Anda di halaman 1dari 15

SUMBER KEUANGAN NEGARA II

(GHANIMAH, JIZYAH, FAI’, USYUR AL-TIJARAH)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Siyasah Pada
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah) Fakultas Syariah Dan
Hukum Islam IAIN Bone

Dosen Pengampu : Ma’adul Yaqien Makkarateng, S.H.I, M.H.

Oleh :

Rezi Fatiha Kirana


742352021086

Muhammad Ikmal
742352021087

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN BONE)

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa, atas rahmat

dan ridho-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dan

salawat beriring salam disampaikan kepada nabi besar kita yakni Nabi

Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang diberikan

oleh bapak Ma’adul Yaqien Makkarateng, S.H.I, M.H.

Pembuatan makalah ini bertujuan memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah

Fiqh Siyyasah II yang membahas mengenai “Ghanimah, Jizyah, Fai’, Usyur al-

Tijarah”. Adapun sumber-sumber dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari

beberapa jurnal yang membahas tentang materi yang berkaitan. Kami menyadari

bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitupun dengan kami yang masih

mahasiswa.

Hanya Allah pemilik dari segala kesempurnaan. Olehnya itu, segala

masukan dan kritik sangat diharapkan dari para pembaca sekalian demi

penyempurnaan makalah ini.

Watampone, 18 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2

A. Ghanimah .................................................................................................. 2
B. Jizyah......................................................................................................... 4
C. Fai’ ........................................................................................................... 8
D. Usyur al-Tijarah ........................................................................................ 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11

Kesimpulan ........................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara sektor perpajakan pada masa awal pertumbuhan dan


perkembangan islam berarti berbicara soal sistem pemerintahan. Karena di
dalam sistem pemerintahan ada terselip bangunan organisasi dan
manajemen. Agar roda organisasi dan sistem pemerintahan berjalan, maka
dibutuhkan yang namanya anggaran pendapatan dan belanja. Itulah
sebabnya muncul yang dinamakan manajemen keuangan. Manajemen
keuangan yang berhubungan dengan hasrat hidup orang banyak dibawah
naungan sistem pemerintahan disebut juga dengan manajemen keuangan
publik.

Ada beberapa sumber keuangan publik yang dikenal dalam nash al-
Qur’an. Awalnya sumber keuangan itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu
yang berasal dari kaum muslimin terdiri dari zakat/shadaqah. Sementara itu
sumber keuangan yang berasal dari non-muslimin didapatkan dari
ghanimah. Dari kedua sumber ini, selanjutnya berkembang berbagai macam
sumber lainnya yang merupakan turunan dari kedua sumber tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ghanimah?
2. Apa yang dimaksid dengan Jizyah?
3. Apa yang dimaksud dengan Fai’?
4. Apa yang dimaksud dengan Usyur al-Tijarah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan dari Ghanimah
2. Untuk mengetahui penjelasan dari Jizyah
3. Untuk mengetahui penjelasan dari Fai’
4. Untuk mengetahui penjelasan dari Usyur al-Tijarah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ghanimah
1. Definisi Ghanimah

Dalam terminologi fikih, ghanimah merupakan harta yang diperoleh


dari musuh Islam melalui peperangan dan pertempuran yang dimana
pembagiannya diatur oleh agama. Apabila dilihat dari sejarah perang,
kebiasaan ini telah dikenal sejak zaman sebelum islam atau pada zaman
jahiliah. Adapun, bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil bisa
berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, ataupun tawanan perang,
dan akan dibagikan kepada orang yang ikut serta berperang dengan
bagian terbesar untuk pemimpin. Namun setelah islam masuk adat
kebiasaan yang sudah berjalan jauh ini pun dikukuhkan dan dinyatakan
sebagai harta yang halal, tentunya dengan perbaikan-perbaikan dalam
cara pembagiannya.

