PENDAHULUAN
1
Abul A’la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 268-269.
1
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami memiliki beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya, diantaranya adalah:
1. Apa pengertian muslim dan dasar hukumnya?
2. Apa pengertian ahl al-zimmi dan dasar hukumnya?
3. Apa pengertian musta’min dan dasar hukumnya?
4. Apa pengertian kaum harbiyun dan dasar hukumnya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian muslim dan dasar hukumnya.
2. Mengetahui pengertian dzimmi dan dasar hukumnya.
3. Mengetahui pengertian musta’min dan dasar hukumnya.
4. Mengetahui pengertian harbiyun dan dasar hukumnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Muslimin
ُ ع َل ْي ُك ْم َوت َ ُكونُوا
ش َهدَا َء َ سو ُل
َ ش ِهيدًا َّ َس َّما ُك ُم ْال ُم ْس ِل ِمينَ ِم ْن قَ ْب ُل َوفِي َٰ َهذَا ِليَ ُكون
ُ الر َ ُه َو
اسِ َّعلَى الن َ
Artinya: “.....Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.”
2
Nurcholis Madjid, Fiqh Siyasah,(Jakarta: Yofa Mulia Ofset,2007),hlm.231
3
Ada dua persyaratan dasar kewarganegaraan sebagaimana ditetapkan
dalam al-Qur’an (QS. al-Anfal: 72)
َّللا َوالَّذِينَ َآو ْوا َ إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوهَا َج ُروا َو َجا َهدُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم فِي
ِ َّ س ِبي ِل
اج ُروا َما َل ُك ْم ِم ْن ِ ض ۚ َوالَّذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يُ َه ُ ص ُروا أُو َٰلَئِ َك َب ْع
ٍ ض ُه ْم أَ ْو ِل َيا ُء َب ْع َ ََون
ص ُر ِإ ََّل
ْ َِّين فَ َعلَ ْي ُك ُم الن
ِ ص ُرو ُك ْم فِي الدَ اج ُروا ۚ َو ِإ ِن ا ْست َ ْنِ ش ْيءٍ َحت َّ َٰى يُ َه َ َو ََليَ ِت ِه ْم ِم ْن
ير
ٌ ص ِ ََّللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ ب ٌ َعلَ َٰى قَ ْو ٍم بَ ْينَ ُك ْم َو َب ْي َن ُه ْم ِميث
َّ اق ۗ َو َ
Yang dimaksud dalam ayat tersebut yaitu Seseorang yang, meskipun beragama
Islam, belum menghentikan ketaatannya terhadap negara non Islam dan belum
berhijrah ke negara Islam, bukan dan tidak dapat menjadi warga negara Islam.
Sebaliknya, semua orang yang beriman, apakah mereka dilahirkan di negara Islam
atau telah berhijrah ke negara Islam, merupakan warga negara Islam dan menjadi
saudara satu sama lainnya. Di pundak semua warga negara Muslim di negara
Islam terdapat beban tugas untuk menyelenggarakan kehidupan sejalan dengan
tradisi Islam terbaik. Karena hanya merekalah yang secara tersirat dianggap
mempercayai negara tersebut. Hanya kepada mereka sajalah negara menegakkan
hukum-hukumnya secara keseluruhan dan memerintahkan mereka untuk
melaksanakan semua kewajiban agama, moral, budaya dan politik. Negara
membebani mereka semua kewajiban dan meminta pengorbanan mereka untuk
membela dan mempertahankan kemerdekaannya.
4
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan
yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai
komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam
kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam
sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui
pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan
tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam
Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta
benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka
berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai
Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Zimmi
Kata ahl al-zimmi atau ahl al-zimmah merupakan tarkib idhafi (kata
majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl”, secara bahasa,
berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata ”zimmi/zimmah” berarti janji,
jaminan dan keamanan.3 Seseorang yang mempunyai janji disebut rajulun
zimmiyyun. Zimmah dalam arti janji dapat dilihat pada surat al-tawbah, 9 : 10
َََل َي ْرقُبُونَ فِي ُمؤْ ِم ٍن ِإ اَل َو ََل ِذ َّمةً َۚوأُو َٰلَ ِئ َك ُه ُم ْال ُم ْعتَد ُون
Dalam pandangan al-Ghazali ahl al-zimmi adalah setiap ahli kitab yang
telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah.
Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan definisi yang hampir sama dengan al-Ghazali
dengan mendefenisikan ahl al-zimmi sebagai ’orang kafir yang merdeka, baligh,
laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan tidak
gila.’ Al-Unqari (w. 1383 H) mempertegas pendapat diatas dengan menyimpulkan
3
Ibid,hlm.233
5
bahwa ahl al-zimmi adalah orang non-muslim yang menetap di dar al-Islam
dengan membayar jizyah.
6
Seseorang menjadi dzimmi karena adanya perjanjian keamanan. Jaminan
keamanan bagi mereka adalah untuk selama-lamanya, yakni selama mereka
menetap di dar al-Islam. Bagi mereka ada hak untuk tinggal selama-lamanya dan
selama itu pula mereka mendapatkan jaminan keamanan. Ada dua sebab yang
menjadikan seorang non Muslim menjadi dzimmi: pertama, non Muslim yang
memasuki kawasan Islam dan meminta jaminan keamanan serta mereka berniat
untuk tinggal di sana selama-lamanya. Kedua, apabila suatu negara telah
memaklumkan perang terhadap Islam dan kaum Muslimin, kemudian mereka
berhasil dikalahkan oleh kekuatan Islam, lalu penduduknya meminta perlindungan
keamanan dengan tetap berada pada agama mereka dan tetap berdiam di negara
mereka. Di sini pemerintah Islam akan melindungi mereka dari setiap serangan
maupun hinaan dari manapun datangnya.
Dalam hal ini memang terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama
mengenai siapa yang boleh menjadi dzimmi dengan imbalan membayar jizyah.
Malik, Auza’i dan ahli fikih Syam berpendapat bahwa semua orang boleh menjadi
dzimmi. Al-Shafi’i berkata: Ahl al-kitab baik orang Arab maupun bukan boleh
menjadi dzimmi, begitu juga orang-orang Majusi. Sedangkan para penyembah
berhala secara mutlak tidak boleh menjadi dzimmi. Menurut Abu Hanifah, bagi
7
orang Arab hanya ada dua pilihan, masuk Islam atau pedang (diperangi). Artinya,
orang-orang Arab tidak boleh menjadi dzimmi. Mereka harus masuk Islam atau
dibunuh. Ibn al-Qoyyim berkata: Orang-orang Majusi adalah orang-orang
musyrik yang tidak mempunyai kitab suci. Dibolehkannya mengambil jizyah dari
mereka menunjukkan diperbolehkan juga mengambil dari semua orang musyrik.
Nabi tidak mengambil jizyah dari orang-orang Arab penyembah berhala karena
mereka telah masuk Islam sebelum turun ayat tentang jizyah. Ayat ini turun
setelah perang Tabuk. Pada waktu itu Rasulullah sudah selesai memerangi
orang-orang Arab karena mereka telah masuk Islam semua. Oleh karena itu,
beliau tidak mengambil jizyah dari orang-orang Yahudi yang memerangi beliau
karena ayat itu belum turun. Sesudah turun, beliau mengambil jizyah dari orang-
orang Arab yang beragama Kristen serta dari orang Majusi. Kalau seandainya
pada waktu itu masih ada penyembah berhala yang membayar jizyah tentulah
beliau akan menerimanya, seperti beliau telah menerimanya dari penyembah
salib, penyembah berhala dan penyembah api.
8
Arab tidak lebih berat dari pada yang dilakukan oleh orang-orang Majusi terhadap
agama dan kitab yang dibawa oleh nabi mereka (jika memang benar mereka
mempunyai nabi dan kitab suci) karena tidak diketahui dari mereka ketaatan
terhadap satu hal pun dari syariat nabi manapun. Berbeda dengan orang Arab
(mereka masih ada tanda-tanda ketaatan kepada Nabi Ibrahim). Lalu bagaimana
mungkin menganggap orang Majusi lebih baik daripada orang-orang musyrik
Arab.
