Anda di halaman 1dari 15

Hadits ke empat belas

Kapan Darah Seorang Muslim Boleh Ditumpahkan

‫ َقاَل َرُسْو ُل اِهلل ﷺ اَل ِحَي ُل َدُم اْم ٍرٍئ ُمْس ِلٍم ِإاَّل بِإْح َد ى‬: ‫َعِن ْبِن َمْس ُعْو ٍد َرِض َي اُهلل َعنُه قَاَل‬
‫ِل‬ ‫ِر‬ ‫ِة‬ ‫ِر ِلِد ِنِه ِر ِل‬ ‫ِب‬ ‫ٍث‬
‫ َرَواُه اْلُبَخ ا ي وُمْس ٌم‬. ‫ َوالَّتا ُك ْي اْلُم َف ا ُق ْلَج َم اَع‬، ‫ َوالَّنْف ِس اَنْف ِس‬، ‫ َاَّثِّيُب الَّزايِن‬: ‫َثاَل‬.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda,

‘Tidak halal darah seorang Muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang
sudah menikah yang melakukan zina, jiwa dibalas dengan jiwa, dan orang yang
meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah (kaum Muslimin).” (HR. al-
Bukhari dan Muslim).

Syarah:

Dalam hadits ini Rasulullah ‫ ﷺ‬menjelaskan bahwa darah kaum Muslimim itu
disucikan dan diharamkan, tidak halal dialirkan kecuali tiga perkara, yaitu:

1.
‫“ الَّثِّيُب الَّزّيِن‬Orang yang sudah menikah melakukan zina”. Yang dimaksud tsayyib

ialah orang yang telah menikah dan melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang
sah kemudian berzina setelah itu, maka dirajam bingga mati, meskipun ia tidak punya
istri pada saat berzina, karena ia telah disifati sebagai ihshan atau muhsan (sudah
pernah menikah).

‫ِب الَّنفِس‬
2.
‫“ الَّنْف ُس‬Jiwa dengan jiwa”. Yakni disyariatkan kesetaraan. Seorang muslim

tidak dibunuh karena membunuh orang kafir, dan tidak pula orang merdeka dibunuh
karena membunuh hamba sahaya, menurut asy-Syafi’iyyah dan juga Hanafiyyah. Dan
dalam hal ini berlaku hukum qishas, tetapi jika sudah dimaafkan harus memayar
dengan diyat (tebusan).
‫ اْل َف اِرُق ِلْل ا ِة‬،‫“ الَّت اِرُك ِلِد ِن ِه‬Dan
3. ‫َج َم َع‬ ‫ُم‬ ‫ْي‬ ‫َو‬ orang yang meninggalkan agamanya lagi

meninggalkan jamaah”. Yaitu orang yang murtad dari islam, ia wajib dibunuh jika
tidak kembali kepada Islam. Sedangkan maksud dari mufariq lil jama’ah adalah
memberontak dari kepemimpinan yang sah.
Implementasi dalam kehidupan;

Hadits ini merupakan penjelasan tentang orang Islam yang sangat berharga. Juga
merupakan dasar ketetapan hukum dalam menjaga kehidupan seorang musim. Selama ia
berlaku baik dan tidak membahayakan keutuhan dan kenyamanan masyarakat. Namun jika
seseorang sudah menjadi ancaman bagi keutuhan dan kenyamanan masyarakatnya, maka ia
harus disingkirkan, agar masyarakat muslim hidup damai dan sejahtera.

Bagi orang yang melakukan perzinahan, melakukan tindakan seksual di luar kontrak
pernikahan, persyaratan untuk menetapkan tindakan tersebut di depan pengadilan, dan
dengan demikian membutuhkan hukuman, sangat ketat. Adapun mengenai nyawa dibalas
nyawa, harus ada dua orang saksi yang dapat dipercaya dan harus ditetapkan oleh pengadilan.

Adapun untuk memutuskan bahwa seseorang telah keluar dari Islam, itu bukanlah
sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu. Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang
mengatakan atau melakukan ini dan itu, dan karena itu mereka tidak lagi menjadi Muslim
sehingga kita harus membunuh mereka atau mengambil harta mereka. Ini adalah omong
kosong. Hal ini perlu ditetapkan oleh suatu badan yang resmi.

Jika hukum itu diterapkan, maka itu adalah oleh badan pemerintah. Namun, keputusan
apakah seseorang dianggap berada di luar Islam atau tidak perlu dilakukan oleh para ulama.
Para ulama ini perlu duduk bersama dengan orang tersebut, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan khusus, melihat apa yang terjadi dengan mereka, dan membahas masalah-masalah
yang mungkin bisa diatasi. Setelah semua itu terjadi dan masih belum ada rekonsiliasi, maka
pada saat itu, orang tersebut dapat dicap sebagai "kafir", sebagai seseorang yang telah
meninggalkan agama Islam. Sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan oleh
orang biasa. Menyebut orang lain sebagai kafir adalah hal yang tidak masuk akal. Perilaku
seperti itu tidak boleh diterima dan langkah-langkah harus diambil untuk meyakinkan
individu tersebut tentang pendekatan yang berbeda untuk membatasi bahaya yang timbul dari
pernyataan seperti itu.

