Anda di halaman 1dari 6

CATATAN ISLAM

Penjelasan tentang surat Al Ahzab ayat 59 (HIJAB)

‫ يُ ْعرَ ْفنَ فَاَل ي ُْؤ َذيْنَ ۗ وَ َكانَ اللَّ ُه َغ ُفورً ا رَ ِحيمًا‬Arab-Latin: Yā ayyuhan-nabiyyu qul li`azwājika wa
banātika wa nisā`il-mu`minīna yudnīna 'alaihinna min jalābībihinn, żālika adnā ay
yu'rafna fa lā yu`żaīn, wa kānallāhu gafụrar raḥīmā

Referensi: https://tafsirweb.com/7671-surat-al-ahzab-ayat-59.html
artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu

(agar di kenali sebagai wanita afifah)

  [HR. Bukhâri, no. 6069; Muslim, no. 2990] 

“KULLU UMMATI MUAFAN ILLA MUJAHIRUN  ?”,  jawabannya


adalah sebagai berikut :

Hadits yang Anda maksudkan adalah sebagai


berikut :

ُّ ‫سول َ هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َيقُول ُ « ُكل‬ ُ ‫ت َر‬ َ ُ ‫َع ِن أَ ِب ْي ه َُر ْي َر َة َيقُول‬
ُ ‫سم ِْع‬
َّ َ ‫ َوإِنَّ مِنَ ا ْل ُم َجاه ََر ِة أَنْ َي ْع َمل‬، َ‫أ ُ َّمتِى ُم َعا ًفى إِالَّ ا ْل ُم َجاه ِِرين‬
‫ ُث َّم‬، ً‫الر ُجل ُ ِبال َّل ْي ِل َع َمال‬
ُ‫ات َي ْس ُت ُره‬َ ‫ َو َقدْ َب‬، ‫ار َح َة َك َذا َو َك َذا‬ ُ ‫ َف َيقُول َ َيا فُالَنُ َع ِم ْل‬، ُ ‫س َت َرهُ هَّللا‬
ِ ‫ت ا ْل َب‬ َ ْ‫ص ِب َح َو َقد‬
ْ ‫ُي‬
‫ف سِ ْت َر هَّللا ِ َع ْن ُه‬ ُ ِ‫ص ِب ُح َي ْكش‬ ْ ‫ر ُّب ُه َو ُي‬ »
َ .

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku
dima’afkan kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan
terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan dosa
dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa
di waktu malam hari, kemudian ketika pagi dia berkata (kepada
orang lain), ‘Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu!’,
padahal di waktu malam Rabbnya telah menutupinya (yaitu tidak
ada orang yang mengetahuinya), namun di waktu pagi dia
membongkar tirai Allâh terhadapnya (yaitu menyampaikan
kepada orang lain)”.  [HR. Bukhâri, no. 6069; Muslim, no. 2990] 

Ala Hadzihi - n - Niyyati wa li kulli Niyyatin Sholihah Bi Barokati Ummil Quran, Al


Fatihah

Doa penutup

”Subhaana rabbikaa rabbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun, Wa salaamun ‘alal mursaliin, Wal
hamdulillahi rabbil ‘aalamiin.”

QS. Al-Shaffaat: 180-182

َ‫ َو َساَل ٌم َعلَى ْال ُمرْ َسلِينَ َو ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬  َ‫صفُون‬
ِ َ‫ك َربِّ ْال ِع َّز ِة َع َّما ي‬
َ ِّ‫ُس ْب َحانَ َرب‬

“Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian
alam.”

Tidak ada petunjuk dari hadits sahih menjadikan ayat-ayat ini sebagai penutup doa. Hanya saja,
adab dalam doa agar memulainya atau menutupnya dengan tahmid dan sanjungan kepada Allah
serta shalawat atas rasul-Nya. Dan semua ini ada di ayat-ayat tersebut.

Faya ibadallaoh ittakulloha hakkotukotih wala tamutunna illa wantum muslimun


Sebagian orang berkata bahwa perayaan Maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah
karena menganggap bid’ah itu ada dua, ada bid’ah hasanah (yang baik) dan
bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Namun ketika ditanya, apa yang dimaksud bid’ah
sayyi’ah, mereka sulit menyebutkan contohnya. Karena semua ibadah yang
tanpa tuntunan dikategorikan oleh mereka sebagai hasanah.

Padahal ulama Syafi’i seperti Ibnul ‘Atthor, murid Imam Nawawi telah
mengategorikan beberapa bid’ah yang dikatakan hasanah oleh mereka sebagai
bid’ah yang tercela. Ibnu ‘Atthor ketika menjelaskan hadits yang dibawakan
oleh gurunya, Imam Nawawi dalam Al Arba’in An Nawawiyah, yaitu hadits
nomor 5 dari ‘Aisyah tentang bid’ah, beliau berkata,

“Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam
Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu sebagai sesuatu yang
tidak ada landasan (alias: tidak berdalil). Maka sudah sepantasnya hal ini
diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas
ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.  Di antara perbuatan bid’ah
tersebut adalah shalat roghoib dan shalat pada malam nishfu Sya’ban, juga
membaca surat Al An’am pada raka’at satu raka’at pada malam ke-27 dari
bulan Ramadhan karena orang awam menyangka bahwa surat Al An’am turun
sekaligus pada malam tersebut, begitu pula menambah bacaan shalawat pada
iqomah. ” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan
‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)

Hadits ‘Aisyah yang dimaksudkan di atas adalah,

َ ‫ أَ ْم ِر َنا َه َذا َما لَي‬N‫ث فِى‬


‫ْس ِم ْن ُه َفه َُو َر ٌّد‬ َ ‫ن أَحْ َد‬Nْ ‫َم‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim
no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,

‫ُو َر ٌّد‬Nَ ‫ْس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُر َنا َفه‬


َ ‫ لَي‬Nً‫ل َع َمال‬Nَ ‫َمنْ َع ِم‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Mereka seakan-akan menutup mata
dari hadits ini padahal hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Arba’in
An Nawawiyah. Dan Imam Nawawi sendiri mengatakan,

َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفإِ َّن ُه‬


‫ص ِريح فِي َر ّد‬ َ N‫ِن َج َوامِع َكلِمه‬Nْ ‫ َوه َُو م‬، ‫ِن َق َواعِ د اإْل ِسْ اَل م‬Nْ ‫َو َه َذا ْال َحدِيث َقا ِع َدة َعظِ ي َمة م‬
‫ُك ّل ْالبِ َدع َو ْالم ُْخ َت َر َعات‬
“Hadits ini adalah kaedah yang amat penting dari kaedah Islam dan merupakan
kalimat yang singkat namun sarat makna dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hadits ini tegas mengatakan membantah setiap perbuatan bid’ah yang
tidak ada tuntunannnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 16). Perkataan Imam
Nawawi di atas dibawakan pula oleh muridnya, Ibnu ‘Atthor dalam Syarh Al
Arba’in An Nawawiyah.

Supaya lebih jelas apa yang dimaksudkan bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
lihat perkataan Imam Nawawi ketika membagi bid’ah menjadi lima,

‫ َتصْ نِيف ُك ُتب‬: ‫ َومِنْ ْال َم ْن ُدو َبة‬N. ‫ك‬ Nَ ِ‫ح َدة َو ْال ُم ْب َتدِع‬
َ ِ‫ين َوشِ بْه َذل‬ Nَ ‫ َن ْظم أَ ِدلَّة ْال ُم َت َكلِّم‬: ‫ج َبة‬
ِ ‫ ْال َماَل‬N‫ِين لِلرَّ ِّد َعلَى‬ ِ ‫َفمِنْ ْال َوا‬
‫ َو ْال َح َرام‬. ‫ك‬ ْ َ َ
Nَ ِ‫ َو َغيْر َذل‬N‫ أ ْل َوان اأْل ط ِع َمة‬N‫ ال َّت َب ُّسط فِي‬: ‫ َومِنْ ْال ُم َباح‬N. ‫ك‬ َ ِ‫ارس َوالرُّ بُط َو َغيْر َذل‬ ِ ‫ َو ِب َناء ْال َم َد‬، ‫ْالع ِْلم‬
َ
ِ ‫َوال َم ْكرُوه ظاه َِر‬
‫ان‬ ْ

“Di antara bid’ah yang wajib adalah menyusun tulisan untuk membantah ahli
kalam, juga membantah ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang lainnya.
Contoh bid’ah yang sunnah adalah menyusun buku-buku berisi ilmu dan
membangun sekolah dan pos pertahanan untuk menjaga musuh atau semacam
itu. Bid’ah yang mubah adalah seperti mengecek warna dari makanan dan
semacamnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh, maka sudah jelas. ”
(Syarh Shahih Muslim, 6: 155).

