Anda di halaman 1dari 84

‫الكاف ملن سأل عن خصائص نظام الحكم اإلسالمي‬

ِ ‫الجواب‬

KONSEP KETATANEGARAAN ISLAM


(AL-KHILAFAH AL-ISLAMIYYAH)

Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah


Penyusun
Tim Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat:
Yuana Ryan Tresna, Irfan Abu Naveed, Dodiman Ali, Furqonuddin Nugraha,
Abdulbarr bin Ahmad, Saif M. Al-Amrin, Robi Pamungkas, Afa Silmi Hakim

Penata Letak
Abu Aria

Diterbitkan oleh:
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat, Pusat Kajian Pemikiran Islam dan Kitab Turats

Cetakan Pertama, Desember 2017


KONSEP KETATANEGARAAN ISLAM (AL-KHILAFAH AL-ISLAMIYYAH)
Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pengantar Penyusun
‫إن الحمد لله نحمده ونستعينه من يهده الله فال مضل له ومن يضلل فال هادي له وأشهد‬
‫ والصالة والسالم عىل‬،‫أن ال إله إال الله وحده ال رشيك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله‬
‫رسول الله وعىل آله وأصحابه أجمعني وبعد‬
Diskursus topik “sistem pemerintahan dalam Islam” pada tahun-tahun belakangan
ini, semakin mengemuka dan mendapatkan tempat yang layak di tengah-tengah
lingkungan akademisi. Terlepas dari stigma negatif kaum liberal atas isu khilafah,
kita pun menemukan sisi lain bahwa fenomena ini justru semakin mengokohkan
laju dakwah dalam tahapan al-tafâ’ul ma’a al-ummah1, yakni tahapan ketika para
pengemban dakwah berinteraksi dengan umat dengan berbagai strata sosial dan
latar belakang keilmuannya, memahamkan mereka terhadap Islam sebagai ideologi
kehidupan, membangkitkan umat dari tidurnya yang panjang.
Diskusi-diskusi ini pada akhirnya semakin menguatkan opini dakwah, dengan
tersebarnya berbagai ulasan ilmiah para pengemban dakwah yang memanfaatkan
berbagai bentuk media dakwah, wa biLlahi al-taufiq. Ibarat diberikan podiom untuk
orasi, atau ibarat show up dalam sebuah laga tanding di atas arena.
Maka sebagai bentuk dukungan dan penguatan atas opini ini, penyusun tergerak
menyajikan kajian yang mengupas “Keistimewaan Sistem Pemerintahan Islam”,
dimana di dalamnya diulas secara mendalam poin-poin mendasar dan prinsipil
yang membuktikan kekhasan dan keunggulan sistem pemerintahan dalam Islam
(baca: baku), didasarkan pada petunjuk nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan
persepektif tafsir dan balaghah (khususnya ma’ani dan bayan) para ulama mu’tabar
salaf[an] wa khalaf[an], yang tak samar hakikatnya bagi mereka yang meniti jalan
para ulama, dan mengambil faidah ilmu mereka.
Penyusun berdo’a, semoga kontribusi sederhana ini menjadi pemberat timbangan
amal kebaikan yang dipersembahkan semata-mata demi meraih keridhaan Allah,
bermanfaat bagi penyusun dan kaum Muslim pada umumnya, nafa’anaLlahu biha.
1 Tahapan sebelum masuk pada babak final, istilaam al-hukm, yakni tahapan ketika menerima penyerahan mandat kekuasaan,
yang ditandai dengan tegaknya kekuasaan Islam.

4 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Latar Belakang Kajian
Semenjak zaman para nabi dan rasul ‫ﷺ‬, dakwah senantiasa berhadapan dengan
tantangan dan hambatan dari mereka yang terpedaya menjadi musuh kebenaran,
baik tantangan yang bersifat fisik misalnya penganiayaan fisik, persekusi,
pemboikotan, hingga upaya-upaya pembunuhan, maupun tantangan yang bersifat
verbal misalnya stigma negatif, fitnah, hasutan, dan lain sebagainya dari berbagai
bentuk kejahatan. Bahkan apa yang dialami para nabi dan rasul, merupakan seberat-
beratnya tantangan dan hambatan.
Syaikh Hamd Fahmi Thabib dalam salah satu Risâlah-nya menggambarkan, “Para
Nabi dan Rasul telah menghadapi berbagai tantangan yang enggan dipikul oleh
gunung-gunung yang kokoh sekali pun. Hal itu terjadi di tengah upaya para Nabi dan
Rasul menghadapi realita yang rusak, dengan menggunakan pemikiran yang kuat dan
tertunjuki. Dan di antara para Nabi dan Rasul itu yang paling besar tantangannya
adalah utusan untuk umat ini yaitu Muhammad ‫ﷺ‬.” 2
Adanya potensi tantangan dan hambatan di jalan dakwah ini, sebagaimana informasi
adanya permusuhan Iblis dan sekutunya -syaithan golongan jin dan manusia-, yang
Allah informasikan dalam firman-Nya yang agung:

ِ ُ‫الن ِْس َوالْ ِج ِّن ي‬


‫وحي بَ ْعضُ ُه ْم إِ َ ٰل بَ ْع ٍض ُز ْخ ُر َف الْ َق ْو ِل‬ ِ ْ ‫َوكَ َٰذلِ َك َج َعلْ َنا لِك ُِّل نَب ٍِّي َع ُد ًّوا شَ َي ِاط َني‬
‫ُغ ُرو ًرا‬
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-
An’âm [6]: 112)
Dalam ayat yang agung ini, Allah menegaskan keberadaan musuh para nabi dari
golongan jin dan manusia, diungkapkan dengan redaksi kata kerja lampau “‫ج َعلْ َنا‬
َ”
(Kami telah menjadikan), namun tak berhenti pada para nabi semata, bertolak
dari pemahaman bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, maka musuh para
nabi adalah musuh para pewarisnya, para ulama, serta musuh umat yang meniti
jalan mereka. Adanya permusuhan tersebut, didukung informasi-informasi dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah, menyoal permusuhan syaithan terhadap manusia, di
antaranya: QS. Al-Baqarah [2]: 168 & 208, QS. Al-An’âm [6]: 142, QS. Al-Kahfi [18]:
50, QS. Fâthir [35]: 6, QS. Yâsîn [36]: 60, QS. Al-Zukhruf [43]: 62.
Hal ini sejalan dengan bukti di medan kehidupan, ketika kaum Muslim dihadapkan
pada upaya-upaya mereka yang terpedaya, yang menyesatkan kaum Muslim dari
ajaran Islam, dimana mereka mengemas kesesatan tersebut dalam wujud rupa
kebaikan sehingga menjadi tipu daya yang melenakan.

2 Hamd Fahmi Thabib, Al-Khilâfah al-Râsyidah al-Mau’ûdah wa al-Tadhhiyât, _________

Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah 5
Itu semua, bagian dari visi misi Iblis, didukung bala tentaranya, syaithan golongan
jin dan manusia, yang berjanji menghiasi keburukan dengan wajah kebaikan dan
menyesatkan manusia dari jalan kebenaran:

‫ق ََال َر ِّب بِ َا أَ ْغ َويْتَ ِني َلُ َزيِّ َن َّن لَ ُه ْم ِف ْالَ ْر ِض َو َلُ ْغ ِويَ َّن ُه ْم أَ ْج َم ِع َني‬
“Iblis berkata: “Ya Rabb-ku, demi sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan buruk) di muka bumi,
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 39)
Allah menginformasikan dalam ayat ini, bahwa Iblis mengungkapkan berbagai
pernyataan visi misi jahatnya dengan kata-kata yang diperkuat, yakni diawali
dengan qasam (sumpah), lâm sebagai penanda jawab al-qasam, dan nûn al-taukîd al-
tsaqîlah, dalam kata lauzayyinanna dan laughwiyanna. Fungsi penegasan-penegasan
ini memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan, dalam ilmu balaghah dua
bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas kebenaran
informasi di dalamnya (ia dinamakan al-khabar al-inkâri,3 atau meminjam istilah
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri).
Frase lauzayyinanna yang diawali dengan penegasan-penegasan tersebut,
bermakna menampakkan keburukan dengan wajah kebaikan, karena kata kerja (‫) َزيَّ َن‬,
sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), bermakna jika
menampakkan kebaikannya, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan4, jika
keburukan maka kebaikan yang ditampakkan tersebut merupakan kedustaan yang
bisa mengelabui mereka yang lalai. Dan ketika kedustaan tersebut diyakini, maka
jadilah ia khurafat yang berbahaya yang bisa menjerumuskan seseorang kepada
kekufuran, kesyirikan, padahal tidak ada kezhaliman yang lebih besar daripada
kesyirikan (lihat: QS. Luqmân [31]: 13). Diperkuat informasi dalam ayat-ayat lainnya
(QS. Al-A’râf [7]: 16-17).
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) pun dalam Talbîs Iblîs memperingatkan:
Maka wajib bagi orang yang berakal untuk mawas diri terhadap musuh yang satu ini
(Iblis, syaithan-pen.) yang telah menyatakan permusuhannya semenjak masa Adam a.s.
dan ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap waktunya, jiwanya untuk merusak
Bani Adam dan Allah telah memperingatkan kita darinya.5
Informasi dalam ayat-ayat di atas, menelanjangi visi misi yang diperjuangkan Iblis
menggunakan berbagai cara tanpa kenal lelah.6 Disokong oleh sekutunya dari
golongan manusia, yakni kaum Kafir, serta kaum Munafik yang menjadi musuh
dalam selimut, menggunting dalam lipatan, sekali menggunting menceraiberaikan
3 Dr. Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, cet. II, 1425
H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa
al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H, hlm. 161.
4 Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ed: Shafwan Adnan,
Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 389.
5 Abdurrahman Ibn Al-Jauzi, Talbîs Iblîs, Dâr al-Wathan, jilid I, hlm. 203-204.
6 Diinformasikan dalam al-Qur’an, dengan jelas iblis mengungkapkan berbagai pernyataannya dengan kata-kata yang
diperkuat (qasam (sumpah), lam dan nûn al-taukîd al-tsaqîlah), dalam ungkapan-ungkapan: (،‫ني‬ ّ ‫ الت‬،ّ‫ ألقعدن‬،ّ‫ المرن‬،‫ ألمن ّني‬،ّ‫ ألضلن‬،ّ‫ألتخذن‬
‫ ألغوي ّن‬،ّ‫)ألزينن‬

6 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
kesatuan. Sehingga bahayanya pun diperingatkan oleh yang mulia Rasulullah ‫ﷺ‬
dan para sahabatnya.
Dari Abu ’Utsman al-Hindi ia berkata: “Aku duduk di bawah mimbar ’Umar bin al-
Khaththab r.a. dan ia sedang berkhuthbah mengatakan: “Aku telah mendengar
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

« ِ‫اف َع َل أُ َّم ِتي ك ُُّل ُم َنا ِفقٍ َعلِ ِيم الل َِّسان‬
ُ ‫»إ َّن أَ ْخ َو َف َما أَ َخ‬
“Sesungguhnya yang paling dikhawatirkan dari apa-apa yang aku khawatirkan atas
umatku adalah setiap orang munafik yang pandai bersilat lidah.” (HR. Ahmad, al-Bazzar,
Ibn Baththah, dan Dhiya’uddin al-Maqdisi)7
Makna hadits ini, diperjelas atsar Umar bin al-Khaththab r.a., yang mengabarkan
ancaman kaum munafik yang berpotensi menghancurkan umat ini (HR. Abu Ya’la
al-Moushuli).8 Dimana mereka menyesatkan umat di zaman ini, dengan mengemas
pemikiran kufur Barat dengan kamuflase islami, meracuni kaum Muslim dengan
racun mematikan, bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan
cepat merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau kelumpuhannya,
hilanglah kemuliaannya, sirnalah kekuatannya, Allah al-Musta’ân. Padahal, Allah
SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya:

‫ول ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّ َ لَ ُه الْ ُه َد ٰى َويَتَّ ِب ْع غ ْ ََي َسبِيلِ الْ ُم ْؤ ِم ِن َني نُ َولِّ ِه َما تَ َو َّ ٰل‬َ ‫َو َم ْن يُشَ ا ِققِ ال َّر ُس‬
‫َون ُْصلِ ِه َج َه َّن َم صىل ‏ َو َسا َءتْ َم ِص ًريا‬
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk,
dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan
kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.)
kemudian Kami seret ke dalam jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) pun memperingatkan, bahwa
tsaqafah asing (barat) memiliki pengaruh yang besar dalam menyebarkan kekufuran
dan imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih kebangkitan, kegagalan
gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan sosial maupun politik,
karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran manusia,
yang berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.9 Bahkan penjajah tak sekedar
menggunakan tsaqafah, mereka pun meracuni kaum Muslim dengan beragam
pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak pandangan
hidup kaum Muslim. Dengan itu mereka merusak suasana Islami yang ada, serta
mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala lini kehidupan. Dengan itu
semua, hilang benteng pertahanan kaum Muslim yang alami.10
7 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 310), Syu’aib al-Arna’uth, Ahmad Muhammad Syakir dkk mengomentari: “Sanadnya kuat/
shahih.”; Ibn Baththah al-‘Akbari dalam al-Ibânah al-Kubrâ’ (no. 941); Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 305); Diriwayatkan
pula oleh Dhiya’uddin al-Maqdisi (w. 643 H) dalam al-Ahâdîts al-Mukhtârah (no. 235) dengan sanad hasan.
8 HR. Abu Ya’la al-Moushuli dalam Musnad-nya (no. 334)
9 Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbi, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. IV, 1422 H/ 2001, hlm. 5
10 Ibid, hlm. 6.

Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah 7
Salah satu syubhat tersebut berkaitan dengan topik ”sistem pemerintahan dalam
Islam”, yang disebarkan segelintir oknum bertitel setidaknya pada poin-poin berikut
ini:
1. Kritik atas dalil-dalil wajibnya menegakkan khilafah
2. Kritik atas konsep baku sistem pemerintahan dalam Islam “khilafah”.
Padahal jika dikaji secara mendalam, kritik-kritik mereka tak dilandasi hujjah
argumentatif. Maka berangkat dari tanggung jawab al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an
al-munkar, penyusun tergerak menyusun makalah singkat padat ini. Makalah yang
mengulas satu topik yang sebenarnya telah mapan diuraikan para ulama salaf[an]
wa khalaf[an], berdasarkan kajian mendalam mereka terhadap taujih qur’ani dan
nabawi menyoal Kepemimpinan Dalam Islam, hal yang sesungguhnya tak samar bagi
mereka yang menyadari kadar dirinya, dan bersedia menyandarkan pembahasan
agung ini kepada para ahlinya.
Topik ini sebenarnya tak mudah diringkas dalam sajian instan, namun kebutuhan
terhadapnya menjadi hal yang mendesak, ditengah gencarnya syubhat mereka
yang pandai bersilat lidah namun tersesat. Syubhat tersebut sumbang didengung-
dengungkan di media sosial, dengan menyodorkan pengingkaran bernada
pertanyaan (untuk menimbulkan syakk (tasykik) dalam benak umat, ”Adakah sistem
baku pemerintahan dalam Islam?” Pertanyaan yang seharusnya sudah tuntas, tak lagi
dipertanyakan terlebih tidak bagi mereka yang mempromosikan dirinya sebagai
seorang cendekiawan muslim, mengingat kejelasan topik ini dalam khazanah
pemikiran Islam (turats), baik dari sudut pandang historis maupun ideologis.

8 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 1
Kesempurnaan Din Islam
A. Kesempurnaan Ajaran Islam
Islam merupakan Din11 yang Allah turunkan mengatur segala aspek kehidupan
manusia, dengan seperangkat aturan yang agung dan paripurna, mencakup perkara
akidah maupun hukum syari’ah, dari mulai persoalan pribadi, hingga persoalan
kompleks tata kelola kehidupan bernegara.
Islam, sebagaimana ditunjuki nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah, diuraikan secara
mapan oleh para ulama, salah satunya Al-’Allamah al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani
(w. 1396 H) dalam Nizhâm al-Islâm:

‫ بتنظيم عالقة‬-‫صىل الله عليه وسلم‬- ‫اإلسالم هو الدين الذي أنزله الله عىل سيدنا محمد‬
‫ وعالقة اإلنسان بخالقه تشمل العقائد‬.‫ وبغريه من بني اإلنسان‬،‫ وبنفسه‬،‫اإلنسان بخالقه‬
‫ وعالقته بغريه من بني‬،‫ وعالقته بنفسه تشمل األخالق واملطعومات وامللبوسات‬،‫والعبادات‬
‫ فاإلسالم مبدأ لشؤون الحياة جمي ًعا‬.‫اإلنسان تشمل املعامالت والعقوبات‬.
Islam adalah din yang Allah turunkan kepada Sayyidina Muhammad ‫ﷺ‬, untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Pencipta-Nya, dirinya sendiri dan sesama
manusia. Hubungan manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadahan-
peribadahan; hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan
dan pakaian; hubungan manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan
hukum-hukum persanksian. Maka Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek
kehidupan.12
Ruang lingkup Din Islam dalam pengertian yang diuraikan oleh al-'Allamah
Taqiyuddin al-Nabhani:
Pertama, Mengatur hubungan manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan
peribadahan-peribadahan;
Kedua, Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak,
makanan dan pakaian;
Ketiga, Mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah,
dan hukum-hukum persanksian.
Inti penjelasan senada dipaparkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w.
1435 H), bahwa Islam adalah Din yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬mencakup akidah, syari’ah dan akhlak.13 Hal ini menunjukkan bahwa Allah
11 Istilah din (‎‫ ِديْن‬‎) jamaknya adyân (‎‫أديان‬‎) secara bahasa berkonotasi al-jazâ’ ‎‎(ganjaran) seperti perkataan “‎‫دا َن الل ُه ال ِعبا َد يَدينهم يو َم‬
‫القيامة‬‎”(Allah mengganjar ‎mereka), berkonotasi pula al-thâ’ah (keta’atan) sehingga dikatakan “‎ٍ‫دانوا لفالن‬‎” ‎‎(mereka mena’ati fulan).
12 Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dar al-Ummah, 1953, hlm. 34.
13 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, juz I, hlm. 68.

Kesempurnaan
Din Islam 9
Swt menciptakan manusia, berikut seperangkat petunjuk, pedoman lengkap nan
paripurna sebagai bekal mengarungi medan kehidupan.
Batasan Din Islam di atas, digali berdasarkan nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah.14
Batasan Islam sebagai “agama yang diturunkan oleh Allah” telah memproteksi
pengertian tersebut dari agama yang tidak diturunkan oleh Allah. Ini mencakup
agama apa pun yang tidak diturunkan oleh Allah, baik Hindu, Budha, Konghucu,
Sintoisme, Zoroaster, Majusi, dan lainnya. Mengenai batasan “yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya”
merupakan deskripsi yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan,
mencakup perkara akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan
lain sebagainya.
Kesempurnaan Din Islam ini ditunjukkan oleh nas-nas syara’, di antaranya:

ِ ْ ‫إِ َّن ال ِّدي َن ِع ْن َد اللَّ ِه‬


‫ال ْس َل ُم‬
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imrân [3]:
19)
Ayat ini menjelaskan kedudukan Islam sebagai agama samawi yang diturunkan oleh
Allah kepada manusia. Namun ketika Allah menjelaskan “sesungguhnya agama di
sisi Allah hanyalah Islam” berarti bahwa agama lain tidak sah dan tidak diakui-Nya.
Pengertian ini dikuatkan oleh firman Allah Swt:

‫ال ْس َل َم ِدي ًنا‬ ُ ‫الْ َي ْو َم أَكْ َمل ُْت لَ ُك ْم ِدي َن ُك ْم َوأَتْ َ ْم ُت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َم ِتي َو َر ِض‬
ِ ْ ‫يت لَ ُك ُم‬
“Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan
untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama kamu.” (QS. Al-Mâidah
[5]: 3).
Al-‘Allamah al-Syanqithi (w. 1339 H) ketika menjelaskan ayat ini mengatakan:

‫ وال يحتاج إىل‬،‫وقد رصح الله تعاىل يف هذه االية الكرمية أنه أكمل لنا ديننا فال ينقصه أب ًدا‬
‫ عليهم صلوات الله وسالمه جمي ًعا‬،‫زيادة أب ًدا؛ ولذلك ختم األنبياء بنبينا‬
Sungguh Allah telah menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah
menyempurnakan bagi kita agama kita, agama ini tidak kurang dan tidak membutuhkan
tambahan selama-lamanya; dan oleh karena itu para Nabi ditutup oleh Nabi kita (Nabi
Muhammad ‫ )ﷺ‬semoga Allah melimpahkan shalawat serta salam kepada mereka
semuanya.15
Ayat ini menjelaskan, bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang diridhai oleh
Allah Swt, sementara yang lain tidak. Ini bisa dipahami dari mafhûm mukhâlafah

14 Definisi itu sendiri merupakan deskripsi realitas yang bersifat jâmi’ (komprehensif) dan mâni’ (protektif). Artinya, definisi
itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang
dideskripsikan masuk ke dalam lingkup definisi.
15 Muhammad Al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithi. Al-Islam Diin Kaamil, hlm. 3.

10 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
lafal: “Aku ridhai” yang merupakan kata kerja sifat: “Aku ridhai Islam sebagai agama
kamu” yang berarti pula: “Aku tidak meridhai selain Islam sebagai agama kamu.”
Mafhûm ini diperkuat oleh nas berikut ini:

ِ ِ ‫ال ْس َل ِم ِدي ًنا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْن ُه َو ُه َو ِف ْال ِخ َر ِة ِم َن الْ َخ‬


‫اسي َن‬ ِ ْ ‫َو َم ْن يَبْتَغِ غ ْ ََي‬
“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan diterima
(agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali
Imrân [3]: 85).
Dalam ayat ini, terdapat kecaman keras bagi siapa saja yang mencari selain ajaran
Islam sebagai panduan hidupnya. Ungkapan “selain Islam” yang dimaksud dalam
ayat ini umum, ditunjukkan oleh lafal din[an] dalam bentuk lafal nakirah yang
berfaidah ta’mîm, mencakup seluruh ajaran yang bertentangan dengan Islam, apakah
berupa agama kufur seperti: Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu dan lain sebagainya,
juga ideologi kufur seperti Komunisme dan Kapitalisme, termasuk ajaran-ajaran
kufur Barat seperti Liberalisme, Sekularisme dan Demokrasi. Menafsirkan ayat ini,
al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menegaskan yakni, "Siapa saja yang mencari
ajaran selain Din Islam untuk dilaksanakan, maka Allah tidak akan menerimanya.”
Keumuman cakupan ini relevan dengan prinsip bahwa Islam merupakan ajaran yang
lengkap dan sempurna, tak membutuhkan tambahan dan pengganti. Kesempurnaan
dan kelengkapan Din Islam ini pun, sejalan dengan prinsip bahwa Allah Swt telah
menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia sebagaimana firman-Nya:

َ ْ ُ‫ش ٍء َو ُه ًدى َو َر ْح َم ًة َوب‬


‫ش ٰى لِلْ ُم ْسلِ ِم َني‬ ْ َ ‫اب تِ ْب َيانًا لِك ُِّل‬
َ َ‫َونَ َّزلْ َنا َعلَ ْي َك الْ ِكت‬
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala
sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Makna frase (‫ )تبيانًا لكل يشء‬adalah “sebagai penjelasan atas apa-apa yang dibutuhkan
oleh umat”; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-
dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H)16, Imam
al-Tsa’labi17, Imam Abu Bakr al-Jazairi18 dan para ulama lainnya dalam kitab-kitab
tafsir al-Qur’an. Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan bahwa kedudukan al-Qur’an
sebagai hud[an] yakni petunjuk dari segala kesesatan, dan rahmat[an] yakni rahmat
khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkannya bagi diri sendiri
dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.19
Seluruh penjelasan di atas, menunjukkan adanya konsep politik dalam Islam, yakni
konsep pengaturan Islam atas kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak dapat
dipisahkan, negara wajib menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan.
16 Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XVII, hlm. 278.
17 Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi,
Cet. I, 1422 H, jilid VI, hlm. 37
18 Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabîr, Madinah: Maktabah
al-‘Ulûm wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.
19 Ibid.

Kesempurnaan
Din Islam 11
B. Islam & Politik
Selama ini, kaum Muslim seringkali dihadapkan pada penyesatan kaum sekularis
liberalis, yang berupaya memarjinalkan peranan Islam dari pengaturan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara (politik). Bagaimana mendudukkan hakikat politik
dalam Islam? Poin ini yang harus dijawab oleh para ulama berdasarkan petunjuk
Islam dan uraikan khazanah ilmu para ulama. Dalam bahasa arab, istilah politik
dikenal dengan istilah siyâsah, dengan perincian penjelasan:

1. Pengertian Politik (Siyâsah) Secara Bahasa


Dalam bahasa arab, politik diwakili kata al-siyâsah. Dimana kata al-siyâsah berasal
dari kata kerja (‫ سياسة‬- ‫ يسوس‬- ‫)ساس‬, yakni mashdar dari kata kerja (‫ )ساس يسوس‬yang
berarti mengurusinya dan memeliharanya.20 Imam al-Azhari (w. 370 H) mengatakan
dikatakan ia mengurusinya dengan siyâsah (‫)ساسه سياسة‬, jika ia melakukan sebaik-
baiknya pengurusan atasnya (‫)إِذا أحسن الْقيام َعلَ ْي ِه‬.21
Kemudian diungkapkan untuk mempresentasikan aspek ri’âyah (pemeliharaan)
terhadap urusan masyarakat. Ibn Manzhur (w. 711 H) menyatakan:

‫الدواب إِذا‬
َّ ُ ‫السياس ُة القيا ُم عىل اليشء مبا يُ ْصلِحه والسياس ُة فعل السائس يقال هو يَ ُس‬
‫وس‬ ِّ
‫وس َر ِعيَّتَه‬
ُ ‫قام عليها وراضَ ها والوايل يَ ُس‬
Al-Siyâsah yang menegakkan hal yang memberikan kemaslahatan, dan al-siyâsah
merupakan pekerjaan dari al-sâ’is (fâ’il atau subjek, politisi), dan dikatakan yasûsu al-
dawâb jika ia menjaga dan mengurusinya.22
Ibn Ahmad al-Farahidi dalam Kitab al-’Ain pun menyatakan:

‫والراعي يرعاها رعاية إذا ساسها ورسحها‬


Seorang penggembala menggembalakan hewan peliharaannya, dengan suatu
pemeliharaan jika ia mengatur dan menatanya.23
Imam Burhanuddin al-Mutharrizi al-Hanafi (w. 610 H), pengarang kitab al-Mughrib
fî Tartîb al-Mu’rib, juga menegaskan hal yang sama:

‫وس ال َّر ِع َّي َة ِس َي َاس ًة‬


ُ ‫اب إذَا قَا َم َعلَ ْي َها َو َراضَ َها ( َو ِم ْن ُه ) الْ َو ِال يَ ُس‬ ُ ‫َويُق َُال ال َّر ُج ُل ( يَ ُس‬
َّ ‫وس ) ال َّد َو‬
‫أَ ْي يَ ِل أَ ْم َر ُه ْم‬
Dan dikatakan seseorang (mengatur) binatang gembalaan jika ia mengurus dan

20 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, juz I, hal. 252.
21 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdziib al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 2001, juz III, hlm. 56.
22 Muhammad bin Makrum Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, Ed: ’Abdullah ’Ali al-Kabir, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, juz III, hlm.
2149.
23 Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl,
juz II, hlm. 240.

12 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mengasuhnya (dan diantaranya) penguasa yasuusu ar-ra’iyyah siyâsatan jika ia
mengurusi urusan mereka.24
Dimana hal tersebut berkaitan dengan perintah dan larangan, sebagaimana
disebutkan dalam kamus al-Muhîth:

َ ‫وس ْس ُت ال َّر ِعيَّ َة ِس‬


‫ أم ْرتُها ونَ َهيْتُها‬:‫ياس ًة‬ ُ
Dan sustu al-ra’iyyata siyâsat[an]: yakni aku telah memerintah dan melarangnya.25
Kesimpulan dari penjelasan para pakar bahasa di atas, sebagaimana Dr. Samih ’Athif
al-Zain dalam buku Al-Siyâsah wa Al-Siyâsatu Al-Dawliyyah yang menjelaskan bahwa
pengertian politik (al-siyâsah) umumnya digunakan untuk menggambarkan aspek
ri’âyah (pemeliharaan), pembinaan serta pelatihan hewan tunggangan.26 Maka bisa
ditarik kesimpulan bahwa siyâsah identik ri’âyah.
Di sisi lain para nabi dan rasul terdahulu, begitu pula Rasulullah ‫ﷺ‬, masa-masa
awal kehidupan mereka dihiasi dengan profesi sebagai seorang penggembala,
sebagaimana ditunjukkan dalam catatan buku-buku sirah. Dari Abu Hurairah –
radhiyallâhu ’anhu-, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫» َما بَ َعثَ اللَّ ُه نَ ِب ًّيا إِ َّل َر َعى ال َغ َن َم‬


“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali ia pernah menggembala kambing.”
Lalu para sahabatnya bertanya, dan begitu pula dengan anda? Lalu Rasulullah ‫ﷺ‬
menjawab:

«‫ كُ ْن ُت أَ ْر َعا َها َع َل قَ َرارِي َط ِلَ ْهلِ َم َّك َة‬،‫»نَ َع ْم‬


“Ya, dahulu aku menggembalanya di Qarârîth penduduk Makkah.” (HR. Al-Bukhari27)
Imam Badruddin al-’Aini al-Hanafi (w. 855 H) menjelaskan makna qarârîth yakni
jamak dari qîrâth yakni bagian dari uang koin (dinar dan dirham), dan dikatakan
pula yakni nama sebuah tempat dekat penggembalaan kuda di Makkah,28 hal serupa
disebutkan Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’.
Menariknya, Imam Ibn Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa masa lalu mereka sebagai
penggembala, menjadi pengantar agar mereka mampu mengatur hamba-hamba-
Nya, dan sebagai pembelajaran dalam memahami berbagai kondisi penggembala,
dan hal-hal yang sudah semestinya dilakukan seorang penggembala29, Ibn Bathal
24 Abu al-Fath Burhanuddin al-Khawarizmi al-Mutharrizi, Al-Mughrib fii Tartiib Al-Mu’rib, Halb: Maktabah Usamah bin Zayd, cet.
I, 1979, juz I, hlm. 421.
25 Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fayruz Abadi, Al-Qâmuus al-Muhiith, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. VIII,
1426 H/2005, hlm. 551.
26 Dr Samih Athif Al-Zain, Al-Siyâsah wa Al-Siyâsah Al-Dawliyyah, hlm. 31.
27 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhari, Al-Jâmi’ al-Shahiih al-Mukhtashar, Ed: Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, Beirut:
Dâr Ibnu Katsiir, cet. III, 1407 H, 1987, juz II, hlm. 789, hadits no. 2143.
28 Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-’Aini, ’Umdat al-Qârii Syarh Shahiih al-Bukhârii, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabi, juz 16, hlm. 43.
29 Ibnu Bathal Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf, Syarh Shahiih al-Bukhârii, Ed: Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz VI, hlm. 386.

Kesempurnaan
Din Islam 13
pun mencontohkan misalnya pemilihan padang gembala bagi binatang ternaknya,
pemilihan padang gembala dan tempat minum baginya, bersikap lembut kepada
binatang yang lemah dan lain sebagainya, dan jika penggembala menunaikan hal-
hal tersebut maka hal itu menjadi contoh (pembelajaran) dalam mengatur hamba-
hamba-Nya, dan ini merupakan hikmah yang mendalam.30

2. Pengertian Politik (Siyâsah) Secara Syar’i


Secara istilah, pengertian politik secara syar’i ditunjukkan oleh nas-nas syari’ah.
Politik secara syar’i, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
(w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’:

‫الشيْ َع ِة ا ِإل ْسالَ ِم َّي ِة‬ ِ ‫ِر َعايَ ُة شُ ُؤ ْونِ األُ َّم ِة بِال َّد‬
ِ َّ ‫اخلِ َوال َخا ِر ِج َوف َْق‬
“Pemeliharaan urusan umat baik di dalam dan luar negeri yang sejalan dengan syari’ah
Islam.” 31
Pengertian tersebut, ditunjukkan oleh hadits shahih, dari Abu Hurairah –radhiyallâhu
’anhu-, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

«ُ‫وس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون‬
ُ ‫سائِ َيل ت َُس‬
َ ْ ِ‫كَان َْت بَ ُنو إ‬
‫» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن‬
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)32
Kata tasûsuhum menunjukkan sisi siyâsah (politik) yakni aspek ri’âyah, dimana hal
tersebut dikaitkan dengan kedudukan khalifah sebagai pemimpin kaum Muslim.
Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan pengertian
“tasûsuhum al-anbiyâ’”:

ِّ ‫أَ ْي يَتَ َولَّ ْو َن أُ ُمو َر ُه ْم ك ََم تَ ْف َع ُل ْالُ َم َرا ُء َوالْ ُو َل ُة بِال َّر ِعيَّ ِة َو‬
‫السيَ َاس ُة الْ ِقيَا ُم َع َل اليشء مبا يصلحه‬
Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan para
wali terhadap rakyat (nya). Dan al-siyâsah adalah mengatur sesuatu dengan apa-apa
yang bermaslahat baginya. 33
Makna politik menurut taujih hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani
(w. 852 H), (Mereka diutus oleh para nabi), maksudnya tatkala tampak kerusakan
di tengah-tengah umat, Allâh pasti mengutus pada mereka seorang nabi yang
menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka

30 Ibid.
31 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, juz I, hal. 252.
32 HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (hadits no. 4163); Muslim dalam Shahih-nya.
33 Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijaz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet.
II, 1392 H, juz XII, hlm. 231.

14 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
ubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan
urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat menapaki jalan kebaikan
dan membebaskan orang yang terzhalimi dari pihak yang zhalim.34
Hal senada menyoal konsep politik Islam, diuraikan pula oleh Imam al-Thibi (w. 743
H)35, Imam al-Qasthallani (w. 923 H)36, dan al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam al-
Mirqât37, yang menegaskan bahwa hadits yang agung ini merupakan salah satu dalil
sharih adanya konsep politik dalam Islam. Konsep baku yang khas, yang unggul dan
berbeda dengan konsep politik sekularistik.
Dimana sifat syar’iyyah dari politik warisan Rasulullah ‫ ﷺ‬ini pun diungkapkan
al-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam
sejumlah kitabnya, salah satunya Badâi’i al-Fawâ’id:

ْ َّ ‫لَ ِسيَ َاس َة َّإل َما َواف ََق‬


‫الش َع‬
"Tidak ada politik kecuali apa-apa yang sejalan dengan hukum syara'.”38

3. Politik Islam & Isyarat Kepemimpinan Khalifah dalam Hadits Nabawi


Hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

«ُ‫وس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون‬
ُ ‫سائِ َيل ت َُس‬
َ ْ ِ‫كَان َْت بَ ُنو إ‬
‫» ُخلَفَا ُء فَ َيك ُ ُْثو َن‬
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Hadits ini mengandung sejumlah pelajaran penting:
Pertama, Sosok para nabi Bani Isra’il yang berperan mengatur urusan umatnya dan
memelihara serta menjaga mereka dari kerusakan.
Imam Badruddin al-’Ayni (w. 855 H) menggambarkan:

‫َو َذلِ َك ألَنهم كَانُوا إِذا أظه ُروا الْفساد بعث الله نَبيا يزِيل الْفساد َع ْن ُهم َويُ ِقيم لَ ُهم أَمرهم‬
‫ويزيل َما غريوا من حكم التَّ ْو َراة‬
Dan hal itu karena Bani Israil jika mereka menimbulkan kerusakan maka Allah mengutus
seorang nabi untuk menghapuskan kerusakan dari mereka dan mengatur urusan mereka
34 Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fat-h al-Bârî’ Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 497.
35 Syarfuddin al-Husain bin Abdullah al-Thibi, Syarh al-Thibi ‘alâ Misykât al-Mashâbiih (al-Kâsyif ‘an Haqâ’iq al-Sunan), Ed: Dr.
‘Abdul Hamid Handawi, Riyadh: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz VIII, hlm. 2564.
36 Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr al-Qasthallani al-Mishri, Irsyâd al-Sârii li Syarh Shahiih al-Bukhârii, Mesir: Al-Mathba’ah
al-Kubrâ al-Amiiriyyah, cet. VII, 1323 H, juz V, hlm. 421.
37 Abu al-Hasan Nuruddin al-Mulla’ al-Qari ‘Ali bin Muhammad, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-
Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2398.
38 Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i al-Fawâ'id, Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabi, juz III, hlm.
152.

Kesempurnaan
Din Islam 15
dan menghapuskan (meluruskan) apa yang mereka ubah dari hukum Taurat.39
Fungsi ini pun disebutkan oleh al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi (w. 685) ketika
menjelaskan kedudukan para nabi yang mengatur dan memperbaiki urusan
mereka.40
Kedua, Tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, namun kepemimpinan
umat berada di tampuk kepemimpinan para khulafâ’.
Hadits ini pun menegaskan tiada nabi dan rasul lagi setelah Nabi Muhammad ‫ﷺ‬,
namun kepemimpinan tidak boleh dibiarkan terbengkalai begitu saja, melainkan
mesti ada para khulafâ’ yang memegang tampuk kepemimpinan umat, memelihara
umat dari kerusakan dan kemungkaran. Karena hadits ini berkaitan dengan tugas
tanggung jawab seorang pemimpin umat dalam Islam, yang disebut oleh Rasulullah
‫ ﷺ‬dengan istilah al-Khalifah (mufrad dari al-khulafâ’) pasca wafatnya beliau ‫ﷺ‬.
Dan makna istilah khulafâ’ yang disebutkan dalam hadits yang mulia ini,
sebagaimana penjelasan Imam Badruddin al-’Aini yakni jamak dari al-khalîfah,41
yakni sosok yang dibai’at oleh umat untuk mengatur urusan masyarakat dengan
syari’at Islam. Hadits ini pun menunjukkan pentingnya keberadaan sosok khalifah
yang dibai’at oleh umat dalam mengatur urusan masyarakat dimana tiada nabi dan
rasul lagi pasca kerasulan Muhammad ‫ﷺ‬. Dan para ulama dari empat madzhab
sepakat atas kewajiban mengangkat imam/khalifah dengan fungsi sebagaimana
disebutkan dalam hadits di atas. Mengenai hal ini akan diuraikan pada bahasan
berikutnya.

39 Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-’Aini, ’Umdat al-Qârii Syarh Shahiih al-Bukhârii, juz 16, hlm. 43.
40 Nashiruddin ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Tuhfat al-Abraar Syarh Mashaabiih al-Sunnah, Kuwait: Wizaarat al-Awqaaf wa
al-Syu’uun al-Islamiyyah, 1433 H/2012, juz II, hlm. 548.
41 Ibid.

16 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 2
Pengertian Khalifah dan Khilafah
Secara Bahasa dan Syar’i
Penting untuk ditegaskan bahwa istilah khalifah dan khilafah yang diisyaratkan
nas al-Qur’an dan al-Sunnah menunjukkan adanya konsepsi khusus kedua istilah
tersebut, hubungannya dengan kewajiban menegakkan politik Islam (al-siyasah al-
syar’iyyah), lalu bagaimana memahami dan mendudukkannya berdasarkan taujih
ulama Rabbani?

A. Pengertian Khalifah Secara Bahasa & Syar’i

1. Pengertian Khalifah Secara Bahasa


Al-Khalîfah (‫ )الخليفة‬secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara harfiah
bermakna ”pengganti”, adapun perincian mengenai pemaknaan bentuk-bentuk
turunan dari kata kerja khalafa, sudah dijelaskan oleh ulama pakar bahasa, Imam
al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdzîb al-Lughah.42 Istilah ini pun disebutkan dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah secara gamblang misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30:

‫َوإِ ْذ ق ََال َربُّ َك لِلْ َم َلئِ َك ِة إِ ِّن َجا ِع ٌل ِف ْالَ ْر ِض َخلِي َف ًة‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Jamak dari kata khalîfah adalah khulafâ’, atau khalâ’if, hal itu dirinci oleh Imam al-
Azhari.43 Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan firman-Nya QS. Al-An’âm [6]:
165:

‫َو ُه َو ال َِّذي جعل ُك ْم خالئف األَ ْرض‬


“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (QS. Al-An’âm [6]:
165)
Yakni: ”umat Muhammad ‫ ﷺ‬dijadikan khalâ’if (pengganti) setiap umat-umat.”44 Tak
hanya khalâ’if, jamak dari kata khalîfah pun yakni khulafâ’, sebagaimana digunakan
pula oleh nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

‫َويَ ْج َعلُ ُك ْم ُخلَفَا َء ْالَ ْر ِض‬


"Dan siapa yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah-khalifah di bumi?” (QS.
Al-Naml [27]: 62)

42 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Ed: Muhammad ‘Audh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-
‘Arabi, cet. I, 2001, juz VII, hlm. 168-174.
43 Ibid., hlm. 174.
44 Ibid.
Pengertian Khalifah dan
Khilafah Secara Bahasa dan Syar’i 17
Kata khalâ’if dalam ayat ini, berkonotasi sebagai pemimpin yang menggantikan
pemimpin sebelumnya dalam konotasi umum. Ia jamak dari kata khalîfah,
yang berkonotasi pemimpin pengganti. Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H)
menjelaskan:

‫ويستخلف بعد أمرائكم يف األرض منكم خلفاء أحياء يخلفونهم‬


Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah
masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan
mereka.45
Penjelasan senada diuraikan oleh Imam al-Sam’ani (w. 489 H):

:‫ َوق ََال بَعضهم َم ْع َنا ُه‬،‫ يَ ْج َعل أَ ْولَ دكُم خلفاءكم‬:‫ َوقيل‬،‫ يَ ْج َعل بَ ْعضكُم خلفاء بعض‬:‫أَي‬
‫يجعلكم خلفاء الْ ِج ّن ِف األَ ْرض‬
Yakni: Dia menjadikan sebagian kalian sebagai pemimpin-pemimpin pengganti untuk
sebagian lainnya, dikatakan: Dia menjadikan generasi-generasi penerus kalian sebagai
pengganti kalian, dan sebagian ulama lainnya mengatakan maknanya: Dia menjadikan
kalian sebagai pemimpin pengganti Bangsa Jin di muka bumi.46
Meskipun begitu, pembahasan ini pun cukup menguatkan topik pembahasan
khilafah dalam konotasi syar’i, mengingat kata khalîfah dengan jamaknya khalâif dan
khulafâ’ yang digunakan al-Qur’an, tak bisa dilepaskan dari makna kepemimpinan di
muka bumi. Topik ini relevan dengan topik kepemimpinan dalam persepektif politik
Islam, sehingga al-Hafizh al-Qurthubi menguraikan wajibnya mengangkat khalifah
(nashb al-khalifah) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30 dalam kitab tafsirnya.
Pemimpin tersebut diistilahkan khalîfah, sebagaimana disebut-sebut dalam dalil-
dalil al-Sunnah, dirinci penjelasan para fuqaha’, mufassirun, muhadditsun, dan
mufakkirun. Dalam perinciannya, istilah khalifah menurut Ibn Sikkit, berlaku bagi
kaum pria semata, meski terdapat tambahan huruf al-hâ’ (tâ’ marbûthah).47 Karena
tambahan ini sebenarnya bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan makna), atas
pujian terhadapnya, hal itu sebagaimana penjelasan Imam Abu Bakr al-Anbari (w.
328 H) yang menjelaskan:

‫ فدخلت‬،‫ بغري هاء‬،‫يف‬ ٌ ِ‫ َخل‬:‫ واألصل فيه‬،‫ لخالفته رسول الله‬،‫سمي الخليفة خليفة يف األصل‬
‫ ملا أرادوا أن‬،‫نسابة راوية‬
ّ ‫ رجل عالّمة‬:‫ كام قالوا‬،‫" الهاء " للمبالغة يف مدحه بهذا الوصف‬
‫اب‬ ّ ،‫ وعالّ ٌم‬،‫ رجل را ٍو‬:‫ ولو مل يريدوا املبالغة لقالوا‬،‫يبالغوا يف املدح‬
ٌ ‫ونس‬
Dinamakan al-khalifah, yakni khalifah pada asal katanya, karena kedudukannya sebagai

45 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasat al-
Risâlah, cet. I, 1420 H/2000, juz ke-19, hlm. 485.
46 Manshur bin Muhammad Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani al-Syafi’i, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dar al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz III,
hlm. 370.
47 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.

18 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
pengganti Rasulullah Saw, asal katanya adalah: khalîf, tanpa ada tambahan huruf hâ’ (tâ’
marbûthah), maka ditambahkan al-hâ’ (tâ’ marbûthah) sebagai bentuk penguatan atas
pujian terhadapnya dengan penyifatan tersebut, sebagaimana orang-orang berkata:
laki-laki ’allâmah (sangat berilmu), nassâbah, râwiyyah, dimana hal itu karena mereka
hendak menguatkan pujiannya, karena jika tak hendak menguatkan pujian maka mereka
mengatakan: laki-laki râwin, ’allâm, nassâb.48
Maka jelas bahwa khalîfah merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan)
atas pujian terhadapnya.

2. Pengertian Khalifah Secara Syar’i


Istilah khalifah dalam pengertian syar’i, digambarkan para ulama sebagai pemegang
tampuk kepemimpinan agung, al-Imam al-A’zham. Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan
yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai
al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)49:

‫ الرئيس االعىل للدولة االسالمية‬:‫الخليفة؛ من ويل اإلمامة العامة للمسلمني‬


Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum
Muslim: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).50
Pengertian syar’i yang lebih praktis, diuraikan dalam kitab Ajhizat Daulat al-
Khilâfah:

‫ ويف تنفيذ أحكام الرشع‬،‫الخليفة هو الذي ينوب عن األمة يف الحكم والسلطان‬


Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam
menerapkan hukum-hukum syara’.51
Pengertian syar’i ini cukup mapan, memenuhi aspek mâni’ dan jâmi’, didasarkan
pada hadits-hadits Rasulullah Saw, salah satunya hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.
ia berkata: ”Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫ فَاقْتُلُوا ْال َخ َر ِم ْن ُه َم‬،ِ‫»إِذَا بُو ِي َع لِ َخلِي َفتَ ْي‬


”Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.” (HR.
Muslim dalam Shahiih-nya, Abu ’Awanah al-Isfaraini dalam Musnad-nya, al-Baihaqi
Al-Sunan al-Kubrâ’, dan lainnya)
Hadits ini secara sharîh menggunakan lafal ”khalifah”, maka jelas bahwa hadits ini
menjadi salah satu dasar yang mendasari adanya istilah khalifah dengan konotasi

48 Abu Bakar al-Anbari, Al-Zâhir fî Ma’ânî Kalimât al-Nâs, Ed: Dr. Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1412 H/1992, juz II, hlm. 229.
49 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
50 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
51 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426
H/2005, hlm. 20..

Pengertian Khalifah dan


Khilafah Secara Bahasa dan Syar’i 19
syar’i, khusus dan bukan umum seperti yang diklaim kaum liberal. Konotasi
tersebut bisa kita ketahui dari indikasi: ”jika dibai’at... maka bunuhlah yang terakhir
dari keduanya.” Padahal perkara darah adalah perkara yang diatur dalam Islam,
dimana Islam sangat menjaga dari adanya pertumpahan darah, kecuali apa yang
diperbolehkan oleh syara’, semisal kasus had al-qatl untuk orang murtad yang
bersikukuh dengan kemurtadannya.
Adanya bai’at menunjukkan bahwa ia bukan sembarang pemimpin, melainkan
pemimpin umat yang dibai’at untuk menegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah.
Di sisi lain, konsekuensi hukuman mati bagi pemecah belah kesatuan kaum Muslim
dalam hadits ini bukan perkara sepele, menunjukkan khalifah bukan sembarang
pemimpin, melainkan pemimpin yang telah ditetapkan syarat, karakteristik dan
tupoksinya oleh Islam. Karakteristik istimewa ini yang membedakannya dengan
istilah-istilah penguasa dalam sistem pemerintahan lain selain Islam, seperti raja
dalam sistem monarki konstitusional, presiden dalam sistem republik, dan lain
sebagainya. Dalam hadits-hadits lainnya digambarkan pula kewajiban seorang
khalifah:

‫ول َع ْن َر ِعيَّ ِت ِه‬ ٌ ُ‫أَ َل كُلُّ ُك ْم َرا ٍع َوكُلُّ ُك ْم َم ْسئ‬


ِ ْ ‫ول َع ْن َر ِعيَّ ِت ِه ف‬
ِ ‫َال َما ُم ال َِّذي َع َل ال َّن‬
ٌ ُ‫اس َرا ٍع َو ُه َو َم ْسئ‬
“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak
dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya..” (HR. al-Bukhârî,
Muslim & Lainnya)
Dalil hadits ini pun dinukil Imam Ibn Hazm al-Andalusi ketika menjelaskan syarat
penguasa (Khalifah) yang memenuhi karakteristik berpegang teguh terhadap syari’at
Islam, “Seseorang yang mengedepankan perintah-Nya, mengetahui apa-apa yang Allah
wajibkan berupa kefardhuan-kefardhuan din ini, dan bertakwa kepada Allah.”52

3. Mendudukkan Istilah Khalifah dan Imâm dalam Bahasa Fuqaha’


Dalam perinciannya, menurut Imam Al-Anbari, khalifah terkadang digunakan untuk
menyebut istilah khalifah, para ulama menggunakan istilah al-Imâm al-A’zham
yang juga berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah,
sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam
Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’.
Khalifah pun boleh dijuluki Amîr al-Mu’minîn, karena khalifah berhak memerintah
mereka, hingga mereka mendengar perintahnya dan sejalan dengan perkataannya.
Dan yang pertama kali dijuluki Amîr al-Mu’minîn adalah ‘Umar bin al-Khaththab
r.a., Al-Khawarizmi (w. 387 H) pun menegaskan hal tersebut.53 Hal itu sebagaimana
ditegaskan dalam banyak riwayat.

52 Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz
IV, hlm. 128.
53 Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Mafaatiih al-‘Uluum, Ed: Ibrahim al-Abyari, Daar al-Kutub al-‘Arabi, cet.
II, t.t., juz I, hlm. 126.

20 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B. Pengertian Khilafah

1. Pengertian Khilafah Secara Bahasa & Syar’i


Adapun asal usul kata khilâfah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata
kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah
digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya.
Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an]
fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in], yakni seseorang menggantikan orang lain
dalam pergantian (kepemimpinan) yang baik.54 Yang menggambarkan estafeta
kepemimpinan, hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H),55 salah
satu contohnya dalam QS. Al-A’râf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa
khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung, memperkuat makna
syar’inya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat, menegakkan
berbagai urusan dan kebutuhannya dengan standar Islam.56
Namun bukan sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi
pengganti kenabian dalam memelihara urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia
dengannya, ditegaskan Imam al-Mawardi (w. 450 H)57, Imam al-Haramain al-Juwaini
(w. 478 H)58 dan para ulama lainnya. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi ‫ ﷺ‬bersabda:

«ُ‫وس ُه ْم ْالَنْ ِب َيا ُء كُل ََّم َهل ََك نَب ٌِّي َخلَ َف ُه نَب ٌِّي َوإِنَّ ُه لَ نَب َِّي بَ ْع ِدي َو َس َيكُون‬
ُ ‫سائِ َيل ت َُس‬
َ ْ ِ‫كَان َْت بَ ُنو إ‬
‫» ُخلَفَا ُء فَيَك ُ ُْثو َن‬
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada
para Khalîfah yang banyak.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi menjadi ciri khas
mulia, membedakannya dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka.
Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani, menjelaskan makna
syar’i secara mapan digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Yakni mengemban dakwah dengan hujjah (dakwah) dan jihad.59 Dimana keduanya
menjadi bagian dari visi dakwah Khilafah menebarkan rahmat bagi ke seluruh
penjuru dunia.

54 Al-Khalil bin Ahmad, Kitâb al-‘Ain, Dâr al-Hilâl, IV/268


55 Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’alim al-Khilâfah, Hukumat al-Kuwait, I/8
56 Ibid.
57 Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Hadîts, juz I, hlm. 15
58 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat al-Imâm, juz I, hlm. 22
59 Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, juz I, hlm. 22

Pengertian Khalifah dan


Khilafah Secara Bahasa dan Syar’i 21
2. Mendudukkan Istilah Khilâfah dan Imâmah dalam Bahasa Fuqaha’
Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni
al-imâmah al-’uzhmâ, keduanya bentuk sinonim (mutarâdif) karena esensinya sama,
yakni topik kepemimpinan dalam Islam. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan
bahwa al-imâmah al-’uzhmâ, al-khilâfah, atau imârat al-mu’minîn, seluruhnya
semakna.60 Hal ini pun ditegaskan oleh Dr. Shalah al-Shawi.61 Hal itu terbukti ketika
sebagian ulama mengeksplorasi kedua istilah ini secara bersamaan, semisal Imam
al-Mawardi al-Syafi’i dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah.62
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H)63. Imam al-Mawardi al-Syafi’i menegaskan:

‫ َم ْوضُ و َع ٌة لِ ِخ َلفَ ِة ال ُّنبُ َّو ِة ِف ِح َر َاس ِة الدِّينِ َو ِسيَ َاس ِة ال ُّدنْيَا‬:‫ال َما َم ُة‬
ِْ
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam
memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia (dengannya).
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) –begitu pula para ulama lainnya- pun
mengumpamakan Din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar
(‫السلْطَان توأمان‬
ُّ ‫)ال ّدين َو‬64, lalu Al-Ghazali pun menegaskan:
‫السلْطَان حارس ف ََم ال أس لَ ُه فمهدوم َو َما ال حارس لَ ُه فضائع‬
ُّ ‫ال ّدين أس َو‬
Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya
maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.65
Hal ini menggugurkan klaim orang yang menyimpangkan aqwâl ulama dalam
topik al-imâmah, untuk menjustifikasi kepemimpinan di luar Islam yang sekularistik.
Padahal setiap sistem politik, dibangun dari berbagai karakteristik yang
membedakan satu sama lain, dari persoalan prinsip hingga cabangnya. Karakteristik
ini ditegaskan para pakar kontemporer, semisal Dr. Shalah Al-Shawi.66 Dr. Shalah Al-
Shawi menegaskan kekhasan politik dalam Islam: Maka menegakkan agama dan
mengatur urusan dunia dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok
antara sistem Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem politik yang tegak di zaman
ini yang memisahkan antara Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan
dunia dengan memisahkannya dari agamanya, dan mengemban seluruh tuntutan
hawa nafsu dan syahwat.67  

60 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, juz VIII, hlm. 6144
61 Dr. Shalah Al-Shawi, Al-Wajîz fî Fiqh Al-Khilâfah, Dâr al-I’lâm, hlm. 5
62 Al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, juz I, hlm. 15
63 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm. 22
64 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H,
hlm. 128.
65 Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam
Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan lainnya.
66 Dr. Shalah Al-Shawi, Al-Wajîz, hlm. 7
67 Ibid.

22 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 3
Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan
Khilafah [Kajian Turats Ulama
Mu’tabar]
Prinsip yang harus diperhatikan kaum Muslim untuk memahami hakikat Khilafah
di tengah gencarnya syubhat adalah: mengembalikan topik agung ini kepada
pokok pembahasannya dalam Islam. Sehingga mendudukkannya sebagaimana
sikap Rasulullah SAW dan para sahabat, tak terpedaya penyesatan opini yang
digencarkan oleh mereka yang gelap mata, mendikte Khilafah dengan kacamata
kuda peradaban Barat. Padahal topik ini telah diulas para ulama rabbani pewaris
para nabi, dengan pembahasan yang mapan tak mengandung kecacatan, gamblang
tak mengandung kesamaran, Allah al-Musta’an.

