Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirobbil Alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Muhammad Hori, M.Ag
Selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam, serta kepada teman-teman yang telah
membantu kami dengan memberi semangat dan motivasi untuk menyelesaikan
tugas makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami mengharapakan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
(membangun).
Akhirnya melalui sebuah do’a dan harapan, semoga makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya,
Jazzakumullah khoiron katsir.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
2.1 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
3.1 Tujuan Makalah .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
1.1 Sejarah Munculnya Ilmu Kalam .......................................................................... 3
2.1 Terjadinya Perang Unta Dan Siffun .................................................................. 11
3.1 Peristiwa Tahkim .............................................................................................. 14
4.1 Implikasi Pasca Perang Unta Dan Siffun Terhadap Timbulnya Aliran-Aliran
Ilmu Kalam ................................................................................................................... 16
5.1 Kerangka Berfikir Aliran-Aliran Kalam ........................................................... 18
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 21

ii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab.
Sepeninggal Utsman bin Affan, tampuk kepemimpinan umat Islam beralih kepada
Imam Ali bin Abi Thalib. Seperti yang termaktub dalam bukubuku sejarah bahwa
meninggalnya Khalifah Utsmanbin Affan dikarenakan ketidakpuasan sebagian
umat Islam pada waktu itu sehingga menyebabkan terjadinya pemberontakan
terhadap pemerintahannya. Pada masa Khalifah Ali pun terjadi Perang Unta dan
Shiffin. Perang Shiffin yang diakhiri dengan tahkim telah menyebabkan munculnya
berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahaba-
tsahabat yang netral. Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam
bidang politik akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya
masalah teologi atau ilmu kalam. Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang
berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam. Aliran Murjiah menegaskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Aliran
Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Orang yang serupa ini
mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-
manzilatain). Lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama
Qadariyah dan Jabariah. Qadariyah berpendapat bawah manusia memiliki
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sedangkan Jabariyah sebaliknya
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.

1
2.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Munculnya Ilmu Kalam?


2. Bagaimana Proses Terjadinya Perang Unta Dan Perang Shiffun?
3. Bagaimana Proses Munculnya peristiwa tahkim
4. Bagaimana Implikasi Perang Unta Dan Shiffun Terhadap Timbulnya Ilmu-
Ilmu Kalam?

3.1 Tujuan Makalah

1. Untuk Mengetahui Sejarah Munculnya Ilmu Kalam


2. Untuk Mengetahui Proses Terjadinya Perang Unta Dan Perang Shiffun
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Muculnya peristiwa tahkim
4. Untuk Menegetahui Implikasi Perang Unta Dan Shiffun Terhadap
Timbulnya Ilmu-Ilmu Kalam

2
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

1.1 Sejarah Munculnya Ilmu Kalam

Sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam disebabkan faktor-faktor politik


pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali
menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering
dinamakan al-Fitnat al-Kubra, masa cobaan, sebagaimana telah banyak dibahas,
merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat dan agama islam di berbagai bidang,
khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam
sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir
secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar.

Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-
644 ) problem keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi
setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul.
Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah
seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada
masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan
Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).

Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali


bin Abi Thalib (656-661) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali
dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua,
perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin.

Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali,


sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim (Arbritrase). Hal ini
berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-
aliran Teologi dalam islam.

3
Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi
perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai
aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah.

Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak
dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum
Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka
menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah
mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai
pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.

Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu


Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Mula-mula ialah untuk membuat
penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau
menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-
kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena
ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal
berbuat dosa besar adalah kekafiran. Apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah
Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena
manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan.
Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau
pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham
Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya
itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi


pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan,
misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu
pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan
itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh
'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat

4
kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui
pembunuhannya seribu orang sekitar itu.

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini
menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan,
dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan
kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan
membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-
Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap
‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir
karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena
itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-
’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali
dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang
bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya
mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka
membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya
mirip). Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum
Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah
pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika
pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah
kaum Mu’tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak
mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang
‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn
Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli
(pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam
kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan
rasional).

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian
khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas

5
dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-
benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah
seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah,
yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan
kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran
Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang
mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan
alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal
keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala
dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti
perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi
(impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles
mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.

Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali
mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para
pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti
sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi
mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan
dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan.
Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat
(“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari
sifat-sifat])

Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum


Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum
Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa
gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih
sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum
Mu’tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun
dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis
kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah

6
kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa
kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh
adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku
Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafa

Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai


kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin
oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab
Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah
al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan
menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam
penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda
Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan
Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang
dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits
(dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a
dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti
Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas
kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh
pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang
Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan
ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka
kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur
positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan
pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli


kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu

7
al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran
Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian
pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori
suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga
sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang
untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang,
karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.

Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan”


hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-
Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M).
Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan
dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan
manusia yang lebih besar daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai
pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan
keselamatan”, bersama dengan sistem al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini
adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer
dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip
dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang
perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan,
dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari
antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh
dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang
berkelakuan seperti

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu menjadi sasaran kritik lawan-
lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah
dan Syi’ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi
juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam
hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-

8
728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum
Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy’ari
bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati
kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin,
teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan
pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak
lebih cenderung kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn
Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia
tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan
demikian: Sesungguhnya para pengikut paham Asy’ari dan sebagian orang yang
menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam
prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya
secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal… Begitu pula
mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah dalam masalah-masalah
Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah–
dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan
kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau
menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).

Namun Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak


sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy’ari
yang ia sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat
adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan
itu dibarengi dengan kemampuan tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa
pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn
Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam
oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum
Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi
dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan
penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau
“kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti

9
golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif”
khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan
ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16]
Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql
dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan
jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk
pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan
seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari ini
sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian
lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum
Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah,
Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani,
khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika
Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat
(universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi
Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja
karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).

Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori


yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi,
dan pasi) dan konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain,
ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada
kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa
“hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran” (Al-haqiqah fi
al-ayan, la fi al-adzhan).

10
2.1 Terjadinya Perang Unta Dan Siffun

Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan baiat oleh Talhah dan Zubair
karena alasan bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk
menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini
disampaikan kepada Siti Aisyah yang merupakan kerabatnya di perjalanan pulang
dari Mekah yang tidak tahu mengenai kematian Khalifah Utsman, sementara
Talhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Basrah. Siti Aisyah bergabung dengan
Talhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, karena alasan penolakan Ali
menghukum pembunuhan Utsman1. Ada juga pendapat pemberontakan itu dilatar
belakangi oleh keinginan Talhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah.
Masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata
Ali yang terpilih.2 Sebelum insiden Unta ini terjadi, Ali telah berusaha untuk
melakukan perdamaian.Ia beserta pasukannya melakukan perjalanan ke Basrah.
Perjalanannya ke Basrah dimaksudkan untuk berbicara dengan Talhah dan Zubair
secara pribadi. Tidak lama kemudian, kedua pasukan itu sekarang sudah saling
berhadapan. Kepada pihak Basrah, Ali menyampaikan pidato yang antara lain
mengatakan, “Saya adalah saudara kalian... saya akan menuntut para pembunuh
Utsman itu.” Talhah, Zubair dan penduduk Basrah menyambut baik dan merasa
sangat puas dengan isi pidato Ali itu.Dengan membawa perasaan puas Ali juga
kembali ke kemahnya. Kepada anak buahnya ia mengeluarkan perintah untuk tidak
menyerang dalam keadaan bagaimanapun. Sepanjang malam itu ia berdoa kepada
Allah3. Namun, ajakan Ali ditolak.Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun
berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Unta (Jamal) karena Aisyah

1
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,hlm. 97
2
Penyusun, Ensiklopedi Islam,hlm. 113.
3
AliAudah, Ali bin Abi Talib, Sampai kepada Hasan dan Husain: Amanat
Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,2013,
hlm. 229.

11
dalam pertempuran itu menunggang unta.4 Ali pun berfikir dengan cepat.Ia
memerintahkan unta. Aisyah dirobohkan. Unta dirobohkan, tapi Aisyah selamat.
Ali menyuruh beberapa orang pasukannya mengantar Aisyah ke Madinah.Akhirnya
fitnah berangsur-angsur mereda.Daerahdaerah mulai tunduk di bawah
kepemimpinan Ali. Kini, satu masalah yang belum terselesaikan adalah
menyempalnya Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah menolak membaiat Ali
sampai ia berhasil menuntaskan kasus pembunuhan Utsman dan menghukum orang
yang terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut. Perang Unta ini terjadi pada
tahun 36 H 5

