Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“SEJARAH AKIDAH PADA MASA TAHKIM”

KELOMPOK 6
1. Uswatun Hasanah
2. Muhammad Anugrah Adithama
3. Nur Dina
4. Nur Lila
5. Sahrul Gunawan
6. Salsabila Rahadatul Aisy

Guru Pembina: Nirwan S,Pd.I

MAN 1 BIMA
TAHUN AJARAN 2023/2024
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
BAB 1....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................................................1
1.3 TUJUAN...............................................................................................................................1
BAB 2....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
2.1 PENDAHULUAN TAHKIM..............................................................................................2
2.2 KEKHALIFAHAN ALI BIN ABI THALIB......................................................................2
2.3 PERISTIWA TAHKIM.......................................................................................................4
BAB 3....................................................................................................................................................8
PENUTUP............................................................................................................................................8
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................9

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SEJARAH
AKIDAH PADA PERISTIWA TAHKIM”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan terima kasih kami sampaikan
kepada Bapak Nirwan S.Pd.I selaku guru mata pelajaran Akidah Akhlak yang telah
membimbing demi kelancaran penyelesaian tugas makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca, sehingga menambah wawasan para pembaca dan juga dapat
memenuhi tugas mata pelajaran Akidah Akhlak.

Bima, 9-Agustus-2023

ii
Penulis

Kelompok 6

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar. Demikianlah
yang dikatakan oleh Al-Shahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal:
“Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah
(kepemimpinan), karena tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama,
sebagaimana (sesering) dihunusnya pedang karena imamah pada setiap zaman”
Kemunculan paham dan aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat dilepaskan
dari pertikaian politik. Ini dapat kita lacak ketika terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan ra.,
banyak kalangan yang tidak menerima kematian beliau. Olehnya itu, kebanyakan para
sahabat menuntut kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku
pembunuhan Usman bin Affan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1 Apa itu tahkim?
2. Bagaimana masa kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib?
3. Bagaimana Peristiwa Tahkim?
4. Bagaimana implementasi setelah fitnah?

1.3 TUJUAN
1. Menjelaskan apa itu tahkim.
2. Menjelaskan masa kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib.
3. Menjelaskan peristiwa tahkim.
4. Menjelaskan implementasi setelah fitnah.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PENDAHULUAN TAHKIM


Pada masa awal Islam, ilmu kalam ini tidak menjadi sesuatu yang dirasa perlu untuk
dikaji dan dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Maklumlah, pada saat itu keimanan para
Sahabat sepeninggal Nabi Muhammad Saw masih kuat dan belum tercampuri dengan
berbagai syubhat dan bid’ah. Hingga kemudian muncul peristiwa tahkim yang membuat
kaum muslimin tercerai berai dan menciptakan pehamahan-pemahaman keyakinan keislaman
yang berbeda-beda.
Tahkim itu sendiri bermakna menyerahkan keputusan pada seseorang atau menerima
putusan tersebut. Dengan menggunakan metode tahkim, dua orang atau lebih menyerahkan
urusan atau kepentingan mereka pada seseorang di antara mereka agar diselesaikan
sengketanya dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa tersebut.
Peristiwa ini terjadi pada saat perang Shiffin antara kubu Ali Ra yang menjabat sebagai
khalifah resmi dan kubu Muawiyah yang menjadi oposisi dan menentang kebijakan Ali Ra
bisa dikatakan bahwa peristiwa ini adalah puncak rentetan perselisihan yang terjadi di masa
pemerintahan Ali Ra selama menjabat sebagai khalifah.
Pokok persoalannya ialah banyak pihak yang tidak setuju dengan sikap Ali Ra yang
tidak segera menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah sebelumnya yaitu Utsman bin
‘Affan.

