ٌ َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُك ْم بِ ْال ُمْؤ ِمنِينَ َر ُء
وف َر ِحي ٌم ِ لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم ع
ُول هَّللا ِ ُأ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكانَ يَرْ جُو هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرًا
ِ لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرس
Dengan menggunakan kata yang lebih sublim Abu al-Hasan ‘Ali bin
‘Abdurrahman bin Hudzail menggunakan istilah al-Adab al-Gharizah. Gharizah
memiliki arti sesuatu yang inheren dalam diri manusia sejak lahir. Artinya sejak
semula – tanpa lewat ilmu-ilmu yang berkaitan tentang Akhlak – manusia membawa
naluri keberadaban ini semenjak ia lahir ke muka bumi sebagai sebuah fitrah.
Adapun fitrah dalam pandangan al-Qurthubi adalah sebuah kesucian jiwa
yang dimiliki oleh manusia sejak awal kemunculannya ke dunia; Ibnu Katsir
berpendapat bahwa yang disebut fitrah adalah menerima keesaan ilahiah. Manusia
sejak semula memiliki perasaan yang kukuh sebagai seorang hamba yang siap patuh
dan taat sepenuhnya kepada ketauhidan Allah, atau berupaya untuk mencapai
ketauhidan itu; al-Maraghi berpendapat bahwa fitrah kecenderungan untuk
menerima kebenaran – walaupun kebenaran itu hanya bisa ia yakini dalam hati
kecilnya seorang diri (Nugraha, Ahmad, dan Suhartini 2020, 184)
Sekali lagi Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Hudzail ingin
mempertegas pendapatnya dengan beragam cerita yang dipaparkan dalam kitabnya
tersebut. Akan tetapi ada satu kisah yang menandakan sebuah prinsip teguh
bagaimana seseorang mencirikan dirinya sendiri dengan sikap keberpemilikan
terhadap fitrahnya. Sebuah cerita yang mengisahkan tentang ‘Abdul Malik bin
Marwan yang bertanya kepada seseorang, “Anak siapa dirimu?” maka dengan tegas ia
menjawab, “Aku adalah anak diriku sendiri yang saat ini sampai kepadamu” (‘Ali t.t., 125).
ِ ابْنُ نَ ْف: ابْنُ َمنْ َأ ْنتَ ؟ فَقَا َل:ب َع ْب ُد ا ْل َملِ ِك فَقَا َل
سي ٍ َب ُك ّل َم ْذ َه
َ ب فََأع َْج َ َو َذه،َوتَ َكلَّ َم ِع ْن َد َع ْب ِد ا ْل َملِ ِك ْب ِن َم ْر َوانَ َر ُج ٌل
َّ الَّتِي تَ َو.
س ْلتُ بِ َها ِإلَ ْي َك
ُقَا َل الشَّا ِع ُر فِي َم ْعنَاه:
سبِي َما َأنَا َم ْولَى َوالَ َأنَا َع َربِي ِ سي َو َه َم ْتنِي
ْ لح ِ َأنَا ابْنُ نَ ْف
Seseorang datang dan berbicara kepada Abdul Malik bin Marwan. Dia
mengutarakan pandangan dengan segala mazhab (pemikiran). Maka terkejutlah
Abdul Malik lalu bertanya: anak siapakah kamu? Lalu ia menjawab: Aku adalah
anak diriku sendiri yang membawa diriku kepadamu saat ini.
Berkatalah sebuah syair: "Aku adalah anak diriku sendiri dan diriku ini
menghendaki untuk jadi diriku sendiri: aku bukanlah seorang tuan aku bukanlah
seorang arab.
Dalam keterkaitan Adab sebagai fitrah Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdurrahman
bin Hudzail mengutip banyak sekali syair-syair dengan tema akhlak yang luhur yang
disampaikan juga dengan cara terindah dalam bertutur. Salah satu syair yang
dihimpun dalam buku ini (‘Ali t.t., 126):
ًان هَبَّة
ِ َب هللا لِِإل ن َس
َ ما َوه
ض َل ِم ْن َع ْقلِ ِه َو ِم ْن َأ َدبِ ِه
َ َأ ْف
هُ َما َحيَاةُ ْالفَتَى فَِإ َّن َعدَدهَا
ٌ فَفُ ْق ُدهُ لِ ْل َحيَا ِة َألِي
.ق بِ ِه