Anda di halaman 1dari 7

No.

1
kebebasan ( al- h urriyyah atau liberty ) dalam Islam, asal mulanya adalah konsep
ikhtiyar dan taqdir , yang berkaitan dengan kebebasan atau tidaknya manusia dalam melakukan
perbuatannya, dalam term teologi atau agama. Kemudian setelah terjadinya kontak dengan dunia
barat konsep tersebut berkembang menjadi lebih luas cakupannya. Seperti kebebasan berekspresi
atau mengemukakan pendapat, berfikir, kebebasan berpolitik atau kebebasan ekonomi. Dalam
tulisan ini, penulis akan membahas lebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat; kebebasan
beragama; kebebasan berpolitik, meliputi hak memilih pemimpin, hak mengawasi dan
mengontrol pemerintah; dan kebebasan ekonomi. Kebebasan dalam Islam lebih terbatas dan
terarah, atau dengan kata lain bebas tapi terikat. Berbeda dengan demokrasi liberal menekankan
kemampuan berbuat tanpa batas.
Manusia adalah makhluk yang istimewa. Ia diberikan kekuatan untuk bisa melakukan
keinginannya sendiri. Berbeda dengan makhluk yang lain, manusia mampu untuk menentukan
sendiri arah hidupnya (Anwar, 2010, h. 52). Manusia adalah khalifatullah di muka bumi ini.
Manusia diberikan kebebasan untuk berbuat baik maupun berbuat buruk. Jika manusia berbuat
baik, maka Allah akan memberinya pahala. Sebaliknya, jika manusia berbUse the "Insert
Citation" button to add citations to this document. uat buruk maka ia akan mendapatkan dosa.
Pahala dan dosa ini sangat erat kaitannya dengan keadilan Allah. Secara etis, Allah pantas
menyiksa orang yang berbuat buruk dan memberikan nikmat kepada orang yang berbuat baik
(al-Baiju>ri, 2014, h. 178). Allah Sang Maha Pencipta, disebutkan dalam Alquran menciptakan
manusia bersama dengan amal perbuatannya. Ini bisa dilihat dalam Qs. Ash-Shaffat: 96 yang
berbunyi: (Allah menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan. Dari ayat ini, bisa kita lihat
bahwa kekuasaan Allah itu mutlak mencakup kepada segala hal, termasuk perbuatan manusia itu
sendiri.)
No. 2
Agama Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil dan tidak
memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo) kecuali dalam keadaan
darurat (mendesak), yaitu tatkala seorang tidak mampu mengetahui dan mengenal dalil dengan
pasti. Hal ini berlaku dalam seluruh permasalahan agama, baik yang terkait dengan akidah
maupun hukum (fikih).

Oleh karena itu, seorang yang mampu berijtihad dalam permasalahan fikih, misalnya,
tidak diperkenankan untuk bertaklid. Demikian pula seorang yang mampu untuk meneliti
berbagai nash-nash syari’at yang terkait dengan permasalahan akidah, tidak diperbolehkan untuk
bertaklid.

Mengapa Taklid Tidak Diperkenankan?

Agama ini tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid pada suatu pendapat tanpa
memperhatikan dalilnya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama: Allah ta’alla memerintahkan para hamba-Nya untuk memikirkan (bertafakkur)


dan merenungi (bertadabbur) ayat-ayat-Nya. Allah ta’alla berfirman,

‫ق فِي إِن‬ ِ ‫ت خ َْل‬


ِ ‫اوا‬
َ ‫ض الس َم‬ ِ ‫اخت ََِلفِ َو ْاْل َ ْر‬
ْ ‫ار الل ْي ِل َو‬ ِ ‫ب ِْلُولِي ََلَيَات َوالن َه‬ ِ ‫( ْاْل َ ْلبَا‬190) َ‫علَى َوقُعُودًا قِيَا ًما ّللاَ يَذْكُ ُرونَ الذِين‬
َ ‫َو‬
ِ ‫ت خ َْل‬
‫ق فِي َويَتَفَك ُرونَ ُجنُوبِ ِه ْم‬ ِ ‫اوا‬ َ ‫ض الس َم‬ ِ ‫اب فَ ِقنَا سُ ْب َحانَكَ بَاطِ ًَل َهذَا َخلَ ْقتَ َما َربنَا َو ْاْل َ ْر‬
َ َ ‫عذ‬
َ ‫ار‬
ِ ‫( الن‬191)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali
Imran: 190-191).
Kedua: Allah ta’alla mencela taklid dan kaum musyrikin jahiliyah yang mengekor perbuatan
nenek moyang mereka tanpa didasari ilmu. Allah ta’alla berfirman,