Kesimpulan;
Meskipun media barat dan kekuatan-kekuatan lain mungkin menggambarkan Islam
sebagai agama yang kejam, aturan-aturan ini sebenarnya dibuat untuk melindungi masyarakat
dan komunitas secara luas dari bahaya yang lebih besar, dengan demikian, membantu
memulihkan dan menjaga perdamaian, kesopanan, hukum dan ketertiban di daerah tertentu.

Dengan menerapkan aturan-aturan tersebut, Islam memastikan bahwa tindakan jahat


diminimalkan, dengan demikian, mencegah orang untuk melakukan tindakan tersebut sejak
awal.

Kita sebagai Muslim diharapkan untuk menghormati dan menghargai darah sesama
Muslim. Kehidupan seorang Muslim tidak dapat diganggu gugat dan dilindungi oleh hukum.
Perzinahan, pembunuhan, dan kemurtadan adalah kejahatan yang sangat keji sehingga
Hukum Islam, yang seharusnya melindungi kehidupan, menganggap bahwa mereka yang
melakukan kejahatan semacam itu tidak lagi layak untuk hidup.

Salah satu tujuan hukuman mati adalah untuk melindungi kesucian dan kehidupan
semua Muslim.

Hadits ke lima belas

Dermawan Dan Diam

‫ َفْلَيُقل‬، ‫َعن َأْيِب ُه َرْيَرَة َرِض َي اُهلل َعْنُه أَّن َرُسْو ُل اِهلل ﷺ َقاَل َمْن َك اَن ُيْؤ ِم ُن ِباِهلل َواْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر‬
‫ َك اَن ِم ِباِهلل اْل ِم‬. ‫ ْل ْك ِر ا‬، ‫ َك اَن ِم ِباِهلل اْل ِم اآْل ِخ ِر‬. ‫ِل‬
‫ُيْؤ ُن َو َيْو‬ ‫َف ُي ْم َج َرُه َوَمْن‬ ‫ُيْؤ ُن َو َيْو‬ ‫َخ ْيًرا َاْو َم ْص ُم ْت َوَمْن‬
‫ِل‬ ‫ِخ‬
‫ َرَواُه اْلُبَخ ِرُّي َوُمْس ٌم‬.‫ َفْلُيْك ِرم َض ْيَف ُه‬، ‫اآْل ِر‬.

Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬ bersabda,

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik
atau hendaklah ia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim).

Syarah;
Asy-Syafi’i mengatakan, makna hadits ini, jika seorang hendak berbicara, maka
pikirkanlah terlebih dahulu. Jika tampak padanya bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya,
maka bicaralah. Jika tampak padanya ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka
tahanlah (jangan bicara). Dinukil dari Abu al-Qasim al-Qusyairi bahwa ia mengatakan,
“Diam pada waktunya adalah sifat para tokoh, sebagaimana halnya berbicara pada waktunya
merupakan sifat yang paling mulia.” Ia mengatakan, “Dan aku mendengar dari Abu Ali ad-
Daqqaq mengatakan, ‘Barangsiapa yang diam terhadap kebenaran, maka ia adalah setan
bisu.” Demikian pula ia menukilkannya dalam Hilyah al-Ulama dari sejumlah tokoh. Dalam
Hilyah al-Auliya disebutkan bahwa manusia tidak seharusnya mengeluarkan ucapan kecuali
apa yang dibutuhkan, demikian pula ia tidak menafkahkan dari usahanya kecuali apa yang
dibutuhkan. Ia mengatakan, “Seandainya kalian membeli kertas untuk menulis, niscaya
kalian diam tidak banyak bicara.” Dan dinyatakan bahwa “Keselamatan itu terletak pada
sepuluh bagian: Sembilan darinya terletak dalam diam, kecuali untuk berdzikir kepada Allah
SWT.”. dinyatakan pula “Luka lisan itu seperti tangan.” Dinyatakan, “Lisan itu anjing yang
menggigit, jika dibiarkan ia akan menggigit.”

Al-Qadhi Iyadh mengatakan, makna Hadits ini bahwa siapa yang komitmen dengan
syariat Islam, pasti memuliakan tamu dan tetangga.” Tetangga berlaku pada empat pihak;

1. Orang yang tinggal bersamamu di sebuah rumah.


Penyair mengatakan:
‫َأَج اَر ْتَنا ِباْلَبْيِت ِإَّنَك َطاِلٌق‬
Ia serumah dengan kami, tapi sesungguhnya kamu dicerai
2. Orang yang tepat tinggal di samping rumahmu.
3. Berlaku pada 40 rumah dari setiap penjuru.
4. Berlaku atas siapa yang tinggal bersamamu dalam suatu daerah.

Tetangga yang berdekatan, masih kerabat lagi Muslim mempunyai tiga hak, tetangga jauh
lagi Muslim mempunyai dua hak, dan yang bukan keluarga lagi Muslim mempunyai satu
hak.

Menjamu tamu merupakan salah satu adab Islam, dan akhlak para nabi dan shalihin,
dan sebagian mewajibkannya dan kebanyakan mereka menilainya sebagai akhlak yang mulia.
Al-Laits mewajibkannya satu malam. Para ulama berselisih apakah menjamu tamu itu
berlaku atas bertempat tinggal menetap (hadhir) dan orang yang hidup nomaden (badi)
ataukah berlaku atas orang yang hidup nomaden saja? Asy-Syafi’I dan Muhammad bin Abdul
Hakam berendapat bahwa ia berlaku atas hadhir dan badi. Malik Shahnun berpendapat bahwa
itu berlaku kepada orang tidak bertempat tinggal menetap saja. Karena musafir menjumpai di
kota (atau perkampungan) berbagai tempat tinggal di penginapan, tempat-tempat
persinggahan, dan apa yang bisa dibeli dari pasar. Disebutkan dalam hadits tentang menjamu
tamu, “Menjamu itu berlaku atas penduduk yang tidak menetap, bukan penduduk kota.”
Tetapi hadits ini Maudhu

Implementasi dalam kehidupan;

Hadis ini memperkuat konsep waspada, jadi kita harus waspada terhadap apa yang
kita katakan dan lakukan. Islam mendorong umatnya untuk melakukan perbuatan yang mulia,
Percaya kepada Allah adalah sumber dari segala kebaikan. Sebelum Anda mengatakan
sesuatu, tanyakan pada diri Anda sendiri, apakah saya akan mendapat pahala dengan
mengatakan hal ini? Jika ya, maka ucapkanlah, jika tidak, maka hentikanlah dan berzikirlah
agar ketika hidup Anda dihadapkan kepada Allah di hari penghakiman, Anda tidak akan
bersedih karena waktu yang terbuang sia-sia, tetapi justru pahala Anda bertambah.
Sayangnya, kita melakukan hal yang sebaliknya dan bertanya pada diri sendiri, apakah ini
sesuatu yang berdosa? jika ya, maka orang-orang baik di antara kita berhenti, dan jika tidak,
maka kita teruskan. Berbuat baiklah kepada tetangga Anda meskipun mereka non-Muslim
karena mereka juga memiliki hak atas Anda. Jika ada tamu yang sedang bepergian datang ke
rumah Anda, maka tampunglah mereka setidaknya selama satu malam

Kesimpulan;

Beberapa ulama menyebutkan bahwa semua akhlak yang baik dapat diambil dari
empat hadis, dan mereka menyebutkan salah satunya adalah hadis ini. Fokus dari hadis ini
adalah tindakan; tindakan mengendalikan ucapan, tindakan berbuat baik kepada tetangga, dan
tindakan bermurah hati kepada tamu. Semua tindakan ini mengarah pada perbaikan perilaku
dan sopan santun Muslim.

Hadits ke enam belas


Larangan Marah

‫ َقاَل‬، ‫ َفَرَّدَد ِم َراًر‬، ‫ َقاَل اَل َتْغَض ْب‬، ‫َعْن َأْيِب ُه َرْيَرَة َرِض َي اُهلل َعْنُه َأَّن َرُج اًل َقاَل ِللَّنِّيِب ﷺ َأْو ِص ْين‬

‫ َرَواُه اْلُبَخ اِرُّي‬. ‫اَل َتْغَض ْب‬.

Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwa seseorang berkata kepada Nabi ‫ﷺ‬,
“Berwasiatlah kepadaku.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Orang itu mengulanginya
berkali-kali, namun beliau tetap bersabda, “Jangan marah!” (HR. al-Bukhari).

Syarah;

Imam an-Nawawi berkata,


‫“ اَل َتْغَض ْب‬Jangan marah”. Artinya jangan luapkan

amarahmu. Larangan tersebut bukan merujuk pada kemarahan itu sendiri, karena itu
merupakan tabiat manusia, dan manusia tidak akan sanggup mengenyahkannya.

Beliau ‫ ﷺ‬bersabda:

“Janganlah kalian marah, karena kemarahan adalah bara api yang menyala-nyala di
hati manusia. Tidaklah kamu melihat salah seorang dari kalian ketika marah, bagaimana
kedua matanya menjadi merah dan urat-uratnya menjadi tegang. Jika salah dari kaliam
merasakan sesuatu dari hal itu, maka tidurlah atau menempellah pada tanah.”

