Anda di halaman 1dari 22

MASA KHULAFAUR RASYIDIN: ALI BIN ABI THALIB

GERAKAN OPOSISI TERHADAP PEMERINTAHAN

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam


Dosen Pengampu: Dr. Hj. Andi Nurlaela, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 7 // IAT 4C
Maryam Jannatuz Zahrah 1191030122
Mas’ud Maulana 1191030123
Muhammad Ali Setiawan 1191030132
Muhammad Miftah Surur 1191030125
Muhammad Rafli Alviansyah 1191030130

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kita
kesehatan, dan kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Masa
Khulafaur Rasyidin: Ali Bin Abi Thalib (Gerakan Oposisi Terhadap Pemerintahan)” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Sholawat bermutiarakan salam kita
lantunkan kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang telah memberikan penerangan ditengah
kezholiman.
Makalah ini telah dibuat dengan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari masih
banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, maka dari itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif agar lebih baik lagi dan bisa meningkatkan kualitas
pengetahuan bagi kami maupun para pembaca.
Dan tak lupa juga, ucapan terimakasih kami kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh
orang yang membacanya.

Bandung, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................................ii


Daftar Isi ................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................................1
A. Latar Belakang ................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN ...................................................................................................................3
A. Biografi Ali bin Abi Thalib ............................................................................................3
B. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah .......................................................6
C. Sistem Pemerintahan dan Kebijakan-kebijakan Ali bin Abi Thalib ...............................7
D. Gerakan Oposisi Terhadap Pemerintahan.......................................................................10
1. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah ............................. 10
2. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij ....................... 11
BAB III
SIMPULAN ..........................................................................................................................17
A. Simpulan .........................................................................................................................17
B. Saran ...............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Islam Pada Zaman Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat adalah
merupakan Agama Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian
Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW.
Kemudia pada zaman selanjutnya yaitu zaman para Sahabat, terkhusus pada zaman khalifah
empat atau yang lebih terkenal Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana
hamper 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu
tentunya tidak lepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga
dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban
kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada
zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan Islam yang luar biasa
pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman
sekarang ini seolah kita melupakannya. Sekaitannya dengan itu perlu kiranya kita melihat
kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu
itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang
Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan
Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu
Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di
masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh
kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib?
2. Bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah?
3. Bagaimana sistem pemerintahan dan kebijakan apa saja yang dilakukan oleh Ali bin
Abi Thalib?
4. Bagaimana gerakan oposisi yang terjadi kepada pemerintahan selama pemerintahan
Ali bin Abi Thalib?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui biografi Ali bin Abi Thalib
1
2. Mengetahui proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
3. Mengetahui sistem pemerintahan dan kebijakan yang dilakukan oleh Ali bin Abi
Thalib
4. Mengetahui gerakan oposisi yang terjadi kepada pemerintahan selama pemerintahan
Ali bin Abi Thalib

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661).
Khalifah keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang
pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian
menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul
Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya
bernama Fatimah binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama
Haidarah oleh ibunya. Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana
Nabi saw. pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi
Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah
Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama
Rasulullah saw, taat kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima
wahyu. Ia anak asuh Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan
maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar al-Siddiq, Ali diperintahkan
untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. dan tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan
untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi masih berada
di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi saw. Ali juga
ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing.
Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa
sedikitpun merasa takut. Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat
meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali
menyusul ke sana. Di Madinah ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah
saw. yang ketika itu tahun ke 2 H beliau berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah
adalah istri pertama. Dari fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri. Yaitu Hasan,
Husein, Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab.
Setelah Fatimah wafat Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
1. Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra
yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
3
2. Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu
Bakar.
3. Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan
Muhammad.
4. As-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab,
yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
5. Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang
melahirkan satu anak yaitu Muhammad.
6. Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad
(al-Hanafiah).
7. Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-
Husain dan Ramlah.
8. Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya
menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi
saw.) bernama “Zulfikar”. Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di
masa Nabi saw. dan selalu menjadi andalan pada barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam
sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “aku adalah kotanya ilmu pengetahuan
sedang Ali sebagai pintu gerbangnya”. Karena itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar
para Khalifah sebelumnya. Ia selalu di tempatkan pada jabatan kadi atau Mufti 1.
Ali diberi juga julukan (gelar) Abutturab (arti letterliknya “pak tanah”) dijuluki
demikian, karena pada suatu saat ia tidur di Masjid, pakainya terlepas dari badan, hingga
ia tidur di atas tanah tanpa alas. Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi, sambil berkata,
“bangunlah, hai Abutturab” dan gelar itulah tampaknya amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula pertama membenarkan tindak tanduk Nabi saw.
dan masuk Islam sedang umurnya baru menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa
yang tidak dikotori oleh keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak pernah ikut
menyembah berhala, karena itu kepadanya disebutkan: “Karramallahu Wajahahu” yang
artinya: semoga Allah memuliakan Wajahnya, sementara kepada para sahabat lainnya
hanya disebutkan “Radliallahu ‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.

