Anda di halaman 1dari 9

KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: JARIMAH 

RIDDAH

PENGERTIAN RIDDAH DAN DASAR HUKUMNYA

Riddah dalam arti bahasa adalah “ar rujuu’a ‘anisy syay’i ila ghoyrih”, yang
artinya kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Ibrahim Unays dan kawan-
kawan dalam kamus Al Mu’jamil Wasith jilid I mengemukakan bahwa riddah
berasal dari kata “roddahu roddaw wa riddah” yang artinya menolak dan
memalingkannya.

Menurut istilah syara’, dikemukakan oleh Wahbah Zuhayli adalah sebagai


berikut :

“kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang
menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.

Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Abdul Qodir Awdah sebagai
berikut;
“riddah adalah kembali (keluar) dari agama Islam atau memutuskan (keluar)
dari agama Islam .

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa


orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam dan kembali
kepada kekafiran .

Riddah adalah perbuatan yang dilarang oleh ALLOH yang diancam dengan
hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Hal ini
dijelaskan ALLOH dalam surat Al Baqoroh ayat 217 :

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam “
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya

Disamping Al Qur’an, Rosululloh menjelaskan hukuman untuk orang murtad


ini dalam sebuah hadis: dari ibnu Abbas rodhiyallohu anhu:
: Rosululloh bersabda
barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah dia“
Dalam hadis lain disbutkan
Dari Aysyah rodhiyallohu anhu telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alayhi
:wa sallam
tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga perkara, orang yang “
berzina dan ia muhshon, atau orang kafir setelah tadinya ia Islam, atau
”.membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh pula
Dari ayat dan hadis tersebut jelaslah bahwa murtad termasuk salah satu jenis
.tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati

UNSUR-UNSUR JARIMAH RIDDAH


Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah riddah itu ada -
;dua macam, yaitu

[1] kembali (keluar) dari Islam

[2] adanya niat melawan hukum (kesengajaan


ad. 1. Unsur yang pertama dari jarimah riddah adalah keluar dari Islam.
Pengertian keluar dari Islam adalah meninggalkan agama Islam setelah tadinya
mempercayai dan meyakininya. Keluar dari Islam bisa melalui salah satu dari
tiga cara :

1.dengan perbuatan atau menolak perbuatan


2. dengan ucapan

3. dengan iktikad atau keyakinan

Keluar dari Islam terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang


diharamkan oleh Islam dengan menganggapnya boleh atau tidak haram, baik ia
melakukan dengan sengaja atau melecehkan Islam, menganggap ringan atau
menunjukkan kesombongan. Contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari,
bulan, dan bintang, melemparkan mushaf Al Qur’an atau kitab hadis ke tempat
yang kotor, atau menginjak-injaknya, melecehkannya, atau tidak mempercayai
ajaran yang dibawa Al Qur’an. Termasuk juga dalam kelompok ini orang yang
melakukan perbuatan yan haram, seperti zina, pencurian, syurbul khamr dan
membunuh dengan keyakinan bahwa perbuatan tersebut hukumnya halal.
Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah
keengganan seseorang melakukan perbuatan yang di wajibkan oleh Islam,
dengan iringan keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak wajib. Contohnya
keengganan melaksanakan shalat, zakat, puasa, atau haji karena merasa
semuanya itu tidak wajib. Abdul Qodir Awdah mengemukakan contoh
penolakan melaksanakan kewajiban yang mengakibatkan kekafiran dengan
ungkapannya sebagai berikut;“diantara contoh yang jelas tentang kufur karena
dengan menggunakan syari’at Islam, dan menerapkan hukum positif sebagai
penggantinya. Pada prinsipnya menurut agama Islam menetapkan hukum
dengan apa yang diturunkan oleh ALLOH hukumnya wajib, sedangkan
menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan ALLOH hukumnya haram.
Nas-nas Al Qur’an sangat jelas dan tegas dalam masalah ini. ALLOH
subhanahu wa ta ‘ala berfirman (yang artinya): “tidak ada hukum kecuali dari
ALLOH”; juga ALLOH berfirman (yang artinya): “dan barang siapa yang
menetapkan hukum tidak dengan apa yang diturunkan ALLOH maka mereka
itunadalah orang-orang yang fasik”; Juga ALLOH berfirman(yang artinya):
“dan barang siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan
ALLOH maka merka itu adalah orang – orang yang zalim”; Juga ALLOH
berfirman(yang artinya): “dan barang siapa yang tidak menetapkan hukum
dengan apa yang diturunkan oleh ALLOH maka mereka itu adalah orang-orang
kafir”; Juga ALLOH berfirman(yang artinya): ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari tuhanmu dan janganlah kamu sekalian mengikuti pemimpin-
pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran….”
Para ulama telah sepakat bahwa setiap undang-undang yang bertentangan
dengan syari’at Islam, hukumnya batal dan tidak wajib ditaati. Demikian pula
orang-orang yang terlibat dalam pembuatan undang-undang tersebut yang isinya
tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh ALLOH, dapat disifati dengan
sifat sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yaitu kafir, zalim, dan fasik.
Dengan demikian orang-orang yang tidak mau melaksanakan hukuman-
hukuman hudud, seperti potong tangan untuk pencurian, jilid untuk zina,
disertai dengan keyakinan bahwa hukum lain lebih baik, ia bisa diketegorikan
kafir. Apabila alasannya bukan karena ingkar maka ia termasuk zalim, atau
minimal fasik.