Sebelum membawa perkataan di atas, Imam Nawawi berbicara tentang hadits,

‫ضاَل لَة‬
َ ‫ُك ّل ِب ْد َعة‬

“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867). Setelah itu, beliau berkata,

َ ‫ ه‬: ‫ َقا َل أَهْ ل اللُّ َغة‬. ‫ َو ْالم َُراد َغالِب ْال ِب َدع‬، ‫َه َذا َعا ّم َم ْخصُوص‬
‫ َغيْر ِم َثال َس ِابق‬N‫ ُع ِم َل َعلَى‬N‫ِي ُك ّل َشيْ ء‬

“Hadits tersebut adalah umum namun maksudnya adalah khusus, yaitu secara
umum bid’ah itu tercela. Sebagaimana pakar bahasa mendefinisikan bid’ah
sebagai segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya.”
(Syarh Shahih Muslim, 6: 154)

Di tempat lain, beliau terangkan mengenai hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat‘,

‫ن ْالم َُراد ِب ِه ْالمُحْ َد َثات ْالبَاطِ لَة َو ْال ِب َدع ْال َم ْذمُو َمة‬Nَّ َ‫َوأ‬

“Yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara batil yang dibuat-buat dan
bid’ah yang tercela”(Syarh Shahih Muslim, 7: 104).

Jika kita meninjau perkataan Imam Nawawi, itu bukan berarti setiap yang baru
dan dianggap baik itu bisa diterima. Karena setiap yang baru yang tidak ada
contoh sebelumnya bisa termasuk bid’ah hasanah, bisa jadi termasuk bid’ah
sayyi’ah. Yang termasuk bid’ah hasanah jika ada maslahat, walau tidak ada
dalilnya. Seperti yang Imam Nawawi contohkan yaitu membangun madrasah
dan membantah ahli kalam. Sedangkan yang menyelisihi ajaran Rasul, itulah
yang termasuk bid’ah sayyi’ah (yang jelek). Yang menyelisihi ajaran Rasul dan
termasuk bid’ah sayyi’ah seperti yang disebutkan oleh Ibnu ‘Atthor di atas, yaitu
shalat Raghaib dan membaca shalawat saat iqomah. Ini berarti tidak
seenaknya saja kita memasukkan suatu amalan yang kita anggap baik dalam
bid’ah hasanah. Namun mesti melihat kecocokan dengan ajaran Rasul walau
tidak diajarkan oleh beliau sebelumnya, tetapi hal itu sudah termasuk dalam
dalil umum atau pertimbangan maslahat mursalah.

Penafsiran bid’ah hasanah sangat baik jika merujuk pada perkataan Imam
Syafi’i. Beliau rahimahullah  pernah berkata,

َ ‫ ما أُحد‬: ‫والمحدثات ضربان‬


ً ‫ أو‬، ً ‫ِث مما يُخالف كتابا‬
‫ وما‬، ‫ فهذه البدعة الضالل‬، ً ‫ أو إجماعا‬، ً‫ أثرا‬N‫ أو‬، ‫سنة‬
َ ‫ ال خ‬N، ‫أُحدِث م َِن الخير‬
N‫ وهذه محدثة غي ُر مذمومة‬N، ‫ِن هذا‬Nْ ‫ِالف فيه لواح ٍد م‬

“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu perkara yang
dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’,
maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang
masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah
perkara baru (bid’ah) yang tercela”. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam
Manaqib Asy Syafi’i 1: 468-469. Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh
Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2:
131.)

Lihatlah apa yang dimaksud bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (yang tercela).
Yang tercela atau bid’ah sayyi’ah adalah jika menyelisihi dalil Al Qur’an, As
Sunnah, atsar dan ijma’. Dan jelas perayaan maulid tidak memiliki dalil sama
sekali, sehingga perayaan tersebut bukan termasuk hasanah, namun termasuk
bid’ah sayyi’ah atau tercela. Adapun mengumpulkan Al Qur’an, membukukan
hadits, menyusun buku-buku agama, membangun madrasah, ini bukan
termasuk bid’ah tercela karena semuanya tercakup dalam maslahat mursalah.

Mengenai maslahat mursalat ini diterangkan oleh Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah,
“Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat,
namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka
ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor
tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal
itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2: 101-103)
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat
‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah
kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman
beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh
karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya
adalah sunnah.

Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah
faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu
masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al
Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun,
faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al
Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Silakan analogikan kaedah Ibnu Taimiyah di atas untuk perayaan Maulid Nabi.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/11463-bedakan-bidah-


hasanah-dan-bidah-sayyiah.html

Anda mungkin juga menyukai