“Seseorang datang kepada Nabi ‫ﷺ‬ lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah,

ajarkan kepadaku tentang suatu ilmu yang mendekatkanku kepada surga dan menjauhkanku
dari neraka.’ Beliau bersabda, ‘Jangan marah, dan kamu mendapatkan surga’.”

Beliau ‫ ﷺ‬bersabda:

“Kemarahan itu berasal dari setan dan sesungguhnya setan diciptakan dari api. Api
hanyalah bisa dipadamkan dengan air. Jika salah seorang dari kalian marah, maka
berwudhulah.”

Abu Dzar al-Ghifari berkata, “Rasulullah ‫ ﷺ‬mengatakan kepada kami:


‘Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaann berdiri, maka duduklah, jika
kemarahan hilang darinya (maka itu baik), dan jika tidak maka tidurlah’.”

Isa ‘alaihissalam mengatakan kepada Yahya ‘alaissalam bin Zakaria ‘alaihissalam,


“Sesungguhnya aku mengajarkan kepadamu suatu ilmu yang bermanfaat; jangan marah!” Ia
bertanya, Bagaimana caranya agar aku tidak marah?” Isa menjawab, “Jika dikatakan
kepadamu apa yang terdapat dalam dirimu, maka katakanlah, ‘Dosa yang kamu sebutkan ,
aku memohon kepada Allah darinya.’ Jika dikatakan padamu apa yang tidak terdapat padamu,
maka pujilah Allah, sebab tidak dikatakan padamu apa yang membuatmu dicela, dan itu
adalah kebajikan yang diberikan kepadamu.”

Amr bin sl-Ash radiyallahu anhu mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah

‫ﷺ‬ tentang perkara yang menjauhkanku dari murka Allah, maka beliau bersabda,

“Jangan marah!”

Luqman ‘alaihissalam berkata kepada anaknya, “Jika kamu hendak menjadikan


seseorang sebagai saudara, maka buatlah ia marah. Jika ia berlaku adil kepadamu pada saat ia
marah (maka jadikanlah sebagai saudara); dan jika tidak, maka hati-hatilah terhadapnya.”

Implementasi dalam kehidupan;

Ada beberapa strategi yang berbeda untuk menangani kemarahan, tergantung pada
orang dan situasinya. Jika seseorang marah, maka ia harus melakukan muhasabah (meminta
pertanggungjawaban diri) atas kesalahan yang dilakukan, apa yang menyebabkannya, dan
bagaimana cara mengatasinya di masa depan. Memeriksa diri sendiri dan meminta
pertanggungjawaban diri sendiri merupakan latihan yang penting dan merupakan sumber dari
disiplin dan perbaikan diri.

Ada banyak efek berbahaya dari marah. Efek-efek ini dapat membahayakan kita
secara fisik, psikologis, sosial atau emosional. Sudah diketahui secara umum bahwa
kemarahan menyebabkan banyak masalah kesehatan dan dapat menjadi gejala atau penyebab
penyakit mental, terutama jika tidak dikendalikan. Ada hikmah di balik perintah syariah, dan
meningkatkan kesehatan secara keseluruhan adalah salah satu dari sekian banyak manfaat
mengendalikan amarah.

Kesimpulan
Secara esensial, hadis ini mendorong hubungan yang lebih baik di antara manusia.
Kita perlu menahan amarah dan bersabar. Kita mungkin tidak menyukai sesuatu dalam hidup
ini, namun mungkin saja hal tersebut memiliki manfaat yang tidak kita ketahui. Kesabaran
kita terhadap orang lain yang telah berlaku kasar kepada kita mungkin akan membuat mereka
berpikir dan mengubah diri mereka menjadi lebih baik. Umat Islam perlu menjadi teladan
bagi orang lain untuk belajar.

Hadits Ke Tujuh Belas

Lemah Lembut Dan Berbuat Baik

‫ ِإَّن اَهلل َك َتَب اِإْل ْح َس اَن‬: ‫َعْن َأْيِب َيْع َلى َش َّداِد ْبِن َأْو ٍس َرضَي اُهلل َعْنُه َعْن َرُسْو ِل اِهلل ﷺ َقاَل‬
‫ِح‬ ‫ِس‬ ‫ِس ِق‬ ‫ٍء‬
‫ َو ْلُي َّد َأَح ُدُك ْم َش ْف َرَتُه َفْلِرُيْح‬،‫ َو إَذا َذْحَبُتْم َفَأْح ُنْوا الِّذ َحْبَة‬،‫ َفِإَذا َقَتْلُتم َفَأْح ُنْوا اْل ْتَلْتَة‬، ‫َعَلى ُك ِّل َش ْي‬
‫ِل‬ ‫ِب‬
‫ َرَواُه ُمْس ٌم‬.‫َذ ْيَح َتُه‬.

Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radiyallahu anhu dari Rasulullah ‫ﷺ‬, beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Jika kalian
membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka
sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaklah salah dari seorang dari kalian
menajamkan pisaunya serta membuat hewan sembelihannya merasa nyaman.” (HR. Muslim).

