Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Psikologi islam sebagau sebuah kajian ilmu yang baru
dikembangkan di awal tahun 60an belum banyak orang mengenal, jika
dbandingkan dengan psikologi barat yang usianya berabad-abad. Sebagai
disiplin ilmu baru, psikologi islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai
madzhab psikologi modern. Dalam watak yang terbuka saat ini, disiplin
ilmu psikologi odern harus mendefinisikan dirinya, sehingga psikologi
islam bisa menjadi salah satu alternatif yang harus ditawarkan. Meskipun
psikologi barat berfokis pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi
landasan sentral paham hedonisme dan individualisme barat, keduannya
memiliki titik singgung yang sama yaitu manusia sebagai objek kajiannya.
Dalam psikolgi barat, psikologi bekerja untuk mengurangi tingakh
laku, memprediksi, mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal
dan banyk berbicara pada perilaku yang nampak. Sementara psikologi
islam banyk berbicara pada pengubahan perilaku menjadi lebih baik dan
bagaimana lebih dekat dengan Tuhan serta mengembangkan potensi
kemanusiaan yang dimiliki. Maka dari itu psikologi barat memuai banyak
kritik dari pada psikologi muslim. Walaupun hal ini merupakan 2 (dua)
paradigma yang berlainan tetapi dapat disatukan dalam sebuah
perbincangan dan pertemuan bangunan keilmuan yang utuh.
Psikologi Islam pun mulai berkembang dan memiliki posisi yang
cukup dipertimbangkan dalam aliran psikologi. Dalam pembahasan di
bawah ini akan dibahas mengenai telaah kritis aliran psikologi barat, posisi
psikologi islam dalam aliran psikologi, serta perkembangan dan evaluasi
diskursus Psikologi Islam.1
1
Abdul Mujib, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, 2002.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
hayat lain, misalnya kedokteran. Disiplin ilmu kedokteran juga memiliki
kesamaan kajian keilmuawan, khususnya kajian pada bidang kesehatan,
memiliki pengakuan independensi yang diakui lebih dahulu dibanding
psikologi. Bahkan pada awalnya psikologi adalah bagian atau cabang dari
ilmu kedokteran.
Sejarah ilmu kedokteran pada awalnya bertolak belakang dari
sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat awal yan menggunakan
tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan utnuk tindakan pengobatan. Ini
sesuai dengan kepercayaan magis mereka yakni animisme, sihir, dan
dewa-dewi. Masyarakat animisme percaya bahwa benda mati pun
memiliki roh leluhur. Ilmu kedotkeran berangsur-angsur berkembang di
berbagai tempat terpisah yakni Mesir kuno, Tiongkok Kuno, India Kuno,
Yunani Kuno, Persia, dan lainnya. Sekitar tahun 1400-an terjadi sebuah
perubahan besar yakni pendekatan ilmu kedokteran terhadap sains. Hal ini
mulai timbul dengan penolakan-penolakan karena tidak sesuai dengan
fakta yang ada terhadap berbagai hal yang dikemukan oleh tokoh-tokoh
pada masa lalu (bandingkan dengan penolakan Copernicus pada teori
Astronomi Ptoloneus). Beberapa tokoh baru seperti Vesalius (seorang ahli
anatomi) membuka jalan penolakan terhadap teori-teori besar kedokteran
kuno seperti teori Galen, Hippokrates, dan Avicenna. Diperkirakan hal ini
terjadi akibat semakin lemahnya kekuatan gereja dalam masyarakat pada
masa itu.
Ilmu kedokteran yang seperti dipraktekan pada masa kini
berkembang pada akhir abad ke 18 dan pada abad ke 19 Inggris (oleh
William Harvey, abad ke 17), Jerman (Rudolf Virchow) dan Prancis (Jean-
Martin Charcot, Claude Bernard). Ilmu kedokteran modern, kedokteran
“ilmiah” (dimana semua hasil-hasilnya telah di ujicobakan). Menggantikan
tradisi awal kedokteran Barat, Herbalisme, Yunani dan semua teori pra-
modern. Pusat perkembangan ilu kedokteran berganti ke Britania Raya dan
Amerika Serikat pada awal tahun 1990an (oleh William Osler, Harvey
Cushing). Kodekteran berdasarkan bukti (evidence-based medicine) adalah
tindakan yang kini dilakukan untuk memberikan cara kerja yang efektif
4
dan menggunakan metoda ilimiah serta informasi sains global yang
modern. Kini, ilmu genetika telah mempengaruhi ilmu kedokteran. Hal ini
dimulai dengan ditemukannya gen penyebab berbagai penyakit akibat
kelainan genetik, dan perkembangan teknik biologi molekuler.2
2
Ancok, D., Fuad, N..Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2008.
