Anda di halaman 1dari 25

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Sejarah Dakwah Nur Al-Hidayatillah

MAKALAH

SEJARAH DAKWAH BANI UMMAYAH

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

HERNA DAYANA SANTIKA 11840423824

BENI IRAWAN 11840413773

DEDI NASUTION 11840412670

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU PEKANBARU
1441 H/2019 M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya. Serta telah memberikan kekuatan dan kesabaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul  “Sejarah Dakwah
Bani Ummyah”  Makalah ini disusun sedemikian rupa untuk memenuhi salah
satu tugas Sejarah Dakwah Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan
dari berbagai pihak maka makalah ini tidak dapat terwujud. Untuk itu dengan
segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua
yang telah memberikan bantuan moral serta spiritual, dan kepada Ibu Nur Al
Hidayatillah selaku dosen mata kuliah Sejarah Dakwah serta rekan-rekan yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan semua pihak
kepada penulis. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang
akan penulis gunakan untuk pembuatan makalah yang akan datang supaya lebih
baik lagi.

Semoga makalah ini memberi manfaat khususnya bagi aktivitas pendidikan


dan umumnya bagi para pembaca.
                                                                          

Pekanbaru, 11 April 2019

                                                                                                             Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I..................................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.................................................................................................................iii
A.    Latar Belakang........................................................................................................iii
B.    Rumusan Masalah...................................................................................................iv
A.    Pendirian Dinasti Bani Umayyah.............................................................................1
B. Kondisi Masyarakat di masa Bani Ummayah............................................................7
C.     Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah..............................................................9
D. Kemajuan Bani Ummayah.......................................................................................12
BAB III...............................................................................................................................18
PENUTUP..........................................................................................................................18
1.Kesimpulan................................................................................................................18
2. Saran........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan


lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan
sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi
Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa
berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang
sesudahnya.

Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat


kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan,
adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui
dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam
menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti
sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak
Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.

Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak


khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali,
meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun
tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya

iii
Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian
bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat
Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am
jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan
menjadi kerajaan.

Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru


dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-
sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan
lain sebagainya.

B.    Rumusan Masalah


Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1.      Pendirian Dinasti Bani Umayyah

2.      Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah

3.      Kondisi Masyarakat dimasa Bani Ummayah

5.      Kemajuan dan Kemunduran Bani Ummayah.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pendirian Dinasti Bani Umayyah


1.  Asal Mula Dinasti Bani Umayyah

Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah


Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada
tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu
nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk
memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di
pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau
menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh
besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta
pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada
tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi
Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin
Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada
masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi
ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti
berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.

1
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi
Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang
berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin,
Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan
(sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang
kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M Muawiyah tidak
menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat
muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat
Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi
Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan
tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru
untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi
Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan
tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan
masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di
dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan
pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu
Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di
ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu
di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk
penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan
kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi
Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena

2
punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut.
Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat
itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang
lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah
Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari
kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah.
Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan
banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah
Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan
kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur
Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin
bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat
resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai
gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan
masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka
menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam
nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara
massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan

3
ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman
bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan
semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan
secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan
langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman
terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali,
antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti
dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin
Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang
pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala
kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah
Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang
dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

2  Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun
40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah
di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam,
menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam
khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang
umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)
atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi
Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang
melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak
sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah

4
setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia
Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata
tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para
pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur
Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena
Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan
tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama
sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih
mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk
mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali.
Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan –
pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu,
ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661.
Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah
karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali
perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui
Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia
bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:

1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi


hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin
Abi Thalib beserta keluarganya.

