A
khir-akhir ini, masyarakat kembali digemparkan dengan kemunculan aliran sesat. Bak cendawan di
musim hujan, kemunculannya semakin lama semakin banyak. Mulai dari Syiah, Jama’ah Ahmadiyah,
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Agama Salamullah/Lia Eden, Aliran Kutub Robani,
Kelompok Husnul Huluq, Darul Islam (DI Fillah), Wahidiyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, NII KW IX Pontren
Alzaytun Indramayu, Al-Qur’an Suci, Aliran Hidup di Balik Hidup hingga yang hits baru-baru ini adalah
GAFATAR.
A. Siapa Gafatar?
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Gafatar berawal dari gerakan Al-Qiyadah al-Islamiyah yang
dipimpin Ahmad Mushadeq (DetikNews, 25/1). Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem),
yang terdiri atas sejumlah lembaga negara, melakukan investigasi untuk menyelidiki dugaan penyimpangan
ajaran yang dilakukan Gafatar. “Kami telah meneliti kegiatan Gafatar selama sebulan terakhir dan kami
menilai itu ajaran menyimpang,” tutur Wakil Ketua Tim Pakem Adi Toegarisman saat konferensi pers di
Kejagung, Kamis, 21 Januari 2016 (Tempo.co, 21/1).
Dari hasil investigasi tersebut, Pakem mendapatkan tiga alasan yang mendasari anggapan bahwa ajaran
Gafatar menyimpang. Pertama: Gafatar dinilai menyebarkan ajaran Islam dan sejumlah agama lain dengan
cara menyatukan berbagai agama menjadi satu kepercayaan. Kedua: Gafatar merupakan metamorfosis dari
Komunitas Millah Abraham (Komar). Sebelumnya, organisasi tersebut juga merupakan metamorfosis dari
organisasi Al-Qiyadah al-Islamiyah. Organisasi tersebut telah dilarang sejak 2007 dengan keputusan Jaksa
Agung RI nomor: KEP-116/A/JA/11/2007 tentang Larangan Kegiatan Aliran dan Ajaran Al-Qiyadah al-
Islamiyah di seluruh Indonesia yang didasarkan pada Fatwa MUI. Ketiga: Ajaran Gafatar mempercayai
Ahmad Mushadeq sebagai Al-Masih Al-Maw’ud, Mesias (juru selamat) yang dijanjikan menggantikan Nabi
Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-.
1. Syi’ah
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984
merekomendasikan tentang paham Syi’ah sebagai berikut: Paham Syi’ah sebagai salah satu paham yang
terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah
Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu di antaranya:
Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
Syi’ah memandang “Imam” itu ma‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui
Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk
rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di
atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia
menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan
kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.3
2. Ahmadiyah
Fatwa Mui/Dasar Hukum Lain Yang Melarang: No. 05/kep/munas II/MUI/1980 yang menyatakan ajaran
tersebut sesat. Râbithah al-Âlam al-Islâmi (liga dunia islam) di Makkah pun menyatakan aliran ini kafir di
luar Islam. Di beberapa daerah di Jawa Barat telah dilakukan pelarangan walaupun sifatnya masih
lokal/Kab/Kota tersebut saja. Hasil Sementara Rakor Aparat terkait bahwa plang/bilboard identitas Jemaah
Ahmadiyah dilarang dipasang didepan Masjid Ahmadiyah atau Pontrennya. Sayangnya, Ahmadiyah yang
sudah difatwakan sesat, dan pengikutnya dihukumi murtad itu, ternyata dibela oleh JK/ Jusuf Kalla ketika
jadi Wapres 2008. Ketika Depag, Kejagung, dan Polri akan mengumumkan dilarangnya Ahmadiyah,
ternyata Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden menjegalnya. Caranya, JK mengontak para pejabat terkait dan
MUI yakni KH Ma’ruf Amin, agar tidak diadakan pelarangan Ahmadiyah. Hal yang bertolak belakang
dengan apa yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr ketika memerangi kelompok murtadin.4
3 Hasil Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, ditetapkan di Jakarta, 7 Maret 1984 M/4 Jumadil
Akhir 1404 H, ditandatangani oleh Ketua yakni Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML dan sekretarisnya, H. Musytari
Yusuf, LA.