Sebelum perang Shiffin terjadi, Ali sudah sering mengutus utusan kepada
Muawiyah untuk berdamai, namun selalu saja utusan yang diutus Ali tidak
menghasilkan apa-apa. Kalau dibiarkan, Ali melihat orang ini akan sangat
berbahaya. Seluruh kedaulatan Islam sudah berada di bawah satu bendera, kecuali
yang satu ini.Ali yang memang berpikir damai ingin menyelesaikan semua itu
dengan jalan damai, berapa pun harga yang harus dibayar. Sekali lagi ia menulis
surat kepadanya meminta ia mau membaitnya demi kepentingan Islam dan
persatuan umat muslimin. Tetapi rupanya Muawiyah bersikeras dan tetap dengan
dalihnya itu: menuntut bela terlebih dulu atas pembunuhan Utsman. 6 Ali melihat
situasi sudah memakin memanas.Ia meminta orang bersiap-siap. Ada sekitar 50.000
orang memenuhi seruan itu, mereka berkumpul di sekitarnya dan siap berangkat ke
Suriah. Di pihak Muawiyah juga sudah mempersiapkan kekuatan yang lebih besar
dan cepat-cepat menempati posisi yang strategis di seberang Shiffin, sementara Ali
bermarkas di Shiffin. Tujuannya bukan hendak mengadakan pertumpahan darah.
Ali masih mengutus tiga orang juru runding perdamaian kepada Muawiyah, tetapi

4
BadriYatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Ahmad Zaini 174.
5
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah
Islam: Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
diterjemahkan oleh Zainal Arifin dari al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-
Tarikh al-Islami, Jakarta: Zaman. 2014, hlm. 226-227.
6
AliAudah, Ali bin Abi Talib,hlm. 247.

12
jawaban Muawiyah tetap pada tuntutan yang satu itu juga, tanpa kompromi, dan dia
selaku walinya adalah sebagai penerus dan berkewajiban menuntut hak-hak
Utsman.7 Peperangan ini terjadi di kota Shiffin pada tahun 37 H yang hampir saja
dimenangkan oleh Khalifah Ali. Namun, atas inisiatif dan usulan panglima perang
Muawiyah, Amr bin Ash mengusulkan untuk mengacungkan al-Quran dengan
tombaknya, yang mempunyai arti bahwa mereka mengajak berdamai dengan
menggunakan al-Quran.Khalifah Ali mengetahui bahwa hal tersebut adalah tipu
muslihat, namun karena didesak oleh pasukannya, khalifah menerima tawaran
tersebut.8

7
Ibid., hlm. 256.
8
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,hlm. 98.

13
3.1 Peristiwa Tahkim

Pada situasi yang sudah terpojok muncul politikus ulung yang sukar dicari
tandingannya waktu itu, Amr bin Ash, diplomat yang cukup terkenal di
Semenanjung Arab.Ia pandai mencari jalan keluar dalam situasi sulit. Ia
menyarankan kepada Muawiyah agar anggota-anggota pasukannya yang digaris
paling depan mengikatkan mushaf Quran ke ujung tombak sebagai tanda bahwa
perang harus dihentikan dan diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan
hukum Quran. Cara ini kemudian dikenal dengan istilah tahkim.Dan memang taktik
inilah yang kemudian dilaksanakan oleh pihak Muawiyah. Imam Ali menyadari
bahwa itu adalah sebuah siasat.

Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34 H. Setiap pihak


menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan.
Dari pihak Muawiyah ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak Ali semula
diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian
tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya,
dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy’ari.Kedua hakim itu
mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda. Amr bin Ash dikenal pandai
siasat sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati dan
mengutamakan kedamaian.9

Gambaran perundingan dalam tahkim seperti diungkap di atas memperlihatkan


kelicikan Amr bin Ash sebagai seorang diplomat dan ahli strategi perang,
berhadapan dengan Abu Musa al-Asy’ari yang dikenal sebagai orang tua yang
tawadu dengan rasa takwa yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa penyelesaian
sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
tahkim, ternyata tidak mampu menjernihkan persoalan.Tahkim yang dimaksudkan
semula untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berperang sehingga
diharapkan tercipta persatuan di kalangan umat Islam, akhirnya berakhir lebih
buruk lagi.Kondisi pertikaian bertambah meruncing. Bagaimanapun peristiwa itu

9
Penyusun, Ensiklopedi Islam,hlm. 113.

14
merugikan bagi Ali dan menguntungkan Muawiyah. Yang legal menjadi khalifah
sebenarnya adalah Ali bin Abi Thalib, sedangkan Muawiyah kedudukannya tak
lebih dari gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak
resmi. Tidak mengherankan putusan ini ditolak oleh Ali bin Abi Thalib sampai
beliau terbunuh pada tahun 661 M.10

10
YunanYusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij
ke Buya HAMKA Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenadamedia Group,
2014.