Menurut Muhammad Rawwas, ghanimah adalah harta yang


dirampas dari orang-orang Islam dari tentara kafir dengan jalan perang.
Dalam ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar bin Khattab
sebagai contoh ketika menaklukan negeri Syam. Sebelumnya, ghanimah
selalu dibagikan setelah usai perang kepada para Mujahid (orang yang
ikut perang). Namun Umar bin Khattab berani mengambil keputusan
yang kontroversial, ghanimah tidak dibagikan kepada kaum muslimin
seluruhnya tetapi diberikan kepada penduduk setempat, sekalipun dia
kafir namun yang dia harus membayar jizyah (pajak), maka orang
tersebut disebut kafir dzimmiy, yaitu orang kafir yang taat mengikuti
peraturan pemerintah Islam.

2. Landasan Hukum Ghanimah

Mengambil harta melalui jalan perang ini hukumnya halal dan


diperbolehkan dalam Islam. Hukum halalnya mengambil harta melalui

2
jalan perang ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah yang
artinya:

“Allah memberi saya lima hal, yang nabi-nabi sebelum saya tidak
mendapatkannya. Dijadikan bagiku bumi ini sebagai tempat sujud dan
suci, maka di mana saja seseorang dari umatku dipanggil salat, maka
salatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah, sementara bagi umat
sebelumku tidak dihalalkan…”

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ditetapkan bahwa jenis


harta yang boleh diambil oleh pasukan Islam yang telah memenangkan
peperangan adalah harta bergerak saja. Alasannya, harta bergerak inilah
yang sesuai dengan ‘urf (kebiasaan). Penegasan Umar untuk hanya
mengambil harta yang bergerak terlihat dari kandungan suratnya kepada
Sa’ad bin Abi Waqqas (Panglima perangnya dalam menaklukkan Irak).
Dalam surat tersebut Umar secara tegas menginstruksikan agar
ghanimah yang diambil hanya yang berupa harta bergerak, tidak
termasuk tanah mereka. Dalam kaitan ini ucapan Umar yang sangat
terkenal adalah: “Kalau seluruh harta dan kekayaan mereka (bergerak
dan tidak bergerak) diambil, lalu dengan apa mereka hidup?”

3. Aturan Pembagian Ghanimah

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diperoleh dari


peperangan itu harus di bagi ke wilayah Islam. Alasannya adalah karena
pemilikan harta yang diperoleh dari peperangan ini tidak sempurna
kecuali setelah dibawa ke wilayah Islam.

Berbeda dengan jumhur ulama (Mazhab Syafi’I, Maliki, dan


Hanbali), ulama Mazhab Az-Zahiri, ulama Syiah Zaidiah dan Imamiah
berpendapat bahwa imam boleh membagi harta yang diperoleh dari
peperangan di wilayah musuh, dengan alasan Nabi SAW melakukan hal
yang demikian pada Perang Hunaian (HR. Bukhari dan Tabrani) dan
perang Bani Mustaliq (HR. Baihaqi).

3
Adapun, alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT
pada surat Al-Anfaal ayat 41 dan 69. Ayat 41 surat itu secara jelas
memuat siapa saja yang akan mendapatkan ghanimah tersebut.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil
(orang yang terlantar di perjalanan)…”

Di samping itu, ulama juga sepakat bahwa harta rampasan yang


sudah dikuasai dan belum dibawa ke wilayah Islam yaitu berupa barang
konsumsi (makanan dan minuman), boleh dimanfaatkan, termasuk kayu
bakar.