2.2 KEKHALIFAHAN ALI BIN ABI THALIB


Peristiwa terbunuhnya Uthman bin Affan menyebabkan perpecahan umat Islam
menjadi empat golongan, yakni: 1) pengikut Uthman, yaitu yang menuntut balas atas
kematian Uthman dan mengajukan Mu’awiyah sebagai khalifah, 2) pengikut Ali, yaitu yang
mengajukan Ali sebagai khalifah, 3) kaum moderat, tidak mengajukan calon dan
menyerahkan urusannya kepada Allah, 4) golongan yang berpegang pada prinsip jamaah, di
antaranya Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Ayyub al-Anshori, Usamah bin Zaid dan Muhammad
bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat yang memandang bahwa Uthman dan
Ali sama sama sebagai pemimpin.

2
Setelah wafatnya Uthman, Ali adalah calon terkuat untuk menjadi khalifah, karena banyak
didukung oleh para sahabat senior, bahkan para pemberontak kepada khalifah Uthman
mendukungnya. Ali bin Abi Thalib dibai’at pada tanggal 35 H/ 23 Juni 656 M,oleh
mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshor, serta para tokoh sahabat.
Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak
stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Talhah dan Zubair, karena alasan
bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh
Khalifah Uthman.
Penolakan Khalifah ini kemudian disampaikan kepada Siti Aishah yang merupakan
kerabatnya di perjalanan pulang dari Makkah, yang tidak tahu mengenai kematian Khalifah
Uthman, sementara Talhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Basrah. Siti Aishah
bergabung dengan Talhah dan Zubair untuk menentang Khalifah Ali, bisa jadi karena alasan
penolakan Ali menghukum pembunuh Uthman, atau karena terpengaruh hasutan mereka
berdua. Mu’awiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, namun hanya sebatas pada
usaha untuk menurunkan kredibilitas Khalifah di mata umat Islam, dengan cara menuduh
Khalifah sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Khalifah Uthman, jika ia tidak dapat
menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Tuntutan mereka tidak mungkin segera dikabulkan oleh Khalifah Ali karena dua hal.
Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh
intimidasi seperti itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan
kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah. Khalifah
Uthman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak dan
Arab, yang secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.
Pada dasarnya Khalifah Ali telah berusaha untuk menghindari pertumpahan darah dengan
mengajukan kompromi, tetapi beliau tidak berhasil, sampai akhirnya terjadi pertempuran
antara Khalifah Ali bersama pasukannya dengan Talhah, Zubair dan Aishah bersama
pasukannya. Perang ini terjadi pada tahun 36 H. Talhah dan Zubair terbunuh ketika hendak
melarikan diri dan Aishah dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama
“Perang Jamal” (Perang Unta), karena dalam pertempuran tersebut, Aishah, istri Nabi Saw
mengendarai unta. Dalam pertempuran tersebut 20.000 kaum muslimin gugur.
Perang unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa itu
memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang
khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perang, dan justru

3
bertikai melawan saudara sesama muslim. Sesudah menyelesaikan gerakan Talhah dan
kawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Sejak itu berakhirlah
Madinah sebagai ibu kota kedaulatan Islam dan tidak ada lagi seorang khalifah yang
berkuasa berdiam di sana. Sekarang, Ali adalah pemimpin dari seluruh wilayah Islam, kecuali
Shiriah yang dikuasai oleh Mu’awiyah.
Dengan dikuasainya Shiriah oleh Mu’awiyah yang secara terbuka menentang Khalifah,
memaksa Khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara
angkatan perang Khalifah Ali dan pasukan Mu’awiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat,
pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Mu’awiyah.
Sebenarnya pihak Mu’awiyah telah terdesak kalah, dengan 7000 pasukannya terbunuh, yang
menyebabkan mereka mengangkat al-Qur’an sebagai tanda damai dengan cara tahkim.

2.3 PERISTIWA TAHKIM


Pada situasi yang sudah terpojok muncul politikus ulung yang sukar dicari tandingannya
waktu itu, Amr bin Ash, diplomat yang cukup terkenal di Semenanjung Arab.Ia pandai
mencari jalan keluar dalam situasi sulit. Ia menyarankan kepada Muawiyah agar anggota-
anggota pasukannya yang digaris paling depan mengikatkan mushaf Quran ke ujung tombak
sebagai tanda bahwa perang harus dihentikan dan diadakan perundingan dengan keputusan
berdasarkan hukum Quran.