5
Psikologi Islam adalah usaha membangun sebuah teori dari
khazanah kepustakan islam, baik dari Al-Qur’an, Hadist, atau kitab-kaitab
klasik yang ditulis oleh ulama-ulama islam populer sehingga dapat
mewarnai dunia psikologi yang sekarang terus berkembang denga pesat
(Rafy Safuri.2009).
Menurut Ancok & Suroso (2005) mendefinisikan psikologi islami
sebagai ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah
kepribadian manusia, yang berisi filsafat, metodologi, dan pendekatan
probem dengan didasari sumber-sumber formal islam, akal, indera, dan
intuisi.
Kerangka lampiran telah menerangi psikologi agama (Kirkpatrick,
2005). Karya ini bersandar pada asumsi bahwa lampiran dalam hubungan
manusia memperjelas komitmen agama (Granqvist, Mickuliner &
Shaver,2010).3
1. Model dari Modernitas Kepada Islam
Model kedua dari pengembangan kajian psikologi di dunia
Islam adalah model dari modernitas kepada islam.
Pengembangan kajian psikologi model ini banyak mengambil
inspirasi dari kajian psikologi yang berkembang dengan sangat
dinamisnya di dunia Barat. Ada dua pola mainstream dalam
model ini. Pertama, pola Instrumentalis, yang berpandangan
bahwa ilmu pengetahuan itu adalah netral dan universal. Ia
hanyalah alat atau instrumen, yang baik buruknya tergantung
pada penggunaanya. Kedua, Pola Islamisasi Ilmu, yang meski
tetap menjadikan Barat sebagai rujukan, tetapi diikuti dengan
proses “pengalaman” atau penyesusaian dengan nilai-nilai
Islam.
Pertama, pola Instrumentalis. Menyikapi realitas
ketertinggalan umat Islam di Bidang illmu pengetahuan ini,
sementara pemikir islam kemudian menjadikan ilmu-ilmu yang
berkembang di Barat tersebut sebagai referensi bagi dunia
3
Abdul, M.S.A.M dkk. Perilaku Manusia dalam Pandangan Islam dan Ilmu Psikologi
Modern, Mistaq Pustaka. Jakarta. 2009
6
Islam dalam mengadapi tantangan modernitas. Mereka
berpandangan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan itu
hanyalah alat atau instrumen yang sifatnya netral dan dapat
dipergunakan secara bebas oleh siapa saja. Bagi mereka
kemajuan umat islam dapat diatasi dengan transfer
pengetahuan barat ke dunia islam.
Terkait dengan pengembangan kajian psikologi, umunya
para penggiat psikologi dalam bidang ini tidak suka dengan
tambahan “islami” pada terminologi psikologi. Psikologi
adalah ilmu universal milik bersama umat manusia, tidak perlu
ada pengkotak-kotakkan atau pengklaim milik agama tertentu.
Pernyataan Abdus Salam, pemenang Anugrah Nobel yang
sangat bergengsi, kiranya mewakili penggiat kelompok ini.
Menurutnya tidak ada yang namanya sains Barat, sains Islam,
sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa
sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama, dan
peradaban, termasuk tentunya disini di bidang kajian psikologi
Pada perkembangannya, pandangan tentang netralitas ilmu
yang sangat mengapresiasi pencapaian ilmu pengetahuan dari
Barat ini, mendapatkan penilaian dan kritikan tajam dari
kelompok pemikir muslim lainya. Mereka berpendapat bahawa
peradaban dan ilmu pengetahuan modern sangat sarat dengan
nilai, kultur, dan kepentingan Barat, yang bahkan dipandang
memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya berbagai probem
kemanusiaan modern, dan tidak cukup mampu memenuhi,
lebih-lebih bagi umat Islam, sehingga harus dievaluasi.
Kedua, pola Islamisasi ilmu. Berlawanan dengan semanat
kaum instrumental yang melihat netralitas ilmu pengetahuan.
