ِ الجواب
Penata Letak
Abu Aria
Diterbitkan oleh:
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat, Pusat Kajian Pemikiran Islam dan Kitab Turats
ق ََال َر ِّب بِ َا أَ ْغ َويْتَ ِني َلُ َزيِّ َن َّن لَ ُه ْم ِف ْالَ ْر ِض َو َلُ ْغ ِويَ َّن ُه ْم أَ ْج َم ِع َني
“Iblis berkata: “Ya Rabb-ku, demi sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan buruk) di muka bumi,
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 39)
Allah menginformasikan dalam ayat ini, bahwa Iblis mengungkapkan berbagai
pernyataan visi misi jahatnya dengan kata-kata yang diperkuat, yakni diawali
dengan qasam (sumpah), lâm sebagai penanda jawab al-qasam, dan nûn al-taukîd al-
tsaqîlah, dalam kata lauzayyinanna dan laughwiyanna. Fungsi penegasan-penegasan
ini memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan, dalam ilmu balaghah dua
bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas kebenaran
informasi di dalamnya (ia dinamakan al-khabar al-inkâri,3 atau meminjam istilah
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri).
Frase lauzayyinanna yang diawali dengan penegasan-penegasan tersebut,
bermakna menampakkan keburukan dengan wajah kebaikan, karena kata kerja () َزيَّ َن,
sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), bermakna jika
menampakkan kebaikannya, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan4, jika
keburukan maka kebaikan yang ditampakkan tersebut merupakan kedustaan yang
bisa mengelabui mereka yang lalai. Dan ketika kedustaan tersebut diyakini, maka
jadilah ia khurafat yang berbahaya yang bisa menjerumuskan seseorang kepada
kekufuran, kesyirikan, padahal tidak ada kezhaliman yang lebih besar daripada
kesyirikan (lihat: QS. Luqmân [31]: 13). Diperkuat informasi dalam ayat-ayat lainnya
(QS. Al-A’râf [7]: 16-17).
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) pun dalam Talbîs Iblîs memperingatkan:
Maka wajib bagi orang yang berakal untuk mawas diri terhadap musuh yang satu ini
(Iblis, syaithan-pen.) yang telah menyatakan permusuhannya semenjak masa Adam a.s.
dan ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap waktunya, jiwanya untuk merusak
Bani Adam dan Allah telah memperingatkan kita darinya.5
Informasi dalam ayat-ayat di atas, menelanjangi visi misi yang diperjuangkan Iblis
menggunakan berbagai cara tanpa kenal lelah.6 Disokong oleh sekutunya dari
golongan manusia, yakni kaum Kafir, serta kaum Munafik yang menjadi musuh
dalam selimut, menggunting dalam lipatan, sekali menggunting menceraiberaikan
3 Dr. Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, cet. II, 1425
H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa
al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H, hlm. 161.
4 Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan,
Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 389.
5 Abdurrahman Ibn Al-Jauzi, Talbîs Iblîs, Dâr al-Wathan, jilid I, hlm. 203-204.
6 Diinformasikan dalam al-Qur’an, dengan jelas iblis mengungkapkan berbagai pernyataannya dengan kata-kata yang
diperkuat (qasam (sumpah), lam dan nûn al-taukîd al-tsaqîlah), dalam ungkapan-ungkapan: (،ني ّ الت،ّ ألقعدن،ّ المرن، ألمن ّني،ّ ألضلن،ّألتخذن
ألغوي ّن،ّ)ألزينن
« ِاف َع َل أُ َّم ِتي ك ُُّل ُم َنا ِفقٍ َعلِ ِيم الل َِّسان
ُ »إ َّن أَ ْخ َو َف َما أَ َخ
“Sesungguhnya yang paling dikhawatirkan dari apa-apa yang aku khawatirkan atas
umatku adalah setiap orang munafik yang pandai bersilat lidah.” (HR. Ahmad, al-Bazzar,
Ibn Baththah, dan Dhiya’uddin al-Maqdisi)7
Makna hadits ini, diperjelas atsar Umar bin al-Khaththab r.a., yang mengabarkan
ancaman kaum munafik yang berpotensi menghancurkan umat ini (HR. Abu Ya’la
al-Moushuli).8 Dimana mereka menyesatkan umat di zaman ini, dengan mengemas
pemikiran kufur Barat dengan kamuflase islami, meracuni kaum Muslim dengan
racun mematikan, bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan
cepat merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau kelumpuhannya,
hilanglah kemuliaannya, sirnalah kekuatannya, Allah al-Musta’ân. Padahal, Allah
SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya:
ول ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّ َ لَ ُه الْ ُه َد ٰى َويَتَّ ِب ْع غ ْ ََي َسبِيلِ الْ ُم ْؤ ِم ِن َني نُ َولِّ ِه َما تَ َو َّ ٰلَ َو َم ْن يُشَ ا ِققِ ال َّر ُس
َون ُْصلِ ِه َج َه َّن َم صىل َو َسا َءتْ َم ِص ًريا
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk,
dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan
kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.)
kemudian Kami seret ke dalam jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) pun memperingatkan, bahwa
tsaqafah asing (barat) memiliki pengaruh yang besar dalam menyebarkan kekufuran
dan imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih kebangkitan, kegagalan
gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan sosial maupun politik,
karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran manusia,
yang berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.9 Bahkan penjajah tak sekedar
menggunakan tsaqafah, mereka pun meracuni kaum Muslim dengan beragam
pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak pandangan
hidup kaum Muslim. Dengan itu mereka merusak suasana Islami yang ada, serta
mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala lini kehidupan. Dengan itu
semua, hilang benteng pertahanan kaum Muslim yang alami.10
7 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 310), Syu’aib al-Arna’uth, Ahmad Muhammad Syakir dkk mengomentari: “Sanadnya kuat/
shahih.”; Ibn Baththah al-‘Akbari dalam al-Ibânah al-Kubrâ’ (no. 941); Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 305); Diriwayatkan
pula oleh Dhiya’uddin al-Maqdisi (w. 643 H) dalam al-Ahâdîts al-Mukhtârah (no. 235) dengan sanad hasan.
8 HR. Abu Ya’la al-Moushuli dalam Musnad-nya (no. 334)
9 Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbi, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. IV, 1422 H/ 2001, hlm. 5
10 Ibid, hlm. 6.
بتنظيم عالقة-صىل الله عليه وسلم- اإلسالم هو الدين الذي أنزله الله عىل سيدنا محمد
وعالقة اإلنسان بخالقه تشمل العقائد. وبغريه من بني اإلنسان، وبنفسه،اإلنسان بخالقه
وعالقته بغريه من بني، وعالقته بنفسه تشمل األخالق واملطعومات وامللبوسات،والعبادات
فاإلسالم مبدأ لشؤون الحياة جمي ًعا.اإلنسان تشمل املعامالت والعقوبات.
Islam adalah din yang Allah turunkan kepada Sayyidina Muhammad ﷺ, untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Pencipta-Nya, dirinya sendiri dan sesama
manusia. Hubungan manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadahan-
peribadahan; hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan
dan pakaian; hubungan manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan
hukum-hukum persanksian. Maka Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek
kehidupan.12
Ruang lingkup Din Islam dalam pengertian yang diuraikan oleh al-'Allamah
Taqiyuddin al-Nabhani:
Pertama, Mengatur hubungan manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan
peribadahan-peribadahan;
Kedua, Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak,
makanan dan pakaian;
Ketiga, Mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah,
dan hukum-hukum persanksian.
Inti penjelasan senada dipaparkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w.
1435 H), bahwa Islam adalah Din yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad
ﷺmencakup akidah, syari’ah dan akhlak.13 Hal ini menunjukkan bahwa Allah
11 Istilah din ( ِديْن) jamaknya adyân (أديان) secara bahasa berkonotasi al-jazâ’ (ganjaran) seperti perkataan “دا َن الل ُه ال ِعبا َد يَدينهم يو َم
القيامة”(Allah mengganjar mereka), berkonotasi pula al-thâ’ah (keta’atan) sehingga dikatakan “ٍدانوا لفالن” (mereka mena’ati fulan).
12 Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dar al-Ummah, 1953, hlm. 34.
13 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, juz I, hlm. 68.
Kesempurnaan
Din Islam 9
Swt menciptakan manusia, berikut seperangkat petunjuk, pedoman lengkap nan
paripurna sebagai bekal mengarungi medan kehidupan.
Batasan Din Islam di atas, digali berdasarkan nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah.14
Batasan Islam sebagai “agama yang diturunkan oleh Allah” telah memproteksi
pengertian tersebut dari agama yang tidak diturunkan oleh Allah. Ini mencakup
agama apa pun yang tidak diturunkan oleh Allah, baik Hindu, Budha, Konghucu,
Sintoisme, Zoroaster, Majusi, dan lainnya. Mengenai batasan “yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya”
merupakan deskripsi yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan,
mencakup perkara akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan
lain sebagainya.
Kesempurnaan Din Islam ini ditunjukkan oleh nas-nas syara’, di antaranya:
ال ْس َل َم ِدي ًنا ُ الْ َي ْو َم أَكْ َمل ُْت لَ ُك ْم ِدي َن ُك ْم َوأَتْ َ ْم ُت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َم ِتي َو َر ِض
ِ ْ يت لَ ُك ُم
“Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan
untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama kamu.” (QS. Al-Mâidah
[5]: 3).
Al-‘Allamah al-Syanqithi (w. 1339 H) ketika menjelaskan ayat ini mengatakan:
وال يحتاج إىل،وقد رصح الله تعاىل يف هذه االية الكرمية أنه أكمل لنا ديننا فال ينقصه أب ًدا
عليهم صلوات الله وسالمه جمي ًعا،زيادة أب ًدا؛ ولذلك ختم األنبياء بنبينا
Sungguh Allah telah menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah
menyempurnakan bagi kita agama kita, agama ini tidak kurang dan tidak membutuhkan
tambahan selama-lamanya; dan oleh karena itu para Nabi ditutup oleh Nabi kita (Nabi
Muhammad )ﷺsemoga Allah melimpahkan shalawat serta salam kepada mereka
semuanya.15
Ayat ini menjelaskan, bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang diridhai oleh
Allah Swt, sementara yang lain tidak. Ini bisa dipahami dari mafhûm mukhâlafah
14 Definisi itu sendiri merupakan deskripsi realitas yang bersifat jâmi’ (komprehensif) dan mâni’ (protektif). Artinya, definisi
itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang
dideskripsikan masuk ke dalam lingkup definisi.
15 Muhammad Al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithi. Al-Islam Diin Kaamil, hlm. 3.
Kesempurnaan
Din Islam 11
B. Islam & Politik
Selama ini, kaum Muslim seringkali dihadapkan pada penyesatan kaum sekularis
liberalis, yang berupaya memarjinalkan peranan Islam dari pengaturan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara (politik). Bagaimana mendudukkan hakikat politik
dalam Islam? Poin ini yang harus dijawab oleh para ulama berdasarkan petunjuk
Islam dan uraikan khazanah ilmu para ulama. Dalam bahasa arab, istilah politik
dikenal dengan istilah siyâsah, dengan perincian penjelasan:
الدواب إِذا
َّ ُ السياس ُة القيا ُم عىل اليشء مبا يُ ْصلِحه والسياس ُة فعل السائس يقال هو يَ ُس
وس ِّ
وس َر ِعيَّتَه
ُ قام عليها وراضَ ها والوايل يَ ُس
Al-Siyâsah yang menegakkan hal yang memberikan kemaslahatan, dan al-siyâsah
merupakan pekerjaan dari al-sâ’is (fâ’il atau subjek, politisi), dan dikatakan yasûsu al-
dawâb jika ia menjaga dan mengurusinya.22
Ibn Ahmad al-Farahidi dalam Kitab al-’Ain pun menyatakan:
20 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, juz I, hal. 252.
