Anda di halaman 1dari 9

adits Arbain 5: Islam itu Ittiba' (Mengikuti) bukan Ibtida' (Membuat Bid'ah)

ِ ِ‫ول ه‬ ‫ َر ِض َي ه‬- َ‫َع ْن َعائِ َشة‬


ُ‫ث ِِف أ َْم ِرََن َه َذا َما لَْي َسمْنه‬
َ ‫َح َد‬
ْ ‫ صلى هللا عليه وسلم َم ْن أ‬- ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬- ‫اَّللُ َعْن َها‬
.‫ ُمته َف ٌق َعلَْي ِه‬. ‫س َعلَْي ِه أ َْم ُرََن ؛ فَ ُه َو َرد‬ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫ َم ْن َعم َل َع َم اًل لَْي‬:‫ َوِف رَوايَة‬-
Dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa menciptakan hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak
berasal dari-Nya, ia tertolak.“ Di riwayat Muslim disebutkan bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang
tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”

Jamiul Ulum wal Hikam, Syarah Hadits Arbain Ibnu Rajab

Takhrijul Hadits
Hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahih-nya masing-
masing dari Al-Qasim bin Muhammad dari bibinya (dari jalur ayah), Aisyah
ra (sebagai Ar Rawi Al ‘Ala (perawi yang paling tinggi)). Redaksi hadits
tersebut tidak sama, namun maknanya mirip. Di sebagian riwayat
disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal-hal
baru dalam agama kita yang tidak ada di dalamnya, ia tertolak”
Daftar lebih lengkap periwayat hadits ini adalah:
1. Al-Bukhari dengan hadits nomor 2697
2. Muslim dengan hadits nomor 1718
3. Imam Ahmad dengan hadits 6/73, 240 dan 270
4. Abu Daud dengan hadits nomor 4606
5. Ibnu Majah dengan hadits nomor 14
Hadits di atas di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dengan hadits nomor 26 – 27.

Kedudukan Hadits
Hadits di atas adalah salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip Islam.
Hadits tersebut juga merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat
(dhohir).

Makna Hadits
Sebagaimana disebutkan di atas, hadits kelima ini merupakan parameter
amal perbuatan yang terlihat (dhohir). Artinya untuk menimbang apakah
suatu amal perbuatan diterima atau tertolak, secara dhohir bisa dilihat
apakah amal perbuatan tersebut mengikuti apa yang sudah digariskan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya atau tidak. Sedangkan secara baathin (tidak
terlihat), parameter untuk menimbang apakah suatu amal perbuatan
diterima atau tertolak, bisa dilihat dari niat dalam melaksanakan amal
perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits “Innamal ‘amaalu
binniyaat”.
Hadits kelima ini juga menegaskan bahwa semua amal perbuatan agar
diterima oleh Allah SWT (tidak tertolak) harus mengikuti syari’at Islam.
Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk
mencari keridhaan Allah Ta’ala maka pelakunya tidak mendapatkan pahala,
maka demikian pula bahwa segala amal perbuatan yang tidak atas dasar
perintah Allah dan Rasul-Nya tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang
menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun.

Disebutkan di dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah dari Nabi saw yang
bersabda,

