Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Kemuliaan


akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk
mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki
aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur
pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling
besar hubungan antar Negara.

Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara


diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada
pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang
mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya
suatu pembagian-pembagian mengenai Negara.

Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat


adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam
perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun
wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula
hak maupun kewajiban yang akan diterima.

Islam merupakan sistem pemikiran dan sekaligus sistem tindakan


dan karena Islam juga bertujuan untuk menciptakan suatu negara berdasarkan
ideologinya maka Islam mengamanatkan empat jenis kewarganegaraan, yaitu:
a) kaum Muslim, dan b) dzimmi, c) musta’min, dan d) harbiyun.1

1
Abul A’la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 268-269.

1
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami memiliki beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya, diantaranya adalah:
1. Apa pengertian muslim dan dasar hukumnya?
2. Apa pengertian ahl al-zimmi dan dasar hukumnya?
3. Apa pengertian musta’min dan dasar hukumnya?
4. Apa pengertian kaum harbiyun dan dasar hukumnya?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian muslim dan dasar hukumnya.
2. Mengetahui pengertian dzimmi dan dasar hukumnya.
3. Mengetahui pengertian musta’min dan dasar hukumnya.
4. Mengetahui pengertian harbiyun dan dasar hukumnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Muslimin

Istilah “muslim” merupakan nama yang diberikan bagi orang yang


menganut agama islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran
agama islam dalam akidah, syri’ah, dan akhlak sebagai aturan hidupnya.
Disamping itu, ia menentang segala bentuk penyimpangan yang dapat merubah
identitasnya sebagai seorang muslim. Kata “muslim” berasal dari bahasa Arab,
yang berarti “orang yang selamat”. Ini seakar dengan kata Islam yang berarti
“menyelamatkan”.2 Kedua istilah ini banyak terdapat dalam Alquran dan Hadits
Nabi. Gelar “muslim” sendiri langsung diberikan Allah kepada manusia,
sebagaimana dalam surat al-Hajj 22:78:

ُ ‫ع َل ْي ُك ْم َوت َ ُكونُوا‬
‫ش َهدَا َء‬ َ ‫سو ُل‬
َ ‫ش ِهيدًا‬ َّ َ‫س َّما ُك ُم ْال ُم ْس ِل ِمينَ ِم ْن قَ ْب ُل َوفِي َٰ َهذَا ِليَ ُكون‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ُه َو‬
‫اس‬ِ َّ‫علَى الن‬ َ
Artinya: “.....Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.”

Seseorang dapat disebut muslim tidak hanya sekedar menganut dan


meyakini islam dengan agamanya. Lebih dari itu, keyakinan tersebut harus
dibuktikannya dalam bentuk perbuatan konkret. Dalam hal ini seorang muslim
miniml memenuhi sejumlah syarat sebagaiman diterangkan dalam sabda
Rasulullah: Yang artinya: “ Dari Anas ibn Malik, ia berkata bahwa nabi Saw.
Telah bersabda, “ siapa yang mengaku tiada Tuhan se;ain Allah dan menghadap
kiblat yang kita yakini, lalu ia melakukan shalat serta memakan sembelihan kita,
maka orang tersebut adalah muslim yang mendapat jaminan Allah dan Nabi-Nya.
(H.R. Bukhari).

2
Nurcholis Madjid, Fiqh Siyasah,(Jakarta: Yofa Mulia Ofset,2007),hlm.231

3
Ada dua persyaratan dasar kewarganegaraan sebagaimana ditetapkan
dalam al-Qur’an (QS. al-Anfal: 72)

‫َّللا َوالَّذِينَ َآو ْوا‬ َ ‫إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوهَا َج ُروا َو َجا َهدُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم فِي‬
ِ َّ ‫س ِبي ِل‬
‫اج ُروا َما َل ُك ْم ِم ْن‬ ِ ‫ض ۚ َوالَّذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يُ َه‬ ُ ‫ص ُروا أُو َٰلَئِ َك َب ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم أَ ْو ِل َيا ُء َب ْع‬ َ َ‫َون‬
‫ص ُر ِإ ََّل‬
ْ َّ‫ِين فَ َعلَ ْي ُك ُم الن‬
ِ ‫ص ُرو ُك ْم فِي الد‬َ ‫اج ُروا ۚ َو ِإ ِن ا ْست َ ْن‬ِ ‫ش ْيءٍ َحت َّ َٰى يُ َه‬ َ ‫َو ََليَ ِت ِه ْم ِم ْن‬
‫ير‬
ٌ ‫ص‬ ِ َ‫َّللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ ب‬ ٌ َ‫علَ َٰى قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َو َب ْي َن ُه ْم ِميث‬
َّ ‫اق ۗ َو‬ َ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad


dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu
satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara
kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Yang dimaksud dalam ayat tersebut yaitu Seseorang yang, meskipun beragama
Islam, belum menghentikan ketaatannya terhadap negara non Islam dan belum
berhijrah ke negara Islam, bukan dan tidak dapat menjadi warga negara Islam.
Sebaliknya, semua orang yang beriman, apakah mereka dilahirkan di negara Islam
atau telah berhijrah ke negara Islam, merupakan warga negara Islam dan menjadi
saudara satu sama lainnya. Di pundak semua warga negara Muslim di negara
Islam terdapat beban tugas untuk menyelenggarakan kehidupan sejalan dengan
tradisi Islam terbaik. Karena hanya merekalah yang secara tersirat dianggap
mempercayai negara tersebut. Hanya kepada mereka sajalah negara menegakkan
hukum-hukumnya secara keseluruhan dan memerintahkan mereka untuk
melaksanakan semua kewajiban agama, moral, budaya dan politik. Negara
membebani mereka semua kewajiban dan meminta pengorbanan mereka untuk
membela dan mempertahankan kemerdekaannya.

4
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan
yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai
komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam
kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam
sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui
pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan
tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam
Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta
benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka
berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai
Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.

2. Zimmi

Kata ahl al-zimmi atau ahl al-zimmah merupakan tarkib idhafi (kata
majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl”, secara bahasa,
berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata ”zimmi/zimmah” berarti janji,
jaminan dan keamanan.3 Seseorang yang mempunyai janji disebut rajulun
zimmiyyun. Zimmah dalam arti janji dapat dilihat pada surat al-tawbah, 9 : 10

َ‫ََل َي ْرقُبُونَ فِي ُمؤْ ِم ٍن ِإ اَل َو ََل ِذ َّمةً َۚوأُو َٰلَ ِئ َك ُه ُم ْال ُم ْعتَد ُون‬

Artinya : Mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-


orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah
orang-orang yang melampaui batas.

Dalam pandangan al-Ghazali ahl al-zimmi adalah setiap ahli kitab yang
telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah.
Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan definisi yang hampir sama dengan al-Ghazali
dengan mendefenisikan ahl al-zimmi sebagai ’orang kafir yang merdeka, baligh,
laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan tidak
gila.’ Al-Unqari (w. 1383 H) mempertegas pendapat diatas dengan menyimpulkan

3
Ibid,hlm.233

5
bahwa ahl al-zimmi adalah orang non-muslim yang menetap di dar al-Islam
dengan membayar jizyah.

Dari ketiga definisi di atas, maka unsur penting untuk menentukan


status seseorang sebagai zimmi adalah non-muslim, baligh, beakal, bukan budak,
laki-laki tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyan kepada pemerintah
Islam. Status zimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian (akad zimmah)
dengan pemerintah Islam. Akad tersbeut dibenarkan dalam Islam, karena
membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini, ahl al-zimmi
dapat hidup berdampingan dengan umat Islam, sehingga secara langsung mereka
menyaksikan ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya. Dengan demikian,
mereka akan tertarik dengan cara-cara kehidupan umat Islam. Selain itu, dari segi
materi keberadaan mereka di dar al-islam dapat menjadi sumber keuangan negara,
karena mereka diwajibkan membayar pajak (jizyah)