1
Ensiklopedi Islam, (Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) h. 111-112

4
Ali terkenal sebagai seorang yang tidak mencintai dunia meskipun bila ia mau, peluang
untuk itu sangatlah mudah. Ia ahli dalam berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang
indah dengan lidah yang fasih. Ia juga hafal Al-Qur’an serta mengumpulkannya dan
membetulkannya di hadapan Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan Bani Hashim yang menjadi khalifah, seorang
yang mula-mula meletakkan dasar ilmu Nahwu atau Gramatika Bahasa Arab. Dia juga
yang diserahi untuk melakukan perang tanding pada permulaan dan pendahuluan perang
Sabil yang pertama, yaitu perang Badar. Pantaslah kalau ia termasuk kelompok sepuluh
yang disebutkan oleh Nabi yang dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang mendapat kehormatan dan kepercayaan Nabi saw.
dengan mengutusnya ke Negeri Yaman, ketika usianya masi sangat muda belia, tapi ia di
do’akan oleh Nabi : “Ya Tuhan, pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya” sehingga
seluruh sahabat mengakui bahwa Ali-lah orang yang dipandang lebih mengetahui tentang
Hukum dan Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai wakil Nabi yaitu
menjadi Wali Kota Madinah ketika Nabi pergi bersama Jaisu Usrah diperang Tabuk.
Ketika Ali berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, mengapa tuan tinggalkan saya bersama
orang-orang perempuan dan anak-anak”? lalu dijawab oleh Nabi,
‫ أَن َْت ِم ِ ٍّن ِب َم ْ ِْن َ َِل ه َُار ْو َن ِم ْن ُّم ْو ََس ِا ََّّل َّان َ ُه ََّلن ِ ََِّب ب َ ْع ِدى‬: ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَا َل ِل َع ى ٍَّل‬
ُ ‫ِا َّن النَّ ِ َِّب َص ََّّل‬
‫ أَن َْت ِم ِ ٍّن ِب َم ْ ِْن َ َِل ه َُار ْو َن ِم ْن ُّم ْو ََس ِا ََّّل َّان َ ُه ََّلن ِ ََِّب ب َ ْع ِدى‬: ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل قَا َل ِل َع ى ٍَّل‬
ُ ‫ِا َّن النَّ ِ َِّب َص ََّّل‬
Terjemahan :
“Bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ali: “Engkau bagiku seperti Nabi Harun
menempati posisi Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada lagi Nabi sesudahku.”
(H.R. Ahmad dan Bazzar)2.
Jadi ia mengikuti semua perang sabil yang di lakukan oleh Nabi kecuali perang tabuk
karena ia bertugas di Madinah.
Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan dan kelebihan. Ia adalah
seorang yang pemurah, dermawan rendah hati, ramah tamah, jujur, amanah (dapat
dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa yang ada dengan tidak berlebih-lebihan), adil
disiplin dan banyak lagi3.