Syarah;

Imam an-Nawawi berkata: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat bai katas segala
sesuatu.” Termasuk dalam kategori berbuat kebajikan ketika membunuh seorang Muslim
dalam qishash, dan tidak boleh membunuh dengan alat yang tumpul. Demikian pula
menajamkan pisau ketika menyembelih, dan melegakan binatang yang disembelihnya. Tidak
boleh memotong suatu dari tubuhnya hingga mati, tidak mengasah pisau di depannya, dan
memberikan air kepadanya sebelum disembelih. Tidak menyembelih binatang yang banyak
air susunya dan memiliki anak hingga tidak membutuhkan susunya, tidak berlebihan dalam
memerah susunya dan memotong kuku-kukunya ketika memerahnya. Menurut para ulama,
tidak boleh satu pun dipotong dihadapan yang lainnya.
Implementasi Dalam Kehidupan;

Kalimat “hendaklah membunuh dengan cara yang baik” berlaku umum mencakup
menyembelih, membunuh dalam Qishash, ataupun hukuman pidana lainnya. Hadits ini
termasuk salah satu Hadits yang mengandung berbagai macam prinsip atau kaidah.
Membunuh dengan cara yang baik itu ialah membunuh tanpa sedikit pun unsur penganiayaan
atau penyiksaan. Menyembelih dengan cara yang baik yaitu menyembelih hewan dengan
lemah lembut, tidak merebahkannya ketanah dengan keras dan juga tidak menyeretnya,
menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah dan hamdalah, memotong urat nadi
lehernya dan membiarkannya sampai mati baru dikuliti, mengakui nikmat dan mensyukuri
pemberian Allah, karena Allah telah menundukkannya kepada kita, padahal Dia berkuasa
untuk menjadikannya sebagai musuh kita dan telah menghalalkan dagingnya untuk kita,
padahal Dia berkuasa untuk mengharamkannya.

Kesimpulan;

Allah memerintahkan berbuat baik dalam segala sesuatu hingga dalam hal
menghilangkan nyawa. Seperti mencari alat untuk menyembelih, nberdasarkan sabda Nabi
SAW. Yakni dengan menajamkan pisau. Dan juga beberapa perintah agar melegakan
sembelihan ketika menyembelihnya. Diantaranya, menidurkannya dengan lemah lembut,
tidak kasar dalam menidurkannya, meletakkan kakinya pada leher sembelihannya dan
membiarkan keempat kaki sembelihannya tanpa memegangnya. Karena hal itu lebih
melegakannya dan membebaskannya umtuk bergerak, serta karena hal itu lebih dapat
mengeluarkan darahnya.

Hadits Ke Delapan Belas

Takwa Dan Akhlak Yang Baik

‫َل اِهلل‬ ‫ِض‬ ‫ِذ‬ ‫ِد‬ ‫َع َأ َذٍّر ْنُد وِب‬


‫ْبِن ُج َناَدَة َوَأْيِب َعْب الَّرمْح ِن ُمعَا ْبِن َحَبِل َر َي اُهلل َعْنُه َم ا َعْن َرُسْو‬ ‫ْن ْيِب ُج‬
‫ٍق‬ ‫ِلِق‬ ‫ِب‬ ‫ ِاَّتِق‬: ‫ﷺ َقاَل‬
‫ َوْيِف‬، ‫ َوَخ ا الَّناَس ُخِبُل َح َس ٍن‬،‫ َوَأْت ِع الَّس ِّيَئَة أَحلَس َنَة ْمَتُح هَا‬، ‫اَهلل َح ْيُثَم ا ُك ْنَت‬
‫َبْع ِض الُّنَس ِخ َح َس ٌن َص ِح ْيح‬.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal

radiyallahu anhuma, dari Rasulullah ‫ﷺ‬, beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah
di manapun kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan
menghapuskan keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. at-
Tirmidzi,dan ia berkata, “Hadits hasan,” dan pada Sebagian naskah, “Hadits shahih”).

Syarah;

Imam an-Nawawi berkata: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada”.
Yakni bertakwalah kepada Allah dalam sepi sebagaimana kamu bertakwa kepadaNya dalam
keramaian di hadapan manusia, serta bertakwalah kepadaNya di segala situasi dan kondisi.
Salah satu perkara yang membantu untuk bertakwa ialah menghadirkan perasaan bahwa
Allah SWT. melihat hambaNya di segala keadaannya.

Takwa adalah “istilah” tentang melaksanakan segala kewajiba dan meninggalkan


segala larangan. Sabdanya: “Iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan
menghapuskan keburukan itu”. Maksudnya, jika kita melakukan kesalahan maka kita
meminta ampun kepada Allah dan berbuat kebajikan niscaya akan menghapuskannya.

