A. TA’RIF BID’AH
َ ضالَ لَ ٍة َو ُك ُّل
ِ ضالَ لَ ٍة فِى ال َّن
ار َ ُك ُّل ِب ْد َع ٍة
“Setiap Bid’ah Itu sesat dan setiap yang sesat itu masuk neraka”
Memaknai hadits di atas dengan makna "sebagian bidah" juga bukan pendapat baru.
Ulama sekaliber Imam Nawawi r.a. dalam Syarah Muslim berkomentar mengenai hadits
kullu bidah dholalah:
Contoh penerapan hal ini ada di dalam al Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya:
Ilmu rijāl al-hạdīs,ׂ yakni ilmu yang mengkaji tentang para perawi hadis, baik
dari sahabat, tabi’in, maupun tabaqah setelahnya:
Artinya: Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai
perawi hadis.
Objek kajian hadis pada dasarnya ada dua yaitu kajian sanad dan matan. Ilmu
rijāl al-hạdīs ׂ ini lahir bersamaan dengan periwayatan hadis dalam Islam dan
mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan sanad. Oleh
sebab itu, kajian sanad sangat penting dalam kajian ilmu hadis.
Ilmu ini sangat penting berkaitan dengan istinbat hukum. Untuk mengetahui
apakah hadis-hadis tersebut berlaku sebagai nāsikh dan berlaku sebagai
mansūkh bisa dilihat dengan beberapa cara:
a) Melalui penjelasan dari nash atau syari’ itu sendiri, yakni Rasulullah SAW
c) Melalui tarikh keluarnya hadis serta sebab turun hadis (asbāb al-wurūd).
Ilmu ini juga disebut dengan ‘Ilmu Mukhtalaf al-Hadīs. Ulama-ulama yang telah
menyusun kitab dengan pembahan ini adalah Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn
Qurtaibah (w. 276 H), At-Tahāwi (w. 321 H) dan Ibn Jauzī (w. 597 H).
Ilmu ’Ilāl al-Hadīś, yakni ilmu yang membicarakan hadis-hadis yang secara
dzahir kelihatan sah, namun kemudian terdapat beberapa kekeliruan/
kesalahan/cacat di dalamnya.
Kata ‘Ilal adalah bentuk jamak dari dari kata ‘illah yang artinya penyakit. Ahli
hadis menyebut ‘illah sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat
mengurangi status kesahihan hadis padahal dhahirnya tidak tampak ada
cacat sebagaimana definisi di bawah ini:
Ilmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīś, yakni ilmu yang menjelaskan latar belakang,
sebab-sebab atau konteks di mana hadis tersebut terjadi.
يث َو ُمنَ َاس َبتِ ِه
ِ لح ِد
َ اب ُو ُر ْو ِد ْا ِ ِ
ُ ََالع ْل ُم ْيع َر ُف به َا ْسب
Artinya: Ilmu yang menjelaskan tentang sebab munculnya hadis dan
hubungannya dengan hadis tersebut.
Ilmu Asbāb al-Wurūd al-Hadīs ini penting dalam membantu memahami hadis,
sebagaimana Asbāb an-Nuzūl penting dalam membantu memahami ayat-ayat
al-Qur’an.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dīl, yakni ilmu yang digunakan untuk menilai atau
mengkritik para perawi hadis. Apakah perawi hadis tersebut memiliki reputasi
yang baik, adil, tsiqah, kuat hapalannya, suka berdusta atau sebaliknya.
Sehingga dari penilaian tersebut, seseorang bisa menyimpulkan kualitas
sanad (rangkaian perawi hadis) sebuah hadis.
اظ َم ْخ ُص ْو َص ٍة
ٍ ِع ْل ٌم يب َح ُث َع ِن ال ُّر َّو ِاة ِم ْن َحي ُث َماور َد فِى َشْأنِ ِه ْم ِم َّما يشني ِه ْم َا ْو ي َزكِّ ِه ْم بَِا ْل َف
ُ َ ََ ْ ُْ
Artinya: Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan (mengkritik
buruk) atau membersihkan (menilai baik) mereka, dengan ungkapan atau lafad
tertentu.