2
Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Cet. V; Jakarta: Rajawali Pers 2002), h. 204
3
Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa (Cet. I; Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1985). h. 97-100

5
B. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah
Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, membuat
suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota sangat mencekam, rakyat dan para
pembesar mengalami kerisauan, keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya
pemimpin negara dan tidak ada imam4.
Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada satu bagian kaum
pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain orang-Muhajirin dan Anshar membuat
suatu kelompok pula, termasuk tabi’in dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah
bagaimana dengan umat Islam yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum
sampai ke Yaman dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari
tidak memiliki pemimpin5.
Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secapat mungkin
dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang ibu kota Islam. Di sana juga
tinggal Ahl Al-Halli Wa Al-„Aqd, semacam dewan perwakilan yang berhak memilih
melakukan bai’at kepada seorang khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak
mungkin meminta pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri.
Keadaan yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang
dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang mengancam keutuhan
negara. Pada waktu itu ada Empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar
sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat
dari berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan
permusyawaratan Abdurrahman bin Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling
dipercayai umat setelah Utsman bin Affan.
Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka. Dan
tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seseorang yang
mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan terpilih karena levelnya jauh di bawah
Ali6. Semua sahabat yang saat itu ada di madinah membaiat Ali sebagai khalifah7.
Sebelumnya Ali menolak untuk di baiat, namun mereka bersikukuh untuk membaiat ali
bin abu thalib. Tindakan mereka di dukung oleh kaum muhajirin dan Anshar, serta

4
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya disebut al-Maududi,
Khilafah.
5
Ibid., 155.
6
Ibid., 156.
7
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib,.88

6
kelompok-kelompok lainnya8. Sehingga Ali Bin Abu Thalib menerima kekhalifahan dan
mau dibaiat. Tetapi bai’at harus dilakukan di Mesjid. Dan di depan masyarakat banyak dan
tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai’at berlangsung di Mesjid
Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada penolakan, termasuk para
sahabat besar, kecuali ada tujuh belas sampai dua puluh orang9.
C. Sistem Pemerintahan dan Kebijakan-kebijakan Ali bin Abi Thalib
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Utsman bin
Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Utsman mulai beranggapan bahwa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk
memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya. Diantara sahabat yang
belum sudi mengakui Ali sebagai khalifah, seperti Hasan Ibnu Tsabit, Ka’ab Ibnu Malik
Abu Said al-Khudri, dan Muhammad Ibnu Maslamah10.
Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan yang
tidak sedikit. Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan,
walaupun kadang - kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan
kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat11.
Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:
Pertama, memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat pendahulunya
Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokoh-tokoh lain. Pemberhentian itu
kelihatan bertujuan untuk mengamankan kekhalifahannya. Di antara gubernur yang
diberhentikan adalah Ya’la bin Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin
Abbas untuk Yaman. Dalam pemberhentian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat
kesulitan karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya’la sudah meninggalkan Yaman dan
pergi ke Mekah serta membawa hartanya”. Banyak orang yang meninggalkan negerinya
dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan sebab orang yang berada di negeri
Mekah tidak boleh diganggu12.
Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami, gubernur Basrah dan
menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini Ali tidak mendapat kesulitan
karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah Abudllah sudah meninggalkan kota itu

8
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib,.85
9
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,.156 Tidak disebutkan siapa nama-nama yang yang tidak dapat melakukan
bai’at itu.
10
Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Gema Insani, 2016), h.179.
11
H. A. Dzajuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), H. 21
12
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …, h. 203

7
menuju Mekah serta membawa sebagian harta.
Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam memberhentikan Abu
Musa al-Asy’ari, Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Umarah bin Syihab. Ketika
mendekati kota itu penduduk kota itu dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi.
Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-tanah
yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil tanah itu
diserahkan kepada kas negara. Kebijakan ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain
akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban,
rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman
hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah. Ketika Ali menjabat
sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam.
Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya
tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di tangan para sahabat Utsman dan
keluarganya, maka wajar ia mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa
memiliki tanah dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takut apa yang sudah
mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat menikmati lagi13.
Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga menghalangi orang
Syam enggan untuk membai’atnya sebagai khalifah. Kebijakan seperti ini ternyata
menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan
pemerintahan sehingga hampir sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah
lepas dari konflik.
Sifat Ali di hari pertama kekuasaannya, Khalifah Ali Bin Abi Thalib selalu
memperhatikan dan mencermati keadaaan rakyatnya. Berusaha meneliti apa-apa yang
mengusik, menyakiti, dan menyulitkan hidup mereka. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Khalifah Ali Bin Abi Thalib membuat saluran air untuk mengairi lembah-
lembah dan membuat sejumlah tempat pemandian umum di jalan-jalan yang dilintasi kaum
muslim. Ia juga sering berjalan-jalan di pasar seraya memperingatkan para pedagang agar
tidak melakukan pekerjaan mereka tanpa mengetahui fikih muamalah ia berkata,”orang
yang berdagang dan tidak mengetahui fikih maka ia jatuh dalam riba, kemudian melakukan
riba, dan melakukannya lagi. [....]
Dalam bidang pemerintahan ini, Ali berusaha mengembalikan kebijaksanaan khalifah
Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang memungkinkan. Ia melakukan beberapa hal,

