Unsur-unsur Dakwah
Unsur-unsur pokok dakwah Islam sekurang-kurangnya ada delapan, yaitu: Pertama, ada
legalitas aktivitasnya (syari’atud da’wah). Kedua, ada misi dakwah yang disampaikan
(risalatut da’wah). Ketiga, ada kegiatan/gerak yang berkelanjutan (al-harakatul mustamirah).
Keempat, ada tujuan yang benar (al-ghayatus shahihah). Kelima, ada pedoman atau landasan
argumentasi. Keenam, ada pemimpin tulus yang mengarahkan aktivitas dakwah (al-qiyadatul
mukhlishah). Ketujuh, ada pasukan atau kader-kader dakwah yang taat/disiplin (al-
jundiyyatul mu’thi’ah). Kedelapan, ada prinsip atau nilai utama dari dakwah yang diemban
yakni kemurnian atau totalitas (at-tajarrud) dalam mengesakan Allah Ta’ala (at-tauhid).
َصي َر ٍة أَن َ۠ا َو َم ِن ٱتَّبَ َعنِى ۖ َو ُس ْب ٰ َحنَ ٱهَّلل ِ َو َمٓا أَن َ۠ا ِمنَ ْٱل ُم ْش ِر ِكين
ِ َقُلْ ٰهَ ِذ ِهۦ َسبِيلِ ٓى أَ ْدع ُٓو ۟ا إِلَى ٱهَّلل ِ ۚ َعلَ ٰى ب
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108)
1. Syari’atud Da’wah
Aktivitas dakwah adalah aktivitas legal yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh umatnya. Kata “Qul.” (katakanlah!)
adalah kata perintah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan
tentang misi kerasulannya.
Seperti telah disebutkan di materi-materi sebelumnya, berkenaan dengan QS. Yusuf ayat 108
di atas, Ibnul Al-Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni
sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ia mau mendakwahkan
apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[1]
Legalitas dakwah juga sangat tegas disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
“Sebarkanlah oleh kalian (ilmu) dariku, sekali pun hanya satu ayat!” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini Rasulullah mengatakan,
‘sekalipun hanya satu ayat’. Tujuannya agar semua pendengar dapat segera menyampaikan
ayat-ayat yang telah didengarnya itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan
berkelanjutanlah penyampaian ayat-ayat yang didakwahkan oleh beliau.”[2]
2. Risalatud Da’wah
Misi dakwah yang disampaikan adalah agama dan syariat Islam. Muqatil menjelaskan makna
( قُلْ ٰهَ ِذ ِهۦ َسبِيلِ ٓىKatakanlah: inilah jalan [agama]-ku) menurut jumhur ulama adalah: diinii
(agamaku).[3] Ibnu Juzay berkata: isyaratun ila syari’atil Islam (isyarat terhadap syariat
Islam).[4] Sedangkan Ibnu Zaid berkata: Hadza amrii, wa sunnatii, wa minhajii, inilah urusan
(agama)-ku, ajaranku, dan pedomanku.[5] Ibnu Abi Zamanain berkata: millati (agamaku).[6]
Al-Baidhawi berkata: ya’ni ad-da’wata ilat tauhidi wal i’dadi lil ma’ad (seruan kepada
tauhid dan bersiap menghadapi akhirat).[7] Al-Biqa’iy berkata: Ayi da’wati ilallah ‘ala ma
da’a ilaihi kitabullahi wa sunnanuhu shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni menyeru kepada
Allah sebagaimana diserukan dalam kitab Allah dan sunnah Nabi).[8]
Syariat Islam yang diserukan adalah syariat Islam yang menyeluruh mencakup aspek
keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri),
pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-
iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
3. Al-Harakatul Mustamirah
Dakwah Islam harus dilakukan secara berkelanjutan. Perhatikan kata أَ ْدع ُٓو ۟اyang menggunakan
bentuk fi’il mudharri’, menunjukkan makna pekerjaan yang sedang dan akan terus
dilakukan.
Kita pun mendapati sunnah fi’liyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terus
melancarkan dakwahnya walaupun ujian dan rintangan begitu berat. Beliau terus bergerak
dan mengatur langkah hingga kemenangan datang.