21 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdziib al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 2001, juz III, hlm. 56.
22 Muhammad bin Makrum Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, Ed: ’Abdullah ’Ali al-Kabir, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, juz III, hlm.
2149.
23 Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl,
juz II, hlm. 240.
Kesempurnaan
Din Islam 13
pun mencontohkan misalnya pemilihan padang gembala bagi binatang ternaknya,
pemilihan padang gembala dan tempat minum baginya, bersikap lembut kepada
binatang yang lemah dan lain sebagainya, dan jika penggembala menunaikan hal-
hal tersebut maka hal itu menjadi contoh (pembelajaran) dalam mengatur hamba-
hamba-Nya, dan ini merupakan hikmah yang mendalam.30
الشيْ َع ِة ا ِإل ْسالَ ِم َّي ِة ِ ِر َعايَ ُة شُ ُؤ ْونِ األُ َّم ِة بِال َّد
ِ َّ اخلِ َوال َخا ِر ِج َوف َْق
“Pemeliharaan urusan umat baik di dalam dan luar negeri yang sejalan dengan syari’ah
Islam.” 31
Pengertian tersebut, ditunjukkan oleh hadits shahih, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu
’anhu-, Nabi Muhammad ﷺbersabda:
«ُوس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون
ُ سائِ َيل ت َُس
َ ْ ِكَان َْت بَ ُنو إ
» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)32
Kata tasûsuhum menunjukkan sisi siyâsah (politik) yakni aspek ri’âyah, dimana hal
tersebut dikaitkan dengan kedudukan khalifah sebagai pemimpin kaum Muslim.
Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan pengertian
“tasûsuhum al-anbiyâ’”:
ِّ أَ ْي يَتَ َولَّ ْو َن أُ ُمو َر ُه ْم ك ََم تَ ْف َع ُل ْالُ َم َرا ُء َوالْ ُو َل ُة بِال َّر ِعيَّ ِة َو
السيَ َاس ُة الْ ِقيَا ُم َع َل اليشء مبا يصلحه
Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan para
wali terhadap rakyat (nya). Dan al-siyâsah adalah mengatur sesuatu dengan apa-apa
yang bermaslahat baginya. 33
Makna politik menurut taujih hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani
(w. 852 H), (Mereka diutus oleh para nabi), maksudnya tatkala tampak kerusakan
di tengah-tengah umat, Allâh pasti mengutus pada mereka seorang nabi yang
menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka
30 Ibid.
31 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, juz I, hal. 252.
32 HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (hadits no. 4163); Muslim dalam Shahih-nya.
33 Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijaz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet.
II, 1392 H, juz XII, hlm. 231.
«ُوس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون
ُ سائِ َيل ت َُس
َ ْ ِكَان َْت بَ ُنو إ
» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Hadits ini mengandung sejumlah pelajaran penting:
Pertama, Sosok para nabi Bani Isra’il yang berperan mengatur urusan umatnya dan
memelihara serta menjaga mereka dari kerusakan.
Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menggambarkan:
َو َذلِ َك ألَنهم كَانُوا إِذا أظه ُروا الْفساد بعث الله نَبيا يزِيل الْفساد َع ْن ُهم َويُ ِقيم لَ ُهم أَمرهم
ويزيل َما غريوا من حكم التَّ ْو َراة
Dan hal itu karena Bani Israil jika mereka menimbulkan kerusakan maka Allah mengutus
seorang nabi untuk menghapuskan kerusakan dari mereka dan mengatur urusan mereka
34 Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fat-h al-Bârî’ Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 497.
35 Syarfuddin al-Husain bin Abdullah al-Thibi, Syarh al-Thibi ‘alâ Misykât al-Mashâbiih (al-Kâsyif ‘an Haqâ’iq al-Sunan), Ed: Dr.
‘Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz VIII, hlm. 2564.
36 Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr al-Qasthallani al-Mishri, Irsyâd al-Sârii li Syarh Shahiih al-Bukhârii, Mesir: Al-Mathba’ah
al-Kubrâ al-Amiiriyyah, cet. VII, 1323 H, juz V, hlm. 421.
37 Abu al-Hasan Nuruddin al-Mulla’ al-Qari ‘Ali bin Muhammad, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-
Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2398.
38 Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i al-Fawâ'id, Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabi, juz III, hlm.
152.
Kesempurnaan
Din Islam 15
dan menghapuskan (meluruskan) apa yang mereka ubah dari hukum Taurat.39
Fungsi ini pun disebutkan oleh al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi (w. 685) ketika
menjelaskan kedudukan para nabi yang mengatur dan memperbaiki urusan
mereka.40
Kedua, Tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, namun kepemimpinan
umat berada di tampuk kepemimpinan para khulafâ’.
Hadits ini pun menegaskan tiada nabi dan rasul lagi setelah Nabi Muhammad ﷺ,
namun kepemimpinan tidak boleh dibiarkan terbengkalai begitu saja, melainkan
mesti ada para khulafâ’ yang memegang tampuk kepemimpinan umat, memelihara
umat dari kerusakan dan kemungkaran. Karena hadits ini berkaitan dengan tugas
tanggung jawab seorang pemimpin umat dalam Islam, yang disebut oleh Rasulullah
ﷺdengan istilah al-Khalifah (mufrad dari al-khulafâ’) pasca wafatnya beliau ﷺ.
Dan makna istilah khulafâ’ yang disebutkan dalam hadits yang mulia ini,
sebagaimana penjelasan Imam Badruddin al-’Aini yakni jamak dari al-khalîfah,41
yakni sosok yang dibai’at oleh umat untuk mengatur urusan masyarakat dengan
syari’at Islam. Hadits ini pun menunjukkan pentingnya keberadaan sosok khalifah
yang dibai’at oleh umat dalam mengatur urusan masyarakat dimana tiada nabi dan
rasul lagi pasca kerasulan Muhammad ﷺ. Dan para ulama dari empat madzhab
sepakat atas kewajiban mengangkat imam/khalifah dengan fungsi sebagaimana
disebutkan dalam hadits di atas. Mengenai hal ini akan diuraikan pada bahasan
berikutnya.
39 Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-’Aini, ’Umdat al-Qârii Syarh Shahiih al-Bukhârii, juz 16, hlm. 43.
40 Nashiruddin ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Tuhfat al-Abraar Syarh Mashaabiih al-Sunnah, Kuwait: Wizaarat al-Awqaaf wa
al-Syu’uun al-Islamiyyah, 1433 H/2012, juz II, hlm. 548.
41 Ibid.
َوإِ ْذ ق ََال َربُّ َك لِلْ َم َلئِ َك ِة إِ ِّن َجا ِع ٌل ِف ْالَ ْر ِض َخلِي َف ًة
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Jamak dari kata khalîfah adalah khulafâ’, atau khalâ’if, hal itu dirinci oleh Imam al-
Azhari.43 Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan firman-Nya QS. Al-An’âm [6]:
165:
42 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Ed: Muhammad ‘Audh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-
‘Arabi, cet. I, 2001, juz VII, hlm. 168-174.
43 Ibid., hlm. 174.
44 Ibid.
Pengertian Khalifah dan
Khilafah Secara Bahasa dan Syar’i 17
Kata khalâ’if dalam ayat ini, berkonotasi sebagai pemimpin yang menggantikan
pemimpin sebelumnya dalam konotasi umum. Ia jamak dari kata khalîfah,
yang berkonotasi pemimpin pengganti. Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H)
menjelaskan:
: َوق ََال بَعضهم َم ْع َنا ُه، يَ ْج َعل أَ ْولَ دكُم خلفاءكم: َوقيل، يَ ْج َعل بَ ْعضكُم خلفاء بعض:أَي
يجعلكم خلفاء الْ ِج ّن ِف األَ ْرض
Yakni: Dia menjadikan sebagian kalian sebagai pemimpin-pemimpin pengganti untuk
sebagian lainnya, dikatakan: Dia menjadikan generasi-generasi penerus kalian sebagai
pengganti kalian, dan sebagian ulama lainnya mengatakan maknanya: Dia menjadikan
kalian sebagai pemimpin pengganti Bangsa Jin di muka bumi.46
Meskipun begitu, pembahasan ini pun cukup menguatkan topik pembahasan
khilafah dalam konotasi syar’i, mengingat kata khalîfah dengan jamaknya khalâif dan
khulafâ’ yang digunakan al-Qur’an, tak bisa dilepaskan dari makna kepemimpinan di
muka bumi. Topik ini relevan dengan topik kepemimpinan dalam persepektif politik
Islam, sehingga al-Hafizh al-Qurthubi menguraikan wajibnya mengangkat khalifah
(nashb al-khalifah) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30 dalam kitab tafsirnya.
Pemimpin tersebut diistilahkan khalîfah, sebagaimana disebut-sebut dalam dalil-
dalil al-Sunnah, dirinci penjelasan para fuqaha’, mufassirun, muhadditsun, dan
mufakkirun. Dalam perinciannya, istilah khalifah menurut Ibn Sikkit, berlaku bagi
kaum pria semata, meski terdapat tambahan huruf al-hâ’ (tâ’ marbûthah).47 Karena
tambahan ini sebenarnya bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan makna), atas
pujian terhadapnya, hal itu sebagaimana penjelasan Imam Abu Bakr al-Anbari (w.
328 H) yang menjelaskan:
فدخلت، بغري هاء،يف ٌ ِ َخل: واألصل فيه، لخالفته رسول الله،سمي الخليفة خليفة يف األصل
ملا أرادوا أن،نسابة راوية
ّ رجل عالّمة: كام قالوا،" الهاء " للمبالغة يف مدحه بهذا الوصف
اب ّ ، وعالّ ٌم، رجل را ٍو: ولو مل يريدوا املبالغة لقالوا،يبالغوا يف املدح
ٌ ونس
Dinamakan al-khalifah, yakni khalifah pada asal katanya, karena kedudukannya sebagai
45 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasat al-
Risâlah, cet. I, 1420 H/2000, juz ke-19, hlm. 485.
46 Manshur bin Muhammad Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani al-Syafi’i, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dar al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz III,
hlm. 370.
47 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
48 Abu Bakar al-Anbari, Al-Zâhir fî Ma’ânî Kalimât al-Nâs, Ed: Dr. Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1412 H/1992, juz II, hlm. 229.
49 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
50 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
51 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426
H/2005, hlm. 20..
52 Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz
IV, hlm. 128.
53 Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Mafaatiih al-‘Uluum, Ed: Ibrahim al-Abyari, Daar al-Kutub al-‘Arabi, cet.
II, t.t., juz I, hlm. 126.
«ُوس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون
ُ سائِ َيل ت َُس
َ ْ ِكَان َْت بَ ُنو إ
» ُخلَفَا ُء فَيَك ُ ُْثو َن
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi menjadi ciri khas
mulia, membedakannya dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka.
Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani, menjelaskan makna
syar’i secara mapan digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Yakni mengemban dakwah dengan hujjah (dakwah) dan jihad.59 Dimana keduanya
menjadi bagian dari visi dakwah Khilafah menebarkan rahmat bagi ke seluruh
penjuru dunia.
َم ْوضُ و َع ٌة لِ ِخ َلفَ ِة ال ُّنبُ َّو ِة ِف ِح َر َاس ِة الدِّينِ َو ِسيَ َاس ِة ال ُّدنْيَا:ال َما َم ُة
ِْ
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam
memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia (dengannya).
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) –begitu pula para ulama lainnya- pun
mengumpamakan Din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar
(السلْطَان توأمان
ُّ )ال ّدين َو64, lalu Al-Ghazali pun menegaskan:
السلْطَان حارس ف ََم ال أس لَ ُه فمهدوم َو َما ال حارس لَ ُه فضائع
ُّ ال ّدين أس َو
Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya
maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.65
Hal ini menggugurkan klaim orang yang menyimpangkan aqwâl ulama dalam
topik al-imâmah, untuk menjustifikasi kepemimpinan di luar Islam yang sekularistik.
Padahal setiap sistem politik, dibangun dari berbagai karakteristik yang
membedakan satu sama lain, dari persoalan prinsip hingga cabangnya. Karakteristik
ini ditegaskan para pakar kontemporer, semisal Dr. Shalah Al-Shawi.66 Dr. Shalah Al-
Shawi menegaskan kekhasan politik dalam Islam: Maka menegakkan agama dan
mengatur urusan dunia dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok
antara sistem Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem politik yang tegak di zaman
ini yang memisahkan antara Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan
dunia dengan memisahkannya dari agamanya, dan mengemban seluruh tuntutan
hawa nafsu dan syahwat.67
60 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, juz VIII, hlm. 6144
61 Dr. Shalah Al-Shawi, Al-Wajîz fî Fiqh Al-Khilâfah, Dâr al-I’lâm, hlm. 5
62 Al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, juz I, hlm. 15
63 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm. 22
64 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H,
hlm. 128.
65 Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam
Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan lainnya.
66 Dr. Shalah Al-Shawi, Al-Wajîz, hlm. 7
67 Ibid.
A. Dalil Al-Qur’an
Dalam perinciannya, kewajiban menegakkan khilafah, mencakup karakteristik
agungnya, merupakan perkara yang ma’lûm disepakati salaful ummah dan ulama
ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kefardhuan
agama tersebar (min a’zhâm al-wâjibât), diuraikan dalam turâts para ulama dengan
perincian dalil:
1. Dilalah Di Balik Kewajiban Ta’at Kepada Ulil Amri (Dalil QS. Al-Nisa [4]: 59)
Allah Swt berfirman:
ِ ُول َوأ
ول ْالَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم َ يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا أَ ِطي ُعوا اللَّ َه َوأَ ِطي ُعوا ال َّر ُس
"Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara
kalian.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 59)
Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil amri dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 59. Maka
berdasarkan dalâlah al-iltizam, perintah menta’ati ulil amri pun merupakan perintah
mewujudkannya sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Maka ayat tersebut
pun mengandung petunjuk, wajibnya mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem
syar’inya (Khilafah), yang juga disebut nama (al-ism) dan dirinci konsepnya (al-
musamma) dalam al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah.
Dimana Islam menetapkan bai’at syar’i sebagai metode syar’i sahnya seseorang
menjadi seorang ulil amri (yakni khalifah), yang dibai’at untuk menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, salah satunya
al-Qadhi al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, dengan berdalil dengan hadits,
Rasulullah ﷺbersabda:
2. Kedudukan Khalifah dalam Menegakkan Islam Kâffah (Dalil QS. Al-Baqarah [2]:
208 dan Lainnya)
Allah Swt dan Rasul-Nya telah mewajibkan kaum Muslim untuk menegakkan Islam
dalam kehidupan, akidah dan syari’atnya, mencakup hukum-hukum publik dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dengan segera dan tidak ditunda-tunda.
Hal itu ditunjukkan oleh dasar argumentasi berikut ini:
Pertama, Islam telah turun secara sempurna, dimana kesempurnaan tersebut diikuti
oleh penegasan bahwa Allah hanya meridhai Islam sebagai Din yang ditegakkan
oleh manusia, berdasarkan dalil yang terang benderang dalam firman-Nya:
ال ْس َل َم ِدي ًنا ُ الْ َي ْو َم أَكْ َمل ُْت لَ ُك ْم ِدي َن ُك ْم َوأَتْ َ ْم ُت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َم ِتي َو َر ِض
ِ ْ يت لَ ُك ُم
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-
Mâ’idah [5]: 3)
Kedua, Diperjelas oleh nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah yang mewajibkan
menegakkan Islam dalam kehidupan. Kaum Muslim, wajib menegakkan Islam
keseluruhannya (kâffat[an]) dalam kehidupan sebagaimana perintah-Nya dalam
banyak ayat al-Qur’an, salah satunya:
ات الشَّ ْيطَانِ ۚ إِنَّ ُه لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِب ٌني ِّ يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا ا ْد ُخلُوا ِف
ِ السل ِْم كَافَّ ًة َولَ تَتَّ ِب ُعوا ُخطُ َو
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ketiga, Adanya larangan menyerupai ahli Kitab yang beriman pada sebagian Taurat
dan mengkufuri sebagiannya, yang Allah ingkari, lihat QS. Al-Baqarah [2]: 85:
اب َوتَ ْك ُف ُرو َن ِب َب ْع ٍض ۚ ف ََم َج َزا ُء َم ْن يَ ْف َع ُل َٰذلِ َك ِم ْن ُك ْم إِ َّل ِخ ْز ٌي ِف الْ َح َيا ِةِ َأَفَتُ ْؤ ِم ُنو َن ِب َب ْع ِض الْ ِكت
ِ َويَ ْو َم الْ ِقيَا َم ِة يُ َر ُّدو َن إِ َ ٰل أَشَ ِّد الْ َعذ. ال ُّدنْيَا
َاب ۗ َو َما اللَّ ُه ِبغَا ِفلٍ َع َّم ت َ ْع َملُو َن
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 85)
« أَ ْو ُ ْي ِس ُم ْؤ ِم ًنا، يُ ْصب ُِح ال َّر ُج ُل ُم ْؤ ِم ًنا َو ُ ْي ِس كَا ِف ًرا،بَا ِد ُروا ب ِْالَ ْع َم ِل ِفتَ ًنا كَ ِقطَعِ اللَّ ْيلِ الْ ُمظْلِ ِم
يَبِي ُع ِدي َن ُه ِب َع َر ٍض ِم َن ال ُّدنْ َيا،» َويُ ْصب ُِح كَا ِف ًرا
“Bersegeralah kalian beramal shalih, akan ada suatu masa ketika muncul berbagai
fitnah seperti potongan malam gelap gulita, dimana seseorang beriman di waktu pagi
dan kafir pada sorenya, dan beriman di waktu sore dan kafir pada paginya, ia menjual
agamanya dengan harga dunia.” (HR. Muslim, Ahmad)70
Imam Muslim (w. 261 H) pun meriwayatkan hadits di atas dalam bab (الحث عىل
)املبادرة باألعامل قبل تظاهر الفنتyakni bab mengenai dorongan untuk bersegera beramal,
sebelum munculnya berbagai fitnah. Ini mengandung konsekuensi pula pada
pemahaman wajibnya bersegera menegakkan Islam dalam kehidupan. Dakwah,
wajib berorientasi pada poin upaya penerapan Islam keseluruhan, karena berbeda
orientasi, akan melahirkan sikap yang berbeda.
68 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 107-108.
69 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Riyâdh al-Shalihîn, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. III, 1419 H/1998,
hlm. 63.
70 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 118); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 9267), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim, para perawinya perawi tsiqah perawi syaikhain (al-Bukhari dan Muslim)
kecuali Ziyad bin Riyah, maka ia perawi Imam Musim saja.”
َ ِ » ُه ُم امل ُ ْرت َ ُّدو َن ال َِّذي َن ا ْرتَ ُّدوا َع َل َع ْه ِد أَ ِب بَ ْك ٍر فَقَاتَلَ ُه ْم أَبُو بَك ٍر َر
«ض اللَّ ُه َع ْن ُه
“Mereka (para penolak zakat) adalah kaum yang murtad, yang murtad pada masa Abi
Bakar r.a., maka Abu Bakar memerangi mereka.” (HR. Al-Bukhari)72
Sebelumnya, Umar bin al-Khaththab r.a. tidak menyetujui sikap Khalifah Abu Bakar
r.a., dijawab oleh Abu Bakar r.a. dengan jawaban yang terang benderang, sehingga
Umar meralat sikapnya, dan beralih menyetujui kebijakan benar Khalifah Abu Bakar
r.a. dengan menyatakan:
B. Dalil Al-Sunnah
81 Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
82 Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-
Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
83 Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh:
Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
84 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
85 Al-Mulla’ Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
86 Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz
IV, hlm. 63.
87 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz. XII, hlm. 230.
88 Syarfuddin al-Husain al-Thibi, Al-Kâsyif ’an Haqâ’iq al-Sunan, juz VIII, hlm. 2557.
89 Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani, Al-Kawâkib al-Durârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
90 Al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij wa al-Tanâqîh fî Takhrîj Ahâdîts al-Mashâbîh, Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah li
al-Mausû’ât, cet. I, 1425 H, juz III, hlm. 265.
2. Dalil Hadits Wajib Tegaknya Bai’at Dipundak Kaum Muslim Kepada Khalifah
Dalil lainnya, Rasulullah ﷺbersabda:
«» َوالَ يَ ِح ُّل لِثَالَث َ ِة نَ َف ٍر يَكُونُو َن ِبأَ ْر ِض فَالَ ٍة إِالَّ أَ َّم ُروا َعلَ ْي ِه ْم أَ َح َد ُه ْم
“Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka Bumi, kecuali mengangkat salah
seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.” (HR. Ahmad, al-Thabrani)98
Hadits ini, banyak dinukil para ulama sebagai salah satu dalil wajibnya adanya
al-Imâm atau al-Khalîfah, dan qadhi, semisal kitab Nail al-Authar yang menukilnya
ِ ْ وب ن َْص ِب وِلَ يَ ِة الْقَضَ ا ِء َو
dalam satu bab khusus (ال َما َر ِة َوغ َْيِ ِه َم ِ اب ُو ُج
ُ َ)ب99, hal itu karena
keumuman khabar dan lafal dalam hadits ini. 100
Sehingga tidak mengherankan jika hadits ini pun dinukil para ulama sebagai dalil
wajibnya mengangkat Khalifah, sebagaimana ia pun dinukil oleh al-’Allamah Abdul
Qadim Zallum, untuk menegaskan kewajiban adanya pemimpin dalam dakwah.101
Kalimat lâ yahillu, menunjukkan larangan keras (qarînah jâzimah), menunjukkan
keharaman atas ketiadaan amîr (pemimpin). Jika dalam persoalan safar saja wajib
ditunjuk salah seorang pemimpin (amîr al-safar), maka perkara kehidupan umat
yang lebih kompleks persoalannya, lebih utama (awlâ) membutuhkan adanya
kepemimpinan.
Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menegaskan dalam subjudul Pentingnya
Kedudukan Kekuasaan Politis dalam Islam ()رضورة السلطة السياسية يف اإلسالم:
يعارض اإلسالم الفوىض السياسية ويطالب بقيام السلطة املنظمة حتى يف ما يتعلق بتنظيم
((إذا خرج ثالثة يف سفر:-صىل الله عليه وسلم- ويف ذلك يقول الرسول،الشؤون الخاصة
))فليؤمروا أحدهم
97 Yahya bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh ‘An Ma’âni al-Shihâh, Dâr al-Wathan, IV/262
98 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6647), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih li ghairihi kecuali hadits al-
imârat maka derajatnya hasan.”; HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (no. 14723).
99 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authâr, Mesir: Dâr al-Hadîts, cet. I, 1413 H/1993, juz VIII, hlm. 294.
