Anda di halaman 1dari 35

KARAKTERISTIK ASWAJA DALAM

KOMPARASI DENGAN PAHAM-


PAHAM YANG LAIN DALAM AKHLAQ
DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

PERTEMUAN KE 7
PRINSIP ASWAJA DALAM AKHLAQ DAN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam
berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran
ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga
berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap
pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri,
bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan,
kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat
bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal
yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral
keagamaan dan kemanusiaan.
Penjelasan sederhan tentang tasawuf oleh Imam Al
Ghazali,dalam Ayyuhal Walad:

‫ثم اعلم أن التصوف له خصلتان االستقامة مع هللا تعالى والسكون عن‬


‫ فمن استقام مع هللا عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم‬٬‫الخلق‬
‫فهو صوفي‬
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/111025/penjelasan-imam-al-ghazali-tentang-tasawuf-dan-sufi
Imam Malik menegaskan: Barangsiapa yang bertasawuf tanpa
mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik,

‫من تصوف ولم يتفقه فهو زنذيق‬


dan barangsiapa yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi
fasiq,

‫من تفقه ولم يتصوف فهو فاسق‬


dan barangsiapa yang mengamalkan keduanya, itulah orang
yang ahli hakikat

.‫من تفقه ويتصوف فهو الحق‬


Muhammad ibn ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan
Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci
kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat
mencapa haqiqat ( Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i,
1391 H:33).
Abu Yazid yang dikutip al-Qusyairi

Jika kamu melihat seseorang mendapat keramat sehingga ia


dapatterbang di udara, maka janganlah kamu terpesona
kepadanya, sehinggakamu melihat sendiri bagaimana ia
mematuhi Allah dan meninggalkan larangan-Nya, tidak
melanggar ketentuan-ketentuan hukum-Nya dan menunaikan
syari’at-Nya.
Dengan demikian konsep tasawuf yang berdasarkan karya al-Sarraj, alQusyairi,
al-Kalabadzi, al-Ghazali dan lain-lain yang didasari teologi asy’ariyyah
lantaran orientasinya yang sangat erat dengan semangat ajaran Al-Qur’an dan
AlSunnah maka disebut tasawuf sunni,
Adapun ciri-cirinya sebagaib erikut:

1. Dalam tasawuf sunni, amal hati, lidah dan fisik ketika melaksanakan syari’ah
harus didasarkan pada nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
2. Dalam tasawuf sunni tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah
maupun dalam ibadah.
3. Tasawuf sunni tidak memperkenankan tharekat suluk, ‘uzlah, qona’ah, zuhud
dan lain-lain tanpa ikhtiar sama sekali.
4. Ilmu laduni yang duraih melalui “dzauq” tidak diakui sah apabila
bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
5. Tasawuf sunni ini menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan
manusia dengan Allah SWT dan dalam hubungan dengan sesama manusia
serta dalam hubungannya dengan sesama makhluk.
PRINSIP ASWAJA DALAM AKHLAQ DAN
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
1.At-Tawassuth
2.Al I’tidal
3. At-Tasamuh
4.At-Tawazun
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1.At-Tawassuth
Bagaimana Aswaja bergaul dalam masyarakat ?

1. Prinsip Tawassuth
Tidak terlalu jabbariyah, atau qodariyyah
Tidak terlalu duniawi atau ukhrowi,menjaga sikap
moderat
Tawasuth adalah mengambil Jalan Tengah, yaitu sikap tidak condong
kepada ekstrem kanan ( Kelompok yang berkedok agama) maupun
kelompok ekstrem kiri( kelompok komunis). Tawasuth ini juga bisa
didefinisikan sebagai sikap moderat yang berpijak pada prinsip
keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan
dengan tatharruf ( ekstrim, keras).
Dalil Tawasuth
Berikut dalil yang berkaitan dengan Tawasuth
QS. Al-Baqarah Ayat 143 :
2.Al I’tidal
2. I’tidal (Tegak Lurus)
I'tidal artinya tegak lurus, yaitu Sikap tegak dalam arti tidak
condong pada kepentingan tertentu yang merugikan umat.
Lurus dalam arti semata-mata berjuang demi kepentingan
umat Islam Sikap ini pada intinya memiliki arti menjunjung
tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah
kehidupan bersama.