َ ‫علَى َوإِنا أُمة‬


‫علَى آَبَا َءنَا َو َجدْنَا إِنا قَالُوا بَ ْل‬ ِ َ‫ُم ْهتَد ُو َن آَث‬
َ ‫ار ِه ْم‬

“Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama,

dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).

Allah ta’alla juga berfirman,

‫ارهُ ْم ات َخذُوا‬ ِ ‫عما سُ ْب َحانَهُ ه َُو إِّل إِلَهَ َّل َواحِ دًا إِلَ ًها ِليَ ْعبُد ُوا إِّل أُم ُِروا َو َما َم ْريَ َم ابْنَ َو ْال َمسِي َح ّللاِ د‬
َ ‫ُون م ِْن أ َ ْربَابًا َو ُر ْهبَانَ ُه ْم أ َ ْح َب‬ َ
َ‫يُ ْش ِركُون‬

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah dan

(juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).

Ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi yang mempertuhankan para ulama dan
rahib mereka dalam hal ketaatan dan ketundukan. Hal ini dikarenakan mereka mematuhi ajaran-
ajaran ulama dan rahib tersebut dengan membabi buta, walaupun para ulama dan rahib tersebut
memerintahkan kemaksiatan dengan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
[lihat hadits riwayat. At-Tirmidzi no. 3096 dari sahabat ‘Ady bin Hatim].

Ketiga: Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk
mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman,

ُ ‫َي ْخ ُر‬
‫صونَ ِإّل هُ ْم َو ِإ ْن الظن ِإّل َيت ِبعُونَ ِإ ْن‬
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah

berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116).

No.3

peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani adalah dengan menerapkan
lima prinsip dasar yaitu muakkah, ikatan iman, ikatan cinta, persamaan si kaya dan si miskin dan
toleransi umat beragama.

Masayrakat madani adalah masyarakat yang beradab. Wujud masayrakat madani dapat
dilihat dari kehidupan bernegar dimana didalamnya terdiri dari berbagai macam orang yang
berbeda etnis, suku maupun agama. sebuah contoh masyarakat madani adlaah bagaimana
kehidupan madinah dibawah Kepemimpinan Rasulullah , yang mana dicontohkan dalam sebuah
perjanjian antara orang- orang muslim dan orang-orang yahudi yang tinggal di madinah. Saat itu
Rasulullah dengan syariat islamnya telah merubah bentuk kehidupan social masyarakat di jazirah
arab, dengan mencontohkan bahwa dalam sebuah negara , yaitu madinah , orang-orang yang
berbeda-beda dapat hidup bverdampingan dan mendapat hak yang dijamin oleh pemerintahan.

peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani adalah dengan menerapkan lima
prinsip dasar yaitu muakkah, ikatan iman, ikatan cinta, persamaan si kaya dan si miskin dan
toleransi umat beragama.

1. Muakhah atau persaudaran, yaitu mmemandang seluruh orang muslim sebagai suadara,
sebagaimana perintah ALLAH dalam surah al hujurat ayat 10. Dimana telah dicontohkan
Rasulullah dengan memepersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang anshor.
2. Ikatan iman, yaitu menjadikan ikatan keimanan sebagai dasar yang paling kuat dalam
membentuk keharmonisan dalam masyarakat. Sehingga setipa warga negara diikat oleh kalimat
yang sama yaitu kalimat syahadat, bahkan diharamkan darah , harta dan menganggu kehormatan
diantara orang-orang islam.