Dzimmi (ahl al-dzimmah) adalah penduduk non Muslim dari kawasan


Islam yang melaksanakan hukum Islam (dalam hal yang tidak berhubungan
dengan kepercayaan mereka), menetap untuk selamanya di kawasan Islam tanpa
melihat apa agama dan kepercayaan mereka. Boleh jadi mereka terdiri dari orang
Kristen, Yahudi, Majusi (pemeluk agama Zoroaster), orang-orang sabiah atau
penganut sembahan yang lain atau pula orang-orang yang tidak mempunyai
agama sama sekali (ateis). Mereka mendapatkan jaminan keamanan atas jiwa dan
harta mereka. Mereka berkedudukan sama dengan kaum Muslimin. Islam
meyamakan kaum Muslimin dengan mereka dalam hal-hal yang memang
seharusnya sama. Pada soal-soal yang berhubungan dengan akidah (kepercayaan)
yang mereka anut tentu saja mereka tetap dibebaskan untuk memeluknya.
Menyamakan mereka dengan kaum Muslimin dalam soal-soal yang berhubungan
dengan kepercayaan adalah merupakan bentuk ketidakadilan. Hal itu memang
telah ditetapkan dengan ketentuanketentuan bahwa non Muslim tidak boleh
dipaksa untuk meninggalkan agama mereka dan tidak boleh dipaksa masuk Islam.

6
Seseorang menjadi dzimmi karena adanya perjanjian keamanan. Jaminan
keamanan bagi mereka adalah untuk selama-lamanya, yakni selama mereka
menetap di dar al-Islam. Bagi mereka ada hak untuk tinggal selama-lamanya dan
selama itu pula mereka mendapatkan jaminan keamanan. Ada dua sebab yang
menjadikan seorang non Muslim menjadi dzimmi: pertama, non Muslim yang
memasuki kawasan Islam dan meminta jaminan keamanan serta mereka berniat
untuk tinggal di sana selama-lamanya. Kedua, apabila suatu negara telah
memaklumkan perang terhadap Islam dan kaum Muslimin, kemudian mereka
berhasil dikalahkan oleh kekuatan Islam, lalu penduduknya meminta perlindungan
keamanan dengan tetap berada pada agama mereka dan tetap berdiam di negara
mereka. Di sini pemerintah Islam akan melindungi mereka dari setiap serangan
maupun hinaan dari manapun datangnya.

Ahl al-dzimmah diwajibkan membayar jizyah berdasarkan firman Allah


Swt dalam QS. at-Taubat: 29.

َّ ‫اَّللِ َو ََل ِب ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو ََل يُ َح ِر ُمونَ َما َح َّر َم‬


ُ‫َّللا‬ َّ ‫قَاتِلُوا الَّذِينَ ََل يُؤْ ِمنُونَ ِب‬
َ َ‫طوا ْال ِج ْزيَة‬
‫ع ْن يَ ٍد‬ َ َ‫ق ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ُ ‫اب َحت َّ َٰى يُ ْع‬ ِ ‫سولُهُ َو ََل يَدِينُونَ دِينَ ْال َح‬ ُ ‫َو َر‬
َ ‫َو ُه ْم‬
َ‫صا ِغ ُرون‬

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan


tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberi al-Kitab sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Dalam hal ini memang terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama
mengenai siapa yang boleh menjadi dzimmi dengan imbalan membayar jizyah.
Malik, Auza’i dan ahli fikih Syam berpendapat bahwa semua orang boleh menjadi
dzimmi. Al-Shafi’i berkata: Ahl al-kitab baik orang Arab maupun bukan boleh
menjadi dzimmi, begitu juga orang-orang Majusi. Sedangkan para penyembah
berhala secara mutlak tidak boleh menjadi dzimmi. Menurut Abu Hanifah, bagi

7
orang Arab hanya ada dua pilihan, masuk Islam atau pedang (diperangi). Artinya,
orang-orang Arab tidak boleh menjadi dzimmi. Mereka harus masuk Islam atau
dibunuh. Ibn al-Qoyyim berkata: Orang-orang Majusi adalah orang-orang
musyrik yang tidak mempunyai kitab suci. Dibolehkannya mengambil jizyah dari
mereka menunjukkan diperbolehkan juga mengambil dari semua orang musyrik.
Nabi tidak mengambil jizyah dari orang-orang Arab penyembah berhala karena
mereka telah masuk Islam sebelum turun ayat tentang jizyah. Ayat ini turun
setelah perang Tabuk. Pada waktu itu Rasulullah sudah selesai memerangi
orang-orang Arab karena mereka telah masuk Islam semua. Oleh karena itu,
beliau tidak mengambil jizyah dari orang-orang Yahudi yang memerangi beliau
karena ayat itu belum turun. Sesudah turun, beliau mengambil jizyah dari orang-
orang Arab yang beragama Kristen serta dari orang Majusi. Kalau seandainya
pada waktu itu masih ada penyembah berhala yang membayar jizyah tentulah
beliau akan menerimanya, seperti beliau telah menerimanya dari penyembah
salib, penyembah berhala dan penyembah api.