Zahir hadits ini menunjukkan bahwa kebajikan itu tidak menghapuskan kecuali satu
keburukan saja, meskipun kebaikan itu dilipatkan sepuluh kalinya, dan bahwa kelipatannya
tidak menghapuskan keburukan. Padahal bukan demikian zahirnya. Tetapi satu kebajikan
akan menghapuskan sepuluh keburukan. Disebutkan dalam hadits apa yang membuktikan hal
itu, yaitu sabdanya: “Kalian bertakbir sepuluh kali sehabis tiap-tiap shalat, bertahmid sepuluh
kali, dan bertasbih sepuluh kali, maka itu menjadi 150 pada lisan dan 1500 dalam mizan
(timbangan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa diantara kalian yang melakukan 1500
keburukan dalam sehari?”. Ini menujukkan bahwa kelipatannya menghapuskan keburukan-
keburukan. Padahal hadits zahir hadits ini menyatakan bahwa satu kebaiakan akan
menghapuskan satu keburukan secara mutlak, sedangkan keburukan yang dimaksud ialah
keburukan yang bertalian dengan hak Allah SWT. Adapun keburukan yang bertalian dengan
hak hamba, seperti ghasab, ghibah, dan namimah (adu domba), tidak dihapuskan, kecuali
setelah meminta “penghalalan” (permohonan maaf) dari hamba tersebut, dan harus
menyebutkan kepadanya segi kezhalimannya.

“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. Maksudnya akhlaknya adalah
al-Qur’an: beliau memerintahkan kepada perinth-perintahnya, melarang terhadap larangan-
larangannya, Ridha karena ridhanya, dan benci karena kebenciaannya. Ketahuilah bahwa al-
Khuluq al-Hasan (akhlak yang mulia) adalah istilah yang simple tentang berbuat kebajikan

kepada manusia dan tidak berbuat keburukan kepada mereka. Nabi ‫ﷺ‬ bersabda:

“Sesungguhnya kalian tidak akan sanggup mencukupi (kebutuhan) manusia dengan harta
kalian, namun hendaklah wajah berseri-seri dari kalian mrncukupi (kebutuhan) mereka.” Dari

Nabi ‫ﷺ‬: “Sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.” Dari Nabi ‫ﷺ‬
bahwa seseorang datang kepada beliau seraya bertanya, wahai Rasulullah ‫ﷺ‬, apakah
sebaik-baik amal itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang baik”. Yaitu, sebagaimana yang telah
disinggung, yaitu jangan marah.

Implementasi Dalam Kehidupan;

Kita diperintahkan Allah untuk wajib bertakwa kepada Allah di mana saja kita berada
dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan, baik ketika saat di keramaian dan
ketika saat di kesepian. Bahkan ada peringatan bagi yang tidak takut kepada Allah hingga
berbuat maksiat di kesepian. Kedua: Amalan kebaikan akan menghapus kejelekan. Bisa jadi
yang dimaksud dengan kebaikan adalah taubat, bisa pula yang dimaksud adalah amal shalih
lainnya. Ketiga: Kita diperintahkan untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Namun hal ini
tidak menafikan pada suatu keadaan kita bersikap keras dan tegas.

Kesimpulan;

Nabi SAW. sangat mencintai umatnya, dengan mengarahkan mereka kepada segala
sesuatu yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan. Diantaranya, yaitu wajib bertakwa
kepada Allah SWT. di mana pun berada baik itu di kala sepi maupun ramai. Serta
mengisyaratkan jika suatu keburukan bila diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan
menghapus dan menghilangkan keburukan itu secara keseluruhan seperti taubat. Dan dengan
penimbangan, jika melakukan perbuatan buruk kemudian mengamalkan amal shalih.

Kemudian, perintah untuk memperlakukan manusia dengan akhlak yang baik, yaitu
dengan ucapan dan pebuatan. Perintah ini juga bisa menunjukkan kewajiban dan anjuran.
Bisa dipetik dari hadits tersebut bahwa Nabi SAW. tidak merinci cara memperlakukan
manusia, karena hal itu berbeda-beda menurut hal-ihwal manusia.
Hadits Ke Sembilan Belas

Perlindungan Dan Penjagaan Allah

‫ َيا‬: ‫َعْن َأْيِب الَعَّباِس َعْبِد اِهلل ْبِن َعَّباِس َرِض َي اُهلل َعْنُه َم ا َقاَل ُك ْنُت َخ ْلَف الَّنِّيِب ﷺ َيْوًم ا َفَق اَل‬

‫ َو ِإَذا‬،‫ ِإَذا َس َأْلَت َفاْس َأِل اَهلل‬، ‫ ِاْح َف ِظ اهللَ ِجَت ْد ُه َجُتاَه َك‬، ‫ ِاْح َف ِظ اَهلل ْحَيَف ْظَك‬: ‫ ِإِّن ُأَعِّلُم َك َك ِلَم اٍت‬،‫ُغاَل ُم‬

