kondisi khusus.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:
لهةَ أ َ ِبي ُك َْم ِإب َْراهِي ََم
َ ِن ح ََرجَ م َِ ع َل ْي ُك َْم فِي الد
َْ ِِين م َ ح ه ق ِجهَا ِد َِه ه ََُو ا ْجتَبَا ُك َْم َو َما َجعَ ََل
ََ ِ
َِ َوجَا ِهدُوا فِي ه الل...
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih
kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim…6
Ayat tersebut mengiringi perintah Allah terhadap hamba-Nya untuk melakukan ruku’, sujud,
ketaatan dalam beribadah kepada Allah, serta untuk melakukan kebaikan serta berjihad di jalan
Allah dengan jihad yang sebenarnya. Perintah tersebut kemudian diikuti dengan penjelasan Allah
yang tidak menghendaki adanya kesempitan dalam agama Islam.
Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kathir ketika menafsirkan ayat al-Qur’an yang berbunyi ‚… َو َما
َن ح ََرج َِ علَ ْي ُك َْم فِي الد
َْ ِِين م َ …( ”… َجعَ ََلDia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan…) menjelaskan bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya sesuatu yang
di luar kemampuannya, dan tidak pula mewajibkan sesuatu yang menyulitkan hamba-Nya kecuali
Allah menjadikan jalan keluar atas kesulitan tersebut.7 Al-Baydawi menambahkan dalam tafsirnya
bahwa isyarat dari kandungan ayat tersebut ialah berlakunya hukum taklif selama tidak ada
penghalang atau udzur bagi mukallaf.8
Isyarat tentang fenomena raf’u al-haraj ini juga ditemukan dalam Surat al-Tawbah:
ص ُحوا َِه ل َِِل َ ََج دُونََ َما يُ ْن ِفقُونََ ح ََرجَ ِإذَا ن
َِ ع َلى الهذِينََ لَََِ ي َ ََِعلَى ا ْل َم ْرضَى َو ََل َ َََِض َعفَاءَِ َول
ُّ علَى ال ََ لَي
َ ْس
ب
َِ س
َ ن َْ ِسنِينََ مِ علَى ا ْل ُم ْح
َ سو ِل َِه َما َ
ُ غفُورَ َرحِ يمَ يلَ ََو ه اللَ َو َر
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang
sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila
mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan
orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut menjadi dasar gugurnya kewajiban taklif yakni kewajiban berperang atau
berjihad bagi orang yang lemah. Wahbah al-Zuhayli menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
orang yang lemah dalam ayat tersebut antara lain ialah orang yang sudah tua renta, wanita dan
5
Ibid., 155,
al-Qur’an, 5 (al-Ma’idah): 6.
6
7
Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kathir al-Dimashqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, vol. 2 (Riyad: Dar Taybah li al-
Nashr, 1999), juz ii, 455.
8
Nasir al-Din Abi Sa’id ‘Abd Allah ibn ‘Umar al-Baydawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), cet. viii, jld. 2, 98.
2
anak-anak , orang-orang sakit seperti sakit tahunan atau buta, orang-orang faqir yang tidak
memiliki biaya untuk dirinya sendiri, dan sebagainya.9
b. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang kemudahan (taysir) dan keringanan (takhfif)
dalam ajaran Islam
Selain ayat-ayat yang menjelaskan tentang peniadaan kesulitan sebagaimana tersebut di
atas, al-Qur’an juga mengisyarakan tentang kemudahan (taysir) dan keringanan (takhfif)
dalam ajaran Islam. Di antara ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kategori ini ialah:
بِ ُك َُم ا ْليُس ََْر َولَََِ يُ ِري َدُ بِ ُك َُم ا ْلعُس ََْر...