‫ات يَ ْوٍم ُثُه أَقْ بَ َل َعلَْي نَا فَ َو َعظَنَا َم ْوعِظَةا بَلِيغَةا‬ َ َ‫ ذ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اَّلل‬
ِ‫ول ه‬ ُ ‫صلهى بِنَا َر ُس‬ َ ‫ض‬
ِ ُ
ُ ‫حديث الْع ْرََب‬ ‫وسيأيت‬
َ ‫اَّللِ َكأَ هن َه ِذهِ َم ْوعِظَةُ ُم َوِِّد ٍع فَ َماذَا تَ ْع َه ُد إِلَْي نَا فَ َق‬
‫ال‬ ‫ول ه‬ َ ‫ال قَائِ ٌل ََي َر ُس‬
َ ‫وب فَ َق‬ ِ َ‫ذَرفَت ِمْن ها الْعيو ُن ووِجل‬
ُ ُ‫ت مْن َها الْ ُقل‬ ْ َ َ ُُ َ ْ َ
‫اختًِلَفاا َكثِ اَيا فَ َعلَْي ُك ْم‬ ِ ِ ِ‫اَّللِ وال هسم ِع والطهاع ِة وإِ ْن عب ادا حب ِشيًّا فَإِنهه من يع‬ ِ ِ
ْ ‫ش مْن ُك ْم بَ ْعدى فَ َس ََيَى‬ ْ َ َُْ َ َ َْ َ َ َ ْ َ ‫« أُوصي ُك ْم بتَ ْق َوى ه‬
‫ت األ ُُموِر فَإِ هن ُك هل ُُْم َدثٍَة‬ ِ ‫ضوا علَي ها َِبلنهو ِاج ِذ وإِ هَي ُكم و ُُْم َد ََث‬ ِ ِِ ِ ِ ِ
َ ْ َ َ َ ْ َ ُّ ‫ين َتََ هس ُكوا ِبَا َو َع‬ َ ‫ني الهراشد‬ َ ِِّ‫بِ ُسن ِهِت َو ُسنهة ا ْْلُلَ َفاء الْ َم ْهدي‬
ٍ
» ٌ‫ضًلَلَة‬َ ‫بِ ْد َعةٌ َوُك هل بِ ْد َعة‬

“Barangsiapa hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang ba-


nyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh kepada Sunnahku
dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku.
Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham. Dan jauhilah hal-hal baru
yang diada-adakan (bid’ah), karena hal-hal baru adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”

Rasulullah saw bersabda di khutbah beliau,

‫ي ُُمَ هم ٍد َو َشهر ْاأل ُُموِر‬


ُ ‫ض َل ا ْْلَْد ِي َه ْد‬ ُ َ
ِ ‫ " فَإِ هن أَص َد َق ا ْْل ِد‬: ‫وكان يقول في خطبته‬
ِ‫يث كِتاب ه‬
َ ْ‫اَّلل َوإِ هن أَف‬ َ ْ
‫ ونتكلم هاهنا على‬، ‫[) وسنؤخر الكالم على المحدثات إلى ذكر حديث العرباض المشار إليه‬1](‫ُم َد ََث ُُتَا‬ ُْ
‫األعمال التي ليس عليها أر الشارع وردها‬

“Perkataan yang paling benar ialah Kitabullah, petunjuk terbaik ialah


petunjuk Muhammad, dan perkara terburuk ialah hal-hal baru yang diada-
adakan (bid’ah).”

Tekstual hadits di atas menunjukkan bahwa seluruh amal perbuatan yang


tidak termasuk urusan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Sedangkan
kontekstualnya menunjukkan bahwa semua amal perbuatan yang sesuai
dengan urusan Allah dan Rasul-Nya itu tidak tertolak. Yang dimaksud
dengan kata urusan pada hadits di atas ialah agama dan syariat Rasulullah
saw, sebagaimana dimaksudkan hadits beliau di riwayat lain, “Barang siapa
menciptakan hal-hal baru dalam urusan kita yang tidak berasal darinya, ía
tertolak.”

. ‫ فَ ُه َو َم ْرُد ْوٌد‬، ‫س ُمتَ َقيِِّدا َِبلش ْهرِع‬ ِ ِ


َ ‫ أ هن َم ْن َكا َن َع َملُهُ َخارج ا َعن الش ْهرِع لَْي‬: ‫فاملعىن إذا‬
Jadi makna hadits di atas bahwa barangsiapa amal perbuatannya keluar dari
syariat dan tidak terikat dengannya, maka tertolak.

