Takhrijul Hadits
Hadits di atas diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim di Shahih-nya masing-
masing dari Al-Qasim bin Muhammad dari bibinya (dari jalur ayah), Aisyah
ra (sebagai Ar Rawi Al ‘Ala (perawi yang paling tinggi)). Redaksi hadits
tersebut tidak sama, namun maknanya mirip. Di sebagian riwayat
disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal-hal
baru dalam agama kita yang tidak ada di dalamnya, ia tertolak”
Daftar lebih lengkap periwayat hadits ini adalah:
1. Al-Bukhari dengan hadits nomor 2697
2. Muslim dengan hadits nomor 1718
3. Imam Ahmad dengan hadits 6/73, 240 dan 270
4. Abu Daud dengan hadits nomor 4606
5. Ibnu Majah dengan hadits nomor 14
Hadits di atas di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dengan hadits nomor 26 – 27.
Kedudukan Hadits
Hadits di atas adalah salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip Islam.
Hadits tersebut juga merupakan parameter amal perbuatan yang terlihat
(dhohir).
Makna Hadits
Sebagaimana disebutkan di atas, hadits kelima ini merupakan parameter
amal perbuatan yang terlihat (dhohir). Artinya untuk menimbang apakah
suatu amal perbuatan diterima atau tertolak, secara dhohir bisa dilihat
apakah amal perbuatan tersebut mengikuti apa yang sudah digariskan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya atau tidak. Sedangkan secara baathin (tidak
terlihat), parameter untuk menimbang apakah suatu amal perbuatan
diterima atau tertolak, bisa dilihat dari niat dalam melaksanakan amal
perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits “Innamal ‘amaalu
binniyaat”.
Hadits kelima ini juga menegaskan bahwa semua amal perbuatan agar
diterima oleh Allah SWT (tidak tertolak) harus mengikuti syari’at Islam.
Sebagaimana seluruh amal perbuatan yang tidak dimaksudkan untuk
mencari keridhaan Allah Ta’ala maka pelakunya tidak mendapatkan pahala,
maka demikian pula bahwa segala amal perbuatan yang tidak atas dasar
perintah Allah dan Rasul-Nya tertolak dari pelakunya. Siapa saja yang
menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama sedikit pun.
Disebutkan di dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah dari Nabi saw yang
bersabda,
ات يَ ْوٍم ُثُه أَقْ بَ َل َعلَْي نَا فَ َو َعظَنَا َم ْوعِظَةا بَلِيغَةا َ َ ذ-صلى هللا عليه وسلم- اَّلل
ِول ه ُ صلهى بِنَا َر ُس َ ض
ِ ُ
ُ حديث الْع ْرََب وسيأيت
َ اَّللِ َكأَ هن َه ِذهِ َم ْوعِظَةُ ُم َوِِّد ٍع فَ َماذَا تَ ْع َه ُد إِلَْي نَا فَ َق
ال ول ه َ ال قَائِ ٌل ََي َر ُس
َ وب فَ َق ِ َذَرفَت ِمْن ها الْعيو ُن ووِجل
ُ ُت مْن َها الْ ُقل ْ َ َ ُُ َ ْ َ
اختًِلَفاا َكثِ اَيا فَ َعلَْي ُك ْم ِ ِ ِاَّللِ وال هسم ِع والطهاع ِة وإِ ْن عب ادا حب ِشيًّا فَإِنهه من يع ِ ِ
ْ ش مْن ُك ْم بَ ْعدى فَ َس ََيَى ْ َ َُْ َ َ َْ َ َ َ ْ َ « أُوصي ُك ْم بتَ ْق َوى ه
ت األ ُُموِر فَإِ هن ُك هل ُُْم َدثٍَة ِ ضوا علَي ها َِبلنهو ِاج ِذ وإِ هَي ُكم و ُُْم َد ََث ِ ِِ ِ ِ ِ
َ ْ َ َ َ ْ َ ُّ ين َتََ هس ُكوا ِبَا َو َع َ ني الهراشد َ ِِّبِ ُسن ِهِت َو ُسنهة ا ْْلُلَ َفاء الْ َم ْهدي
ٍ
» ٌضًلَلَةَ بِ ْد َعةٌ َوُك هل بِ ْد َعة
Sabda Rasulullah saw, “Yang tidak termasuk urusan kami” adalah isyarat
bahwa seluruh amal perbuatan manusia harus berjalan di bawah hukum-
hukum syariat. Dengan kalimat lain bahwa hukum-hukum syariat (dengan
perintah dan larangannya) menjadi penguasa atasnya. Jadi barangsiapa
amal perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariat dan sinkron
dengannya, maka amal perbuatan tersebut diterima. Sedangkan apabila
amal perbuatan tersebut keluar dari hukum-hukum syariat, maka tertolak.