‫ش َه َداء ِب ْالقِسْ ِط َوالَ َيجْ ِر َم َّن ُك ْم‬ ِ ‫ين ِ ه‬


ُ ‫لِل‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّ ِذ‬
َ ‫ين آ َم ُنو ْا ُكو ُنو ْا َق َّوا ِم‬
َ ‫َش َنآنُ َق ْو ٍم َعلَى أَالَّ َتعْ ِدلُو ْا اعْ ِدلُو ْا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َوى َوا َّتقُو ْا ه‬
َّ‫هللا إِن‬
َ ُ‫هللا َخ ِبي ٌر ِب َما َتعْ َمل‬
‫ون‬ َ‫ه‬
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian
menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena
Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu
berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih
mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
‫ار ُك ْم‬
ِ ‫ي‬َ ‫د‬
ِ ْ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫ُو‬
‫ج‬ ‫ر‬
ِ ْ
‫ُخ‬‫ي‬ ‫م‬ْ َ ‫ل‬‫و‬َ ‫ين‬
ِ ِّ
‫د‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫و‬ُ ‫ل‬‫ت‬ِ ‫ا‬‫ق‬َ ُ
‫ي‬ ‫م‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ين‬
َ ‫ذ‬ِ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬
ِ ‫ع‬
َ ُ َّ
‫هللا‬ ‫َال َي ْن َها ُك ُم‬
َ َّ َّ‫طوا إِلَي ِْه ْم إِن‬
َ ‫هللا ُي ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِط‬
‫ين‬ ُ ‫أَنْ َت َبرُّ و ُه ْم َو ُت ْق ِس‬

Artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu. Sungguhn, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil,” (Surat Al-
Mumtahanah ayat 8).
Asbabunnuzul
Asma binti Abu Bakar pernah bercerita:

٬‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ت َع َليَّ أُمِّي َو ِه َي ُم ْش ِر َك ٌة فِي َع ْه ِد َرس‬


ِ َّ ‫ُول‬ ْ ‫َق ِد َم‬
:‫ص ُل أُمِّي؟ َقا َل‬ ِ َ ‫ أَ َفأ‬٬‫ َو ِه َي َرا ِغ َب ٌة‬:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬٬‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َّ ‫ْت َرسُو َل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫َفاسْ َت ْف َتي‬
ِ ‫صلِي أُم‬
‫َّك‬ ِ ‫َن َع ْم‬
Artinya, “Pada zaman Rasulullah saw., ibuku datang kepadaku. Sementara saat itu ia
masih musyrik (non-muslim). Aku lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW. Kala itu,
aku sampaikan, ‘Ibuku ingin berbuat baik kepadaku. Bolehkan aku menerimanya?’
Beliau menjawab, ‘Tentu saja, silakan jalin hubungan dengan ibumu.”
Berkenaan dengan hadits ini, Ibnu Hajar menjelaskan, nama asli ibunda Asma ini adalah
Qailah binti Al-Uzza bin Sa’d bin Malik bin Hasal bin Amir bin Lu’ay. Maksud
kedatangannya adalah bersilaturahim. Kala itu, Qailah datang membawakan kismis dan
mentega untuk putrinya, Asma. Namun Asma menolak hadiah itu bahkan tidak
mempersilakan sang ibu masuk rumah, sebelum meminta izin kepada Rasulullah SAW.
Tidak disangka, Rasulullah mempersilakannya, bahkan memerintahkan Asma selalu
menjaga hubungan baik dengan ibunya, “Silakan jalin hubungan dengan ibumu.”
Ditambahkan oleh Ibnu ‘Uyainah, bersamaan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan
ayat, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil,” (Surat Al-Mumtahanah ayat 8). (Ibnu
Hajar, Fathul Bari, jilid V, halaman 234).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: Demi Allah,
seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku pasti
memotong tangannya. Pada saat itu, hukuman dari seorang
pencuri adalah potong tangan. Melalui hadits itu, Rasulullah
menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan setegak-
tegaknya. Apabila salah, maka harus dihukum. Tidak peduli
yang melakukan kesalahan itu keluarganya sendiri, bahkan
putri tercintanya.
ROSUL ADIL WALAUPUN KEPADA ORANG KAFIR

Ketika al-Asy’ats bin Qais dan seorang Yahudi menghadap Rasulullah. Al-Asy’ats
mengadu dan meminta keadilan kepada Rasulullah karena tanahnya diambil seorang
Yahudi tersebut.
Setelah mendengar curhatan dan keluh kesah al-Asy’ats, Rasulullah tidak langsung
menyalahkan seorang Yahudi

Rasulullah malah bertanya kepada al-Asy’ats apakah dirinya memiliki bukti


kepemilikan atas tanah tersebut. Al-Asy’ats mengaku tidak memilikinya.
Rasulullah kemudian meminta seorang Yahudi tersebut untuk bersumpah bahwa
tanah itu memang miliknya, bukan milik al-Asy’ats sebagaimana yang dituduhkan.
Rupanya al-Asy’ats keberatan dengan cara Rasulullah itu. Ia mengklaim, kalau
seandainya disuruh bersumpah untuk memenangkan persengketaan tanah itu maka
seorang Yahudi tersebut akan melakukan hal itu dan mengambil tanahnya. Keberatan
al-Asy’ats itu langsung dijawab Allah dengan turunnya Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat
77: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-
sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan bagian
(pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan
melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka.
Bagi mereka azab yang pedih.
3. At-Tasamuh
3. Tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta
menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama.
Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang
berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini

ASWAJA , berprinsip sebagaii rahmat lil ‘alamin, sehingga kehadiran


ASWAJA membawa berkah bagi semua manusia, dengan porsi
masing-masing
ASWAJA memandang bahwa memilih pemimpin nonmuslim,
pemimpin wanita, adalah masalah khilafiyyah yang tidak memvonis
kafir

Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia


menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari
kalangan kafir dzimmi.