Sabda Rasulullah saw, “Yang tidak termasuk urusan kami” adalah isyarat
bahwa seluruh amal perbuatan manusia harus berjalan di bawah hukum-
hukum syariat. Dengan kalimat lain bahwa hukum-hukum syariat (dengan
perintah dan larangannya) menjadi penguasa atasnya. Jadi barangsiapa
amal perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariat dan sinkron
dengannya, maka amal perbuatan tersebut diterima. Sedangkan apabila
amal perbuatan tersebut keluar dari hukum-hukum syariat, maka tertolak.

Di dalam hadist Al-Irbadh bin Sariyah di atas disebutkan juga tentang bid’ah
dimana definisi dari bid’ah tersebut adalah

‫َص ٌل َش ْرعِي‬
ْ ‫س لَهُ أ‬ ِ ِِّ ‫ث ِِف‬
ٍ ‫ُك ُّل ُُْم َد‬
َ ‫الديْن لَْي‬
“kullu muhdatsin fid diini laisa lahu ashlun syar’iiyun” yaitu semua yang
diada-adakan di dalam agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Makna
bid’ah ini juga kita dapati di hadits kelima di atas “Barangsiapa menciptakan
hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal dari-Nya, ia tertolak.”
Berbicara tentang amal perbuatan, terbagi ke dalam 2 bagian:

Adapun ibadah, jika salah satu dari ibadah keluar total dari hukum Allah dan
Rasul-Nya, ibadah tersebut ditolak dari pelakunya dan pelakunya masuk
dalam firman Allah Ta’ala,

ِِّ ‫أَم َْلم ُشرَكاء َشرعوا َْلم ِمن‬


‫الدي ِن َما ََلْ ََيْذَ ْن بِِه ه‬
ُ‫اَّلل‬ َ ُْ ُ َ ُ َ ُْ ْ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang men-
syari'atkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah?” (Asy-Syura:21)

Beberapa contoh yang menunjukkan pentingnya amalan yang berlandaskan


syar’i:

Taqarrub yang tertolak


Barangsiapa bertaqarrub kepada Allah dengan amal perbuatan yang tidak
dijadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai taqarrub kepada Allah, amal
perbuatan tersebut batil dan tertolak. Amal perbuatan tersebut mirip dengan
kondisi orang-orang yang shalat mereka di samping Baitullah dalam bentuk
siulan dan tepuk tangan. Orang tersebut seperti orang yang bertaqarrub
kepada Allah Ta’ala dengan mendengar hiburan, atau dansa, atau membuka
tutup kepala di selain ihram, dan bid’ah-bid’ah lain yang tidak disyariatkan
Allah dan Rasul-Nya sebagai bentuk taqarrub kepada-Nya.

Taqarrub di satu ibadah berbeda dengan di ibadah lainnya


Taqarrub di salah satu ibadah tidak menjadi taqarrub di ibadah lainnya
secara mutlak. Nabi saw pernah melihat seseorang berdiri di bawah terik
matahari kemudian beliau bertanya ihwal orang tersebut. Dikatakan kepada
beliau bahwa orang tersebut bernadzar untuk berdiri, tidak berteduh, dan
berpuasa. Kemudian Nabi saw memerintahkan orang tersebut duduk,
berteduh, dan meneruskan puasa.Beliau tidak menjadikan berdirinya orang
tersebut di bawah terik matahari sebagai taqarrub yang bisa menyem-
purnakan nadzarnya. Diriwayatkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada
hari Jum’at saat orang tersebut mendengar khutbah Nabi saw di atas
mimbar.Lalu orang tersebut bernadzar untuk berdiri dan tidak berteduh
selama Nabi saw berkhutbah untuk mengagungkan khutbah beliau. Nabi
saw tidak menjadikan perbuatan seperti itu sebagai taqarrub yang bisa
menyempurnakan nadzarnya, padahal berdiri adalah ibadah di moment lain,
seperti di shalat, adzan, berdoa di Arafah, dan berjemur di bawah terik
matahari bagi orang yang sedang ihram. Itu semua menunjukkan bahwa
taqarrub di salah satu moment itu bukan taqarrub di seluruh moment dan
taqarrub tersebut hanya mengikuti apa-apa yang dijelaskan oleh syariat
pada tempat-tempatnya. Begitu juga orang yang bertaqarrub dengan suatu
bentuk ibadah yang dilarang secara khusus, seperti orang berpuasa pada
hari raya atau mengerjakan shalat di waktu terlarang.