Di dalam hadist Al-Irbadh bin Sariyah di atas disebutkan juga tentang bid’ah
dimana definisi dari bid’ah tersebut adalah
َص ٌل َش ْرعِي
ْ س لَهُ أ ِ ِِّ ث ِِف
ٍ ُك ُّل ُُْم َد
َ الديْن لَْي
“kullu muhdatsin fid diini laisa lahu ashlun syar’iiyun” yaitu semua yang
diada-adakan di dalam agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Makna
bid’ah ini juga kita dapati di hadits kelima di atas “Barangsiapa menciptakan
hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal dari-Nya, ia tertolak.”
Berbicara tentang amal perbuatan, terbagi ke dalam 2 bagian:
Adapun ibadah, jika salah satu dari ibadah keluar total dari hukum Allah dan
Rasul-Nya, ibadah tersebut ditolak dari pelakunya dan pelakunya masuk
dalam firman Allah Ta’ala,
Jika akad tersebut untuk hak manusia tertentu dalam arti hak tersebut gugur
dengan keridhaannya, maka akad tersebut sangat terkait dengan keridhaan
orang tersebut. Jika ia ridha, akad wajib dilakukan dan kepemilikan menjadi
sah. Jika orang tersebut tidak ridha, ia berhak membatalkan akad. Meskipun
yang terkena mudzarat tidak teranggap keridhaannya, misalnya isteri dalam
perceraian dan budak dalam pemerdekaan, maka keridhaan dan kemurkaan
orang tersebut tidak ada artinya. Jika larangan terkait khusus dengan
sesuatu yang dilarang karena adanya kesulitan di dalamnya, kemudian
seseorang mengerjakan kesulitan tersebut, amal perbuatannya tidak batal.
1. Wali menikahkan wanita yang tidak boleh ia nikahkan kecuali dengan izinnya,
namun ia menikahkannya tanpa izinnya. Nabi saw menolak pernikahan
wanita janda yang dinikahkan ayahnya padahal wanita janda tersebut tidak
ridha. Juga diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau memberi pilihan
(menerima atau menolak) kepada wanita yang dinikahkan ayahnya tanpa
izinnya. Tentang ketidakabsahan pernikahan seperti itu dan pembolehannya
tergantung kepada wanita tersebut itu ada dua riwayat dari Imam Ahmad.
2. Sejumlah ulama berpendapat bahwa orang yang membelanjakan uang orang
lain tanpa izinnya itu tidak batal menurut asalnya, namun boleh tidaknya
sangat terkait dengan pemilik uang. Jika pemilik uang memperbolehkan
pembelanjaan tersebut, maka pembelanjaan tersebut diperbolehkan. Jika
pemilik uang tidak memperbolehkan, maka pembelanjaan tersebut batal.
Mereka berhujjah dengan hadits Urwah bin Al-Ja’du yang membeli dua
kambing untuk Nabi saw padahal beliau menyuruhnya membeli satu kambing.