A. Dalil Al-Qur’an
Dalam perinciannya, kewajiban menegakkan khilafah, mencakup karakteristik
agungnya, merupakan perkara yang ma’lûm disepakati salaful ummah dan ulama
ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kefardhuan
agama tersebar (min a’zhâm al-wâjibât), diuraikan dalam turâts para ulama dengan
perincian dalil:

1. Dilalah Di Balik Kewajiban Ta’at Kepada Ulil Amri (Dalil QS. Al-Nisa [4]: 59)
Allah Swt berfirman:

ِ ُ‫ول َوأ‬
‫ول ْالَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا أَ ِطي ُعوا اللَّ َه َوأَ ِطي ُعوا ال َّر ُس‬
"Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara
kalian.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 59)
Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil amri dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 59. Maka
berdasarkan dalâlah al-iltizam, perintah menta’ati ulil amri pun merupakan perintah
mewujudkannya sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Maka ayat tersebut
pun mengandung petunjuk, wajibnya mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem
syar’inya (Khilafah), yang juga disebut nama (al-ism) dan dirinci konsepnya (al-
musamma) dalam al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah.
Dimana Islam menetapkan bai’at syar’i sebagai metode syar’i sahnya seseorang
menjadi seorang ulil amri (yakni khalifah), yang dibai’at untuk menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, salah satunya
al-Qadhi al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, dengan berdalil dengan hadits,
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan Khilafah


[Kajian Turats Ulama Mu’tabar] 23
«‫» َم ْن َماتَ َولَ ْي َس ِف ُع ُن ِق ِه بَ ْي َع ٌة َماتَ ِميتَ ًة َجا ِهلِ َّي ًة‬
“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia
mati seperti mati jahiliyyah.” (HR. Muslim)

2. Kedudukan Khalifah dalam Menegakkan Islam Kâffah (Dalil QS. Al-Baqarah [2]:
208 dan Lainnya)
Allah Swt dan Rasul-Nya telah mewajibkan kaum Muslim untuk menegakkan Islam
dalam kehidupan, akidah dan syari’atnya, mencakup hukum-hukum publik dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dengan segera dan tidak ditunda-tunda.
Hal itu ditunjukkan oleh dasar argumentasi berikut ini:
Pertama, Islam telah turun secara sempurna, dimana kesempurnaan tersebut diikuti
oleh penegasan bahwa Allah hanya meridhai Islam sebagai Din yang ditegakkan
oleh manusia, berdasarkan dalil yang terang benderang dalam firman-Nya:

‫ال ْس َل َم ِدي ًنا‬ ُ ‫الْ َي ْو َم أَكْ َمل ُْت لَ ُك ْم ِدي َن ُك ْم َوأَتْ َ ْم ُت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َم ِتي َو َر ِض‬
ِ ْ ‫يت لَ ُك ُم‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-
Mâ’idah [5]: 3)
Kedua, Diperjelas oleh nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah yang mewajibkan
menegakkan Islam dalam kehidupan. Kaum Muslim, wajib menegakkan Islam
keseluruhannya (kâffat[an]) dalam kehidupan sebagaimana perintah-Nya dalam
banyak ayat al-Qur’an, salah satunya:

‫ات الشَّ ْيطَانِ ۚ إِنَّ ُه لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِب ٌني‬ ِّ ‫يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا ا ْد ُخلُوا ِف‬
ِ ‫السل ِْم كَافَّ ًة َولَ تَتَّ ِب ُعوا ُخطُ َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ketiga, Adanya larangan menyerupai ahli Kitab yang beriman pada sebagian Taurat
dan mengkufuri sebagiannya, yang Allah ingkari, lihat QS. Al-Baqarah [2]: 85:

‫اب َوتَ ْك ُف ُرو َن ِب َب ْع ٍض ۚ ف ََم َج َزا ُء َم ْن يَ ْف َع ُل َٰذلِ َك ِم ْن ُك ْم إِ َّل ِخ ْز ٌي ِف الْ َح َيا ِة‬ِ َ‫أَفَتُ ْؤ ِم ُنو َن ِب َب ْع ِض الْ ِكت‬
ِ ‫ َويَ ْو َم الْ ِقيَا َم ِة يُ َر ُّدو َن إِ َ ٰل أَشَ ِّد الْ َعذ‬. ‫ال ُّدنْيَا‬
‫َاب ۗ َو َما اللَّ ُه ِبغَا ِفلٍ َع َّم ت َ ْع َملُو َن‬
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 85)

24 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa potongan ayat yang agung
ِ َ‫}أَفَتُ ْؤ ِم ُنو َن ِببَ ْع ِض الْ ِكت‬, merupakan pertanyaan yang maksudnya
ini {‫اب َوت َ ْك ُف ُرو َن ِببَ ْع ٍض‬
pengingkaran (istifhâm inkâri), disertai celaan atas buruknya perbuatan mereka.
Allah SWT mengakhiri ayat ini dengan penjelasan tempat kembali bagi orang yang
melakukan perbuatan tersebut {‫ } ِخ ْز ٌي‬yakni hina dina, rendah dan nista di dunia,
ditambah dengan azab yang sangat pedih yang tiada tandingannya di akhirat kelak,
serta bahwa Allah SWT tidak lengah atas perbuatan mereka yang sangat keji, bahkan
mengawasi mereka, dan mengazab mereka atas apa yang mereka perbuat, dengan
balasan setimpal di dunia dan akhirat {‫} َو َما اللَّ ُه ِبغَا ِفلٍ َع َّم ت َ ْع َملُو َن‬.68 Lihat pula firman-
Nya dalam QS. Al-Hijr [15]: 90-91, QS. Al-Mâ’idah [5]: 49, dan lain sebagainya.
Keempat, Adanya nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah yang mendorong untuk bersegera
beramal shalih, atau dengan kata lain menegakkan Islam dalam kehidupan.
Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) bahkan menuliskan satu bab khusus “Bersegera
Terhadap Amal-Amal Kebaikan (‫ ”)باب يف املبادرة إىل الخريات‬dalam Riyâdh al-Shâlihîn-
nya69, dimana beliau menukil firman Allah SWT:

‫الس َم َواتُ َو ْالَ ْر ُض أُ ِعدَّتْ لِلْ ُمتَّ ِق َني‬


َّ ‫َو َسا ِر ُعوا إِ َل َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َج َّن ٍة َع ْرضُ َها‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu, dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Âli Imrân [3]: 133)
Lihat pula QS. Al-Baqarah [2]: 148. Rasulullah ‫ ﷺ‬pun bersabda:

«‫ أَ ْو ُ ْي ِس ُم ْؤ ِم ًنا‬،‫ يُ ْصب ُِح ال َّر ُج ُل ُم ْؤ ِم ًنا َو ُ ْي ِس كَا ِف ًرا‬،‫بَا ِد ُروا ب ِْالَ ْع َم ِل ِفتَ ًنا كَ ِقطَعِ اللَّ ْيلِ الْ ُمظْلِ ِم‬
‫ يَبِي ُع ِدي َن ُه ِب َع َر ٍض ِم َن ال ُّدنْ َيا‬،‫» َويُ ْصب ُِح كَا ِف ًرا‬
“Bersegeralah kalian beramal shalih, akan ada suatu masa ketika muncul berbagai
fitnah seperti potongan malam gelap gulita, dimana seseorang beriman di waktu pagi
dan kafir pada sorenya, dan beriman di waktu sore dan kafir pada paginya, ia menjual
agamanya dengan harga dunia.” (HR. Muslim, Ahmad)70
Imam Muslim (w. 261 H) pun meriwayatkan hadits di atas dalam bab (‫الحث عىل‬
‫ )املبادرة باألعامل قبل تظاهر الفنت‬yakni bab mengenai dorongan untuk bersegera beramal,
sebelum munculnya berbagai fitnah. Ini mengandung konsekuensi pula pada
pemahaman wajibnya bersegera menegakkan Islam dalam kehidupan. Dakwah,
wajib berorientasi pada poin upaya penerapan Islam keseluruhan, karena berbeda
orientasi, akan melahirkan sikap yang berbeda.

68 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 107-108.
69 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Riyâdh al-Shalihîn, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. III, 1419 H/1998,
hlm. 63.
70 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 118); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 9267), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim, para perawinya perawi tsiqah perawi syaikhain (al-Bukhari dan Muslim)
kecuali Ziyad bin Riyah, maka ia perawi Imam Musim saja.”

Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan Khilafah


[Kajian Turats Ulama Mu’tabar] 25
Menurut Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’, di antara faidah hadits ini adalah kewajiban
berpegang teguh terhadap agama, dorongan untuk menyegerakan beramal shalih
sebelum tibanya berbagai penghalang dan hambatan atasnya.71 Yakni berpegang
teguh pada akidah dan syari’at Islam dan bersegera beramal shalih, wa biLlâhi al-
taufîq.
Kelima, Pemahaman salafuna al-shâlih, semisal teladan Khalifah Abu Bakar al-
Shiddiq r.a. yang menerapkan hukum Islam secara tegas bagi mereka yang menolak
menunaikan kewajiban berzakat, yakni dengan memerangi mereka yang dinilai
sebagai kaum Murtad (murtaddûn), secara tegas, tidak bertahap.
Muhammad bin Yusuf al-Farabri menuturkan, disebutkan dari Abi Abdillah, dari
Qabishah:

َ ِ ‫» ُه ُم امل ُ ْرت َ ُّدو َن ال َِّذي َن ا ْرتَ ُّدوا َع َل َع ْه ِد أَ ِب بَ ْك ٍر فَقَاتَلَ ُه ْم أَبُو بَك ٍر َر‬
«‫ض اللَّ ُه َع ْن ُه‬
“Mereka (para penolak zakat) adalah kaum yang murtad, yang murtad pada masa Abi
Bakar r.a., maka Abu Bakar memerangi mereka.” (HR. Al-Bukhari)72
Sebelumnya, Umar bin al-Khaththab r.a. tidak menyetujui sikap Khalifah Abu Bakar
r.a., dijawab oleh Abu Bakar r.a. dengan jawaban yang terang benderang, sehingga
Umar meralat sikapnya, dan beralih menyetujui kebijakan benar Khalifah Abu Bakar
r.a. dengan menyatakan:

«‫ فَ َع َرف ُْت أَنَّ ُه الْ َح ُّق‬،‫ش َح َص ْد َر أَ ِب بَ ْك ٍر لِلْ ِقتَا ِل‬


َ َ ‫ َما ُه َو إِالَّ أَ ْن َرأَيْ ُت الل َه َع َّز َو َج َّل قَ ْد‬،‫»فَ َو الل ِه‬
“Demi Allah, tidaklah ada pada dirinya, kecuali aku menyaksikan Allah Azza wa Jalla
sungguh telah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi (para penolak zakat),
sehingga aku mengetahui bahwa ia benar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim & Ahmad)73
Sehingga sikap Abu Bakar ini disepakati oleh seluruh sahabat, dan dinilai sebagai
ijma’ (konsensus) mereka.74 Sehingga penegakkan Islam keseluruhannya dalam
kehidupan sesuatu yang wajib disegerakan, tak bisa ditawar-tawar lagi, sehingga
setiap gerakan yang memproklamirkan identitasnya sebagai gerakan dakwah
Islam, sudah seharusnya menjadikan penegakkan Islam kâffah dalam kehidupan
sebagai salah satu prioritas utamanya. Dakwah kepada akidah Islam dan hukum-
hukum Islam yang me-nasakh syari’at para nabi terdahulu,75 bukan kepada akidah
dan hukum-hukum selainnya.
Perincian argumentasi syar’i terkait persoalan ini, dari nas-nas al-Qur’an dan
al-Sunnah, bisa dirujuk lebih jauh dalam kitab Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-
Islâmiyyah.76
71 Ibid.
72 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 3447).
73 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 1388); Muslim dalam Shahîh-nya (no. 20); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 117), Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain, kecuali ‘Isham bin Khalid karena ia perawi
Imam al-Bukhari saja.” ; Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1558).
74 Dr. ’Athiyyah ’Adlan, “Tahkîm al-Syarî’ah, Al-Tadarruj Lâ al-Taswîf”, Majallat al-Bayân, Tahun ke-27, no. 303, September 2015,
hlm. 10.
75 ’Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 163.
76 Hizbut Tahrir, Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. I, 1425 H/2004, hlm. 11-16.

26 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Poin penting lainnya, dalam perinciannya para ulama menjelaskan bahwa
penegakkan Islam dalam kehidupan, takkan sempurna terealisasi kecuali dengan
adanya Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah, maka menegakkan keduanya fardhu,
sesuai kaidah syar’iyyah yang lalu dinukil oleh para ulama:

ٌ ‫ِب إِالَّ ِب ِه فَ ُه َو َواج‬


‫ِب‬ ُ ‫َما الَ يَ ِت ُّم الْ َواج‬
“Hal-hal dimana suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya
pun wajib.”77
Para ulama pun menjadikan kaidah ini: sebagai penguat hujjah kefardhuan adanya
Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah, sebagaimana diutarakan oleh Imam al-
Naisaburi (w. 850 H): “Umat ini (ulama) bersepakat bahwa yang diseru dari firman-
Nya: ”Jilidlah” adalah Imam hingga mereka pun berhujjah dengannya atas kewajiban
mengangkat Imam (Khalifah), karena sesungguhnya hal dimana kewajiban takkan
sempurna kecuali dengannya maka hal tersebut menjadi wajib adanya.”78
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan kaidah ini menuturkan,
bahwa jika Allah sudah memerintahkan hamba-Nya untuk menunaikan suatu
perbuatan dan Allah mewajibkannya, di sisi lain apa yang diperintahkan tersebut
takkan tercapai sempurna kecuali dengan hal lainnya; maka hal tersebut menjadi
wajib adanya.79 Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang
berkata:

ِ ‫ُو ُج ْو ُب ال َو َسائِل تبِع لِ ُو ُج ْو ِب املَق‬


‫َاصد‬
“Wajibnya sarana-sarana mengikuti wajibnya tujuan-tujuan.”80

B. Dalil Al-Sunnah

1. Dalil Hadits Pujian Rasulullah Saw Kepada Sosok Imam/Khalifah


Banyak dalil-dalil al-Sunnah yang mendasari wajibnya khilafah: hadits dari Abu
Hurairah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda:

«‫ال َما ُم ُج َّن ٌة يُقَات َُل ِم ْن َو َرائِ ِه َويُتَّقَى ِب ِه‬


ِ ْ ‫»إِنَّ َا‬
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alaih)
Hadits ini mengandung pujian yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah, karena
maksud dari al-Imâm dalam hadits ini adalah Khalîfah. Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1041
77 Tajuddin ‘Abdul Wahhab al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, II/88
78 Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, V/148
79 Ibid.
80 Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1418 H/1998, juz I, hlm. 302.

Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan Khilafah


[Kajian Turats Ulama Mu’tabar] 27
H) secara gamblang menyatakan:

(‫ال َما ُم) أَ ِي الْ َخلِي َف ُة أَ ْو أَ ِم ُري ُه‬


ِ ْ ‫فَ ِإنَّ َا‬
“Makna kalimat (‫ )إمنا اإلمام‬yakni al-Khalifah atau Amirnya.”81
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits
ini yakni al-Imam al-A’zham82, istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid
penulis kitab Subul al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)83, dimana para ulama
ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-
Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan
yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai
al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung).84
Pujian dalam hadits ini kepada Khalifah pun jelas, dibuktikkan dalam persepektif
ilmu balaghah ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan) dan
tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah sebagai perisai
kaum Muslim.
Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) menegaskan bahwa frase (‫ ) َويُتَّقَى ِب ِه‬merupakan
penjelasan dari kedudukan Imam sebagai junnah (perisai), bahwa karakter junnah
(perisai) dalam hadits ini lebih tepat berlaku dalam seluruh keadaan; karena
seorang penguasa menjadi pelindung bagi kaum Muslim dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.85 al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H)
menjelaskan bahwa junnah dalam hadits ini, berkonotasi pula sebagai pelindung
dari kezhaliman, penangkal dari keburukan.86 Sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama lainnya, di antaranya al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) yang berkata:
Sabda Rasulullah: (‫ )اإلمام جنة‬yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah)
mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum Muslim, dan mencegah sesama
manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat
berlindung kepadanya dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.87
Penjelasan hampir senada, disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya
atas Misykât al-Mashâbîh88, Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-
nya atas Shahîh al-Bukhârî89, Imam Shadruddin al-Munawi (w. 803 H)90, Imam Ibn al-

81 Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
82 Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-
Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
83 Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh:
Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
84 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
85 Al-Mulla’ Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
86 Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz
IV, hlm. 63.
87 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz. XII, hlm. 230.
88 Syarfuddin al-Husain al-Thibi, Al-Kâsyif ’an Haqâ’iq al-Sunan, juz VIII, hlm. 2557.
89 Muhammad bin Yusuf Syamsuddin al-Kirmani, Al-Kawâkib al-Durârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
90 Al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij wa al-Tanâqîh fî Takhrîj Ahâdîts al-Mashâbîh, Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah li
al-Mausû’ât, cet. I, 1425 H, juz III, hlm. 265.

28 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr91, al-Hafizh al-Suyuthi (w.
911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh Muslim92, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani
(w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-
Imam sebagai junnah yakni pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling
menzhalimi.93
Jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam,
sebaliknya jika ia tiada menyebabkan hukum Islam terbengkalai, maka pujian
tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” tersebut
hukumnya wajib, yakni diangkatnya Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah.
Terlebih jika ketiadaan Khalifah yang menegakkan Islam dalam kehidupan, bisa
melahirkan kerusakan demi kerusakan, fitnah bagi masyarakat. Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu untuk berkata:

‫ إذا مل يكن إمام يقوم بأمر الناس‬:‫والفتنة‬


“Fitnah terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia
(dengan hukum-hukum Islam-pen.).”94

2. Dalil Hadits Wajib Tegaknya Bai’at Dipundak Kaum Muslim Kepada Khalifah
Dalil lainnya, Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫» َم ْن َماتَ َولَ ْي َس ِف ُع ُن ِق ِه بَ ْي َع ٌة َماتَ ِميتَ ًة َجا ِهلِ َّي ًة‬


“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia
mati seperti mati jahiliyyah.” (HR. Muslim)
Bai’at secara terminologis adalah hak umat dalam melaksanakan akad
penyerahan kekhilafahan. Para ulama menegaskan bahwa bai’at merupakan metode
syar’i mengangkat Khalîfah.95 Nabi ‫ ﷺ‬telah mewajibkan adanya bai’at di pundak
setiap muslim, dengan qarînah jâzimah adanya ancaman tasybîh: mati seperti mati
jahiliyyah, menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) yakni mati dalam
keadaan bermaksiat.96
Para ulama, salah satunya al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani menegaskan bahwa
hadits ini mewajibkan adanya bai’at di atas pundak setiap Muslim, dan bai’at tidak
diberikan kecuali kepada Khalifah, maka ini menjadi dalil wajibnya mengadakan
Khalifah, menegakkan sistem Khilafah dengan batas tempo hanya tiga hari. Imam
Ibn Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskan hadits ini menegaskan:
91 Ibn al-Mulqan, Al-Taudhîh li Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Damaskus: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429 H/2008, juz XVIII, hlm. 67.
92 Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh Muslim bin al-Hijâz, KSA: Dâr Ibn ‘Affân, cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
93 Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz VI, hlm. 116.
94 Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Riyadh: Dâr al-Râyah, cet. I, 1410 H, juz III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab
ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam
(khalifah) yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
95 Hal ini disimpulkan dari ulasan para ulama terkait bai’at untuk khalifah, misalnya dalam kitab al-Ahkâm al-Sulthaniyyah
karya Imam al-Mawardi.
96 Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fath al-Bâri, juz XIII, hlm. 7.

Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan Khilafah


[Kajian Turats Ulama Mu’tabar] 29
Yakni jika tiada Imam/Khalifah baginya, dan ini menunjukkan bahwa tidak boleh terjadi
kekosongan yang meliputi kaum Muslim, lebih dari tiga hari sebagai tempo syura’ (dari
ketiadaan khilafah), kecuali di pundak mereka terdapat bai’at terhadap seorang Khalifah
tempat kembali mereka.97
Batas tempo ini, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i lainnya.

3. Dalil Hadits Tidak Halal Adanya Jama’ah Tanpa Ada Pemimpin


Setiap jama’ah harus mempunyai seorang pemimpin (amir) yang wajib dita’ati. Hal
itu sesuai dengan perintah syara’ yang mewajibkan setiap jama’ah yang terdiri dari
tiga orang atau lebih untuk memiliki seorang amir. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫» َوالَ يَ ِح ُّل لِثَالَث َ ِة نَ َف ٍر يَكُونُو َن ِبأَ ْر ِض فَالَ ٍة إِالَّ أَ َّم ُروا َعلَ ْي ِه ْم أَ َح َد ُه ْم‬
“Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka Bumi, kecuali mengangkat salah
seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.” (HR. Ahmad, al-Thabrani)98
Hadits ini, banyak dinukil para ulama sebagai salah satu dalil wajibnya adanya
al-Imâm atau al-Khalîfah, dan qadhi, semisal kitab Nail al-Authar yang menukilnya
ِ ْ ‫وب ن َْص ِب وِلَ يَ ِة الْقَضَ ا ِء َو‬
dalam satu bab khusus (‫ال َما َر ِة َوغ َْيِ ِه َم‬ ِ ‫اب ُو ُج‬
ُ َ‫)ب‬99, hal itu karena
keumuman khabar dan lafal dalam hadits ini. 100

Sehingga tidak mengherankan jika hadits ini pun dinukil para ulama sebagai dalil
wajibnya mengangkat Khalifah, sebagaimana ia pun dinukil oleh al-’Allamah Abdul
Qadim Zallum, untuk menegaskan kewajiban adanya pemimpin dalam dakwah.101
Kalimat lâ yahillu, menunjukkan larangan keras (qarînah jâzimah), menunjukkan
keharaman atas ketiadaan amîr (pemimpin). Jika dalam persoalan safar saja wajib
ditunjuk salah seorang pemimpin (amîr al-safar), maka perkara kehidupan umat
yang lebih kompleks persoalannya, lebih utama (awlâ) membutuhkan adanya
kepemimpinan.
Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menegaskan dalam subjudul Pentingnya
Kedudukan Kekuasaan Politis dalam Islam (‫)رضورة السلطة السياسية يف اإلسالم‬:

‫يعارض اإلسالم الفوىض السياسية ويطالب بقيام السلطة املنظمة حتى يف ما يتعلق بتنظيم‬
‫ ((إذا خرج ثالثة يف سفر‬:-‫صىل الله عليه وسلم‬- ‫ ويف ذلك يقول الرسول‬،‫الشؤون الخاصة‬
‫))فليؤمروا أحدهم‬

97 Yahya bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh ‘An Ma’âni al-Shihâh, Dâr al-Wathan, IV/262
98 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6647), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih li ghairihi kecuali hadits al-
imârat maka derajatnya hasan.”; HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (no. 14723).
99 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authâr, Mesir: Dâr al-Hadîts, cet. I, 1413 H/1993, juz VIII, hlm. 294.
100 Hal ini sebagaimana mafhum yang dibangun oleh Imam Ibn al-Arabi ketika memahami keumuman dalil larangan berbisik-
bisik di antara dua orang tanpa orang ketiga di sisi mereka (‫ دون صاحبهام‬،‫ يكونون بأرض فالن أن يتناجى اثنان‬،‫)وال يحل لثالثة نفر‬, dimana Ibn
al-Arabi menjelaskan bahwa hadits ini, khabarnya umum, makna dan lafalnya, dan alasannya karena bisa menimbulkan
kesedihan (pada orang yang tidak diajak bicara-pen.), dimana hal tersebut bisa terjadi baik dalam safar maupun ketika
diam di suatu tempat, maka larangan tersebut harus mencakup kedua kondisi tersebut. (Prof. Dr. Musa Syahin Lasyin, Fath
al-Mun’im Syarh Shahîh Muslim, Dâr al-Syurûq, cet. I, 1423 H/2002, juz VIII, hlm. 531)
101 Abdul Qadim Zallum, Afkâr Siyâsiyyah, hlm. 56.

30 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Islam menolak segala kekacaun politis dan menuntut kekuasaan yang teratur hingga
pada pengaturan berbagai urusan khusus. Dalam hal ini Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Jika tiga orang bepergian maka angkatlah salah satunya menjadi pemimpin."102
Lalu ia pun menegaskan bahwa para ahli fikih menggali hukum tentang kewajiban
adanya kepemimpinan politik dan masyarakat yang politis yang teratur. Syaikh
Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa jika Rasulullah ‫ ﷺ‬telah mewajibkan adanya
kepemimpinan ini terhadap lingkup kecil, maka hal ini menjadi dalil yang sangat
jelas terhadap kewajiban adanya kepemimpinan politis bagi lingkup masyarakat
yang lebih luas yakni umat ini.
Hal itu karena persoalan umat dan kesatuannya merupakan perkara serius, harus
ditegakkan benar-benar sistematis terencana, dimana hal itu tak mungkin bisa
diurusi dengan benar kecuali dengan adanya kepemimpinan khas yang digariskan
Islam.

C. Dalil Ijma’ Sahabat


Jika konsep khilafah dipertentangkan dengan konsep lain yang mengatasnamakan
kesepakatan, maka harus kembali kepada prinsip bahwa ijma’ sahabat, menurut ahl
al-’ilm, menjadi hujjah syar’i berdasarkan dalil QS. Al-Taubah [9]: 100, diunggulkan
atas kesepakatan manusia manapun. Dimana sahabat berijma’ atas wajibnya
menegakkan khilafah, mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H)
ketika mengomentari peristiwa bersejarah diskusi alot antara tokoh-tokoh Kaum
Anshar dan Kaum Muhajirin menegaskan: “Jika seandainya al-Imamah (Khilafah) itu
tidak wajib, maka takkan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”103
Sebelumnya, al-Farra menegaskan bahwa Khilafah hukumnya wajib berdasarkan
dalil al-sam’u (yakni dalil-dalil naqli).104 Penjelasan senada ditegaskan oleh al-
Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.105 Di sisi lain, para sahabat
pun lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada pemakaman jenazah
Rasulullah ‫ﷺ‬, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Khaththabi (w. 388 H).
Setelah menjelaskan ijma’ sahabat ini, al-Khaththabi (w. 388 H) lalu menegaskan:

‫وذلك من أدل الدليل عىل وجوب الخالفة وأنه ال بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس‬
‫ومييض فيهم أحكام الله ويردعهم عن الرش ومينعهم من التظامل والتفاسد‬
Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya
menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam (Khalifah) bagi
masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur mereka dengan hukum-hukum
Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi mereka saling menzhalimi dan
merusak.106
102 Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti, Arkânun wa Dhamânât: Al-Hukm Al-Islâmi, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah.
103 Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 19.
104 Ibid.
105 Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr ‘Âlam al-Kutub, I/264
106 Abu Sulaiman al-Khathabi, Ma’âlim al-Sunan, Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, juz III, hlm. 6

Dasar Syar’i Kewajiban Menegakkan Khilafah


[Kajian Turats Ulama Mu’tabar] 31
Maka tak mengherankan jika para ulama pun menegaskan kesepakatan mereka atas
wajibnya menegakkan Khilafah. Imam Ibn Hazm (w. 456 H) mendokumentasikan:
“Mereka (para ulama) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu
merupakan suatu keharusan.”107

Kesimpulan (Khatimah)
Khilafah, terang benderang sebagai bagian dari ajaran Islam yang mulia, memuliakan
mereka yang mengemban dan memperjuangkannya, seterang mentari terbit tak
terhalang awan bagi ia yang teguh meniti jalan Rasul-Nya.
Secara praktis, penegakkan konsep khas kepemimpinan Islam ini sebagaimana
ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬, yang menegakkan institusi politik Islam
berpusat di Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-
râsyidûn pada periode yang disebut Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam hadits hasan riwayat
Imam Ahmad, sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. Ditegaskan para
ulama dalam turats mereka yang menguraikan kewajiban menegakkan institusi
Khilafah ini dalam kehidupan, sebagai ajaran Rasulullah ‫ ﷺ‬dan disepakati para
sahabat dengan konsensus (ijma’) mereka.
Dimana itu semua memahamkan kita secara terang benderang, bahwa penerapan
Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara
Islam (al-daulah al-Islâmiyyah), dan diteruskan al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Maka tak ada jalan lain bagi kita yang mengaku mencintai mereka, kecuali berjuang
merealisasikan kembali kepemimpinan Islam ini, sebagai salah satu bagian dari
pesan mendalam Rasulullah ‫ﷺ‬, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah
‫ ﷺ‬bersabda:
«‫ َعضُّ وا َعلَ ْي َها بِال َّن َواج ِِذ‬، ‫» َعلَ ْي ُك ْم ب ُِس َّن ِتي َو ُس َّن ِة الْ ُخلَفَا ِء ال َّر ِاش ِدي َن الْ َم ْه ِديِّ َني‬
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin
al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal
tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)108

107 Ibn Hazm Al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 124
108 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para perawinya
tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan
periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata:
”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Iman (no. 7516).

32 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 4
Keistimewaan Sistem Khilafah
Salah satu topik menarik yang digulirkan oleh mereka yang belum memahami
Islam secara utuh, adalah pernyataan bahwa Islam tidak menentukan bentuk baku
sistem pemerintahan, benarkah demikian? Sebelum menjawab syubhat dan syakk
tersebut, alangkah baiknya kita mulai dari memahami batasan apa itu sistem,
dan apa itu baku, serta apa itu sistem baku. Istilah sistem dalam Kamus Bahasa
Indonesia Daring (2016) yang dikelola oleh Kemendikbud (https://kbbi.kemdikbud.
go.id) menguraikan:

sis.tem /sistém/
bentuk tidak baku: sistim
1. n perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas: -- pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah dalam tubuh; --
telekomunikasi
2. n susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya: -- pemerintahan
negara (demokrasi, totaliter, parlementer, dan sebagainya)
3. n metode: -- pendidikan (klasikal, individual, dan sebagainya); kita bekerja dengan --
yang baik; -- dan pola permainan kesebelasan itu banyak mengalami perubahan

Sedangkan istilah baku, disebutkan dalam referensi yang sama (https://kbbi.


kemdikbud.go.id):

ba.ku1
bentuk tidak baku: sistim
1. a pokok; utama: beras merupakan bahan makanan -- bagi rakyat Indonesia
2. n tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; standar (2)

Dari pengertian sistem dan baku di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa
istilah sistem baku, menggambarkan suatu perangkat unsur yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan; standar tertentu. Ini agar kita memiliki acuan dalam menentukan baku
tidaknya sistem pemerintahan dalam Islam.