Kelompo ini memiliki menilai pengetahuan tidak ada yang
netral, tetapi selalu bisa nilai dari penyusunanya. Kelompok ini
merupakan kelompok yang berpandangan kritis terhadap ilmu
pengetahuan modern produk Barat. Sejatinya kekritisan mereka
7
itu juga banyak didukung oleh pendapat ilmuwan Barat sendiri
terhadap perkembangan sains yang berlaku di Barat. Adapun
pemikir muslim yang terlibat dalam hal ini, umumnya adalah
peikri yang sangat berdomisili di barat atau setidaknya
merupakan lulusan dari salah satu universitas terkenal di
Barat.4
Sebagai contoh Sayyid Hossein Nasr mengungkapkan
keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap sifat sekuler
sains modern yag dianggapnya tidak mengakui kenyataan
ilahiyah dan posisinya sebagai sumber ilmu. Sains modern
menurutnya telah melakukan penindasan epistemologi dengan
cara tidak mengakui cara-cara pandangan lainnya terhadap
alam, termasuk yang ada dalam agama. Kepercayan akan
realitas di luar realitas empirik hanya dianggap sebagai mitos
atau takhayul belaka.
Lebih jauh menurut Nasr, meski tetap menyatakan bahwa
ada kesinambungan kuat antara sains barat dan sains Islam.
Sains Islam tidak daat dilepaskan dari pandangan dunia Islam.
Hal itu berakar mendalam pada ilmu pengetahuan berdasar
pada keesaan Allah (tauhid) dan pandangan tentang alam
semesta yang dikendalikan oleh kebijaksanaan dan kehendak
Allah serta sesuatunya saling terkait satu sama lain
mencerminkan kesatuan pada tingkat kosmis. Sementara tu,
sains Barat secara mencolok berdasar pada pertimbngan dunia
alamiah sebagai sebuah realitas yang terpisah dari Allah
maupun tingkat makhluk yang lebih tinggi. Kensekuensinya,
sains modern mengganggap dunia fisik sebagai sebuah realitas
mandiri yang dapat dipelajari dan diketahui makna tertinggi
tanpa merujuk sama sekali pada tingkat realitas yang leih
tinggi.
4
Adz-dzaky, H.Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2004.
8
Kehilangan aspek yang sakral, demikian dinyatakan oleh
pemikir muslim lainnya C.A. Qadir, telah mengakibatkan
pengasingan dan pemisahan dalam kehidupan manusia.
Manusia modern menderita pengasingan (alienansi) dan
anomie. Terhadap ketidakseimbangan dan ketertiban. Jiwa
manusia mengalami penyakit schizophrenia kerohanian, tidak
mempunyai jalan keluar kecuali dengan kembali kepada
Sumber Primordial dan menghidupkan kembali aspek
kesakralan ini.
Kritikan terhadap konsep ilmu Barat juga diungkapkan oleh
Syed M. Naquib al-Attas, bahwa ia lebih banyak menimbulkan
masalah dan kekeliruan daripada melahirkan keharmonisan,
kebaikan dan keadilan. Ilmu Barat ujarnya telah kehilangan
tujuan hakiki karena tidak dicerna dengan adil. Akibatnya ia
membawa kekacauan dalam kehidupan manusia dan bukannya
keadilan dan kedamaian. Ilmu yang nampaknya benar tetapi
lebih produktif kearah kekerliaruan dan skeptisme, ilmu yang
buat pertama kali dalam sejarah, membawa kekacaubalauan
pada isi alam semesta: hewan, tumbuhan dan logam.5
Salah satu tokoh terkemuka dari pola islamisasi ilmu ini,
yang kemudian banyak memberikan inspirasi kepada penggiat
psikologi di Indonesia, adalah Ismail Raji al-Faruqi. Islamisasi
ilmu dalam pandangan al-Faruqi. Islamisasi ilmu dalam
pandangan al-Faruqi merupakan usaha untuk mengacukan
kembali ilmu, yakni untuk mendefinisikan kembali, menyusun
ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi
terhadap data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi
terhadap data, menilai kesimpulan dan tafsiran, membentuk
kembali tujuan dan menjadikan disiplin yang akan
memperkaya visi dan perjuangan Islam.
5
Alizadeh, H. Individual psychologi and Islam: An exploration of social interest The
Journal of Individual Psychology, 68, 216-224.
9
Al-faruqi menyatakan bahwa ide islamisasi ilmunya
bersandarkan kepada tauhid. Menurut pandangannya,
metodologi tradisional tidak mampu memikul tugas ini karena
beberapa kelemahan. Pertama, ia telah menyempitkan konsep
utama seperti fiqh, faqih, ijtihad, dan mujtahid. Kedua, ia
memisahkan wahyu dan akal, pemikiran dan tindakan. Ketiga,
berikutnya kaedah ini membuka ruang untuk dualisme agama
dan sekuler. Lebih lanjut, menurut al-Faruqi ada beberapa
prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka
pemikiran dan metodologi dan cara hidup Islam, yakni: (1)
keesaan Allah, (2) Kesatuan penciptaan, (3) kesatuan
kebenaran, (4) kesatuan Ilmu, (5) kesatuan Kehidupan, dan (6)
kesatuan Kemanusiaan.
Secara lebih sistematis, al-Faruqi menjelaskan ada lima
tujuan dalam rangka islamisasi ilmu, yaitu: (1) menguasai
disiplin modern, (2) menguasai warisan Islam, (3) menentukan
relevansi Islam yang tertentu bagi setiap bidang ilmu modern,
(4) mencari cara untuk melakukan sintesis yang kreatif antara
ilmu modern dan ilmuawarisan Islam, dan (5) melancarkan
pemikiran Islam ke arah jalan yang akan membawanya sesuai
ketentuan Allah.
10
yang ada, yaitu metodologi yang menjembatani alam lahiriah
dengan alam metafisik. Muncullah sebuah keyakinan bahwa
kehidupan ini tidak bisa diukur oleh hal-hal yang inderawi
mengedepankan nalar semata.
a. Hana Djumhana Bastaman
Menurut Bastaman, ada beberapa istilah pola pemikiran
“Islamisai Sains”, dari bentuk paling superfisial sampai
yang bentuk mendasar, yaitu :
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja
konsep-konsep sains dengan konsep-konsep
yang berasal dari agama, padahal belum tentu
sama. Misalnya istilah qolb dengan superego.
Paralelisasi,yaitu menganggap paralel konsep
yang berasal dari Al-Qur’an dengan konsep
yang berasal dari sains, karena kemiripan
konotasinya, tanpa menyamakan
(mengidentikkan) keduannya.
Komplementasi, yaitu antara sains dan agama
saling mengisi dan saling memperkuat satu
sama lain, tetapi tetap mempertahankan
eksistensi masing-masing.
Komparasi, yaitu membandingkan konsep/teori
sains dengan konsep/wawasan agama mengenai
gejala-gejala yang sama.
Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari
teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-
temuan empirik dilanjutkan pemikirannya
secara teoritis abstrak ke arah pemikiran
metafisik/ghaib.
Verifikasi, yaitu mengungkap hasil-hasil
penelitian ilmiah yang menunjang dan
11
membuktikan kebenaran-kebenaran ayat Al-
Qur’an.
b. Fuad Nashori
Menurut Nashori, ilmu pengetahuan dalam islam bukan
hanya bekerja pada wilayah yang teramati (observable
area), tapi juga bekerja pada wilayah yang terpikirkan
(conceivable area) dan wilayah yang tidak terpikirkan
(unconceivable area). Hal ini memaksa dirinya untuk
membuat secara garis besar metode-metode psikologi
islam sebagai berikut.
Metode Keyakinan (Method of Tenacity), yaitu
Al-Qur’an dan Hadist.
Metode Rasionalisasi, yaitu kerelatifan rasio
yang harus dijadikan landasan bahwa rasio dapat
mengungkap hal-hal yang berbentuk,
perencanaan atau strategi, dan koreksi.
Metode Ilmiah (Method of Science), yaitu
metode yang menggunakan cara deskritif dan
eksperimen.
Metode Non-Ilmiah, yaitu lebih menekankan
pada aktivitas merasakan dan mengalami.6
6
Ancok, D & Suroso, Fuad, N. Psikologi Islami. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
12
atau pandangan yang sejalan dengan kehidupan manusia, namun setiap
teori tidak keseluruhan sejalan dengan hakikat manusia pada umumnya.
13
3. Kritik Terhadap Psikologi Humanistik
Aliran ketiga dalam arus psikologi selain behaviorisme dan
psikoanalisis adalah aliran humanistik. Psikologi humanistik ini lahir atas
dasar ketidakpuasan atas gerakan behavioristik dan psikoanalisa dalam
memandang manusia, pada saat itu gambaran manusia merupakan suatu
gambaran yang partial, tidak lengkap, dan satu sisi. Pada awal tahun
1950an psikologi humanistik ini terus tumbuh dan berkembang dan
mengkritik gerakan-gerakan psikologi modern sebelumnya khususnya
gerakan behavioristik.7
7
Bastamah, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islam. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. 2005
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16