5
3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad
kepada Hasan setiap tahun.
4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan
(kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan
pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz,
dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi
Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang


shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi
tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab
dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan
kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam
surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih
berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda
lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu
berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya
begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk
diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini
menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah
pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan
dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan
sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi

6
seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai
khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari
warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah
sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di
tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah
(661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya
sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan
pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani
umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus,
tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.1
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini
dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein
menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika
yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas
permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak
mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.2

 B. Kondisi Masyarakat di masa Bani Ummayah.


Dimulai sejak pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib, dan selanjutnya masuk
pada masa pemerintahan Ummayah, kaum muslim telah pecah menjaditiga
kelompok : pendukung Muawiyah, Syi’ah (kelompok pendukung Ali R.A) dan
khawarij sebagai kelompok penentang Ali R.A dan Mu’awiyah . Kelompok
1 Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001,
hlm. 43
2 Badri yatim, op.cit., hlm.45

7
Syi’ah yang pada mulanya berbasis di Arab Selatan yang pernah dikuasai olleh
Sasanian (Persia) namun dengan masuknya Islam ke Persiadan mereka memeluk
islam mulai masa Khulafaur – Rasyidin (masa khalifah Umar r.a) kemudian
orang-orang muslim Persia sangat mendukung kaum Syiah setelah Mukhtar Ibn
‘Ibn ‘Ubaid mendirikan dan memimpin gerakan Syi’ah Kaisiniah. Bahkan sejak
masa Khalifah Ali r.a,bahwa Persi, selaiim Kufah, merupakan daerah-daerah
Syi’ah terpenting.

Dengan demikian, masa pemerintahan Umayah menhadapi tentangan dari


dalam, yaitu kaum Khawarij dan kaum Syi’ah merupakan lawan politik yang turut
mempengaruhi jalannya dakwah islam dalam pemerintahan Umayah. Akan tetapi,
pada masa awal pemerintahan Daulah Ummayah,khalifah-khalifah Dinasti ini
masih dapat melakukan usah-usaha yang mendukung kenerhasilan dakwah Islam
dengna melalui penyebaran Islam ke berbagai wilayah, selain usaha memajukan
kebudayaan Islam dan Arab.

Diantara usah-usaha yang dilakukan Dualah Ummayah, yaitu :

1. Ekspansi Islam kedua terjadi pada masa Daulah Ummayah, dan pada masa
ini daerah-daerah yang dikuasai meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syuria,
Palestina,Arabia, Irak, Sebagian Asia kecil,Persia,Afganistan, India,
(sekarang : Pakistan ),Turkmenia , Uzbekistan, dan Kigris ( Asia Tengah ).
2. Menigkatkan pembangunan sarana ibadah ynag sekaligus merupakan
pendukung sarana Dakwah seperti Kdetral St.John di Damaskus dirubah
menjadi Msjid, Katedral di Hims dipakai unutk Masjid seklaigus untuk
gereja, di Al-Qudas (Jaressalam) Abd al-malik membangun Al-Aqsa ,
dibnagunnya masjid Kordova, Masjid Mekkah dan Madinah diperbaik dan
diperbesar oleh khalifah Abd Al-Malik dan Al-Walid
3. Khalifah Daulah Ummayahmemberikan perhatian besar kepada ilmu-ilmu
kalam, fiqih, dan bahsa (Arab) sehingga mulailah timbul nama-nama ilmuan
muslim terkenal seperti Hasan al-Basri, Ibn Shahib al-Zuhri , Washil bin
Atha dan lain-lain.Kegiatan Ilmiah dan munculnya para ilmuan muslim

8
diberbagai bidang keisalaman ini memberikan dukungan terhadap penyiaran
Islam dan pembinaan Islam di kalangan umat islam.
4. Dihidupkannya kembali syair-syair Jahiliah dan timbullah ahli penyair pada
masaitu, seperti nma apenyair terkenal ialah Majnun Laiala, dan lainnya.
5. Dilakukannya perubahan bahasa,administrasi,dari bahsaa Yunani dan bahsa
Pahlawi diganti dengan bahsa Arab oleh khalifah Abd Malik.3

C.     Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah


Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk,
dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada
ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan
membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan
melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya
dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).4

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia


cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu
membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah
dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri
Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.

Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi


tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk
mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan
membangun Dinasti Umayyah.

Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661


M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis

3 Fu’adi imam, sejarah peradaban islam, Yogyakarta : Teras.2011,hal 79


4 Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to
The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
2008), Cet. Ke-1, hlm..257.

9
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap
anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan
Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang
di angkat oleh Allah.5
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan
secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan
dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan
Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang
putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin
Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi
Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan
menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya
kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan,
agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah
meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
5 Badri yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001,
hlm. 42

10
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)
dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah
Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal
berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki
hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah
bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul
Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah
yang berkuasa:

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)


2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)

14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)6

6Istian Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang
pres,2008, Cet-1, hlm.49

11
D. Kemajuan Bani Ummayah.
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam
telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh,
bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan
yang lebih kompleks. Diantara kemajuan tersebut diantaranya:
1.      Kemajuan Intelektual
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri
dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang
Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara),
al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi
tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara
bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih
menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir,
memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus
yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
Perkembangan tersebut meliputi:
A.    Filsafat.
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian
dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang
dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. minat terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama
pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-
Rahman (832-886 M). 
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Tokoh utama
yang kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asa, sebuah dusun
kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles
yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova. la
lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan

12
dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne)
mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya
Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-Qanun. Ibnu Rusyd memiliki sikap
realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap
mistisisme adalah basis di mana ia menyerang filsafat Al-Ghazali.
B.     Sains.
Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang
pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya Al-
Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la dapat menentukan waktu terjadinya
gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. la juga berhasil membuat
teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-
bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan.
Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua
orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dan Fisika. Kitab Mizanul Hikmah
(The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada tahun 1121,
adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad Pertengahan,
mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai teori dan
kenyataan yang berhubungan dengan fisika.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan
banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang
negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Bathuthah dari Tangier
(1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M)
menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dart Tum adalah perumus
filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol yang
kemudian pindah ke Afrika. 
C.     Fiqih.
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki.
Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman.
Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pad

13
masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr ibn al-
Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal. 
D.    Musik dan Kesenian.
Seni musik Andalusia berkembang dengan datangnya Hasan ibn Nafi’ yang
lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Ia adalah seorang maula dari Irak, murid
Ishaq al Maushuli seorang musisi dan biduan kenamaan di istana Harun al Rasyid.
Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama pemerintahan Abd al Rahman II al
Autsath. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara berpengaruh hingga masa
sekarang. Hasan ibn Nafi’ dianggap sebagai peketak pertama dasar dari musik
Spanyol modern. Ialah yang memperkenalkan notasi do-re-mi-fa-so-la-si. Notasi
tersebut berasal dari huruf Arab. Studi-studi musikal Islam, seperti telah
diprakarsai oleh para teoritikus al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah
diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin sampai periode pencerahan Eropa.
Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat setelah tahun 1200, Gundi Salvus,
Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda, dan George Reish dan Iain-lain,
menunjuk kepada terjemahan Latin dari tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua
bukunya yang paling sering disebut adalah De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
E.     Bahasa dan Sastra.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam
di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan,
penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak
yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata
bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn
Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu
Hayyan Al-Gharnathi.
Pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menjadi bahasa resmi di
Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan Taurat
kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh
murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Hal seperti itu terjadi
pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba’i pada saat itu tidak jarang dari

14
penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih berbahasa Arab daripada
(sebagian) bangsa Arab sendiri

Kemajuan-Kemajuan yang Dicapai :

1. Bani Umayyah berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke berbagai


penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung
Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia,
Uzbekistan dan Kirgis.
2. Islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas. Sikap
fanatik Arab sangat efektif dalam membangun bangsa Arab yang besar sekaligus
menjadi kaum muslimin atau bangsa Islam. Pada saat itu bangsa Arab merupakan
prototipikal dari bangsa Islam sendiri.
3. Telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-
masing tokoh spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qiro’at (7 qiro’at) yang
terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan Ibnu Amr (118H).5 Ilmu
Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68H) dan muridnya Mujahid, Ilmu Hadits oleh
Ibnu Syihab Az-Zuhri, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin
Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi
Abu Amir bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah,
Ilmu Nahwu, dan sebagainya.
4. Perkembangan dalam hal administrasi ketatanegaraan, seperti adanya
Lembaga Peradilan (Qadha), Kitabat, Hajib, Barid dan sebagainya. 
E. Kemunduran Dinasti Umayyah
Selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah,
sejak Umayah berkuasa harus diakui telah banyak memberikan sesuatu yang
berarti bagi Islam. Tetapi, kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara yang keras
dan kasar seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pasa saat ia merebut
kekkuasaan, dan ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah
memunculkan perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya.
Sejak sepeninggal Hisyam ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus
mengalami melemah, bukan hanya moral tetap juga lemah dalam kekuataan

15
politik. Kelemahn ini tentu saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-
musuh Bani Umayah untuk dihancurkan, dan segera diganti.
Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara
lain :
1.      System suksesi khalifah dengan cara dinatian bukan tradisi Arab dan lebih
mengandalkan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menimbulkan
menimbulkan persaingan yang keras di kalangan anggota keluarga.
2.      Latar belakang terbentuknya Bani Umayah tidak terlepas dari konflik politik
yang terjadi di masa Ali. Ktbu Ali (Syi’ah) dan kubu khawarij yang masih tersisa,
terus menjadi oposisi dan melakukan perlawanan terhadap Bani Umayah, baik
dengan terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Penumpasan
terhadap kelompok-kelompok ini, banyak menyedot kekuatan pemerintah Bani
Umayah.
3.      Pada masa Bani Umayah pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani
Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) terus menruncing. Konflik ini membuat
penguasa Bani Umayah merasa kesulitan dalam menggalang persatuan dan
kesatuan.
4.      Faktor lemahnya Bani Umayah juga akibat sikap hidup mewah orang-orang
di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban
berat kekuasaan. Kemudian, banyak para agamawan yang kecewa dengan
penguasa Bani Umayah karena penguasa ini sudah tidak memperhatikan
pengembangan agama.
5.      Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd
Thalib yang mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan
kaum Mawali.7
Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah
Marwan yang dilakukan oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi
khalifah dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian kelompok Abul Abbas, beralih
menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng terakhir

7 Badri Yatim, Otentisitas Hadist…. hlm. 48-49

16
kekuasaan dinasti Umayah8. Jadi, hancurnya dua kekuayaan Umayah ini, menjadi
akhir dari kiprah bani Umayah dalam sejarah kekuasan Islam.

8 Ibid hlm.44

17
BAB III

PENUTUP
1.Kesimpulan
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah
Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada
tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu
nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Dimulai sejak pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib, dan selanjutnya masuk
pada masa pemerintahan Ummayah, kaum muslim telah pecah menjaditiga
kelompok : pendukung Muawiyah, Syi’ah (kelompok pendukung Ali R.A) dan
khawarij sebagai kelompok penentang Ali R.A dan Mu’awiyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661
M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak.
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam
telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh,
bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan
yang lebih kompleks

2. Saran
Alhamdulillah, penulisan makalah ini terselesaikan dan tersusun secara
sistematik. Tetapi penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari

18
sempurna, karena mengingat keterbatasan pengetahuan dari penulis. Maka dari itu
penulis mohon kritik dan saran dari berbagai pihak.

19
DAFTAR PUSTAKA
Badri yatim,2001. “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II”, PT
Raja Grafindo Persada, Cet.XII,

Fu’adi imam,2011 sejarah peradaban islam, Yogyakarta : Teras

Istian Aby Bakar,2008 Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi


islam dan umum,UIN malang pres,

20

Anda mungkin juga menyukai