يُ َِر... َي َدُ ه الل
... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...10
Muhammad ‘Alawi al-Maliki menegaskan bahwa prinsip memudahkan (taysir) adalah
merupakan prinsip utama dalam semua bentuk taklif. Termasuk salah satu keistimewaan umat
Muhammad saw., bahwasanya syariatnya adalah seringan-ringan syariat sebagaimana ditetapkan
dalam al-Qur’an Tiada suatu kewajiban pun kecuali telah dimudahkan oleh Allah SWT dengan
membuka pintu kemudahan dan adanya dispensasi di dalamnya.11
Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat tersebut di atas antara lain ialah: َس ُركََ ِل ْليُس َْرى ِ َونُي
(Dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah).12 Demikian pula dengan redaksi
ayat yang menunjukkan adanya keringanan (takhfif)
ضعِيفًا
َ ن َ ق ال ِْْ ِِ ْن
َُ سا ََ ع ْن ُك َْم َو ُخ ِل
َ ِف َْ َ أ
ََ ن يُ َخف
ي َدُ ه اللَ يُ َِر
(Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah).13
2. al-Sunnah
Di antara dalil-dalil yang bersumber dari al-Sunnah ialah hadis-hadis yang menjelaskan
kemudahan, toleransi dan menghilangkan kesukaran dalam ajaran Islam. Al-Imam Ahmad ibn
Hanbal meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra.:
Dari Ibn ‘Abbas ra., ia berkata: telah ditanyakan kepada Rasulullah saw: ‚Agama-agama
manakah yang lebih disukai Allah?‛ Beliau menjawab: ‚(Agama) yang lembut dan toleran‛.
(HR. Ahmad)22
Ahmad ibn Hanbal juga meriwayatkan dari Abu ‘Urwah ra.:
Abu ‘Urwah telah menceritakan kepadaku, kami sedang menunggu Rasulullah saw
kemudian seorang laki-laki keluar .... ‚Ya Rasul, apakah dibebankan suatu kesulitan bagi kami
Muhammad ‘Alwi al-Maliki, Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas (al-Risalah al-Islamiyyah:
9
Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha), ter. Abdul Mustaqim (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), 61.
10
al-Qur’an, 87 (al-A’la): 8.
11
al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 28.
12
Ahmad Ibn. Hanbal, Musnad Ahmad, vol. 5, CD. Al-Maktabah al-Shamilah, hadis no. 2141, 167.
13
Ibid., hadis no. 21211, 86.
3
dalam hal ini?‛ Maka beliau menjawab: ‚Tidak, wahai sekalian manusia. Sesungguhnya agama
Allah ‘Azza wa Jalla berada dalam kemudahan‛. (HR. Ahmad)14
Dalam hadis lain diriwayatkan:
إن الدين يسر: ) عن أبي هريرة عن النبي صلى اللَ عليه و سلم قال...(
Dari Abu Hurayrah ra., diriwayatkan dari Rasulullah saw. beliau bersabda: ‚Sesungguhnya agama
(Islam) ini mudah, …..15
Dalam sebuah riwayat dari ‘Aishah ra. beliau bersabda:
Dari ‘Aishah ra., ia berkata: Rasulullah saw. Tidak memilih antara dua perkara yang salah satunya
lebih mudah daripada yang lain kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya
selama tidak mengandung dosa. Apabila terdapat dosa (pada pilihan yang lebih mudah tersebut),
beliau menjauhkan manusia darinya.16
C. Konsep Mashaqqah dalam Hukum Islam
1. Pengertian Mashaqqah
Masyaqqah (kesukaran) menurut asal-usul bahasanya berarti keletihan (al-juhd),
kepayahan (al-‘ina’), dan kesempitan (asy-syiddah). Misalnya dikatakan: شق عليه االمر شقا
ومشقةapabila sesuatu tersebut sangat melelahkan atau menyulitkan.17
Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 7.
…..kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang
memayahkan) diri…
Sementara jalb asy-syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat
ketempat yang lainnya. Sedangkan at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan,
tidak memaksakan diri dan tidak memberatkan fisik.18
Nashr Farid Muhammad Washil dan Aziz Muhammad Azzam menjelaskan makna
yang terbentuk dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam
sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar’i yang dibenarkan untuk mempermudah,
meringankan, dan menghapus kesukaran serta kesukaran dari subjek hukum pada saat
melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apapun.19
Dasar argumentatif kaidah ini adalah firman Allah SWT: QS. Al-Hajj (22): 78.
…. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan….
Q.S. Al-Baqarah (2): 185. …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…
14
Sahih al-Bukhari, vol. 1, hadis no. 39, 23; Sunan al-Nasa’i, vol. 8, hadis no. 5049, 496; Sahih Ibn
Hibban, vol. 2, hadis no. 351, 63.
15
Sahih Muslim, vol. 4, 1813, hadis no. 2327.
16
Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, entri kata ش ق ق
17
Ibid, entri kata ل ب ج
18
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, trj. Wahyu
Setiawan, (Jakarta: Amzah, 2009), 58.
19
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), 55.
4
Jadi makna kaidah الوشقة تجلب التيسيرadalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah meringankannya
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.20Al-
Mashaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin mashaqqah tetapi bagi si B
tidak terasa mashaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan
mashaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah,
seperti terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa
musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam
ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalammasyaqqah
tersebut menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah. Oleh karena itu, para ulama membagi
mashaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Al-Mashaqqah al-‘Azimah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga disebut
sebagai ‚kemudaratan‛, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau
rusaknya anggota badan.
2) Al-Mashaqqah al-Mutawassitah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat
berat juga tidak sangat ringan).
3) Al- Mashaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan).21
20
Ibid, 58-59.
21
Salih ibn Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H),
250.
5
3) Darurat menyangkut kebinasaan/kerusakan jiwa dan tubuh,
4) orang yang mengalami keadaan darurat itu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip
dan akidah Islam, dan melanggar hak-hak orang lain,
5) Mahzurat yang dibolehkan itu dalam ukuran sedikit,
6) diketahui wali al-amr ketika darurat umum.31 Contoh dari kaidah ini: makan
bangkai untuk mencegah kebinasaan diri, boleh mengucapkan kalimat kufur karena
ancaman (hati tetap beriman).22
b. Kaidah ( إذا ضاق األمس إحسعbila dalam keadaan sulit, hukum menjadi lebih longgar) Makna
kaidah ini adalah apabila seorang mukallaf ditimpa kesusahan yang menyebabkan sulit
untuk mengerjakan sesuatu, maka ia mendapatkan keluasan dan kemudahan. Kaidah ini
semakna dengan kaidah induknya. Kaidah ini pertama sekali dilontarkan oleh Imam Syafii
dengan kata-katanya yang menjadi rumusan kaidah fiqih itu sendiri.23Contoh penerapan
kaidah ini, dimaafkannya najis-najis yang sedikit dan darah. Boleh mencegah pencuri dari
perbuatan jahatnya bahkan memungkinkan untuk membunuh (hukuman mati-pen).
c. Kaidah ( ما أبيح للضسوزة يخقدز بقدزهاsesuatu yang diperbolehkan karena darurat sesuai dengan
ukuran kedaruratan itu) Kaidah ini merupakan batasan bagi kaidah al-darurah tubihu al-
mahzurat. Bahwa keringanan yang dibolehkan karena darurat hanya sebatas untuk
menghilangkan keadaan darurat saja, tidak boleh berlebihan. Orang yang terpaksa makan
bangkai hanya dibolehkan sebatas hilangnya rasa lapar yang membinasakan saja. Tidak
boleh lebih.24
d. Kaidah ( ما جاش لعرز بطل بصوالهapa yang dibolehkan karena uzur, akan batal dengan
hilangnya uzur tersebut) Kebolehan sesuatu yang dilarang itu hanya sebatas adanya
kedaruratan. Ketika darurat hilang, maka hilang pula kebolehan itu. Orang dapat
bertayamum karena tidak ada air. Namun ketika ada air maka setelah itu tidak boleh lagi
bertayamum.
e. Kaidah ( الحاجت حنصل منصلت الضسوزة عامت كانج خاصتkebutuhan itu dapat menempati posisi
kedaruratan umum ataupun khusus) Keringanan dan kemudahan yang diberikan Allah
bukan hanya terbatas pada peorsoalan darurat saja. Namun kemudahan itu juga dapat
disebabkan karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun khusus. Tapi tentu saja ada
aturan dan syarat-syarat yang dibuat para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu sama
posisinya dengan keadaan darurat. Contohnya bay’ salam yang dibolehkan karena
kebutuhan manusia terhadap akad ini.25
f. Kaidah ( اإلضطساز ال يبطل حق الغيسMenepis kedaruratan tidak boleh menghilangkan hak
orang lain) Kaidah ini merupakan bentuk pengecualian dari kaidah al-darurah tubihu al-
22
‘Izzah ‘Ubaiyd ad-Di’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah, cet. 3 (Beirut:Dar al-Tirmidhi, 1989), 43.
23
Salih ibn Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, 266.
24
Ibid., 272.
25
Ibid., 288.