Alasan yang dianut jumhur ulama adalah firman Allah SWT pada surat
Al-Anfaal ayat 69 yang artinya: “Maka makanlah dari sebagian
rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang
halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah…”

Sejalan dengan itu Ibnu Umar berkata, “Dalam salah satu peperangan
kami memperoleh madu dan anggur, kemudian kami makan dan tidak
kami bagi-bagi.” (HR. Bukhari)

Mazhab Hanafi, pembagian tersebut untuk memenuhi kebutuhan


umum para tentara baik kaya maupun miskin. Apabila di luar barang-
barang konsumtif itu, ulama juga sepakat bahwa harta itu tidak boleh
dimanfaatkan oleh tentara, apabila terdapat harta ghanimah, seperti
senjata atau hewan, yang tidak mungkin dibawa ke wilayah Islam karena
adanya kesulitan tertentu, maka tentara Islam diperintahkan untuk
menyembelih dan merusak senjata itu. Hal itu dimaksudkan agar
barang-barang itu tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh musuh.

B. Jizyah

1. Definisi Jizyah

Kata jizyah berasal dari kata jazaa – yajzi u – jazaa an yang


berarti mencukupi dan menghukum. Sedang menurut istilah yaitu

4
sejumlah harta yang dibebankan pada orang yang berada di bawah
tanggungan kaum Muslimin dan melakukan perjanjian dengan mereka
(muslimin) dari Ahlul Kitāb. Jizyah adalah hak yang diberikan Allah
kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya
mereka kepada Islam. Apabila orang-orang kafir itu telah memberikan
jizyah, maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta
mereka. Ketentuan jizyah ini berlandaskan firman Allah yang berbunyi:

‫س ْولُهٗ َو َل‬ ٰ ْ ‫اّٰلل َو َل بِ ْاليَ ْو ِم‬


‫الخِ ِر َو َل يُ َح ِر ُم ْونَ َما َح َّر َم ه‬
ُ ‫ّٰللاُ َو َر‬ ِ ‫قَاتِلُوا الَّ ِذيْنَ َل يُؤْ مِ نُ ْونَ بِ ه‬

َ‫ع ْن يَّ ٍد َّوهُ ْم صٰ غ ُِر ْون‬َ َ‫طوا ْال ِج ْزيَة‬ُ ‫ب َحتهى يُ ْع‬ َ ‫ق مِ نَ الَّ ِذيْنَ ا ُ ْوتُوا ْال ِك ٰت‬
ِ ‫يَ ِد ْينُ ْونَ ِديْنَ ْال َح‬
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS. At-Taubah:
29)

2. Pihak Pembayar Jizyah

Pembayar Jizyah Jizyah di ambil dari ahlu Kitab, yaitu orang-


orang Yahudi dan Nasrani berdasarkan firman Allah SWT:

َ ‫مِ نَ الَّ ِذيْنَ ا ُ ْوتُوا ْال ِك ٰت‬


‫ب‬

“(yaitu orang-orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka”


(QS. At-Taubah : 29).

Baik itu orang-orang Yahudi dan Nasrani Arab maupun orang-orang


Yahudi dan Nasrani bukan Arab. Rasulullah SAW telah mengambil
jizyah dari orang Yahudi Yaman dan dari orang Nasrani Najran. Dari
‘Urwah bin Zubair, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah menulis
surat kepada penduduk Yaman. Surat itu berbunyi: “Barangsiapa yang
telah memeluk agama Yahudi atau Nasrani tidak ada fitnah baginya dan
wajib baginya membayar jizyah”.

5
Jizyah juga di pungut dari orang-orang selain ahlu Kitab seperti Majusi,
Shābi‘ah, Hindu dan orang-orang komunis, karena Rasulullah SAW
telah mengambil jizyah dari orang Majusi Hajar. Bukhari dan Tirmizi
meriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf, bahwa Nabi SAW
mengambil jizyah dari orang-orang Majusi Hajar. Dan Tirmizi
meriwayatkan bahwa Nabi SAW memungut jizyah dari orang Majusi
Bahrain dan Umar RA memungutnya dari orang Persia dan Usman
memungutnya dari orang Persia dan Barbar.