Perhatikanlah episode perjalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimuat
dalam kitab-kitab sirah nabawiyah. Beliau pernah melewati masa dakwah sirriyah dan
dakwah jahriyah; beliau pun melakukan metode pembinaan umat secara sembunyi-sembunyi;
pernah membolehkan ‘orang-orang lemah’ di kalangan kaum muslimin agar menampakkan
‘kemurtadan’ demi keselamatan jiwa dan menjaga pertumbuhan dakwah; beliau menghindari
konfrontasi dan mengambil langkah defensif saat di Makkah; kemudian mengizinkan
sebagaian pengikutnya hijrah ke Habasyah untuk melindungi diri dan dakwahnya; beliau
pernah memanfaatkan hukum jiwar (jaminan keamanan) dari musyrikin yang tidak
memusuhi; pun beliau pernah melakukan upaya mencari kekuatan penolong di luar Makkah,
dan lain sebagainya.
4. Al-Ghaayatus Shahihah
Tujuan dakwah Islamiyah adalah ِ ( إِلَى ٱهَّللmenyeru kepada Allah Ta’ala). Ad’u ila-Llah
maknanya adalah la ilaa ghairihi min malakin au insaanin, au kawkabin, au shanamin,
innama du’aii ilallah wahdah, tidak menyeru kepada selain-Nya, apakah malaikat, manusia,
benda angkasa, atau berhala, tetapi seruanku hanyalah kepada Allah saja.[9]
Tujuan dakwah Islamiyah begitu murni. Tidak dibenarkan terselip kepentingan pribadi da’i
untuk mencari keuntungan duniawi berupa harta, kedudukan, popularitas, dan bahkan sekedar
ucapan terima kasih.
َقُلْ َما أَسْأَلُ ُك ْم َعلَ ْي ِه ِم ْن أَجْ ٍر َو َما أَنَا ِمنَ ْال ُمتَ َكلِّفِين
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan’”. (QS. Shad, 38: 86)
5. Al-Minhajul Wadhih
Oleh karena itu, seluruh perkataan, perbuatan, gerak, langkah, dan pikiran para da’i di medan
dakwah hendaknya selalu berada di dalam koridor manhaj Islam.
6. Al-Qiyadatu Mukhlishah
Kalimat أَن َ۠ا َو َم ِن ٱتَّبَ َعنِى, mengisyaratkan bahwa dakwah adalah ‘amal jama’i (amal kolektif)
sebagaimana jihad fi sabilillah yang membutuhkan keberadaan amir atau qiyadah. Allah
Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
Mengenai ٌ َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أُ َّمة, Muqatil bin Hayyan berkata: liyakun minkum qaumun, ya’ni wahidan
aw-itsnaini au tsalasa nafarin fa ma fauqa dzalik, harus ada orang, satu, dua, atau tiga orang
yang berdakwah, bahkan dengan jumlah di atas itu.[14] ‘Ummatun di ayat ini maknanya
adalah thaifatun yad’una ilal khairi, sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan[15],
atau jama’atun (kelompok)[16] yang yad’una ila kulli khairin yuhibbuhullah (menyeru
kepada segala apa yang dicintai Allah).[17]
Keberadaan amir atau qiyadah dalam setiap aktivitas bersama sangatlah urgen. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi
pemimpinnya.” (HR. Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah).
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan
mereka menunjuk seorang pemimpin di antara mereka.” (Musnad Imam Ahmad)
Dengan keberadaan amir atau qiyadah, barisan dan gerak dakwah akan lebih tersusun rapi
bagaikan bangunan yang kokoh.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf, 61:
4)
Jelas, amir atau qiyadah yang dikehendaki adalah amir atau qiyadah yang mukhlishah
(ikhlash dan tulus kepada Allah Ta’ala).
7. Al-Jundiyyatul Muthi’ah
Kalimat أَن َ۠ا َو َم ِن ٱتَّبَ َعنِى, mengisyaratkan pula bahwa dakwah adalah ‘amal jama’i (amal kolektif)
sebagaimana jihad fi sabilillah yang membutuhkan keberadaan al-jundiyyatul muthi’ah
(pasukan/kader yang taat/disiplin). Bukankah Nabi Isa ‘alaihis salam memiliki kaum
hawariyyin dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kaum muhajirin dan
anshar? Dakwah memang akan berjalan optimal jika didukung oleh al-jundiyyatul muthi’ah
(pasukan/kader yang taat/disiplin). Maka, seorang muslim yang terlibat dalam gerakan
dakwah hendaknya memahami urgensi ketaatan kepada qiyadah, kecuali dalam perkara
maksiat atau hal-hal yang jelas-jelas melanggar syariat.
