Anda di halaman 1dari 5

Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini adalah adanya sekelompok umat yang

aktif
mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, atau
yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir, murtad dan keluar dari Islam.
Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan oleh umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka
untuk memosisikan umat Islam di dalam kekafiran.

Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap
mendiamkan kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran, tapi sekedar
mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau sebuah pemerintahan menjadi kafir.
Maka setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu
dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut agama Islam,
sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.
A. Latar Belakang Munculnya Takfir
Untuk bisa menanggapi fenomena tersebut, tidak ada salahnya bila kita coba untuk menelusuri latar belakang
dan motivasi yang menyebabkan sebagian saudara kita melakukannya. Sebab dengan mengenal latar belakang
dan motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir mereka. Dan dengan itu, kita pun bisa melakukan koreksi
dan memberikan masukan yang positif atas pendapat itu.
1. Fenomena tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah masyarakat Islam memang
sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan menarikan tarian syetan tanpa malu dan tanpa harga diri di
depan hidung kita. Mereka dengan leluasa memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan menyebarkan
kebatilan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan, pencurian, khamar,
narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum dan agama telah membuat darah pendukung takfir
ini bergejolak untuk bertindak.
2. Tingkat toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan tidak sabarnya kelompok
pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam.
3. Umumnya mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda, punya niat ikhlas,
semangat membara, fitalitas yang tinggi, taat beribadah, punya semangat amar ma’ruf nahi mungkar dan punya
rasa memiliki atas umat ini yang tinggi. Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang kita
saksikan termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan kafir. Semua
problem itu demikian menyiksa batin mereka sehingga keluarlah mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah
yang out of control.
4. Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar’iyah yang mendasar.
Kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat mereka
cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena
kurang luasnya wawasan mereka, sehingga sering kali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput
dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak
komprehensif.
B. Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq), tabdi’ (menuduh bid’ah) dan takfir (menuduh kafir) adalah
kalimat kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata itu dilontarkan kepada manusia, maka akan
mempunyai dampak.
“Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali ucapan itu kepada salah
satu dari keduanya” (HR Bukhari VII/97 dari Abi Hurairah)
“Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barang siapa yang
menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR Bukhari VII/84 dari
Tsabit bin Dhihah).
Maka jika seseorang berkata kepada saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang
itu tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: Demi
Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah
berfirman:
“Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh aku telah ampuni dia dan aku
hapuskan amalmu.” (HR Muslim IV/2023 dari Jundab)
“Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa menjerumuskan dia di neraka lebih jauh
antara arah timur dan barat.” (HR Bukhari VII/184 dari Abi Hurairah)
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi ketika menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim,
menjelaskan beberapa konsekuensi yang berat. Padahal setiap orang yang berikrar dan mengucapkan syahadat
telah dianggap muslim, di mana nyawa dan hartanya terlindung. Dalam hal ini tidak perlu diteliti batinnya.
Menuduh seorang muslim sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih
berbahaya lagi.
Di antaranya ialah: bagi istrinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan.
Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi istri orang kafir.
Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi
mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggung jawab orangtua. Jika orang tuanya kafir, maka menjadi
tanggung jawab umat Islam.
Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya,
misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.
Dia harus dihadapkan ke muka hakim, agar dijatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak
pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah.
Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.
Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu
atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi amat berat dan
berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas) kekafirannya.
C. Yang Berhak Dikafirkan
Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan
dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan
bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekuler, yang menolak secara terang-
terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali
pada syariat dan hukum Allah.
Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya.
Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata, “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.” Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena
sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.” Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu
yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-
Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
D. Syarat Keislaman: Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, “Asyhadu
allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Barangsiapa yang mengucapkan dan
mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam,
walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya.
Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi saw. menerima orang-orang
yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw
tidak menunggu hingga datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah, ”
Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.”
Usamah lalu berkata, “Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian Rasulullah saw.
bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?”
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat
kepada Rasulullah saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi saw. bersabda,
“Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan jihad.”
E. Dosa Besar tidak Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah ahlu sunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan
berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir. Kecuali
bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewajiban shalat, zakat dan lainnya. Yang membuat
kafir itu bukan tidak melakukan ibadah shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban
tersebut.
Jadi bila ada seorang muslim shalatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib,
Cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah
Mu`tazilah. Menurut paham ini tuhan berjanji untuk memberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam
yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang
berdosa dan mati sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.
Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka
tergantung Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran
melakukan dosa meski sering diulangi.
F. Kafir yang Bukan Kafir
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir.
Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala:
﴿ ‫صيرًا‬ ْ ‫ۖ َو َسا َء‬ ‫ق ال َّرسُو َل ِمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُد َٰى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِي ِل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما ت ََولَّ ٰى َونُصْ لِ ِه َجهَنَّ َم‬
ِ ‫ت َم‬ ِ ِ‫َو َمن يُ َشاق‬
﴾١١٥
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang
mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
َ‫ض َّل قَوْ ًما بَ ْع َد إِ ْذ هَدَاهُ ْم َحتَّ ٰى يُبَيِّنَ لَهُم َّما يَتَّقُون‬
ِ ُ‫َو َما َكانَ هَّللا ُ لِي‬
 “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka
hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
﴾١٥﴿ ‫ث َر ُسواًل‬ ‡َ ِ‫َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذب‬
َ ‫ين َحتَّ ٰى نَ ْب َع‬
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang
permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah
mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang
permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud
untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk
mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat
menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian
ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut.
Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-mu.” Orang ini salah
mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main)
maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126,
dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya
ayat berikut ini:
”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan
besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam
permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa
karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak
mengeluarkannya dari Islam).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib – dalam keadaan ia mengetahui
bahwa itu adalah hukum Allah – dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah
kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum
Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke
dalam salah satu dari jenis kekafiran).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44:
“Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran
yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan
selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur
kecil), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut
dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum
dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman) ketika
tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak
menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang
tidak menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan
gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas RA berkata, “Kafir
yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada
Allah dan hari akhir.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Thaus.
Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya.
Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, “Kufur itu ada dua macam.
Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk
neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakunya diadzab di neraka tapi tidak abadi
selamanya.
Refleksi Terhadap Fenomena Takfir
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir bila dilihat sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam)
mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama
dalam Islam.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama
ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan
Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani mengkafirkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-
orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi ‘Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal
dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya ‘Ali
bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari
Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 12/296-297)
Sebab Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh
apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: – Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman
tentang agama. – (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah.
Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga
kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan
mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.”
(Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang
dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya
kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut-
Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam Masalah Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah
orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir.
Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-
orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja
yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan,
maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan – oleh Jamaah Takfir dari berbagai
kelompok – sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan
bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.
Betapa mengerikan fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
َ َ‫احبِ ِهإ ِ َذاق‬
‫ال‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫ ال َّر ُجلُل‬:ُ‫يَا َكافِر‬, ‫فَإِنَّهَاتَ ِجبُ َعلَىأ َ َح ِد ِه َمافَإ ِ ْن َكانَالَّ ِذي‬
َ َ‫قِ ْيلَلَهُ َكافِرًافَه َُو َكافِ ٌر َوإِالَّ َر َج َعإِلَ ْي ِه َماق‬
‫ال‬
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu
dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun
bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari sahabat Abdullah bin
‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no.
2035, 5077, 5259, 5824)

Bahan Bacaan:
1. Nahnu Du’at La Qudhat oleh DR. Hassan Al Hudaibi
2. Al-Aqa’id karya Imam Hasan Al-Banna
3. Islam Ekstrim oleh DR. Yusuf Qaradhawi

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/17/53262/fitnatut-takfir-fitnah-menuduh-kafir/#ixzz6dY4xDMnO
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/17/53262/fitnatut-takfir-fitnah-menuduh-kafir/#ixzz6dY4lGCm6
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/06/17/53262/fitnatut-takfir-fitnah-menuduh-kafir/#ixzz6dY3kJ000
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai