2) Harta pemberian orang lain, sementara kita tahu bahwa harta itu adalah harta haram karena
berasal dari hasil mencuri, tidak boleh kita manfaatkan atau bahkan kita makan. Barang siapa yang
tetep nekat memanfaatkannya maka dia terancam dengan hadis, “Barang siapa yang dagingnya
tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka layak baginya.” (HR. Hakim dan Ath-Thabrani; dinilai
sahih oleh Adz-Dzahabi)
3) mengonsumsi minuman beralkohol seperti bir, wine, wiski, dan vodka sebenarnya dilarang.
4) Pengertian Bughat (Pembangkang) Dalam Islam – Bughat berasal dari kata “bagha” yang artinya
melampaui batas. Menurut ilmu fiqih bughat sangat dilarang dan pelakunya harus diperangi. Bughat
adalah kaum muslimin yang tidak taat kepada khalifah, penguasa atau kepala negara.
Syarat-Syarat Bughat
Orang-orang dianggap sebagai bughat atau pembangkang, apa bila memenuhi syarat-syarat
berikut ini:
1. adanya kekuatan pada mereka, sehingga mereka dapat melawan.
2. Mereka telah keluar dan tidak mengikuti perintah penguasa.
3. Bahwa sebab mereka keluar dari penguasa, karena ada kekeliruan atau keraguan faham. Dan
dengan kekeliruan faham itu mereka berpendapat bahwa mereka boleh keluar dari perlindungan
penguasa atau kepala negara.
5) Penggugat
Dalam Hukum Acara Perdata, orang yang merasa haknya dilanggar disebut sebagai Penggugat.
Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak Penggugat, maka disebut dalam gugatannya dengan “Para
Penggugat”.
Tergugat
Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dirasa telah melanggar hak
Penggugat. Jika dalam suatu Gugatan terdapat banyak pihak yang digugat, maka pihak-pihak
tersebut disebut; Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan seterusnya.
َِصا ِدقِين َّ ش َها َداتٍ ِباللَّ ِِهإِنَّ ُهلَمِ نَال َ ُش َها َدةُأ َ َح ِد ِه ْمأ َ ْر َبع
َ َس ُه ْمف ُ ُش َه َدا ُء ِإ ََّّلأ َ ْنف ُ ( َوالَّذِينَ َي ْر ُمونَأ َ ْز َوا َج ُه ْم َولَ ْم َي ُك ْنلَ ُه ْم6) َِسةُأَنَّلَ ْعنَةَاللَّ ِه َعلَ ْي ِهإ ِ ْن َِكانَمِ ن َْالكَا ِذ ِبين
َ ِ( َو ْالخَام7)
َِش َها َدا ٍت ِبال َّل ِهإِنَّ ُهلَمِ ن َْالكَا ِذ ِبين عب ر
َ ََ ْ ََ َ أده ْ
ش َ تنْ َ أباَ ذع ْ
اال ه ْ
ن
َ َ َ َ َ َ َ ع ُ أْر د ي و (8) َِِين ق د ا
ِ َّص َال ن نَا
ك ْ
ن إاه يَ
َِ َ ِ َ ْ َ ِ َم لع هَّ لالبض غ
َ َّ نَ أَ ة س خ ْ
ال
َ َِ َام و (9)
( َولَ ْو ََّلفَض ُُْلللَّ ِهعَلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمت ُ ُه َوأَنَّاللَّ َهت ََِّوابٌ َحكِي ٌِم10)
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-
saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang
kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah
dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana,
(niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).” ” (QS. An-Nuur: 6-10)
7) DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk memahami hukum syari’at
tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at
supaya pas dan benar.
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan
tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena
HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil
berikut ini:
ِسبِي ًُل
َ سا َء َ ُِواالزن َۖاإِنَّ ُهكَانَفَاح
َ شةً َو ِ َو ََّلت َ ْق َرب
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk”. [al-Isrâ/17:32]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ع ْفلَ ُه ْال َعذَابُيَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِِة َويَ ْخلُ ْدفِي ِه ُم َهانًا
َ ضا َ َوالَّذِين ََُليَ ْدعُونَ َم َعاللَّ ِهإ ِ َٰلَ ًهاآخ ََر َو ََّليَ ْقتُلُونَالنَّ ْف
َ ُسالَِّتِي َح َّر َماللَّ ُهإ ِ ََّّلبِ ْال َحق َِو ََّليَ ْزنُو َۚنَ َو َم ْنيَ ْف َع ْل َٰذَ ِل َكيَ ْلقَأَثَا ًماي
“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni)
akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam
keadaan terhina”. [al-Furqân/25: 68-69]
9) Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, relevan
dengan setiap zaman dan tempat, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin untuk masuk
kedalam Islam secara kaffah, yaitu secara menyeluruh, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
Wahai orang orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara kaffah (menyeluruh). [al-
Baqarah/2:208]
Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla menyuruh para hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan
rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at Islam, melaksanakan seluruh perintah-Nya
dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan syariat islam.
10) Terkait dengan profesi hakim tersebut, Nabi saw. di dalam salah satu sabdanya telah
menjelaskan ada tiga macam hakim.
“Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw., beliau bersabda, “Hakim ada tiga macam. Satu
di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum
berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebanaran dan
menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan
hukum dengan kebodohannya ia masuk neraka.” (H.R. Abu Dawud)
KEMENTERIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 17 JAKARTA
Jl. Manunggal I No.33 Rt 005/11 Kapuk Cengkareng Kota Jakarta Barat 11720
Telp. (021 54392537 Fax. (021) 54392510 E-mail :man17jkt@kemenag.go.id
Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam
sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad
dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur
yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan
umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pada penerapannya, ketika sebuah Negara Khilafah berdiri (atas
persetujuan seluruh umat Islam), kemudian dibai'atnya seorang Khalifah, maka pendirian Negara
Khilafah maupun pembai'atan Khalifah lain setelahnya menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits
Nabi Muhammad tentang pembai'atan Khalifah. [2][3]
Dalam sejarahnya, Khalifah merupakan suatu gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad yaitu dengan julukan “Khulafaur Rasyidin” atau “ Amir al-Mu’minin”.
Berdasarkan julukan ini pula nama Khalifah itu diambil. Jadi, Khalifah itu sendiri merujuk kepada orang
yang memerintah atau menggantikan kedudukan Nabi Muhammad. Sedangkan Khilafah merujuk pada
sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya
mengacu kepada Al-Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Sistem Khilafah adalah sistem yang diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Dalam
sejarahnya, pasca wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat membai’at Abu bakar untuk menjadi
Khalifah. Kemudian Abu Bakar wafat para sahabat membai’at Umar bin Khattab. Kemudian Umar bin
Khattab meninggal, para sahabat membai’at Utsman bin 'Affan.
Kemudian Utsman bin Affan meninggal, para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Kemudian sistem
seperti ini berubah pada rezim Khilafah Umayyah, Abbasiyah, hingga masa Utsmaniyah dimana setelah
sang Khalifah wafat, digantikan oleh anaknya. Sistem ini mirip dengan sistem kerajaan pada zaman
sekarang. Tetapi yang membedakannya dengan sistem kerajaan ialah kekuasaan Khalifah merupakan
kekuasaan yang ditujukan sebagai perwakilan umat dalam menjalankan pemerintahan dan
menerapkan Syariat Islam sebagai dasar hukum dan pemerintahan, sedangkan kekuasaan raja
merupakan kekuasaan mutlak yang mempunyai kuasa penuh untuk memerintah negaranya (Monarki
Absolut) atau hanya memainkan peranan simbolis yang biasanya tidak ikut campur dalam urusan
pemerintahan (Monarki Konstitusional).
Tujuan khilafah :
1. Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.
2. Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang dilengkapi aparat-aparat pemerintahan.
3. Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
4. Untuk membentuk suatu masyarakat yang hidupnya makmur, sejahtera dan berkeadilan, serta
mendapat ampunan dari Allah Swt.
2) Jadi sangat tidak mungkin konsep khilafah diterapkan di Indonesia, karena landasan Pancasila dan
slogan NKRI sudah mendarah daging di Indonesia. Pancasila juga dapat merangkul keutuhan NKRI
karena sistem politiknya yang menjadikan negara berdasarkan pada kesamaan bangsa dan sejarah
bukan karena kesamaan agama.
3) Ijtihad
4) Dzalim
5) Ulama :
Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya
kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
Syafii :
Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami
kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang
diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan
dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya
untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi
yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria
yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi
saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar.”[Lih. Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-Habir (3/219), dimana
ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia telah menceraikan istrinya,
maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia sekian...”. Dan setelah dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.]
2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[ Lih.
Al Umm, (3/232)]
3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat
mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [ Lih.
Al-Umm, 1/66.]
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah
saw.[Lih. Talkhish al-Habir, 1/217]
6) bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut
masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak
perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal.
7) 1. Memotong bagian yang terkena najis, dalam syairat kita cukup disucikan
3. Menebus dosa / taubat dengan nyawa sebagaimana disyariatkan kepada uamt nabi
musa
9) 1. Urf Qauli
Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim memiliki makna
tertentu oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat yang lain yang urfnya berbeda,
maknanya bisa saja berbeda.
Contohnya : Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat dan Dirham untuk uang
2. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi kebiasaan di
tengah masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.
Contohnya : Jual Beli Tanpa Lafadz Akad
Hukum Wadh`i.
Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu
dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, aau penghalang maka ia disebut hukum
wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
Contohnya : perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya
mengawini mertua