3. Ikatan cinta, yaitu memupukkan paham nasionalisme, dimana kepahaman akan cinta
tanah air merupakan bagian dari iman. Maka setiap warga masyarakat punya ras memiliki
terhadapat masayrakat tersebut. sebagaimana Rasulullah memimpin madinah berlandaskan cinta
dan rasa tolong – menolong

4. Persamaan si kaya dan si miskin, yaitu menyempitkan jurang pembatas antara si kaya
dan si miskin, berdasrkan ikatan iman dengan cara menerapkan zakat, sehingga masyarakat
menjadi sejahtera karena harta tiap orang dapt digunakan untuk orang lain yang membutuhkan.

5. Toleransi umat beragama, yaitu menerapkan hukum islam sebagai landasan toleransi,
dimana rasulullah begitu menekankan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak
melawan atau dalam perlindungan negara, bahkan memberi ancaman yang berat bagi orang-
orang islam yang mendzolimi orang kafir.

No. 4

Prinsip-prinsip kebebasan manusia di dalam Islam adalah manusia diberikan kebebasan


apapun untuk memilih apa yang menjadi pilihannya, berbuat apa yang ingin ia perbuat. Namun
semua itu akan ada konseskuensinya yang harus dia petanggungjawbkan di akhirat.

Manusia adalah makhluk yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala ciptakan untuk menjadi khalifah
di muka bumi ini. Setiap manusia tidak akan pernah lepas dari takdir yang sudah Allah
Subhanahu Wa Ta'ala tetapkan. Akan tetapi karena dia tidak mengetahui takdir tersebut, maka
manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apapun sesuka hatinya. Namun perlu diingat
bahwasanya setiap apapun yang kita lakukan ini akan ada balasannya baik itu di dunia terlebih di
akhirat kelak. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman di dalam surat Fussilat ayat 41 yang
berbunyi:

 ‫علَ ْينَا يَ ْخف َْونَ َّل ٰا ٰيتِنَا فِ ْي ي ُْلحِ د ُْونَ ال ِذيْنَ اِن‬ ِ ‫بِ َما اِنهۙ ِشئْت ُ ْم َما اِ ْع َملُ ْوا ْال ِق ٰي َم ِة ي ْو َم ٰامِ نًا يأْتِ ْي اَم ْن َخيْر الن‬
َ ‫ار فِى ي ُّْل ٰقى اَفَ َم ْن‬
َ‫صيْر ت َ ْع َملُ ْون‬
ِ َ‫ – ب‬٤٠

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, mereka tidak


tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka yang lebih baik
ataukah mereka yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Lakukanlah apa yang
kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Kemudian pada surat Az Zalzalah ayat 7-8 Allah Berfirman:

 ‫ – ي َره َخي ًْرا ذَرة مِثْقَا َل ي ْع َم ْل فَ َم ْن‬٧

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya,

 ‫ ࣖ ي َره ش ًَّرا ذَرة مِثْقَا َل ي ْع َم ْل َو َم ْن‬- ٨

dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Begitulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada
seluruh manusia.
Selain itu dalam salah satu hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, beliau pernah
didatangi malaikat Jibril yang kemudian memberikan nasihat yaitu:

 ْ ‫ ميِت فإنك شئتَ ما ع‬، ْ‫ شئتَ ما وأحبِب‬، ‫فارقُه فإنك‬


‫ جبري ُل أتاني‬، ‫ فقال‬: ‫ِش محمد ُ يا‬ ْ
ِ ‫ ُم‬، ‫واعمل‬ ‫جزي فإنك شئتَ ما‬
ِ ‫َم‬
‫ به‬، ‫ف أن واعل ْم‬
َ ‫شر‬
َ ‫المؤمن‬
ِ ‫ باللي ِل قيا ُمه‬، ‫الناس عن استغناؤه وعِزه‬
ِ “

Jibril Alaihissallam pernah datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, “Hai Muhammad! Hiduplah sesukamu, sesungguhnya kematian pasti akan
menjemputmu. Cintailah siapa saja yang engkau senangi, sesungguhnya engkau pasti akan
berpisah dengannya. Dan beramallah semaumu, sesungguhnya engkau akan menuai
balasannya”. Kemudian Jibril berpesan, “Hai Muhammad, kemuliaan seorang Mukmin terletak
pada shalat malam dan kehormatannya adalah pada saat ia tak lagi bergantung pada manusia.”
[HR. Thabrani dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam silsilah ahâdîtsis
shahîhah, no. 831

Anda mungkin juga menyukai