Anda di halaman 1dari 4

ANTARA ADAB DAN ILMU: SEBUAH TINJAUAN KEBERASALAN

Dalam konteks keberagamaan yang dibawa Nabi Muhammad tidak hanya


berpangkal kepada apa yang diwahyukan Tuhan sebagai ilmu yang harus disebarkan
ke seluruh pengikut agama Islam, tetapi lebih jauh dari itu semua adalah penekanan
terhadap keberadaban: Moralitas. Dalam tinjauan etika Islam menempatkan akhlak
yang mulia sebagai pijakan mulai dalam menjalani hidup beragama. Dalam ayat-ayat
al-Qur’an sudah nampak tegas dan jelas bagaimana Allah mengidentitaskan Nabi
Muhammad sebagai sosok yang mulia dan agung karena etikanya yang agung.

‫َظ ٍيم‬ ٍ ُ‫ك لَ َعلَ ٰى ُخل‬


ِ ‫قع‬ َ َّ‫وَِإن‬

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang


agung." (QS Al-Qalam [68]: 4)

ٌ ‫َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُك ْم بِ ْال ُمْؤ ِمنِينَ َر ُء‬
‫وف َر ِحي ٌم‬ ِ ‫لَقَ ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم ع‬

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu


sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat
menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas
kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS
Al-Taubah [9]: 128).

‫ُول هَّللا ِ ُأ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكانَ يَرْ جُو هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرًا‬
ِ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرس‬

"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi


yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian dan dia
banyak menyebut Allah." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).

Lewat penekanan ayat-ayat di atas sudah menjadi kemutlakan bahwa pribadi


Nabi Muhammad adalah contoh sempurna untuk menggambarkan bagaimana
Agama islam ingin mencitrakan dirinya di hadapan orang-orang yang bersinggungan
dengannya. Bahkan secara tegas dan jelas Nabi Muhammad menjelaskan bahwa
beliau diutus oleh memang untuk membenahi moralitas yang buruk menuju yang
terbaik.
Pemahaman semacam ini yang dipatenkan dan diupayakan oleh Islam sebagai
wujud dari wajah Islam sekaligus bentuk peneladanan kepada Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam. Keberlangsungan semacam ini sangat awet dan seolah
menemukan titik kesempurnaannya tanpa perlu direvisi atau digugat. Tetapi dalam
kasus keberasalan apakah apakah akhlak itu lebih dahulu ada atau ditemukan setelah
mempelajarinya.
Dalam Kitab ‘Ainu al-Adab wa as-Siyasah karangan Abu al-Hasan ‘Ali bin
‘Abdurrahman bin Hudzail menerangkan tentang bahwasanya keberasalan adab
adalah insting/naluri, sedangkan adab yang didapat dari belajar adalah bagian yang
muncul darinya. Sesuatu tidak akan menunjukkan keberadaannya tanpa asalnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh pengarang dalam kitab tersebut (‘Ali t.t., 125):

ْ ‫َي ٌء ِإاَّل عَنْ َأ‬


‫ َواَل يُنَ ِّمي‬،‫صلِ ِه‬ ُ ‫ َوَأد‬.‫ص ُل‬
ُ ‫ َواَل يَتَفَ َّر‬،ُ‫ َو ُه َو ا ْلفَ ْرع‬،‫َب التَّ َعلُّ ِم‬
ْ ‫عش‬ ْ ‫ َو ُه َو اَأْل‬،‫َب ا ْل َغ ِر ْي َز ِة‬
ُ ‫ َأد‬:‫ان‬ ِ َ‫َب َأ َدب‬ُ ‫اَأَلد‬
‫ قَا َل الشَّا ِع ُر‬.‫ال ا ْل َما َّد ِة‬ ِ ‫ص‬ ْ ‫اَأْل‬:
َ ِّ‫ص َل ِإاَّل بِات‬
‫صلِ ِه َولَ ْم َأ َر بَدَايَةَ ا ْل ِع ْل ِم ِإاَّل تَ َعلُّ ًما‬
ْ ‫اب ِإاَّل بَِأ‬
َ َ‫ َولَ ْم َأ َر فَ ْرعًا ط‬.