6
mahzurat. Bahwa jika seseorang terpaksa memakan harta orang lain, ia tetap harus
mengganti barang yang dimakannya itu.26
g. Kaidah الميسوز ال يسقط بالمعسوزSesuatu perintah yang tidak dapat dikerjakan secara
sempurna tidak berarti harus ditinggalkan. Tetapi tetap mengerjakan hal-hal yang mampu
dikerjakan.27 Kaidah ini diambil dari Alquran, فاتقوهللاا هاستطعتن28 dan juga hadits Rasulullah
saw: م
َْ ُاستَطَ ْعت
ْ اف َعلُوا ِم ْنو َما َ ُاجتَنِب
َْ َوهُ َوَما أ ََم ْرتُ ُك َْم بِ َِو ف ْ ََما َن َه ْي تُ ُك َْم َع ْن َُو ف
‚sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku perintahkan maka
kerjakanlah semampu kalian…29
Penerapan dari kaidah ini adalah, apabila seseorang tidak mampu membaca surat al-
Fatihah keseluruhan, ia tetap harus membaca potongan ayat al-Fatihah lainnya. Akan tetapi kaidah
ini tidak dapat diterapkan pada puasa. Karena puasa harus satu hari penuh tanpa sebagian-
sebagian.30
3. Relevansi Mashaqqah dengan Maqasid al-Shari’ah
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa ada tiga sasaran utama hukum syara’, yakni (1)
penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat di
lingkungannnya; (2) menegakkan keadilan dalam masyarakat; (3) mewujudkan kemashlahatan
bersama yang merupakan puncak tujuan dari penetapan hukum syara’.31 Sementara itu, ‘Abd al-
Wahhab Khallaf menjabarkan bahwa yang menjadi tujuan umum dalam pembentukan hukum
syara’ ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan daruriyyah
(primer), memenuhi kebutuhan hajiyyah, serta kebutuhan tahsiniyyah (tersier).32
Kebutuhan daruriyyah adalah sesuatu yang menjadi pokok (keharusan) kebutuhan manusia untuk
menegakkan kemaslahatan mereka. Jika tida ada maka rusaklah aturan hidup mereka, tidak akan
terwujud kemaslahatan dan akan menyebabkan kehancuran dan kerusakan di antara mereka.43
Dalam hal ini, al-Shatibi menjelaskan ada lima prinsip yang termasuk kategori ini, yaitu (1)
menjaga agama (hifzu al-din); (2) menjaga jiwa (hifzu al-nafs); (3) menjaga akal (hifzu al-‘aql);
(4) menjaga kehormatan dan keturunan (hifzu al-nasl); dan (5) menjaga harta (hifzu al-mal).33
Sedangkan kebutuhan hajiyyah ialah kebutuhan manusia untuk mempermudah, melapangkan,
menanggulangi beban yang ditanggung dan kepayahan dalam kehidupan. Bila kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka aturan hidup manusia tidak rusak, dan tidak pula menyebabkan banyaknya
kerusakan. Tetapi manusia akan mengalami kesusahan dan kesulitan. Kebutuhan manusia dalam
pengertian ini bertujuan untuk menghilangkan kesulitan serta memberikan rukhsah (keringanan)
26
Izzah ‘Ubaiyd ad-Di’a>s, al-Qawaid al-Fiqhiyah, 44.
27
Salih ibn Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, 314.
28
38Al-Taghabun [64]: 16.
29
Salih ibn Ghanim al-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, 321.
30
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 543-548.
31
‘Abd al-Wahhab Khallaf, Usul al-Fiqh, 197.
32
Ibid., 199.
33
Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), vol. 2, 7.
7
bagi manusia untuk menanggung beban yang dipikulnya, sehingga mudah bagi mereka untuk
melakukan berbagai macam aktifitas kelangsungan hidup mereka. ‘Adanya rukhsah tersebut
merupakan contoh kepedulian Islam terhadap kebutuhan ini.34
Sementara itu yang dimaksud dengan kebutuhan tahsiniyyah ialah kebutuhan yang dituntut oleh
harga diri, norma dan tatanan hidup berperilaku lurus. Jika tidak terpenuhi, maka aturan hidup
manusia tidak rusak seperti jika kebutuhan daruriyyah tidak terpenuhi. Manusia juga tidak
mendapatkan kesulitan seperti jika kebutuhan hajiyyah tidak terpenuhi. Tetapi kehidupan mereka
akan terisolir menurut pemikiran yang logis dan akal sehat. Kebutuhan tahsiniyyah bagi manusia
dalam pengertian ini kembali kepada akhlaq yang mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan sesuai
dengan peri kehidupan menurut jalan yang paling baik.35
Al-Shatibi merumuskan bahwa yang termasuk kategori kebutuhan ini ialah hal-hal yang
merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak mengenakkan
dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntunan norma dan akhlaq.36
Adanya rumusan terhadap tingkat kebutuhan manusia tersebut menegaskan syariat tidak menuntut
manusia untuk melakukan sesuatu yang memberatkan atau bertentangan dengan adat istiadat
maupun pemikiran logis. Oleh karena itu, pada kondisi-kondisi semacam itu syariat menunjukkan
solusi alternatif dengan adanya rukhsah sesuai dengan situasi dan kondisi. Adanya rukhsah
tersebut tentunya dengan tujuan agar manusia dapat menjalankan syariat dengan baik dan tidak
terbebani dengan sesuatu yang di luar kemampuannya atau bahkan cenderung membahayakan
keselamatan dirinya, hartanya, kehormatannya, atau pula kelangsungan hidupnya.37
Al-Shatibi selanjutnya merumuskan bahwa apabila diamati berbagai fenomena rukhsah dalam
hukum Islam, seperti disyariatkannya tayammum ketika tidak menjumpai atau berhalangan
menggunakan air, shalat dengan duduk ketika kesulitan untuk berdiri, qasar shalat dan berbuka
puasa ketika dalam perjalanan, dan sebagainya, maka semua itu dapat menghasilkan suatu kaidah
akumulatif berupa tujuan syariat untuk menghilangkan kesulitan atau raf’u al-haraj.38
34
Abd al-Wahhab Khalaf, Usul al-Fiqh, 200.
35
Ibid.,
36
al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, 9.
37
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 74.
38
Al-Shatibi, al-Muwafaqat…, vol. 2, 8-12. Lihat: Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam:
Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi al-Shatibi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 209.
8
D. PENUTUP
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.
al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Fathu al-Bari ‘ala Sharhi al-Bukhari. CD. al-Maktabah al-Shamilah:
Versi 2.
al-Baydawi, Nasir al-Din Abi Sa’id ‘Abd Allah ibn ‘Umar. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.
al-Bayhaqi. Sunan al-Bayhaqi. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Sahih al-Bukhari. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Hakim al-Naysaburi. al-Mustadrak ‘ala al-Sahihayn. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Khudari, Muhammad. Usul al-Fiqh. Iskandariyah: al-Maktabah al-Tujjariyyah al-Kubra, 2002.
al-Maliki, Muhammad ‘Alawi. Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas (al-Risalah al-
Islamiyyah: Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha). Ter. Abdul Mustaqim. Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003.
al-Naysaburi, Muslim ibn al-Hajaj. Sahih Muslim. CD al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Nasa’i. Sunan al-Nasa’i. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Nawawi. al-Majmu’ Sharhu al-Muhadhdhab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002.
---------------. Sharhu al-Nawawi ‘ala Muslim. CD. al-Maktabah al-Shamilah: versi 2.
al-Shatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999.
al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Ashbah wa al-Nazair. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
al-Tirmidhi, Abu ‘Isa al-Tirmidhi. Sunan al-Tirmidhi. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
al-Zuhayli, Wahbah. Tajdid al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.
--------------. Konsep Darurat dalam Islam: Studi Banding dengan Hukum Positif. ter. Said Agil
Husain al-Munawwar, M. Hadri Hasan. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
--------------. ‚Tafsir al-Wajiz‛. Buku Pintar al-Qur’an: Seven in One. Ed. Wahbah Zuhayli, et.
al., Ter. Imam Ghazali Masykur. Jakarta: al-Mahira, 2008.
Al-Di’as, ‘Izzah ‘Ubaiyd. al-Qawaid al-Fiqhiyah. cet. 3. Beirut:Dar al-Tirmidhi, 1989.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2007.
10
Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Hamid, Salih ibn ‘Abd Allah Ibn. Raf’u al-Haraj fi al-Shari’ah al-Islamiyyah: Dawabituhu wa
Tatbiqatuhu. tt: Dar al-Istiqamah, tt.
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
Ibn Hibban. Sahih Ibn Hibban. CD. al-Maktabah al-Shamilah: Versi 2.
Ibn Kathir al-Dimashqi, Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Riyad: Dar Taybah li
al-Nashr, 1999.
Ibnu Majah, Abu ‘Abd Allah Muhammad. Sunan Ibnu Majah. CD. Al-Maktabah al-Sha>milah:
Versi 2.
Ibrahim, Duski. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawi
al-Shatibi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Khalaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Sadlan, Salih ibn Ghanim. al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra. Riyadh: Dar al-Balansiyyah,
1417 H.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, ter. Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2005.
Zaydan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh. .Beirut: al-Risalah, 1998.
11