Anda di halaman 1dari 10

JIHAD DAN RADIKALISME

OLEH :
HAERUDIN, LC. M.A.
PENGERTIAN JIHAD
Jihad Menurut Bahasa : Kata jihad berasal dari
kata “jahada” atau ”jahdun” ٌ‫ َج ْهد‬yang berarti
“Kelelahan/kesusahan” atau “juhdun” ٌ‫ ُج ْهد‬yang
berarti mengeluarkan kemampuannya.
Jihad Menurut Istilah :
Menurut Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi
Saw, secara bahasa jihad berarti “mencurahkan
segenap kekuatan dengan tanpa rasa takut untuk
membela Allah terhadap cercaan orang yang
mencerca dan permusuhan orang yang
memusuhi”.
Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan, “Jihad
dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas
agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya
untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun
kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak
dipahami selain untuk makna memerangi orang kafir dengan
pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam
keadaan rendah dan hina” (Mauqif Al Muslim Minal Qitaal Fil
Fitan, Utsman Mu’allim Mahmud) .

Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad


dengan pernyataan, “Jihad artinya mengerahkan seluruh
kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai
Allah dan menolak yang dibenci Allah” (Majmu’ Al Fatawa Ibnu
Taimiyah)
Definisi Radikalisme
Menurut Bahasa : Istilah radikal dan radikalisme berasal
dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise
Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal
mula
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan
sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat
keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir
atau bertindak”.
Menurut Istilah :
Menurut kamus besar bahasa indonesia :
1. paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran
politik.
Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry
diartikan sebagai faham politik kenegaraan yang
menghendaki perubahan dan perombakan
besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan.
Dalil Jihad
Al qur’an
Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir
dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya. (At Taubah 73)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (Al Baqarah 190)
Al hadis
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
،‫علَى َو ْق ِت َها‬
َ ُ ‫صالٌَة‬
ٌَّ ‫ ال‬:‫ل‬ ٌَ ‫ل أ َ َحبٌ ِإلَى للاِ؟ قَا‬ ٌِ ‫ أَيٌ ْالعَ َم‬: ‫سلَّ ٌَم‬ َ ‫علَ ْي ٌِه َو‬
َ ُ‫للا‬ ٌ ‫صلَّى‬ َ ‫ي‬ ٌَّ ‫ت النَّ ِب‬ ٌُ ‫سأ َ ْل‬
َ
ٌِ ‫ل‬
.‫للا‬ ٌِ ‫س ِب ْي‬ ٌْ ‫ ْال ِج َها ٌُد ِف‬:‫ل‬
َ ‫ي‬ ٌَ ‫ي؟ قَا‬ ٌَ ‫ قَا‬،‫ ِبرٌ ْال َوا ِل َدي ِْن‬:‫ل‬
ٌّ َ ‫ ث ٌَُّم ٌأ‬:‫ل‬ ٌَ ‫ي؟ قَا‬ ٌّ َ ‫ ث ٌَُّم أ‬:‫ل‬ٌَ ‫قَا‬
Abu Dzarr Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal apa saja yang
paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Beriman kepada Allah dan berjihad fii sabiilillaah…” [13]
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata:
“Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah
jihad fii sabilillaah.” [14]
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang
karena mengharap ghani-mah (harta rampasan perang), ada
yang lain berperang supaya disebut namanya, dan yang lain
berperang supaya dapat dilihat kedudukannya, siapakah yang
dimaksud berperang di jalan Allah?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
HUKUM JIHAD
Hukum Dasar Jihad
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jihad. Jumhur ulama berpendapat
fardhu kifayah. Sedangkan sebagain ulama lainnya berpendapat fardhu ‘ain, di
antaranya Sa’id bin Musayyib. Dan pendapat yang lebih benar adalah fardhu
kifayah bagi umat ini, berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Walaupun hukumnya fardhu kifayah, bukan berarti kita boleh kurang
memperhatikannya. Karena jihad termasuk amal ibadah yang paling mulia.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah ditanya, “Siapakah manusia yang