100 Hal ini sebagaimana mafhum yang dibangun oleh Imam Ibn al-Arabi ketika memahami keumuman dalil larangan berbisik-
bisik di antara dua orang tanpa orang ketiga di sisi mereka ( دون صاحبهام، يكونون بأرض فالن أن يتناجى اثنان،)وال يحل لثالثة نفر, dimana Ibn
al-Arabi menjelaskan bahwa hadits ini, khabarnya umum, makna dan lafalnya, dan alasannya karena bisa menimbulkan
kesedihan (pada orang yang tidak diajak bicara-pen.), dimana hal tersebut bisa terjadi baik dalam safar maupun ketika
diam di suatu tempat, maka larangan tersebut harus mencakup kedua kondisi tersebut. (Prof. Dr. Musa Syahin Lasyin, Fath
al-Mun’im Syarh Shahîh Muslim, Dâr al-Syurûq, cet. I, 1423 H/2002, juz VIII, hlm. 531)
101 Abdul Qadim Zallum, Afkâr Siyâsiyyah, hlm. 56.
وذلك من أدل الدليل عىل وجوب الخالفة وأنه ال بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس
ومييض فيهم أحكام الله ويردعهم عن الرش ومينعهم من التظامل والتفاسد
Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya
menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam (Khalifah) bagi
masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur mereka dengan hukum-hukum
Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi mereka saling menzhalimi dan
merusak.106
102 Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti, Arkânun wa Dhamânât: Al-Hukm Al-Islâmi, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah.
103 Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 19.
104 Ibid.
105 Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr ‘Âlam al-Kutub, I/264
106 Abu Sulaiman al-Khathabi, Ma’âlim al-Sunan, Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, juz III, hlm. 6
Kesimpulan (Khatimah)
Khilafah, terang benderang sebagai bagian dari ajaran Islam yang mulia, memuliakan
mereka yang mengemban dan memperjuangkannya, seterang mentari terbit tak
terhalang awan bagi ia yang teguh meniti jalan Rasul-Nya.
Secara praktis, penegakkan konsep khas kepemimpinan Islam ini sebagaimana
ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah ﷺ, yang menegakkan institusi politik Islam
berpusat di Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-
râsyidûn pada periode yang disebut Rasulullah ﷺdalam hadits hasan riwayat
Imam Ahmad, sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. Ditegaskan para
ulama dalam turats mereka yang menguraikan kewajiban menegakkan institusi
Khilafah ini dalam kehidupan, sebagai ajaran Rasulullah ﷺdan disepakati para
sahabat dengan konsensus (ijma’) mereka.
Dimana itu semua memahamkan kita secara terang benderang, bahwa penerapan
Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh
Rasulullah ﷺdalam bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara
Islam (al-daulah al-Islâmiyyah), dan diteruskan al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Maka tak ada jalan lain bagi kita yang mengaku mencintai mereka, kecuali berjuang
merealisasikan kembali kepemimpinan Islam ini, sebagai salah satu bagian dari
pesan mendalam Rasulullah ﷺ, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah
ﷺbersabda:
« َعضُّ وا َعلَ ْي َها بِال َّن َواج ِِذ، » َعلَ ْي ُك ْم ب ُِس َّن ِتي َو ُس َّن ِة الْ ُخلَفَا ِء ال َّر ِاش ِدي َن الْ َم ْه ِديِّ َني
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin
al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal
tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)108
107 Ibn Hazm Al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 124
108 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para perawinya
tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan
periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata:
”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Iman (no. 7516).
sis.tem /sistém/
bentuk tidak baku: sistim
1. n perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas: -- pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah dalam tubuh; --
telekomunikasi
2. n susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya: -- pemerintahan
negara (demokrasi, totaliter, parlementer, dan sebagainya)
3. n metode: -- pendidikan (klasikal, individual, dan sebagainya); kita bekerja dengan --
yang baik; -- dan pola permainan kesebelasan itu banyak mengalami perubahan
ba.ku1
bentuk tidak baku: sistim
1. a pokok; utama: beras merupakan bahan makanan -- bagi rakyat Indonesia
2. n tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; standar (2)
Dari pengertian sistem dan baku di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa
istilah sistem baku, menggambarkan suatu perangkat unsur yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; standar tertentu. Ini agar kita memiliki acuan dalam menentukan baku
tidaknya sistem pemerintahan dalam Islam.
Keistimewaan
Sistem Khilafah 33
A. Asas & Fondasi Khilafah
Keimanan (akidah) yang dituntut dalam Islam, dan dicontohkan secara praktis oleh
Rasulullah Saw, adalah keimanan yang mencakup prinsip al-walâ’ dan al-bara’ (loyal
terhadap Islam dan berlepas diri dari segala hal yang menyelisihinya), keimanan
(akidah) yang berfungsi sebagai pengendali dan kerangka berpikir seseorang (al-
qiyâdah wa al-qâ’idah al-fikriyyah) sebagaimana isyarat dalam firman-Nya:
إِ َّن ال َِّذي َن يَ ْك ُف ُرو َن بِاللَّ ِه َو ُر ُسلِ ِه َويُرِي ُدو َن أَ ْن يُ َف ِّرقُوا بَ ْ َي اللَّ ِه َو ُر ُسلِ ِه َويَقُولُو َن نُ ْؤ ِم ُن ِب َب ْع ٍض
َونَ ْك ُف ُر ِب َب ْع ٍض َويُرِي ُدو َن أَ ْن يَتَّ ِخذُوا بَ ْ َي َٰذلِ َك َسب ًِيل
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: “Kami beriman terhadap sebagian dan kafir terhadap sebagian (yang
lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang
demikian (iman atau kafir).” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 150)
Penjelasan di atas, mencakup persoalan asasi menyoal urusan umat, yakni
kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Mengingat urusan umat berada di pundak
penguasa, maka Islam pun mewajibkan kepemimpinan dan sistem pemerintahan
yang dibangun berasaskan akidah Islam, akidah Islam menjadi asas dan fondasi,
Allah Swt berfirman:
109 Hal ini sebagaimana diuraikan oleh para ulama dalam turats mereka, salah satunya penjelasan ulama Nusantara yang
mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i dalam kitab Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq: Syarh Sullam al-Taufîq.
ات الشَّ ْيطَانِ ۚ إِنَّ ُه لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِب ٌني ِّ يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا ا ْد ُخلُوا ِف
ِ السل ِْم كَافَّ ًة َولَ تَتَّ ِب ُعوا ُخطُ َو
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Keistimewaan
Sistem Khilafah 35
Seruan dalam ayat ini, merupakan seruan yang berlaku umum mencakup penguasa
dalam Islam. Kata al-silm dalam ayat ini asalnya merupakan lafal musytarak, namun
makna yang terpilih berdasarkan indikasi dalil-dalil lainnya, ia hanya bermakna
Islam, Imam Syihabuddin al-Alusi pun menjelaskan:
واملراد من السلم جميع الرشائع بذكر الخاص وإرادة العام بناءا ً عىل القول بأن اإلسالم
رشيعة نبينا صىل الله عليه وسلم
Maksud dari kata al-silm mencakup seluruh syari’at Islam, dengan penyebutan yang
khusus namun maksudnya umum berdasarkan pendapat bahwa Islam (itu sendiri)
adalah syari’at Nabi kita Muhammad ﷺ.110
Hal ini ditegaskan oleh para ulama tafsir lainnya, termasuk Syaikhul Ushul ’Atha bin
Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya.111
Allah Swt pun berfirman:
ِ ول فَ ُخذُو ُه َو َما نَ َهاكُ ْم َع ْن ُه فَانْتَ ُهوا ۚ َواتَّقُوا اللَّ َه ۖ إِ َّن اللَّ َه شَ ِدي ُد الْ ِعق
َاب ُ َو َما آتَاكُ ُم ال َّر ُس
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Kata mâ dalam ayat di atas menjadi petunjuk keumuman ayat ini, perintah
melaksanakan apa yang Rasulullah Saw ajarkan kepada umatnya, dan menjauhi
apa yang dilarangnya, dimana itu semua merupakan gambaran Din Islam yang
mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah ﷺberpesan:
َ َاس إِ ِّن قَ ْد ت َ َرك ُْت ِفي ُك ْم َما إِنِ ا ْعتَ َص ْمتُ ْم ِب ِه فَلَ ْن ت َِضلُّوا أَبَ ًدا كِت
«اب اللَّ ِه َو ُس َّن َة نَ ِبيِّ ِه ُ »يَا أَيُّ َها ال َّن
"Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang
jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-
lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi dari
Ibnu ’Abbas r.a.112)
Hadits ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi,
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh
Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara praktis. Kata yâ ayyuhannâs (wahai
manusia), dengan ungkapan seruan harf al-nidâ’ (kata seru yâ ayyuha) dengan objek
yakni al-nâs (bentuk plural yang artinya manusia), menunjukkan bahwa wasiat Nabi
ﷺini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum,
termasuk pemimpin kaum Muslim (Khalifah) dan kaum Muslim pada umumnya.
110 Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hlm. 492.
111 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 276.
112 HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits no. 318) sanadnya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi
dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (X/114, hadits no. 20833)
وقد أدركت يقيناً من خالل مدارسة السرية النبوية يف ضوء النصوص القرآنية والنبوية بأن
،إعادة الترشيع اإلسالمي للحياة واجب رشعي وفرض كفايةإذا استطاع ذلك القامئون عليه
وفرض عني إذا عجزوا عن ذلك
Saya menyadari dengan keyakinan berdasarkan pembelajaran terhadap sirah
nabawiyyah dalam bimbingan cahaya al-Qur’an dan sunnah nabawiyyah, bahwa
113 Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mulla’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I,
1422 H, juz I, hlm. 269.
114 ‘Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Manawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah al-Imâm al-Syâfi’i, Cet.
III, 1408 H, juz I, hlm. 447.
115 HR. Muslim dalam Shahiih-nya; HR. Ahmad dalam Musnad-nya (42/62, hadits no. 25128); Syu’aib al-Arna’uth dkk
mengomentari: “Hadits ini sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”
Keistimewaan
Sistem Khilafah 37
mengembalikan hukum syari’at Islam dalam kehidupan merupakan kewajiban syar’i
dan fardhu kifayah bagi mereka jika ada yang mampu menegakkannya, dan fardhu ’ain
jika tidak ada yang menegakkannya.116
Relevan dengan pemahaman bahwa Khalifah jelas dibai’at untuk menerapkan
hukum Islam secara kaffah, hal itu sebagaimana ditunjukkan pula secara kinayah
dalam ungkapan hadits ma shallu, yakni kinayah dari ”selama mereka menegakkan
hukum Islam, yakni sendi-sendiri dasar Islam” dalam hadits Rasulullah ﷺ:
َ ِ َستَكُو ُن أُ َم َرا ُء فَتَ ْع ِرفُو َن َوتُ ْن ِك ُرو َن فَ َم ْن َع َر َف بَ ِرئَ َو َم ْن أَنْ َك َر َسلِ َم َولَ ِك ْن َم ْن َر
«ض َوت َابَ َع قَالُوا
»أَف ََل نُقَاتِلُ ُه ْم ق ََال َل َما َصلَّ ْوا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan
kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa
saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya
(dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau
bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim,
Ahmad)117
Tatkala mengomentari hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi, dalam Syarh Shahîh Muslim
menyatakan:
Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi
di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh
Rasulullah ﷺ. Sedangkan makna perkataan, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau
bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah
ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka sekedar melakukan
kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi
dasar Islam.118
C. Pilar-Pilar Khilafah
Bertolak dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka tidak mengherankan jika
para ulama menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah:
Pertama, Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyâdah li al-syar’i), yang menjamin
penegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, mengundang
keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Kedua, Kekuasaan milik umat (al-sulthân li al-ummah), yakni dengan adanya hak
bai’at untuk mengangkat khalifah, yang dibai’at untuk menegakkan hukum al-
Qur’an dan al-Sunnah, yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah
menegakkan syari’at Islam.