C. NISFU SYA’BAN
1. NAMA-NAMA MALAM NISFU SYA’BAN
Sebagian ulama menyebutkan banyak nama dari malam Nishfu Sya’ban – sementara
banyak nama secara lazim menunjukkan kemuliaan pemilik nama – . Imam Abul Khair
at Thaliqani menyebutkan nama – nama itu hingga 22 nama yang di antaranya:
al Lailah al Mubarakah. Malam yang memang penuh berkah, atau karena makna –
makna yang ada di dalamnya atau karena malaikat mendekat dan bersanding dengan
manusia pada malam itu.
Lailatul Qismah. Di antara namanya adalah Lailatul Qismah, malam pembagian rizki
dan penentuan segala keputusan Allah berupa urusan besarNya sebagaimana
diriwayatkan Atha’ bin Yasar: [Pada malam nishfu sya’ban dituliskan untuk malaikat
maut nama semua orang yang akan meninggal dunia dari sya’ban (itu) sampai sya’ban
berikutnya. Dan sesungguhnya seseorang selalu berbuat zhalim, berbuat fujur,
menikahi para wanita dan menanam pohon – pohon sementara namanya telah tertulis
dari golongan orang – orang yang hidup beralih kepada golongan orang – orang yang
mati. Dan tidak ada malam selain Lailatul Qadar yang lebih utama daripada malam
nishfu sya’ban]
[Pada malam nishfu sya’ban diberikanlah sebuah lembaran kepada malaikat maut dan
dikatakan kepadanya, “Cabutlah (nyawa) orang yang ada di lembaran ini. Dan
sesungguhnya seorang hamba sedang menanam pepohonan, menikahi para isteri dan
membangun bangunan sementara namanya telah tertulis dalam daftar orang – orang
yang meninggal dunia dan malaikat maut tidak menunnggu kecuali ia diperintah untuk
mencabut nyawanya]
Dalam versi lain diriwayatkan: [Ajal – ajal dipastikan dari sya’ban sampai sya’ban
berikutnya sehingga seseorang menikah dan mendapatkan putera sementara namanya
telah keluar dalam daftar orang – orang yang meninggal dunia]
Lailatut Takfiir. Disebut dengan Lailatut Takfiir karena malam ini bisa menghapus dosa
– dosa setahun sementara Malam Jum’at menghapus dosa – dosa seminggu. Adapun
Lailatur Qadar menghapus dosa – dosa seumur hidup. Demikian disebutkan oleh Imam
Taqiyyuddin As Subki dalam tafsirnya.
Lailatul Ijabah Di antara namanya adalah Lailatul Ijabah seperti diriwayatkan dari Ibnu
Umar ra. Beliau berkata: [Ada lima malam di mana di dalamnya do’a tidak ditolak;
malam jum’at, malam pertama bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, lailatul qadar dan
dua malam hari raya]
Lailatul Hayat wa Lailat Idul Malaikat. Nama ini disebutkan oleh Abu Abdillah Thahir bin
Muhammad bin Ahmad al Haddadi dalam kitabnya Uyunul Majalis tentang pendapat
bahwa malaikat di langit memiliki dua malam hari raya seperti halnya kaum muslimin di
bumi memiliki dua hari raya. Hari raya malaikat adalah Lailatul Bara’ah yakni malam
nishfu sya’ban dan malam lailatul qadar sementara hari raya kaum beriman adalah Idul
Fithri dan Idul Adha. Hari raya malaikat berada di malam hari karena mereka tidaklah
tidur yang karena itu siang atau malam sama bagi mereka. Sedang hari raya anak
keturunan Adam di siang hari karena malam adalah waktu tidur bagi mereka guna
beristirahat.