peling utama?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwanya.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu sa’id al-Khudri radhiyallaahu
'anhu).
Pernah Aisyah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, “Kami
mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, kenapa kita tidak juga
berjihad?” Beliau shallallaahu 'alaihi wasallammenjawab, “Jangan, tapi jihad paling
utama adalah haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari, dan daam riwayat yang lain, “Jihad
kalian (kaum wanita) adalah haji.”
Dari sini, banyak ulama yang berpendapat bahwa haji bagi wanita lebih afdhal
daripada jihad. Jihad tidak diwajibkan atas kaum wanita tanpa perbedaan. (Lihat
dalam al-Inshaf dan Majmu’ al-Fatawa).
Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Aku tidak mengetahui ada satu amal setelah
shalat fardhu yang lebih utama daripada jihad.” Dan ketika disebutkan kepada
beliau tentang jihad, maka beliau menangis dan berkata, “Tidak ada satu amal
kebaikan yang lebih utama daripadanya.”
Bukan berarti pendapat tentang hukum jihad sebagai fardhu kifayah, jihad tidak wajib atas
umat. Tapi fardhu kifayah apabila tidak ada yang menegakkannya maka seluruh umat
berdosa. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ahli ilmu.
Imam al-Mardawi berkata dalam al-Inshaf berkata, “Fardhu kifayah wajib atas semuanya.
Dan dinashkan ini dalam urusan jihad. Apabila ada orang yang sudah melaksanakannya
maka gugurlah kewajiban tersebut atas yang lain, tapi menjadi sunnah atas mereka.”
Dan apabila dikatakan jihad ini wajib ‘ain maka kewajiban-kewajiban lain pasti akan
tertinggal, tidak ada yang mampu melaksanakannya. Dan kalaulha jihad ini hukumnya
fardhu ain bagi setiap indvidu dari umat ini, maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
tidak akan pernah bisa berjalan-jalan di pasar dan para sahabat tidak akan sempat
meletakkan pedang mereka dari pundaknya. Dan tidak mungkin umar akan berkata,
“Kesibukan di pasar telah melalaikanku.” Ibnu ‘Auf radhiyallaahu 'anhushallallaahu 'alaihi
wasallammengizinkannya untuk tidak berangkat berjihad karena merawat istrinya, dan tidak
mungkin tersisa seorang laki-lakipun di Madinah untuk menjaga kaum wanita dan anak-
anak. juga tidak akan berkata, “Tunjukkan pasar kepadaku.” Begitu juga Utsman, tidak
mungkin Nabi
Para ulama juga telah menetapkan syarat adanya bekal dan nafkah untuk keluarga yang
ditinggalkan selama dia pergi berjihad (sebagaimana yang disebutkan dalam al-Muqni’,
Syarh al-Kabir, dan Al-Inshaf). Kalau jihad ini wajib atas setiap individu, niscaya tak
seorangpun diberi udzur untuk meninggalkannya, seperti orang-orang yang keadaannya
tidak mampu.
Jihad juga tidak wajib atas kaum wanita, budak, orang-orang memiliki halangan, dan orang-
orang yang mengutarakan alasan untuk tidak ikut keluar. Dan jika jihad ini hukumnya wajib
‘ain pastinya tidak seorangpun dari mereka yang diberi udzur (alasan) untuk tidak berjihad.
Kapan Jihad Itu Hukumnya Fardu Ain

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa jihad menjadi


wajib (fardhu ‘ain) jika:

1- Diperintahkan berjihad oleh pemimpin atau penguasa.

2- Jika negeri kita telah dikepung musuh, maka wajib bagi setiap rakyat
membela negerinya dari serangan.

3- Jika orang kafir dan kaum muslimin telah berhadap-hadapan, maka ketika
itu jadi wajib ‘aib untuk berperang dan tidak boleh kabur saat itu.

4- Suatu negeri sangat butuh pada seseorang di mana hanya dia saja yang
bisa berjihad -semisal hanyalah dia yang bisa menggunakan persenjataan
yang baru-, maka wajib ‘ain bagi dirinya untuk berjihad meskipun penguasa
tidak memerintahkan dia untuk berjihad. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 1:
32-33).

Anda mungkin juga menyukai