116 Dr. Muhammad Hawari, Da’watun Min Jâmi’ al-Ahkâm Min Tafsîr al-Imâm al-Qurthubi, 1428 H, hlm. 8.
117 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1854); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 26571), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”
118 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz XII, hlm. 242.
Keistimewaan
Sistem Khilafah 39
Ibn Abbas r.a. pun menuturkan bahwa Islam adalah Din yang mulia, tiada yang lebih
mulia darinya:
الس َم ِء َو ْالَ ْر ِض َولَٰ ِك ْن كَ َّذبُوا ٍ َولَ ْو أَ َّن أَ ْه َل الْ ُق َر ٰى آ َم ُنوا َواتَّ َق ْوا لَ َفتَ ْح َنا َعلَيْ ِه ْم بَ َرك
َّ َات ِم َن
فَأَ َخ ْذنَا ُه ْم بِ َا كَانُوايَك ِْسبُو َن
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’râf
[7]: 96)
121 Imam Al-Bukhari menisbatkan riwayat ini sebagai atsar dari Ibn Abbas r.a. (hadits mauquf) (bab إذا أسلم الصبي فامت هل يصىل عليه وهل
;)يعرض عىل الصبي اإلسالمbegitu pula Abu Ja’far al-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (no. 5267); Ibn Zanjawih dalam al-Amwâl
(no. 506).
122 Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dâr al-Haramain, 1417 H, juz I, hlm. 120.
فَ ِإ ْن أَ ْسلَ ْم َت فَل ََك َما،ال ْس َل ِم ِ ْ « إِ ِّن أَ ْد ُع َوك إِ َل:من محمد رسول الله إىل صاحب الروم
فَ ِإ َّن اللَّ َه تَ َبا َر َك َوت َ َع َال،ال ْس َل ِم فَأَ ْع ِط الْ ِج ْزيَ َة
ِ ْ لِلْ ُم ْسلِ ِم َني َو َعلَ ْي َك َما َعلَ ْي ِه ْم فَ ِإ ْن لَ ْم تَ ْد ُخ ْل ِف
{قَاتِلُوا ال َِّذي َن لَ يُ ْؤ ِم ُنو َن بِاللَّ ِه َولَ بِالْ َي ْو ِم ْال ِخ ِر َولَ يُ َح ِّر ُمو َن َما َح َّر َم اللَّ ُه َو َر ُسولُ ُه َو َل:ُول ُ يَق
اب َحتَّى يُ ْعطُوا الْ ِج ْزيَ َة َع ْن يَ ٍد َو ُه ْم َصا ِغ ُرونَ} َوإِ َّل َ َيَ ِدي ُنو َن ِدي َن الْ َح ِّق ِم َن ال َِّذي َن أُوتُوا الْ ِكت
أَ ْو يُ ْعطُوا الْ ِج ْزيَ َة، أَ ْن يَ ْد ُخلُوا ِفي ِه:ف ََل ت َِح ُّل بَ َ ْي الْ َفل َِّح َني َوبَ َ ْي ا ِلْ ْسل َِم
125
123 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm. 22.
124 Ini merupakan pemahaman salafuna al-shâlih, dibuktikan oleh hujjah syar’i ijma’ sahabat, yang menegaskan pentingnya
khilafah dan kewajiban menegakkannya, disamping dalil-dalil al-sunnah al-nabawiyyah, yang memperhatikan benar
persoalan al-imâmah (kepemimpinan politik) dalam Islam.
125 Kata (الْ َفل َِّح َني) secara bahasa berkonotasi petani, Abu ‘Ubaid (w. 224 H) menjelaskan bahwa penyebutan al-fallâhîn (petani)
dalam riwayat di atas tidak dikhususkan untuk rakyat Romawi yang berprofesi sebagai petani semata, a kan tetapi yang
dikehendaki adalah Bangsa Romawi keseluruhan, dan hal itu karena orang ‘ajam (non arab) bagi Bangsa Arab semuanya
adalah petani (fallâhûn), karena profesi mereka sebagai petani dan pekebun, karena siapa saja yang bertan maka bagi
Bangsa Arab mereka adalah petani, sama saja apakah orang yang bertani dengan tangannya sendiri atau mengupah o rang
selainnya, lihat: Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Kitâb al-Amwâl, Beirut: Dâr al-Fikr, hlm. 30.
Keistimewaan
Sistem Khilafah 41
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.” (QS. Al-Taubah [9]: 29)
Jika tidak maka janganlah engkau menghalangi antara rakyatmu dengan Islam
untuk memasukinya, atau tunaikanlah oleh kalian jizyah.” 126
Surat Rasulullah ﷺini, sangat jelas menunjukkan eksistensi politik luar negeri
Negara Islam yang dibangun beliau ﷺ, yakni dakwah dan jihad. Seruan dakwah
yang tersurat dari permulaan tulisan hingga akhirnya, singkat padat dan jelas,
menyeru pembesar Romawi dan rakyatnya untuk memeluk Islam, begitu pula dalam
surat-surat politik lainnya yang ditujukan Rasulullah ﷺsebagai kepala negara
kepada penguasa-penguasa negara-negara kufur. Jika menolak ajakan memeluk
Islam maka dituntut untuk tunduk kepada Pemerintahan Islam dan diwajibkan
membayar jizyah, dan jika tetap menolak maka ditegakkan jihad.
Kedudukan penguasa dalam menegakkan kebenaran dan menghapuskan
kemungkaran pun ditekankan oleh al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H), bahwa suatu
keharusan bagi umat adanya imam (khalifah/penguasa) yang menegakkan agama,
menolong sunnah, mengembalikan hak kepada orang yang didzalimi, menunaikan
haknya dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.127
Allah SWT menjadikan kaum Muslim sebagai umat terbaik, dimana Allah SWT
menunjukkan kemuliaan tersebut berikut karakteristik yang harus melekat padanya
dalam firman-Nya:
Keistimewaan
Sistem Khilafah 43
umat terbaik, yang tak terpisahkan mencakup akidah dan syari’ah (akhlak). Dimana
ayat ini mengisyaratkan kepada kita, keunggulan akidah dan ajaran akhlak kaum
Muslim, sehingga menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.135
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili ketika menjelaskan korelasi antara QS. Âli Imrân [4]:
104 dan ayat-ayat sebelumnya, menuturkan bahwa ayat ini menjadi penjelasan
atas ayat:
«وف َوأَنْ َها ُه ْم َعنِ الْ ُم ْن َك ِر َوأَ ْو َصلُ ُه ْم لِل َّر ِح ِم
ِ اس أَقْ َر ُؤ ُه ْم َوأَتْقَا ُه ْم َوآ َم ُر ُه ْم بِالْ َم ْع ُر
ِ » َخ ْ ُي ال َّن
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling patuh, paling bertakwa di antara mereka,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar serta menyambung tali
silaturahim.” (HR. Ahmad dan al-Thabrani, lafal Ahmad)
Jelas disebutkan dalam hadits di atas bahwa salah satu karakter sebaik-baiknya
manusia (khair al-nâs), adalah seseorang yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan
melarang dari kemungkaran. Predikat ini relevan dengan predikat sebagai al-
muflihûn (golongan orang yang beruntung) dalam QS. Âli Imrân [3]: 104.
Dalam ayat lainnya, Allah SWT pun menyifati umat Islam, sebagai umat[an]
wasath[an]:
ول َعلَ ْي ُك ْم شَ هِي ًدا ِ َوكَ َذلِ َك َج َعلْ َناكُ ْم أُ َّم ًة َو َسطًا لِتَكُونُوا شُ َه َدا َء َع َل ال َّن
ُ اس َويَكُو َن ال َّر ُس
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Menafsirkan ayat yang agung ini, dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata: Rasulullah
al-‘Arabi, cet. I, 1404 H, juz I, hlm. 96; Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Nafâ’is al-Ushûl fî Syarh al-Mahshûl, Ed: Adil
Ahmad, Riyadh: Maktabat Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1416 H, juz III, hlm. 989.
135 Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, hlm. 22-23.
136 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 32.
137 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 6917); Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2961), Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan
shahîh.”; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11301), Syaikh Syu'aib al-Arna'uth mengomentari: “Hadits ini shahih menurut syarat
Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).”
138 Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XII, 1424 H/2004, hlm. 7.
139 ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 177.
140 Hal ini diutarakan oleh Syaikh Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i dalam bukunya, Min Rawâi’i Hadhâratinâ.
Keistimewaan
Sistem Khilafah 45
hakim dalam pengadilannya, dan lain sebagainya dalam berbagai profesi dan
kondisi.141
Ketiga, Kemampuan Peradaban Islam membangun peradaban yang dinantikan,
dimana tiada yang bisa mengingkari realita bahwa Peradaban Islam menebarkan
kebaikan; menebarkan rahmat bagi umat manusia, menghiasi akhlak, menegakkan
keadilan dalam hukum, menciptakan keluhuran aspek spiritual, jauh di atas
Peradaban Barat dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Inilah di antara sebab dari sekian banyak sebab yang menjadikan kaum Muslim
sebagai satu-satunya umat yang berhak memegang tampuk bendera peradaban
untuk membangun kembali peradaban manusia,142 dimana itu semua bisa
ditegakkan dalam kehidupan bi nashriLlah, dengan tegaknya kekuasaan syar’iyyah,
al-Khilafah ’ala minhaj al-nubuwwah. []
141 Ini yang dinamakan majz al-mâdah bi al-rûh (penyatuan antara materi dengan aspek ruh).
142 Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, hlm. 22.
Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ﷺ
47
kekuasaan dan pemerintahan; dan ada pula yang diberi tugas menangani masalah-
masalah administratif. Di samping itu, Rasulullah saw juga menetapkan mekanisme
dan birokrasi tertentu yang menghubungkan antar perangkat negara, maupun
aparat negara dengan rakyat. Tidak hanya itu saja, Rasulullah ﷺjuga menyediakan
perangkat-perangkat keras maupun lunak untuk mendukung aktivitas mereka.
Singkatnya, Daulah Islam di masa Rasulullah ﷺmerupakan sebuah pemerintahan
yang memiliki bentuk maupun sistem yang berbeda dengan model pemerintahan
manapun.
Atas dasar itu, anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi ﷺtidak
menetapkan dan memformulasikan bentuk dan sistem pemerintahan tertentu
kepada kaum Muslim, sehingga para shahabat dan kaum Muslim boleh berijtihad
untuk menentukan bentuk dan sistem pemerintahan sendiri adalah anggapan yang
keliru dan salah. Sebab, Nabi Muhammad ﷺtelah menggariskan bentuk dan
sistem pemerintahan khas, yang kemudian diterapkan oleh para shahabat ra.
Bukti-bukti mengenai eksistensi Daulah Islamiyyah di masa Rasulullah ﷺ, asas,
struktur, dan mekanisme birokrasi pemerintahan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ﷺ
49
Rasulullah ﷺbersabda,
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku (tuntunanku), maka perbuatan itu
tertolak".
Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan daulah Islam, baik undang-undang
dasar maupun undang-undang yang lain, ditetapkan berdasarkan hukum syara'
yang digali dari aqidah Islam. Yakni, hukum yang bersumber dari al-Kitab dan al-
Sunnah.
Dengan aqidah Islam pula, Rasulullah ﷺberhasil mambangun daulah Islam di
Madinah al-Munawwarah. Atas dasar asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur,
pasukan, serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri, negara Islam.
Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ﷺ
51
diberikan kepada yang miskin. Jika mereka mentaatinya, maka ambillah dari mereka,
dan kehormatan hartanya pun akan dijaga".145
Dalam riwayat yang kedua, riwayat Muslim dan Bukhari dengan tambahan, "Berhati-
hatilah terhadap do'a orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka dengan Allah
tidak terdapat hijab (penghalang)."
Dalam keadaan tertentu Rasulullah ﷺmengirim utusan khusus untuk mengurusi
masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus 'Abdullah bin Rawahah kepada
orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.
Dalam kitab al-Muwatha' dinyatakan, "Bahwa Nabi ﷺpernah mengirim 'Abdullah
bin Rawahah untuk memungut (kharaj) darinya dan dari mereka. Dia kemudian
berkata, "Bila kalian mau, maka (harta itu) menjadi milik kalian.Dan bila kalian mau,
maka menjadi milikku. Mereka kemudian mengambilnya."146
Dari Salman bin Yasar menyatakan, "Mereka mengumpulkan perhiasan dari perhiasan-
perhiasan isteri mereka. Mereka berkata," Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah
(pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata. 'Abdullah bin
Rawahah kemudian menjawab. "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkanlah). Bagiku,
kalian adalah makhluk yang paling dimurkai Allah. Aku tidak akan membawanya dengan
harapan aku akan memperingan (pungutan) yang telah menjadi kewajiban kalian. Suap
yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan "suht" (barang haram). Dan sungguh
kami tidak akan memakannya. Mereka kemudian berkomentar, " Karena sikap semacam
inilah, maka langit dan bumi ini akan tetap tegak."147
Rasulullah ﷺjuga senantiasa mencari tahu tentang keadaan para wali dan amil
beliau. Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang
disampaikan kepada beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' bin al-Hadrami dari
jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abd al-Qais yang
mengadukannya kepada Nabi ﷺ. Ibnu Sa'ad mengatakan, "Kami telah diberitahu
oleh Muhammad bin 'Umar yang mengatakan, "Saya telah diberitahu ..dari Amru bin Auf,
wakil bani Amir bin Luayyi, bahwa Rasulullah ﷺtelah mengirim Ila' bin al-Hadhrami
ke Bahrain, kemudian memberhentikannya dari Bahrain. Lalu beliau mengirim Abban
bin Sa'id sebagai Amil di sana. Muhammad bin 'Umar mengatakan, "Rasulullah ﷺ
telah menulis surat kepada Ila' bin al-Hadhrami agar mengirimkan dua puluh orang
kepada beliau”. Maka ia pun mengirimkan dua puluh orang kepada beliau. Mereka
dipimpin oleh 'Abdullah bin Auf al-Asyaj. Kedudukan Ila' di Bahrain (ketika itu)
kemudian digantikan oleh Mundzir bin Saawi. Delegasi tersebut mengadukan Ila'
bin al-Hadhrami. Maka Rasulullah ﷺpun memberhentikannya, dan mengangkat
Abban bin Sa'id al-'Ash. Dan beliau bersabda kepadanya, "Mintalah nasehat kepada
Abd al-Qais, dan muliakanlah bangsawannya." Dan Nabi ﷺpun selalu memenuhi
kritik yang ditujukan kepada Amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan
pengeluaran mereka.”
Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ﷺ
53
Dan Nabi pun membenarkannya. Sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau
senantiasa memilih para qadli serta menentukan cara mereka mengambil keputusan.
Nabi ﷺjuga mengatur seluruh kepentingan masyarakat. Beliau mengangkat para
penulis untuk mengatur kepentingan tersebut. Mereka itu (para penulis) layaknya
seperti dirjen sebuah departemen. Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian,
apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta menulis perdamaian, apabila
beliau ﷺmelakukan perdamaian. Mu'aiqib bin Abi Fathimah mengurusi cincin
beliau (yang menjadi stempel negara). Mu'aiqib bin Abi Fathimah menjadi penulis
ghanimah (harta rampasan perang). Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan
dari tanah Hijaz. Zubeir bin Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu'bah
menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil bin
Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu
mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan meskipun yang
diurusi juga beragam kepentingannya.
Nabi ﷺsering bermusyawarah dengan para shahabat beliau. Beliau tidak pernah
lepas dari saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang
memiliki kecemerlangan dan kelebihan berfikir. Dimana mereka, memberikan
penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketaqwaan mereka dalam rangka
menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh dari kaum Anshar dan tujuh
lainnya dari kaum Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, 'Umar,
'Ali, Hasan, Husein, Ibnu Mas'ud, Salman, 'Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan
Bilal. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari 'Ali yang mengatakan, "Aku mendengar
Rasulullah ﷺbersabda, "Tak seorang Nabi pun sebelumku, kecuali diberi tujuh
pemimpin (kaum), pembantu yang mulia. Sedangkan aku telah diberi empat belas
pembantu, pemimpin yang mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin." Dalam
riwayat Imam Ahmad yang lain, dari jalur Ali , di sana disebutkan nama-namanya, "...
Hamzah, Ja'far, 'Ali, Hasan, Husein, Abu Bakar, 'Umar, Miqdad, 'Abdullah bin Mas'ud, Abu
Dzar, Hudzaifah, Salman, 'Ammar, dan Bilal". Beliau juga meminta pendapat kepada
yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah
dengan mereka lebih intens. Jadilah mereka layaknya majelis syura.
Nabi ﷺtelah menetapkan atas harta kaum Muslim serta yang lain, termasuk
atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10
di daerah perbatasan), fa'i (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya
tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Dimana anfal serta ghanimah tersebut
menjadi milik bait al-maal. Sedangkan distribusi zakat, diberikan hanya kepada
delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Quran. Dan sedikit pun tidak
akan diberikan kepada kelompok yang lain. Begitu pula dalam urusan negara, daulah
Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan
rakyat, mereka akan dipulay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah,
serta ghanimah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta
angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi
harta yang lain.
Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ﷺ
55
B a b 6
Kelangsungan Khilafah Islamiyyah
Dalam lintasan sejarah, eksistensi Daulah Khilafah telah terjaga selama 1342 tahun
lamanya. Dimulai pada Jum’at 12 Rabi’ al-Awwal 1 H [23/9/622 M], Rasulullah ﷺ
membangun Daulah Islamiyyah untuk pertama kali di Madinah. Pada tahun ke 11
setelah hijrah, Rasulullah ﷺberpulang ke haribaan Allah, tepatnya pada tanggal
12 Senin Rabi’ al-Awwal [6/6/632]. Posisi beliau sebagai kepala negara diganti
oleh Abu Bakar ra, setelah prosesi pembai'atan di Saqifah pada hari Selasa, 13 Rabi’
al-Awwal.148 Eksistensi Daulah Islamiyyah ini terus terjaga hingga tahun 1342 H.
Pada tahun 656-660 H, yakni sekitar 3,5 tahun lamanya, kaum Muslim pernah hidup
tanpa naungan Daulah Islamiyyah, akibat serangan dari bangsa Tartar. Akan tetapi,
kaum Muslim segera menegakkan kembali Daulah Islamiyyah, hingga bertahan
selama 672 tahun lamanya.
Tatkala Daulah Khilafah Islamiyyah hancur akibat makar dari negara Inggris melalui
anteknya, Kemal Ataturk, pada tahun 1342 H [1924]; sejak saat itu kaum Muslim
hidup tanpa naungan Daulah Khilafah Islamiyyah hingga sekarang.149
Harusnya kaum Muslim menyadari bahwa, keberadaan Khilafah Islamiyyah bagi
mereka ibarat jantung bagi tubuhnya. Dialah yang menggerakkan seluruh organ,
menyebarkan energi, oksigen, dan nutrisi ke seluruh tubuh. Bila jantung berhenti
berdetak, suplai energi, makanan, dan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu.
Tubuh akan layu, dan lama kelamaan akan binasa. Begitu pula keberadaan Daulah
Khilafah Islamiyyah bagi Islam dan kaum Muslim. Selama Daulah Khilafah Islamiyyah
tegak berdiri, kaum Muslim akan hidup penuh dengan tenaga dan dinamika. Sebab,
jantung mereka masing berdetak dan memompakan darah yang berisi nutrisi dan
oksigen ke seluruh tubuh. Namun, ketika Daulah Khilafah Islamiyyah diruntuhkan,
maka Islam dan kaum Muslim tidak lagi memperoleh perlindungan dan penjagaan.
Kehidupan Islam –yang hanya bisa terwujud dalam sistem Daulah Islamiyyah—pun
berakhir dan lenyap. Oleh karena itu, menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, tak
ubahnya menggerakkan kembali detak jantung dalam tubuh. Bila jantung kembali
berdetak, maka seluruh organ akan kembali bergerak dan hidup.
Hanya saja, kaum Muslim wajib memahami, bahwa kewajiban menegakkan
kembali Khilafah Islamiyyah bukan hanya tugas orang-orang tertentu, atau
kelompok-kelompok tertentu saja, akan tetapi ia adalah tugas seluruh kaum Muslim.
Seluruh kaum Muslim akan terus menanggung dosa tatkala ia berdiam diri dari
aturan-aturan kufur yang membelenggu mereka, serta mengabaikan upaya-upaya
memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dan sempurna, dengan jalan
menegakkan kembali Daulah Islamiyyah.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 57
dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan kebebasan
memilih. 153
Pemerintahan Islam tidak mengenal wilayat al-ahd (putra mahkota). Bahkan,
Islam menolak adanya putra mahkota. Islam telah menentukan cara memperoleh
kekuasaan dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh
kerelaan dan pilihan dari umatnya.154
159 Ibid, hlm.32. Bandingkan pula dengan Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta,
160 Ibid, hlm.32.
161 Ibid, hlm.32.
162 Ibid, hlm.32.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 59
masa jabatannya, walaupun baru sehari semalam. Dalam kondisi semacam ini
khalifah wajib diberhentikan.163
Fakta-fakta di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem pemerintahan
Islam berbeda sama sekali dengan sistem republik. Oleh karena itu, pendapat
yang menyatakan, bahwa Islam memperbolehkan mengadopsi sistem republik,
atau menyebut "Republik Islam", merupakan pendapat yang bertentangan secara
diametrikal dengan Islam.164
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 61
juga yang akan mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan
(hakim). Disamping itu negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan
yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.171
Tidak ada keraguan lagi, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem
khilafah. Ijma' shahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah, kesatuan negara
serta ketidakbolehan berbai'at selain kepada satu khalifah. Sistem ini disepakati
oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha', yakni apabila ada seorang khalifah
dibai'at, padahal sudah ada khalifah yang lain, atau sudah ada bai'at kepada
seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah
yang pertama terbai'at. Sebab, secara syar'iy, bai'at telah ditetapkan untuk orang
yang pertama kali dibai'at dengan bai'at yang sah.172
171 Ibid,hlm.35.
172 Ibid,hlm.35.
173 Ibid,hlm.34.
174 Ibid,hlm.34.
175 Ibid,hlm.34.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 63
C. Bukti-bukti Sejarah Keunggulan Sistem Khilafah
Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, umat Islam tetap menjadi umat tertinggi
dan mengalami kesejahteraan ketika mereka hidup di bawah naungan Khilafah
al-Islaamiyyah. Walaupun ada pasang surut, hanya saja, realitas keunggulan umat
Islam tatkala masih hidup di bawah Kekhilafahan Islam tidak bisa diingkari oleh
siapa pun. Benar, ada pula sejarah-sejarah hitam dalam Khilafah Islamiyyah, namun,
sejarah kelam itu tidaklah menghapus kenyataan bahwa Khilafah Islamiyyah
berhasil mengantarkan kaum Muslim menuju puncak keluhuran dan kesejahteraan.