Di sini tidak perlu lagi diperhatikan adanya pertimbangan bahwa


kekufuran suatu golongan itu lebih berat dari pada kekufuran golongan lain.
Kekufuran penyembah berhala tidak lebih berat daripada kekufuran orang-orang
Majusi, bahkan orang-orang Majusilah yang lebih berat. Para penyembah berhala
meyakini keesaan Allah, tidak ada Pencipta selain Allah. Mereka menyembah
berhala berdasarkan alasan mereka hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka tidak berkata bahwa di alam ini ada dua pencipta, yang satu pencipta
kebaikan dan yang satu pencipta kejelekan, seperti kata orang Majusi. Orang-
orang Arab penyembah berhala tidak menghalalkan mengawini ibu, anak dan
saudara. Mereka adalah sisa-sisa pengikut nabi Ibrahim AS. Sedangkan orang
Majusi pada dasarnya mereka tidak mempunyai kitab suci. Mereka tidak memeluk
agama nabi manapun, baik dalam akidah maupun syariahnya.

Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang Arab adalah beragama dengan


agama Nabi Ibrahim AS, sedangkan Ibrahim mempunyai suhuf (kitab suci) dan
syariat. Pengubahan terhadap agama Ibrahim yang dilakukan oleh orang-orang

8
Arab tidak lebih berat dari pada yang dilakukan oleh orang-orang Majusi terhadap
agama dan kitab yang dibawa oleh nabi mereka (jika memang benar mereka
mempunyai nabi dan kitab suci) karena tidak diketahui dari mereka ketaatan
terhadap satu hal pun dari syariat nabi manapun. Berbeda dengan orang Arab
(mereka masih ada tanda-tanda ketaatan kepada Nabi Ibrahim). Lalu bagaimana
mungkin menganggap orang Majusi lebih baik daripada orang-orang musyrik
Arab.

Di dalam ayat al-Qur’an QS. at-Taubat: 29 tersebut di atas yang


diperbolehkan menjadi dzimmi (yang membayar jizyah) adalah orang-orang yang
tergolong ahl al-kitab (orang-orang Yahudi dan Kristen), ditambah dengan
ketentuan al-sunnah yang memperbolehkan menerima jizyah dari orang-orang
Majusi (Zoroaster). Adapun orang-orang lain dipersamakan dengan orang-orang
Majusi. Oleh karena itu, jizyah ini diambil dari setiap orang, artinya semua
golongan boleh menjadi dzimmi baik mereka itu ahl al-kitab atau orang Majusi,
atau pula yang lain.

Selain Muslim dan dzimmi, ada lagi golongan lain yang juga dibenarkan
berada di kawasan Islam. Golongan ini adalah penduduk kawasan perang (dar al-
harb) yang beragama Islam, memasuki kawasan Islam untuk sementara waktu,
bukan untuk selamanya. Mereka mendapatkan jaminan keamanan atas jiwa dan
harta mereka untuk sementara waktu. Setelah waktu yang diperjanjikan itu habis
maka ia harus segera meninggalkan kawasan Islam dan dia tidak lagi
mandapatkan jaminan keamanan, terkecuali kalau memang ia kemudian
berkehendak untuk berdiam di sana selamanya.

3. Musta’min

Secara bahasa kata “musta’min” merupakan bentuk (pelaku) dari kata


kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman. Dengan

9
demikian, kata ista’mana mengandung pengertian “meminta jaminan keamanan,
dan orang yang meminta jaminan tersebut disebut musta’min.4

Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain
dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim
maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki antara musta’min dan mu’ahid mempunyai
pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar
al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk
tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.

Musta’min yang memasuki wilayah dar al-islam bisa sebagai utusan


perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagang/investor, pembawa jizyah, atau
orang-orang yang berziarah. Mereka yang menetap di dar al-islam dapat berubah
status menjadi zimmi melalui perjanjian yang dibuat dengan pemerintahan islam.