Selain Muslim dan dzimmi, ada lagi golongan lain yang juga dibenarkan
berada di kawasan Islam. Golongan ini adalah penduduk kawasan perang (dar al-
harb) yang beragama Islam, memasuki kawasan Islam untuk sementara waktu,
bukan untuk selamanya. Mereka mendapatkan jaminan keamanan atas jiwa dan
harta mereka untuk sementara waktu. Setelah waktu yang diperjanjikan itu habis
maka ia harus segera meninggalkan kawasan Islam dan dia tidak lagi
mandapatkan jaminan keamanan, terkecuali kalau memang ia kemudian
berkehendak untuk berdiam di sana selamanya.
3. Musta’min
9
demikian, kata ista’mana mengandung pengertian “meminta jaminan keamanan,
dan orang yang meminta jaminan tersebut disebut musta’min.4
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain
dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim
maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki antara musta’min dan mu’ahid mempunyai
pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar
al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk
tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
Istilah musta’min dapat digunakan untuk orang-orang islam dan ahl al-
zimmi yang memasuki wilayah dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan
keamanan dari pemerintah setempat hal ini diakui selama mereka hanya menetap
sementara ditempat tersebut dan kembali ke dar al-islam sebelum izinnya habis.
Status yang bersangkutan masih tetap muslim selama ia tidak murtad. Bila murtad
maka ia menjadi harbiyun. Sementara itu, ahl al-zimmi yang menetap lama di dar
al-harb berubah status menjadi harbiyun.
Kepada orang Musta’miin atau mu’ahid yang berada dalm negara Darul
Salam, mereka diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum perundang-undangan
negara berlaku, sesuai dengan isi perjanjian internasional yang telah diadakan
secara bilateral antar kedua belah pihak.
Ajaran islam membolehkan dar al-islam menerima permohonan non-
muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan surat at-Taubah, 9:6:
َُّللاِ ث ُ َّم أ َ ْب ِل ْغه َ َو ِإ ْن أ َ َحد ٌ ِمنَ ْال ُم ْش ِركِينَ ا ْست َ َج
َّ ار َك فَأ َ ِج ْرهُ َحت َّ َٰى َي ْس َم َع َك ََل َم
َِع َل ُمونْ َمأ ْ َمنَهُ ۚ َٰذَ ِل َك ِبأَنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم ََل َي
4
Ibid, hlm.236
10
Artinya :” Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.
4. Harbiyun
Kata “harbiyun” berasal dari harb , berarti perang. Kata ini digunakan
untuk pengertian warga negara dar al-harb yang tidak menganut agama islam dan
antara negara islam dengan dar al-harb tersebut tidak terdapat hubungan
diplomatik.
5
Ibid.hlm.237
11
memasuki dar al-islam, karena terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah
berdasarkan salah satu dari dua hal, yaitu beriman memeluk agama islam, atau
melalui perjnjian damai.
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam
perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min,
atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min. Ditinjau dari aspek hukum,
kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure
(secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de
facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a) Muslim
b) Zimmi
Status zimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian (akad
zimmah) dengan pemerintah Islam. Akad tersbeut dibenarkan dalam
Islam, karena membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan
perjanjian ini, ahl al-zimmi dapat hidup berdampingan dengan umat
Islam, sehingga secara langsung mereka menyaksikan ajaran Islam
yang diamalkan oleh umatnya. Dengan demikian, mereka akan tertarik
dengan cara-cara kehidupan umat Islam.
c) Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah
lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat,
baik ia muslim maupun harbiyun.
d) Harbiyun.
Setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah)
kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun
bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
13
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
al Maududi, Abdul A’la. 1998. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj.
Asep Hikmat. Bandung: Mizan.
15