Anda di halaman 1dari 5

Hukum Mengemban Panji Al-Râyah & Al-Liwâ’ dalam Aksi Unjuk

Rasa (Di Luar Jihad)


Pertanyaan

Assalamu'alaikum, ustadz, saya ada pertanyaan (sekaligus pernyataan) begini:

Bendera rosul biasanya dikibarkan untuk perang jihad fi sabilillah, klo buat demo ada
hadistx tidak?.. mohon pencerahannya dari mas2 senior.

Kalau bendera Rosul lebih pas untuk berhadapan dg orang kafir yg shorih (jelas) seperti
Jihad Afghan awal waktu melawan komunis + Rusia, penjajah Israil, Budha
penjajah/pembantai muslim rohingya.

Lah kalau demo ini lawan siapa? Secara dzahir semua muslim, cuma beda aspirasi
politiknya. Yang pas pakai bendara qobilah/ormas masing-masing....

Jawaban

‫وعليكم السالم ورمحة اهلل وبركاته‬


‫احلمدهلل والصالة والسالم على رسول اهلل وبعد‬

Pertama, Mengemban Panji Al-Râyah & Bendera Al-Liwâ’ dalam Jihad


Merupakan Mandat Resmi Kenegaraan dari Khalifah

Terkait mengemban panji al-Raayah, kalau dengan logika penanya yang


mempertanyakan dalil penggunaannya ketika aksi unjuk rasa mengoreksi penguasa, maka
pertanyaan serupa sebenarnya muncul terkait penggunaan panji al-Raayah yang diemban
dalam jihad tanpa ada mandat dari Khalifah, karena hadits-hadits nabawiyyah terkait
mengemban panji al-Raayah dalam jihad, menunjukkan bahwa mengemban Raayah dan
Liwa’ itu adalah mandat khusus kenegaraan, yang diserahkan secara resmi oleh Khalifah
kepada komandan para kata’ib, disamping bendera al-Liwa’ yang diserahkan kepada
Komandan jihad, mengingat keduanya merupakan simbol kepemimpinan resmi negara
dalam aktivitas jihad.

Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa al-liwâ
dan al-râyah, merupakan simbol kenegaraan Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam-,
hal itu ditandai dengan praktik Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam- sebagai kepala
negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan al-liwâ’ ditangannya
semisal ketika Fathu Mekkah, atau diserahkan kepada orang yang ditunjuknya secara
resmi untuk memimpin pasukan perang, di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah -
shallaLlahu 'alayhi wa sallam- ketika Perang Khaibar:

»ُ‫ َوحُيِبُّهُ اللَّهُ َو َر ُسولُه‬،ُ‫ب اللَّهَ َو َر ُسولَه‬


ُّ ِ‫ حُي‬،‫الرايَةَ َغ ًدا َر ُجالً يُ ْفتَ ُح َعلَى يَ َديِْه‬
َّ َّ ‫«ُألع ِطنَي‬
ْ
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan
(benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan
Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)1
Ketika bendera al-liwâ’ diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang,
maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para
komandan detasemen pemegang al-râyah dan para pasukan itu sendiri. Ibn Bathal
menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang
bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh al-Imam (Khalifah)
saja, tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan
(kewenangan dan kedudukan Khalifah-pen.).2

Ibn Bathal pun menukil penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadits al-Zubair r.a.,
terdapat petunjuk bahwa al-râyah tidak diserahkan kecuali dengan izin al-Imam
(Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan kedudukannya. Maka
tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali berdasarkan perintah
Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara spesifik dirinci oleh Ibn Bathal dalam satu
bab khusus ()‫يل ىِف لَِواء النَّىِب ِّ (صلى اهلل عليه وسلم‬ِ 3
َ ‫) َما ق‬.

Hadits ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut. 4 Ibn Hajar
al-’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad r.a. adalah salah
seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi 5, dan hal itu tidak
dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi -shallaLlahu 'alayhi wa sallam-.6
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib r.a dan Sa’ad bin Ubadah r.a yang juga pernah
menerima mandat al-râyah dari Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam-.7

1
HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam
Musnad-nya (1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.
2
Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V,
hlm. 141.
3
Ibid., hlm. 140-141.
4
Ibid.
5
HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2811).
6
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379, juz
VI, hlm. 127.
7
Ibid.
Kedua, Mengemban Panji Al-Râyah dan Al-Liwâ’ dalam Rangka Syi’ar Islam,
Dakwah Memperkenalkan Apa yang Dilupakan Kaum Muslim dari Warisan
Nabinya

Berdasarkan penjelasan poin pertama di atas, menyi’arkan panji al-Rayah dan al-
Liwa konteksnya saat ini, baik diemban oleh mujahidin ataupun para du’at ketika
mengoreksi penguasa, jelas tidak sedang mengemban panji mandat dari sosok Khalifah,
namun di luar pembahasan ini, yakni syi’ar Islam. Jika dipertanyakan apakah hukumnya
boleh atau tidak?

