Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh Ajaran Mu’tazilah pada Islam Liberal di Indonesia

Makalah ini mencoba mengetahui bagaimana pengaruh Ajaran Mu’tazilah pada Islam Liberal di
Indonesia. Referensi baik tertulis maupun tidak yang secara ekplisit mendeskripsikan secara detail
bagaimana pengaruh ajaran Mu’tazilah pada Islam Liberal di Indonesia belum bisa penyaji makalah
peroleh. Penyaji makalah melakukan pendekatan dengan membandingkan pemahaman pokok-pokok
pikiran yang diungkap oleh tokoh-tokoh Islam Liberal Indonesia pada beberapa publikasi dengan
pengetahuan yang diketahuinya tentang pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah.

1) Ajaran Mu’tazilah
Dikenal lima pokok ajaran Mu’tazilah yaitu :
a) At-Tauhid (Pengesaan Tuhan)
i) Tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa
dengan dia. Oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme (penyerupaan
dengan makhluk)
ii) Misalnya : yad allah (tangan allah), berarti kekuasaan allah, wajh allah (wajah allah), berarti
keridhaannya, dan sebagainya
iii) Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di
akhirat nanti (dengan mata kepala, tapi yang dimaksud adalah dengan mata hati)
iv) mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini
mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud
tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti
maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
b) Al-Adl (Keadilan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia dapat mengerjakan perintah-
perintahnya dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan
pada diri manusia itu.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk,
bahkan menurut salah satu sekte mu’tazilah, Tuhan tidak bisa berbuat buruk karena perbuatan
yang demikian hanya dilakukan oleh yang tidak sempurna sedangkan Tuhan Maha Sempurna.

1|Page
Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia,
apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia sendiri?. Dalam
pandangan mu’tazilah yang menganut paham qadariyah, perbuatan manusia diwujudkan oleh
manusia sendiri. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas
kemauannya sendiri.
c) Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di
akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang yang
melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat
lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi orang
yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik
dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak
disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak
menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat,
karena bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman.
d) Al-Manzila bain Al-Manzilatain (posisi tengah2)
Maksudnya tempat diantara surga dan neraka. Ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan ajaran
ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang
musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iman dan
kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegang Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an
yang dimaksud surat al-isra’ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara
adalah yang tengah-tengah.
e) Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahiy an Al-Munkar
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya.
Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat
buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah berpendapat bahwa amar
ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika
diperlukan bisa dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian
mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.

2|Page
2) Pengaruh Mu’tazilah pada Islam Liberal
Pengertian liberal secara kebahasaan adalah kebebasan. Islam Liberal adalah Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur politik yang menindas. Faham Islam
Liberal sudah berkembang di Mesir dan Turki sejak abad 19. Di Indonesia, Islam Liberal juga sudah
berkembang sejak lama. Beberapa tokoh yang dinilai mempunyai pemikiran liberal diantaranya
Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Gunawan
Muhammad, Ulil Abshar Abdalla, dll.

Pengaruh Mu’tazilah pada Aliran Islam Liberal dapat dilihat dari aspek kebebasan dan rasionalitas
dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas taggal 18
September 2002 dengan judul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Tulisan ini menyatakan
bahwa ajaran Islam sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an apalagi dalam hadits, ijma’, dan ijtihad
bebas dan harus terus menerus ditafsirkan sesuai perkembangan zaman, waktu, dan tempat.

Publikasi Islam Liberal Indonesaia tentang hubungan umat muslim dan non-muslim seperti tertuang
dalam Reportase Kuliah Pluralism berjudul Di Gereja Kami Menguji Iman yang dimuat d Islamlib.com
tanggal 5 April 2013 mengungkapkan bagaimana seharusnya nuansa hubungan antara muslim-non
muslim menurut islam Liberal. Reportase ini menyampaikan pesan bahwa hubungan yang harmonis
dan mesra diantara para pemeluk agama berbeda, bukan sama sekali tidak mungkin. Justru sangat
mungkin, jika sama-sama membuka diri. Ada banyak pelajaran dari sikap keterbukaan ini.
Membaca pesan yang disampaikan reportase tersebut diatas, penyaji makalah menafsirkan hal
tersebut semacam implementasi dari ajaran Mu’tazilah aspek Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahiy an Al-
Munkar, pokok ajaran kelima dari Mu’tazilah. Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi
munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut.
Dipandang dari sisi lain, konsep pluralism yang dianut Islam Liberal berbeda dengan ajaran Mu’tazilah.

Mu’tazilah sangat menyakini kebenaran Islam sebagai wahyu yg final, sehingga mereka sering berdakwah

mengajak kalangan majusi, zoroaster, kristen, yahudi, zindik dsb untuk memeluk agama Islam. Terhitung

tdk kurang dari 3000 orang telah masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-‘Allaf setelah melalui perdebatan

denganmereka.

3|Page
3) Kesimpulam
a) Dalam hal kebebasan pemikiran/gagasan, ajaran Mu’tazilah dan Islam Liberal Indonesia
mempunyai kesamaan sehingga dapat diasosiakan bahwa ajaran Mu’tazilah mempengaruhi
islam Liberal dalam aspek tersebut.
b) Dalam hal bagaimana mengelola perbedaan pandangan pada umumnya dan hubungan dengan
umat non-muslim pada khususnya, Islam Liberal Indonesia menawarkan cara hubungan umat
muslim dengan umat non muslim yang lebih akomodatif. Cara hubungan ini dapat diasosiasikan
seperti konsep Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahiy an Al-Munkar pada ajaran Mu’tazilah.
c) Ajaran Mu’tazilah tidak bisa disamakan dengan Islam Liberal Indonesia karena meskipun pada
satu-dua aspek seperti ada pengaruh tetapi pada beberapa aspek lain ajaran Islam Liberal
bertentangan dengan ajaran Mu’tazilah.

Daftar Pustaka :
1) Ulil Abshar Abdalla, 18-09-2002, Menyegarkan Kembali Ajaran Islam, Jakarta : Harian Kompas
2) Reportase Kuliah Pluralisme, 05-04-2013, Di Gereja Kami Menguji Iman, Jakarta : Islamlib.com
3) Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
4) Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
5) Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
6) Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas Sudarsono. Filsafat Islam.
2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
7) Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
8) Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
9) Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185

***

4|Page

Anda mungkin juga menyukai