‫الذمِّيه ِفي َشيْ ء من واليات ْالمُسلمين إِ َّال ِفي جباية ْال ِج ْز َية‬ ِّ ‫َو َال يجوز َت ْولِ َية‬
‫ َفأَما َما يجبى من‬.‫ارات ا ْل ُم ْشركين‬ َ ‫الذمَّة أَو جباية َما ي ُْؤ َخذ من ِت َج‬ ِّ ‫من أهل‬
‫ َو َال‬٬‫الذمِّيه فِي ِه‬ ِّ ‫ا ْلمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير َذلِك َف ََل يجوز َت ْولِ َية‬
‫ين على‬ َ ‫ { َولنْ َيجْ َعل هللا ل ْل َكافِ ِر‬:‫ َقا َل َت َعا َلى‬٬‫َت ْولِ َية َشيْ ء من أُمُور ا ْلمُسلمين‬
‫ين َس ِبيَل} َومن ولى ِذمِّيا على مُسلم فقد جعل َل ُه َس ِبيَل َع َل ْي ِه‬ َ ‫ا ْلمُؤم ِن‬

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-muslim-
bolehkah
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang
mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau
untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin.
Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari
penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut
retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang
menangani kepentingan umum umat Islam. Allah berfirman, “Allah takkan pernah
menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang
mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia
telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-
Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-muslim-bolehkah
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non
muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang
juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan
abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

‫ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن‬


‫يكون وزير التفويض منهم‬
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non
muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi
pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi,
yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan
mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal
Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman
27).
Aswaja ala NU, menerima kebhinekaan dalam
rumah Pancasila, merepresentasikan nilai
TASAMUH
BANDINGKAN !
Pasal 5 Pasal 6 AD/ART,
Nahdlatul Ulama beraqidah Islam visi dan misi FPI adalah
menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah penerapan syariat Islam
dalam bidang aqidah mengikuti madzhab secara kafah di bahwa
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu naungan khilafah Islamiah
Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh menurut manhaj
mengikuti salah satu dari Madzhab Empat nubuwwah, melalui
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); dan pelaksanaan dakwah,
dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab penegakan hisbah dan
Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid pengamalan jihad.
al-Ghazali.

Pasal 6
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama
berasas kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Sikap Aswaja dalam merespon perbedaan pendapat sesama muslim :
Jangan terburu menuduh kafir

َ ‫ك إِ َّال َح‬
‫ار‬ َ ِ‫ْس َك َذل‬ ِ َّ ‫َو َمنْ دَ َعا َرج اَُل ِب ْال ُك ْف ِر أَ ْو َقا َل َع ُد َّو‬
َ ‫هللا َولَي‬
‫َعلَ ْي ِه‬

Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang
bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada
penuduh" (HR Bukhari-Muslim)
4.At-Tawazun
AT-TAWAZUN atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk
dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari
akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

َ َ‫ت َوأ‬
َ ‫نز ْل َنا َم َع ُه ُم ْال ِك َت‬
‫اب‬ ِ ‫لَ َق ْد أَرْ َس ْل َنا ُر ُسلَ َنا ِب ْال َب ِّي َنا‬
‫ان لِ َيقُو َم ال َّناسُ ِب ْال ِقسْ ِط‬ َ ‫يز‬ َ ‫َو ْال ِم‬
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca
(penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-
Hadid: 25)
Dalam memahami Nash, Aswaja tidak
sekedar tekstual, tetapi kontekstual,
dengan mengaitkan unsur-unsur historis,
sosiologis, dalam sisi kehidupan manusia
secara kompleks agar terwujud
Maksud tujuan syari’ah yaitu MASLAHAH
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Aswaja melakukan amar ma’ruf nahi
munkar dengan konsep dakwah :
1. Hikmah
2. Mauidhoh hasanah
3. Mujadalah

Aswaja tidak memaksakan hidayah, dan


menyerahkan sepenuhnya kepada
ALLAH, setelah proses dakwah
Etika dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar

"Satu, bit-tadrij, step by step,


• ‫تدريج‬ gradual. Kedua, taklilut-taklif,
• ‫تقليل التكليف‬ memperkecil, meminimalisir beban;
• ‫عدم الجرح‬ ketiga, 'adamul jarh, tidak
• ‫مسؤولية‬ menyakiti; keempat, almas-uliyyah,
bertanggungjawab.

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/116029/kiai-said-jelaskan-empat-etika-dakwah-dalam-islam-yang-perlu-dipegang
114. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (annisa 114)

Anda mungkin juga menyukai