Setelah itu, Urwah bin Al Ja’du menjual salah satu kambing tersebut
kemudian Nabi saw menerima kambing tersebut.Imam Ahmad di
pendapatnya yang terkenal mengkhususkan masalah tersebut pada orang
yang membelanjakan uang orang lain dengan izin pemilik uang tersebut,
kemudian orang tersebut menyalahi izin yang diberikan kepadanya.
3. Pembelanjaan orang sakit terhadap seluruh hartanya; apakah batal sejak
awal ataukah pembelanjaannya terhadap dua pertiga hartanya itu tergantung
pembolehan ahli waris? Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ dalam
masalah ini. Perbedaan pendapat tersebut terjadi pada madzhab Imam
Ahmad dan lain-lain. Diriwayatkan dengan shahih bahwa dilaporkan kepada
Nabi saw bahwa seseorang memerdekakan keenam budaknya menjelang
kematiannya, padahal ia tidak memiliki asset selain budak-budak tersebut.
Nabi saw memanggil keenam budak tersebut kemudian membagi mereka ke
dalam tiga bagian. Nabi saw memerdekakan dua orang dari mereka, tetap
memperbudak empat orang dari mereka, dan bersabda keras kepada orang
tersebut.Bisa jadi, ahli waris tidak membolehkan pemerdekaan semua budak
tersebut , wallahu a‘lam.
4. Jual-beli yang mengandung penipuan dan lain-lain, misalnya jual beli
musharrat, jual beli najasy, menemui rombongan pedagang,dan lain-lain.
Tentang keabsahan jual-beli tersebut terdapat perbedaan pendapat seperti
diketahui di madzhab Imam Ahmad. Sejumlah ulama hadits berpendapat
bahwa jual beli seperti itu tidak sah dan tertolak. Pendapat yang benar ialah
bahwa sah tidaknya jual beli tersebut sangat tergantung kepada pembolehan
pihak yang mendapatkan kedzaliman, karena diriwayatkan dengan
shahih dari Nabi saw bahwa beliau memberi hak pilih kepada pembeli
musharrat.Beliau juga memberi khiyar (hak pilih) kepada rombongan
pedagang jika mereka tiba di pasar. Ini semua menunjukkan bahwa jual beli
seperti itu pada dasarnya tidak tertolak. Hadits tentang kambing musharrat
disebutkan kepada kelompok yang tidak mengesahkan jual beli tersebut,
namun ia tidak memberi jawaban apa pun. Sedang jual-beli orang kota
kepada orang desa, maka orang-orang yang mengesahkannya menjadikan
jual beli tersebut seperti jual beli di atas. Sedang orang-orang yang
membatalkannya, memberikan hak terhadap jual beli tersebut kepada seluruh
penduduk tanpa dibatasi. Jadi, hak mereka tidak dapat digugurkan, karena
itu, hak mereka menjadi seperti hak Allah Azza wa Jalla.
5. Jika seseorang menjual sejumlah budak yang haram dipisahkan, misalnya ibu
dengan anaknya, namun teryata orang tersebut memisahkan antara
keduanya; apakah jual-beli tersebut batal dan tertolak, ataukah pemboleh-
annya tergantung kepada keridhaan budak-budak tersebut? Diriwayatkan
bahwa Nabi saw memerintahkan penolakan jual beli seperti itu.Imam Ahmad
secara tegas mengatakan bahwa pemisahan budak tidak diperbolehkan,
kendati budak-budak tersebut setuju. Sejumlah ulama, di antaranya An-
Nakhai dan Ubaidillah bin Al Hasan Al Anbani, berpendapat memperbolehkan
memisahkan budak-budak tersebut dengan keridhaan mereka. Ini
menunjukkan bahwa bisa jadi pemisahan budak-budak tersebut
diperbolehkan dan boleh tidaknya sangat terkait dengan persetujuan mereka.