Taqarrub dengan menambah atau mengurangi sesuatu


Adapun orang yang mengerjakan amal perbuatan yang pada asalnya di-
syariatkan dan merupakan taqarrub, kemudian ditambahkan kepadanya
sesuatu yang tidak disyariatkan, atau tidak mengerjakan sesuatu yang
disyariatkan, ia juga bertentangan dengan syariat dan kadar
penentangannya sesuai dengan apa yang tidak ia kerjakan di dalamnya atau
sesuai dengan pemasukan sesuatu yang tidak berasal darinya ke dalamnya.
Namun apakah amal perbuatannya pada asalnya tertolak atau tidak? Amal
perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan tertolak atau diterima secara mutlak,
namun harus dikaji; jika orang tersebut tidak mengerjakan bagian-bagian
amal perbuatan atau syarat-syaratnya yang mengharuskan batalnya amal
perbuatan tersebut dalam syariat (seperti orang yang tidak bersuci untuk
shalat padahal ia sanggup atau seperti orang yang tidak mengerjakan ruku’
atau sujud atau thuma’ninah di shalat), maka amal perbuatan orang tersebut
tertolak dan ia harus mengulangi shalatnya jika shalat tersebut shalat fardhu.
Jika yang tidak dikerjakan orang tersebut tidak mengharuskan batalnya amal
perbuatan tersebut (seperti orang yang tidak ikut shalat berjama’ah di shalat
fardhu menurut ulama yang mewajibkan shalat berjama’ah dan tidak
menjadikannya sebagai syarat), maka amal perbuatan tersebut tidak bisa
dikatakan tertolak, namun hanya berkurang.

Jika seseorang menambahkan sesuatu yang tidak disyariatkan kepada


sesuatu yang disyariatkan, penambahan tersebut tertolak. Artinya,
penambahan tersebut bukan merupakan taqarrub dan pelakunya tidak diberi
pahala karenanya. Terkadang amal perbuatan menjadi batal sejak awal
dengan penambahan tersebut seperti orang yang menambahkan satu
raka’at dalam shalatnya dengan sengaja. Terkadang penambahan tersebut
tidak membatalkan amal perbuatan dan tidak membuatnya tertolak sejak
awal seperti orang yang berwudhu empat-empat (mestinya tiga-tiga), atau
berpuasa siang dan malam dan menyambung puasanya (tidak berbuka).
Terkadang sebagian yang diperintahkan dalam ibadah itu diganti dengan
sesuatu yang dilarang seperti orang yang menutup auratnya di shalat
dengan pakaian haram, atau berwudhu dengan air rampasan, atau
mengerjakan shalat di lahan rampasan. Para ulama berbeda pendapat
dalam masalah ini; apakah amal orang tersebut tertolak pada asalnya, atau
tidak tertolak hingga ia terbebas dari beban kewajiban? Sebagian besar
fuqaha’ berpendapat bahwa amal tersebut tidak tertolak pada asalnya.
Abdurnahman bin Mahdi meriwayatkan dari kaum As-Syimriyah, pengikut
Abu Syimr, yang berkata bahwa barangsiapa mengerjakan shalat dengan
menggunakan pakaian yang padanya terdapat uang senilai satu dirham
haram, ia wajib mengulang shalatnya. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Aku
tidak pemah mendengar perkataan yang lebih buruk daripada perkataan
mereka. Kita meminta keselamatan kepada Allah.” Abdurrahman bin Mahdi
adalah salah seorang pakar fiqih dan hadits terkemuka yang banyak
membawakan ucapan para generasi salaf. Ia mengecam pendapat tersebut
dan mengkategorikannya sebagai bid’ah. Itu menunjukkan bahwa pendapat
yang mewajibkan mengulang shalat karena sebab seperti itu tidak dikenal
seorang pun dari generasi salaf.

