Anda di halaman 1dari 5

ُ ‫الح ِدي‬

َ‫ْث ال ِع ْشرُوْ ن‬ َ
‫ “ِإ َّن ِم َّما‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ ق‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ – قَا َل‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ ِ ‫اري البَ ْد ِري – َر‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ع َْن َأبِي َم ْسعُوْ ٍد ُع ْقبَةَ ب ِْن َع ْم ٍرو اَأل ْن‬
‫ُأل‬ َ ‫َأ ْد َر‬.
ِ ‫ ِإ َذا لَ ْم تَ ْستَحْ ِي فَاصْ نَ ْع َما ِشْئتَ ” َر َواهُ البُخ‬:‫ك النَّاسُ ِم ْن َكالَ ِم النُّبُ َّو ِة ا وْ لَى‬
‫َاري‬
Hadits Ke-20
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan
kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah
sesukamu!’”
(HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 3484, 6120]
 
Faedah Hadits
Pertama: Sifat malu adalah warisan para nabi terdahulu.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut
“Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi
terdahulu.”
“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu.
Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman.
Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini
sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada
umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497)
Yang dimaksudkan dengan (‫ )النُّبُ َّو ِة اُألوْ لَى‬adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal
Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya
Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112.
Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah
(hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu.
Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207.
Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan
ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.
 
Kedua: Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau syariat yang
dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam 
Ketiga: Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
ِ ‫ْال َحيَا ُء ُش ْعبَةٌ ِمنَ اِإل ي َم‬
‫ان‬
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 161)
 
Keempat: Malu ada dua macam yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak
sesama.
Pertama, malu yang berkaitan dengan hak Allah. Seseorang harus memiliki rasa malu ini, dia
harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia lakukan,
baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.
Kedua, malu yang berkaitan dengan hak manusia. Seseorang juga harus memiliki rasa malu
ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, ia tidak berperilaku yang tidak pantas
(menyelisihi al-muru’ah) dan berakhlak jelek.
Kelima: Malu juga ada yang merupakan bawaan, dan ada malu yang mesti diusahakan.
Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia masih kecil
saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan mendesak
atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.
Sedangkan malu jenis kedua adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan
dalam berbicara, berbuat. Kemudian ia berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat
malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama dari
yang kedua ini. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234)
 

Bagaimana memupuk sifat malu?


Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam menerangkan
bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan
Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan
derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan
memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-
nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak
akan bisa tercegah dari melakukan keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu
a’lam.
Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam Syarh Al-
Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.
 
Keenam: Perlu diketahui bahwa malu adalah suatu akhlak yang terpuji kecuali jika rasa malu
tersebut itu muncul karena enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh dalam keharaman.
Maka jika seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti enggan untuk nahi mungkar
(melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka ini adalah sifat malu yang tercela.
 
Ketujuh: Jika tidak malu, lakukanlah sesukamu.
Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna :
Pertama:
Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini bermakna mubah. Maknanya adalah jika
perbuatan tersebut tidak membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu. Maka makna
pertama ini kembali pada perbuatan.
Kedua:
Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah.
َ‫الحا ِدي َوال ِع ْش ِر ْين‬ َ ‫ْث‬ ُ ‫الح ِدي‬
َ
‫ْالم قَوْ الً الَ َأ ْسَأ ُل‬
ِ ‫ارسُوْ َل هللاِ قُلْ لِ ْي فِي اِإل س‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
َ َ‫ت ي‬ ِ ‫ َأبِ ْي َع ْم َرةَ ُس ْفيَانَ ب ِْن َع ْب ِد هللاِ َر‬،‫ َوقِ ْي َل‬،‫ع َْن َأبِ ْي َع ْم ٍرو‬
‫ت باهللِ ثُ َّم استَقِ ْم” َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ُ ‫ “قُلْ آ َم ْن‬:‫ال‬ َ َ ‫ك؟ ق‬َ ‫َع ْنهُ َأ َح َداً َغي َْر‬
Hadits Ke-21
Dari Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Aku berkata: Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan
dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau
bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
[HR. Muslim, no. 38]
 
Penjelasan Hadits
 Kalimat “katakanlah suatu perkataan dalam Islam” yaitu dalam syariat Islam.
Kalimat “suatu perkataan yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun
selainmu”, maksudnya kalimat tersebut sangat berbeda, kalimat tersebut sudah jadi definisi,
sifat kalimat tersebut jaami’ dan maani’. Jaami’ dan maani’ artinya memasukkan semua yang
tercakup di dalamnya dan mengeluarkan yang tidak tercakup di dalamnya.
Beriman kepada Allah itu terkait dengan amalan hati, sedangkan “kemudian istiqamahlah”
berarti istiqamah dalam ketaatan termasuk amalan jawarih (anggota badan).
 
Faedah Hadits
1. Para sahabat sangat semangat dalam mencari ilmu. Hal ini dibuktikan dengan
semangatnya mereka dalam bertanya.
2. Sufyan bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafi menanyakan perkara yang penting karena sudah cukup
tanpa perlu ditanyakan kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Sufyan bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafi mungkin saja bertanya kepada sahabat lainnya dalam
masalah ilmu, dan ada di antara mereka yang bisa berfatwa. Namun karena begitu
pentingnya masalah ini, hanyalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharapkan
menjawabnya.
4. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikaruniakan jawaami’ul kalim, yaitu kalimat yang
ringkas namun sarat makna. Dan ini tercakup dalam dua kalimat dalam hadits ini yaitu
“aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”.
● Bagaimana cara istiqamah?
 Ada tiga kiat utama yang bisa diamalkan.
Pertama: Mencari teman bergaul yang saleh.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ‫ َأو‬، ‫ك ِإ َّما تَ ْشت َِري ِه‬
ِ ‫ب ْال ِم ْس‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ الَ يَ ْع َد ُم‬، ‫ير ْال َح َّدا ِد‬
َ ‫ك ِم ْن‬ ِ ‫ب ْال ِم ْس‬
ِ ‫ َو ِك‬، ‫ك‬ ِ ‫صا ِح‬ َ ‫يس السَّوْ ِء َك َمثَ ِل‬ ِ ِ‫ح َو ْال َجل‬ ِ ِ‫يس الصَّال‬ ِ ِ‫َمثَ ُل ْال َجل‬
ً‫ك َأوْ تَ ِج ُد ِم ْنهُ ِريحًا َخبِيثَة‬َ َ‫ك َأوْ ثَوْ ب‬ ُ ‫ َو ِكي ُر ْال َح َّدا ِد يُحْ ِر‬، ُ‫ت َِج ُد ِري َحه‬
َ َ‫ق بَ َدن‬
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah
bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak
dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya.
Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu
hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)
 
Kedua: Rajin hadiri majelis ilmu.
Ketiga: Memperbanyak doa kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
ُ‫ك َأ ْنتَ ْال َوهَّاب‬ َ ‫َربَّنَا اَل تُ ِز ْغ قُلُوبَنَا بَ ْع َد ِإ ْذ هَ َد ْيتَنَا َوهَبْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن‬
َ َّ‫ك َرحْ َمةً ِإن‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi
Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8)
 

Anda mungkin juga menyukai