Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ZAKAT DAN KEMISKINAN DALAM AL-QUR’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Fiqih Zakat dan Qanun

Dosen Pengampu:
A. Rahmat, Drs., MA

Disusun oleh:
Kelompok 1
Muhammad Azhar Al-Asy’ari
Malik
Sultan Maksum

Kelas: HKI Semester 3

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAKWAH
SEKOLAH TINGGI DR. KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Hukum perwakafan
dalam Islam dan KHI, dengan judul: “WAKAF DARI SEGI DEFINISI DAN
RUANG LINGKUPNYA”.

Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kepada Bapak A. Rahmat, Drs., MA. selaku dosen mata kuliah Hukum
perwakafan dalam Islam dan KHI yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan


baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Purwakarta, 03 Maret 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................
1
KATA PENGANTAR..................................................................................................
2
DAFTAR ISI................................................................................................................
3

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
4
1.1. Latar Belakang.............................................................................................
......................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................
......................................................................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan..........................................................................................

......................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
7
2.1. Pengertian Wakaf.........................................................................................
......................................................................................................................7
2.2. Dasar Hukum Wakaf....................................................................................
......................................................................................................................10
2.3. Rukun Wakaf...............................................................................................
......................................................................................................................12
2.4. Syarat-syarat Wakaf.....................................................................................
......................................................................................................................13
2.5. Ruang lingkup Wakaf..................................................................................

3
BAB III PENUTUP......................................................................................................
14
3.1. Kesimpulan..................................................................................................
......................................................................................................................14
3.2. Saran.............................................................................................................
......................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
16

BAB I
PENDAHALUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat
yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW
ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun
kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon
lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali

4
melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, ke-mudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta
petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di
Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah
itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)
kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan
cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh
Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya
disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang
tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke
Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan
tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan
sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak
hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para
stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik
dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang

5
pasti. Namun setelah masyara-katIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf,
maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk
lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.Antusiasme
masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Penulis sudah menyusun sebagian rumusan yang hendak dibahas dalam


makalah ini. Ada pula sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah
ini antara lain:

1. Apa pengertian wakaf itu?


2. Apa dasar hukum wakaf?
3. Apa saja rukun wakaf itu?
4. Bagaimana Syarat-syarat wakaf itu?
5. Bagaimana ruang lingkup wakaf itu?
1.3. Tujuan Penulisan

Pembuatan makalah ini tentu mempunyai tujuan penulisan, yang dimana tujuan
itu agar kami sebagai pemakalah bisa mengetahui pengertian, dasar hukum, rukun,
syarat serta ruang lingkup wakaf.
1. Untuk mengetahui pengertian wakaf.
2. Untuk mengetahui dasar hukum hukum wakaf.
3. Untuk mengetahui rukun wakaf.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat wakaf.
5. Untuk mengetahui ruang lingkup wakaf.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Wakaf

Perkataan waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata
kerja bahasa Arab waqafa yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan
sesuatu. Wakaf dalam pengertian Ilmu tajwid mengandung makna menghentikan
bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengembil nafas sementara. Pengertian wakaf
dalam makna berdiam di tempat, dikaitkan dengan wuquf. Yakni berdiam di Arafah
pada tanggal 9 Zulhijjah ketika menunaikan Ibadah Haji. Sedangkan pengertian
menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta kekayaan, itulah yang dimaksud dengan
wakaf dalam makalah ini.1

1
(Ali, 1988, p. 80)

7
Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah, sebagai
sarana mendekatkan diri kepada Allah yang ganjarannya tidak terbatas sepanjang
pewakaf itu hidup, tetapi terbawa sampai ia meninggal dunia.2
Wakaf adalah salah satu lembaga yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk
dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberika oleh Allah
kepadanya.
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak
milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya
(al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda
pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang
berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai
berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain)
milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang
diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut
menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan
Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut,
bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta
yang dimiliki (walau-pun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada
orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi
manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan
yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah
(al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta

2
Suryana, Alba, Syamsudin, & Asiyah, 1996, p. 131

8
yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau
musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu
menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu
Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-
undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan
dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan
untuk memberi-kan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang
berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan
fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf
berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

2.2. Dasar Hukum Wakaf


2.2.1. Menurut Al-Qur’an
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf
secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan
para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

9
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa
yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta


yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat
al-Baqarah telah menye-butkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang
yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

2.2.2. Menurut Hadits


Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di
Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan
untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar,
lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah
memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang
lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk
melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan
manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual,
diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk
keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah,
orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang
sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan
tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam
Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu
meninggal dunia, maka terpu-tuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu

10
sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak
soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima
wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang
dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi
amalan yang senantiasa dijalankan dan dia-malkan oleh para sahabat Nabi dan kaum
Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh
masyarakat Muslim Indo-nesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak
pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang
perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor
41 tahun 2004.