Dengan menggunakan kata yang lebih sublim Abu al-Hasan ‘Ali bin
‘Abdurrahman bin Hudzail menggunakan istilah al-Adab al-Gharizah. Gharizah
memiliki arti sesuatu yang inheren dalam diri manusia sejak lahir. Artinya sejak
semula – tanpa lewat ilmu-ilmu yang berkaitan tentang Akhlak – manusia membawa
naluri keberadaban ini semenjak ia lahir ke muka bumi sebagai sebuah fitrah.
Adapun fitrah dalam pandangan al-Qurthubi adalah sebuah kesucian jiwa
yang dimiliki oleh manusia sejak awal kemunculannya ke dunia; Ibnu Katsir
berpendapat bahwa yang disebut fitrah adalah menerima keesaan ilahiah. Manusia
sejak semula memiliki perasaan yang kukuh sebagai seorang hamba yang siap patuh
dan taat sepenuhnya kepada ketauhidan Allah, atau berupaya untuk mencapai
ketauhidan itu; al-Maraghi berpendapat bahwa fitrah kecenderungan untuk
menerima kebenaran – walaupun kebenaran itu hanya bisa ia yakini dalam hati
kecilnya seorang diri (Nugraha, Ahmad, dan Suhartini 2020, 184)
Sekali lagi Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Hudzail ingin
mempertegas pendapatnya dengan beragam cerita yang dipaparkan dalam kitabnya
tersebut. Akan tetapi ada satu kisah yang menandakan sebuah prinsip teguh
bagaimana seseorang mencirikan dirinya sendiri dengan sikap keberpemilikan
terhadap fitrahnya. Sebuah cerita yang mengisahkan tentang ‘Abdul Malik bin
Marwan yang bertanya kepada seseorang, “Anak siapa dirimu?” maka dengan tegas ia
menjawab, “Aku adalah anak diriku sendiri yang saat ini sampai kepadamu” (‘Ali t.t., 125).

ِ ‫ ابْنُ نَ ْف‬:‫ ابْنُ َمنْ َأ ْنتَ ؟ فَقَا َل‬:‫ب َع ْب ُد ا ْل َملِ ِك فَقَا َل‬
‫سي‬ ٍ ‫َب ُك ّل َم ْذ َه‬
َ ‫ب فََأع َْج‬ َ ‫ َو َذه‬،‫َوتَ َكلَّ َم ِع ْن َد َع ْب ِد ا ْل َملِ ِك ْب ِن َم ْر َوانَ َر ُج ٌل‬
َّ ‫الَّتِي تَ َو‬.
‫س ْلتُ بِ َها ِإلَ ْي َك‬
ُ‫قَا َل الشَّا ِع ُر فِي َم ْعنَاه‬:
‫سبِي َما َأنَا َم ْولَى َوالَ َأنَا َع َربِي‬ ِ ‫سي َو َه َم ْتنِي‬
ْ ‫لح‬ ِ ‫َأنَا ابْنُ نَ ْف‬

Seseorang datang dan berbicara kepada Abdul Malik bin Marwan. Dia
mengutarakan pandangan dengan segala mazhab (pemikiran). Maka terkejutlah
Abdul Malik lalu bertanya: anak siapakah kamu? Lalu ia menjawab: Aku adalah
anak diriku sendiri yang membawa diriku kepadamu saat ini.
Berkatalah sebuah syair: "Aku adalah anak diriku sendiri dan diriku ini
menghendaki untuk jadi diriku sendiri: aku bukanlah seorang tuan aku bukanlah
seorang arab.