4 Lihat artikel “Cawapres JK Dibalik Aliran Sesat Ahmadiyah, LDII, dan Syiah” (nahimunkar.com) & artikel
“Cawapres Jusuf Kalla dan Ar-Rajjal Sang Pembela Nabi Palsu” (nahimunkar.com).
Di Balik Isu Aliran Sesat | 2
Agama yang dibawa oleh Lia Aminudin adalah Salamullah (Agama Perenialisme) yang menghimpun
seluruh agama dan Lia Aminudin seluruh agama dan mengaku sebagai Imam Mahdi Ahmad Mukti
(putranya) dianggap sebagai Nabi Isa dan Abdul Rahman diyakini sebagai imam besar ajaran
Salamullah.
Fatwa Mui/Dasar Hukum Lain Yang Melarang dari Pemda & Polri:
Fatwa MUI No. Kep-768/MUI/XII/1997 tanggal 22 Desember 1997 fatwa sesat ajaran Lia Aminudin.
Hasil rapat koordinasi Aparat terkait Pemda Kab. Bogor bahwa untuk kegiatan LIA EDEN di Cisarua
Kab. Bogor pada tahun 1997 telah dihentikan kegiatannya sesuai Fatwa MUI Bogor karena
kegiatannya ditolak oleh masyarakat setempat.
Muncul pada tanggal 29 Oktober 2005 di Kp. Cibeas Ds. Kertajaya Kec. Simpenan Kab. Sukabumi dengan
pemimpinnya Mohammad Hassan Sayidina Ghali Kutub Robani. Pemda dan POLRI pun memonitoring
setiap kegiatan yang dilakukan oleh aliran Kutub Robani. Dan disarankan kepada Pemda Kab. Sukabumi
untuk segera melakukan Rakor Aparat terkait tentang kegiatan Aliran Kutub Robani.
Jenis aliran yang dianggap menyimpang: Kelompok Husnul Huluq beranggapan Shalat Jum’at dianggap sah
cukup minimal 3 orang jema’ah. MUI Kec. Paseh Kab. Sumedang sudah memfatwakan yang isinya agar
kelompok Husnul Huluq menertibkan diri. Tindakan Pemda dan Polri: telah dilakukan Rakor Muspika kec.
Paseh Kab. Sumedang untuk menghentikan kegiatannya sementara sebelum ada Fatwa dari MUI Sumedang.
Fatwa Mui/Dasar Hukum Lain Yang Melarang: Berdasarkan SK dari Ketua Team Koordinasi Pengawasan
Aliran Kepercayaan (PAKEM) Kab. Bandung No. KEP01/P.2.28/DSB.1/06/2000 tanggal 21 Juni 2000
menyatakan larangan terhadap ajaran pendeta MANGAPIN SIBUEA dan larangan beredar buku
pedomannya berjudul “Suara Allah diakhir jaman” yang dikembangkan (diajarkan) di Kab. Bandung.
Tindakan Pemda Dan Polri: Pada tanggal 10 Nopember 2003 kegiatan Jemaat tersebut telah dihentikan
oleh Aparat Keamanan Polres Bandung dan Pendeta dari Badan Kerjasama Gereja-Gereja Jawa Barat
(BKSG-JB)
Jenis aliran yang dianggap menyimpang: Menyebarkan ajaran bahwa ketika Shalat khatibnya menghadap
ke Timur. Belum ada pelarangan dari MUI maupun Pemerintah. Sedangkan dari Pemda Dan Polri: Polri
telah melakukan penyidikan terhadap anggota DI Fillah a.n. Sdr. Deden Rahayu Setiana, 35 tahun dengan
alamat di Garut dengan pasal 56a Jo Pasal 56 KUH Pidana yang diduga melakukan perbuatan pidana
penodaan agama dan pelaku di vonis 8 bulan penjara.