2.3. Rukun Wakaf


a) Pewakaf (wakif)
“Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut wakif.
Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya
adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempetimbangkan baik buruknya perbuatan
yang dilakukannya dan benar-baner pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai
kacakapan bertindak, dalam hokum fikih Islam ada dua istilah yang perlu dipahami
perbedaannya yaitu baligh dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia,
sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal”
b) Harta yang diwakafkan (Mauquf)
Syarat dari harta yang akan diwakafkan adalah : (a) harus tetap zatnya dan dapat
dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi haruslah dimanfaatkan untuk hal-
hal yang berguna, halal dan sah menurut hukum. (b) harta yang diwakafkan haruslah
jelas wujudnya dan batas-batasnya (misal yang diwakafkan adalah tanah). (c) harta yang

11
diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari beban hutang orang lain.
(d) harta yang diwakafkan dapat berupa benda mati maupun benda bergerak (misal
saham atau surat-surat berharga lainnya)\
c) Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih)
Dalam tujuan harus tercermin siapa yang berhak atas wakaf, misalnya (a) untuk
kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, dll. (b)
untuk menolong fakir-miskin, anak yatim seperti mendirikan panti asuhan,dll. (c) tujuan
wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ibadah seperti mewakafkan tanahnya
untuk kuburan, pasar, lapangan olah raga, dll
d) Lafal dan pernyataan
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang
diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyataan tersebut,
hilanglah hak wakif terhadap bend yang diwakafkannya. Dengan pernyataan wakif
yang merupakan ijab perwakafan telh terjadi, sedangkan pernyataan qabul dari mauquf
‘alaih yakni orang yang berhak manikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan, artinya
dalam wakaf hanya ada ijab tanpa ada qabul.
Contoh lafal yang diucapkan wakif saat perwakafan : “saya wakafkan tanah milik saya
seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”. Pada lafal wakaf tidak
boleh ada unsur ta’lik (syarat), karena maksud dari wakaf adalah pamindahan
kepemilikan untuk selamanya bukan untuk sementara. Contoh lafal wakaf yang tidak
sah : “saya wakafkan tanah sawah milik saya kepada para fakir miskin selama satu
tahun”.

2.4. Syarat-syarat wakaf


syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut :
a) Perwakafan benda itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya.
b) Tujuannya harus jelas dan disebutkan ketika mengucapkan ijab.
c) Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh
wakif dn tidak boleh menggantungkan pelaksanaannya, jika pelaksanaan wakaf
tertuda hingga wakif meninggal dunia, hukum yang berlaku adalah wasiat yang

12
kemudian syaratnya, harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta
peninggalan.
d) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif berlaku
seketika dan selama-lamanya.
e) Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang
diwakafkannya, artinya seorang wakif berhak memberikan syarat akan diapakan
harta yang ia wakafkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

2.5. Ruang Lingkup Wakaf


Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas
pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan,Wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud
atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, Surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya.Dalam hal benda bergerak berupa
uang, Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.Yang dimaksud
dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang
keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan
syariah.Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga
Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan uang
miliknya.
Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah
dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan
pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti
luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi
Syariah.Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga yang
merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir.

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Wakaf adalah menahan harta yang diberikan Allah yang dikelola oleh suatu
lembaga dan hal tersebut sangat dianjurkan oleh ajaran Islam karena sebagai saran
mendekatkan diri kepada Allah yang ganjarannya terbawa sampai si pewakaf
meninggal dunia.
2. Rukun wakaf adalah : Pewakaf (wakif) adalah Orang yang mewakafkan hartanya,
Harta yang Diwakafkan (Mauquf), Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih) dan yang
terakhir adalah Lafal atau pernyataan (sighat) wakif contoh sighat : “saya
wakafkan tanah milik saya seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun Masjid di
atasnya”.

14
3. Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut : (a) Perwakafan
benda itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya. (b) Tujuannya
harus jelas dan disebutkan ketika mengucapkan ijab. (c) Wakaf harus segera
dilaksanakan segera setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif. (d) Wakaf yang
sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif berlaku seketika dan
selama-lamanya. (e) Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas
harta yang diwakafkannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Mahfud, R. (2010). Al-Islam. Jakarta: Erlangga.
Suryana, A. T., Alba, C., Syamsudin, E., & Asiyah, U. (1996). Pendidikan Agama Islam
untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
Syamsuri. (2004). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.

16
17

Anda mungkin juga menyukai