‫ َواْع َلُم َأَّن أُأْلَّم َة َلِو اْج َتَم َعْت َعَلى َأْن َيْنَف ُعْو َك ِبَش ْي ٍء ْمَل َيْنَف ُعْو َك ِإاَّل ِبَش ْي ٍء َقد‬،‫اْس َتَعْنَت َفاْس َتِعْنْي ِباِهلل‬
‫ ِف ِت‬، ‫ ِإِن ا َت ا َلى َأْن ُضُّرَك ِبَش ٍء ُضُّرَك ِإاَّل ِبَش ٍء َقْد َك َت ا َل َك‬، ‫َك َت ا َلَك‬
‫َبُه ُهلل َع ْي ُر َع‬ ‫ْي‬ ‫ْي ْمَل َي‬ ‫َي‬ ‫َو ْج َم ُعْو َع‬ ‫َبُه ُهلل‬
‫ِح‬ ‫ِد‬ ‫ِمِذ‬ ‫ِف‬ ‫ِت‬
‫ َح ْيٌث َح َس ٌن َص ْيٌح‬: ‫ َو قاَل‬، ‫ َرَواُه الِّتْر ِّي‬. ‫اَأْلْقاَل ُم َوَج َّف الُّص ُح‬.

‫ِة‬ ‫ِء‬ ‫ِإ ِهلل‬ ‫ِمِذ ِا ِظ ِجَت‬ ‫ٍة‬


‫ َواْع َلْم‬. ‫ َتَعَّرْف ىَل ا يِف الَّرَخ ا َيْع ِرْفَك يِف الِّش َّد‬، ‫ ْح َف اَهلل ْد ُه َاَم اَم َك‬: ‫َوْيِف ِرَواَي َغِرْي الِّتْر ِّي‬
‫ َوَأَّن‬، ‫ َو ْع َلْم َأَّن الَّنْص َر َمَع الَّص ِرْب‬. ‫ َوَم ا َأَص اَبَك ْمَل َيُك ْن ِلُيْخ ِط َئَك‬، ‫َأَّن مَا أْخ َطَأَك ْمَل َيُك ْن ِلُيِص ْيَبَك‬

‫ َوَأَّن َمَع اْلُعْس ِر ُيْسًرا‬، ‫اْلَف َرَج َمَع اْلَك ْرِب‬.

Dari Abu al-Abbas Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu

hari, aku pernah berada di belakang Nabi ‫ﷺ‬, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak

kecil,sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamub mendapati-Nya di hadapanmu. Jika kamu
memohon, memohonlah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, mintalah
pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat berkumpul untuk memberikan
suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberikan manfaat kecuali dengan
sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk
memberikan suatu kemudaratan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi krmudaratan
kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena (takdir) telah
diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. at-Tarmidzi, dan ia berkata, “Hadits
hasan shahih”).
Dalam Riwayat lain selain at-Tirmidzi: “Jagalah Allah, niscaya kamu mendapatin-Nya di
depanmu. kenalkan (dirimu) kepada Allah (dengan taqarrub) pada saat senang, maka Dia
akan mengenalimu pada saat kesusahan. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan
menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa
kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama
kesulitan ada kemudahan.”

Syarah;

Imam an-Nawawi berkata: Sabdanya, “Jagalah Allah, Allah menjagaMu”. Yakni


jagalah perintah-perintahNya dan taatilah, serta hindarilah larangan-laranganNya, maka dia
menjagamu dalam berbagai keadaanmu, di duniaamu dan akhiratmu. Dan segala yang
diperoleh hamba berupa bencana dan musibah adalah karena disebabkan menyia-nyiakan
perintah Allah SWT.

Sabdanya, “Maka kamu mendapatiNya dihadapanmun”. Beliau bersabda, “Kenalilah


Allah pada saat senang, maka dia mengenalimu pada saat kesusahan”. Allah SWT. telah
menashkan dalam kitabNya bahwa amal shalih itu bermanfaat pada saat kesusahan dan
menyelamatkan pelakunya, dan bahwa amalan yang buruk itu akan membawa pelakunya
pada kesusahan.

Sabdanya, “Jika kamu memohon, memohonlah kepada Allah”, adalah isyarat bahwa
hamba itu tidak boleh menggantungkan rahasianya kepada selain Allah, tetapi ia bertawakal
kepada Allah dalam segala urusannya. Kemudian jika hajat dimintanya menurut kebiasaan
tidak berjalan lewat tangan makhlukNya, maka ia memohon hal itu kepada Tuhannya. Jika
hajat yang dimintanya menurut kebiasaan bahwa Allah SWT. menjalankannya lewat tangan
makhlukNya, maka ia memohon kepada Allah SWT. untuk melembutkan hati mereka
(sehingga berbelas kasih) kepadanya. Tidak boleh berdoa kepada Allah SWT. dengan
menyatakan tidak butuh kepada makhluk. Adapun memohon kepada makhluk dan bersandar
kepada mereka, maka ini tercela.