10. Wahidiyah
Tindakan Pemda Dan Polri: Pemda dan Pemkot Tasikmalaya berencana akan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) mengenai pelarangan terhadap ajaran Wahidiyah di wilayah Kab/Kota
Tasikmalaya.
Fatwa Mui/Dasar Hukum Lain Yang Melarang: Fatwa MUI No. 05 tahun 2007 tanggal 03 Oktober 2007
yang berisi antara lain “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran Al
Qiyadah Al Islamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pemda dan Polri melakukan pembinaan
terhadap pengikutajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah agar kembali kepada ajaran Islam yang benar dan
melakukan tindakan terhadap pimpinannya.
Jenis aliran yang dianggap menyimpang: Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah karena dasar
hukum dalam Islam hanya Al-Qur’an. Fatwa Mui/Dasar Hukum Lain Yang Melarang: Al-Qur’an Suci mirip
dengan Ingkar Sunnah yang sudah dilarang oleh Kejagung maupun MUI Pusat sesuai dengan Keputusan
Kejagung No. Kep.169/JA/9/1983 dan Fatwa MUI tanggal 27 Juni 1983. Pemda dan Instansi terkait pun
melakukan pembinaan terhadap pengikut ajaran tersebut agar kembali kepada ajaran Islam yang benar dan
menyerukan kepada Umat Islam/Masyarakat Muslim untuk tidak terpengaruh oleh ajaran sesat tersebut.
Pimpinannya bernama Muhamad Kusnendar. Bergerak di Daerah Sigong Kec. Lemah Abang Kabupaten
Cirebon. Pengikut 100 Orang Lebih Inti ajaran yang aneh:
Bisa berkomunikasi dengan Malaikat dan Para Nabi
Telah melakukan Survey ke Sidratul Muntaha Surga dan Neraka
C. Menentukan Sikap
Untuk menentukan sikap terhadap aliran-aliran di atas, perlu didudukkan terlebih dahulu makna sesat
(dhalâl) itu sendiri. Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) mendefinisikan makna dhalâl
berkonotasi sebagai perbuatan:
Dengan kata lain suatu paham dikatakan sesat, menyimpang jika bertentangan dengan akidah dan hukum-
hukum syariah yang qath‘i. Suatu paham yang menyimpang dari rukun iman, rukun Islam, dan atau tidak
mengimani kandungan al-Quran jelas terkategori kesesatan (dhalâlah). Apalagi syahadatnya bukan syahadat
Islam. Dilihat dari sudut ini, al-Qiyadah al-Islamiyah dan aliran-aliran lainnya yang disebutkan dengan
keyakinan seperti di atas dapat digolongkan kelompok sesat karena menyelisihi ajaran-ajaran Islam yang
qath’i. Pengakuan suatu kelompok atas seseorang sebagai rasul yang diutus dengan suatu syahadat adalah
suatu bentuk kemungkaran yang merusak kesucian akidah Islam yang hanya mengakui Nabi Muhammad -
shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sebagai nabi dan rasul terakhir, sebagaimana firman Allah ’Azza wa Jalla:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 40).
Imam Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) menafsirkan ayat tersebut menegaskan:
“Akan tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para nabi (khâtam al-nabiyyîn). Beliau adalah penutup
kenabian (nubuwwah) sekaligus orang yang diberi cap kenabian. Atas dasar itu, kenabian (nubuwwah) tidak
akan dibukakan kepada seorang pun setelah beliau hingga Hari Kiamat.”6
Dan perkara ini termasuk perkara akidah, al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam Muqaddimah al-Dustûr
menegaskan bahwa kedudukan Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sebagai penutup para nabi
termasuk wilayah akidah, karena kita dituntut untuk mengimaninya. 7 Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)
menyatakan bahwa ayat ini merupakan nash yang menunjukkan tidak adanya nabi setelah Nabi
Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- 8 Ibnu Katsir pun menegaskan bahwa masalah ini telah
5 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H, hlm. 335.
6 Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-
hlm. 22.
8 Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI,
hlm. 428.