Maka jawabannya boleh, karena mengemban panji al-Rayah dan al-Liwa’,


memperkenalkannya kepada masyarakat luas baik ketika unjuk rasa atau selainnya bagian
dari dakwah, mengkampanyekan SYI'AR ISLAM berupa panji dan bendera Rasulullah -
shallaLlahu 'alayhi wa sallam-, yang belum dipahami dan sudah lama dilupakan oleh
sebagian kaum Muslim. Dan syi’ar Islam, sebagaimana firman-Nya:

ِ ‫ذلِكَ َو َمن يُ َعظِّ ْم َش َعاِئ َر هَّللا ِ فَِإنَّهَا ِمن تَ ْق َوى ْالقُلُو‬


}٣٢{ ‫ب‬
“Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar
Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]:
32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani
(w. 1316 H) menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang
bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya.8 Sifat
takwa ini, ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik r.a., bahwa
Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam- bersabda:

»‫ب‬ ِ ٍ ‫ مُثَّ َأخ َذ اِبن رو‬،‫ُأصيب‬


ِ ِ
َ ‫احة فَُأصْي‬
َ ََ ُْ َ َ ْ َ‫َأخ َذ َج ْع َفٌر ف‬
َ َّ‫ مُث‬،‫ب‬
َ ‫الرايَةَ َزيْ ٌد فَُأصْي‬
َّ ‫َأخ َذ‬
َ «
“Zaid mengambil al-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (al-Râyah)
lalu ia gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (al-Râyah) lalu ia gugur.” (HR.
Al-Bukhari & Ahmad)9

Ketiga, Aktivitas Unjuk Rasa, Bagian dari Upaya Meraih Keutamaan Aktivitas
Dakwah Muhasabah Li al-Hukkam

8
Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H,
hlm. 103.
9
HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (1189), Ahmad dalam Musnad-nya (12114).
Di sisi lain, aktivitas mengoreksi penguasa bagian dari upaya meraih keutamaan
seutama-utamanya jihad (afdhal al-jihâd), mengingat poin ini sebagaimana penjelasan
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyoal bentuk jihad, mencakup jihad
dengan hujjah (dakwah):

‫َذا‬0َ‫اد َوهِل‬0‫ه‬0َ ‫الْعل ِم َواجْل‬00ِ‫ ّدين ب‬0‫وام ال‬00‫اد فق‬0 ِ ‫ه‬0 ِ‫ه بِاجْل‬00‫ا ان قوام‬0‫م‬0 ‫الم َك‬00‫وام االس‬00‫ه ق‬0ِ 0ِ‫بِيل اهلل اَل ن ب‬0‫ل طلب الْعلم من س‬00‫ا جع‬00َ‫وِإمَّن‬
َ َ َ َ
‫ة‬0‫ص‬َّ ‫اد اخْلَا‬0‫ه‬0َ ‫ه َذا ِج‬0َ ‫ان َو‬00َ‫اد بِاحْل َّج ِة َوالَْبي‬0‫ه‬0َ ِ‫ري َوالثَّايِن اجْل‬00‫ه كث‬0ِ 0‫ارك فِي‬00‫ه َذا املش‬0َ ‫نان َو‬00‫د والس‬0ِ 0َ‫اد بِالْي‬0‫ه‬0َ ‫و َعنْي ِ ِج‬0ْ 0‫اد َن‬0‫ه‬0َ ِ‫ا َن اجْل‬0‫ك‬0َ
‫منفعته َوشدَّة ُمْؤ نَته َو َك ْثَرة اعدائه‬ ِ
َ ‫الر ُسل َو ُه َو ج َهاد االئمة َو ُه َو افضل اجلهادين لعظم‬ ُّ ‫من اتِّبَاع‬
"Sesungguhnya Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam- menuntut ilmu bagian dari
amal perbuatan di jalan Allah, karena dengannya tegak fondasi-fondasi Islam,
sebagaimana ia tegak dengan jihad, maka Din ini tegak dengan ilmu dan jihad, dan oleh
karena itu, jihad ada dua macam:

Pertama, Jihad dengan tangan dan tombak (senjata), ini yang diikuti oleh banyak orang
(yakni pada umumnya awam dan ahli ilmu).