Sabdanya, “dan ketahuilah bahwa umat…, hingga seterusnya”. Ketika kebaikan orang
yang dicintainya kadangkala diharapkan, dan keburukan orang yang ditakutinya terkadang
dikhawatirkan, maka Allah memastikan (bahwa) keputusasaan tidak bermanfaat bagi
makhluk. Karena setiap keselamatan itu dikarenakan kekuasaan Allah dan setiap bencana itu
karena kekuasaan Allah juga. Manusia diperintahkan meninggalkan faktor-faktor bencana
menuju faktor-faktor keselamatan.
Sabdanya, “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran”, maksudnya
adalah “Jangan berharap bertemu musuh dan mohonlah kepada Allah keselamatan. Jika
kalian bertemu dengan mereka, maka bersabarlah dan jangan lari , karena Allah bersama
orang-orang yang sabar.” Demikian pula bersabar terhadap gangguan yang menyakitkan di
suatu medan yang berakibat kemenangan.

Sabdanya, “Dan bahwa kelapangan itu bersama kesusahan”. Al-Karb ialah ujian yang
sangat menyusahkan. Jika ujian semakin berat, maka Allah SWT. mengakhirinya dengan
kelapangan. Betapa banyak dikatakan, “Bersusah-susahlah, wahai Azmah, maka kamu akan
mendapat kelapangan.

Sabdanya, “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan”. Disebutkan dalam sebuah

hadits lainnnya bahwa beliau ‫ ﷺ‬bersabda: “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan
dua kemudahan.” Hal itu mengingat karena Allah SWT. menyebutkaan al-‘Usr (kesulitan)
sebanyak dua kali dan menyebutkan yusr (kemudahan) sebanyak dua kali. Tetapi menurut
bangsa Arab bahwa Ism ma’rifah jika diulang-ulang maka menjadi satu ma’rifah, karena lam
yang kedua li al-‘Ahd. Sebaliknya jika nakirah diulang-ulang, maka nakirahnya menjadi
berbilang. Al-‘Usr (kesulitan) disebut dua kali dalam ma’rifah, dan yusr disebut dua kali

dalam bentuk nakirah. Jadi, dua kemudahan. Karena itu, Nabi ‫ ﷺ‬bersabda ‫َلْن َيْغِلَب‬

‫“ ُعْسٌر ُيْس َرْيِن‬Satu kesulitan tidakdapat mengalahkan dua kemudahan”.

Implementasi Dalam Kehidupan;

Ketika meminta pertolongan kepada seseorang, kita harus meniatkan di dalam hati
kita bahwa orang tersebut adalah sarana yang telah Allah tetapkan untuk kita, sehingga
permintaan utama kita adalah kepada Allah.

Ketika meminta seseorang untuk mendoakan kita, kita harus berniat dalam hati kita
bahwa dia juga akan mendapatkan manfaatnya, sebagaimana ketika seseorang mendoakan
kita, para Malaikat berkata, "Amin, dan untukmu juga demikian". Hal ini agar kita tidak
terlalu bergantung kepada orang lain, dan ketika kita meminta bantuan kepada mereka, kita
juga meminta mereka untuk memberi manfaat kepada diri mereka sendiri.

Tak lupa untuk terus menjaga hubungan dengan Allah, karena Apa pun yang Anda
butuhkan atau inginkan, pada akhirnya hanya bisa datang dari-Nya. Ini bukan berarti kita
tidak boleh meminta bantuan kepada orang lain, tetapi kita harus memahami bahwa pada
akhirnya Allah adalah sumber dari segala pertolongan yang datang kepada kita. Para sahabat
biasa meminta pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik besar maupun kecil, bahkan
untuk mendapatkan garam untuk makanan mereka.

Kesimpulan;

Hadits ini memiliki beberapa pelajaran yang sangat penting bagi setiap muslim, yaitu:
pertama, siapa yang menjaga Batasan Allah, maka Allah akan menjaga dunia dan agamanya
dan siapa saja yang tidak memperhatikan batasan dan aturan Allah, makai a tidak mendapat
penjagaan dari Allah. Kedua, batasan itu sesuai dengan amal perbuatan, artinya amalan
menjaga hak Allah, dibalas pula dengan penjagaan dari Allah. Ketiga, hamba hendaklah
mengkhususkan ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) hanya kepada Allah. Keempat,
hadits ini mengajarkan bagaimanakah mengimani takdir. Kelima, hamba atau makhluk tidak
bisa memberi manfaat dan mudharat kecuali ditetapkan oleh Allah. Keenam, apa yang Allah
kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Ketujuh, akibat
dari sabar adalah datang kemenangan dan dibalik kesulitan ada kelapangan dan kemudahan.

Anda mungkin juga menyukai