Keistimewaan
Sistem Khilafah 33
A. Asas & Fondasi Khilafah
Keimanan (akidah) yang dituntut dalam Islam, dan dicontohkan secara praktis oleh
Rasulullah Saw, adalah keimanan yang mencakup prinsip al-walâ’ dan al-bara’ (loyal
terhadap Islam dan berlepas diri dari segala hal yang menyelisihinya), keimanan
(akidah) yang berfungsi sebagai pengendali dan kerangka berpikir seseorang (al-
qiyâdah wa al-qâ’idah al-fikriyyah) sebagaimana isyarat dalam firman-Nya:

‫يم شَ َج َر بَ ْي َن ُه ْم ث ُ َّم لَ يَ ِج ُدوا ِف أَنْف ُِس ِه ْم َح َر ًجا ِم َّم‬


َ ‫ف ََل َو َربِّ َك لَ يُ ْؤ ِم ُنو َن َحتَّ ٰى يُ َح ِّك ُم َوك ِف‬
‫يم‬ ً ِ‫قَضَ ْي َت َويُ َسلِّ ُموا ت َْسل‬
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam dirinya, terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 65)
Yakni keimanan terhadap segala hal yang wajib diimani sebagai konsekuensi dari
keimanan terhadap Allah109, bukan iman terhadap sebagian perkara dan mengkufuri
sebagian lainnya, karena yang demikian itu hakikatnya tak beriman kepada Allah:

‫إِ َّن ال َِّذي َن يَ ْك ُف ُرو َن بِاللَّ ِه َو ُر ُسلِ ِه َويُرِي ُدو َن أَ ْن يُ َف ِّرقُوا بَ ْ َي اللَّ ِه َو ُر ُسلِ ِه َويَقُولُو َن نُ ْؤ ِم ُن ِب َب ْع ٍض‬
‫َونَ ْك ُف ُر ِب َب ْع ٍض َويُرِي ُدو َن أَ ْن يَتَّ ِخذُوا بَ ْ َي َٰذلِ َك َسب ًِيل‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: “Kami beriman terhadap sebagian dan kafir terhadap sebagian (yang
lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang
demikian (iman atau kafir).” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 150)
Penjelasan di atas, mencakup persoalan asasi menyoal urusan umat, yakni
kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Mengingat urusan umat berada di pundak
penguasa, maka Islam pun mewajibkan kepemimpinan dan sistem pemerintahan
yang dibangun berasaskan akidah Islam, akidah Islam menjadi asas dan fondasi,
Allah Swt berfirman:

ِ ‫إِنِ الْ ُح ْك ُم إِلَّ لِلَّ ِه يَق ُُّص الْ َح َّق َو ُه َو َخ ْ ُي الْف‬


‫َاصلِ َني‬
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’âm [6]: 57)
Dimana ayat ini, menjadi sejelas-jelasnya landasan prinsipil (ushuli) kepemimpinan
Islam dibangun dengan prinsip kedaulatan di tangan al-Syari’, Allah Swt. yang
berhak membuat hukum, bukan manusia, bukan penguasa, bukan pula rakyat jelata.

109 Hal ini sebagaimana diuraikan oleh para ulama dalam turats mereka, salah satunya penjelasan ulama Nusantara yang
mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i dalam kitab Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq: Syarh Sullam al-Taufîq.

34 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B. Pedoman & Standar Konstitusi Negara Khilafah
Bertolak dari prinsip kedaulatan di tangan al-Syari’, maka konsekuensinya pedoman
yang wajib ditegakkan dalam sistem pemerintahan Islam adalah al-Qur’an dan
al-Sunnah, berikut apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai sumber hukum
Islam, yakni ijma sahabat dan qiyas syar’iyyah. Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji menguraikan:

‫ مصادرها وهي القرآن والسنة واإلجامع والقياس‬: ‫أصول الرشيعة‬


(Theoretical bases of Islam)
Sumber pokok hukum syara’: yakni al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan qiyas (qiyas syar’iyyah).
Keduanya menjadi pedoman dan standar dalam merumuskan kebijakan negara.
Mencakup persoalan standar apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa
yang dihalalkan dan apa yang diharamkan, manusia tidak berhak mengharamkan
apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak berhak menghalalkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan segala puji bagi Allah, ternyata Allah tidak membiarkan Bangsa Jin dan Manusia
hidup begitu saja tanpa petunjuk yang memelihara fitrah mereka yang lurus dan
menuntun mereka agar hidup sesuai dengan apa yang diridhai-Nya, itulah Dinul
Islam dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman utamanya. Bukankah
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi
mereka yang bertakwa?

‫اب َل َريْ َب ِفي ِه ُه ًدى لِلْ ُمتَّ ِق َني‬


ُ َ‫َذلِ َك الْ ِكت‬
“Inilah al-Kitab (al-Qur’an) tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Ini merupakan perkara prinsipil yang dituntut oleh dalil-dalil qath’iyyah (pasti,
100%), dicontohkan secara praktis oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dan al-Khulafa’ al-Rasyidun
dalam pemerintahan mereka, serta ditegaskan oleh para ulama dalam banyak
turats mereka, tak ada yang akan mengingkari dan menafikannya kecuali mereka
yang terpedaya, wal ’iyadzu biLlah.
Kaum Muslim, sama saja apakah rakyat jelata atau penguasa, seluruhnya wajib
menegakkan Islam totalitas dalam kehidupan, sebagaimana perintah-Nya dalam
banyak ayat al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

‫ات الشَّ ْيطَانِ ۚ إِنَّ ُه لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِب ٌني‬ ِّ ‫يَا أَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا ا ْد ُخلُوا ِف‬
ِ ‫السل ِْم كَافَّ ًة َولَ تَتَّ ِب ُعوا ُخطُ َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Keistimewaan
Sistem Khilafah 35
Seruan dalam ayat ini, merupakan seruan yang berlaku umum mencakup penguasa
dalam Islam. Kata al-silm dalam ayat ini asalnya merupakan lafal musytarak, namun
makna yang terpilih berdasarkan indikasi dalil-dalil lainnya, ia hanya bermakna
Islam, Imam Syihabuddin al-Alusi pun menjelaskan:

‫واملراد من السلم جميع الرشائع بذكر الخاص وإرادة العام بناءا ً عىل القول بأن اإلسالم‬
‫رشيعة نبينا صىل الله عليه وسلم‬
Maksud dari kata al-silm mencakup seluruh syari’at Islam, dengan penyebutan yang
khusus namun maksudnya umum berdasarkan pendapat bahwa Islam (itu sendiri)
adalah syari’at Nabi kita Muhammad ‫ﷺ‬.110
Hal ini ditegaskan oleh para ulama tafsir lainnya, termasuk Syaikhul Ushul ’Atha bin
Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya.111
Allah Swt pun berfirman:

ِ ‫ول فَ ُخذُو ُه َو َما نَ َهاكُ ْم َع ْن ُه فَانْتَ ُهوا ۚ َواتَّقُوا اللَّ َه ۖ إِ َّن اللَّ َه شَ ِدي ُد الْ ِعق‬
‫َاب‬ ُ ‫َو َما آتَاكُ ُم ال َّر ُس‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Kata mâ dalam ayat di atas menjadi petunjuk keumuman ayat ini, perintah
melaksanakan apa yang Rasulullah Saw ajarkan kepada umatnya, dan menjauhi
apa yang dilarangnya, dimana itu semua merupakan gambaran Din Islam yang
mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah ‫ ﷺ‬berpesan:

َ َ‫اس إِ ِّن قَ ْد ت َ َرك ُْت ِفي ُك ْم َما إِنِ ا ْعتَ َص ْمتُ ْم ِب ِه فَلَ ْن ت َِضلُّوا أَبَ ًدا كِت‬
«‫اب اللَّ ِه َو ُس َّن َة نَ ِبيِّ ِه‬ ُ ‫»يَا أَيُّ َها ال َّن‬
"Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang
jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-
lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi dari
Ibnu ’Abbas r.a.112)
Hadits ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi,
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh
Rasulullah Saw dan para sahabatnya secara praktis. Kata yâ ayyuhannâs (wahai
manusia), dengan ungkapan seruan harf al-nidâ’ (kata seru yâ ayyuha) dengan objek
yakni al-nâs (bentuk plural yang artinya manusia), menunjukkan bahwa wasiat Nabi
‫ ﷺ‬ini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum,
termasuk pemimpin kaum Muslim (Khalifah) dan kaum Muslim pada umumnya.

110 Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hlm. 492.
111 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 276.
112 HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits no. 318) sanadnya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi
dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (X/114, hadits no. 20833)

36 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Wasiat Rasulullah ‫ ﷺ‬ini, mengandung perintah fardhu untuk berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, mencakup kewajiban menjadikan keduanya
sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan, mencakup aspek politik
dalam negeri maupun luar negeri, fardhu dengan petunjuk (qarînah) adanya janji
keselamatan dari kesesatan, diperkuat dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya.
Kata lan dalam hadits «‫ »لَ ْن ت َِضلُّو‬merupakan bentuk penafian, jika disebutkan «‫لَ ْن‬
‫ »ت َِضلُّوا‬artinya ”kalian tidak akan pernah tersesat” atau dengan kata lain selama-
lamanya mereka yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah tidak
akan pernah tersesat, karena kata lan bermakna ”tidak akan pernah” yakni li ta'bîd
(selama-lamanya).
Al-Mulla’ al-Qari (w. 1014 H) pun menjelaskan bahwa dua perkara tersebut (al-
Qur’an dan al-Sunnah) merupakan dua hal yang agung, dan makna «‫ »لَ ْن ت َِضلُّوا‬yakni
tidak akan pernah berada dalam kesesatan, dimana di dalamnya pun terdapat
tambahan (pujian) atas kemuliaan sunnahnya dan dorongan untuk berpegang teguh
terhadapnya.113 Imam al-Munawi (w. 1031 H) pun menjelaskan bahwa keduanya
merupakan perkara pokok dimana tiada yang boleh berpaling dari keduanya, dan
tiada yang bisa meraih petunjuk kecuali dari petunjuk keduanya, dan terjaganya
dari kemaksiatan, keberhasilan ada dengan berpegang teguh terhadap keduanya,
maka kewajiban kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan hal yang
diketahui bagian dari agama ini secara pasti.114
Dari ’Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

«‫» َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَ ْي َس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَ ُه َو َر ٌّد‬


"Siapa saja yang beramal tidak sesuai dengan perintah kami, maka amal perbuatan itu
tertolak” (HR. Muslim, Ahmad)115
Beramal sesuai perintah tentu beramal berdasarkan hukum syari’ah, dan hukum
syari’ah didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman utama hidup
manusia. Secara historis, terbukti pula kedudukan Khalifah dalam menegakkan
hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, yang wajib diteladani sebagai
suatu kewajiban. Dr. Muhammad Hawari menjelaskan:

‫وقد أدركت يقيناً من خالل مدارسة السرية النبوية يف ضوء النصوص القرآنية والنبوية بأن‬
،‫إعادة الترشيع اإلسالمي للحياة واجب رشعي وفرض كفاية‏إذا استطاع ذلك القامئون عليه‬
‫وفرض عني إذا عجزوا عن ذلك‬
Saya menyadari dengan keyakinan berdasarkan pembelajaran terhadap sirah
nabawiyyah dalam bimbingan cahaya al-Qur’an dan sunnah nabawiyyah, bahwa
113 Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mulla’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I,
1422 H, juz I, hlm. 269.
114 ‘Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Manawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah al-Imâm al-Syâfi’i, Cet.
III, 1408 H, juz I, hlm. 447.
115 HR. Muslim dalam Shahiih-nya; HR. Ahmad dalam Musnad-nya (42/62, hadits no. 25128); Syu’aib al-Arna’uth dkk
mengomentari: “Hadits ini sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”

Keistimewaan
Sistem Khilafah 37
mengembalikan hukum syari’at Islam dalam kehidupan merupakan kewajiban syar’i
dan fardhu kifayah bagi mereka jika ada yang mampu menegakkannya, dan fardhu ’ain
jika tidak ada yang menegakkannya.116
Relevan dengan pemahaman bahwa Khalifah jelas dibai’at untuk menerapkan
hukum Islam secara kaffah, hal itu sebagaimana ditunjukkan pula secara kinayah
dalam ungkapan hadits ma shallu, yakni kinayah dari ”selama mereka menegakkan
hukum Islam, yakni sendi-sendiri dasar Islam” dalam hadits Rasulullah ‫ﷺ‬:

َ ِ ‫َستَكُو ُن أُ َم َرا ُء فَتَ ْع ِرفُو َن َوتُ ْن ِك ُرو َن فَ َم ْن َع َر َف بَ ِرئَ َو َم ْن أَنْ َك َر َسلِ َم َولَ ِك ْن َم ْن َر‬
«‫ض َوت َابَ َع قَالُوا‬
‫»أَف ََل نُقَاتِلُ ُه ْم ق ََال َل َما َصلَّ ْوا‬
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan
kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa
saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya
(dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau
bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim,
Ahmad)117
Tatkala mengomentari hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi, dalam Syarh Shahîh Muslim
menyatakan:
Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi
di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh
Rasulullah ‫ﷺ‬. Sedangkan makna perkataan, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau
bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah
ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka sekedar melakukan
kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi
dasar Islam.118

C. Pilar-Pilar Khilafah
Bertolak dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka tidak mengherankan jika
para ulama menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah:
Pertama, Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyâdah li al-syar’i), yang menjamin
penegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, mengundang
keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Kedua, Kekuasaan milik umat (al-sulthân li al-ummah), yakni dengan adanya hak
bai’at untuk mengangkat khalifah, yang dibai’at untuk menegakkan hukum al-
Qur’an dan al-Sunnah, yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah
menegakkan syari’at Islam.

116 Dr. Muhammad Hawari, Da’watun Min Jâmi’ al-Ahkâm Min Tafsîr al-Imâm al-Qurthubi, 1428 H, hlm. 8.
117 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1854); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 26571), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”
118 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz XII, hlm. 242.

38 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ketiga, Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh umat (wujûb
al-khalîfah al-wahîd li al-muslimîn), yang menjamin realisasi kesatuan kaum Muslim
dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam kehidupan.
Keempat, Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalîfah haq al-tabanni), yang
menjamin kesatuan kaum Muslim, menjaganya dari ancaman perpecahan. Adopsi
hukum yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim, dimana tanpa kesatuan ini
kaum Muslim akan berpecah belah.

D. Visi & Misi Kepemimpinan Khilafah dalam Islam

1. Visi Melanjutkan Kehidupan Islam Meraih Kembali Kemuliaan


Khilafah bukan lah tujuan, mengingat tujuan manusia hidup hanya untuk mengabdi
kepada Allah Swt, meraih keridhaan-Nya dalam kehidupan hakiki, dari Anas bin
Malik r.a., bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

ِ ‫»الَ َعيْ َش إِالَّ َعيْش‬


«‫اآلخ َر ِة‬
“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)119
Visi ukhrawi tersebut direalisasikan dengan menegakkan Islam dalam pengaturan
politik, baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri, mewujudkan masyarakat
yang bertakwa, dimana hal itu menjadi sarana untuk menggapai keridhaan Allah
dalam kehidupan. Tegasnya, Khilafah merupakan entitas politik yang memiliki visi
penegakkan Islam kaffah dalam kehidupan, ini merealisasikan salah satu persoalan
paling prinsipil bahwa Islam adalah sumber kemuliaan manusia.
Kemuliaan ini relevan dengan keluhuran Din Islam, dimana keluhuran Din Islam
seiring sejalan dengan kedudukannya sebagai ajaran ilahi, yang dianugerahkan
Allah Yang Maha Sempurna kepada umat manusia, dimana keagungan dan
kemuliaan itu sendiri adalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman,
Allah Swt berfirman:

‫َولِلَّ ِه الْ ِع َّز ُة َولِ َر ُسولِ ِه َولِلْ ُم ْؤ ِم ِن َني‬


“Dan bagi Allah kemuliaan itu, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Munâfiqûn [63]: 8)
Dalam ayat yang agung ini, Allah menisbatkan secara khusus (qashr) kemuliaan
hanya milik Allah SWT, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman (al-mu’minîn).
Dimana keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi sebab kemuliaan (al-’izzah),
yakni kemuliaan dengan turunnya pertolongan Allah SWT bagi orang yang beriman
menghadapi musuh-musuhnya, hingga meraih kemenangan.120
119 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 3584); Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1804); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 12780),
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain.”
120 Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422 H,
jilid IX, hlm. 322.

Keistimewaan
Sistem Khilafah 39
Ibn Abbas r.a. pun menuturkan bahwa Islam adalah Din yang mulia, tiada yang lebih
mulia darinya:

‫ا ِإل ْسالَ ُم يَ ْعلُو َوالَ يُ ْع َل‬


“Islam itu mulia, tiada yang lebih mulia darinya.”121
Prinsip ini pun tergambar dalam atsar Umar bin al-Khaththab r.a. yang menjadikan
Islam sebagai sumber kemuliaannya:

‫َي ِه‬ ِ ‫إِنَّا قَ ْو ٌم أَ َع َّزنَا الل ُه بِا ِإل ْس‬


ِ ْ ‫الم فَلَ ْن نَ ْبتَ ِغ َي الْ ِع َّز َة ِبغ‬
“Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka kami takkan pernah
mencari kemuliaan dengan selainnya.”122
Dimana kemuliaan tersebut akan berbuah menjadi rahmat bagi alam semesta,
yang ditandai dengan kemakmuran dan keberkahan, yakni keberkahan yang turun
dari langit dan tumbuh dari bumi, dimana manusia diamanahi sebagai khalifah fi
al-ardh, yang berkewajiban menegakkan aturan Ilahi, meneladani sang pembawa
risalah, yakni Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang tidak diturunkan kecuali sebagai rahmat
bagi alam semesta. Allah Swt berfirman:

‫َو َما أَ ْر َسلْ َن َاك إِ َّل َر ْح َم ًة لِلْ َعالَ ِم َني‬


“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi
semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107)
Kerahmatan tersebut merupakan pengaruh positif turunnya keberkahan dari langit,
ketika tegaknya Din Islam dalam kehidupan diwujudkan oleh penduduk negeri
yang beriman bertakwa:

‫الس َم ِء َو ْالَ ْر ِض َولَٰ ِك ْن كَ َّذبُوا‬ ٍ ‫َولَ ْو أَ َّن أَ ْه َل الْ ُق َر ٰى آ َم ُنوا َواتَّ َق ْوا لَ َفتَ ْح َنا َعلَيْ ِه ْم بَ َرك‬
َّ ‫َات ِم َن‬
‫فَأَ َخ ْذنَا ُه ْم بِ َا كَانُوا‏يَك ِْسبُو َن‬
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’râf
[7]: 96)

2. Visi Dakwah Menyebarkan Islam Meraih Kembali Predikat Khayra Ummah


Nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah yang membicarakan topik dakwah, al-amr bi al-
ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar, menunjukkan bahwa tanggung jawab memikul

121 Imam Al-Bukhari menisbatkan riwayat ini sebagai atsar dari Ibn Abbas r.a. (hadits mauquf) (bab ‫إذا أسلم الصبي فامت هل يصىل عليه وهل‬
‫ ;)يعرض عىل الصبي اإلسالم‬begitu pula Abu Ja’far al-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (no. 5267); Ibn Zanjawih dalam al-Amwâl
(no. 506).
122 Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dâr al-Haramain, 1417 H, juz I, hlm. 120.

40 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
aktivitas yang agung ini, tak hanya berada di pundak para ulama, tapi juga
penguasa (umarâ’), bahkan menjadi karakter yang melekat pada visi misi kekuasaan
dalam Islam. Hal itu menjadikan penguasa menempati kedudukan yang sangat
krusial, dalam menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran, karena
kewenangan (shalâhiyyah) yang berada dalam genggamannya.
Mengapa? Karena visi dakwah wajib melekat pada aktivitas politik dalam dan luar
negeri dalam Islam, sebagaimana ditegaskan Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-
Juwaini (w. 478 H), bahwa penguasa wajib mengemban dakwah dengan hujjah
dan jihad.123 Diperjelas oleh al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) ketika
menjelaskan kepemimpinan dalam Islam, bahwa kepemimpinan dalam Islam
(Khilafah) secara syar’i adalah “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di
dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam
ke seluruh penjuru dunia.”124
Penguasa wajib aktif mendorong rakyatya kepada kebaikan, dan mencegah
mereka dari kemungkaran dengan kekuasaan di tangannya. Tak hanya itu, dakwah
pun menjadi politik luar negeri penguasa, yang secara aktif dilakukan dengan
cara mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana teladan
Rasulullah ‫ ﷺ‬yang tak kelu menyeru para pembesar bangsa-bangsa di masanya,
seperti Romawi dan Persia, untuk memeluk Islam. Sebagai contoh, surat dakwah
Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai penguasa:

‫ فَ ِإ ْن أَ ْسلَ ْم َت فَل ََك َما‬،‫ال ْس َل ِم‬ ِ ْ ‫ « إِ ِّن أَ ْد ُع َوك إِ َل‬:‫من محمد رسول الله إىل صاحب الروم‬
‫ فَ ِإ َّن اللَّ َه تَ َبا َر َك َوت َ َع َال‬،‫ال ْس َل ِم فَأَ ْع ِط الْ ِج ْزيَ َة‬
ِ ْ ‫لِلْ ُم ْسلِ ِم َني َو َعلَ ْي َك َما َعلَ ْي ِه ْم فَ ِإ ْن لَ ْم تَ ْد ُخ ْل ِف‬
‫ {قَاتِلُوا ال َِّذي َن لَ يُ ْؤ ِم ُنو َن بِاللَّ ِه َولَ بِالْ َي ْو ِم ْال ِخ ِر َولَ يُ َح ِّر ُمو َن َما َح َّر َم اللَّ ُه َو َر ُسولُ ُه َو َل‬:‫ُول‬ ُ ‫يَق‬
‫اب َحتَّى يُ ْعطُوا الْ ِج ْزيَ َة َع ْن يَ ٍد َو ُه ْم َصا ِغ ُرونَ} َوإِ َّل‬ َ َ‫يَ ِدي ُنو َن ِدي َن الْ َح ِّق ِم َن ال َِّذي َن أُوتُوا الْ ِكت‬
‫ أَ ْو يُ ْعطُوا الْ ِج ْزيَ َة‬،‫ أَ ْن يَ ْد ُخلُوا ِفي ِه‬:‫ف ََل ت َِح ُّل بَ َ ْي الْ َفل َِّح َني َوبَ َ ْي ا ِلْ ْسل َِم‬
125

Dari Muhammad Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada Kaisar Romawi: “Sesungguhnya aku menyeru


engkau kepada Islam, jika engkau masuk Islam maka bagimu hak sama seperti kaum
Muslim lainnya, dan kewajiban bagimu sama seperti kewajiban bagi mereka. Namun
jika engkau tidak mau masuk Islam maka tunaikanlah jizyah, dan sesungguhnya
Allah -Tabâraka wa Ta’âlâ- berfirman (yang artinya): “Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama

123 Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm. 22.
124 Ini merupakan pemahaman salafuna al-shâlih, dibuktikan oleh hujjah syar’i ijma’ sahabat, yang menegaskan pentingnya
khilafah dan kewajiban menegakkannya, disamping dalil-dalil al-sunnah al-nabawiyyah, yang memperhatikan benar
persoalan al-imâmah (kepemimpinan politik) dalam Islam.
125 Kata (‎‫الْ َفل َِّح َني‬‎) secara bahasa berkonotasi petani, Abu ‘Ubaid (w. 224 H) menjelaskan bahwa penyebutan al-fallâhîn (petani)
dalam ‎riwayat di atas tidak dikhususkan untuk rakyat Romawi yang berprofesi sebagai petani semata, a‎ kan tetapi yang
dikehendaki adalah Bangsa Romawi keseluruhan, dan hal itu karena orang ‎‎‘ajam (non arab) bagi Bangsa Arab semuanya
adalah petani (fallâhûn), karena profesi mereka ‎sebagai petani dan pekebun, karena siapa saja yang bertan maka bagi
Bangsa Arab mereka ‎adalah petani, sama saja apakah orang yang bertani dengan tangannya sendiri atau mengupah o ‎ rang
selainnya, lihat: Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Baghdadi, Kitâb al-Amwâl, Beirut: Dâr al-Fikr, hlm. 30. ‎

Keistimewaan
Sistem Khilafah 41
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.” (QS. Al-Taubah [9]: 29)
Jika tidak maka janganlah engkau menghalangi antara rakyatmu dengan Islam
untuk memasukinya, atau tunaikanlah oleh kalian jizyah.” 126
Surat Rasulullah ‫ ﷺ‬ini, sangat jelas menunjukkan eksistensi politik luar negeri
Negara Islam yang dibangun beliau ‫ﷺ‬, yakni dakwah dan jihad. Seruan dakwah
yang tersurat dari permulaan tulisan hingga akhirnya, singkat padat dan jelas,
menyeru pembesar Romawi dan rakyatnya untuk memeluk Islam, begitu pula dalam
surat-surat politik lainnya yang ditujukan Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai kepala negara
kepada penguasa-penguasa negara-negara kufur. Jika menolak ajakan memeluk
Islam maka dituntut untuk tunduk kepada Pemerintahan Islam dan diwajibkan
membayar jizyah, dan jika tetap menolak maka ditegakkan jihad.
Kedudukan penguasa dalam menegakkan kebenaran dan menghapuskan
kemungkaran pun ditekankan oleh al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H), bahwa suatu
keharusan bagi umat adanya imam (khalifah/penguasa) yang menegakkan agama,
menolong sunnah, mengembalikan hak kepada orang yang didzalimi, menunaikan
haknya dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.127
Allah SWT menjadikan kaum Muslim sebagai umat terbaik, dimana Allah SWT
menunjukkan kemuliaan tersebut berikut karakteristik yang harus melekat padanya
dalam firman-Nya:

ِ ‫اس تَأْ ُم ُرو َن بِالْ َم ْع ُر‬


‫وف َوتَ ْن َه ْو َن َعنِ الْ ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِم ُنو َن بِالل ِه‬ ِ ‫كُ ْنتُ ْم َخ ْ َي أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج ْت لِل َّن‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Âli
Imrân [3]: 110)
Menafsirkan ayat ini, Imam Ibn al-Atsir al-Katib (w. 637 H) menunjukkan pentingnya
kedudukan penguasa dalam menegakkan dakwah Islam:
Perkara ini mengandung makna khusus bukan umum, dan tidak dikhususkan
dengannya kecuali penguasa yang wajib dita’ati dan ahli ilmu (ulama), dan sungguh
Allah telah mengumpulkan bagi kita dua sifat tersebut, dan Dia menjadikan kita kaum
yang terpilih dengan kedua kedudukan tersebut, maka hendaknya kita mengawalinya
dengan memuji-Nya dimana hal tersebut menjadi sebab bagi bertambah-tambahnya
kenikmatan, kemudian hendaknya kita menegakkan perintah-Nya dimana bagi setiap
jiwa ada malaikat Rakib dan ‘Atid, dan tiada keraguan bahwa keshalihan para hamba-
Nya akan memakmurkan bumi hingga sucilah perut bumi dan tumbuh suburlah sumber-
126 Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya dari Abdullah bin Syaddad; dinukil pula oleh al-Hafizh al-Suyuthi
dalam Sîrah-nya: Abu ‘Utsman Sa’id bin Manshur al-Khurasani, Sunan Sa’id bin Manshur, Ed: Habib al-Rahman al-A’zhami,
India: Al-Dâr al-Salafiyyah, cet. I, 1403 H/1982, juz II, hlm. 223; Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam, Kitâb al-Amwâl, hlm. 30;
Muhammad bin ‘Ali bin Jamaluddin Ibn Hadidah, Al-Mishbâh al-Mudhi fî Kitâb al-Nabi al-Ummi wa Rusulihi ilâ Mulûk
al-Ardh min ‘Arabi wa ‘Ajami, Beirut: ‘Âlam al-Kutub, juz II, hlm. 103. Dinukil pula oleh ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Khashâ’ish al-Kubrâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., juz II, hlm. 9.
127 Al-Hafizh al-Nawawi, Raudhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet. III, 1412 H, juz X, hlm. 42.