Dalam keterkaitan Adab sebagai fitrah Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdurrahman
bin Hudzail mengutip banyak sekali syair-syair dengan tema akhlak yang luhur yang
disampaikan juga dengan cara terindah dalam bertutur. Salah satu syair yang
dihimpun dalam buku ini (‘Ali t.t., 126):

ً‫ان هَبَّة‬
ِ ‫َب هللا لِِإل ن َس‬
َ ‫ما َوه‬
‫ض َل ِم ْن َع ْقلِ ِه َو ِم ْن َأ َدبِ ِه‬
َ ‫َأ ْف‬
‫هُ َما َحيَاةُ ْالفَتَى فَِإ َّن َعدَدهَا‬
ٌ ‫فَفُ ْق ُدهُ لِ ْل َحيَا ِة َألِي‬
.‫ق بِ ِه‬

Tidaklah Allah memberikan sebuah hadiah


teramat mulia kecuali akal dan akhlak yang indah
Keduanya adalah tanda hidup seorang muda
Apabila itu hilang maka tak ada hidup baginya
Sebuah ungkapan yang sangat populer dari Schleiermacher dan begitu
melekat: “Bahasa adalah cerminan dari peradaban.” Bahasa bukan hanya sebagai alat
komunikasi tetapi ia adalah cara manusia meramu intelektualitas yang dimiliki
olehnya sekaligus bukti ia telah mencerap keilmuan itu sampai ke jiwanya. Tradisi
bersyair (bertutur) Arab, seperti yang dinyatakan al-Jahiz, adalah anugerah Tuhan
yang memang diberikan khusus oleh orang-orang Arab yang tidak dimiliki oleh
lainnya. Kalimat ini juga ditekankan oleh pengarang dengan tegas.

ُ‫س ُكوت‬ ْ ُ‫َي ا ْل َم ْر ِء ي‬


ُّ ‫ستَ ُرهُ ال‬ ُّ ‫سانُ ا ْل َم ْر ِء يُنَبُِّئ عَنْ ِحجا ِه َوع‬
َ ِ‫ل‬

"Perkataan seseorang menegaskan tentang kebijaksanaannya dan kesadarannya


ditunjukkan dengan diam."

َ َ‫ص ُر يَ ْنظُ ُر بِ ِه ِإِل ْخ َوانِ ِه ن‬


.‫ظ َر ا ْل َم َو َّد ِة‬ َ َ‫ فَا ْلب‬.‫َب‬ ٌّ ‫ح د‬ِ ‫ َوا ْعلَ ْم َأنَّ َعلَى ا ْل َج َوا ِر‬.‫سانِ ِه‬ َ ِ‫سانُ َم ْخبُو ٌء ت َْحتَ ل‬ َ ‫ َواِإْل ن‬.‫ان‬ ِ ‫س‬َ ِّ‫الج َما ُل فِي الل‬ َ
.‫سانُ يُ َكلِّ ُم ُهم بِ َما يُ ِحبُّونَ بِ ِم ْقدَا ِر فَ ْه ِم ِه ْم َو ِع ْل ِم ِه ْم‬ ْ ‫س ْم ُع َأنَّ ِم ْن ُه ْم ُم‬
َ ِّ‫ َوالل‬.‫ستَ ِم ٌع لِ َح ِديثِ ِه ْم‬ َّ ‫َوال‬

"Keindahan terletak pada kata-kata. Manusia bersemayam di bawah


kata-katanya. Ketahuilah setiap anggota tubuh ada kegunaannya. Mata
digunakan untuk memandang saudaranya dengan penuh cinta, telinga untuk
mendengar semua perkataan mereka, dan lisan untuk berbicara kepada mereka
sesuai dengan apa yang mereka senang bersesuaian dengan kefahaman dan
keilmuan mereka."

Secara garis besar kitab ini menguatkan pendapat-pendapatnya lewat


kisah-kisah para shalihin dengan menyatakan bahwa Adab adalah bentuk kemuliaan
yang begitu mengekal di kalangan umat Islam. Adab yang terpuji adalah suatu
konsep kuat yang dikampanyekan Islam era Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam dan bertahan di tangan para penerusnya hingga akhir zaman. Salah satu
kalimat pamungkas yang menginterpretasikan keseluruhan bab Adab ini adalah
“Seseorang yang memiliki harga diri ditimbang dari kebaikan budinya.” (‘Ali t.t., 127)

Anda mungkin juga menyukai