Di Balik Isu Aliran Sesat | 5
disebutkan oleh hadits-hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh mayoritas Sahabat dari Nabi -shallallâhu
‘alayhi wa sallam-9
Pengakuan tentang nabi/rasul setelah Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- ini misalnya, jelas menikam
hadis-hadis Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, di antaranya hadits dari Hudzaifah Ibnu al-Yaman r.a.
bahwa Nabi -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya aku penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi setelahku” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya10)
“Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya.
Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, yang berjumlah banyak.” (HR. Al-
Bukhari11, Muslim12 & Ahmad13).
Hadits-hadits dengan redaksi lain yang senada pun banyak kita temukan dalam kitab induk hadits.
Semuanya menggambarkan bahwa Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- adalah nabi dan rasul
terakhir, kalimat lâ nabiyya ba’diy semakin mempertegas makna khâtam al-nabiyyîn, bahwa beliau -
shallallâhu ‘alayhi wa sallam- jelas adalah penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi setelah beliau. Setelah
masa Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, umat dipimpin bukan oleh nabi atau rasul, melainkan para
khalifah yang menerapkan Islam yang dibawa Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-
Kemunculan aliran-aliran yang menyimpang dari Islam penting untuk dicermati. Sebab, sering bukan
semata-mata karena ajaran yang dikembangkannya, melainkan juga merupakan upaya untuk
menghancurkan Islam itu sendiri. Ada beberapa hal yang menarik dicatat:
Pertama, Ada upaya stigmatisasi (cap negatif) istilah. Munculnya aliran-aliran tersebut selalu menggunakan
istilah-istilah yang memojokkan Islam. Sebagai contoh, dulu sempat dimunculkan gerakan Komando Jihad
yang ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok tersebut rekayasa intelijen pada masa Orde
Baru. Dengan nama itu, istilah jihad dikotori sehingga umat Islam menjadi alergi terhadap istilah itu.
Padahal jihad merupakan ajaran Islam yang mulia. Bayangkan, tanpa ajaran jihad, bagaimana mungkin para
ulama menggerakkan rakyat hingga berhasil mengusir penjajah?
Ada juga istilah ‘Jamaah Islamiyah’ sebagai kelompok teroris. Dengan istilah tersebut, kelompok-kelompok
(jamaah-jamaah) Islam distigmatisasi dan dicap negatif. Padahal istilah jamaah merupakan istilah bagi
kesatuan umat. Karenanya, dapat dikatakan bahwa stigmatisasi istilah tersebut ditujukan untuk mencegah
kesatuan umat dan agar umat menjauhi kelompok-kelompok yang memperjuangkan syariah. Ada juga
kelompok al-Qur’an Suci yang tidak mengakui hadits/sunnah Nabi -shallallâhu ‘alayhi wa sallam- (inkar
sunnah). Istilah ini bisa memunculkan stigma negatif terhadap al-Qur’an sebagai kitab suci. Lalu muncul
kelompok ‘al-Qiyadah al-Islamiyah’ yang menyimpang. Istilah yang berarti kepemimpinan islami ini
merupakan istilah yang baik. Umat pun sekarang merindukan adanya kepemimpinan Islam. Dengan
munculnya kelompok dengan nama tersebut, jelas ada target untuk menjauhkan umat dari kepemimpinan
Islam (qiyâdah islâmiyah) yang menerapkan Islam melalui stigmatisasi istilah.
Kedua, Kemunculan aliran-aliran sesat tersebut menanamkan sikap saling curiga terhadap sesama muslim
atau kelompok Islam. Adanya sikap saling curiga ini akan mempersulit terjalinnya ukhuwah yang justru kini
sedang dirajut. Padahal sesama orang beriman telah diikat dengan ikatan ukhuwwah yang agung yakni
akidah Islam (lihat: QS. Al-Hujurât [49]: 10).
9 Ibid.
10 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (juz ke-38/hlm. 380, hadits no. 23358), Syu’aib al-Arna’uth mengatakan
sanadnya shahih, para perawinya tsiqah.
11 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (III/1273, hadits no. 3268).