42 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sumber daya alamnya, penduduk bumi dan tempat tinggalnya pun meraih keberkahan-
keberkahan dari langit.128
Allah SWT menjelaskan kedudukan kaum Muslim sebagai umat terbaik, selama
mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar dan beriman
kepada Allah, dengan keimanan yang benar. Dimana perbuatan menyuruh kepada
yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, disebutkan terlebih dahulu sebelum
keimanan kepada Allah, hal itu karena keduanya (dakwah) merupakan sejelas-
jelasnya bukti keutamaan umat Islam atas umat-umat lainnya.129 Dengan kata lain,
kemuliaan ini akan berada di tangan kaum Muslim selama mereka beriman kepada
Allah dengan sebenar-benarnya keimanan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar.130
Hal ini sejalan dengan uraian ulama ahli tafsir dari kalangan tabi’in, Imam Mujahid
r.a. (w. 104 H), yang menuturkan bahwa kaum Muslim menjadi umat terbaik, selama
memenuhi syarat-syarat yang Allah sebutkan dalam ayat, yakni menyuruh kepada
yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.131 Karena
kalimat ta’murûna bi al-ma’rûf wa tanhauna ’an al-munkar wa tu’minûna biLlâh,
menjadi sebab umat ini meraih predikat umat terbaik132, meminjam istilah Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) yakni "‫"سبب خريية األمة اإلسالمية‬.
Istimewanya, Allah SWT mengungkapkan informasi dalam ayat yang agung ini,
diawali diksi kuntum yang bermakna "kalian telah menjadi”, berbentuk kata kerja
lampau (al-fi’l al-mâdhi) yang mengisyaratkan pastinya kemuliaan tersebut,
senantiasa melekat (al-dawâm)133 selama mereka:
a. Beriman kepada Allah, yang mengandung konsekuensi iman terhadap segala hal
yang datang dari-Nya, ajaran-ajaran-Nya.
b. Menyuruh kepada yang ma’ruf
c. Melarang dari yang mungkar
Ketiga karakter ini diungkapkan dalam bentuk al-fi’l al-mudhâri’ (kata kerja saat
ini atau yang akan datang), yang menunjukkan tuntutan keberlangsungan proses
tersebut, tak boleh terhenti. Beriman kepada Allah, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan melarang dari yang mungkar, harus senantiasa tegak di tengah-tengah kaum
Muslim, dari masa ke masa, tak boleh diabaikan karena ketiganya menjadi sebab
kemuliaan kaum Muslim. Kemuliaan yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan
makna dan karakteristiknya.
Ketiga karakter agung ini pun dihubungkan dengan wâw al-’athf, yang berfaidah
menunjukkan penyatuan (li muthlaq al-jam’i)134, yakni penyatuan ketiga karakter
128 Ibn al-Atsir al-Kâtib, Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir, juz. III, hlm. 119.
129 Ibid, hlm. 40.
130 Ibid.
131 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, cet. I, 1420 H/2000, juz VII, hlm. 102.
132 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 38.
133 Ibid, hlm. 39.
134 Abu al-Hasan Sayyiduddin ‘Ali bin Abi ‘Ali al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Ed: Dr. Sa’id al-Jamili, Beirut: Dâr al-Kitâb

Keistimewaan
Sistem Khilafah 43
umat terbaik, yang tak terpisahkan mencakup akidah dan syari’ah (akhlak). Dimana
ayat ini mengisyaratkan kepada kita, keunggulan akidah dan ajaran akhlak kaum
Muslim, sehingga menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.135
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili ketika menjelaskan korelasi antara QS. Âli Imrân [4]:
104 dan ayat-ayat sebelumnya, menuturkan bahwa ayat ini menjadi penjelasan
atas ayat:

‫َوا ْعتَ ِص ُموا ِب َحبْلِ اللَّ ِه َج ِمي ًعا َولَ تَ َف َّرقُوا‬


“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai.” (QS. Âli Imrân [4]: 103)
Bahwa salah satu bentuk sikap berpegang teguh terhadap tali agama Allah,
dijelaskan kemudian dalam QS. Âli Imrân [4]: 104. Allah memerintahkan kita
berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan konsisten menegakkan Dinul Islam.
Kemudian Allah pun menjelaskan tatacara berpegang teguh terhadap al-Qur’an,
yakni dengan mendakwahkan al-khair (al-Islam-pen.), menyuruh kepada yang
ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.136
Dalam hadits dari Durrah binti Abi Lahab r.a., ia berkata: “Seseorang berdiri ketika
Rasulullah ‫ ﷺ‬di atas mimbar, lalu bertanya: “Siapakah sebaik-baiknya manusia?”
Beliau ‫ ﷺ‬menjawab:

«‫وف َوأَنْ َها ُه ْم َعنِ الْ ُم ْن َك ِر َوأَ ْو َصلُ ُه ْم لِل َّر ِح ِم‬
ِ ‫اس أَقْ َر ُؤ ُه ْم َوأَتْقَا ُه ْم َوآ َم ُر ُه ْم بِالْ َم ْع ُر‬
ِ ‫» َخ ْ ُي ال َّن‬
“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling patuh, paling bertakwa di antara mereka,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar serta menyambung tali
silaturahim.” (HR. Ahmad dan al-Thabrani, lafal Ahmad)
Jelas disebutkan dalam hadits di atas bahwa salah satu karakter sebaik-baiknya
manusia (khair al-nâs), adalah seseorang yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan
melarang dari kemungkaran. Predikat ini relevan dengan predikat sebagai al-
muflihûn (golongan orang yang beruntung) dalam QS. Âli Imrân [3]: 104.
Dalam ayat lainnya, Allah SWT pun menyifati umat Islam, sebagai umat[an]
wasath[an]:

‫ول َعلَ ْي ُك ْم شَ هِي ًدا‬ ِ ‫َوكَ َذلِ َك َج َعلْ َناكُ ْم أُ َّم ًة َو َسطًا لِتَكُونُوا شُ َه َدا َء َع َل ال َّن‬
ُ ‫اس َويَكُو َن ال َّر ُس‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Menafsirkan ayat yang agung ini, dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata: Rasulullah

al-‘Arabi, cet. I, 1404 H, juz I, hlm. 96; Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Nafâ’is al-Ushûl fî Syarh al-Mahshûl, Ed: Adil
Ahmad, Riyadh: Maktabat Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1416 H, juz III, hlm. 989.
135 Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, hlm. 22-23.
136 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 32.

44 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
‫ﷺ‬ bersabda, “..firman Allah “wa kadzâlika ja’alnâkum ummat[an] wasath[an].”
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

«‫»الْ َو َس ُط الْ َع ْد ُل‬


“Al-wasath adalah al-‘adlu (adil).” (HR. Al-Bukhari, al-Tirmidzi, Ahmad)137
Syaikhul Azhar, al-‘Allamah Mahmud Syaltut menegaskan bahwa umat ini telah
diistimewakan semenjak terbitnya fajar Islam dan tersebarnya cahaya petunjuk
Ilahi mencapai area seperempat dunia dengan al-Qur’an al-Karim, sumber petunjuk
tersebut dan kemuliaannya, dimana ajaran-ajaran al-Qur’an menimbulkan pengaruh
positif dan produktif dalam kehidupan manusia pada umumnya, dan kaum Muslim
khususnya.138
Fadhilatusy Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa Allah menjadikan umat
Muhammad ‫ ﷺ‬sebagai umat yang adil di antara umat-umat, untuk menjadi saksi
atas umat manusia, dan Allah menjadikan umat ini dengan sifat (al-ummah al-
wasath) yakni umat yang adil untuk menjadi saksi atas manusia, dimana keadilan
merupakan syarat asasi untuk bersaksi. Al-Wasath dalam perkataan orang-orang
arab berkonotasi al-khiyâr (pilihan), dan yang orang terpilih dari umat manusia
adalah mereka yang adil.139
Sehingga bisa disimpulkan bahwa frasa ummat[an] wasath[an] itu sendiri, bermakna
umat pilihan dan adil (khiyâr[an] ’udûl[an]). Yakni umat yang adil dengan menegakkan
ajaran Islam, bukan umat yang menegakkan kezhaliman dengan menyelisihi ajaran
Islam. Ayat ini mendorong kita mengemban tanggung jawab risalah, risalah agung
untuk memimpin umat manusia dan menunjuki mereka kepada jalan kebenaran
dan kebaikan yang abadi, tak terbatas pada suatu masa tanpa masa lainnya dan
tak terbatas pada suatu generasi tanpa generasi lainnya.140 Hal ini yang terwujud
dengan upaya dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar.
Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i (w. 1384 H) menggambarkan faktor-faktor yang
menunjukkan keunggulan Peradaban Islam, sehingga kaum Muslim menjadi umat
terbaik:
Pertama, Dibangun dari asas akidah yang luhur yakni akidah tauhid, akidah yang
lahir dari ilmu memuliakan akal (sesuai fungsi dan batasannya-pen.) dan menolak
kebodohan.
Kedua, Aspek spiritualitas (rûhiyyah) positif yang mendorong produktivitas, aspek
rûhiyyah ilâhiyyah yang harus ada pada pasukan ketika di medan perang, buruh
ketika di pabrik, orang berilmu dalam pelajarannya, peneliti dalam penelitiannya,

137 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 6917); Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2961), Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan
shahîh.”; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11301), Syaikh Syu'aib al-Arna'uth mengomentari: “Hadits ini shahih menurut syarat
Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).”
138 Mahmud Syaltut, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XII, 1424 H/2004, hlm. 7.
139 ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 177.
140 Hal ini diutarakan oleh Syaikh Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i dalam bukunya, Min Rawâi’i Hadhâratinâ.

Keistimewaan
Sistem Khilafah 45
hakim dalam pengadilannya, dan lain sebagainya dalam berbagai profesi dan
kondisi.141
Ketiga, Kemampuan Peradaban Islam membangun peradaban yang dinantikan,
dimana tiada yang bisa mengingkari realita bahwa Peradaban Islam menebarkan
kebaikan; menebarkan rahmat bagi umat manusia, menghiasi akhlak, menegakkan
keadilan dalam hukum, menciptakan keluhuran aspek spiritual, jauh di atas
Peradaban Barat dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Inilah di antara sebab dari sekian banyak sebab yang menjadikan kaum Muslim
sebagai satu-satunya umat yang berhak memegang tampuk bendera peradaban
untuk membangun kembali peradaban manusia,142 dimana itu semua bisa
ditegakkan dalam kehidupan bi nashriLlah, dengan tegaknya kekuasaan syar’iyyah,
al-Khilafah ’ala minhaj al-nubuwwah. []

141 Ini yang dinamakan majz al-mâdah bi al-rûh (penyatuan antara materi dengan aspek ruh).
142 Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, hlm. 22.

46 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 5
Daulah Islamiyyah di Masa
Rasulullah ‫ﷺ‬
Bila Daulah Islamiyah merupakan kenyataan hukum, sejarah, dan konsekuensi
logis dari keberlangsungan hidup Islam, lalu, bagaimana realitas empirik Daulah
Islamiyyah pada masa Rasulullah ‫ ?ﷺ‬Apakah ada dalil-dalil sharih yang
menunjukkan, bahwa Rasulullah saw telah membangun struktur Daulah Islamiyyah
di Madinah?
Riwayat-riwayat mutawatir dan terpercaya telah memberikan informasi akurat
mengenai bentuk dan stuktur negara yang dibangun Rasulullah ‫ﷺ‬. Apa yang
dilakukan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬di Madinah menunjukkan, bahwa beliau saw
membangun negara, melakukan aktivitas kenegaraan, serta meletakkan landasan
teoritis bagi bentuk dan sistem pemerintahan yang maju. Bahkan, di kemudian
hari, sistem pemerintahan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaan
maupun hukum banyak diadopsi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan
modern. Meskipun di masa Rasulullah ‫ ﷺ‬sistem dan struktur kenegaraan belum
dilembagakan dalam sebuah buku khusus, namun, praktek kenegaraan yang
dilakukan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para shahabat adalah perwujudan nyata dari
sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dengan sistem pemerintahan manapun.
Kenyataan ini sudah cukup untuk menangkis keraguan bahkan cibiran sebagian
pihak yang meragukan eksistensi pemerintahan dan aktivitas kenegaraan yang
dilakukan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.
Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬meliputi asas negara,
struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan
administratif.
Paradigma dasar pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip, kedaulatan ada di
tangan syariat dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Kedaulatan (sovereignty) adalah
daulat (kekuasaan) tertinggi untuk menetapkan hukum. Sedangkan kekuasaan
ada di tangan rakyat, maksudnya adalah, kewenangan untuk mengangkat kepala
negara (khalifah) ada di tangan rakyat yang disalurkan melalui sebuah mekanisme
yang bernama baiat. Islam telah menggariskan, bahwa kedaulatan tertinggi untuk
menetapkan hukum hanya di tangan Allah swt semata. Manusia tidak memiliki
kewenangan dan hak sama sekali untuk menetapkan hukum. Ia hanya berkewajiban
menurunkan hukum yang digali dari nash syariat, untuk kemudian diberlakukan
pada realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian, rakyat
memiliki kewenangan mengangkat salah seorang diantara mereka untuk menjadi
kepala negara yang akan mengatur urusan mereka dengan syariat Islam.
Adapun mengenai perangkat dan struktur negara, Rasulullah ‫ ﷺ‬telah
menugaskan sejumlah orang untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan

Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
47
kekuasaan dan pemerintahan; dan ada pula yang diberi tugas menangani masalah-
masalah administratif. Di samping itu, Rasulullah saw juga menetapkan mekanisme
dan birokrasi tertentu yang menghubungkan antar perangkat negara, maupun
aparat negara dengan rakyat. Tidak hanya itu saja, Rasulullah ‫ ﷺ‬juga menyediakan
perangkat-perangkat keras maupun lunak untuk mendukung aktivitas mereka.
Singkatnya, Daulah Islam di masa Rasulullah ‫ ﷺ‬merupakan sebuah pemerintahan
yang memiliki bentuk maupun sistem yang berbeda dengan model pemerintahan
manapun.
Atas dasar itu, anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬tidak
menetapkan dan memformulasikan bentuk dan sistem pemerintahan tertentu
kepada kaum Muslim, sehingga para shahabat dan kaum Muslim boleh berijtihad
untuk menentukan bentuk dan sistem pemerintahan sendiri adalah anggapan yang
keliru dan salah. Sebab, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬telah menggariskan bentuk dan
sistem pemerintahan khas, yang kemudian diterapkan oleh para shahabat ra.
Bukti-bukti mengenai eksistensi Daulah Islamiyyah di masa Rasulullah ‫ﷺ‬, asas,
struktur, dan mekanisme birokrasi pemerintahan dapat dijelaskan sebagai berikut.

A. Dasar Negara: 'Aqidah Islamiyyah Pondasi Daulah Islamiyyah


Fundamen dasar Daulah Islamiyyah adalah ‘aqidah Islamiyyah; ‘aqidah yang
dibentuk oleh dua kalimat mulia, “Tidak ada ilah kecuali Allah, dan Muhammad utusan
Allah.” Beliau ‫ ﷺ‬menjadikan dua kalimat syahadat ini sebagai asas dasar untuk
membangun pemerintahan, mengatur, dan mendakwahkan Islam kepada seluruh
umat manusia. Imam Muslim dan Bukhari telah meriwayatkan dari 'Abdullah bin
'Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Aku diperintahkan untuk
memerangi orang hingga mereka menyatakan kesaksian La Ilaha Illallah Muhammadur
Rasulullah, mendirikan sholat dan membayar zakat. Bila mereka melakukannya, darah
dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan (haq),
dan perhitungan mereka semata pada (tangan) Allah."
Rasulullah ‫ ﷺ‬memerintahkan agar kaum Muslim selalu menjaga keberadaan
aqidah Islam, sebagai landasan dasar bagi daulah Islam. Bahkan, beliau telah
memerintahkan kepada kaum Muslim agar mengangkat senjata dan berperang bila
terlihat kekufuran yang nyata, yakni bila aqidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai
landasan pemerintahan dan kekuasaan. Oleh karena itu, tatkala Rasulullah ‫ﷺ‬
ditanya tentang pemerintahan yang dzalim, "Tidakkah kita perangi saja mereka itu
dengan pedang (Wahai) Rasulullah? Beliau menjawab, "Jangan, selagi mereka masih
menegakkan sholat (hukum Islam)". Beliau ‫ ﷺ‬melarang kaum Muslim untuk
mencabut bai'at dari tangan ulil amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan
kekufuran yang nyata. Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik tentang
kebobrokan para pemimpin, "Ditanyakan (kepada Rasulullah ‫)ﷺ‬, " Ya Rasulullah,
tidakkah kita perangi saja itu dengan pedang? Beliau menjawab," Jangan, selama
mereka masih menegakkan sholat (hukum Islam)".

48 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari 'Ubadah bin Shamit tentang bai'at, "Dan agar
kami tidak mengambil urusan tersebut pada ahlinya, kecuali bila kalian menyaksikan
kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat (burhan) di sisi
Allah." Dalam riwayat al-Thabarani, beliau menyatakan dengan kata kufran sharrahan
(bukan kufran bawwahan).
Ini menunjukkan bahwa asas daulah Islam adalah aqidah Islam. Dengan landasan
inilah Rasulullah ‫ ﷺ‬membangun kekuasaan. Bahkan, untuk menjaga eksistensi
‘aqidah Islamiyyah ini, beliau telah memerintahkan kepada kaum Muslim, agar
mengangkat senjata, bila terlihat kekufuran yang nyata; yakni bila ‘aqidah Islam
tidak lagi dijadikan sebagai asas dasar negara.
Atas dasar ini, daulah Islam tidak akan memberi tempat bagi ‘aqidah, pemikiran,
hukum, ataupun pemikiran yang bertentangan dengan ‘aqidah Islam. Klaim Daulah
Islamiyyah tidak berarti sama sekali, bila negara tersebut ternyata mengadopsi
‘aqidah, hukum, dan pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan ‘aqidah
Islam.
Demikianlah, Daulah Islam tidak akan mentolerir konsep-konsep yang bertentangan
dengan ‘aqidah dan hukum Islam, semisal, sistem demokrasi. Demokrasi, lahir bukan
dari aqidah Islam. Selain itu, derivat dari demokrasi juga bertolak belakang dengan
‘aqidah dan hukum Islam; misalnya, nasionalisme, sukuisme, pluralisme, dan lain-
lain.
Demikian pula mengenai struktur, dan bentuk negara, semuanya harus bersumber
dari ‘aqidah dan hukum Islam. Struktur, dan bentuk negara yang lahir bukan dari,
dan bertentangan dengan ‘aqidah Islam, harus ditolak. Federasi, monarki, republik,
dan kekaisaran, merupakan sistem pemerintahan yang bertentangan dengan ‘aqidah
dan hukum Islam. Selain, sudah batal dari sisi asas penyusunnya, sistem-sistem
pemerintahan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan sistem pemerintahan
dalam Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah.
Daulah Islamiyyah dipimpin oleh seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan
dan menegakkan hukum Islam di dalam negeri, dan mengemban dakwah Islam
ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Oleh karena itu, aturan yang
diberlakukan di dalam Daulah Islamiyyah adalah aturan Islam, yang terpancar dari
‘aqidah Islam, bukan aturan lain. Allah swt berfirman, artinya,
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (al-
Nisaa':65).
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di tengah-tengah mereka menurut apa
yang diturunkan Allah". (al-Maidah: 49)
"Dan barangsiapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir." (al-Maidah:44).

Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
49
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku (tuntunanku), maka perbuatan itu
tertolak".
Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan daulah Islam, baik undang-undang
dasar maupun undang-undang yang lain, ditetapkan berdasarkan hukum syara'
yang digali dari aqidah Islam. Yakni, hukum yang bersumber dari al-Kitab dan al-
Sunnah.
Dengan aqidah Islam pula, Rasulullah ‫ ﷺ‬berhasil mambangun daulah Islam di
Madinah al-Munawwarah. Atas dasar asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur,
pasukan, serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri, negara Islam.

B. Struktur Negara Islam di Madinah


Setelah beliau ‫ ﷺ‬sampai ke Madinah beliau langsung memimpin kaum Muslim,
melayani kepentingan mereka, memanaj urusan-urusan mereka, membentuk
masyarakat Islam, serta mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi; baru kemudian
dengan bani Dhamrah serta bani Mudlij; lalu dengan kafir Quraisy, penduduk Ailah,
Jarba', dan Adzrah. Beliau mengadakan perjanjian tersebut agar mereka tidak
sampai menghalang-halangi orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Juga agar
tidak ada seorangpun yang diprovokasi pada saat syahr al-haram (bulan Dzulqa'dah,
Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau pernah mengirim Hamzah bin 'Abd al-
Muthalib, Muhammad bin 'Ubaidah bin al-Harits, serta Sa'ad bin Abi Waqqas dalam
sebuah detasemen untuk menyerang kaum Quraisy. Beliau mengirim Zaid bin
Haritsah, Ja'fah bin Abi Thalib dan 'Abdullah bin Rawahah untuk menyerang bangsa
Romawi. Beliau ‫ ﷺ‬juga mengirim Khalid bin Walid untuk menyerang penduduk
Dumat al-Jandal. Dalam beberapa peperangan, terkadang beliau memimpin sendiri
pasukannya secara langsung. Beliau ‫ ﷺ‬juga terjun langsung dengan pasukannya
dalam pertempuran yang dahsyat. Baliau juga pernah mengangkat wali (semacam
pimpinan daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (semacam
pimpinan daerah tingkat II) untuk beberapa negeri. Beliau pernah menunjuk Utab
bin Usaid untuk menjadi wali di Mekah setelah kota itu ditaklukkan. Kemudian
setelah masuk Islam, Badzan bin Sasan, ia diangkat menjadi wali di Yaman. Beliau
juga pernah mengangkat Mu'ad bin Jabal al-Khazraji ntuk menjadi wali di Janad.
Khalid bin Walid menjadi 'amil di Shun'a'. Ziyad bin Lubaid bin Tsa'labah al-Anshariy
menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa al-Asy'ariy menjadi wali di Zabid dan 'Adn.
'Amr bin al-'Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi 'amil di Madinah.
Ketika beliau menunjuk para wali tersebut, beliau memilih seseorang untuk menjadi
wali atau 'amil dengan kualifikasi yang paling sempurna dalam melaksanakan
tugasnya. Beliau juga senantiasa menanamkan iman dalam benak mereka yang akan
diterjunkan di daerah-daerah yang telah beliau tentukan. Beliau selalu menanyai
mereka tentang cara yang akan mereka pergunakan dalam menentukan keputusan
mereka. Imam Baihaqi, Ahmad, dan Abu Dawud telah meriwayatkan dari Mu'adz;

50 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
bahwa ketika beliau mengirim Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya kepadanya,
"Bagaimana caramu memutuskan, bila engkau dihadapkan pada sebuah perkara? Mu'adz
menjawab, " Saya akan memutuskan dengan Kitabullah. Beliau bertanya, "Jika kamu
tidak menemukannya dalam Kitabullah? Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan
dengan sunnah Rasul-Nya. Beliau bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukannya
dalam sunnah Rasul-Nya? Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pendapatku,
dengan seluruh daya upayaku. Mu'adz mengatakan, "Beliau lalu menepukkan tangan
beliau ke dadaku. Lalu beliau bersabda, "Segala puji hanya milik Allah, yang telah
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang amat dicintai oleh
Rasul-Nya."
Ibnu Sa'ad telah meriwayatkan dari Amru bin 'Auf, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah
mengangkat Aban bin Sa'id bin al-'Ash menjadi wali di Bahrain, lalu bersabda
kepadanya,
"Mintalah nasehat kebajikan kepada Abd al-Qais serta muliakanlah bangsawannya".143
Rasulullah ‫ ﷺ‬selalu mengutus orang yang terbaik yang sebelumnya telah
masuk Islam. Beliau biasanya memerintahkan mereka agar mengajari masalah
agama kepada orang-orang yang baru masuk Islam, serta mengambil zakat dari
mereka. Dalam berbagai keadaan beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para
wali agar wali tersebut menarik zakat. Beliau juga menyerukan kepada mereka
agar memberikan kabar gembira kepada semua orang, serta mengajarkan al-Quran
kepara mereka, mendidik mereka dalam hal keagamaan hingga betul-betul faqih.
Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang
jelas-jelas benar. Dan mencegah semua orang agar tidak mempropagandakan
kesukuan dan ras tertentu, hingga propaganda mereka hanya kepada Allah semata
yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. serta mengambil
khumus al-amwal (1/5 dari harta temuan) dan sedekah-sedekah yang telah
diwajibkan atas kaum Muslim (zakat mal dan sejenisnya).144
Orang Yahudi dan Nashrani yang telah memeluk Islam dengan tulus dari lubuk hati
mereka, maka mereka adalah orang-orang mukmin. Mereka berhak mendapatkan hak
dan kewajiban sebagaimana layaknya orang mukmin yang lain. Sedang bagi mereka
yang tetap dalam ke-nashraniannya dan keyahudiannya, tetap akan dilindungi.
Imam Muslim dan Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika mengirim Mu'adz ke Yaman, beliau bersabda,
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka hendaknya yang pertama
kali kamu sampaikan kepada mereka adalah (agar mereka) beribadah kepada Allah
'Azza Wa Jalla. Jika mereka tidak mengenal Allah, sampaikan kepada mereka bahwa
Allah memfardlukan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Bila
mereka melakukannya, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah memfardlukan
kepada zakat kepada mereka, yang akan diambil dari mereka yang kaya, kemudian akan

143 Taqiyyuddin al-Nabhani, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm.25


144 Ibid, hlm.25

Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
51
diberikan kepada yang miskin. Jika mereka mentaatinya, maka ambillah dari mereka,
dan kehormatan hartanya pun akan dijaga".145
Dalam riwayat yang kedua, riwayat Muslim dan Bukhari dengan tambahan, "Berhati-
hatilah terhadap do'a orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka dengan Allah
tidak terdapat hijab (penghalang)."
Dalam keadaan tertentu Rasulullah ‫ ﷺ‬mengirim utusan khusus untuk mengurusi
masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus 'Abdullah bin Rawahah kepada
orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.
Dalam kitab al-Muwatha' dinyatakan, "Bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah mengirim 'Abdullah
bin Rawahah untuk memungut (kharaj) darinya dan dari mereka. Dia kemudian
berkata, "Bila kalian mau, maka (harta itu) menjadi milik kalian.Dan bila kalian mau,
maka menjadi milikku. Mereka kemudian mengambilnya."146
Dari Salman bin Yasar menyatakan, "Mereka mengumpulkan perhiasan dari perhiasan-
perhiasan isteri mereka. Mereka berkata," Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah
(pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata. 'Abdullah bin
Rawahah kemudian menjawab. "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkanlah). Bagiku,
kalian adalah makhluk yang paling dimurkai Allah. Aku tidak akan membawanya dengan
harapan aku akan memperingan (pungutan) yang telah menjadi kewajiban kalian. Suap
yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan "suht" (barang haram). Dan sungguh
kami tidak akan memakannya. Mereka kemudian berkomentar, " Karena sikap semacam
inilah, maka langit dan bumi ini akan tetap tegak."147
Rasulullah ‫ ﷺ‬juga senantiasa mencari tahu tentang keadaan para wali dan amil
beliau. Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang
disampaikan kepada beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' bin al-Hadrami dari
jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abd al-Qais yang
mengadukannya kepada Nabi ‫ﷺ‬. Ibnu Sa'ad mengatakan, "Kami telah diberitahu
oleh Muhammad bin 'Umar yang mengatakan, "Saya telah diberitahu ..dari Amru bin Auf,
wakil bani Amir bin Luayyi, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah mengirim Ila' bin al-Hadhrami
ke Bahrain, kemudian memberhentikannya dari Bahrain. Lalu beliau mengirim Abban
bin Sa'id sebagai Amil di sana. Muhammad bin 'Umar mengatakan, "Rasulullah ‫ﷺ‬
telah menulis surat kepada Ila' bin al-Hadhrami agar mengirimkan dua puluh orang
kepada beliau”. Maka ia pun mengirimkan dua puluh orang kepada beliau. Mereka
dipimpin oleh 'Abdullah bin Auf al-Asyaj. Kedudukan Ila' di Bahrain (ketika itu)
kemudian digantikan oleh Mundzir bin Saawi. Delegasi tersebut mengadukan Ila'
bin al-Hadhrami. Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬pun memberhentikannya, dan mengangkat
Abban bin Sa'id al-'Ash. Dan beliau bersabda kepadanya, "Mintalah nasehat kepada
Abd al-Qais, dan muliakanlah bangsawannya." Dan Nabi ‫ ﷺ‬pun selalu memenuhi
kritik yang ditujukan kepada Amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan
pengeluaran mereka.”