Berikut ini akan kami paparkan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keunggulan
sistem dan peradaban Islam.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 65
• Gaji para pegawai Negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1275 gram
emas) atau setara 630.000.000 rupiah
• Masa al Hakim bin Amrillah, di Kairo, khilafah membangun 20.000 unit kios
untuk disewakan kepada para pedagang dengan harga yang murah.
• Negara juga membangun perumahan untuk rakyat dan bangunan-bangunan
besar yang dilengkapi dengan suply air, dengan menyediakan 50.000 ekor unta
untuk mendistribusikan air ke perumahan-perumahan rakyat.
• Khalifah Sultan Abdul Hamid (1900) berhasil membangun jaringan kereta api
Hijaz dari Damaskus ke Madinah dan dari Aqaba ke Maan.
• Pada masa beliau juga dibangun jaringan fax/telegraph antara Yaman, Hijaz
Syiria, Irak dan Turki; lalu jaringan tersebut dihubungkan dengan jaringan fax
India dan Iran, semua jaringan diselesaikan hanya dalam waktu 2 tahun
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 67
– Ali Ibn Yunus (Wafat 1009 M) mempersembahkan sebuah buku al Zij al Kabir
al Hakimi yang disalin ke Bahasa Persia sehingga Umar Khayan berhasil
menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dan akurat daripada
penanggalan Gregorian.
– Al Biruni (1048) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi, perhitungan
serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang sangat teliti.
• Ilmu Pasti / Matematika
– Al Khawarizmi menerbitkan bukunya yang termahsyur “Hisab al Jabar wa al-
Muqabalah” diterjemahkan ke Bahasa Latin dan menjadi rujukan/referensi
Barat .
– Al Battani (858-929 M) ahli dalam al jabar yang digunakan dalam ilmu ukur
sudut, menguraikan persamaan sin Q/cosQ dan menjabarkan lebih lanjut
formulasi cos a = cos b cos c + sin b sin c cos a pada sebuah segitiga.
– Abu al Wafa’ (940-998) pakar matematik yang mengungkapkan teori sinus
dalam kaitannya dengan segitiga bola, dan orang pertama menggunakan
istilah tangent, cotangent, secant dan cosecant dalam ilmu ukur sudut.
– Jabir ibn Aflah (wafat 1150 M) dikenal barat dengan Geber, orang pertama
yang menyusun formulasi cos B = cos b sin A, cos C = cos A cos B.
• Ilmu Fisika
– Al Kindi (abad IX M) pakar Fisika yang menguraikan hasil eksperimen tentang
cahaya, karyanya tentang fenomena optic diterjemahkan ke Bahasa Latin
yang memberikan pengaruh besar dalam proses pendidikan Roger Bacon.
– Ibnu Haytam (965-1039 M) di barat dikenal dengan alhazen, pakar dalam
bidang optic dan pencahayaan, 200 judul buku tentang optic dan pencahayaan
dinisbatkan kepada beliau. Teorinya lebih dulu ada 5 abad sebelum teori yang
sama dikeluarkan Torricelli. Beliau pula yang mulai melakukan eksperimen
tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton merumuskan teorinya tentang
gravitasi bumi.
– Badi’uz Zaman Ismail (al Jazari – awal abad XIII) membahas tentang mekanika
dituangkan dalam buku yang berjudul Kitab fii ma’rifah, diuraikan didalamnya
berbagai fenomena mekanika sederhana yang menjadi dasar bagi para
sarjana modern dalam menyusun ilmu mekanika modern.
• Ilmu Sejarah Alam
– Baghdad, Cairo, Cordova dll telah dibangun perkebunan (Botanical Garden)
tempat untuk melakukan eksperimen para intelektual muslim.
– Abu Zakaria Yahya (Abad XI M) Pakar pertanian, menulis buku tentang
pertanian berjudul Kitab al Falahah.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 69
zamannya (kurun abad XII s/d XIV M) dan menjadi referensi utama fakultas
kedokteran di berbagai perguruan tinggi Eropa.
– Ibn Zuhr (1162 M) spesialis Ilmu tulang dan mikrobiologi, dibarat dikenal
dengan avenzoar.
– Lisanuddin ibn al Khatib (1313-1374 M) Spesialisasi bidang epidemi dan
kesehatan lingkungan, menyusun kitab tentang penularan penyakit.
– Ibn Jazlah (110 M) di eropa dikenal dengan Ben Gesla, menyingkap tentang
periodesasi dan jadwal berbagai penyakit dengan memperhitungkan cuaca.
– Perhatian para khalifah dan kaum muslimin terhadap kesehatan direalisasikan
dengan pengadaan Dokter dan sarana kesehatan, pada saat yang bersamaan
di Eropa terdapat kepercayaan bahwa mandi itu dapat mengakibatkan
penyakit tertentu, dan menggunakan sabun sebagai alat pembersih sangat
berbahya bagi mereka.
• Para Ilmuwan di Masa Khalifah yang berpengaruh
– Al Khawarizmi orang pertama yang menyusun al Jabar.
– Jabir bin Hayan ahli Kimia yang terkenal.
– “Saya temukan” (Eureka..!) kata Al Biruni orang yang meletakkan sebuah teori
sederhana guna mengetahui volume dari lingkungan geologis.
– Khalifah al Makmun mendirikan observatorium untuk para astronomnya
Muhammad, Ahmad dan Hasan Bin Musa (Banu Musa asy Syakir).
– Avicena (Ibnu Sina 980 - 1037) dan Algazel (Al Ghazali 1053 – 1111) sudah
memikirkan hitung diferensial, 700 tahun sebelum orang Inggris Newton dan
orang Jerman Leibniz.
Inilah sekelumit bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keunggulan, ketinggian,
serta kemajuan umat Islam ketika masih hidup di bawah kekhilafahan Islam.
Adapun keunggulan sistem Islam secara paradigmatif-ideologis serta kemampuan
sistem Islam menjawab tren dan krisis dunia, dapat dijelaskan pada sub berikut ini.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 71
seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah yang
telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah
tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan
hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah yang pendapatan
daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka pemerintah pusat tidak
akan mempertimbangkannya. Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja
dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik
pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.179
Selain itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi,
dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas
penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil
maupun yang besar. Pemerintahan Islam juga tidak akan sekali-kali mentolerir
terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya sehingga wilayah-wilayah tersebut
tidak akan lepas begitu saja. Kepala negara Islam yang akan mengangkat para
panglima, wali, dan amil, para pejabat dan penanggungjawab dalam urusan harta
dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat orang yang bertugas menjadi
pejabat pemerintahan (hakim). Disamping itu negara yang akan mengurusi secara
langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh
negeri.180
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa Islam dengan sistem pemerintahannya yang
khas mampu menjawab tren global yang menginginkan suatu sistem universal
yang bisa saling menopang dan membantu. Islam dengan model kenegaraan dan
pemerintahan yang khas telah menyediakan ruang yang sangat luas bagi seluruh
bangsa yang ada di dunia untuk hidup bersama, saling menopang dan mendukung,
di bawah satu sistem dan kendali. Tidak ada lagi arogansi nasionalistik, maupun
keangkuhan kepentingan nasional. Yang ada hanya kepentingan bersama dan
kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi cost-cost protektif yang bisa menghambat
arus jasa dan barang. Seluruh umat manusia –selama ia hidup di bawah wilayah
Islam--- bebas melakukan usaha-usaha produktif tanpa harus dikenai bea cukai,
riba maupun pajak. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa membayangkan betapa
di dalam wilayah tersebut akan terjadi dinamika ekonomi yang paling tinggi181.
182 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islamiy, ed. I, 1990;hlm. 57-58
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 73
· Islam telah mendorong kaum muslim untuk bekerja dengan keras untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok dan pelengkapnya. Islam melarang
profesi meminta-minta, serta mengecam orang-orang yang tidak produktif dan
menggantungkan diri kepada orang lain.
· Islam melarang profesi-profesi haram, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat
spekulatif, misalnya judi, valas, dan sebagainya. Islam melarang pelacuran,
perampok, pencuri, dan lain sebagainya. Islam juga melarang kegiatan-kegiatan
penimbunan, penipuan harga, transaksi yang tidak jelas, riba, dan lain sebagainya.
· Dalam hal pengembangan harta, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan
yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan hartanya bebas dari
unsur mendzalimi, mencurangi, merugikan orang lain, serta terampasnya hak
orang lain. Islam telah menggariskan hukum-hukum mengenai syirkah, jual
beli, dan lain sebagainya, dimana di dalamnya bebas dari unsur spekulasi dan
ketidakjelasan. Dengan ketentuan ini, Islam telah menutup kemungkinan adanya
pihak yang mendzalimi dan terdzalimi.
· Dalam konteks distribusi, Islam telah mengatur ketentuan distribusi barang
dan jasa melalui mekanisme pasar bebas dan subsidi bagi yang tidak mampu;
dengan sebuah prinsip barang-barang itu harus beredar pada seluruh kaum
muslim. Semua orang dipersilahkan melakukan kegiatan ekonomi dalam
mekanisme pasar bebas sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Mekanisme
ini akan memberikan jalan bagi terdistribusinya barang dan jasa ke tengah-
tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan sejumlah aturan
agar mekanisme pasar bebas ini bisa berjalan dengan normal dan wajar. Sebab,
mekanisme pasar bebas yang berjalan normal akan menjamin terciptanya
distribusi, dan pertukaran (exchange) yang lebih berkualitas.
· Bagi orang-orang yang tidak mampu terjun atau melibatkan diri dalam pasar
bebas (karena cacat, idiot, dan lain-lain), atau mengalami kerugian dan kalah
bersaing hingga jatuh miskin, banyak hutang dan sebagainya, maka Islam
telah menetapkan metode distribusi lain, yakni dengan jalan zakat, subsidi
dan pemberian secara cuma-cuma oleh negara. Negara juga akan menyiapkan
tempat-tempat yang disediakan secara khusus bagi orang-orang yang kehabisan
bekal di jalan, atau tidak memiliki cukup uang untuk menginap di penginapan.
Di dalamnya disediakan aneka ragam makanan, dan fasilitas lain yang nyaman
dengan gratis.
· Islam juga menetapkan sanksi yang sangat keras terhadap tindakan-tindakan
yang bisa menghancurkan perekonomian negara, atau mengganggu stabilitas
ekonomi negara. Misalnya, permainan valas di lantai bursa yang ditujukan oleh
menghancurkan stabilitas ekonomi negara. Pelaku bisa dikenai hukum penjara
seumur hidup, bahkan bisa dihukum dengan hukuman mati.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 75
B a b 8
Bendera dan Panji Rasulullah sebagai
Simbol Khilafah Islamiyyah
Banyak hadits dan atsar telah menjelaskan warna bendera Nabi ﷺ, bentuk, dan
karakteristiknya. Di dalamnya juga dijelaskan warna, bentuk, dan karakteristik
panji-panji Rasulullah ﷺ.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, bendera kenegaraan Nabi ﷺdan para
khalifah setelah beliau berbentuk persegi empat, berwarna putih, dan di tengahnya
terdapat tulisan "La Ilaha Illa al-Allah, Muhammad al-Rasuul al-Allah". Inilah yang
disebut dengan al-liwa'. Sedangkan panji-panji pasukan beliau berwarna hitam, dan
bertuliskan kalimat tauhid dan syahadat Rasul; dan disebut dengan al-rayah.