Lailatus Syafa’ah. Nama ini diberikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Abdillah al
Hakim an Naisaburi dan yang lain
Lailatul Bara’ah wa Lailatus Shakk Disebut dengan nama ini karena di malam ini kaum
beriman mendapat kepastian terbebas serta memperoleh piagam atau sertifikat
(Shakk) ampunan. Sebagian ulama ditanya tentang nama Lailatul Bara’ah ini dan
Beliau menjawab: [Ketika Amil memungut zakat dan sedekah dan telah menunaikan
seluruh hak Baitul Maal maka ia pasti memberikan tulisan dan penegasan bahwa ia
telah lepas / bebas dari semua hak atasnya. Pada Lailatul Bara’ah juga diberikan
seperti itu. Masing – masing mendapat piagam kebebasan dan dikatakan kepadanya,
“Anda telah memenuhi seluruh hak dan telah menunaikan syarat – syarat ubudiyyah
maka ambil piagam kebebasanmu dari neraka” dan dikatakan pula kepada seseorang:
“Anda meremehkan hak – hak saya dan tidak pernah menunaikan syarat – syarat
ubudiyyah maka silahkan ambil kebebasan anda dari al Jabbar”
Cara Menghidupkan
Para ulama Syam berbeda dalam cara menghidupkan malam Nishfu Sya’ban;
Kedua. Berkumpul untuk shalat, mendengar ceramah dan berdo’a di masjid – masjid
pada malam Nishfu Sya’ban hukumnya makruh. Dan tidak dimakruhkan apabila
seseorang shalat sendiri di sana.
Ini adalah pendapat al Auza’i, orang alim, ahli fiqih dan Imam penduduk Syam dan
inilah yang Insya Allah lebih mendekati kebenaran.
Syekh Khalil bin Ibrahim dalam sebuah karyanya Khuthuratu Musawatil haditsid Dhaif
bil Maudhu menjelaskan secara panjang lebar terkait perbedaan itu. Ia mengecam
sebagian kalangan yang menyamakan hadits dhaif dengan hadits palsu. Keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Menyamakan keduanya termasuk suatu
kesalahan fatal dalam beragama. Syekh Khalil menjelaskan, di antara perbedaan hadits
dhaif dan maudhu adalah sebagai berikut.
فهو مكذوب،إن الحديث الضعيف هو في األصل منسوب إلى النبي المصطفى الكريم صلى هللا عليه وسلم بخالف الموضوع
مختلق مصنوع.
Artinya, “Hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW,
berbeda dengan hadits maudhu yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas
nama Nabi SAW). Selain itu, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan
sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya
seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan
sesuatu. Sedangkan hadits maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali
dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian hadits dhaif boleh diriwayatkan secara ijmak,
sedangkan hadits maudhu tidak boleh diriwayatkan sama sekali kecuali dengan
menjelaskan kepalsuannya. Selanjutnya, hadits dhaif tetap diamalkan berdasarkan
ijmak ulama dalam hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan (fadhail), anjuran
kebaikan, dan larangan keburukan. Sedangkan hadits maudhu haram diamalkan. Serta
hadits dhaif akan naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi ketika ada sanad lain yang
memperkuat kebenarannya. Sedangkan hadits palsu tidak akan mengalami kenaikan
status sekalipun mempunyai puluhan ataupun bahkan ratusan hadits pendukung dari
jalur yang berbeda-beda. ADVERTISEMENT Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-
Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin
Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut. وقد
اتفق األئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل
ال في األحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف،والترغيب والترهيب.
Artinya, “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana
yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal
dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan
ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan
haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.” Melihat sejumlah perbedaan
itu, maka sangat naif kalau ada seseorang yang begitu entengnya membuang hadits
dhaif seolah-olah itu bukan (tidak tergolong) sebagai perkataan Nabi sama sekali.
Sementara itu di sisi lain, tidak terhitung banyaknya ulama yang mengamalkan hadits-
hadits dhaif selama kedhaifannya tidak terlalu parah dan tidak mempunyai hadits
pendukung dari jalur atau sanad yang lain. Berikut ini kutipan beberapa pendapat ulama
terkait hal tersebut. Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan adanya
konsensus (ijmak) di kalangan ulama terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif
untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram. Kedua,
boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika tidak ditemukan
lagi hadits sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran. Pendapat ini dinisbatkan
kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam Abu Hanifah dan Ibnul Qayyimil
Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut. Ketiga, hadits dhaif boleh diamalkan jika ia
tersebar secara luas dan masyarakat menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan
yang berarti (talaqqathul ummah bil qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika
hadits dhaif tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat
secara kualitas darinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi dalam
karyanya. Wallahu a‘lam.