145 Ibid, hlm.25


146 Ibid, hlm.26
147 Ibid, hlm.26

52 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hamid al-Saa'idiy, "Bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬telah mengangkat Ibnu Luthiyah sebagai Amil untuk mengurusi
zakat Bani Sulaim, maka tatkala ia datang di hadapan Rasulullah ‫ ﷺ‬dan baliau
menanyainya, dia berkata, "Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini merupakan hadiah
yang telah dihadiahkan kepadaku." Beliau saw bersabda, "Mengapa engkau tidak duduk
di rumah bapak dan rumah ibumu sampai hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika
engkau memang jujur." Rasulullah ‫ ﷺ‬kemudian berdiri dan berkhutbah di hadapan
orang, memuji Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, "'Amma ba'du. Aku telah
mengangkat seseorang di antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-urusan
yang telah diserahkan oleh Allah kepadaku (agar diurusi). Kemudian salah seorang
diantara kalian itu datang dan mengatakan, "Ini untukmu, dan ini adalah hadiah yang
dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya dia duduk saja di rumah ayah dan rumah
ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya, jika dia memang jujur. Demi Allah,
salah seorang diantara kalian tidak boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang
tidak benar, kecuali kelak pada hari kiamat, dia pasti akan menghadap Allah dengan
memikulnya. Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah, seorang dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang bersuara, atau
kambing yang bersuara (hewan yang sudah besar). Orang itu kemudian mengangkat
tangannya hingga engkau melihat putihnya kedua ketiaknya. Ketahuilah apakah aku
sudah menyampaikan? Imam Abu Dawud juga telah meriwayatkan dari Buraidah
dari Nabi ‫ ﷺ‬yang bersabda, "Siapa saja yang telah kami angkat sebagai Amil, untuk
melaksanakan tugas tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka
harta yang diperoleh di luar itu tidak lain hanyalah harta Ghulul (harta haram)."
Penduduk Yaman juga pernah melaporkan bacaan yang dibaca Mu'adz bin Jabal
yang terlalu panjang ketika menjadi imam sholat, maka Nabi segera menegurnya.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Abi Mas'ud al-Anshariy yang
mengatakan, "Ada seseorang melapor (kepada Rasul), " Wahai Rasulullah, saya hampir
tidak pernah mengikuti sholat (berjama'ah) karena panjangnya (bacaan) fulan yang
menjadi imam kami. Maka saya tidak melihat Nabi ‫ ﷺ‬dalam memberikan nasehat
dengan sangat marah melebihi hari itu. Beliau lalu bersabda, "Wahai manusia kalian
harus bergegas (bersama untuk sholat). Siapa yang menjadi imam sholat orang lain
hendaknya memperpendek, sebab di situ juga ada yang sakit, lemah, dan orang yang
mempunyai hajat". Dalam riwayat Muslim yang lain, dari Jabir dengan menggunakan
lafazh, "Wahai Mu'adz, apakah engkau memberikan ujian.."
Nabi ‫ ﷺ‬pernah mengangkat para qadli untuk memutuskan perkara hukum di
tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat 'Ali bin Abi Thalib sebagai qadli
di Yaman dan 'Abdullah bin Naufal sebagai qadli di Madinah. Beliau juga pernah
menugaskan Mu'adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy'ariy untuk menjadi qadli di
Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai keduanya,
"Dengan apa kalian menghukumi?" Mereka berdua menjawab, "Jika kami tidak
menemukannya di dalam al-Kitab dan al-Sunnah, kami akan mengqiyaskan satu
masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka
itulah yang akan kami pergunakan."

Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
53
Dan Nabi pun membenarkannya. Sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau
senantiasa memilih para qadli serta menentukan cara mereka mengambil keputusan.
Nabi ‫ ﷺ‬juga mengatur seluruh kepentingan masyarakat. Beliau mengangkat para
penulis untuk mengatur kepentingan tersebut. Mereka itu (para penulis) layaknya
seperti dirjen sebuah departemen. Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian,
apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta menulis perdamaian, apabila
beliau ‫ ﷺ‬melakukan perdamaian. Mu'aiqib bin Abi Fathimah mengurusi cincin
beliau (yang menjadi stempel negara). Mu'aiqib bin Abi Fathimah menjadi penulis
ghanimah (harta rampasan perang). Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan
dari tanah Hijaz. Zubeir bin Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu'bah
menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil bin
Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu
mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan meskipun yang
diurusi juga beragam kepentingannya.
Nabi ‫ ﷺ‬sering bermusyawarah dengan para shahabat beliau. Beliau tidak pernah
lepas dari saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang
memiliki kecemerlangan dan kelebihan berfikir. Dimana mereka, memberikan
penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketaqwaan mereka dalam rangka
menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh dari kaum Anshar dan tujuh
lainnya dari kaum Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, 'Umar,
'Ali, Hasan, Husein, Ibnu Mas'ud, Salman, 'Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan
Bilal. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari 'Ali yang mengatakan, "Aku mendengar
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Tak seorang Nabi pun sebelumku, kecuali diberi tujuh
pemimpin (kaum), pembantu yang mulia. Sedangkan aku telah diberi empat belas
pembantu, pemimpin yang mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin." Dalam
riwayat Imam Ahmad yang lain, dari jalur Ali , di sana disebutkan nama-namanya, "...
Hamzah, Ja'far, 'Ali, Hasan, Husein, Abu Bakar, 'Umar, Miqdad, 'Abdullah bin Mas'ud, Abu
Dzar, Hudzaifah, Salman, 'Ammar, dan Bilal". Beliau juga meminta pendapat kepada
yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah
dengan mereka lebih intens. Jadilah mereka layaknya majelis syura.
Nabi ‫ ﷺ‬telah menetapkan atas harta kaum Muslim serta yang lain, termasuk
atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10
di daerah perbatasan), fa'i (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya
tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Dimana anfal serta ghanimah tersebut
menjadi milik bait al-maal. Sedangkan distribusi zakat, diberikan hanya kepada
delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Quran. Dan sedikit pun tidak
akan diberikan kepada kelompok yang lain. Begitu pula dalam urusan negara, daulah
Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan
rakyat, mereka akan dipulay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah,
serta ghanimah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta
angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi
harta yang lain.

54 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Demikianlah Rasulullah ‫ ﷺ‬telah membangun sendiri struktur daulah Islam,
kemudian beliau menyempurnakannya semasa hidup beliau. Dan beliaulah yang
menjadi kepada negara. Beliau juga memiliki dua mu'awwin (pembantu), wali, amil,
qadli, pasukan, dirjen departemen-departemen, serta majelis syura. Struktur ini
dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah thariqah (tuntunan operasional) yang
wajib diikuti. Dan semuanya telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Rasulullah ‫ ﷺ‬senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak
tiba di Madinah hingga beliau wafat, sementara Abu Bakar dan 'Umar ra adalah
mu'awin beliau. Para shahabat sepeninggal beliau ‫ﷺ‬, juga telah sepakat untuk
mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam memimpin
negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan kenabian. Sebab, kenabian dan
kerasulan telah berakhir pada beliau saja.
Kenyataan di atas telah menunjukkan, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah membangun
struktur negara secara sempurna di Madinah. Selanjutnya, beliau mewariskan
bentuk pemerintahan dan struktur negara yang demikian jelas dan gamblang ini
kepada umat Islam.

Daulah Islamiyyah
di Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
55
B a b 6
Kelangsungan Khilafah Islamiyyah
Dalam lintasan sejarah, eksistensi Daulah Khilafah telah terjaga selama 1342 tahun
lamanya. Dimulai pada Jum’at 12 Rabi’ al-Awwal 1 H [23/9/622 M], Rasulullah ‫ﷺ‬
membangun Daulah Islamiyyah untuk pertama kali di Madinah. Pada tahun ke 11
setelah hijrah, Rasulullah ‫ ﷺ‬berpulang ke haribaan Allah, tepatnya pada tanggal
12 Senin Rabi’ al-Awwal [6/6/632]. Posisi beliau sebagai kepala negara diganti
oleh Abu Bakar ra, setelah prosesi pembai'atan di Saqifah pada hari Selasa, 13 Rabi’
al-Awwal.148 Eksistensi Daulah Islamiyyah ini terus terjaga hingga tahun 1342 H.
Pada tahun 656-660 H, yakni sekitar 3,5 tahun lamanya, kaum Muslim pernah hidup
tanpa naungan Daulah Islamiyyah, akibat serangan dari bangsa Tartar. Akan tetapi,
kaum Muslim segera menegakkan kembali Daulah Islamiyyah, hingga bertahan
selama 672 tahun lamanya.
Tatkala Daulah Khilafah Islamiyyah hancur akibat makar dari negara Inggris melalui
anteknya, Kemal Ataturk, pada tahun 1342 H [1924]; sejak saat itu kaum Muslim
hidup tanpa naungan Daulah Khilafah Islamiyyah hingga sekarang.149
Harusnya kaum Muslim menyadari bahwa, keberadaan Khilafah Islamiyyah bagi
mereka ibarat jantung bagi tubuhnya. Dialah yang menggerakkan seluruh organ,
menyebarkan energi, oksigen, dan nutrisi ke seluruh tubuh. Bila jantung berhenti
berdetak, suplai energi, makanan, dan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu.
Tubuh akan layu, dan lama kelamaan akan binasa. Begitu pula keberadaan Daulah
Khilafah Islamiyyah bagi Islam dan kaum Muslim. Selama Daulah Khilafah Islamiyyah
tegak berdiri, kaum Muslim akan hidup penuh dengan tenaga dan dinamika. Sebab,
jantung mereka masing berdetak dan memompakan darah yang berisi nutrisi dan
oksigen ke seluruh tubuh. Namun, ketika Daulah Khilafah Islamiyyah diruntuhkan,
maka Islam dan kaum Muslim tidak lagi memperoleh perlindungan dan penjagaan.
Kehidupan Islam –yang hanya bisa terwujud dalam sistem Daulah Islamiyyah—pun
berakhir dan lenyap. Oleh karena itu, menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, tak
ubahnya menggerakkan kembali detak jantung dalam tubuh. Bila jantung kembali
berdetak, maka seluruh organ akan kembali bergerak dan hidup.
Hanya saja, kaum Muslim wajib memahami, bahwa kewajiban menegakkan
kembali Khilafah Islamiyyah bukan hanya tugas orang-orang tertentu, atau
kelompok-kelompok tertentu saja, akan tetapi ia adalah tugas seluruh kaum Muslim.
Seluruh kaum Muslim akan terus menanggung dosa tatkala ia berdiam diri dari
aturan-aturan kufur yang membelenggu mereka, serta mengabaikan upaya-upaya
memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dan sempurna, dengan jalan
menegakkan kembali Daulah Islamiyyah.

148 Majalah al-Khilafah al-Islamiyyah, ed.1, Sya’ban 1315 H/1995; hlm. 6.


149 Ibid, hlm.6

56 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B a b 7
Khilafah Islamiyyah Di Antara Sistem
Pemerintahan Lain
A. Sistem Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah Islamiyyah. Sistem ini berbeda
dengan sistem pemerintahan apapun di dunia ini, termasuk sistem pemerintahan
demokratik yang dicetuskan oleh orang-orang barat. Perbedaannya dengan sistem
pemerintahan lain bisa dilihat dari asas yang membangun negara, pemikiran-
pemikiran, konsep-konsep, standarisasi maupun hukum-hukum yang digunakan
untuk melayani kepentingan umat. Selain itu, dilihat dari bentuk negara, aparatus,
serta aspek-aspek cabang lainnya, sistem pemerintahan Khilafah Islamiyyah jelas-
jelas berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang pernah ada di dunia ini.150

A.1. Pemerintahan Islam Bukan Monarki


Sistem pemerintahan monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan
raja sebagai sentral kekuasaan. Seorang raja berhak menetapkan aturan bagi
rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.151
Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat. Raja memiliki kekebalan
hukum, dan kekuasaan kenegaraan tak terbatas. Kadang-kadang raja hanya
berfungsi sebagai simbol negara saja, sedangkan urusan negara diatur orang lain,
seperti halnya raja-raja Eropa. Ada pula yang berfungsi sebagai simbol sekaligus
memiliki kekuasaan mutlak dalam mengendalikan urusan rakyatnya; seperti raja
Maroko, Saudi Arabia, dan Yordania.
Berbeda dengan sistem Islam, sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan
kepada Khalifah, atau Imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus.
Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah
juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat, yang tidak memiliki kekuasaan apa-
apa. Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta
mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, khalifah
adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka
dipilih dan mereka dibai'at dengan penuh ridla agar menerapkan syari'at Allah.
Oleh karena itu, khalifah harus tetap terikat dengan hukum-hukum Islam dalam
semua tindakan, hukum, serta pelayanannya terhadap kepentingan umat.152
Sistem monarki menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana
kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota, dari orang tuanya. Sedangkan
sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Pemerintahan Islam

150 Taqiyyuddin al-Nabhani, Nizhaam al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, hlm.30.


151 Ibid; hlm.30.
152 Ibid; hlm.32.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 57
dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan kebebasan
memilih. 153
Pemerintahan Islam tidak mengenal wilayat al-ahd (putra mahkota). Bahkan,
Islam menolak adanya putra mahkota. Islam telah menentukan cara memperoleh
kekuasaan dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh
kerelaan dan pilihan dari umatnya.154

A.2. Pemerintahan Islam Bukan Republik


Sistem pemerintahan Islam bukan sistem republik. Sistem republik dibangun di
atas pilar sistem demokrasi, dimana kedaulatan diletakkan di tangan rakyat.
Kedaulatan (siyadah/sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat
undang-undang. Rakyat berhak memerintah dan membuat aturan. Rakyat juga
memiliki hak untuk menetapkan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus
hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-
undang dasar dan perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti,
dan mengubahnya.155
Berbeda dengan sistem pemerintahan Republik, sistem pemerintahan Islam
berdiri di atas pilar aqidah Islam, serta hukum-hukum syariat'. Kedaulatan ada
di tangan syariat, bukan di tangan umat. Umat maupun khalifah tidak berhak
membuat aturan sendiri. Sebab, yang berhak membuat aturan hanyalah Allah swt
semata. Allah swt berfirman, artinya, "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hekekatnya)
tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan".156 Rasulullah saw bersabda, "Tidak beriman seseorang sehingga hawa
nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu
Hukum Syari'at Islam)."157
Khalifah hanya berhak mengadopsi hukum dari al-Quran dan Sunnah untuk
dijadikan sebagai konstitusi dan perundang-undangan negara. Umat tidak berhak
menghentikan Khalifah.Pihak yang berwenang menghentikan khalifah adalah syariat
semata; yang dalam hal pelaksanaannya diserahkan kepada mahkamah madzalim.
Akan tetapi, rakyat tetap berhak untuk memilih dan mengangkat seseorang untuk
menjadi khalifah. Ini didasarkan kepada kenyataan, bahwa Islam telah menjadikan
kekuasaan di tangan umat. Oleh karena itu, umat berhak mengangkat siapa saja
yang mereka pilih dan mereka bai'at untuk menjadi wakil mereka. 158
153 Ibid; hlm.30. Bandingkan juga dengan ‘Abd al-Majid al-Khlmidiy, Qawa’id Nizhaam al-Hukm fi al-Islam, 1980, Daar al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah, ed.I. Bandingkan pula dengan Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
154 Ibid;hlm. 31. Bandingkan pula dengan kritikan Dr. ‘Abd al-Majid al-Khlmidiy, tentang penunjukkan putra mahkota dalam
Qawa’id Nizhaam al-Hukm fi al-Islam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, ed.I. Bandingkan pula dengan kritik yang
dilontarkan oleh Qadli Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz. II, pada bab al-Istikhlaf au al-‘Ahdi, juga
pada bab Lam Yu’ayyin al-Syar’ Syakhshan Mu’ayyan li al-Khilafah. [Penunjukkan atau Putra Mahkota, atau bab Syariat tidak
Menetapkan Orang tertentu untuk [menduduki] Khilafah].
155 Ibid, hlm.31.
156 Al-Quran, al-Nisaa': 65
157 Ibnu Hajar al-Asqalaniy; Fath al-Baariy, j.XIII, hlm. 289.
158 Taqiyyuddin al-Nabhani, Nizhaam al-Hukmi di al-Islam, hlm. 32. Bandingkan dengan ‘Abd al-Majid al-Khlmidiy, Qawa’id
Nizhaam al-Hukm fi al-Islam, 1980, Daar al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, ed.I. Qadli Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-
Islamiyyah, juz II. Lihat pula dalam Muqaddimah al-Dustur.

58 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Dalam sistem republik presidensil, presiden berwenang menjabat sebagai kepala
negara sekaligus perdana menteri. Dalam sistem republik presidensil, tidak ada
kedudukan perdana menteri, namun yang ada hanyalah menteri. Semisal, Amerika
Serikat, Indonesia, dll. Sedangkan dalam sistem republik parlementer, terdapat
seorang presiden dan perdana menteri. Wewenang pemerintahan dipegang perdana
menteri bukan presiden. Seperti republik Perancis dan Jerman Barat.159
Sistem khilafah tidak mengenal menteri, maupun kementerian bersama seorang
khalifah, sebagaimana konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi tugas serta
departemen-departemen tertentu. Dalam sistem khilafah hanya ada para mu'awin
(pembantu khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mu’awin
adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan, serta melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan oleh khalifah kepada mereka. Khalifah memimpin
mereka, bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga
eksekutif melainkan hanya sebagai kepala negara. Ini disebabkan karena, dalam
Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan
kewenangan tertentu. Oleh karena itu, mu'awin hanya berposisi sebagai pembantu
khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenang khalifah.160
Selain itu, dalam sistem republik [baik presidensil maupun parlementer], presiden
bertanggungjawab di depan rakyat atau yang mewakili rakyat. Rakyat beserta
wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan
rakyat.161
Berbeda dengan sistem kekhilafahan, khalifah, sekalipun bertanggungjawab di
hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi
dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat dan wakil-wakilnya tidak berhak
memberhentikan khalifah. Khalifah juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila
menyimpang dari hukum syariat yang menyebabkan ia harus diberhentikan. Adapun
yang menentukan pemberhentiannya adalah mahkamah madzalim.162
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik,
baik presidensil maupun parlementer, senantiasa dibatasi dengan masa jabatan
tertentu, yang tidak mungkin melebihi dari masa jabatan tersebut. Berbeda dengan
sistem khilafah; sistem khilafah tidak mengenal masa jabatan tertentu. Namun,
batas masa jabatannya ditentukan berdasarkan kaedah, apakah khalifah masih
menerapkan hukum syariat atau tidak. Oleh karena itu, selama khalifah masih
melaksanakan hukum syariat dengan cara menegakkan dan menerapkan hukum-
hukum syariat kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, berdasarkan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap berstatus sebagai khalifah,
sekalipun masa jabatannya amat panjang. Akan tetapi, bila khalifah meninggalkan
hukum syariat serta tidak menerapkan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah

159 Ibid, hlm.32. Bandingkan pula dengan Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta,
160 Ibid, hlm.32.
161 Ibid, hlm.32.
162 Ibid, hlm.32.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 59
masa jabatannya, walaupun baru sehari semalam. Dalam kondisi semacam ini
khalifah wajib diberhentikan.163
Fakta-fakta di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem pemerintahan
Islam berbeda sama sekali dengan sistem republik. Oleh karena itu, pendapat
yang menyatakan, bahwa Islam memperbolehkan mengadopsi sistem republik,
atau menyebut "Republik Islam", merupakan pendapat yang bertentangan secara
diametrikal dengan Islam.164

A.3. Sistem Islam Bukan Federasi


C.F. Strong berpendapat bahwa sistem federasi merupakan perpaduan antara
dua konsep pemerintahan yang bertentangan, yakni konfederasi, dan kesatuan165.
Menurut L. Oppenheim, konfederasi adalah beberapa negara yang berdaulat penuh
melakukan konfederasi untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern,
bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan
beberapa alat perlengkapan tersendiri yang memiliki kekuasaan tertentu terhadap
negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara negara-negara
itu.166
Atas dasar ini, konfederasi sebenarnya bukanlah suatu negara, atau sistem
pemerintahan suatu negara. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa negara-negara
yang tergabung dalam konfederasi tetap berdaulat penuh, dan keterikatan mereka
dalam konfederasi lebih didasarkan pada alasan, untuk motif-motif tertentu,
semisal kepentingan luar negeri dan pertahanan bersama, bukan didasarkan pada
kepentingan untuk membentuk negara bersama, atau negara hasil peleburan
“kedaulatan’ negara-negara peserta.
Menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah, bentuk negara di mana wewenang
legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional (pusat).
Pemerintahan pusat berwenang menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
daerah berdasar hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi),
meskipun tahap akhir kekuasaan tetap berada di tangan pemerintahan pusat.
Dengan demikian, kedaulatan baik dalam maupun luar dimiliki oleh pemerintahan
pusat.167
Gabungan antara konsep konfederasi dengan konsep negara kesatuan, oleh
sebagian ahli tata negara, dianggap sebagai dasar terbentuknya negara federasi.
Bila kenyataannya demikian, maka, untuk menggagas sistem negara federasi
memang terasa agak sulit dan membingungkan. Sebab, konsep konfederasi dan
kesatuan saling bertolak belakang, dan meniadakan. Akan tetapi, menurut C.F.
Strong ciri utama negara federasi adalah, negara federasi mencoba menggabungkan
dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal
163 Ibid, hlm.33.
164 Ibid, hlm.33.
165 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.139.
166 Edward M.Sait, Political Institutions: A Preface; New York: Appleton Century Crofts Inc., 1938, hlm.385.
167 Op.Cit, hlm.140.

60 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam keseluruhannya, dan kedaulatan negara-negara bagian. Penyelenggaraan
kedaulatan ke luar negara-negara bagian diserahkan sama sekali kepada
pemerintahan federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi168.
Meskipun demikian, ada satu prinsip dasar yang selalu dipegang teguh dalam negara
federal, yakni, soal-soal yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan
kepada kekuasaan federal. Dalam hal-hal tertentu, misalnya mengadakan perjanjian
internasional, atau mencetak uang, pemerintahan federal bebas dari negara bagian
dan dalam bidang itu pemerintahan federal memiliki kekuasaan tertinggi. Akan
tetapi, soal-soal yang menyangkut negara-negara bagian belaka dan yang tidak
termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara-negara
bagian. Jadi, dalam hal ini negara bagian bebas dari negara federal, semisal dalam
hal pendidikan, kebudayaan, kesehatan dan lain-lain.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan, bahwa federasi sangat
bertentangan sistem pemerintahan Islam, yang menganut sistem kesatuan, dengan
khalifah sebegai sentral utama pemerintahan.
Sistem pemerintahan Islam berbeda dengan sistem federasi, yang membagi
wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem
kesatuan, yang mencakup seluruh wilayah kekuasaannya –dahulu wilayahnya--
mencakup seluruh negeri seperti Maroko di bagian barat dan Khurasan di bagian
timur. Harta kekayaan seluruh wilayah negara Islam dianggap satu. Begitu pula
anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh
rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah yang telah
mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan
diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan
hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa
mencukupi kebutuhannya, maka daulah Islam tidak akan mempertimbangkannya.
Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara
umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi
kebutuhannya atau tidak.169
Dengan demikian, Daulah Islamiyyah tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk
kesatuan.170
Selain itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi,
dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas
penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil
maupun yang besar. Daulah Islam juga tidak akan sekali-kali mentolerir terjadinya
pemisahan salah satu wilayahnya sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan
lepas begitu saja. Khalifahlah yang akan mengangkat para panglima, wali, dan
amil, para pejabat dan penanggungjawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara

168 Ibid, hlm.141.


169 Ibid, hlm.35.
170 Ibid, hlm.35.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 61
juga yang akan mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan
(hakim). Disamping itu negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan
yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.171
Tidak ada keraguan lagi, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem
khilafah. Ijma' shahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah, kesatuan negara
serta ketidakbolehan berbai'at selain kepada satu khalifah. Sistem ini disepakati
oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha', yakni apabila ada seorang khalifah
dibai'at, padahal sudah ada khalifah yang lain, atau sudah ada bai'at kepada
seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah
yang pertama terbai'at. Sebab, secara syar'iy, bai'at telah ditetapkan untuk orang
yang pertama kali dibai'at dengan bai'at yang sah.172

A.4. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran


Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran. Bahkan sistem kekaisaran
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, wilayah yang diperintah dengan sistem
Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta dalam masalah pemerintahan,
menganut sistem sentralisasi pada pemerintah pusat-- tidak sama dengan wilayah
yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan Khilafah Islamiyyah berbeda
dengan sistem kekaisaran tersebut. Sebab sistem ini tidak menganggap sama
antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah
kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang
pemerintahan, keuangan, dan ekonomi, di wilayah pusat. 173
Sedangkan tuntutan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama
antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara
Islam. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan Islam telah
memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka , terhadap orang non
Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka --non muslim yang memiliki
kewarganegaraan-- mendapat hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban
umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada
masing-masing rakyat --apapun madzhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat
negara lain, meskipun muslim.174
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan
sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi
daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi serta lahan subur yang senantiasa
dikeruk untuk wilayah pusat. Karena wilayah-wilayah tadi tetap dianggap menjadi
kesatuan, walaupun jarak wilayah tersebut sangat jauh dengan ibukota daulah
Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab setiap wilayah
dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-
sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat.175

171 Ibid,hlm.35.
172 Ibid,hlm.35.
173 Ibid,hlm.34.
174 Ibid,hlm.34.
175 Ibid,hlm.34.

62 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
B. Struktur Negara Khilafah
Bentuk negara yang diwariskan oleh Rasulullah saw adalah kesatuan, bukan federasi,
maupun konfederasi. Negara Khilafah adalah negara yang memiliki wilayah yang
jelas dan tegas, namun wilayah itu terus berkembang seiring dengan adanya
aktivitas jihad dan futuhat. Negara Khilafah berbeda dengan Negara bangsa yang
batas-batas wilayahnya tidak pernah berkembang. Adapun struktur pemerintahan
Islam yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut;
1. Khalifah
2. Mu'awin Tafwidh
3. Mu'awin Tanfidz
4. Para Wali (Penguasa Wilayah)
5. Amir Jihad
6. Keamanan Dalam Negeri
7. Urusan Luar Negeri
8. Industri
9. Peradilan
10. Mashalih al-Naas
11. Baitul Maal
12. Lembaga Informasi
13. Majelis Syura.
Semua struktur ini telah ditetapkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Adapun
dalil-dalil, serta keterangan rinci mengenai struktur di atas dapat dibaca di dalam
kitab al-Ajhizaah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idaarah.
Dari seluruh penjelasan di atas jelaslah, bahwa bentuk dan sistem pemerintahan
Islam telah ditetapkan secara tegas oleh Baginda Rasulullah ‫ﷺ‬. Tidak hanya itu
saja, beliau juga menjelaskan secara rinci struktur pemerintahan Daulah Islamiyyah,
tugas, kewenangan, serta hak-hak mereka. Oleh karena itu, pendapat yang
menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak menerangkan secara rinci masalah ini,
adalah pendapat yang salah. Barangkali, pendapat salah ini lahir akibat kemalasan
mereka dalam meneliti nash-nash syariat yang berkenaan dengan pemerintahan
Islam. Padahal, jika mereka mau meneliti masalah ini dengan seksama, niscaya
mereka akan mendapatkan kenyataan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬telah menjelaskannya
dengan sangat rinci, dan kemudian dipraktekkan oleh shahabat Nabi ‫ ﷺ‬dan
generasi-generasi berikutnya.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 63
C. Bukti-bukti Sejarah Keunggulan Sistem Khilafah
Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, umat Islam tetap menjadi umat tertinggi
dan mengalami kesejahteraan ketika mereka hidup di bawah naungan Khilafah
al-Islaamiyyah. Walaupun ada pasang surut, hanya saja, realitas keunggulan umat
Islam tatkala masih hidup di bawah Kekhilafahan Islam tidak bisa diingkari oleh
siapa pun. Benar, ada pula sejarah-sejarah hitam dalam Khilafah Islamiyyah, namun,
sejarah kelam itu tidaklah menghapus kenyataan bahwa Khilafah Islamiyyah
berhasil mengantarkan kaum Muslim menuju puncak keluhuran dan kesejahteraan.
Berikut ini akan kami paparkan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keunggulan
sistem dan peradaban Islam.

Kesejahteraan di Bidang Politik


• Pemberian sertifikat tanah (Tahun 925 H/1519 H) kepada para pengungsi Yahudi
yang lari dari kekejaman Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam
di Andalusia.
• Surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan
yang dikirim khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan pasca
perang dengan Inggris (abad 18).
• Surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan
mencari eksil ke Khalifah (30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H)
• Pemberian izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke
Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah, karena di Rusia mereka justru
tidak sejahtera (13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865)
• Khalifah membuat peraturan bebas cukai bagi barang bawaan orang-orang
Rusia yang mencari eksil ke Wilayah khalifah Utsmani pasca Revolusi Bolschevik
(25 Desember 1920).
• Pasukan khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) termasuk para ahli
senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan wilayah Syamatiirah
(Sumatera) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di
Malaka.

Kesejahteraan di Bidang Pendidikan


• Standar gaji guru yang mengajar anak-anak pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab sebesar 15 Dinar (1 dinar = 4,25 Gram Emas) atau setara 5 dinar =
31.500.000 rupiah dan diikuti oleh para khalifah berikutnya.
• Di Bagdad berdiri Universitas al Mustanshiriyyah, Khalifah Hakam bin
Abdurrahman an Nashir mendirikan Univ. Cordoba yang menampung Mahasiswa
Muslim dan Barat. Gratis.