Keluar dari Islam bisa juga dengan ucapan dengan mulut seseorang yang
berisi kekafiran. Contohnya seperti pernyataan bahwa ALLOH punya anak,
mengaku menjadi Nabi dll.
Di samping itu, keluar dari Islam juga bisa dengan iktikad atau
keyakinan yang tidakmsesuai dengan akidah Islam. Contohnya seseorang yang
meyakini bahwa ALLOH makhluk, atau keyakinan bahwa manusia menyatu
dengan ALLOH dll.
Adapun keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi
murtad (kafir) sebelum diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Hal
ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan empat Imam ahli hadis dari abu
hurairah bahwa Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“sesungguhnya tuhanku mengampuni umatku dari apa-apa yang terlintas dalam
hatinya, selama belum diucapkan atau dikerjakan.”

Dengan demikian orang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan


iktikad yang bertentangan dengan Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan
di dunia secara lahiriahnya tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan
hukuman. Adapun di akhirat ketentuan dan urusannya diserahkan kepada
ALLOH subhanahu wa ta ‘ala. Apabila iktikadnya itu telah diwujudkan dan
dibuktikan dengan ucapan atau perbuatan maka ia sudah termasuk murtad.

Para ulam telah sepakat bahwa mempelajari dan mengajarkan sihir hukumnya
haram dan meyakini dibolehkannya sihir hukumnya kafir. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai hukum orang yang melakukan kegiatan sihir.
Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, penyihir hukumnya
kafir, karena mempelajari sihir dan mengajarkannya, baik ia meyakini
haramnya atau tidak meyakininya. Oleh karena itu ia harus dihukum bunuh
tanpa diminta tobat. Hal ini didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jandab,
bahwa Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“hukuman had bagi penyihir adalah dipukul dengan pedang (dihukum bunuh).

Akan tetapi menurut satu riwayat Imam Ahmad, penyihir tidak kafir karena
mempelajari sihir dan mengerjakannya, melainkan berbuat maksiat yang harus
dikenakan hukuman pendidikan (ta’zir) dan diminta bertobat dari perbuatannya
itu.
Menurut Imam Syafi’i, penyihir tidak dianggap murtad, kecuali kata-kata atau
perbuatannya itu menunjukkan kekafiran, seperti menyekutukan ALLOH, sujud
kepada matahari, bulan, bintang, atau menghalalkan sihir. Dengan demikian
penyihir hanya dianggap melakukan perbuatan maksiat. Kelompok Syafi’iyah
tidak menggunakan hadis Jandab karena hadis tersebut dianggap hadis mursal.
Pendapat ini juga diikuti oleh kelompok Zhohiriyah dengan alasan hadis
tersebut tidak shahih sehingga harus dikembalikan kepada nas yang umum yang
mengharamkan pembunuhan kecuali dengan hak (Surat Al Isroo’ ayat 33). Di
samping itu hadis itu pengertiannya tidak jelas menunjukkan hukum bunuh,
karena redaksinya hanya memukul dengan pedang, yang bisa diartikan dibunuh
atau tidak.

Seseorang dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian orang


yang tidak berakal, pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur,
sakit ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum
tamyiz, yang akalnya belum sempurna. Adapun pernyataan murtad dari anak
kecil mumayiz (berakal) ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, balig (dewasa) bukan
syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian murtadnya anak kecil yang
sudah berakal hukumnya sah.
Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak kecil yang
belum balig riddahnya tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah diikuti oleh
Imam Malik dan sebagian Hanabilah, sedangkan sebagian ulama Hanabilah
yang lain mengikuti pendapat Imam Abu Yusuf. ImamAbu Hanifah dan kawan
kawan beralasan bahwa anak yang mumayiz apabila menyatakan Islam
hukumnya sah, demikian pula sebaliknya, apabila menyatakan murtad
hukumnya sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan
perbuatan yang nyata yang keluar dari hati sebagai salah satu anggota badan.
Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukkan adanya
kedua hal tersebut (iman dan kufur). Akan tetapi Imam Abu Yusuf
brargumantasi bahwa akal anak kecil dalam tasarruf yang betul-betul
merugikan, dianggap tidak ada. Oleh karena itu, anak kecil talaknya tidak sah.
Demikian pula memerdekakannya, dan pemberiannya, termasuk murtadnya ,
juga tidak sah, karena murtad termasuk tindakan yang merugikan. Adapun
pernyataan iman dari anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, karena iman
termasuk hal yang menguntungkan. Itulah sebabnya menurut Imam Abu Yusuf,
Islamnya anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, tetapi murtadnya tidak sah.

Menurut fuqaha Syafi’iyah, murtadnya anak kecil dan Islamnya


hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari
pengikut mazhab Hanafi, Zhohiriyah, dan Syi’ah Zaydiyah. Mereka beralasan
dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, abu dawud, nasa’i ibn
majah dan hakim dari Aysyah bahwa Rosululloh bersabda;
“dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai ia
bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil sampai ia
dewasa.”

Meskipun demikian kelompok Syafi’iyah tetap mengakui keIslaman anak kecil,


karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya yang masuk Islam.

Adapun anak dari orang yang murtad, baik yang murtad itu bapaknya atau
ibunya atau kedua-duanya, hukumnya tetap anak muslim. Setelah mereka
dewasa dan tetap daam keIslamannya maka ia betul-betul muslim. Akan tetapi
apabila setelah dewasa mereka kafir maka mereka, anak-anak itu termasuk
murtad, dan kepada mereka diberlaKUkan ketentuan ketentuan orang murtad .
adapun anak anak yang dikandung dan dilahirkan oleh orang murtad maka ia
dihukumai sebagai anak kafir, karena kedua orang tuanya kafir.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i Imam Ahmad, Zhohiriyah, dan
Syi’ah Zaydiyah, apabila seorang ibu atau bapaknya masuk Islam maka anak-
anak nya yang masih kecil dihukumi Islam, karena ia mengikuti orang tuanya.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anak mengikuti agama
bapaknya. Artinya, jika bapaknya masuk Islam maka anak-anaknya uyang
masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi apabila ibunya masuk Islam,
sedangkan bapaknya tidak maka anaknya tetap kafir, karena anak mengikut
bapaknya, tidak mengikuti ibunya
Ad.[2]niat yang melawan hukum

Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu


sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada kekafiran,
padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapannya itu berisi kekafiran.
Dengan demikian apabila sesorang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
kekafiran tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut menunjukkan
kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir. Demikian pula seseorang yang tanpa
senganja karena kaget atau gembira mengucapkan kata-kata kufur, seperti kata
la ilah (tidak ada tuhan) maka ia tidak otomatis menjadi kafir.
Imam Syafi’i mensyaratkan untuk terwujudnya jarimah riddah, pelaku
perbuatan tersebut harus berniat melakukan kekufuran, dan tidak cukup dengan
ucapan atau perbuatan yang mengandung kekufuran semata. Alasannya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam bukhari dari alqamah ia berkata: saya
mendengar umar ibn al khaththab berpidato rodhiyallohu anhu berpidato, ia
berkata: saya mendengar Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“wahai manusia sesungguhnya perbuatan itu harus disertai dengan niat, dan
sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang diniatkannya.”

Dengan demikian apabila perbuatan atau ucapan kufurnya itu tidak disertai niat,
pelaku perbuatn tersebut tidak menjadi kafir. Pendapat ini diikuti oleh mazhab
Zhohiriyah. Mereka mensyaratkan niat dalam setiap perbuatan, sesuai dengan
hadis tersebut. Menurut mereka, semua perbuatan yang tidak disertai dengan
niathukumnya batal dan tidak menimbulkan akibat hukum.

Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, terwujudnya jarimah riddah
cukup dengan adanya kesengajaan melakukan perbuatan atau ucapan yang
menunjukkan kekafiran, dan tidak perlu adanya niat kufur. Pendapat ini juga
diikuti oleh Syi’ah Zaydiyah. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad malah
berpendapat bahwa perbuatan dan ucapan yang main-main juga dapat
mengakibatkan kekafiran apabila ucapan dan perbuatannya mengandung arti
kufur, dan pelaku perbuatan itu mempunyai kebebasan (ikhtiar) dan mengetahui
arti perbuatan dan ucapannya itu. Hal ini karena dengan perbuatan atau ucapan
kufur tersebut maka kepercayaan (tashdiq) secara hukum jadi hilang, meskipun
secara hakiki masih ada

 BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN AR_RIDDAH                 
‫{واَل َترْ َت ُّد ْوا‬
َ : ‫ فالراجع مرتد ومن ذلك قوله تعالى‬،‫الردة لغة هي الرجع‬

Anda mungkin juga menyukai