Jizyah di ambil dari orang laki-laki yang sehat akalnya, mukallaf (sudah
balig) dan merdeka. Artinya, dari orang yang mampu dan kaya. Maka,
jizyah tidak wajib atas wanita, anak kecil, hamba sahaya, dan orang gila.
Sebagaimana juga jizyah tidak wajib bagi orang miskin yang perlu di
beri sedekah, orang yang tidak mampu bekerja, orang buta, orang yang
tidak bisa bangun dari tempat duduk dan lain-lainnya yang cacat berat.
Jizyah juga tidak wajib atas pendeta-pendeta di gereja kecuali jika
mereka termasuk orang kaya.

3. Besarnya Jumlah Jizyah

Besarnya pungutan jizyah menurut Imam Hanafi dan Hanbali


adalah sesuai dengan kemampuan orang yang dibebani, orang kaya
diwajibkan membayar 48 dirham, kelas menengah diwajibkan baginya
24 dirham sedang orang fakir hanya diwajibkan 12 dirham saja.
Ketentuan ini didasarkan apa yang dilakukan oleh Umar RA.

Imam Syafi‘i berpendapat dan sebagian riwayat dari Ahmad:


“Bahwasannya ada ketentuan minimal saja, yaitu satu dinar, adapun
maksimal tidak ditentukan, hal ini diserahkan kepada ijtihad para
gubernur”. Pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Ahmad
dan ini yang kuat: “Sesungguhnya tidak ada batas minimal dan batas
maksimal, persoalannya diserahkan kepada ijtihad para gubernur untuk
menentukan kewajiban bagi tiap-tiap pribadi sesuai dengan

6
keadaannya”. Tidak dibenarkan seseorang dibebankan di atas
kemampuannya.

Mengenai penggolongan istilah kaya, menengah dan miskin


tidak ada bukti sejarah yang mengungkapkan mengenai hal ini. Akan
tetapi, dalam penafsiran Al-Tahawi dinyatakan bahwa orang-orang yang
memiliki 10.000 dirham atau lebih termasuk kategori orang kaya,
sementara orang yang memiliki harta senilai 200 dirham ke atas di sebut
golongan menengah, dan bagi orang yang memiliki kurang dari 200
dirham tergolong orang miskin. Dengan adanya perbedaan besarnya
jumlah jizyah yang di pungut dapat disimpulkan bahwa besarnya
pungutan tergantung ijtihad para khalifah dan gubernur yang berkuasa
di daerah kekuasaannya. Besarnya yang di ambil disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing individu, tidak ada batas minimal dan
maksimal. Hanya saja Imam Syafi‘i mengatakan batas minimal adalah
satu dinar. Adapun mengenai waktu pembayaran jizyah menurut Imam
Hanafi, jizyah wajib di bayar pada awal tahun, karena untuk melindungi
kaum Zhimmi di masa mendatang. Sedangkan selain Imam Hanafi,
semua mazhab berpendapat bahwa jizyah di bayar pada akhir tahun jika
sudah mencapai haul seperti halnya zakat.

4. Penghentian Jizyah

Jizyah tidak di pungut lagi bagi yang telah masuk Islam. Jadi,
siapa saja yang memeluk Islam maka gugurlah kewajiban jizyah dari
dirinya, baik ia masuk Islam pada awal tahun, pertengahannya, akhir
tahun maupun telah lewat satu tahun. Tidak ada lagi kewajiban jizyah
atasnya sedikit pun, karena Allah SWT berfirman yang artinya;

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti


(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang
dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (QS. Al-Anfāl: 38).

Ibnu Abbas telah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwasanya beliau


bersabda: ” Tidak ada kewajiban jizyah bagi muslim”.