64 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
• Para khalifah mendirikan sarana umum untuk sarana pendidikan berupa
perpustakaan, auditorium, observatorium, dll.
• Ja’far bin Muhammad (940 M) mendirikan perpustakaan di Mosul yang sering
di kunjungi para ulama baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung
perpustakaan mendapat segala alat yang diperlukan (pena, tinta, kertas dll)
secara gratis.
• Mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan diberikan pinjaman buku
secara teratur.
• Pada masa Khilafah Islam abad 10 M. Seorang ulama Yaqut ar Rumi memuji para
pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mengizinkan peminjaman
sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun per-orang,
• Para khalifah memberikan penghargaan sangat besar terhadap para penulis
buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
• Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky (Abad XI Hijriyah) mendirikan
Madrasah an Nuriyah di Damaskus, di sekolah in terdapat fasilitas seperti
asrama siswa, perumahan staff pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan,
serta ruanga besar untuk nceramah dan diskusi.
• Sultan Muhammad I (1416 M) melakukan sensus pertanahan, registrasi berjalan
hingga abad 17, jumlah dokumen di pusat arsip ini ada sekitar 1500 ton, meliputi
wilayah dari afghanistan sampai Maroko, dari smenanjung Krim di Rusia sampai
Sudan.

Kesejahteraan di Bidang Sosial


• Pada masa Khalifah Umar Ibn Al Khattab, beliau membangun Dar Ad Daqiq
(gudang tepung) tersebar di berbagai kota dan rute perjalanan yang biasa
ditempuh para musfir, penuntut ilmu dan para saudagar. Siapa saja diantara
mereka yang kehabisan bekal dalam perjalanannya, boleh mengambil bagiannya
dari lumbung tersebut tanpa dipungut biaya.
• Khalifah Walid ibn ‘Abdul Malik membuat kebijakan dengan memberikan
kepada setiap orang jompo dan orang-orang cacat/buta seorang pelayan untuk
membantu mereka menjalankan kehidupannya sehari-hari.
• Masa khalifah bin Abdul Aziz, tidak seorangpun yang dipandang berhak menerima
zakat. Beliau sampai harus memerintahkan para pegawainya berkali-kali untuk
menyeru di tengah-tengah masyarakat ramai, kalau-kalau di antara mereka
ada yang membutuhkan harta, namun tidak ada seorangpun yang memenuhi
seruannya.
• Pada masa beliau pula tidak ada satu orangpun penduduk Afrika yang mau
mengambil harta zakat.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 65
• Gaji para pegawai Negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1275 gram
emas) atau setara 630.000.000 rupiah
• Masa al Hakim bin Amrillah, di Kairo, khilafah membangun 20.000 unit kios
untuk disewakan kepada para pedagang dengan harga yang murah.
• Negara juga membangun perumahan untuk rakyat dan bangunan-bangunan
besar yang dilengkapi dengan suply air, dengan menyediakan 50.000 ekor unta
untuk mendistribusikan air ke perumahan-perumahan rakyat.
• Khalifah Sultan Abdul Hamid (1900) berhasil membangun jaringan kereta api
Hijaz dari Damaskus ke Madinah dan dari Aqaba ke Maan.
• Pada masa beliau juga dibangun jaringan fax/telegraph antara Yaman, Hijaz
Syiria, Irak dan Turki; lalu jaringan tersebut dihubungkan dengan jaringan fax
India dan Iran, semua jaringan diselesaikan hanya dalam waktu 2 tahun

Kesejahteraan di Bidang Kesehatan


• Bani ibn Thulun di Mesir memiliki Masjid yang dilengkapi dengan tempat-
tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan
dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan
gratis.
• Khalifah Bani Umayyah banyak membangun Rumah Sakit yang disediakan untuk
orang yang terkena Lepra dan Tuna Netra.
• Bani Abbasyiah banyak mendirikan Rumah Sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus dan
mempopulerkan Rumah Sakit keliling.
• Ar Razi orang pertama yang mengidentifikasi penyakit cacar dan campak dan
menggeluti bidang operasi
• Ibnu al-Haitsam ahli optik yang menemukan perbandingan antara sudat
pemantulan (refleksi) dan pembiasan (refraksi)
• Bani ibn Thulun di Mesir memiliki Masjid yang dilengkapi dengan tempat-
tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan
dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan
gratis.
• Khalifah Bani Umayyah banyak membangun Rumah Sakit yang disediakan untuk
orang yang terkena Lepra dan Tuna Netra.
• Bani Abbasyiah banyak mendirikan Rumah Sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus dan
mempopulerkan Rumah Sakit keliling.
• Ar Razi orang pertama yang mengidentifikasi penyakit cacar dan campak dan
menggeluti bidang operasi.
• Ibnu al-Haitsam ahli optik yang menemukan perbandingan antara sudat
pemantulan (refleksi) dan pembiasan (refraksi).

66 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Kesejahteraan di Bidang Science dan Teknologi
• Ilmu Bumi
– Masa Khalifah al Makmun (abad XI Masehi) al Khawarizmi dan 99 orang
asistennya membuat peta bumi sekaligus peta langit (peta dengan
menggunakan petunjuk bintang), pada saat yang sama bangsa eropa masih
berkeyakinan bumi itu datar.
– Pemetaan bumi (informasi alam, hasil bumi, dan barang tambang) dimulai
abad IX oleh al Muqaddisi (Abu Abdulah - 985 M) sehingga tersusun
ensiklopedi sederhana mengenai ilmu bumi.
– Al Astakhri (Abad X M) menerbitkan buku tentang ilmu bumi negeri-negeri
Islam yang disertai dengan peta berwarna untuk membedakan potensi
masing-masing negeri.
– Abu Rayhan Biruni atau Al Biruni (Abad XI M) mengekspose bukunya tentang
Ilmu bumi Rusia dan Eropa.
– Al Idrisi (Abad XII M) membuat peta langit dan bola bumi berbentuk bulat,
kedua karyanya dibuat dari perak dan dihadiahkan kepada raja Roger II dari
Sisilia.
– Karya Al Idrisi yang lain adalah Peta sungai Nil yang menjelaskan asal
sumbernya yang kemudian dijadikan acuan pengelana Eropa dalam
menemukan hulu sungai Nil pada abad XIX M.
– Quthbuddin As Syirazi (tahun 1290 M) membuat peta laut Mediterania yang
kemudian dihadiakan kepada Gubernur Persia.
– Yaqut ar Rumi menyusun ensiklopedi bumi setebal 6 Jilid yang dikemas
dengan judul Mu’jam al Buldan.
• Ilmu Astronomi
– Al Farabi (796-806) pada masa khalifah al Manshur menerjemahkan buku
astronomi sidhandta. Yang kemudian terkenal dengan astronom pertama
sejarah Islam
– Pakar astronom dimasa khalifah: Ahmad Nihawand; Habsi ibn Hasib (831
M); Yahya Ibn Abi Manshur (870-970). Az Zarqali (1029-1089 M) di barat
dikenal dengan arzachel, Nashiruddin at Tusi (Wafat 1274 M) membangun
observatorium di kota maragha atas perintah Hulaghu.
– An Nayruzi (922 M) pengulas buku euclides dan penulis beberapa buku
tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut.
– Pakar astronom di masa khalifah al Makmun, Al Majriti (1029-1087 M) Ta’dil
al kawakib.
– Ibn Jaber al Battani (858-929 M) di-Eropa dikenal Al Batanius, mengembangkan
beberapa penyelidikan yang pernah dilakukan ptolemeus.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 67
– Ali Ibn Yunus (Wafat 1009 M) mempersembahkan sebuah buku al Zij al Kabir
al Hakimi yang disalin ke Bahasa Persia sehingga Umar Khayan berhasil
menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dan akurat daripada
penanggalan Gregorian.
– Al Biruni (1048) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi, perhitungan
serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang sangat teliti.
• Ilmu Pasti / Matematika
– Al Khawarizmi menerbitkan bukunya yang termahsyur “Hisab al Jabar wa al-
Muqabalah” diterjemahkan ke Bahasa Latin dan menjadi rujukan/referensi
Barat .
– Al Battani (858-929 M) ahli dalam al jabar yang digunakan dalam ilmu ukur
sudut, menguraikan persamaan sin Q/cosQ dan menjabarkan lebih lanjut
formulasi cos a = cos b cos c + sin b sin c cos a pada sebuah segitiga.
– Abu al Wafa’ (940-998) pakar matematik yang mengungkapkan teori sinus
dalam kaitannya dengan segitiga bola, dan orang pertama menggunakan
istilah tangent, cotangent, secant dan cosecant dalam ilmu ukur sudut.
– Jabir ibn Aflah (wafat 1150 M) dikenal barat dengan Geber, orang pertama
yang menyusun formulasi cos B = cos b sin A, cos C = cos A cos B.
• Ilmu Fisika
– Al Kindi (abad IX M) pakar Fisika yang menguraikan hasil eksperimen tentang
cahaya, karyanya tentang fenomena optic diterjemahkan ke Bahasa Latin
yang memberikan pengaruh besar dalam proses pendidikan Roger Bacon.
– Ibnu Haytam (965-1039 M) di barat dikenal dengan alhazen, pakar dalam
bidang optic dan pencahayaan, 200 judul buku tentang optic dan pencahayaan
dinisbatkan kepada beliau. Teorinya lebih dulu ada 5 abad sebelum teori yang
sama dikeluarkan Torricelli. Beliau pula yang mulai melakukan eksperimen
tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton merumuskan teorinya tentang
gravitasi bumi.
– Badi’uz Zaman Ismail (al Jazari – awal abad XIII) membahas tentang mekanika
dituangkan dalam buku yang berjudul Kitab fii ma’rifah, diuraikan didalamnya
berbagai fenomena mekanika sederhana yang menjadi dasar bagi para
sarjana modern dalam menyusun ilmu mekanika modern.
• Ilmu Sejarah Alam
– Baghdad, Cairo, Cordova dll telah dibangun perkebunan (Botanical Garden)
tempat untuk melakukan eksperimen para intelektual muslim.
– Abu Zakaria Yahya (Abad XI M) Pakar pertanian, menulis buku tentang
pertanian berjudul Kitab al Falahah.

68 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
– Abu Ja’far al Qurthubi (1165 M) menyusun buku yang berisi seluruh jenis
tumbuhan yang dijumpai di daerah Andalusia dan Afrika Utara, setiap nama
tumbuhan diberi nama Arab, Latin dan Barbar.
– Ibn Baythar (1248 M) melakukan eksperimen tentang rumput-rumputan dan
berbagai jenis tumbuhan , kemudian menyusun 2 buah buku yang kemudian
diterjemahkan ke Bahasa latin pada tahu 1759 di Cremona.
– Kaum Muslim turut memberikan andil bagi para pakar tumbuhan dan
menyediakan informasi yang amat berguna mengenai sekitar 2000 jenis
tumbuhan tumbuh-tumbuhan yang sebelumnya belum dikenal.
– Al Jahir pakar zology menulis buku berjudul Kitab al Hayawan yang
menjelaskan anatomi sederhana, makanan, kebiasaan hidup, serta manfaat
yang dapat diperoleh dari berbagai jenis hewan.
– Ad Damiri (1405 M) pakar zologi asal Mesir.
• Ilmu Kedokteran
– Khalifah Harun al Rasyid (abad IX M) membuka Fakultas khusus tentang Ilmu
kedokteran di berbagai perguruan tinggi di Baghdad lengkap dengan rumah
sakitnya.
– Ali at Thabari menulis buku kedokteran pertama “Firdaus al Hikmah” pada
tahun 850 M.
– Ahmad Ibn at Tabari melakukan eksperimen pertama tentang penyakit kurap,
ia pakar kedokteran pertama yang menyingkap penyakit kulit tsb.
– Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria atau dikenal dengan ar Razi (864-932 M),
untuk bidang kedokteran saja ia menyusun sekitar 200 judul buku.
– Ali Ibn Abbas (994 M) menusun buku “Kitab al Malik” yang mengupas tentang
masalah gizi dan pengobatan dengan rempah-rempah. Juga buku yang
memaparkan sistem peredaran darah di dalam pembuluh, kehamilan dan
persalinan dll.
– Al Haysam (965 M) spesialisasi penyakit mata.
– Ali al Baghdadi, ‘Ammar al Moseli menulis buku “al Muntakhah fi al ‘Ilaj al Ayn”
buku-buku mereka disalin ke dalam bahasa latin dan dicetak berulang-ulang
bagi mahasiswa kedokteran Eropa pada abad pertengahan.
– Ibn Bayhthar ad Dimasyqi (1197-1258 M) peletak dasar Ilmu Farmasi,
menyusun buku Al Adawiyah al Mufradah yang berisi kumpulan berbagai
resep obat-obatan.
– Ibn Qasim az Zahrawi al Qurthubi (lahir 1009 M) spesialis bedah, menyusun
buku at Tasrih yang menjadi referensi di berbagai perguruan tinggi di Eropa.
– Ibn Sina (1037 M) bukunya yang terkenal al Qanun fi ath Thibb, dianggap
sebagai ensiklopedia ilmu kedokteran dan ilmu bedah terlengkap di

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 69
zamannya (kurun abad XII s/d XIV M) dan menjadi referensi utama fakultas
kedokteran di berbagai perguruan tinggi Eropa.
– Ibn Zuhr (1162 M) spesialis Ilmu tulang dan mikrobiologi, dibarat dikenal
dengan avenzoar.
– Lisanuddin ibn al Khatib (1313-1374 M) Spesialisasi bidang epidemi dan
kesehatan lingkungan, menyusun kitab tentang penularan penyakit.
– Ibn Jazlah (110 M) di eropa dikenal dengan Ben Gesla, menyingkap tentang
periodesasi dan jadwal berbagai penyakit dengan memperhitungkan cuaca.
– Perhatian para khalifah dan kaum muslimin terhadap kesehatan direalisasikan
dengan pengadaan Dokter dan sarana kesehatan, pada saat yang bersamaan
di Eropa terdapat kepercayaan bahwa mandi itu dapat mengakibatkan
penyakit tertentu, dan menggunakan sabun sebagai alat pembersih sangat
berbahya bagi mereka.
• Para Ilmuwan di Masa Khalifah yang berpengaruh
– Al Khawarizmi orang pertama yang menyusun al Jabar.
– Jabir bin Hayan ahli Kimia yang terkenal.
– “Saya temukan” (Eureka..!) kata Al Biruni orang yang meletakkan sebuah teori
sederhana guna mengetahui volume dari lingkungan geologis.
– Khalifah al Makmun mendirikan observatorium untuk para astronomnya
Muhammad, Ahmad dan Hasan Bin Musa (Banu Musa asy Syakir).
– Avicena (Ibnu Sina 980 - 1037) dan Algazel (Al Ghazali 1053 – 1111) sudah
memikirkan hitung diferensial, 700 tahun sebelum orang Inggris Newton dan
orang Jerman Leibniz.
Inilah sekelumit bukti-bukti sejarah yang menunjukkan keunggulan, ketinggian,
serta kemajuan umat Islam ketika masih hidup di bawah kekhilafahan Islam.
Adapun keunggulan sistem Islam secara paradigmatif-ideologis serta kemampuan
sistem Islam menjawab tren dan krisis dunia, dapat dijelaskan pada sub berikut ini.

D. Sistem Islam Menjawab Tren Global


Mampukah sistem dan peradaban Islam menjawab tren global dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kemanusiaan akibat diterapkannya sistem kapitalis?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita simpulkan terlebih dahulu apa tren global
dan krisis kemanusiaan itu?
Tren global adalah keinginan-keinginan untuk membangun sistem yang benar-
benar berpihak kepada kepentingan seluruh umat manusia, dan terbangunnya
sistem kemasyarakatan yang saling mendukung dan menopang. Tren ini ditandai
dengan mencairnya sekat-sekat negara bangsa, serta pergerakan menuju sistem
yang lebih luas daripada nation state.

70 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Adapun yang dimaksud dengan krisis kemanusiaan yakni munculnya kecenderungan-
kecenderungan destruktif seperti, kesenjangan pendapatan antara negara ketiga
dengan negara maju, hancurnya ekosistem dunia, munculnya dekadensi moral,
peradaban yang matter centris, alienasi, dan sebagainya akibat diterapkannya sistem
kapitalis-sekuler.

D. 1. Sistem Islam Menjawab Tren Global


Sistem kenegaraan dan pemerintahan dalam pandangan Islam didasarkan pada
prinsip keuniversalan, penghapusan diskriminasi ras, suku, dan bangsa, serta proteksi.
Prinsip ini terlihat jelas pada model kenegaraan serta sistem pemerintahannya.
Pada dasarnya, bentuk negara dalam pandangan Islam adalah kesatuan. Konsepsi
kenegaraan di dalam Islam bukanlah federasi maupun konfederasi; akan tetapi
negara kesatuan.176 Selain itu, Islam juga mengenalkan negara global (universal
state) yang dikendalikan oleh kepemimpinan tunggal. Konsep negara universal
ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran Islam yang bersifat universal; yakni
ditujukan untuk seluruh umat manusia.177
Sistem pemerintahan Islamiy berbeda dengan sistem federasi178 yang membagi
wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islamiy adalah sistem
kesatuan yang mencakup seluruh wilayah kekuasaannya –dahulu wilayahnya--
mencakup seluruh negeri seperti Maroko di bagian barat dan Khurasan di bagian
timur. Harta kekayaan seluruh wilayah pemerintahan Islamiy dianggap satu.
Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan

176 Al-Nabhani, Nizhaam al-Hukm fi al-Islam, hlm. 33.


177 "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui" [Saba’:28]
178 C.F. Strong berpendapat bahwa sistem federasi merupakan perpaduan antara dua konsep pemerintahan yang bertentangan,
yakni konfederasi, dan kesatuan. Menurut L. Oppenheim, konfederasi adalah beberapa negara yang berdaulat penuh
melakukan konfederasi untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional
yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang memiliki kekuasaan tertentu terhadap
negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara negara-negara itu. Atas dasar ini, konfederasi sebenarnya
bukanlah suatu negara, atau sistem pemerintahan suatu negara. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa negara-negara
yang tergabung dalam konfederasi tetap berdaulat penuh, dan keterikatan mereka dalam konfederasi lebih didasarkan
pada alasan, untuk motif-motif tertentu, semisal kepentingan luar negeri dan pertahanan bersama, bukan didasarkan pada
kepentingan untuk membentuk negara bersama, atau negara hasil peleburan “kedaulatan’ negara-negara peserta. Menurut
C.F. Strong, negara kesatuan adalah, bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan
legislatif nasional (pusat). Pemerintahan pusat berwenang menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasar
hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), meskipun tahap akhir kekuasaan tetap berada di tangan
pemerintahan pusat. Dengan demikian, kedaulatan baik dalam maupun luar dimiliki oleh pemerintahan pusat. Gabungan
antara konsep konfederasi dengan konsep negara kesatuan, oleh sebagian ahli tata negara, dianggap sebagai dasar
terbentuknya negara federasi. Bila kenyataannya demikian, maka, untuk menggagas sistem negara federasi memang terasa
agak sulit dan membingungkan. Sebab, konsep konfederasi dan kesatuan saling bertolak belakang, dan meniadakan. Akan
tetapi, menurut C.F Strong ciri utama negara federasi adalah, negara federasi mencoba menggabungkan dua konsep yang
sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya, dan kedaulatan negara-negara bagian.
Penyelenggaraan kedaulatan ke luar negara-negara bagian diserahkan sama sekali kepada pemerintahan federal, sedangkan
kedaulatan ke dalam dibatasi. Meskipun demikian, ada satu prinsip dasar yang selalu dipegang teguh dalam negara federal,
yakni, soal-soal yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hlm-hlm
tertentu, misalnya mengadakan perjanjian internasional, atau mencetak uang, pemerintahan federal bebas dari negara
bagian dan dalam bidang itu pemerintahan federal memiliki kekuasaan tertinggi. Akan tetapi, soal-soal yang menyangkut
negara-negara bagian belaka dan yang tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara-negara
bagian. Jadi, dalam hlm ini negara bagian bebas dari negara federal, semisal dalam hlm pendidikan, kebudayaan, kesehatan
dan lain-lain. [Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.139-
141]

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 71
seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah yang
telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah
tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan
hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah yang pendapatan
daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka pemerintah pusat tidak
akan mempertimbangkannya. Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja
dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik
pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.179
Selain itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi,
dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas
penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil
maupun yang besar. Pemerintahan Islam juga tidak akan sekali-kali mentolerir
terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya sehingga wilayah-wilayah tersebut
tidak akan lepas begitu saja. Kepala negara Islam yang akan mengangkat para
panglima, wali, dan amil, para pejabat dan penanggungjawab dalam urusan harta
dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat orang yang bertugas menjadi
pejabat pemerintahan (hakim). Disamping itu negara yang akan mengurusi secara
langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh
negeri.180
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa Islam dengan sistem pemerintahannya yang
khas mampu menjawab tren global yang menginginkan suatu sistem universal
yang bisa saling menopang dan membantu. Islam dengan model kenegaraan dan
pemerintahan yang khas telah menyediakan ruang yang sangat luas bagi seluruh
bangsa yang ada di dunia untuk hidup bersama, saling menopang dan mendukung,
di bawah satu sistem dan kendali. Tidak ada lagi arogansi nasionalistik, maupun
keangkuhan kepentingan nasional. Yang ada hanya kepentingan bersama dan
kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi cost-cost protektif yang bisa menghambat
arus jasa dan barang. Seluruh umat manusia –selama ia hidup di bawah wilayah
Islam--- bebas melakukan usaha-usaha produktif tanpa harus dikenai bea cukai,
riba maupun pajak. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa membayangkan betapa
di dalam wilayah tersebut akan terjadi dinamika ekonomi yang paling tinggi181.

D. 2. Sistem Islam Menjawab Krisis Global


Kemampuan Islam dalam menciptakan kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran
telah terbukti di saat sistem Islam masih diberlakukan dan menjadi super power
dunia. Berbeda dengan paham sosialisme dan kapitalisme; keduanya belum bisa
–bahkan tidak akan bisa – mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan global.
Kemampuan Islam menjawab krisis global dapat ditelusuri dari kenyataan-
kenyataan paradigmatik di bawah ini.

179 Ibid, hlm.35.


180 Ibid, hlm.35.
181 Keynes dan pakar ekonomi barat sendiri mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi akan mencapai puncaknya jika bunga
pinjaman sama dengan 0%.

72 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Islam dengan syariatnya yang sempurna terbukti telah mengantarkan umat manusia
menuju kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Bahkan, konsep Islam mengenai
ekonomi terbukti lebih unggul dibandingkan sistem ekonomi manapun.
Kejayaan ekonomi Islam bisa dilihat dari kenyataan paradigmatis berikut ini182:
· Politik ekonomi Islam didasarkan paradigma, bahwa negara wajib menjamin
tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang, serta
kemungkinan setiap orang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya
sekadar dengan kebutuhannya. Pandangan semacam ini menjadi dasar bagi
pemerintah dalam melakukan seluruh kegiatan ekonomi di dalam negara. Negara
tidak diperkenankan menetapkan pajak (dlariibah) bagi rakyatnya, dan tidak ada
lagi pandangan negara perlu memberikan subsidi maupun tidak, sebagaimana
halnya pandangan dalam sistem ekonomi kapitalistik. Sebab, konteks hubungan
negara dengan rakyat dalam pandangan Islam adalah pelayanan dan pengaturan;
bukan dalam konteks hubungan bisnis, hubungan antara bawahan dengan
atasan. Oleh karena itu, dalam konteks pelayanan dan pengaturan terhadap
urusan rakyat, negara bahkan wajib memenuhi kepentingan-kepentingan
rakyat banyak, misalnya kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Lebih dari
itu, negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer atau
kebutuhan-kebutuhan vital tiap orang yang hidup dalam negara Islam, misalnya
listrik, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain sebagainya. Negara akan
mengukur tingkat kesejahteraan berdasarkan tercukupinya kebutuhan primer
dan pelengkap tiap-tiap individu, bukan diukur berdasarkan GNP semata.
· Adanya sistem ekonomi komprehensif yang memungkinkan rakyat melakukan
partisipasi aktif bagi kemajuan ekonomi. Untuk itu, Islam telah menggariskan
sistem kepemilikan, pengembangan harta, serta distribusinya. Dengan sistem
ini, Islam terbukti mampu mengatasi problem ekonomi yang disebabkan karena
tidak jelasnya konsep kepemilikan terhadap harta, pengembangannya, maupun
distribusinya.
· Dalam hal kepemilikan umum, negara berkewajiban mengelola secara profesional
dan mengaturnya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Negara tidak akan
membiarkan sekelompok atau seseorang menguasai dan mengeksploitasi harta-
harta kepemilikan umum, bahan tambang, dan galian dalam jumlah deposit
yang tinggi. Negara juga akan melarang pemanfaatan kepemilikan umum oleh
individu-individu tertentu yang menyebabkan tertutupnya akses bagi individu
yang lain. Misalnya, negara melarang orang-orang berjualan di pinggir-pinggir
jalan atau trotoar, hingga menghambat lalu lintas orang dan kendaraan. Negara
tidak diperkenankan mengalihkan kepemilikan umum kepada individu-individu
tertentu (swastanisasi), maupun penanaman modal asing dalam harta-harta
kepemilikan umum. Seluruh kepemilikan umum menjadi tanggungjawab negara
dalam hal pengelolaan, dan pengaturannya.

182 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islamiy, ed. I, 1990;hlm. 57-58

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 73
· Islam telah mendorong kaum muslim untuk bekerja dengan keras untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok dan pelengkapnya. Islam melarang
profesi meminta-minta, serta mengecam orang-orang yang tidak produktif dan
menggantungkan diri kepada orang lain.
· Islam melarang profesi-profesi haram, serta kegiatan-kegiatan yang bersifat
spekulatif, misalnya judi, valas, dan sebagainya. Islam melarang pelacuran,
perampok, pencuri, dan lain sebagainya. Islam juga melarang kegiatan-kegiatan
penimbunan, penipuan harga, transaksi yang tidak jelas, riba, dan lain sebagainya.
· Dalam hal pengembangan harta, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan
yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan hartanya bebas dari
unsur mendzalimi, mencurangi, merugikan orang lain, serta terampasnya hak
orang lain. Islam telah menggariskan hukum-hukum mengenai syirkah, jual
beli, dan lain sebagainya, dimana di dalamnya bebas dari unsur spekulasi dan
ketidakjelasan. Dengan ketentuan ini, Islam telah menutup kemungkinan adanya
pihak yang mendzalimi dan terdzalimi.
· Dalam konteks distribusi, Islam telah mengatur ketentuan distribusi barang
dan jasa melalui mekanisme pasar bebas dan subsidi bagi yang tidak mampu;
dengan sebuah prinsip barang-barang itu harus beredar pada seluruh kaum
muslim. Semua orang dipersilahkan melakukan kegiatan ekonomi dalam
mekanisme pasar bebas sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Mekanisme
ini akan memberikan jalan bagi terdistribusinya barang dan jasa ke tengah-
tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan sejumlah aturan
agar mekanisme pasar bebas ini bisa berjalan dengan normal dan wajar. Sebab,
mekanisme pasar bebas yang berjalan normal akan menjamin terciptanya
distribusi, dan pertukaran (exchange) yang lebih berkualitas.
· Bagi orang-orang yang tidak mampu terjun atau melibatkan diri dalam pasar
bebas (karena cacat, idiot, dan lain-lain), atau mengalami kerugian dan kalah
bersaing hingga jatuh miskin, banyak hutang dan sebagainya, maka Islam
telah menetapkan metode distribusi lain, yakni dengan jalan zakat, subsidi
dan pemberian secara cuma-cuma oleh negara. Negara juga akan menyiapkan
tempat-tempat yang disediakan secara khusus bagi orang-orang yang kehabisan
bekal di jalan, atau tidak memiliki cukup uang untuk menginap di penginapan.
Di dalamnya disediakan aneka ragam makanan, dan fasilitas lain yang nyaman
dengan gratis.
· Islam juga menetapkan sanksi yang sangat keras terhadap tindakan-tindakan
yang bisa menghancurkan perekonomian negara, atau mengganggu stabilitas
ekonomi negara. Misalnya, permainan valas di lantai bursa yang ditujukan oleh
menghancurkan stabilitas ekonomi negara. Pelaku bisa dikenai hukum penjara
seumur hidup, bahkan bisa dihukum dengan hukuman mati.