15
4.1 Implikasi Pasca Perang Unta Dan Siffun Terhadap Timbulnya Aliran-Aliran
Ilmu Kalam

Perang yang diakhiri dengan tahkim (arbitrase) ini telah menyebabkan


munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij
dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan
dalam bidang politik akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya
masalah teologi atau ilmu kalam. Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat
salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase itu. Menurut mereka
penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu bertentangan dengan al-Quran.
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44, “Dan barangsiapa yang tidak
menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah
orangorang kafir.” Dengan landasan ayat al-Quran tersebut, mereka menghukum
semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir.Kafir
dalam arti telah keluar dari Islam. Orang yang keluar dari Islam di katakan murtad,
dan orang murtad halal darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu mereka
memutuskan untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa. Dan
yang berhasil dibunuh hanya Imam Ali.11 Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga
aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan

11
YunanYusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, hlm. 9-10.

16
kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-
manzilatain (posisi di antara dua posisi).12

Setelah ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang
terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia
memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.13 Dari paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa
peristiwa tahkim berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran
dalam Ilmu Kalam.Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah merupakan aliran yang
pertama sekali muncul dalam sejarah peradaban Islam.Kemudian muncul aliran
Qadariyah dan Jabariyah.Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan
membentuk dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai aliran. Paham
Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliranaliran Ilmu Kalam yang ada.14

12
Abdul Rozakdan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012, hlm. 35.
13
Ibid., hlm. 35-36.
14
YunanYusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, hlm.13

17
5.1 Kerangka Berfikir Aliran-Aliran Kalam

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.
Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :

1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas di sebut
dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi (tersayang tidak
boleh disamakan dengan arti lain)
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak
3. memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :

1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni


(tersayang boleh mengandung arti lain)
2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan
berbuat.
3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah
mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir
tradisional adalah Asy’ariyah.

Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula


pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam :

1. Aliran Antroposentri.

Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat


intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik
ang natural maupun yang supra natural dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia adalah
anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya.
Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian,

18
manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih
kemerdekaan dari lilitan naturalnya.

Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas


transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam
bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih
kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang
memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan
dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas
transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah,
Mu’tazilah dan Syi’ah.

2. Teologi Teosentris

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat


Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang
ada di kosmos ini dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara
mutlak dan manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.

Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam


kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada
hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa
yang telah ditetapkan Tuhan. Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi
potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini
yang tegolong kategori Jabbariyah.

3. Aliran Konvergensi Sintesis

Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas transenden besifat supra


sekaligus intrekosms, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan
tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain yang di
kotomik.

19
Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu
berada dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal.

Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama
antara daya yang transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya
temporal (manusia) dalam bentuk teknis.

Kebahagian bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya


membuat pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap
ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan
ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

4. Aliran Nihilis

Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah


ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi
tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri
sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya
manusia mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral
perjuangan seluruh manusia.

20
BAB III KESIMPU LAN

KESIMPULAN

Pada zaman khalifah abu bakar dan umar problem keagaamaan masih baik-
baik saja, tapi setelah umar wafat dan utsman bin affan menjadi pemimpin muncul
lah persoalan-persoalan (fitna bersar) yg mengakibatkan pemberontakan terhadap
pemerintahannya, faktor yang mengakibatkan wafatnya usman bin affan yaitu
karna sebagian umat islam berpendapat bahwa kepemimpinan beliau di nilai terlalu
lunak terhadap saudaa-saudaranya. Sehingga persilisihan umat islam berlanjut pada
zaman pemerintahan ali bin abi thalib, dari proses pengangkatan ali bin abi thalib
menjadi pemimpin terjadi perang jamal, perang siffuun dan peristiwa tahkim .

Terjadinya perang jamal karna pada zaman itu pemerintahan Khalifah Ali tidak
stabil maka terjadilah pemberontakan pertama dari Talhah dan Zubair yg di sokong
oleh siti aisyah dan pemberontakan kedua yaitu peran siffun yg mana Muawiyah
menolak meletakkan jabatan, bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan
khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur Suriah.

Perang yang diakhiri dengan tahim ini telah menyebabkan munculnya berbagai
golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat
yang netral, Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik
akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau
ilmu kalam. Dan Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam
Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan

21
kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-
manzilatain (posisi di antara dua posisi).

22
23

Anda mungkin juga menyukai