Kedua, Jihad dengan hujjah (argumentasi syar'i) dan penjelasan, ini merupakan jihad
orang pilihan yang meniti jalan Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam-, ini adalah
jihadnya para pemimpin umat (al-Imam), dan seutama-utamanya jihad, karena besar
manfaatnya, banyak persiapan bekalnya dan banyak musuhnya."10

Hal ini sebagaimana isyarat agung dalam hadits-hadits yang mulia:

ٍ َ‫ضل اجْلِه ِاد َكلِمةُ ح ٍّق ِعْن َد س ْلط‬


»‫ان َجاِئٍر‬ ُ َ َ َ َ َ ْ‫«َأف‬
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.”
(HR. Al-Hakim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Thabrani, al-Baihaqi)11

Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam- dalam hadits ini secara khusus telah
memuji aktivitas mengoreksi penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan
menyampaikan kebenaran kepadanya. Frasa afdhal al-jihâd dalam hadits ini merupakan
penilaian dari Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam-, yang diungkapkan dalam

10
Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa'âdah, Beirut: Dâr al-Kutub
al-'Ilmiyyah, juz I, hlm. 70.
11
HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (no. 8543); al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2174), al-
Tirmidzi mengomentari: “Sanad hadits ini hasan gharib” dengan lafal « ‫اِئٍر‬00‫ان َج‬ ٍ َ‫ْلط‬0 0‫د س‬0َ 0 ‫ق ِعْن‬0ٍّ 0‫ ةَ ح‬0 ‫م‬0 ِ‫اد َكل‬0
ِ 0‫ ;»ِإ َّن ِمن َأعظَ ِم اجْلِه‬Ibn
ْ ْ
ُ َ َ َ
Majah dalam Sunan-nya (no. 4011) dengan lafal: « ‫اِئٍر‬0‫ج‬0َ ‫ان‬ ِ ِ
ٍ َ‫ْلط‬0‫د س‬0َ 0‫ ْد ٍل ِعْن‬0‫م ةُ ع‬0 ‫اد َكل‬0‫ه‬0 ِ‫ل اجْل‬0‫ض‬ْ‫ف‬‫َأ‬»; Abu Dawud dalam Sunan-nya
ُ َ َ َ َُ
(no. 4346); al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (no. 8081); al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7174)
secara mursal dengan sanad jayyid.
bentuk tafdhîl (pengutamaan), menunjukkan secara jelas keutamaan mengoreksi
penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zhalim.

Imam al-Khaththabi (w. 388 H) menguraikan:

‫ل يغلب أو‬0‫دري ه‬0‫وف ال ي‬0‫اء وخ‬0‫رتدداً بني رج‬0‫ان م‬0‫دو وك‬0‫د الع‬0‫اد ألن من جاه‬0‫ل اجله‬0‫ك أفض‬0‫إمنا صار ذل‬
‫دف‬00‫ف وأه‬00‫رض للتل‬00‫د تع‬00‫املعروف فق‬00‫ره ب‬00‫ال احلق وأم‬00‫و إذا ق‬00‫ده فه‬00‫ور يف ي‬00‫لطان مقه‬00‫احب الس‬00‫يغلب وص‬
‫نفسه للهالك فصار ذلك أفضل أنواع اجلهاد من أجل غلبة اخلوف واهلل أعلم‬
Rasulullah -shallaLlahu 'alayhi wa sallam- menjadikan hal tersebut sebagai
sebaik-baiknya jihad, karena siapa saja yang berjihad menghadapi musuh maka ia
akan dibayang-bayangi antara harapan dan kecemasan, tidak tahu apakah ia akan
menang, atau tidak, dan penguasa jelas memiliki kekuatan di tangannya, dimana
jika seseorang menyampaikan kebenaran dan memerintahkannya kepada yang
ma’ruf, maka ia melemparkan dirinya ke dalam bahaya, dan menggiring dirinya
kepada kebinasaan, sehingga jadilah hal tersebut sebagai sebaik-baiknya jenis
jihad, karena dominasi kecemasan di dalamnya, waLlahu a’lam.12
Dalam hadits lainnya lebih diperjelas lagi keutamaan dakwah:

ِ ِّ‫الش َه َد ِاء مَحَْزةُ بْن َعْب ُد الْمطَل‬


»ُ‫ َو َر ُج ٌل قَ َام ِإىَل ِإَم ٍام َجاِئٍر فَ ََأمَرهُ َو َن َهاهُ َف َقَتلَه‬،‫ب‬ ُ ‫« َسيِّ ُد‬
ُ ُ
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang
mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan
mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu)
membunuhnya.” (HR. Al-Hakim, al-Thabrani)13

‫وفقنا اهلل وإياكم فيما يرضاه ربنا وحيبه‬


‫واهلل أعلم بالصواب‬

12
Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’alim al-Sunan, juz IV, hlm. 350.
13
HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (no. 4884), al-Hakim mengomentari: “Hadits ini sanadnya
shahih, meski al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya” dari Jabir bin Abdillah r.a., Alwi bin Abdul
Qadir al-Saqqaf mengomentari: ”Hasan” (Alwi bin Abdul Qadir al-Saqqaf, Takhrîj Ahâdîts wa Âtsâr Kitâb fî
Zhilâl al-Qur’ân, Dâr al-Hijrah, cet. II, 1416 H, hlm. 80); dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no.
4079) dari Ibn Abbas r.a., al-Haitsami mengomentari, dalam riwayat al-Thabrani ada perawi dha’if
(Nuruddin ’Ali al-Haitsami, Majma’ al-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, juz VII, hlm. 535)

Anda mungkin juga menyukai