Istilah musta’min dapat digunakan untuk orang-orang islam dan ahl al-
zimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan
keamanan dari pemerintah setempat hal ini diakui selama mereka hanya menetap
sementara ditempat tersebut dan kembali ke dar al-islam sebelum izinnya habis.
Status yang bersangkutan masih tetap muslim selama ia tidak murtad. Bila murtad
maka ia menjadi harbiyun. Sementara itu, ahl al-zimmi yang menetap lama di dar
al-harb berubah status menjadi harbiyun.

Kepada orang Musta’miin atau mu’ahid yang berada dalm negara Darul
Salam, mereka diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum perundang-undangan
negara berlaku, sesuai dengan isi perjanjian internasional yang telah diadakan
secara bilateral antar kedua belah pihak.
Ajaran islam membolehkan dar al-islam menerima permohonan non-
muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surat at-Taubah, 9:6:

ُ‫َّللاِ ث ُ َّم أ َ ْب ِل ْغه‬ َ ‫َو ِإ ْن أ َ َحد ٌ ِمنَ ْال ُم ْش ِركِينَ ا ْست َ َج‬
َّ ‫ار َك فَأ َ ِج ْرهُ َحت َّ َٰى َي ْس َم َع َك ََل َم‬
َِ‫ع َل ُمون‬ْ ‫َمأ ْ َمنَهُ ۚ َٰذَ ِل َك ِبأَنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم ََل َي‬
4
Ibid, hlm.236

10
Artinya :” Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.

Berdasarkan ayat ini, permohonan orang musyrik harbiyun untuk


mendapatkan jaminan keamanandi dar al-islam harus dikabulkan keamanan ini
meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang dilakukannya, bahkan keluarga
mereka juga. Ia tidak hanya dibolehkan menetap di dar al-islam, tetapi juga
melakukan hubungan mu’amalah dengan umat islam serta saling menolong.
Dengan jaminan ini mereka tidak dibebankan membayar jizyah. 5

Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian


jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi
empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi
oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya.
Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan.
Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu
empat tahun.

4. Harbiyun

Kata “harbiyun” berasal dari harb , berarti perang. Kata ini digunakan
untuk pengertian warga negara dar al-harb yang tidak menganut agama islam dan
antara negara islam dengan dar al-harb tersebut tidak terdapat hubungan
diplomatik.

Menurut Syi’ah Imamiyah, istilah harbiyun dipakai untuk non-muslim


selain ahl al-kitab. Pandangan ini berawal dari asumsi bhwa antara islam dan
agama ahl al-kitab memiliki kesmaan, yaitu sama-sama agama safawi yang
berasal dari Allah. Orang-orang harbiyun tidak tejamin keamanannya bila

5
Ibid.hlm.237

11
memasuki dar al-islam, karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah
berdasarkan salah satu dari dua hal, yaitu beriman memeluk agama islam, atau
melalui perjnjian damai.

Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam
perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min,
atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min. Ditinjau dari aspek hukum,
kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure
(secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de
facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Islam merupakan sistem pemikiran dan sekaligus sistem tindakan


dan karena Islam juga bertujuan untuk menciptakan suatu negara
berdasarkan ideologinya maka Islam mengamanatkan empatjenis
kewarganegaraan, yaitu:

a) Muslim

Seseorang yang, meskipun beragama Islam, belum menghentikan


ketaatannya terhadap negara non Islam dan belum berhijrah ke negara
Islam, bukan dan tidak dapat menjadi warga negara Islam.

b) Zimmi
Status zimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian (akad
zimmah) dengan pemerintah Islam. Akad tersbeut dibenarkan dalam
Islam, karena membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan
perjanjian ini, ahl al-zimmi dapat hidup berdampingan dengan umat
Islam, sehingga secara langsung mereka menyaksikan ajaran Islam
yang diamalkan oleh umatnya. Dengan demikian, mereka akan tertarik
dengan cara-cara kehidupan umat Islam.
c) Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah
lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat,
baik ia muslim maupun harbiyun.
d) Harbiyun.
Setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah)
kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun
bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.

13
B. Saran

Menyadari bahwa kamimasih jauh dari kata sempurna, kedepannya


kamiakan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah
daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan kami jelaskan tentang daftar
pustaka makalah.

14
DAFTAR PUSTAKA

al Maududi, Abdul A’la. 1998. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj.
Asep Hikmat. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholis. 2007. Fiqh Siyasah. Jakarta: Yofa Mulia Ofset.

15

Anda mungkin juga menyukai