74 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
· Islam juga menghapus adanya cukai, serta biaya-biaya proteksi yang bisa
menghambat terdistribusinya barang di tengah-tengah masyarakat. Hanya
saja, perdagangan antara pemerintah Islam dengan negara kufur, maka tidak
mengapa pemerintah Islam menetapkan cukai kepada mereka.
· Pemerintah Islam juga mengeluarkan dan mencetak mata uang sendiri yang
berbasis pada emas dan perak (dinar dan dirham). Mata uang ini ditetapkan
sebagai mata uang negara, dan basis bagi perdagangan internasional. Mata uang
ini, dinar dan dirham, telah terbukti sepanjang sejarah umat manusia mampu
menjamin kestabilan moneter internasional, imun terhadap inflasi, dan bersifat
universal.
· Agar pengelolaan lahan pertanian bisa berjalan optimal, Islam telah menetapkan
hukum ihyaa' al-mawaat (menghidupkan tanah mati), dengan penyitaan tanah
oleh negara bagi orang yang menelantarkan lahan pertaniannya lebih dari
3 tahun. Islam juga menetapkan larangan penyewaan lahan-lahan pertanian.
Oleh karena itu, jika seseorang tidak mampu lagi menggarap lahan pertaniannya,
hendaknya ia menyerahkannya kepada orang lain.
· Dalam hal pembangunan ekonomi negara, Islam akan mempersiapkan seluruh
sistem dan infrastruktur pembangunan secara menyeluruh. Islam tidak mengenal
pembangunan ala Maslow, yang menetapkan 5 tahun pertama adalah pertanian,
baru industri dan seterusnya. Akan tetapi, Islam telah menetapkan seluruh
infrastruktur pembangunan, baik industri dan pertanian, agar roda pembangunan
dan ekonomi masyarakat berjalan secara sempurna dan saling melengkapi.
Pembangunan industri harus diprioritaskan pada industri-industri berat yang
menjadi penyangga industri-industri yang lain. Strategi industri dalam Islam
adalah, industri mampu memberikan daya dukung bagi sektor perekonomian,
maupun perang. Oleh karena itu, desain industri dalam Islam adalah industri
yang sewaktu-waktu bisa disulap menjadi industri perang.
Inilah garis-garis besar sistem ekonomi Islam yang akan menjamin bagi
kesejehteraan dan kemakmuran masyarakat. Sistem ini dahulu pernah diterapkan
dan mampu mewujudkan kegemilangan dan kejayaan ekonomi yang sangat luar
biasa. Wallahu A'lam bi al-Shawab.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 75
B a b 8
Bendera dan Panji Rasulullah sebagai
Simbol Khilafah Islamiyyah
Banyak hadits dan atsar telah menjelaskan warna bendera Nabi ‫ﷺ‬, bentuk, dan
karakteristiknya. Di dalamnya juga dijelaskan warna, bentuk, dan karakteristik
panji-panji Rasulullah ‫ﷺ‬.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, bendera kenegaraan Nabi ‫ ﷺ‬dan para
khalifah setelah beliau berbentuk persegi empat, berwarna putih, dan di tengahnya
terdapat tulisan "La Ilaha Illa al-Allah, Muhammad al-Rasuul al-Allah". Inilah yang
disebut dengan al-liwa'. Sedangkan panji-panji pasukan beliau berwarna hitam, dan
bertuliskan kalimat tauhid dan syahadat Rasul; dan disebut dengan al-rayah.
Berikut ini akan dipaparkan hadits-hadits yang menuturkan tentang bentuk, warna,
dan tulisan yang terdapat di dalam bendera atau panji. Hadits-hadits ini telah
dikeluarkan oleh ‘ulama-‘ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka.

A. Bendera (Liwa') Berwarna Putih


Dari Ibnu ‘Abbas ra dituturkan bahwasanya ia berkata, "Raayahnya (panji) Rasul ‫ﷺ‬
berwarna hitam, sedangkan benderanya (liwa’nya) berwarna putih". 183
Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Panji Rasulullah ‫( ﷺ‬raayat)
berwarna hitam, sedangkan liwa’nya berwarna putih".184
Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari bapaknya diriwayatkan bahwasanya Abu Qasim bin
‘Asakir berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Abu al-Qasim Zahir bin Thahir asy-
Syahaamiy, dan Abu al-Mudzfar bin al-Qasyiiriy, keduanya berkata, ‘Telah mengabarkan
183 Rayah menurut penuturan Ibnu Abbas, dikeluarkan dari: Imam Tirmidzi dalam kitab Jami’nya: IV/197, no. 1681,
Dikomentarinya sebagai (hadits) hasan gharib; Imam Ibnu Majah dalam Sunannya: II/941, no.2818; Imam Thabarani dalam
Mu’jamul Ausath: I/77, no.219; Mu’jam al-Kabir: XII/207, no.12909; Imam Hakim dalam al-Mustadrak: II/115, no.2506/131,
Dikatakan dalam at-Talkhish (Yazid dla’if); Imam Baihaqi dalam Sunannya: VI/363 (lihat Fath al-Bariy: VI/126); Imam Abu
Syaikh dalam kitabnya Akhlaq an-Nabi saw, hlm.153, no.420/421; Imam Baghawi dalam Syarh Sunnah: X/404, no.2664;
Imam Haitsami dalam Majmu’ az-Zawaid: V/321, dikatakan, Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Thabarani, didalamnya terdapat
Hibbanbin Andullah, adz-Dzahabi berkomentar, dia adalah majhul sedang para perawi Abu Ya’la lainnya adalah tsiqah;
Berkata as-Shlmihi asy-Syaami dalam sirah Nabi saw (Subulul Huda wa ar-Rasyad) ‘Riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi
sanadnya bagus, sedangkan melalui Thabarani perawinya shahih kecuali Hibban bin Ubaidillah dari Baridah dan Ibnu
Abbas: VII/271; Dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh kota Damaskus: IV/223 dengan teks berasal dari Ibnu Abbas
yang dikatakannya: ‘Rayahnya Rasulullah saw adalah berwarna hitam, sedangkan liwa-nya berwarna putih’. Disebutkan pula
melalui jalur lain (IV/224), lihat juga Mukhtasharnya: I/352. Berkata syaikhSyu’aibal-Arna-uth dalam Hamsysyarh Sunnah
al-Baghawiy bahwa sanadnya hasan. Tirmidzi juga meng-hasankannya; Tharh at-Tatsrib Syarh at-Taqrib: VII/220; ‘Umdatul
Qaari-nya al-‘Aini: XII/47; Misykah al-Mashabih-nya Tibriziy: II/1140.
184 Dikeluarkan oleh Abu Syaikh dalam Akhlaq an-Nabi saw pada hlm.154, no.421 dan hlm.156, no. 427; Dikeluarkan juga oleh
Ibnu Asakir dalam Tarikh kota Damaskus dengan teks (Telah menceritakan kepada kami Abu al-Qasim al-Khadlr bin Hussain
bin Abdillah bin ‘Abdan, dari Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Mubarak al-Farra, dari Abu Muhammad
Abdullah bin Hussain bin Abdan, dari Abdul Wahhab al-Kilabi, dari Sa’id bin Abdul Aziz al-Hlmabiy, dari Abu Nu’aim Abid
bin Hisyam, dari Khlmid bin Umar, dari al-Laits binSa’ad, dari Yazid bin Abi Hubaib, dari Abi al-Khair, dari Abu Hurairah,
berkata: ‘Rayahnya Nabi saw dari secarik beludru yang ada di tangan Aisyah, ditanyakan kepadanya (bahwa Aisyah) yang
memotongnya, dan liwa beliau berwarna putih…’ (al-hadits) Juga melalui jalur lain dikatakan: ‘Telah menceritakan kepada
kami Abu al-Qasim as-Samarqandiy, dari Abu al-Qasim IsmailbinMas’ud, dari Hamzah bin Yusuf as-Sahmi, dari Abu Ahmad
bin Adi, dari Umar bin Sinan, dari Abu Nu’aim al-Hlmabiy, dari Khlmid bin Amru, dari Laits, dari Yazid bin Abi Hubaib, dari Abi
al-Khair Murtsid bin Yazid, dari Abu Hurairah, bunyi haditsnya sama dengan yang sebelumnya’. Ibnu Hajar berkata dalam
Fathlm-Bariy: Telah dikeluarkan oleh Ibnu Adi dari haditsnya Abu Hurairah: VI/127; Juga berita tersebut dalam al-Kamil-nya
Ibnu Adi: III/31, yang diterjemahkan oleh Khlmid al-Qurasyiy; ‘Umdatul Qaari-nya al-‘Aini: XII/47; Tharh at-TatsribSyarh at-
Taqrib: VII/220.

76 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
kepada kami, Abu Sa’ad al-Junzuruudiy, telah mengabarkan kepada kami, Abu ‘Amru bin
Hamdaan, telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la al-Mushiliy, telah mengabarkan
kepada kami Ibrahim bin al-Hujjaj, telah mengabarkan kepada kami Hibban bin
‘Ubaidillah –tambahan dari al-Qasyiiriy— Ibnu Hibban Abu Zahiir, telah mengabarkan
kepada kami Abu Majliz dari Ibnu ‘Abbas, Hayyan berkata, ‘Telah meriwayatkan kepada
kami ‘Abdillah bin Buraidah dari bapaknya, "Sesungguhnya, panji Rasulullah ‫ﷺ‬
(raayah) berwarna hitam, sedangkan liwa’nya berwarna putih".185
Dari Jabir ra diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah ‫ﷺ‬, bahwasanya ia berkata,
"Bendera Nabi ‫( ﷺ‬liwaa’) pada saat masuk kota Makkah berwarna putih". 186
Aisyah ra juga menuturkan sebuah hadits, bahwasanya ia berkata, "Liwaa’nya Nabi
saw berwarna putih". 187
Dari Ibnu ‘Umar ra diriwayatkan bahwasanya beliau berkata, "Tatkala Rasulullah
‫ ﷺ‬memasangkan benderanya, beliau memasangkan bendera (liwaa’) yang berwarna
putih". 188
Rasyid bin Sa’ad telah menceritakan sebuah riwayat dari Rasulullah ‫ﷺ‬, "Panji
(raayah) Nabi ‫ ﷺ‬berwarna hitam, sedangkan liwa’nya berwarna putih".189

B. Panji (Ar-Rayah) Berwarna Hitam


Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dengan sanad dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya
dari ‘Aisyah, bahwasanya ia berkata, "Nabi ‫ ﷺ‬memiliki sebuah panji hitam yang
bernama al-‘uqab. Liwaa’ (bendera) beliau berwarna hitam".190
Dari Ibnu ‘Abbas ra, dituturkan bahwasanya ia berkata, "Panji Rasulullah ‫ ﷺ‬berwarna
hitam".191
Dari Abu Hurairah ra diriwayatkan bahwasany ia berkata, "Panji Rasulullah ‫ﷺ‬
berwarna hitam".192
185 Dikeluarkan oleh Imam Abu Syaikh dalam Akhlaq Nabi saw dan Adabnya, hlm. 153, no.420. Aku berkata: ‘Itu jalurnya sama
dengan hadits yang sebelumnya, dari Ibnu Abbas, karena kadangkala Ibnu Abbas mengatakannya pada dirinya, kadangkala
kepada Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, teksnya adalah: ‘Bahwa rayahnya Rasulullah saw berwarna hitam dan liwanya
berwarna putih’. Tarikh ad-Dimaysq: IV/224. Imam Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bariy: VI/127, Abi Ya’la dari haditsnya
Buraidah; Thabarani mengeluarkannya dalam Mu’jamul Kabir: XII/207no.12909; Majmu’ al-Bahrain, hlm.870; Imam al-Iraqiy
berkata dalam tharh at-Tatsrib bi Syarh at-Taqrib: VII/220, ‘Itu diriwayatkan oleh AbuYa’la al-Mausuliy dalam musnadnya, dan
Thabarani dalam Mu’jam al-Kabirnya dari hadits Buraidah’.
186 Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunannya: III/72, no.2592; al-Mukhtashar: VII/406, no.2480. Teks menurut Tirmidzi: IV/195,
no.1679, berkata, Dari Jabir bahwa Nabi saw masuk ke kota Makkah dengan liwa berwarna putih’. Abu Isa berkata: ‘Hadits
inigharib, kami tidak mengetahuinya kecuali hadits Yahya bin Adam dari Syarik’. Teks menurut Ibnu Majah: II/941, no.2817,
berkata: ‘Dari Jabir bin Abdullah, ’Bahwasanya Nabi saw masuk ke kota Makkah-pada saat hari penaklukkan- dengan liwanya
berwarna putih’. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya (al-Ihsan):XI/47, no.4743, berkata al-Arnauth: ‘Haditsnya hasan dengan
dua orang saksi’. Nasa’i: VI/200, no.6869 dalam bab Haji, dan no.106 dalam bab Masuk kota Makkah; Dikeluarkan juga oleh
Baihaqi dalam Sunan al-Kubranya: VI/362; al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah: X/403. al-Hakim dalam al-Mustadraknya:
IV/115, no.2505, dikatakannya: ‘Hadits ini shahih dengan syarat Muslim meski beliau tidak mengeluarkannya, tetapi dia
menyaksikan haditsnya Ibnu Abbas ra’.; Majmu’ az-Zawaid: V/321, dikatakannya: ‘Diriwayatkan oleh Thabarani dengan tiga
orang, terdapat juga dalam Sunan-nya bahwa warna liwa itu putih’.; Lihat juga at-Talkhish al-Hubair-nya Ibnu Hajar: I/98;
‘Umdatu al-Qari-nya al-‘Aini: XII/47; Misykahu al-Mashabih: II/1140.
187 Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah: X/404, no.2665; Abu Syaikh dalam Akhlaq an-Nabi saw wa Adabuhu,
hlm.154, no.422, hlm.156, no.428; Dikeluarkan jugaoleh Ibnu AbiSyaibah dalam Mushannifnya: VI/533, no.33611; al-Iraqi
berkata dalam Tharh at-Tatsrib bi Syarh at-Taqrib: VII/220: Itu diriwayatkan oleh AbuSyaikh bin Hibban dari haditsnya Aisyah.
188 Dikeluarkan Abu Syaikh dalam kitab Akhlaq an-Nabi saw wa Adabuhu, hlm.155, no.423.
189 as-Sair al-Kabir-nya Imam asy-Syaibani: I/71..
190 Ibid.
191 Takhrijnya sudah dibahas.
192 Takhrijnya sudah dibahas.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 77
Dituturkan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Buraidah
dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, "Rasulullah ‫ ﷺ‬memiliki panji yang berwarna
hitam". 193
Dari ‘Aisyah ra diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Liwaa’nya Rasulullah ‫ﷺ‬
berwarna putih, sedangkan panji-panjinya berwarna hitam yang terbuat dari kain bulu
unta milik ‘Aisyah ra".194
Dari Jabir ra dituturkan bahwasanya ia berkata, "Panji Rasulullah ‫ﷺ‬ berwarna
hitam".195
Imam al-‘Iraqiy mencantumkan sebuah riwayat di dalam kitabnya, Tharh at-
Tatsriib Syarh at-Taqriib196, "Dari Yunus bin ‘Ubaidah, maula Muhammad al-Qasim, ia
berkata, Muhammad bin al-Qasim telah mengutusku untuk menanyakan tentang panji
Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada Bara’ bin ‘Azib. Beliau menjawab, ‘Panji Rasulullah berwarna
hitam, berbentuk persegi empat, terbuat dari kain wool".197
Dari Harits bin Hisaan diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Ketika aku sampai di
Madinah, aku melihat Rasulullah ‫ ﷺ‬berdiri di atas mimbar, sedangkan Bilal berada
di sampingnya, menyandang sebilah pedang. Panjinya berwarna hitam. Aku bertanya,
‘Apa ini’. Para sahabat menjawab, ‘Ini adalah ‘Amru bin al-Ash yang baru pulang dari
medan perang".198
Imam al-Manawiy menyatakan dalam kitabnya Faidl al-Qadiir199, ‘Imam Tirmidziy
meriwayatkan di dalam al-‘Ilal dari Bara’ dari jalur lain dengan redaksi, "Panji
Rasulullah ‫ ﷺ‬berwarna hitam, berbentuk persegi empat, dan terbuat dari kain wool".200
Aku menanyakan hal ini kepada Muhammad –yakni Imam Bukhari--, ia berkata,‘Hadits
ini adalah hadits hasan’. Imam Manawiy juga berkata, ‘Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Imam Thabarani dengan redaksi yang sama’.
193 Takhrijnya sudah dibahas.
194 Mushannif-nya Ibnu Abi Syaibah: VI/532, no.22603. Dan telah dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Asfahaniy dalam Akhlaq
an-Nabi saw wa Adabuhu: hlm.154, no.422, 428; lihat pula Syarh as-Sunnah-nya Imam al-Baghawi: X/404, no.2665. Imam
AbuYusuf dalam kitabnya al-Kharaj (hlm.192) mengatakan: ‘Bahwa rayahnya Nabi saw berwarna hitam’. Telah mengatakan
kepadaku Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Abi Bakar dari ‘Umrah, dari Aisyah ra, berkata: ‘Rayahnya Rasulullah saw
berwarna hitam dari kulit’, dan Aisyah dalam perjalanan yang jauh.
195 Thabarani mengeluarkannya dalam al-Mu’jam al-Kabir: II/186, no.1758. Orang yang mentahqiqnya mengatakan: Dalam
sanadnya terdapat Syarik an-Nakha’i. Nasa’i dan lainnya mentsiqahkannya, namun di dalamnya dla’if. Para perawi lainnya
tsiqah. Yang berkomentar seperti ini adalah al-‘Aini dan Ibnu Hajar. Lihat juga: Mu’jam al-Ausath: VIII/63, no.7969; Mu’jam
as-Shaghir: II/11, no.1049.; al-Gharaaibnya ad-Daruquthniy: 1816; Majmu az-Zawaid: V/321; lihat pula ‘Umdatul Qari: XII/47
yang dinisbahkan kepada Jabir ra.
196 VII/220.
197 Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (Fath ar-Rabbaniy): XIV/51, IV/297; Abu Daud dalam Sunannya: III/71, no.2591; Tirmidzi
dalam Jami’-nya: IV/196,no.1680, Ia berkata: ‘Haditsnya hasan gharib’. Al-Mundziri menisbahkannya kepada Ibnu Majah
padahal bukan dia, seakan-akan (dalam cetakannya) itu dia.; ‘Ilal al-Kabir (713) no. 297, berkata: ‘Muhammad ditanya –yakni
Bukhari- tentang hadits itu. Ia menjawab: ‘Haditsnya hasan’. Dikeluarkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah:
X/403, no.2663; Abu Syaikh dalam Akhlaq an-Nabi saw wa Adabuhu,hlm.155, no.425; Baihaqi dalam Sunan al-Kubra: VI/363;
Ibnu Asakir dalam Tarikh ad-Dimasyq: IV/222-223; lihat Misykatul Mashabih-nya at-Tibriziy: II/1140; Dikeluarkan pula oleh
Nasa’i dalam Sunan al-Kubranya: V/181, no.8606/1, hlmaman tentang rayah.
198 Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (Fath ar-Rabbaniy): XIV/50-51; Tirmidzi dalam Jami’-nya: IV/196, no.1680 tentang kitab al-
jihad, ia berkata: Dalam bab ini dari Ali dan Harits bin Hisaan; Ibnu Majah: II/941, no.2816; Abdurrazzaq dalam Mushannif-
nya: V/288, no.9641. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Harits bin Hayyan, berkata: ‘Aku masuk ke dalam masjid yang dipenuhi
banyak orang. Rayahnya berwarna hitam, aku lalu bertanya: ‘Apa yang dilakukan orang-orang hari ini?’ Mereka menjawab:
‘Itu adalah Rasulullah saw yang akan mengutus Amru bin Ash’. (Tarikh al-Kabir: II/260-261). Dikeluarkan juga oleh Abu Yusuf
dalam kitabnya al-Kharaj, hlm.192; an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra: V/181, no.8607/2; Baihaqi dalam Sunan al-Kubra:
VI/363; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannifnya: III/532.
199 V/171.
200 Dikeluarkan oleh Tirmidzi: IV/196. Ia berkata: Bab ini dari Ali dan Harits bin Hisaan dan Ibnu Abbas.

78 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Dari Ibnu ‘Abbas dituturkan bahwasanya ia berkata, "Panji Rasulullah ‫ ﷺ‬berwarna
hitam, berbentuk persegi empat, terbuat dari kain wool". 201
Imam Nasaaiy meriwayatkan dari Anas, bahwasanya ia menceritakan, "Ibnu Ummi
Maktum membawa panji hitam dalam beberapa pertempuran yang dilakukan oleh
Rasulullah ‫"ﷺ‬.
Rasyid bin Sa’ad telah menuturkan, bahwasanya panji Rasulullah ‫ﷺ‬ berwarna
hitam.202
Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, "Panji Rasulullah ‫ﷺ‬ berwarna hitam dari kain
bulu milik ‘Aisyah ra. Panji itu diberi nama al-‘uqab".203
Diriwayatkan juga dengan sanad dari Yazid bin Abiy Hubaib, ia berkata, "Panji-panji
Rasulullah ‫ ﷺ‬berwarna hitam".204
Inilah beberapa riwayat yang menerangkan bendera Nabi ‫ﷺ‬. Keterangan-
keterangan senada juga telah dituturkan oleh al-‘Iraqiy dan al-Khaza’iy.205 Imam ad-
Dimyathiy menyatakan, ‘Bendera (liwaa’) Rasulullah ‫ ﷺ‬berwarna putih. Kadang-
kadang beliau membawa benderanya yang berwarna hitam. Bendera-bendera
tersebut, kadang-kadang berasal dari kerudung kepala isteri-isteri beliau ‫"ﷺ‬. 206
Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Baariy207 berkata, "Beliau ‫ ﷺ‬memiliki sebuah panji
yang diberi nama panji putih. Kadang-kadang beliau membawa panji yang berwarna
hitam".
Tatkala menjelaskan hadits yang bercerita tentang perang Khaibar, Ibnu Hisyam
berkata, "Panji Rasulullah ‫ ﷺ‬yang berwarna putih berada di tangan Abu Bakar as-
Shiddiq, kemudian diserahkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib".208

C. Lafazh Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah


Apakah hadits ‫ ال إله إال الله محمد رسول الله‬: ‫ مكتوب عليه‬semuanya dha’if? Kita harus kaji
dari semua jalur periwayatan. Sebagai berikut:
(1) hadits riwayat Imam Thabarani dari Ibnu Abbas ra. statusnya dha’if karena ada
rawi yang bernama ‫ أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين‬tertuduh dusta (‫;)متهم بالوضع‬
(2) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Abu Hurairah ra. statusnya dha’if
karena ada rawi yang bernama Muhammad bin Abi Humaid statusnya munkar
oleh Imam Bukhari, tidak tsiqah menurut Imam Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya
menurut Ibnu Ma’in;

201 Sunan an-Nasa’i al-Kubra: V/181 tentang orang buta yang membawa rayah, no. 8605/1: at-Talkhish al-Hubair li Ibni Hajar:
IX/98. Berkata: Ibnu Qaththan berkata haditsnya shahih. Berkata al-Khathabiy dalam Ma’alim as-Sunan, haditsnya hasan:
III/406; ‘Aunul Ma’bud-nya Abadi: VII/255. Ia berkata: Haditsnya hasan.
202 As-Sair al-Kabir-nya Imam Syaibani: I/71.
203 Ibid: I/71.
204 Thabaqat Ibnu Sa’ad: I/455.
205 Tharh at-Tatsrib Syarh at-Taqrib: VII/220; Takhrij Dalalat as-Sam’iyah hlm.364.
206 Mukhtashar dalam Sirah Sayid Basyar: I/39.
207 VI/127.
208 Sirah an-Nabawiyah: III/374; Imam al-Iraqiy juga berkata hlm yang sama dalam Tharhat-Tatsrib Syarh at-Taqrib: VII/221.

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 79
(3) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Ibnu Abbas ra. diperselisihkan,
dan saya -atas dasar pengetahuan yang sedikit ini- memilih pendapat yang
mengatakan shahih.
Jadi dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam
Akhlaq al-Nabi ‫ ﷺ‬dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Jalur Ibnu Abbas ini, semua
rawinya dapat diterima, sebagai berikut:

– ‫ قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا‬: ‫أحمد بن زنجوية بن مىس‬
– ‫ قال ابن معني ثقة وقال الذهبي ثقة‬: ‫محمد بن أيب الرسي العسقالين‬
– ‫ قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان يف “الثقات” وقال ابن‬: ‫عباس بن طالب البرصي‬
‫حجر برصي صدوق‬
– ‫ قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان يف “الثقات” وقال‬: ‫حيان بن عبيد الله بن حيان‬
‫أبو بكر البزار ليس به باس‬
– ‫ تابعي ثقة‬:‫أبو مجلز الحق بن حميد‬
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah.
Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi
Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu
Bakar al-Bazar mengatakan masyhur dan “laisa bihi ba’sa”. Tafarrud-nya Hayyan bin
Ubaidillah tidak me-madharat-kan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq
(lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin
Ubaidillah (‫ )حيان‬dan Haban bin Yassar (‫ )حبان‬sudah dijelaskan oleh para ulama,
semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal,
dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa
dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur
Ibnu Abbas selamat.
Terlebih lagi lafazh “‫ ”ال إله إال الله محمد رسول الله‬merupakan ‘alamah atau ciri khusus
dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi?
Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan
kalimat Allah Azza Wa Jalla.

D. Warna
Terkait warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna rayah adalah hitam
dan liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain
seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang
sifatnya sementara.

80 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Hadits riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan
Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning.

‫َح َّدث َ َنا ُع ْق َب ُة بْ ُن ُم ْك َر ٍم َح َّدث َ َنا َسلْ ُم بْ ُن قُتَ ْي َب َة الشَّ ِعري ُِّى َع ْن شُ ْع َب َة َع ْن ِس َم ٍك َع ْن َر ُجلٍ ِم ْن‬
‫ َص ْف َرا َء‬-‫صىل الله عليه وسلم‬- ‫قَ ْو ِم ِه َع ْن آ َخ َر ِم ْن ُه ْم ق ََال َرأَيْ ُت َرايَ َة َر ُسو ِل اللَّ ِه‬.
Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnad-nya majhul.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan Abu Nu’aim al-
Ashbahani,

‫ « أن رسول الله صىل الله عليه وسلم عقد رايات األنصار‬، ‫عن جدته مزيدة العرصية‬
‫» وجعلهن صفراء‬
Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan
tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat Thabarani menyebutkan bahwa warna rayah
Nabi adalah merah,

‫أَ َّن ال َّنب َِّي َص َّل اللَّ ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع َق َد َرايَ ًة لِ َب ِني ُسلَ ْي ٍم َح ْم َرا َء‬.
Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu
Hajar.
Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga
menyebutkan rayah berwarna merah dan statusnya shahih, kasusnya sementara
di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan rayah
warna hitam,

، ‫ إذا أدرك طعن بها‬، ‫ يف يده راية سوداء‬، ‫ عىل جمل أحمر‬، ‫وكان أمام هوازن رجل ضخم‬
، ‫ فرصد له عيل بن أيب طالب رضوان الله عليه‬، ‫ دفعها من خلفه‬، ‫وإذا فاته يشء بني يديه‬
‫ورجل من األنصار كالهام يريده‬

E. Fungsi dan Kegunaan


Apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu, rayah adalah
panji-panji perang, dan liwa’ simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari
fakta bahwa liwa` dan rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman
Rasulullah dan para Khulafa` Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian
juga, rayah dan liwa’ sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayyi Al-Kattani
menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika
suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda
persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan
hati mereka (ittihadi quluubihim).

Khilafah Islamiyyah
di antara Sistem Pemerintahan Lain 81
F. Tulisan dan Khat
Terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam
sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau
persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait
rayah dan liwa’.
Sependek pengetahuan saya, saya belum menemukan khabar tentang kepastian
khat dan bentuk. Seperti halnya ketika ada dalil umum yang tidak dijelaskan
washilah-nya, maka berarti washilah tersebut mubah. Jadi ini bukan isu utama. Jadi
persoalannya sederhana, tidak malah menjadi rumit pada perkara yang memang
mubah. Adapun yang paling penting bahwa rayah (hitam) dan liwa’ (putih) dengan
tulisan ‫ ال إله إال الله محمد رسول الله‬adalah perkara yang masyru’.

G. Penamaan
Adapun penamaan al-rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits
sebagai berikut:
Hadits riwayat Baihaqi,

‫ « كان لواء رسول الله صىل الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته‬: ‫ قالت‬، ‫عن عائشة‬
‫ وكانت الراية تسمى العقاب‬، ‫ قطعة مرط مرجل‬، ‫سوداء‬
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah,

‫عن الحسن قال كانت راية النبي صىل الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب‬

Hadits riwayat Ibnu Adiy,

‫عن أيب هريرة كانت راية رسول الله صىل الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب‬
Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if
karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang
kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan
para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬.
Semua hal tadi menunjukkan kehujjahan dalil liwa’ dan rayah sebagai bendera dan
panji Rasulullah ‫ ;ﷺ‬liwa’ berwarna putih, rayah berwarna hitam dan tulisan laa
illaha illa Allah di atasnya adalah perkara yang masyru’. Wallahu a’lam. []

82 Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)


Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Konsep Ketatanegaraan Islam (Al-Khilafah Al-Islamiyyah)
Dalam Perspektif Turats Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah 83

Anda mungkin juga menyukai