13
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain,… …, h.206.

8
yaitu:
1. Membenahi dan menyusun arsip negara dengan tujuan untuk mengamankan dan
menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah.
2. Membentuk kantor hajib (perbendaharaan)
3. Mendirikan kantor shahib al-Shurta (pasukan pengawal)
4. Mendirikan lembaga qadhi al-Mudhalim suatu unsur pengadilan yang
kedudukannya lebih tinggi dari qadhi (memutuskan hukum) atau muhtasib
(mengawasi hukum). Lembaga ini bertugas untuk menyelesaikan perkaraperkara
yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi atau penyelesaian perkara banding.
5. Mengorganisir polisi sekaligus menetapkan tugas-tugas mereka. Mengenai bidang
kemiliteran, kaum muslimin pada masa khalifah Ali telah berhasil meluaskan
wilayah kekuasaan Islam. Misalnya setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan
ditumpas, orang Arab mengandalkan penyerangan laut atas Konkan (pantai
Bombay). Negarawan yang juga ahli perang ini mendirikan pemukiman-
pemukiman militer di pebatasan Syiria. Sambil memperkuat daerah perbatasan
negaranya, ia juga membangun benteng-benteng yang tangguh di Utara perbatasan
Parsi14.
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit mengalami
kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab dan masih tetap
peranan penting negara Islam di daerah yang telah ditaklukkan Abu Bakar di daerah
Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai
Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Utsman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan,
Armenia hingga Georgia15.
Buntut panjang kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Ali kemudian
melahirkan pemberontakan terhadap kelangsungan pemerintahannya. Mulai dari
pemecatan pejabat-pejabat yang diangkat Utsman, hingga pada penarikan kembali tanah-
tanah negara yang dibagikan Utsman semasa hidup kepada anggota keluarganya.
Pengambilan kebijakan ekstrim oleh sahabat Ali sempat mendapat teguran dari sahabat
Mughirah dan Ibnu Abbas. Mereka menyarankan Ali terlebih dahulu mendapat pengakuan
dari masyarakat di negeri- negeri taklukan Islam yang jauh. Sehingga ketika mema’zulkan

14
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam., 78
15
Hasan As’ari, Menguak Syarah Mencari Ibrah (Bandung : Citapustaka Media, 2006), h. 253.)

9
gubernurnya yang dinilai korup, masyarakatnya terlebih dahulu sudah berikrar setia
kepada Ali dang tidak mungkin menentang kebijakannya. Namun keyakinan Ali
memberhentikan gubernur tersebut justru dinilai terlalu tergopoh-gopoh oleh Mughirah
ibnu Syu’bah dan Ibnu Abbas. Bahkan dalan satu literatur Ziyad ibnu Handzalah juga ikut
menasehati Ali tentang kebijakan yang diambilnya16.
D. Gerakan Oposisi Terhadap Pemerintahan
1. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau
menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman.
Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti
Utsman. Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks
keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas
siapa pembunuh Utsman. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu
berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah
dalam rangka menunaikan umrah. Data tersebut memberikan informasi bahwa Thalhah
bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin Thalib
sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah
sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib17. Namun, setelah tiba di
Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-
sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran, bahwa penentangan yang
dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubair faktor utamanya adalah
penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh Utsman.
Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada
Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu
secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun
berkobar. Perang ini dikenal dengan nama perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam
pertempuran itu menunggang unta, dan Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan
Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim
kembali ke Madinah.