Cara ini kemudian dikenal dengan istilah tahkim.Dan memang taktik inilah yang kemudian
dilaksanakan oleh pihak Muawiyah. Imam Ali menyadari bahwa itu adalah sebuah
siasat.Perundingan demikian hanya merupakan permainan politik.Tetapi sebagian pemuka
pasukannya yang dikenal orang baik-baik tidak sependapat.Mereka siap berhenti
bertempur.Mereka sudah jemu berperang, yang sudah berlangsung selama tiga bulan dan
memaksanya menerima gencatan senjata dengan jalan tahkim. Perbedaan pendapat ini telah
menimbulkan ketidakserasian di antara pengikut Imam Ali, antara yang ingin terus
bertempur dengan yang setuju dengan gencatan senjata.

Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34 H. Setiap pihak menunjuk wakil
yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan. Dari pihak Muawiyah
ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi
pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali,

4
putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy’ari.Kedua
hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda. Amr bin Ash dikenal pandai
siasat sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati dan mengutamakan
kedamaian.

Ada banyak riwayat seputar peristiwa tahkim dan hasilnya. Diantara yang banyak dilukiskan
oleh para sejarawan dinyatakan bahwa ketika perundingan selesai Abu Musa meminta
kepada Amr supaya ia menyampaikan hasil keputusan itu, tetapi Amr yang konon banyak
memperlihatkan sikap rendah hati dan hormat kepada Abu Musa mengatakan kepadanya
supaya dia yang maju lebih dulu menyampaikan hasil tahkim tersebut. Abu Musa pun maju
dan berkata di hadapan publik, “Setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak
menemukan jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kemelut ini selain mengambil
langkah ini demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah samasama sepakat untuk memecat
Ali dan Muawiyah dan selanjutnya kita kembalikan kepada majlis syura di antara kaum
muslimin sendiri.” Setelah itu Amr bin Ash maju dan berkata, “Abu Musa telah memecat
sahabatnya itu, dan saya ikut memecat orang yang telah dipecatnya, tetapi saya akan
mengukuhkan sahabat saya Muawiyah. Dia adalah wakil Utsman bin Affan dan yang berhak
menuntut itu. Dialah yang paling tepat untuk kedudukan itu.”Abu Musa memprotes tindakan
Amr itu dan dianggapnya sebagai penipuan. Dalam pada pihak Suriah sekarang sangat
bersuka ria. Mereka mengelu-elukan Muawiyah dan langkah pertama yang dilakukan
Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah.

Gambaran perundingan dalam tahkim seperti diungkap di atas memperlihatkan kelicikan


Amr bin Ash sebagai seorang diplomat dan ahli strategi perang, berhadapan dengan Abu
Musa al-Asy’ari yang dikenal sebagai orang tua yang tawadu dengan rasa takwa yang tinggi.
Sejarah mencatat bahwa penyelesaian sengketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah
bin Abi Sufyan dengan tahkim, ternyata tidak mampu menjernihkan persoalan.Tahkim yang
dimaksudkan semula untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berperang sehingga
diharapkan tercipta persatuan di kalangan umat Islam, akhirnya berakhir lebih buruk
lagi.Kondisi pertikaian bertambah meruncing.Bagaimanapun peristiwa itu merugikan bagi
Ali dan menguntungkan Muawiyah. Yang legal menjadi khalifah sebenarnya adalah Ali bin
Abi Thalib, sedangkan Muawiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tak
mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah

5
naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan putusan ini ditolak oleh Ali bin
Abi Thalib sampai beliau terbunuh pada tahun 661 M.