Larangan untuk hak Allah dan Larangan untuk hak manusia


Jika di jual-beli terdapat akad yang dilarang dalam syariat (karena komoditi
tidak layak untuk dilakukan akad, atau syarat-syarat akad tidak terpenuhi,
atau dengannya akan terdapat kedzaliman di komoditi, atau akad tersebut
melupakan dzikir kepada Allah yang wajib (maksudnya, shalat Jum’at) jika
waktunya hendak habis, dan lain-lain), apakah akad seperti itu tertolak
secara total di mana kepemilikan tidak berpindah dengannya atau tidak?
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, karena ada dalil bahwa
akad seperti itu tertolak dan tidak mengesahkan kepemilikan. Ada dalil lain
bahwa akad seperti itu mengesahkan kepemilikan. Jadi, perbedaan
pendapat terjadi karena sebab tersebut. Yang paling dekat dengan
kebenaran, Insya Allah, ialah bahwa jika larangan tersebut untuk hak Allah
Azza wa Jalla maka akad seperti itu tidak mengesahkan kepemilikan secara
keseluruhan. Yang dimaksud dengan hak Allah ialah hak tersebut tidak
gugur dengan keridhaan dua pihak yang berakad.

Jika akad tersebut untuk hak manusia tertentu dalam arti hak tersebut gugur
dengan keridhaannya, maka akad tersebut sangat terkait dengan keridhaan
orang tersebut. Jika ia ridha, akad wajib dilakukan dan kepemilikan menjadi
sah. Jika orang tersebut tidak ridha, ia berhak membatalkan akad. Meskipun
yang terkena mudzarat tidak teranggap keridhaannya, misalnya isteri dalam
perceraian dan budak dalam pemerdekaan, maka keridhaan dan kemurkaan
orang tersebut tidak ada artinya. Jika larangan terkait khusus dengan
sesuatu yang dilarang karena adanya kesulitan di dalamnya, kemudian
seseorang mengerjakan kesulitan tersebut, amal perbuatannya tidak batal.

Contoh pertama (larangan untuk hak Allah) sangat banyak, misalnya;

1. Menikahi wanita-wanita yang haram dinikahi seperti wanita-wanita yang


haram dinikahi selama-lamanya karena salah satu sebab, atau nasab, atau
menikahi dua wanita bersaudara sekaligus, atau syarat-syarat pernikahan
tidak terpenuhi, maka larangan menikahi wanita-wanita tersebut tidak gugur
dengan keridhaan dua pihak untuk menggugurkan larangan tersebut.
Misalnya menikahi wanita yang sedang menjalani masa iddah, menikahi
wanita muhrim, nikah tanpa wali, dan lain sebagainya. Diriwayatkan dari Nabi
saw bahwa beliau memisahkan orang laki-laki dengan wanita yang
dinikahinya dalam keadaan hamil.Pada hadits tersebut, Nabi saw menolak
pernikahan seperti itu karena terjadi pada saat perempuan tersebut menjalani
masa iddah.
2. Akad riba. Akad tersebut tidak mengesahkan kepemilikan dan harus
dibatalkan, karena Nabi saw pernah menyuruh orang yang menjual satu sha’
kurma dengan dua sha’ untuk mengembalikannya.
3. Jual-beli minuman keras, bangkai, babi, patung, anjing, dan seluruh yang
dilarang dijual di mana keridhaan dua pihak untuk melakukan jual beli
dengannya tidak diperbolehkan.