Berikut ini akan dipaparkan hadits-hadits yang menuturkan tentang bentuk, warna,
dan tulisan yang terdapat di dalam bendera atau panji. Hadits-hadits ini telah
dikeluarkan oleh ‘ulama-‘ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 77
Dituturkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Buraidah
dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, "Rasulullah ﷺmemiliki panji yang berwarna
hitam". 193
Dari ‘Aisyah ra diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Liwaa’nya Rasulullah ﷺ
berwarna putih, sedangkan panji-panjinya berwarna hitam yang terbuat dari kain bulu
unta milik ‘Aisyah ra".194
Dari Jabir ra dituturkan bahwasanya ia berkata, "Panji Rasulullah ﷺ berwarna
hitam".195
Imam al-‘Iraqiy mencantumkan sebuah riwayat di dalam kitabnya, Tharh at-
Tatsriib Syarh at-Taqriib196, "Dari Yunus bin ‘Ubaidah, maula Muhammad al-Qasim, ia
berkata, Muhammad bin al-Qasim telah mengutusku untuk menanyakan tentang panji
Rasulullah ﷺkepada Bara’ bin ‘Azib. Beliau menjawab, ‘Panji Rasulullah berwarna
hitam, berbentuk persegi empat, terbuat dari kain wool".197
Dari Harits bin Hisaan diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Ketika aku sampai di
Madinah, aku melihat Rasulullah ﷺberdiri di atas mimbar, sedangkan Bilal berada
di sampingnya, menyandang sebilah pedang. Panjinya berwarna hitam. Aku bertanya,
‘Apa ini’. Para sahabat menjawab, ‘Ini adalah ‘Amru bin al-Ash yang baru pulang dari
medan perang".198
Imam al-Manawiy menyatakan dalam kitabnya Faidl al-Qadiir199, ‘Imam Tirmidziy
meriwayatkan di dalam al-‘Ilal dari Bara’ dari jalur lain dengan redaksi, "Panji
Rasulullah ﷺberwarna hitam, berbentuk persegi empat, dan terbuat dari kain wool".200
Aku menanyakan hal ini kepada Muhammad –yakni Imam Bukhari--, ia berkata,‘Hadits
ini adalah hadits hasan’. Imam Manawiy juga berkata, ‘Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Imam Thabarani dengan redaksi yang sama’.
193 Takhrijnya sudah dibahas.
194 Mushannif-nya Ibnu Abi Syaibah: VI/532, no.22603. Dan telah dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Asfahaniy dalam Akhlaq
an-Nabi saw wa Adabuhu: hlm.154, no.422, 428; lihat pula Syarh as-Sunnah-nya Imam al-Baghawi: X/404, no.2665. Imam
AbuYusuf dalam kitabnya al-Kharaj (hlm.192) mengatakan: ‘Bahwa rayahnya Nabi saw berwarna hitam’. Telah mengatakan
kepadaku Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Abi Bakar dari ‘Umrah, dari Aisyah ra, berkata: ‘Rayahnya Rasulullah saw
berwarna hitam dari kulit’, dan Aisyah dalam perjalanan yang jauh.
195 Thabarani mengeluarkannya dalam al-Mu’jam al-Kabir: II/186, no.1758. Orang yang mentahqiqnya mengatakan: Dalam
sanadnya terdapat Syarik an-Nakha’i. Nasa’i dan lainnya mentsiqahkannya, namun di dalamnya dla’if. Para perawi lainnya
tsiqah. Yang berkomentar seperti ini adalah al-‘Aini dan Ibnu Hajar. Lihat juga: Mu’jam al-Ausath: VIII/63, no.7969; Mu’jam
as-Shaghir: II/11, no.1049.; al-Gharaaibnya ad-Daruquthniy: 1816; Majmu az-Zawaid: V/321; lihat pula ‘Umdatul Qari: XII/47
yang dinisbahkan kepada Jabir ra.
196 VII/220.
197 Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (Fath ar-Rabbaniy): XIV/51, IV/297; Abu Daud dalam Sunannya: III/71, no.2591; Tirmidzi
dalam Jami’-nya: IV/196,no.1680, Ia berkata: ‘Haditsnya hasan gharib’. Al-Mundziri menisbahkannya kepada Ibnu Majah
padahal bukan dia, seakan-akan (dalam cetakannya) itu dia.; ‘Ilal al-Kabir (713) no. 297, berkata: ‘Muhammad ditanya –yakni
Bukhari- tentang hadits itu. Ia menjawab: ‘Haditsnya hasan’. Dikeluarkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah:
X/403, no.2663; Abu Syaikh dalam Akhlaq an-Nabi saw wa Adabuhu,hlm.155, no.425; Baihaqi dalam Sunan al-Kubra: VI/363;
Ibnu Asakir dalam Tarikh ad-Dimasyq: IV/222-223; lihat Misykatul Mashabih-nya at-Tibriziy: II/1140; Dikeluarkan pula oleh
Nasa’i dalam Sunan al-Kubranya: V/181, no.8606/1, hlmaman tentang rayah.
198 Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (Fath ar-Rabbaniy): XIV/50-51; Tirmidzi dalam Jami’-nya: IV/196, no.1680 tentang kitab al-
jihad, ia berkata: Dalam bab ini dari Ali dan Harits bin Hisaan; Ibnu Majah: II/941, no.2816; Abdurrazzaq dalam Mushannif-
nya: V/288, no.9641. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Harits bin Hayyan, berkata: ‘Aku masuk ke dalam masjid yang dipenuhi
banyak orang. Rayahnya berwarna hitam, aku lalu bertanya: ‘Apa yang dilakukan orang-orang hari ini?’ Mereka menjawab:
‘Itu adalah Rasulullah saw yang akan mengutus Amru bin Ash’. (Tarikh al-Kabir: II/260-261). Dikeluarkan juga oleh Abu Yusuf
dalam kitabnya al-Kharaj, hlm.192; an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra: V/181, no.8607/2; Baihaqi dalam Sunan al-Kubra:
VI/363; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannifnya: III/532.
199 V/171.
200 Dikeluarkan oleh Tirmidzi: IV/196. Ia berkata: Bab ini dari Ali dan Harits bin Hisaan dan Ibnu Abbas.
201 Sunan an-Nasa’i al-Kubra: V/181 tentang orang buta yang membawa rayah, no. 8605/1: at-Talkhish al-Hubair li Ibni Hajar:
IX/98. Berkata: Ibnu Qaththan berkata haditsnya shahih. Berkata al-Khathabiy dalam Ma’alim as-Sunan, haditsnya hasan:
III/406; ‘Aunul Ma’bud-nya Abadi: VII/255. Ia berkata: Haditsnya hasan.
202 As-Sair al-Kabir-nya Imam Syaibani: I/71.
203 Ibid: I/71.
204 Thabaqat Ibnu Sa’ad: I/455.
205 Tharh at-Tatsrib Syarh at-Taqrib: VII/220; Takhrij Dalalat as-Sam’iyah hlm.364.
206 Mukhtashar dalam Sirah Sayid Basyar: I/39.
207 VI/127.
208 Sirah an-Nabawiyah: III/374; Imam al-Iraqiy juga berkata hlm yang sama dalam Tharhat-Tatsrib Syarh at-Taqrib: VII/221.
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 79
(3) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Ibnu Abbas ra. diperselisihkan,
dan saya -atas dasar pengetahuan yang sedikit ini- memilih pendapat yang
mengatakan shahih.
Jadi dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam
Akhlaq al-Nabi ﷺdari Ibnu Abbas statusnya shahih. Jalur Ibnu Abbas ini, semua
rawinya dapat diterima, sebagai berikut:
– قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا: أحمد بن زنجوية بن مىس
– قال ابن معني ثقة وقال الذهبي ثقة: محمد بن أيب الرسي العسقالين
– قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان يف “الثقات” وقال ابن: عباس بن طالب البرصي
حجر برصي صدوق
– قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان يف “الثقات” وقال: حيان بن عبيد الله بن حيان
أبو بكر البزار ليس به باس
– تابعي ثقة:أبو مجلز الحق بن حميد
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah.
Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi
Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu
Bakar al-Bazar mengatakan masyhur dan “laisa bihi ba’sa”. Tafarrud-nya Hayyan bin
Ubaidillah tidak me-madharat-kan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq
(lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin
Ubaidillah ( )حيانdan Haban bin Yassar ( )حبانsudah dijelaskan oleh para ulama,
semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal,
dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa
dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur
Ibnu Abbas selamat.
Terlebih lagi lafazh “ ”ال إله إال الله محمد رسول اللهmerupakan ‘alamah atau ciri khusus
dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi?
Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan
kalimat Allah Azza Wa Jalla.
D. Warna
Terkait warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna rayah adalah hitam
dan liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain
seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang
sifatnya sementara.
َح َّدث َ َنا ُع ْق َب ُة بْ ُن ُم ْك َر ٍم َح َّدث َ َنا َسلْ ُم بْ ُن قُتَ ْي َب َة الشَّ ِعري ُِّى َع ْن شُ ْع َب َة َع ْن ِس َم ٍك َع ْن َر ُجلٍ ِم ْن
َص ْف َرا َء-صىل الله عليه وسلم- قَ ْو ِم ِه َع ْن آ َخ َر ِم ْن ُه ْم ق ََال َرأَيْ ُت َرايَ َة َر ُسو ِل اللَّ ِه.
Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnad-nya majhul.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan Abu Nu’aim al-
Ashbahani,
« أن رسول الله صىل الله عليه وسلم عقد رايات األنصار، عن جدته مزيدة العرصية
» وجعلهن صفراء
Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan
tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat Thabarani menyebutkan bahwa warna rayah
Nabi adalah merah,
أَ َّن ال َّنب َِّي َص َّل اللَّ ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع َق َد َرايَ ًة لِ َب ِني ُسلَ ْي ٍم َح ْم َرا َء.
Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu
Hajar.
Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga
menyebutkan rayah berwarna merah dan statusnya shahih, kasusnya sementara
di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan rayah
warna hitam,
، إذا أدرك طعن بها، يف يده راية سوداء، عىل جمل أحمر، وكان أمام هوازن رجل ضخم
، فرصد له عيل بن أيب طالب رضوان الله عليه، دفعها من خلفه، وإذا فاته يشء بني يديه
ورجل من األنصار كالهام يريده
Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 81
F. Tulisan dan Khat
Terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam
sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau
persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait
rayah dan liwa’.
Sependek pengetahuan saya, saya belum menemukan khabar tentang kepastian
khat dan bentuk. Seperti halnya ketika ada dalil umum yang tidak dijelaskan
washilah-nya, maka berarti washilah tersebut mubah. Jadi ini bukan isu utama. Jadi
persoalannya sederhana, tidak malah menjadi rumit pada perkara yang memang
mubah. Adapun yang paling penting bahwa rayah (hitam) dan liwa’ (putih) dengan
tulisan ال إله إال الله محمد رسول اللهadalah perkara yang masyru’.
G. Penamaan
Adapun penamaan al-rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits
sebagai berikut:
Hadits riwayat Baihaqi,
« كان لواء رسول الله صىل الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته: قالت، عن عائشة
وكانت الراية تسمى العقاب، قطعة مرط مرجل، سوداء
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah,
عن الحسن قال كانت راية النبي صىل الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
عن أيب هريرة كانت راية رسول الله صىل الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if
karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang
kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan
para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi
Muhammad ﷺ.
Semua hal tadi menunjukkan kehujjahan dalil liwa’ dan rayah sebagai bendera dan
panji Rasulullah ;ﷺliwa’ berwarna putih, rayah berwarna hitam dan tulisan laa
illaha illa Allah di atasnya adalah perkara yang masyru’. Wallahu a’lam. []