“Tunduk dan patuh bagi seorang muslim adalah dalam semua hal yang disukainya dan yang
dibencinya, selama ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk
maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkenaan dengan ketaatan jundi kepada qiyadah, amir, atau ulil amri, Allah Ta’ala
berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di
antara kamu.” (QS. An-Nisa, 4: 59)
Ayat ini dapat diimplementasikan dalam skup kepemimpinan yang besar maupun yang kecil.
Asbabun nuzul ayat di atas diantaranya dikaitkan dengan peristiwa perselisihan antara Khalid
bin Walid sebagai pemimpin sariyyah (pasukan) dengan ‘Amar bin Yasir tentang seseorang
yang telah masuk Islam dan mendapat jaminan keamanan dari ‘Amr bin Yasir—tanpa
sepengetahuan Khalid sebagai pemimpin. Perselisihan itu dihadapkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi
melarangnya mengulangi perbuatannya lagi, yakni memberikan perlindungan tanpa seizin
pemimpin pasukan.[19]
Selain hadits-hadits di atas, masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang berbicara tentang
ketaatan kepada pemimpin. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini,
«ٌ َوإِ َّن أُ ِّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد َحبَ ِش ٌّي َكأ َ َّن َر ْأ َسهُ زَ بِيبَة،»ا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا
“Tunduk dan patuhlah kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak
Habsyah yang kepalanya seperti zabibah (anggur kering).” (HR. Bukhari).
اف ْ َ َوإِ ْن َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا ُم َج َّدع اأْل،صانِي خَ لِيلِي أَ ْن أَ ْس َم َع َوأُ ِطي َع
ِ ط َر َ ْأَو
“Kekasihku (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku
tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyah
yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa).” (HR. Muslim).
Dari Ummul Husain, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda dalam khutbah haji wada’:
“Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka
tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.” (HR. Muslim).
Konteks hadits-hadits di atas adalah dalam skup kepemimpinan besar (negara/daulah), namun
kita dapat mengambil hikmah dan menerapkan nilai-nilai moralnya dalam skup
kepemimpinan yang lebih kecil (kepemimpinan dalam perjalanan, kelompok, organisasi, dan
lain-lain) secara proporsional dan kontekstual.
Selain memerintahkan untuk memproklamirkan adanya misi dakwah, melalui QS. Yusuf ayat
108 ini pun Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memproklamirkan prinsip dan nilai utama dari dakwah yang diembannya yakni kemurnian
atau totalitas (at-tajarrud) dalam mengesakan Allah Ta’ala (at-tauhid), ََو ُس ْب ٰ َحنَ ٱهَّلل ِ َو َمٓا أَن َ۠ا ِمن
ْ
َٱل ُم ْش ِر ِكين.
Ibnu Abi Zamanain berkata mengenai kalimat ini: “Amarahu an yunazzihallaha ‘amma qalal
musyrikun, diperintahkan kepadanya agar memyucikan Allah dari apa-apa yang dikatakan
musyrikin”. Hal senada disampaikan pula oleh Al-Baidhowi, An-Nasafi, Al-Ijay, dan yang
lainnya.
Pemurnian dan implementasi tauhid adalah fondasi dakwah Islamiyah, karena ia adalah
tempat berdirinya seluruh bangunan Islam. Dari awal hingga akhir, dakwah Islamiyah harus
bergulir dalam rangka membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk
menjadi penghambaan kepada Al-Khaliq semata.
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.’” (QS. Al-An’am, 6: 162)
Ingatlah apa yang yang diucapkan oleh Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu kepada Rustum,
komandan perang Persia,
اإل ْسالَ ِم َ ِيق ال ُّد ْنيا َ اِل َى َس َعتِهَا َو ِم ْن جُوْ ِر األَ ْديَا ِن إ
ِ لى َع ْد ِل ِ ضِ إن هللا ا ْبتَ َعثَنَا لِنُ ْخ ِر َخ َم ْن َشا َء ِم ْن ِعبَا َد ِة ال ِعبَا ِد إِل َى ِعبَا َد ِة هللاِ َو ِم ْن
“Sesungguhnya Allah telah membangkitkan kami untuk mengeluarkan siapa pun yang mau,
dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata; dari
sempitnya dunia menuju luasnya dunia, dan dari keculasan agama-agama menuju keadilan
Islam”.