Masalah kedua (larangan untuk hak manusia) juga mempunyai banyak


bentuk, di antaranya;

1. Wali menikahkan wanita yang tidak boleh ia nikahkan kecuali dengan izinnya,
namun ia menikahkannya tanpa izinnya. Nabi saw menolak pernikahan
wanita janda yang dinikahkan ayahnya padahal wanita janda tersebut tidak
ridha. Juga diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau memberi pilihan
(menerima atau menolak) kepada wanita yang dinikahkan ayahnya tanpa
izinnya. Tentang ketidakabsahan pernikahan seperti itu dan pembolehannya
tergantung kepada wanita tersebut itu ada dua riwayat dari Imam Ahmad.
2. Sejumlah ulama berpendapat bahwa orang yang membelanjakan uang orang
lain tanpa izinnya itu tidak batal menurut asalnya, namun boleh tidaknya
sangat terkait dengan pemilik uang. Jika pemilik uang memperbolehkan
pembelanjaan tersebut, maka pembelanjaan tersebut diperbolehkan. Jika
pemilik uang tidak memperbolehkan, maka pembelanjaan tersebut batal.
Mereka berhujjah dengan hadits Urwah bin Al-Ja’du yang membeli dua
kambing untuk Nabi saw padahal beliau menyuruhnya membeli satu kambing.
Setelah itu, Urwah bin Al Ja’du menjual salah satu kambing tersebut
kemudian Nabi saw menerima kambing tersebut.Imam Ahmad di
pendapatnya yang terkenal mengkhususkan masalah tersebut pada orang
yang membelanjakan uang orang lain dengan izin pemilik uang tersebut,
kemudian orang tersebut menyalahi izin yang diberikan kepadanya.
3. Pembelanjaan orang sakit terhadap seluruh hartanya; apakah batal sejak
awal ataukah pembelanjaannya terhadap dua pertiga hartanya itu tergantung
pembolehan ahli waris? Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ dalam
masalah ini. Perbedaan pendapat tersebut terjadi pada madzhab Imam
Ahmad dan lain-lain. Diriwayatkan dengan shahih bahwa dilaporkan kepada
Nabi saw bahwa seseorang memerdekakan keenam budaknya menjelang
kematiannya, padahal ia tidak memiliki asset selain budak-budak tersebut.
Nabi saw memanggil keenam budak tersebut kemudian membagi mereka ke
dalam tiga bagian. Nabi saw memerdekakan dua orang dari mereka, tetap
memperbudak empat orang dari mereka, dan bersabda keras kepada orang
tersebut.Bisa jadi, ahli waris tidak membolehkan pemerdekaan semua budak
tersebut , wallahu a‘lam.
4. Jual-beli yang mengandung penipuan dan lain-lain, misalnya jual beli
musharrat, jual beli najasy, menemui rombongan pedagang,dan lain-lain.
Tentang keabsahan jual-beli tersebut terdapat perbedaan pendapat seperti
diketahui di madzhab Imam Ahmad. Sejumlah ulama hadits berpendapat
bahwa jual beli seperti itu tidak sah dan tertolak. Pendapat yang benar ialah
bahwa sah tidaknya jual beli tersebut sangat tergantung kepada pembolehan
pihak yang mendapatkan kedzaliman, karena diriwayatkan dengan
shahih dari Nabi saw bahwa beliau memberi hak pilih kepada pembeli
musharrat.Beliau juga memberi khiyar (hak pilih) kepada rombongan
pedagang jika mereka tiba di pasar. Ini semua menunjukkan bahwa jual beli
seperti itu pada dasarnya tidak tertolak. Hadits tentang kambing musharrat
disebutkan kepada kelompok yang tidak mengesahkan jual beli tersebut,
namun ia tidak memberi jawaban apa pun. Sedang jual-beli orang kota
kepada orang desa, maka orang-orang yang mengesahkannya menjadikan
jual beli tersebut seperti jual beli di atas. Sedang orang-orang yang
membatalkannya, memberikan hak terhadap jual beli tersebut kepada seluruh
penduduk tanpa dibatasi. Jadi, hak mereka tidak dapat digugurkan, karena
itu, hak mereka menjadi seperti hak Allah Azza wa Jalla.
5. Jika seseorang menjual sejumlah budak yang haram dipisahkan, misalnya ibu
dengan anaknya, namun teryata orang tersebut memisahkan antara
keduanya; apakah jual-beli tersebut batal dan tertolak, ataukah pemboleh-
annya tergantung kepada keridhaan budak-budak tersebut? Diriwayatkan
bahwa Nabi saw memerintahkan penolakan jual beli seperti itu.Imam Ahmad
secara tegas mengatakan bahwa pemisahan budak tidak diperbolehkan,
kendati budak-budak tersebut setuju. Sejumlah ulama, di antaranya An-
Nakhai dan Ubaidillah bin Al Hasan Al Anbani, berpendapat memperbolehkan
memisahkan budak-budak tersebut dengan keridhaan mereka. Ini
menunjukkan bahwa bisa jadi pemisahan budak-budak tersebut
diperbolehkan dan boleh tidaknya sangat terkait dengan persetujuan mereka.
6. Seorang ayah hanya memberikan pemberian khusus kepada salah seorang
anaknya tanpa anak-anaknya yang lain. Diriwayatkan dengan shahih dari
Nabi saw bahwa beliau menyuruh Basyir bin Sa’ad untuk menarik kembali
pemberiannya kepada An-Nu’man karena Basyir bin Sa’ad hanya
memberikan pemberian khusus kepadanya tanpa anak-anaknya yang
lain.Pemberian seperti ini tidak menunjukkan bahwa kepemilikan tidak
berpindah tangan kepada anak tersebut, karena pemberian tersebut sah-sah
saja dan benar. Jika seorang ayah memberikan sesuatu kepada semua
anaknya atau ia menarik kembali apa yang telah ia berikan kepada salah satu
anaknya, ia diperbolehkan. Jika ayah tersebut meninggal dunia dan tidak
berbuat apa-apa terhadap pemberian tersebut, Mujahid berkata, “Pemberian
tersebut adalah warisan - Imam Ahmad juga diriwayatkan berpendapat
seperti itu - dan pemberian menjadi batal.” Sedang jumhur ulama
berpendapat bahwa pemberian tersebut tidak batal, namun apakah ahli waris
mempunyai hak untuk mengkaji ulang pemberian tersebut atau tidak? Ada
dua pendapat dalam masalah ini dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan
dari Imam Ahmad.
7. Hadits tersebut sesungguhnya diriwayatkan Al Qasim bin Muhammad ketika
ia ditanya tentang orang yang mempunyai tiga rumah, kemudian orang
tersebut mewasiatkan sepertiga rumahnya; apakah sepertiga wasiat tersebut
diwujudkan dalam satu rumah miliknya? Al Qasim bin Muhammad berkata,
“Wasiatnya diwujudkan dalam bentuk satu rumah. Aisyah ra berkata
kepadaku bahwa Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa menciptakan hal-hal baru
dalam urusan kita yang tidak berasal darinya, ia tertolak” (Diriwayatkan
Muslim).Maksudnya bahwa perubahan wasiatnya pemberi wasiat kepada
sesuatu yang lebih dicintai Allah dan bermanfaat itu diperbolehkan. Ini juga
diriwayatkan dari Atha’ dan Ibnu Juraij. Bisa jadi orang yang berpendapat
seperti itu berhujjah dengan firman Allah Ta’ala, “(Akan tetapi) barangsiapa
khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau
berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa
baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Al
Baqarah: 182). Bisa jadi, orang-orang yang berpendapat seperti itu juga
berhujjah dengan hadits tentang penyatuan pemerdekaan budak, karena
diriwayatkan dengan shahih bahwa seseorang memerdekakan enam budak
miliknya pada saat ia hendak meninggal dunia, kemudian Nabi saw
memanggil keenam budak tersebut dan membagi mereka ke dalam tiga
bagian; beliau memerdekakan dua orang dari mereka dan tetap
memperbudak empat orang. (Diriwayatkan Muslim).Para fuhaqa’ berpendapat
dengan hadits tersebut, karena penyempurnaan pemerdekaan budak kendati
memungkinkan itu lebih baik daripada menguranginya. Oleh karena itu,
ri’ayahdisyariatkan jika salah seorang sekutu memerdekakan bagiannya
terhadap budak. Nabi saw bersabda tentang seseorang yang memerdekakan
sebagian budak miliknya, “Ia orang yang memerdekakan secara penuh dan
Allah tidak mempunyai sekutu.”
Sebagian besar fuqaha’ tidak sependapat dengan pendapat Al Qasim bin
Muhammad bahwa wasiat pemberi wasiat tidak bisa diwujudkan dengan
satu rumah dan bahwa hal tersebut hanya khusus berlaku pada
pemerdekaan budak, karena makna yang menyatukan dalam masalah
pemerdekaan budak itu tidak terwujud pada harta yang ada. Jadi, wasiat
diperlakukan sesuai dengan tuntutan wasiat pemberinya.