7
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Zaidiyah Jizyah gugur
karena kematian. Karena, jizyah menurut pandangan mereka adalah
hukuman. Sedang menurut golongan Syafi‘iyah dan Hanabilah jizyah
tidak gugur karena kematian. Maka harus di ambil dari harta
peninggalannya. Karena, jizyah seperti halnya hutang yang harus di
bayar

C. Fai’
1. Definisi Fai’
“Fai” secara bahasa bermakna naungan (‫)الظل‬, kumpulan (‫)الجمع‬,
kembali (‫)الرجوع‬, ghanimah, kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh
Allah kepada pemeluk agama-Nya yang berasal dari harta-harta orang
yang berbeda agama tanpa peperangan. Secara istilah harta Fai’ adalah
harta-harta yang didapatkan dari non muslin dengan cara damai tanpa
peperangan. Sedangkan harta yang diperoleh dari musuh Islam dalam
peperangan disebut ghonimah.

Fa’i secara etimologi berati pajak. Secara epistimologi fa’i


berarti harta yang diperoleh dari musuh non-muslim bukan dari
peperangan, tetapi orang-orang non-muslim memberikannya secara
suka rela dan ikhlas (tanpa ada unsur paksaan dari mereka setelah
adanya perjanjian dengan pemerintah Islam). Termasuk kedalam harta
fa’i adalah harta jizyah (pajak yang di pungut dari non muslim). Dan
kharaj (pajak tanah), hibah, harta warisan kaum dzimmi yang tidak
mempunyai ahli waris dan sebagainya.

Harta fai’ dengan harta ghanimah ada kesamaan dari dua segi
dan ada perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya
adalah: Pertama, kedua harta itu didapatkan dari kalangan orang non-
muslim, Kedua, penerima bagian seperlima adalah sama. Adapun segi
perbedaannya adalah: Pertama, harta fai’ diberikan dengan suka rela,
sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat

8
perlima bagian dari harta fai’ berbeda penggunaannya dengan empat
perlima bagian dari ghanimah.

2. Landasan Hukum
Fai disyariatkan melalui firman Allah

ُ‫سلَه‬ ُ ‫س ِل‬
ُ ‫ط ُر‬ َّ ‫ب َو ٰلَك‬
َ َّ ‫ِن‬
َ ُ‫ّٰللا ي‬ َ ‫سو ِل ِه مِ ْن ُه ْم فَ َما أ َ ْو َج ْفت ُ ْم‬
ٍ ‫علَ ْي ِه مِ ْن َخ ْي ٍل َو َل ِركَا‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫َو َما أَفَا َء‬
َ ُ‫ّٰللا‬
َّ ِ َ ‫سو ِل ِه مِ ْن أَ ْه ِل ْالقُ َر ٰى‬
ِ‫ِلَف‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫ َّما أَفَا َء‬.‫ِير‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ٌ ‫ش ْيءٍ قَد‬ َ ‫علَ ٰى ُك ِل‬ َّ ‫علَ ٰى َمن يَشَا ُء ۚ َو‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ
َ‫س ِبي ِل َك ْي َل يَ ُكونَ دُو َلةً بَيْن‬َّ ‫ِين َواب ِْن ال‬ ِ ‫ساك‬َ ‫سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَ ٰى َو ْاليَت َا َم ٰى َو ْال َم‬
ُ ‫ِلر‬
َّ ‫َول‬
‫ْاْل َ ْغ ِن َياءِ مِ ن ُكم‬

Artinya: “Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan
(tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-
Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu”. (QS. Al-Hasyr: 6-7)

D. Usyur al-Tijarah

1. Definisi Usyur

Usyur secara bahasa berasal dari kata asyara – asyran – wa


usyuw ruu yang dapat diartikan sebagai mengambil dan menambah.
Sedang secara istilah Usyur adalah harta perdagangan yang di ambil dari
kaum Zimmah dan kaum Harbi yang melewati perbatasan negara
Khilafah. Orang yang bertugas memungutnya di sebut ‘Āsyir (petugas

9
bea cukai). Dalam konteks perekonomian modern, ‘usyūr identik
dengan pajak ekspor-impor atau bea cukai.

2. Pihak Pembayar Usyur

Umar RA menentukan pedagang yang di ambil ‘usyūr, di mana


Ziyad bin Hudair meriwayatkan, “Bahwa Umar bin Al-Khattab
mengutusnya dalam masalah ‘usyūr ke Irak dan Syam, dan
memerintahkannya untuk mengambil 2.5% dari kaum Muslim, 5% dari
kaum Zimmi, dan 10% dari kafir Harbi”. Dari riwayat tersebut dapat
dibedakan antara tiga kelompok pedagang yaitu pedagang Muslim,
pedagang dari kalangan ahlu Zhimmah, dan pedagang dari kelompok
ahlu Harbi.

3. Barang Yang Terkena Usyur

‘Usyūr dipungut atas seluruh jenis barang dagangan. Apapun


jenisnya, baik perhiasan, hewan, hasil pertanian, atau buah-buahan.
‘Usyūr tidak di ambil dari selain barang dagangan. ‘Usyūr tidak di ambil
dari pakaian atau peralatan yang digunakan oleh seseorang untuk
kegiatannya, atau kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan. Jika ada
seseorang yang mengadukan bahwa barang yang dibawanya itu bukan
untuk diperdagangkan, padahal barang tersebut untuk diperdagangkan,
maka (pernyataan tersebut) tidak di percaya kecuali dengan
(menghadirkan) bukti-bukti, untuk memastikan kebenaran
pengaduannya.

4. Waktu Pemungutan Usyur

‘Usyūr hanya dipungut satu kali dalam setahun untuk satu jenis
barang dagangan, walaupun pedagang tersebut berkali-kali melewati
perbatasan dengan barang dagangannya itu. Maka ‘Āsyir tidak boleh
memungut lebih dari satu kali.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ghanimah adalah harta yang dirampas dari orang-orang Islam dari harja
kafir dengan jalan perang. Harta rampasan yang sudah dikuasai dan belum dibawa
ke wilayah Islam yaitu berupa barang konsumsi (makanan dan minuman), boleh
dimanfaatkan, termasuk kayu bakar.

Jizyah sejumlah harta yang dibebankan pada orang yang berada di bawah
tanggungan kaum Muslimin dan melakukan perjanjian dengan mereka (muslimin)
dari Ahlul Kitāb. Jizyah adalah hak yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin
dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah tidak
di pungut lagi bagi yang telah masuk Islam. Jadi, siapa saja yang memeluk Islam
maka gugurlah kewajiban jizyah dari dirinya, masuk Islam pada awal tahun,
pertengahannya, akhir tahun maupun telah lewat satu tahun.

Fai’ berarti harta yang diperoleh dari musuh non-muslim bukan dari
peperangan, tetapi orang-orang non-muslim memberikannya secara suka rela dan
ikhlas (tanpa ada unsur paksaan dari mereka setelah adanya perjanjian dengan
pemerintah Islam). Termasuk kedalam harta fai’ adalah harta jizyah (pajak yang di
pungut dari non muslim). Dan (pajak tanah), hibah, harta warisan kaum dzimmi
yang tidak mempunyai ahli waris dan sebagainya.

Usyur adalah harta perdagangan yang di ambil dari kaum Zimmah dan kaum
Harbi yang melewati perbatasan negara Khilafah. Orang yang bertugas
memungutnya di sebut ‘Āsyir (petugas bea cukai).

11
DAFTAR PUSTAKA

https://alamisharia.co.id/kamus-keuangan-syariah/ghanimah/

https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/FINANSIA (Baitul Mal dan Ghanimah


Studi Tentang Ijtihad Umar Bin Khattab Dalam Penguatan Lembaga Keuangan
Publik)

https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/tawazun/index (‘Usyur dan Jizyah dalam


Kajian Ekonomi Islam)

https://bctemas.beacukai.go.id/usyr-mirip-bea-cukai/

12

Anda mungkin juga menyukai