6
2.4 IMPLIKASI SETELAH FITNAH
Akhir perang Siffin merupakan babak baru sejarah lahirnya aliranaliran yang memiliki
visi politik masing-masing. Ada dua aliran –bahkan dua kecenderungan yang melahirkan
banyak aliran- yang lahir sebagai implikasi dari peperangan itu, yaitu Shi’ah dan Khawarij.
Kedua aliran ini muncul karena satu faktor yang sama, yaitu ekstrimitas dan kontradiktif.
Kemunculan Khawarij memberi saham besar bagi kemunculan dan penyebaran Shi’ah. Klaim
ekstrimitas yang dipropagandakan salah satu aliran di atas mendorong munculnya ektrimitas
tandingan dari aliran yang lainnya. Pergumulan antara kedua aliran itu memunculkan satu
aliran lain yang bertujuan menengahi dua sisi yang kontadiktif itu, yaitu Murji’ah, sebuah
aliran yang berani memunculkan visinya sendiri, meskipun pada akhirnya mengikuti salah
satu dari dua firqah di atas.

1 Aliran Khawarij Peristiwa Tahkim antara Ali dan Mu’awiyah memicu lahirnya
aliranaliran Islam yang berdimensi politik, di antaranya adalah aliran Khawarij. Mereka
sebenarnya para pengikut Ali yang kemudian keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena
tidak setuju dengan sikap Ali mengenai Tahkim (arbitrase) sebagai jalan keluar dalam
penyelesaian persengketaan antara Khalifah Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Mereka berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam peristiwa Tahkim sebagai
pendosa besar dan kafir yang wajib diperangi. Atas dasar inilah seorang pengikut mereka,
yaitu Ibn Muljam, akhirnya berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib pada tanggal 17
Ramadhan 40 H (661 M).26
2 Aliran Shi’ah Shi’ah merupakan para pengikut dan pendukun Ali yang muncul setelah
terjadinya peristiwa tahkim. Golongan ini memiliki pandangan bahwa Ali adalah kahlifah
yang harus ditaati, dan menganggap Mu’awiyah beserta penduduk Sham adalah para
pemberontak yang dituntut untuk kembali kepada jamaah Islam walaupun dengan
menggunakan pedang.
3 Aliran Murji’ah Kaum Murji’ah muncul akibat adanya pertentangan politik dalam
Islam, yakni peristiwa tahkim. Dalam suasaana yang demikian, kaum ini muncul dengan
corak dan gaya tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau
tidaak bagi golongan yang bertentangan. Mereka tidak berpendapat siapa yang benar dan
yang salah, tetapi berpandangan lebih baik menunda (arja’a). maksudnya persoalan tersebut
dapat diselesaikan pada hari perhitungan, sehingga sikapnya menyerahkan hukum kafir atau
tidaknya seseorang kepada Allah Swt.28 Pada perkembangan selanjutnya, orientasi berbagai

7
aliran yang muncul setelah adanya fitnah itu, berubah dari motif politik menjadi aliran teologi
(kalam). Berangkat dari pergeseran nilai orientasi ini, pada masa selanjutnya muncul aliran-
aliran baru di luar tiga sekte yang sudah ada, misalnya paham Mu’tazilah, Qadariyah,
Jabbariyah, Ash’ariyah dan Maturidiyah.

8
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Pemicu perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah adalah tuntutan qisas


bagi pembunuh Uthman. Mu’awiyah beranggapan bahwa Ali sengaja tidak
melaksanakan kewajiban untuk mengqis}as para pembunuh Uthman. Itu
sebabnya, ia menolak membai’at dan menaati Ali r.a.
2. Ali bin Abi Thalib menerima Tahkim karena ia tidak ingin korban
bertambah banyak akibat perang saudara, meskipun pada faktanya
Ali dan pasukannya sudah berhasil memukul mundur Mu’awiyah
dan pasukannya.
3. bertambah banyak akibat perang saudara, meskipun pada faktanya Ali dan
pasukannya sudah berhasil memukul mundur Mu’awiyah dan pasukannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota


Kembang, 1989.
Mahzum, Muhammad “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah Fi al-Fitnah” Diterj.
Oleh: Anwar, Rosihon. Meluruskan Sejarah Islam. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1994.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia,
2008.
Amir, Samsul Munir, 2014, Sejarah Dakwah, Jakarta: Amzah.
Audah, Ali, 2013, Ali bin Abi Talib, Sampai kepada Hasan dan
Husain: Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

10

Anda mungkin juga menyukai