Sejumlah fuqaha’ berpendapat bahwa setiap budak dimerdekakan sepertiga


dari dirinya dan mereka melakukan ri’ayah terhadap sisa dirinya yang masih
diperbudak, namun mengikuti keputusan Rasulullah saw itu lebih tepat. Al
Qasim bin Muhammad berpendapat bahwa bercampurnya penerima wasiat
dengan ahli waris di semua rumah itu menimbulkan madzarat pada ahli
waris, oleh karena itu, madzarat tersebut dihilangkan dari mereka dengan
cara wasiat tersebut diwujudkan dalam satu rumah tersendiri, karena Allah
Ta’ala mensyaratkan wasiat itu agar tidak menimbulkan madzarat. Allah
Ta’ala berfirman,
“Dengan tidak memberi madzarat (kepada ahli waris). “ (An-Nisa’: 12)
Jadi, barangsiapa menimbulkan madzarat dalam wasiatnya, amal
perbuatannya tertolak karena bertentangan dengan syarat yang ditentukan
Allah dalam wasiat.

Sejumlah fuqaha’ berpendapat bahwa jika seseorang berwasiat dengan


sepertiga seluruh rumahnya kemudian dua pertiga rumahnya mengalami
kerusakan dan tinggal tersisa sepertiga rumahnya, maka sepertiga tersebut
diberikan kepada penerima wasiat. Ini pendapat sejumlah besar sahabat-
sahabat Abu Hanifah, juga diriwayatkan dari Abu Yusuf dan Muhammad
Qadhi Abu Ya’la dan sahabat-sahabat kami tidak sependapat dengan
mereka dalam masalah ini. Berdasarkan pendapat tersebut, mereka berkata
bahwa rumah-rumah yang menjadi bagian bersama itu dibagi-bagi di antara
penerima bagian seperti pembagian secara paksa. Itu juga pendapat Imam
Malik dan yang terlihat dalam perkataan Abu Musa dan kalangan sahabat-
sahabat kami. Pendapat yang terkenal di kalangan sahabat-sahabat kami
bahwa rumah-rumah tersebut tidak dibagi-bagi secara pembagian paksa. Ini
juga pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sebagian para pengikut
madzhab Maliki mentafsirkan fatwa Al Qasim bin Muhammad tentang hadits
di atas bahwa salah satu dari kedua pihak (ahli waris atau penenima wasiat)
meminta pembagian rumah-rumah tersebut dan rumah-rumah tersebut
berdekatan dalam arti sebagian rumah digabungkan kepada sebagian
pembagian lainnya dalam pembagian. Permintaan salah satu pihak
terhadap pembagian rumah-rumah tersebut harus dikabulkan menurut
pendapat mereka. Penafsiran seperti itu sangat jauh dan bertentangan
dengan yang sebenarnya, wallahu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai