Anda di halaman 1dari 5

ILMU TAUHID

Aliran Mu’tazilah: Pemikiran dan


Sanggahannya
Muhammad Tholhah al Fayyadl  Rabu, 3 November 2021 | 23:00 WIB

Sekte Mu’tazilah adalah sebuah sekte yang mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah.
Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yang memilih
untuk menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yang ia dirikan
dijuluki dengan sekte Mu’tazilah yang diambilkan dari lafadz i’tazal
(menyendiri/menyimpang) karena telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.
 
Pada mulanya, Mu’tazilah yang diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dengan
penetapan empat kaidah saja, yaitu:
 
Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yang telah termaktub dalam Al-Qur’an dan
Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu
Allah tidak mungkin Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah dahulu niscaya akan
ada dua hal yang dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Hal ini mustahil karena tidak
mungkin ada yang menyamai Allah dalam sifat Qadim (dahulu).
 

Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah
dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yang dapat diukur tingkat
keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut akan sirna karena
tidak ada yang abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia akan
membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yang
membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu. Seandainya Allah
membutuhkan ilmu-Nya yang ia ciptakan untuk mengetahui niscaya Ia adalah Dzat yang
membutuhkan kepada ciptaan-Nya dan ini semua tidak mungkin secara akal.” Walhasil,
mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dengan dzatnya yang abadi tanpa
melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo:
Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).
 
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah adalah bersifat
Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah tidak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya
tidak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yang terlahir
bodoh tidak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu
tidak mungkin karena pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada
Allah.
 
Baca juga: Dalil dan Penjelasan tentang 20 Sifat Wajib bagi Allah
 
Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yang baik menurut akal
manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tidak boleh menghendaki keburukan kepada
makhluk-Nya karena hal tersebut bertentangan dengan sifat Maha Penyayang dan Maha
Pengasih yang dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai
pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yang mereka dapatkan di
hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yang dilakukan ataupun menimpa manusia
adalah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
 
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yang baik
karena Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan
menghukum orang-orang yang bermaksiat di hari kiamat sedangkan Dia sendirilah yang
menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud selama di dunia? Bagaimana mungkin
Allah mengutus para nabi dan rasul agar menyeru manusia meninggalkan maksiat
sedangkan maksiat tersebut Allah sengaja wujudkan sendiri?” (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-
Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1996: 233).
 
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yang baik dan
buruk adalah dari Allah serta perbuatan makhluk tidak lepas dari izin kehendak-Nya.
Seandainya ada perbuatan maksiat yang tidak dikehendaki Allah terjadi niscaya Allah
memiliki sifat lemah karena tidak mampu menggagalkan maksiat yang tidak Dia kehendaki
wujud. Oleh karena itu di sini perlu dibedakan antara ridha dan kehendak-Nya.
Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal yang diridhai dan dikehendaki Allah
terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar dan ada hal yang tidak diridhai Allah tetapi
dikehendaki Allah untuk terjadi seperti kafirnya Abu Jahal.
 
Baca juga: Mengurai Takdir dari Tiga Perspektif: Allah, Malaikat, dan Manusia
 
Ketiga, menetapkan bahwa orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah tidak termasuk
golongan orang yang beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka
berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tidak dapat disebut sebagai orang
beriman. Karena hanya orang yang baik dan menjauhi maksiat yang pantas disebut orang
beriman. Di sisi lain, orang yang fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang
kafir karena mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah. Akan
tetapi, nantinya orang yang fasik dan ahli maksiat yang tidak mau bertaubat akan dihukum
kekal di neraka dengan siksa yang lebih ringan daripada yang didapatkan oleh orang-orang
kafir. Sekte Muktazilah menyebut kaidah ini dengan al-manzilah baina manzilatain.
Mereka mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:
 
‫َبٰلى َمْن َكَسَب َس ِّيَئًة َّو َاَحاَطْت ِبٖه َخِطْۤي َٔـُتٗه َفُاوٰۤلِٕى َك َاْص ٰحُب الَّن اِرۚ ُهْم ِفْيَها ٰخِلُدْوَن‬
 
“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah
menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS
Al-Baqarah ayat 81).
 
Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah) yang
dimaksud ayat ini adalah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar (Syekh
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar Sahnun, 1997, vol. I,
h. 581).
 
Baca juga: Empat Jenis Kufur atau Kafir dalam Ahlussunnah wal Jamaah
 
Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yang bertikai di
perang jamal sebagai orang fasik yang akan kekal di neraka selama mereka tidak mau
bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dua
kebenaran yang wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yang salah dan
berdosa dan ada satu kelompok yang benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di
antara dua golongan yang bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah
sebagai orang yang tidak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, mereka
tidak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-
Milal wa an-Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo:
Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).
 
Tentu hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini para
sahabat sebagai orang-orang yang mulia karena dari pengajaran para sahabatlah guru-guru
kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi
Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam
Hadits disebutkan
 
‫قال رسول الله لا تسبوا أصحابي لعن الله من سب أصحابي‬
 
Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat orang yang
mencaci para sahabatku” (HR ath-Thabrani).
 
Baca: Siapakah yang Disebut ‘Sahabat Nabi’ Itu?
 
Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar
Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Sifat Ilmu Allah | 5 Rahasia Allah yang Tidak Pernah Diketahui Manusia - Ja…
Ja…
 

Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan
informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

TAGS: ilmu tauhid mazhab

Sakit Saat Kencing

Buka

Anda mungkin juga menyukai