12 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (VI/17, hadits no. 4801)
13 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (XIII/340, hadits no. 7960), Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa
Keempat, Umat perlu waspada dan cermat dalam menilai. Di antara ajaran yang dianut kelompok Al-
Qiyadah Al-Islamiyah adalah mendirikan Negara Islam versi mereka bahkan mendirikan Khilafah ala
mereka. Pertanyaannya, apa mungkin kelompok yang tidak mengaku Muhammad -shallallâhu ‘alayhi wa
sallam- sebagai rasul dan nabi terakhir, memandang al-Quran sudah hanya tinggal tulisan, menyatakan
shalat tidak wajib dan bahkan menyimpang dari rukun iman, lalu memperjuangkan hukum Islam dan
kepemimpinan Khilafah yang sesuai hukum syariah? Umat jangan terjebak menolak syariah (salah satunya
kepemimpinan umat dalam Khilafah) yang diperintahkan Allah dan Rasul hanya karena adanya kelompok
tersebut.
Kelima, Sering munculnya aliran-aliran sesat tersebut mencerminkan Pemerintah tidak sungguh-sungguh
menjaga akidah umat dan syariahnya. Padahal tugas penguasa (ulil amri) sebagaimana dirinci oleh Imam al-
Mawardi (w. 450 H) di antaranya: menjaga Din (Islam) dan mengatur urusan dunia dengannya 14 ,
memelihara kemurnian Dinul Islam, menerapkan hukum dan menyelesaikan persengketaan, menjaga
keamanan masyarakat, menegakkan hukum-hukum hudud, menjaga perbatasan dari upaya pendudukan,
memerangi orang-orang yang memusuhi al-Islam setelah mendakwahi mereka hingga masuk Islam atau
tunduk menjadi ahl al-dzimmah.15 Oleh karena itu, umat harus memiliki negara dan pemerintah yang benar-
benar menjaga akidah dan menerapkan syari’ah.
Keenam, Tidak menutup kemungkinan adanya skenario untuk menghancurkan Islam, mengadu-domba
umat Islam, dan menjauhkan umat dari para pejuang syariah Islam. Menarik disimak pernyataan Ketua
Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Prof. DR. Achmad Satori Ismail, “MUI sudah melakukan survei,
ternyata aliran sesat yang akhir-akhir ini cukup marak itu merupakan skenario asing.”
Beliau menyebut kesimpulan MUI itu diperoleh dari temuan adanya pemimpin aliran yang tidak dapat
membaca al-Quran. “Kami heran, lalu kami tanya pengetahuan pemimpin itu tentang Islam dan siapa yang
membayarnya untuk menyebarkan aliran sesat, dia menyebut sebuah negara (asing),” ucapnya.
Waspadalah! Umat Islam sedang terus dihancurkan, selama ini isu war on terrorism yang diusung musuh-
musuh Islam tidak mampu merobohkan Islam dan perjuangan penerapan Islam. Kini isu aliran sesat
digulirkan untuk tujuan yang sama.
Sesungguhnya tersebarnya aliran-aliran sesat di tengah-tengah umat ini terjadi karena umat hidup dalam
sistem jahiliyyah Demokrasi dengan prinsip kebebasan yang menyuburkannya dan dipimpin oleh para
pemimpin yang mengenyampingkan syari’at Islam dalam mengatur urusan umat, tidak menjalankan fungsi
junnah (perisai) akidah dan malah menjadi penjaga sistem jahiliyyah tersebut. Maka wajib bagi kita
mengupayakan tegaknya syari’at Islam kâffah dengan thariqah menegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj al-
Nubuwwah, membai’at khalifah yang menegakkan syari’at Islam kâffah, menjalankan fungsi ri’âyah
(pengaturan urusan umat) dengannya dan menegakkan fungsi junnah sebagaimana sabda yang mulia
Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi wa sallam-:
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan
berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
Dimana sifat junnah dalam hadits ini pun tak terbatas dalam peperangan semata,16 akan tetapi berkonotasi
pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibnu
al-Atsir (w. 606 H)17 termasuk mencegah berkembangnya aliran-aliran sesat, Wallâhu a‘lam bi al-shawâb. []
14 Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Kairo: Dâr al-Hadîts, hlm. 15.
15 Ibid.
16 Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422