6. Seorang ayah hanya memberikan pemberian khusus kepada salah seorang
anaknya tanpa anak-anaknya yang lain. Diriwayatkan dengan shahih dari
Nabi saw bahwa beliau menyuruh Basyir bin Sa’ad untuk menarik kembali
pemberiannya kepada An-Nu’man karena Basyir bin Sa’ad hanya
memberikan pemberian khusus kepadanya tanpa anak-anaknya yang
lain.Pemberian seperti ini tidak menunjukkan bahwa kepemilikan tidak
berpindah tangan kepada anak tersebut, karena pemberian tersebut sah-sah
saja dan benar. Jika seorang ayah memberikan sesuatu kepada semua
anaknya atau ia menarik kembali apa yang telah ia berikan kepada salah satu
anaknya, ia diperbolehkan. Jika ayah tersebut meninggal dunia dan tidak
berbuat apa-apa terhadap pemberian tersebut, Mujahid berkata, “Pemberian
tersebut adalah warisan - Imam Ahmad juga diriwayatkan berpendapat
seperti itu - dan pemberian menjadi batal.” Sedang jumhur ulama
berpendapat bahwa pemberian tersebut tidak batal, namun apakah ahli waris
mempunyai hak untuk mengkaji ulang pemberian tersebut atau tidak? Ada
dua pendapat dalam masalah ini dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan
dari Imam Ahmad.
7. Hadits tersebut sesungguhnya diriwayatkan Al Qasim bin Muhammad ketika
ia ditanya tentang orang yang mempunyai tiga rumah, kemudian orang
tersebut mewasiatkan sepertiga rumahnya; apakah sepertiga wasiat tersebut
diwujudkan dalam satu rumah miliknya? Al Qasim bin Muhammad berkata,
“Wasiatnya diwujudkan dalam bentuk satu rumah. Aisyah ra berkata
kepadaku bahwa Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa menciptakan hal-hal baru
dalam urusan kita yang tidak berasal darinya, ia tertolak” (Diriwayatkan
Muslim).Maksudnya bahwa perubahan wasiatnya pemberi wasiat kepada
sesuatu yang lebih dicintai Allah dan bermanfaat itu diperbolehkan. Ini juga
diriwayatkan dari Atha’ dan Ibnu Juraij. Bisa jadi orang yang berpendapat
seperti itu berhujjah dengan firman Allah Ta’ala, “(Akan tetapi) barangsiapa
khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau
berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa
baginya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Al
Baqarah: 182). Bisa jadi, orang-orang yang berpendapat seperti itu juga
berhujjah dengan hadits tentang penyatuan pemerdekaan budak, karena
diriwayatkan dengan shahih bahwa seseorang memerdekakan enam budak
miliknya pada saat ia hendak meninggal dunia, kemudian Nabi saw
memanggil keenam budak tersebut dan membagi mereka ke dalam tiga
bagian; beliau memerdekakan dua orang dari mereka dan tetap
memperbudak empat orang. (Diriwayatkan Muslim).Para fuhaqa’ berpendapat
dengan hadits tersebut, karena penyempurnaan pemerdekaan budak kendati
memungkinkan itu lebih baik daripada menguranginya. Oleh karena itu,
ri’ayahdisyariatkan jika salah seorang sekutu memerdekakan bagiannya
terhadap budak. Nabi saw bersabda tentang seseorang yang memerdekakan
sebagian budak miliknya, “Ia orang yang memerdekakan secara penuh dan
Allah tidak mempunyai sekutu.”
Sebagian besar fuqaha’ tidak sependapat dengan pendapat Al Qasim bin
Muhammad bahwa wasiat pemberi wasiat tidak bisa diwujudkan dengan
satu rumah dan bahwa hal tersebut hanya khusus berlaku pada
pemerdekaan budak, karena makna yang menyatukan dalam masalah
pemerdekaan budak itu tidak terwujud pada harta yang ada. Jadi, wasiat
diperlakukan sesuai dengan tuntutan wasiat pemberinya.