Anda di halaman 1dari 2

Gara-Gara Individualis

Hadirnya teknologi dianggap sebagai dalang yang menyebabkan kebanyakan orang


menjadi individualis, padahal tentu saja ini adalah salah satunya, tuduhan ini beralasan karena
individualisme sendiri mulai populer bersamaan dengan renainssance. Individualisme memang
membawa kemajuan terhadap peradaban Barat, namun tetap saja ada banyak pihak gencar
mengkritik paham ini, karena selain membawa efek positif, efek negatif juga banyak yang ikut
serta.
Indivualis dikenal memiliki sikap lebih mementingkan diri sendiri, tidak terlalu peduli
terhadap penilaian orang lain, juga tidak suka mengusik masalah orang lain. Alhasil, seorang
individualis merasa lebih percaya diri, bebas melakukan apa saja untuk kesenangan pribadi tanpa
terganggu dengan opini orang lain, lebih fokus, dan tidak mudah terpengaruh, demikian sederet
dampak positif indivualisme. Namun di sisi lain paham ini juga menurukan kemampuan
bersosialisasi, penganutnya menjadi egois, tidak kolaboratif, serta berpotensi memudarkan
solidaritas.
Walau individualime telah membawa peradaban Barat menuju puncak kejayaan, tetap
saja paham ini kurang cocok untuk dianut bangsa Indonesia, selain berpotensi menghilangkan
tradisi, juga tidak satu pun agama resmi yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik,
Budha, dan Konghucu yang akur dengan individualisme. Namun, kita hidup di zaman banjir
informasi, bebas akses kemana saja, kita bisa tahu pemikiran siapa pun selama pemikirannya
diunggah oleh dirinya sendiri atau orang lain. Karenanya, individualisme mulai menjangkiti
masyarakat kota-kota besar di Indonesia perlahan-lahan, sehingga masyarakat Indonesia
berasumsi bahwa hidup di kota itu bebas karena masyarakat perkotaan tidak suka mengusik
kehidupan orang lain.
Akar masalah inilah yang kemudian melahirkan tingginya angka kriminal di kota
dibandingkan dengan di desa, pergaulan bebas, narkoba, begal, dan sebagainya. Penyebabnya,
masyarakat yang cenderung individulis menganggap bahwadirinyaa hanya bertanggung jawab
untuk mendidik dan mengajar anak kandungnya, sedangkan jika ada anak tetangga yang
melakukan hal-hal terlarang mereka tidak akan menegurnya karena merasa tidak bertanggung
jawab atau merasa malas mencampuri urusan keluarga orang lain. Efeknya, anak-anak hanya
merasa takut kepada orang tuanya saja di rumah, ketika di luar rumah ia luput dari pantauan
orang tua dan bebas melakukan apapun tanpa harus takut kepada siapapun karena tidak pernah
ada yang menegur mereka selain orang tuanya. Tidak heran, sering dijumpai pemandangan anak-
anak ngelem di gang-gang kecil, pasangan non-muhrim berduaan di gang gelap, perjudian di
sudut kota, hingga anak gadis berpakaian suka-suka, warga sekitar memilih abai saja tanpa
berinisiatif untuk menegur.
Demikianlah potret sosial yang sudah diambang kemerosotan, dimana masyarakat
berasumsi bahwa yang bertugas menegakkan agama hanya tokoh agama saja, bukan tanggung
jawab bersama. Padahal Islam telah mengatur tatanan sosial Islam dengan begitu indahnya,
sebagaimana tercermin dalam sebuah hadis Baginda Rasulullah saw berikut:
ِِ ِ ِ ِ ُ ‫ َس ِم ْع‬:‫ قَ ا َل‬,ُ‫ض َي اهللُ َع ْن ه‬ ِ‫ير‬ ٍِ ِ
ْ ‫ فَ ِإ ْن ل‬,‫ َم ْن َرَأى م ْن ُك ْم ؤ ُم ْن َك ًرا َفل ُْيغَِّي ْرهُ بيَ ده‬:‫ت َر ُس ْو ُل اهلل ﷺ َي ُق ْو ُل‬
‫َم‬ َ ِّ ‫َع ْن َأبي َس ع ْيد ال ُخ ْد ِر‬
.‫ َر َواهُ ُم ْسلِ ْم‬.‫ان‬
ِ ‫ف اِإل م‬
َ ُ ‫ض َع‬ َ ِ‫َم يَ ْستَ ِط ْع فَبِ َق ْلبِ ِه َو َذل‬
ْ ‫ك َأ‬ ِِ ِ ِ ِ
ْ ‫ فَِإ ْن ل‬,‫يَ ْستَط ْع فَبل َسانه‬
Artinya: Dari Sa’id Al-Khudri raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda, ‘Siapa saja dari kalian yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya.
Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan
itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 49)

Mencegah atau memperbaiki kemungkaran adalah kewajiban umat Islam besama, cara-
caranya telah Rasulullah paparkan dalam hadis di atas. Berdasarkan hadis dari Matan Arba’in
ke-34 tersebut Rasulullah menjelaskan bahwa cara yang dianjurkan untuk mengubah
kemungkaran adalah dengan tangan, ulama mengatakan bahwa maksud mengubah kemungkaran
dengan tangan adalah mengubah kemungkaran dengan memanfaatkan kekuasaan bagi orang-
orang yang memiliki wewenang, seperti membuat kebijakan-kebijakan tertentu, penggalan teks
tersebut juga dapat bermakna melawan kejahatan dengan tenaga apabila memili fisik yang kuat.
Jika tidak sanggup berbuat demikian, maka ubahlah kemungkaran dengan lisan, berupa teguran
atau dakwah di mimbar-mimbar. Jika cara kedua juga tidak disanggupi, maka cukup membenci
dan mengingkari perbuatan tersebut.
Dalam konteks permasalahan yang dibahas di muka, yaitu merajalelanya kemaksiatan
generasi muda yang haus akan pengajaran, mereka sangat butuh kepada teguran, karena teguran
demi teguran akan membekas di jiwa mereka bahwa perbuatan yang sedang dilakukannya itu
salah. Mereka yang sedang ngelem butuh hal sesimpel teguran “Pulang! Pulang! Saya lapor
sama orang tua kalian satu-satu ya!” di kala orang tuanya sibuk bekerja, remaja yang sedang
berdua-duaan di gang gelap yang bahkan orang tuanya tidak tahu butuh kepada teguran warga,
hal inilah yang kemudian hari memupuk rasa malu mereka jika setiap kali menerima tegura demi
teguran.
Hal sesimpel teguran warga terhadap anak-anak yang mulai menunjukkan maksiat sangat
memberi dampak. Jika warga berlepas tangan terhadap hal sesimpel teguran, maka anak-anak
hanya takut untuk bermaksiat di dalam rumah, begitu keluar dari rumah mereka merasakan
sangat bebas. Untuk menegur anak-anak tidak perlu menyampaikan materi bak dakwah di atas
mimbar, meraka hanya perlu teguran yang mengekspresikan bahwa perbuatan itu salah. Maka
marilah sama-sama warga muslim bangkit untuk membentuk generasi muda Islam yang salih,
karena jika sedari kecil sudah meresahkan maka ketika dewasa mereka akan benar-benar keras,
susah ditegur, dikhawatirkan akan berkhinat kepada agama dan negara, bahkan menjadi dalang
kejahatan. Na’uzubillah.

Anda mungkin juga menyukai