16
Syalabi, Sejarah Kebudayaan, h 285

17
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin, (Kalam Mulia, Jakarta:
2006), cet. 2, hlm. 508

10
Perang Unta menjadi sangat Penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa
ini memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya
khalifah turun ke medan
perang untuk memimpin langsung angkatan perang, dan justru bertikai melawan
saudara sesama muslim sendiri.
2. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij
a. Ali dengan Mu’awiyah
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah,
istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban
kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus. Ia segera menulis
surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan
Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman
yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.32 Barang bukti
ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang
memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan
menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin
memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji
ketaatan (baiat) terhadap Ali.
Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat Muawiyyah menyebabkan
kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan -- bukan menolak -- pembaiatan
terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah,
ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama,
bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap
dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para
sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak
untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya,
lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya.
Alasan mengapa Muawiyah terus menuntut Ali untuk melakukan qishash
terhadap pelaku pembunuhan usman adalah karena pada saat itu ada dugaan bahwa
Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi
adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan
penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah
bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.

11
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution
mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang
datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi
Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras
terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar
diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah telah melakukan berbagai
cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak
Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui
jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali
tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari
Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar
Amirul Mukminin.
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan
rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil.
Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah.
Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para
sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok;
ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan
Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu
dipertimbangkan terlebih dahulu.
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang
tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali
memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar
seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada
Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan
kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus ima puluh ribu personil. Kedua
pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat
yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria.
Perang pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah
tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal
tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat
hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran
yang sudah sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan malapetaka amat besar
12
yang patut disesalkan. Saat perang dahsyat itu berkecamuk, pasukan Ali hamper
saja memenangkan pertempuran. Tercatat 7.000 orang Islam gugur. 40 Sedang luka
korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak,
sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah berpengalaman
dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya
untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan
pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang
menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada
pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun
akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan
perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-
masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah
menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukan Abu Musa al
Asy‟ari sebagai juru runding.43 Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan
pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi
wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan
Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah
dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan
keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan
menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu
Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr
yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina
Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah
misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada
Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang
terhormat di hadapannya.
b. Ali dengan Kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan tentu saja dimenangkan oleh
Muawiyah, sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap
mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali.

13
Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaum khawarij. Kelompok ini merasa
kecewa dengan keputusan Ali yang menerima
tahkim.
Kemudian mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya mendesak Ali
supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan Ali, kata mereka :
“Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan kami, padahal engkau tahu
bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan yang
jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan yang lebih tepat dari pendapat
kami18.”
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12.000 orang
pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura.
Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena
menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum
itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa
perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh
diputuskan oleh arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu
secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan
mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan
Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah
yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan
membentuk kelompok sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai
panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan
pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan
kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun
baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga
putra seorang
sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi
korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan
Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut.

18
Hilmi Ali Sy‟ban, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.32 cet. I

14
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali
dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh
Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin
yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan
pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan
gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah
perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan
pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib.
Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam
masalah hukum, sebab ia telah menyerahkan keputusan politiknya dalam
persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak,
bukan kepada Allah. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik
manusia. Adapun Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi
bukan diajak berdamai.
Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh
puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah
pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia
mengharamkan harta rampasannya serta menawan anakanak dan istri-istri mereka.
Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah
pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Alhasil, perselisihan kemudian diselesaikan melalui perundingan 19. Ali
mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia
sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan
yang benar.
Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatan
yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok Ali dan kelompok
Muawiyah, „Amr bin “Ash dan Abu Musa al-Asy‟ari, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran di atas mereka menetapkan bahwa
keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus dibunuh. Oleh sebab itu membuat
rencana untuk membunuh orang-orang yang terlibat tahkim itu. Dalam
menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan menetapkan bagaimana cara

19
Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam¸ cet I. 2009. hlm.45

15
pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan pelaksanaan eksekusi serentak
pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika semua mereka itu keluar untuk
menjalankan shalat subuh.
Ketika waktunya tiba setiap petugas turun dan ternyata yang berhasil adalah
pembunuh Ali yang bernama Abdurahman bin Muljam .49 Ali wafat seketika,
sedangkan yang ditugasi membunuh Mu‟awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-
Asya‟ri gagal sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja.
Wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan Khalifah
Rasyidin. Kemudian diserahkan kepada Hasan.50 Hal itu membuka babak baru bagi
sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah menjadi sistem kerajaan.

16
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ali bin Abi Thalib lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah
keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang
masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi
menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf, adalah
kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama Fatimah
binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh
ibunya. Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana
Nabi saw. pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi
Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah
Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama
Rasulullah saw, taat kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima wahyu.
Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah setelah wafatnya Utsman bin Affan.
Terbunuhnya khalifah Utsman membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana
kota sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan, keguncangan.
Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara dan tidak ada imam20.
. Pada waktu itu ada Empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar sebelum
wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari
berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan
Abdurrahman bin Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai umat setelah
Utsman bin Affan. Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin
mereka.
Dalam bidang pemerintahan ini, Ali berusaha mengembalikan kebijaksanaan khalifah
Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang memungkinkan. Ia melakukan beberapa hal,
yaitu:
1. Membenahi dan menyusun arsip negara dengan tujuan untuk mengamankan dan
menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah.
2. Membentuk kantor hajib (perbendaharaan)

20
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya disebut al-Maududi,
Khilafah.

17
3. Mendirikan kantor shahib al-Shurta (pasukan pengawal)
4. Mendirikan lembaga qadhi al-Mudhalim suatu unsur pengadilan yang kedudukannya
lebih tinggi dari qadhi (memutuskan hukum) atau muhtasib (mengawasi hukum).
5. Mengorganisir polisi sekaligus menetapkan tugas-tugas mereka. Mengenai bidang
kemiliteran, kaum muslimin pada masa khalifah Ali telah berhasil meluaskan wilayah
kekuasaan Islam.
Oposisi terhadap Ali secara terang-terangan dimulai dari Aisyah, Thalhah, dan Zubair.
mereka menuntut Khalifah menghukum para pembunuh Usman. Tuntutan yang sama juga
diajukan Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan
legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak bisa menemukan dan
menghukum yang sesungguhnya.
Pada masa ini, terjadi 2 perang besar. Yang pertama, yaitu perang jamal, yaitu antara
kubu Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah, Thalhah dan Zubair. Dan yang kedua adalah perang
shiffin, yaitu perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Perang ini diakhiri
dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga, Khawarij yaitu orang-orang yang keluar dari
barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi`ah (pengikut) Ali, dan Khawarij (orang-
orang yang keluar dari barisan Ali).
B. Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami sampaikan. Besar harapan
kami makalah ini dapat bermanfaat untuk banyak kalangan. Penulis menyadari makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi di masa yang akan
datang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Junaidi. “Kontribusi Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin: Pembentukan


Masyarakat Politik Muslim,” Madania, Vol. XVII No. 1 (Juni, 2013), hal. 75-84.
Zainudin, Ely. “Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin,” Jurnal Intelegensia, Vol. 03
No. 1 (Januari-Juni 2015), hal. 50-58.
Ridhawi, Ahmad. “Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.”
Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2014.
Zainudin. “Sistem Pemerintahan Islam Pada Era Khalifah Ali bin Abi Thalib Dalam Perspektif
Fiqh Siyasah.” Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan,
Lampung, 2018.
Ma’ruf, Imam. “Kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib (Dalam Buku Biografi Ali Bin
Abi Thalib Karya Ali Audah) dan Relevansinya Dalam Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam
Tahun Pelajaran 2015/2016.” Skripsi Sarjana, Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Ponorogo, Ponorogo, 2016.
“Makalah Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib”.
http://sejarahkudansejarahkita.blogspot.com/2015/10/makalah-masa-khalifah-ali-bin-abi-
thalib.html (akses 26 April 2021_.

19

Anda mungkin juga menyukai